• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN 2.1 Geografis Kota Medan - Analisis Fungsi Dan Struktur Musikal Gordang Sambilan Dalam Upacara Adat Perkawinan Mandailing Di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN 2.1 Geografis Kota Medan - Analisis Fungsi Dan Struktur Musikal Gordang Sambilan Dalam Upacara Adat Perkawinan Mandailing Di Kota Medan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN

2.1 Geografis Kota Medan

Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di Provinsi Sumatera Utara, kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering dijadikan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah di seluruh Indonesia.

Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis, sebab berbatasan langsung dengan Selat Melaka di bagian utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota di negara tetangga seperti Pulau Penang Malaysia. Demikian juga secara demografis, Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 2.712.236 jiwa. Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional/nasional.

Letak geografis Kota Medan adalah 3030 – 3043 LU, dan 980 35’-98044’ BT. Luas Kota Medan saat ini adalah ± 265,10 km2. Kota Medan memilki perbatasan yaitu:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka,

(2)

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli Serdang), dan

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung Morawa di Kabupaten Deli Serdang (sumber: www.wikipedia.or.id).

Kota Medan, keberadaannya didukung oleh beberapa wilayah kecamatan serta kelurahan. Adapun kecamatan yang terletak di Kota Medan yaitu Kecamtatan Medan Helvetia, Kecamatan Medan Barat, Kecamatan Medan Petisah, Kecamatan Medan Perjuangan, Kecamatan Medan Tembung, Kecamatan Medan Area, Kecamatan Medan Maimun, Kecamatan Medan Polonia, Kecamatan Medan Selayang, Kecamatan Medan Tuntungan, Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan Amplas, Kecamatan Medan Denai, Kecamatan Medan Baru, Kecamatan Polonia.

Secara geografi Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai. Kondisi ini menjadikan Kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan dan saling memperkuat daerah-daerah sekitarnya.

2.1.1 Demografi

(3)

Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka. Secara Demografi, Kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun.

Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fakir masyarakat dan perubahan sosial ekonominya. Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian. Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk. Istilah ini mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian rendah. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak factor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat. Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun.

(4)

meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.

Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi. Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural. Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.

Berdasarkan data kependudukan tahun 2010, penduduk Medan saat ini diperkirakan telah mencapai 2.712.236 jiwa, dengan wanita lebih besar dari pria. Sedangkan penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 566.611 jiwa, yang merupakan penduduk komuter. Dengan demikian Medan merupakan salah satu kota dengan jumlah penduduk yang besar. Kota Medan terdiri dari 21 Kecamatan dan 151 Kelurahan. Selain itu, Kota Medan juga merupakan daerah perkotaan yang dihuni oleh berbagai etnis dengan latar belakang yang berbeda. Kondisi Kota Medan yang heterogen ini, mengakibatkan banyaknya timbul organisasi-organisasi yang berdasarkan etnis (BPS Kota Medan 2011).

2.1.2 Identifikasi Kelurahan Sitirejo I Medan Amplas

(5)

melakukan penelitian dengan meliputi acara pesta perkawinan salah satu masyarakat Mandailing yang tinggal dan menetap di Kota Medan.

Secara geografis Kelurahan Sitirejo I Medan Amplas dengan batas-batas sebagai berikut.

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Teladan Barat, Kecamatan Medan Kota.

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Sitirejo II, Kecamatan Medan Amplas.

c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Sudirejo I, Kecamatan Medan Kota.

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Medan Maimun.

Adapun luas Kelurahan Sitirejo adalah 0,45 km2 dengan perincian sebagai berikut: luas pemukiman 0, 39 km2, luas pekarangan 0. 2 km2, luas perkantoran : 0, 2 km2, luas prasarana umum lainnya 0, 2 km2 . Dapat diketahui total dari penduduk di Kelurahan Sitirejo I yaitu 11. 274 orang, yang terdiri dari 5.377 jiwa penduduk laki-laki dan 5.897 jiwa penduduk perempuan yang tersebar di 17 lingkungan yang ada di Kelurahan Sitirejo I.

2.2 Karakteristik Masyarakat Mandailing di Kota Medan

(6)

seberapa jauh masyarakat Mandailing di Kota Medan dalam memandang dan melakukan budayanya dalam kehidupan sehari-hari.

Karakter Mandailing dalam penelitian ini dibagi atas beberapa yaitu, (1) karakter masyarakat Mandailing yang masih memegang adat budaya Mandailing sesuai dengan adat Mandailing asli tanpa berusaha menggabungkan adat budaya lain yang berada di sekitarnya dimana ia tinggal, (2) karakteristik masyarakat Mandailing yang memegang adat budaya Mandailing dan berproses menggabungkannya dengan budaya lain yang berada di tempat mereka tinggal, (3) karakteristik masyarakat Mandailing yang tidak mengenal adat budaya Mandailing dan memegang budaya lain seperti budaya Toba, Melayu, dan kebudayaan lain yang ada dalam lingkungan dimana ia tinggal.

(7)

Melalui penjelasan tentang indikator yang diatas dan digunakan untuk memberikan gambaran mengenai karakteristik masyarakat Mandailing diberbagai lokasi penelitian di Kota Medan, adapaun hasil dari penggunaan indikator ini adalah sebagai berikut.

Pada daerah Medan Maimun dari observasi dan wawancaran penulis kepada informan didapatkan hasil bahwa kehidupan masyarakat Mandailing di lokasi ini memiliki karakteristik masyarakat Mandailing yang sudah berpikir dan bertindak sesuai dengan lingkungan sekitar dalam hal ini dijelaskan bahwa kehidupan masyarakat tersebut masih memegang budaya Mandailing dan berusaha untuk menerima budaya lain yang terdapat di sekitar tempat tinggal mereka. Hal ini disebabkan kehidupan pada daerah tersebut memiliki tingkat penduduk yang tinggi dan intesitas pergaulan yang tinggi serta faktor heterogenitas penduduk di lokasi tersebut.

Di daerah Medan Barat, karakteristik masyarakat Mandailing pada daerah ini adalah karakteristik masyarakat yang masih memegang adat budaya Mandailing dan tidak tertutup kemingkinan untuk menerima budaya dari luar budaya Mandailing, hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya dalam strategi sosialisasi dengan masyarakat dengan budaya yang berbeda.

(8)

2.3 Asal Usul Orang Mandailing

Masyarakat Mandailing yang mendiami kota Medan tidak terlepas dengan asal muasal oleh leluhurnya yang bertempat tinggal di Wilayah Mandailing. Masyarakat Mandailing diduga sudah ada pada ribuan tahun yang lalu. Menelusuri latar belakang masuknya penduduk didaerah Mandailing beberapa pendapat orang berbeda-beda, dan pendapat berbeda itulah bila tidak didukung dengan fakta – fakta tertulis, seperti prasasti-prasasti tentu tidak mudah untuk mempertanggungjawabkannya. Penulis mengambil beberapa pendapat mengenai asal usul Masyarakat Mandailing sebagai bahan informasi mengenai asal usul nama daerah Madailing dan masyarakatnya. Memungkinkan bahwa Wilayah Mandailing pada zaman Kerajaan Majapahit mempunyai masyarakat secara homogen, yaitu masyarakat yang tumbuh dan terhimpun dalam suatu Ketatanegaraan Kerajaan dalam Kebudayaannya. Terbukti dari ekspansi pasukan Kerajaan Majapahit pada sekitar tahun 1287 Caka (365 M). dimana salah satu syairnya disebut nama Mandailing. Adapun syair tersebut yaitu: “Lwir ning nusa pranusa pramuka sakahawat ksoniri malayu/ning jambi, mwang Palembang

karitang I teba len dharmamacraya tumut/kandis kahwas manangkabwa ri siyak

rekan Kampar mwang I pane/ kampe harw athawe mandailing I tumihang parilak

mwang I babrat.”

(9)

syair ke 13 Negarakertagamanya Propanca yang agung seperti tersebut di atas. (Mhd. Arbain Lubis Ha 11-24)

Menurut ulasan dari seorang tokoh budaya Mandailing, Z. Pangaduan Lubis, yang juga dosen Fakultas Sastra USU atau sekarang Ilmu Budaya USU Medan, dalam bukunya Kisah Asal-Usul Mandailing (1986:4-6), mengatakan selanjutnya bahwa di dalam tonggo-tonggo (doa) terdapat kata-kata: “di situlah (di Tanah Mandailing) bertamasya Si Boru Deakparujar.” Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa kemungkinan sekali justru di Tanah Mandailing itu pula Si Boru Deakparujar turun dari kayangan. Dapat diketahui bahwa Deakparujar adalah tokoh mitologi dalam Kebudayaan Toba-Tua. Selanjutnya menurut mitologi Si Boru Deakparujar adalah Puteri Debata Mulajadi Nabolon yang dititahkannya turun dari Benua ke Benua Tengah membawa sekepal tanah untuk menempa bumi di atas lautan. Tonggo-Tonggo Si Boru Deakparujarmerupakan Kesusasteraan Toba Tua yang klasik yang terdiri dari 10 pasal sebagai dasar atau sumber dari falsafah masnyarakat dan kerohanian dari dalihan na tolu.

(10)

bangsa Aria, maka bangsa Munda menyingkir ke selatan yang terjadi sekitar 1500

SM.”

Pada waktu perpindahan bangsa Munda dari India Utara ke Asia Tenggara

oleh karena terdesak bangsa Aria. Diduga ada sebagian yang masuk ke Sumatera.

Dengan melalui Pelabuhan Barus pantai barat Sumatera mereka meneruskan

perjalanan sampai ke suatu daerah yang kemudian disebut dengan Mandailing,

yang berasal dari perkataan Mundahilingyang berarti Munda yang Mengungsi

Di dalam buku yang dikemukakan oleh pengarangnya Mangaraja Lelo

Lubis bahwa menurut orang tua, nama Mandailing berasal dari perkataan

“Mandala Holing”. Pada zaman dahulu kala Mandala Holing adalah sebuah

kerjaan yang menguasai daerah mulai dari Portibi di Gunung Tua Padang Lawas

sampai ke daerah Pidoli di Mandailing. Semua pusat kerajaan ini terletak di

Portibi Gunung Tua, tenpat dimana banyak ditemukan Candi-candi Purba. Oleh

karena serangan Kerajaan Majapahit, kemudian pusat pemerintahan kerajaan

dipindahkan ke Piu Delhi dimana kemudian hari kota ini dikenal dengan nama

Pidolidi daerah Mandailing (didekat Kota Panyabungan yang sekarang). Terbukti

terdapat candi-candi purba pada waktu silam didaerah Pidoli tetapi hancur oleh

pasukan islam dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol ratusan tahun yang lalu.

Masyarakat Mandailing digolongkan kedalam kelompok Proto Melayu

(Melayu Tua), yang mempunyai persamaan dengan Suku Toba, Simalungun,

Karo, dan Pakpak-Dairi. Adapun persamaan itu bisa dilihat pada bahasa dan

adat-istiadatnya. Kelompok Proto ini berasal dari Tiongkok Selatan, dan berpindah di

wilayah Indonesia yang kemungkinan terjadi pada abad 7 atau ke 8 SM. Dan dari

cici-ciri khas bentuk fisik dan temperamen, bahwa nenek moyang suku-suku

(11)

Apa yang telah diuraikan baik pendapat Dada Meuraxa, Emilkam

Tambunan, Slamet Mulyana sudah tersusun di dalam buku Z. Pangaduan Lubis

berjudul Kisah Asal-usul Mandailing(1986:6-10) Dengan pejabarannya yang luas

dan yang berhubungan antara satu dengan yang lain dan berdasarkan

metode-metode yang absah kiranya dapat dicatat bahwa asal usul nama Mandailing yang

murni sudah terbuka lebar, untuk mengungkapkan dan membuktikan kembali

nama Mandailing yang harum semenjak dari ribuan yang silam.

2.4 Sistem Religi dan Agama

Pada masa sekarang ini masyarakat Mandailing umumnya menganut

agama Islam. Ada pula yang menganut agama Kristen. Nenek moyang mereka

sebelum masuknya agama Islam maupun Kristen masih mempercayai animisme

atau dikenal dengan Pelebegu (suatu pemujaan terhadap roh nenek moyang).

Ajaran religi tersebut mengakui adanya bermacam makhlus halus dan

kekuatan-kekuatan gaib yang dapat menimbulkan pengaruh buruk, misalnya penyakit dan

mala petaka atas diri manusia (Parlaungan Ritonga 1997:10).

Di dalam pelaksanaan upacara ritual (animisme), biasanya dipimpin oleh

seorang yang sudah ahli ilmu gaib dan bukan orang sembarangan. Orang itu

adalah orang yang mengetahui tentang doa-doa yang harus disampaikan kepada

leluhurnya atau disebut dengan Si Baso. Nenek moyang orang Mandailing masa

animisme dahulu mempercayai Si Baso sebagai perantara komunikasi dengan

roh-roh nenek moyang yang dapat turun ke bumi dengan memberi berkah atau

sebaliknya.

Sistem animisme ini mulai terhapus sekitar tahun 1820 sejak agama Islam

(12)

yang dibawa langsung oleh Kaum Padri ini adalah ajaran Agama Islam aliran

Wahabiah, yang dipandang “keras” dalam masalah bid’ah. Mereka tidak

kompromi dengan masyarakat dan pemuka adat Mandailing. Siapa saja yang tidak

mau masuk ke agama Islam akan menjadi budak kepada Kaum Padri.

Lama-kelamaan masyarakat Mandailing menerima agama Islam, dan akhirnya agama

Islam menjadi berkembang di seluruh daerah Mandailing.

Setalah Masyarakat Mandailing memeluk agama Islam, membawa

pengaruh terhadap upacara-upacara animisme. Karena agama Islam melarang

setiap kaumnya berhubungan dengan roh-roh yang dipuja pada upacara ritual

tersebut, karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Sekitar tahun 1839 agama Kristen mulai masuk ke daerah Mandailing

yang dibawa oleh para pendeta. Masyarakat Mandailing tidak banyak yang

menganut agama Kristen karena telah terlebih dahulu menganut agama Islam.

2.5 Bahasa

Bahasa Mandailing merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang

dipergunakan oleh suku Batak Mandailing yang sebagaimana bahasa tersebut

dapat dipakai didaerah Mandailing maupun daerah perantauan yang digunakan

sebagai media komunikasi diantara sesama Etnis Mandailing. Menurut H.

Pandapotan Nasution (2005:14-15) mengungkapkan bahwa sesuai pemakainya

bahasa Mandailing terdiri dari 5 tingkatan, yaitu sebagai bertikut.

1. Bahasa adat(bahasa pada waktu upacara adat),

2. Bahasa andung(bahasa waktu bersedih),

3. Bahasa parkapur(bahasa ketika di hutan),

(13)

5. Bahasa bura(bahasa waktu marah atau kasar).

Pertuturan bahasa Mandailing masih dipergunakan pada saat tertentu,

misalnya dalam upacara peradatan, arisan, perkumpulan keluarga, atau

perkumpulan marga, dan lainnya. Walau demikian, bahasa Mandailing tentu saja

akan mengikuti perubahan dan kontinuitas kebudayaan yang dipengaruhi oleh

kebudayaan di sekitarnya, nusantara, dan dunia.

2.6 Sistem Kekerabatan Masyarakat Mandailing

Sistem kekerabatan adat istiadat Mandailing masih memegang pada adat

istiadat yang disebut dengan markoum marsisolkot. Adat-istiadat ini sudah

disempurnakan atas pihak-pihak yang untuk dapat disatukan menjadi hidup

berdampingan rukun dan damai. Karena dari arti dan makna markaoum adalah

berkaum atau famili dekat. Meskipun ia dari orang yang jauh atau orang yang

tidak perna dikenal. Sedangkan marsisolkot artinya mendekatkan yang sudah

dekat, artinya masih satu marga atau suku dari satu nenek moyang.

Adat-istiadat markoum masrsisolkotdi Mandailing sudah disepakati untuk

dipakai kepada masyarakatnya, baik dalam upacara siriaon (upacara suka cita)

ataupun upacara siluluton (upacara duka cita). Dikatakan bahwa adat-istiadat yang

berdasarkan markoum marsisolkot yang tertuang dalam beberapa lembaga adat

yaitu: (1) patik, (2) ugari, (3) uhum,dan (4)hapantunon.

Patik adalah peraturan adat yang tidak boleh dilanggar, jika dilanggar akan

dihukum, sebagaiman patik sebagai peraturan yang dipakai untuk pedoman agar

semua kegiatan dalam kehidupan dapat menciptakan kasih sayang , atau tidak

(14)

kebiasaan yang diangkat seperti peraturan. Jadi adat kebiasaan yang diadatkan

dari suatu daerah tidak merusak adat.

Selanjutnya uhum adalah sanksi hukum terhadap perlanggaran atas

peraturan seperti patik, ugari, dan hapantunon. Uhumatau sanksi pelanggaran itu

bertingkat-tingkat mulai dari teguran, denda, pasung, diusir dari kampong, dan

kepada hukuman mati.

Hapantunon adalah salah satu adat istiadat yang bertujuan memperhalus

hubungan manusia atau dengan manusia yang lain. Hapantunon memberikan

kepada masyarakat maupun keluarga yang mempelajari etika pergaulan ataupun

etika dalam bergaul sehari-hari atau dalam ikatan keluarga di dalam pertuturon.

Adat-istiadat markaoum marsisolkot ini belakang hari dikatakan orang

juga sebagai dalihan na tolu . Dalihan artinya batu tungku, dan na toluartinya

yang tiga, maksudnya ketiga batu ini menjujung satu wadah atau satu adat. Yakni

tiga unsur kelompok yang berbeda menjujung satu wadah adat Mandailing, yang

terdiri dari kahanggi, anak boru, dan mora. Kahanggi adalah kelompok yang

terdiri dari pihak kita sendiri yang bersaudara kandung dan ditambah dengan

kelompok yang sesame satu marga. Unsur kahanggi juga termasuk saama-saibu

(seayah dan seibu), saompu (satu nenek), saparaman (satu bapak), sabana

(seketurunan), sapangupaan(kakek bersaudara kandung), dan sakahanggi

(orang-orang satu marga dalam satu kampung).

Anak Boru adalah tempat pemberian anak-anak gadis dari kelompok kita

tadi. Atau kelompok kerabat yang menerima anak gadis dari pihak mora. Dan

biasanya pihak keluarga anak boru hormat kepada pihak moranya. Di sisi lain,

mora adalah kelompok saudara-saudara dari istri-istri dari pihak kita atau tempat

(15)

Dari hasil keputusan musyawarah dari ketiga kelompok inilah atau dari

pihak kahanggi, anak boru, danmoraterciptanya adat Mandailing yang dikatakan

adat markoum marsisolkot. Apabila salah satu kelompok diantaranya tidak diikut

sertakan, maka upacara adat Mandailing yang berdasarkan adat-istiadat markoum

marsisolkottidak tercipta, atau dengan perkataan lain dibatalkan sama sekali.

Di Mandailing menganut Marga yang diturunkan melalui dari marga ayah

atau disebut dengan patrilineal. Orang-orang yang atau garis keturunan patrilineal

ini di daerah Mandailing dikelompokan menjadi marga yang dimaksud sama

dengan clan. Adapun marga yang terdapat di Mandailing yaitu (a) Nasution, (b)

Lubis, (c) Pulungan, (d) Rangkuti, (e) Batu Bara, (f) Dulae, (g) Matondang, (h)

Parinduri, dan (i) Hasibuan. Marga Lubis dan Nasution merupakan marga yang

paling banyak jumlah warganya di daerah Mandailing.

Setiap anggota masyarakat yang mempunyai marga, akan meletakkan

nama marganya di belakang marga sendiri. Karena hal ini merupakan suatu tradisi

yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat Mandailing sejak dahulu.

Marga adalah suatu yang memiliki nilai-nilai solidaritas di dalam keluarga

maupun di masyarakat. Orang-orang yang semarga dianggap bersaudara atau satu

keturunan yang disebut markahanggi.

Sistim kekerabatan lain yang luas dari marga juga terdapat pada

masyarakat Mandailing. Sistim kekerabatan ini didasari oleh adanya suatu ikatan

darah dan ikatan perkawinan antara anggota kelompok marga yang ada pada

masyarakat. Ikatan darah dan perkawinan inilah yang melahirkan sistim sosial

(16)

2.7 Kesenian

Masyarakat Mandailing sudah mengenal kesenian sejak zaman dahulu,

seni musik yang hidup pada saat itu sangat berkaitannya dengan sistim

kepercayaan lama atau dengan Pelebegu(menyembah roh nenek moyang). Setiap

melakukan upacara ritual atau keagamaan pada masa itu, musik digunakan

sebagai perantaraan dalam upacara. Di dalam kehidupan masyarakat Mandailing

pada masa pra-Islam, musik merupakan bahagian yang tidak dapat dipisahkan dari

kegiatan keagamaan (religi) dan upacara-upacara adat, baik itu upacara yang

bersifat suka cita yang dinamakan siriaon, ataupun upacara adat siluluton, yaitu

upacara adat duka cita.

Sistim kepercayaan animisme yang dikenal dengan pele begu tersebut

menempatkan musik (yang dipergunakan untuk upacara religi) pada kedudukan

yang tinggi. Seperti penjelasan yang dibuat oleh koentjaraningrat bahwa : hal itu

disebabkan karena suara, nyanyian dan musik, merupakan suatu unsure yang

sangat penting dalam upcara keagamaan sebagai hal yang biasa menambah

suasana keramat atau sakral (Koentjaraningrat 1980:245).

Dalam tradisi di Mandailing pada masa pra-Islam pemujaan itu selalu

menggunakan seorang perantara yang dinamakan Si Baso. Sedangkan

bunyi-bunyian suci diperkirakan adalah ensambel gondang maupun gordang. Di sisi

lain, pemain musik yang ahli pada masa itu dinamakan datu peruning-uningan

atau datu pargondang. Hal ini karena dipercayai mereka belajar bermain musik

bukan dari manusia, melainkan dari begu. Yang secara khusus pula begu

memberikan irama-irama gondangkepada datu paruning-uningan. Setelah masuk

dan berkembangnya agama Islam di daerah Mandailing, penggunaan musik yang

(17)

hal itu sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam. Misalnya tradisi

mangandung (meratap di hadapan jenazah) yang dilakukan pada upacara adat

siluluton (duka cita). Mangandung pada adat siluluton adalah suatu perbuatan

yang tidak diperkenankan yang tidak sesaui dengan kaidah ajaran Islam.

Dalam bentuk nyanyian biasanya masyarakat dibawakan secara solo.

Misalnya jenis nyanyian ungut-ungut. Nyanyian ini sering dibawakan oleh anak

muda (meskipun siapa saja boleh membawakannya) sebagai nyanyian pelipur lara

yang melukiskan tentang rasa duka dalam hal percintaan, dan dinyanyikan tidak di

depan umum atau secara tertutup hanya secara pribadi.

Masyarakat Mandailing, terutama ibu-ibu rumah tangga ataupun

anak-anak gadis bila hendak menidurkan anak-anak bayi biasanya akan dibawakan nyanyian

khusus yang dinamakan bue-bue. Sambil membuei si bayi, ibunya ataupun

anak-anak gadis akan mendendangkan nyanyian nyanyian agar buah hatinya tertidur.

Tradisi bernyanyi seperti ini jarang hampir tidak dipergunakan oleh masyarakat

terutama ibu rumah tangga. Hal ini disebabkan perkembangan zaman yang

berubah ubah.

Secara khusus masyarakat Mandailing menggunakan istilah ende untuk

menyebutkan segala jenis nyanyian atau seni vokal yang terdapat pada masyarakat

tersebut. Walaupun pada tiap nyanyian yang dibawakan oleh masyarakat yang

mempunyai fungsi berbeda-beda seperti contoh di atas.

Adapun jenis alat musik di masyarakat Mandailing yang sumber bunyinya

dari udara yang disebut dengan aerofon, yaitu (a) tulila, merupakan alat musik

tiup yang digunakan oleh para anak-anak muda untuk memikat anak gadis yang

dilakukan pada malam hari. Sang pemuda mendatangi rumah si gadis untuk

(18)

(b) uyup-uyup, merupakan alat musik tiup yang ter buat dari batang padi.

Digunakan oleh para pemuda sebagai hiburan di sawah-sawah, dan tidak jarang

pula untuk menarik perhatian oleh para gadis-gadis. (c) ole-ole atau olang-olang

yang merupakan alat musik tiup ini terdapat lilitan daun kelapa yang berbentuk

corong dan berfungsi untuk memperbesar suara. (d) suling, yang terbuat dari

bambu dan digunakan untuk hiburan (e) sordam. Merupakan alat musik bambu.

Alat musik ini kegunaannya sama dengan suling yang dilakukan di tempat

bernaungan seperti di bawah-bawah pohon.

Jenis alat musik membranofon yang sumber bunyi berasal dari kulit atau

membran yaitu: (a) gondang dua. Ensambel ini juga dinamakan gondang boru.

Alat musik ini terdiri dari dua buah gondang. Keduanya memliki ukuran dan

bentuk yang sama dan kegunaan gondang dua atau gondang boru ini digunakan

pada upacara adat siriaon(suka cita) misalnya perkawinan yang berfungsi untuk

menjemput pengantin perempuan, dan upacara siluluton (duka cita) misalnya

upacara kematian. (b) gordang tano, gordang tanoh ini terbuat dari tanah yang

dikorek kemudian ditutup dengan papan dan dibuat tiang penyangga yang

fungsinya untuk mengikat rotan. Rotan inilah yang dipukul untuk menghasilkan

bunyi. Gordang tano digunakan uttuk menurunnkan hujan, tetapi pada saat

sekarang sudah sulit untuk ditemui. (c) gordang sambilan, endambel ini terdiri

dari sembilan buah gordang yang bentuknya panjang dan besar dengan ukuran

yang berbeda-beda. Nama-nama gordang ini tidak sama di wilayah Madailing

seperti di daerah Pakantan, Huta Pungkut, dan Tamiang.Untuk sepasang gordang

yang paling besar di daerah Pakantan disebut : jangat (1,2), hudong-kudong (3,4),

panduai (5,6), patolu (7,8) dan enek-enek (9), sedangkan di daerah Hutapungkut

(19)

siangkaan, (2) jangat silitonga , dan (3) jangat sianggian, (4,5) pangaloi, (6,7)

paniga, (8) hudong-kudong, (9) teke-teke (Hutapungkut), eneng-eneng (Tamiang).

Gordang Sambilanterbuat dari pohon ingultetapi pada saat sekarang tidak jarang

memakai batang pohon kelapa karena pohon ingul sulit ditemukan. Untuk

membrannya yaitu kulit lembu yang diikat dengan rotan yang besarnya jari

kelingking orang dewasa dan cara memainkannya dipukul dengan sepasang

batang kayu. Gordang Sambilan digunakan di dalam upacara siriaon (suka cita)

misalnya upacara pernikahan, menyambut tamu, memasuki rumah baru, dan

peresmian – peresmian. (d) gordang lima, dipergunakan lima buah gordang yang

memiliki ukuran dan nama yang berbeda-beda. Ukuran yang terbesar bernama

jangat. Kemudian ukuran selanjutnya hudong kudong, ukuran yang ketiga

dinamaka padua, yang keempat adalah patolu, dan yang terkecil adalah

enek-enek. Gordang lima digunakan pada zaman dahulu untuk memohon kepada roh

nenek moyang mereka.

Alat musik Mandailing lainnya yang bersifat kordofon yaitu gondang

bulu, dalam subklasifikasi ziter tabung dan mempunyai dawai yang bersifat

idiokordik. Gondang Buludigunakan untuk menghibur dan mengiringi anak-anak

gadis berlatih tarian tortor.

Jebis kesenian alat musik Mandailing yang sumber bunyinya berasal dari

dirinya sendiri (idiofon) terdiri dari yaitu (a) tali sasayak, (b) ogung jantan(lebih

kecil dari ogung boru), (c) ogung betinaatau ogung boru, (d) doal, (e) momongan

yang terdiri dari (1) pamulusi, (2) panduai, dan (3)panolongi.

Yang sebenanya tortor menurut aslinya bukanlah tarian tetapi sebagai

pelengkap gondang berdasarkan kepada falsafah adat. Tortor yang dilakukan

(20)

2.8 Organisasi Masyarakat Mandailing di Kota Medan

Dari beberapa wilayah penelitian penulis yang tersebar di Kota Medan,

masing-masing wilayah memiliki organisasi masyarakat yang menjadi wadah

persatuan masyarakat oleh aspek-aspek tertentu. Dalam penelitian ini organisasi

masyarakat yang menjadi gambaran mengenai masyarakat Mandailing di Kota

Medan terdapat pada beberapa organisasi masyarakat yang didasarkan oleh

pekumpulan marga maupun asal daerah.

Organisasi masyarakat penting untuk dijelaskan dalam penelitian ini,

karena organisasi masyarakat merupakan perkumpulan bagi masyarakat

Mandailing yang berdomisili di Kota Medan, HIKMA (Himpunan Keluarga Besar

Mandailing) di Kota Medan memiliki beberapa perwakilan, yaitu: Dewan

Pengurus Daerah (DPD) Provinsi Sumatera Utara dan Dewan Pengurus Cabang

(DPC) terdapat di Jln. Letda Sutjono, Medan.

IKANAS (Ikatan Marga Nasution) organisasi masyarakat yang didasarkan

pada marga Nasution, organiasi ini tidak saja beranggotakan marga Nasution

melainkan juga menerima marga lainnya sesuai dengan kontribusi yang diberikan

pada organisasi.

Organisasi lainnya pada umumnya organisasi masyarakat ini berbasiskan

kepada garis keturuan yang didasarkan pada marga ataupun tempat asal (daerah

Mandailing). Dengan demikian, organisasi masyarakat Mandailing ada yang

lebnih umum dan ada pula yang lebih spesifik, berdasar daerah tertentu saja.

2.9 Sitem Pencaharian Masyarakat Mandailing di Kota Medan

Umumnya mata pencaharian masyrakat mandailing di mandaiing adalah

(21)

masyarakat mandailing yang sudah berdomisili di Kota Medan, sistem mata

pencaharian yang mereka kerjakan adalah kebanyakan pegawai negeri maupun

swasta ataupun sebagai pejabat-pejabat lainnya. Misalnya Wali Kota Medan yang

sekarang ini yaitu Drs. Rahudman Harahap. M.M.

Selain itu, ada juga pekerjaan yang dikerjakan masyakat mandailing

sebagai pedagang, pemain musik, atau pekerjaan lainnya seperti supir angkot,

becak dan pengusaha itu semua yang mereka kerjakan untuk mencukupi

kebutuhan kehidupan sehari-hari keluarga mereka. Mereka berupaya untuk

bersaing secara sehat dengan berbagai kelompok etnik lain di Kota Medan, di

berbagai bidang kehidupan, dalam rangka membangun Medan, Sumatera Utara,

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian diketahui bahwa menurut adat Mandailing, pernikahan adalah merupakan persyaratan dari suatu perkawinan menurut hukum agama (Islam). Sebelum Undang-Undang

Fungsi Upacara A’dangang dalam kehidupan masyarakat kawasan adat kajang adalah: (1) Agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengingat orang yang meninngal, (2) Agar

Modernisasi yang terdapat di kota medan menjadi salah satu penyebab perubahan yang terjadi dalam musik pada upacara adat perkawinan batak toba, khususnya di kota medan.. Masuknya

Lokasi penelitian yang terletak di Kecamatan Medan Tembung yang merupakan salah satu daerah kecamatan yang terdapat didalam pemerintahan Kota Medan (Pemko Medan), adapun

Berdasarkan fakta lapangan dan latar belakang keilmuan, penulis memilih judul untuk penelitian ini, sebagai berikut: “Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi

wanita yang nantinya akan digunakan oleh kedua calon mempelai untuk. kehidupan setelah masa

Judul skripsi ini adalah ―Struktur Upacara Perkawinan Masyarakat Tionghoa Suku Hakka di Kota Medan‖.. Skripsi ini menganalisis struktur upacara perkawinan masyarakat

Dari hasil penelitian diketahui bahwa menurut adat Mandailing, pernikahan adalah merupakan persyaratan dari suatu perkawinan menurut hukum agama (Islam). Sebelum Undang-Undang