• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL ILMIAH MAKSITEK ISSN Vol. 5 No. 3 September 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL ILMIAH MAKSITEK ISSN Vol. 5 No. 3 September 2020"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

68

AKIBAT HUKUM TERHADAP WAJIB PAJAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN DITINJAU DARI UU NO. 28 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

NIRWANA DEWI HARAHAP STIE ITMI MEDAN

ABSTRACT

Corporations in this case can be used as a means to commit criminal acts. One of the supporters of national income is from tax receipts that account for about 70% of all state revenues. Taxes have a very vital role in a country, without a state living tax will not be able to go well. Infrastructure development, education costs, health costs, fuel subsidies, payments for state employees and the construction of public facilities are all tax-funded. Taxes have normative and historical significance. Normatively, taxes have a legal basis to apply to all citizens and are coercive. Violators of taxes may be subject to legal sanctions. Historically, the understanding and application of taxes followed the development of the history of human civilization. At first, the tax was understood to be very simple and managed simply as well. As human needs grow and science and technology (SCIENCE) advances, tax variations become more diverse as well as more sophisticated management, making it easier for people to pay taxes. A historical approach is indispensable to understanding the current existence (positioning) of taxes. This is necessary for everyone to know that the existence of taxes (in the sense of levies) has been around since humans started grouping and making social bonds.

Keywords : Legal Consequences, Taxpayers, Tax Crimes

PENDAHULUAN Latar Belakang

Sebagai negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, pembangunan menjadi hakekat dalam memoderenisasikan segala bidang kehidupan. Pada hakekarnya, pembanguran nasional adalah suatu tujuan nasional untuk membangun manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila sebagai falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, pembangunan nasional akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan di segala bidang, antara lain bidang ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.lPembangunan nasional memerlukan dana yang besar dan

rencana yang mantap, tanpa didukung dengan dana yang besar, baik dana yang bersumber dari penerimaan dalam negeri ataupun dana yang bersumber dari penerimaan luar negeri. Sumber dana yang diperoleh guna membiayai pembangunan bagi negara kita adalah sebagian besar dari sektor pajak. Untuk itu perlu ditingkatkan profesionalisme dalam menqolah dana di bidang perpajakan. Kewajiban sebagai kewajiban kenegaraan pada hakikatnya menempatkan wajib pajak mengutamakan kewajibannya daripada menuntut hak-haknya bahkan kalau dikaitkan dengan pengamalan Pancasila maka seorang warga negara atau Wajib Pajak harus nenempatkan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan serta rela berkorban untuk kepentingan bangsa. Menurut Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP), Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Salah satu penopang pendapatan nasional yaitu berasal dari penerimaan pajak yang menyumbang sekitar 70% dari seluruh penerimaan negara. Pajak memiliki peran yang sangat vital dalam sebuah negara, tanpa pajak kehidupan negara tidak akan bisa berjalan dengan baik. Pembangunan infrastruktur, biaya pendidikan, biaya kesehatan, subsidi bahan bakar minyak (BBM), pembayaran para pegawai negara dan pembangunan fasilitas publik semua dibiayai dari pajak. Ruang lingkup Pajak dalam Negeri antara lain adalah semua penerimaan negara yang berasal dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai barang dan jasa, Pajak Penjualan atas Barang Mewah,

(2)

69

Pajak Bumi dan Bangunan, Cukai, dan Pendapatan Pajak Lainnya, sedangkan ruang lingkup Pajak Perdagangan Intemasional terdiri atas semua penerimaan negara yang berasal dari Pendapatan Bea Masuk dan Pendapatan Bea Keluar. Munawir menjelaskan tentang status dan posisi pajak dalam konteks saat ini, yaitu: "pajak merupakan iuran wajib dan pemungutannya didasarkan undang-undang sehingga pelaksanaannya dapat dipaksakan yang berarti bahwa barang siapa (wajib pajak) tidak atau tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, terhadap mereka dapat dipaksa untuk memenuhi kewajiban tersebut melalui surat peringatan, surat teguran, dikenakan sanksi administrasi (bunga dan denda), termasuk penyitaan terhadap kekayaan Wajib Pajak dan dapat dengan pidana penjara". Pajak mengandung arti normatif dan historis. Secara normatif, pajak memiliki dasar hukum untuk diterapkan kepada seluruh warga negara dan bersifat memaksa. Pelanggar atas pajak dapat dikenakan sanksi hukum. Secara historis, pemahaman dan penerapan pajak mengikuti perkembangan sejarah peradaban manusia. Pada awalnya, pajak dipahami sangat sederhana dan dikelola secara sederhana pula. Ketika kebutuhan manusia semakin berkembang dan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) semakin maju, maka variasi pajak semakin beragam demikian pula pengelolaannya yang semakin canggih, sehingga memudahkan masyarakat membayar pajak. Pendekatan sejarah sangat diperlukan untuk memahami keberadaan (positioning) pajak saat ini. Hal ini diperlukan agar setiap orang mengetahui bahwa keberadaan pajak (dalam arti pungutan) sudah ada sejak manusia mulai berkelompok dan membuat ikatan-ikatan sosial. Pendekatan sejarah pajak juga dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan pajak di masa depan. Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bemegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2007 Pasal 1 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah sebuah konstribusi wajib kepada negara yang terhutang oleh setiap orang ataupun badan yang bersifat memaksa, tetapi tetap berdasarkan dengan Undang Undang dan tidak mendapat imblaan secara langsung serta digunakan guna kebutuhan negara dan kemakmuran rakyat. Kata-kata "bersifat memaksa" dan "tidak mendapatkan imbalan secara langsung" yang ada dalam definisi tersebut, menunjukkan ketidaksimetrisan hubungan antara Negara dan masyarakat (dalam hal ini pembayar pajak). Padahal saat ini wacana untuk mengkonstruksi ulang definisi pajak semakin kuat, khususnya terkait dengan "kontraprestasi" atau Imbalan yang harus diberikan Negara atas pajak yang sudah dibayar oleh pembayar pajak. Rekonstruksi ini tidak dimaksudkan untuk mengaburkan perbedaan antara pajak dan retribusi (charges atau fees), namun untuk meminimalkan hubungan yang asimetris antara Negara dan masyarakat (pembayar pajak) serta terbangunnya sinergi positif yang dilandasi oleh kepatuhan tanpa keterpaksaan / yang bersifat sukarela (voluntary tax compliance). Sedangkan, menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., pajak ialah iuran rakyat kepada negaranya berdasarkan Undang-Undang atau peralihan kekayaan dari sektor swasta kepada sektor publik yang bisa dipaksakan dan yang langsung dapat ditunjuk serta digunakan untuk membiayai kebutuhan atau kepentinganumum. Dalam memungut suatu pajak, terdapat asas asas atau prinsip prinsip yang haras diperhatikan dalam sistem pemungutan pajak. Mansury menyatakan bahwa dari pengalaman temyata, bahwa apabila tidak setiap ketentuan rancangan Undang - Undang pada saat penyusunannya selalu diuji apakah sejalan tidaknya dengan tujuan dan asas yang haras dipegang teguh, ketentuan tersebut mudah sekali mengatur sesuatu yang sebenaraya tidak sejalan dengan asas yang haras dipegang teguh. Dasar pijakan penentuan sasaran-sasaran reformasi tersebut tidak lain adalah asas-asas perpajakan yaitu revenue productivity, equity/equality, dan ease of administration. Sebagai dasar berpijak, sudah seharusnya ketiga asas-asas perpajakan itu dipegang teguh dan dijaga keseimbangannya agar tercapai sistem perpajakan yang baik, sebagaimana dikemukakan oleh Guru Besar Perpajakan FISIP Universitas Indonesia, Mansury bahwa Itulah tiga asas yang seharusnya dipegang teguh sistem PPh kita yang seimbang memerhatikan semua kepentingan. The Revenue

Adequacy Principle adalah kepentingan Pemerintah, the Equity Principle adalah kepentingan masyarakat dan the Equity Principle adalah kepentingan masyarakat dan the Certainty Principle adalah untuk kepentingan Pemerintah dan

Masyarakat. Tujuan dan fungsi kewajiban membayar pajak dalam rangka menunjang penerimaan negara untuk kepentingan bangsa guna membiayai pembangunan. Dengan kata lain, kerelaan berkorban demi kepentingan bangsa direfleksikan dengan kerelaan melepaskan sejumlah uang untuk memenuhi kewajiban perpajakan demi kelangsungan secara berkesinambungan. Kesadaran membayar pajak sangat tergantung demi kesadaran hukum masing-masing Wajib Pajak. Kesadaran hukum yang demikian memang dibutuhkan dalam rangka pembangunan nasional dan upaya penegakan hukum yang sejalan dengan salah satu asas dalam pembangunan nasional. Di samping itu, Wajib Pajak juga telah diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, serta melaporkan kewajiban perpajakannya sendiri sesuai dengan asas self assessment system yang dianut dalam aturan perpajakan Indonesia dalam Pasal 22 KUP.Sistem

(3)

70 pemungutan pajak, terbagi atas : u

1. Official Assessment System

Dalam sistem ini pemerintah atau fiskus yang mempunyai wewenang untuk menentukan besarnya pajak terhutang sehingga Wajib Pajak bersifat pasif karena utang pajak baru timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

2. Self Assessment System

Dalam sistem ini Wajib Pajak bersikap aktif karena diberikan wewenang oleh fiskus untuk menghitung, menyetor atau membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar atau terhutang. Fiskus hanya mengawasi.

3. Witholding Tax System

Dalam sistem ini pihak ketiga atau pemberi penghasilan diberikan wewenang oleh fiskus untuk melakukan pemungutan dan atau pemotongan pajak kepada pihak lain yang menerima penghasilan, sebesar jumlah pajak yang terhutang.

Indonesia menerapkan ketiga sistem tersebut. Official assessment system diterapkan dalam hal pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dimana Kantor Pelayanan Pajak (KPP) akan mengeluarkan surat ketetapan pajak mengenai besamya PBB yang terhutang setiap tahun. Jadi Wajib Pajak tidak perlu menghitung sendiri, tapi cukup membayar PBB berdasarkan Surat Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan oleh KPP dimana tempat objek pajak tersebut terdaftar. Self assessment system diterapkan dalam penyampaian SPT Tahunan PPh (Pajak Penghasilan) baik untuk Wajib Pajak Badan maupun Wajib Pajak Orang Pribadi, dan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sedangkan, withholding

tax system diterapkan dalam mekanisme pemotongan/pemungutan sesuai PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh

Pasal 26, PPh Final Pasal 4 Ayat (2), PPh Pasal 15, dan PPN. Sebagai bukti atas pelunasan pajak ini biasanya berupa bukti potong atau bukti pungut. Dalam kasus tertentu ada juga yang berupa Surat Setoran Pajak (SSP). Bukti-bukti pemotongan ini nanti dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN dari Wajib Pajak yang bersangkutan. Hukum pajak merupakan landasan kerja bagi pemerintah yang mempunyai peranan yang sangat dominan dan penting sebab inti hakikat hukum administrasi Negara menurut Sjachran Basah adalah dimungkinkan administrasi Negara (pemerintah) untuk menjalankan fungsinya dan melindugi warga (termasuk wajib pajak) terhadap sikap tindak administrasi Negara (dalam arti mengatur kehidupan warganya dalam mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang menimbulkan akibat hukum bagi obyek yang diaturnya) serta melindungi pemerintah itu sendiri. Hukum pajak adalah bagian dari hukum publik, dan ini adalah bagian dari tata tertib hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dengan warganya atau yang memuat cara-cara untuk mengatur pemerintahan. Hukum pajak mempunyai tugas yang bersifat lain daripada hukum administrasi pada umumnya, yaitu hukum pajak juga digunakan sebagai alat untuk menentukan politik pereknomian. Hukum pajak umumnya mempunyai tata tertib dan istilah tersendiri untuk lapangan pekerjaannya. Hal itulah yang menyebabkan hukum pajak berdiri sendiri dalam hukum public, tidak menjadi bagian hukum administrasi Negara. Beberapa pengertian penghindaran pajak yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah :

a. Menurut Harry Graham Baiter, penghindaran pajak merupakan usaha yang sama yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan perpajakan.

b. Menurut Ernest R. Mortenson, penghindaran pajak berkenaan dengan pengaturan suatu peristiwa sedemikian rupa untuk meminimkan atau menghilangkan beban pajak dengan memerhatikan ada atau tidaknya akibat-akibat pajak yang ditimbulkannya. Penghindaran pajak tidak merupakan pelanggaran atas perundang-undangan perpajakan secara etik tidak dianggap salah dalam rangka usaha wajib pajak untuk mengurangi, menghindari, meminimkan, atau meringankan beban pajak dengan cara yang dimungkingkan oleh Undang-Undang Pajak.

c. Menurut Robert H. Anderson, penghindaran pajak adalah cara mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dapat dibenarkan terutama melalui perencanaan perpajakan.

Penghindaran pajak adalah harnbatan-harnbatan yang terjadi dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara. penghindaran pajak (tax avoidance) selalu diartikan sebagai kegiatan yang legal, misalnya meminimalkan beban pajak tanpa melawan ketentuan perpajakan dan penyeludupan pajak (tax evasion atau tax

(4)

71

fraud) diartikan sebagai kegiatan yang ilegal, misalnya meminimalkan beban pajak dengan memanipulasi pembukuan.

Penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak, khususnya badan dalam bentuk tax avoidance, memang dimungkinkan atau dalam hal ini tidak bertentangan dengan undang-undang atau ketentuan hukum yang berlaku, karena dianggap praktik-praktik yang berhubungan dengan tax avoidance lebih kepada pemanfaatan lubang-lubang atau celah-celah atau bisa juga kekosongan-kekosongan dalam undang-undang perpajakan. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak tidak bisa berbuat apa-apa melakukan penuntutan secara hukum, meskipun praktek tax avoidance ini akan mempengaruhi penerimaan negara dari sektor pajak. Praktik tax avoidance ini sebenarnya suatu dilema bagi pemerintah, karena Wajib Pajak memnimalisir jumlah pajak yang harus dibayar, tetapi dilakukan dengan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dalam praktik perpajakan di Indonesia tidak semua wajib pajak mematuhi persis apa yang diperintahkan dalam UU KUP.

Di era globalisasi ini, dengan adanya kemajuan di bidang keuangan.ekonomi, maupun keuangan memberikan kemungkinan untuk terjadinya tindak pidana yang terorganisir sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa subjek hukum pidana tidak hanya sebatas pada manusia saja akan tetapi, juga mencakup korporasi yang menurut hukum pidana adalah sekumpulan orang yang terorganisasi dari orang atau kekayaan, baik merupakan badan hukum (legal person) maupun badan hukum. Korporasi dalam hal ini dapat dijadikan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana.

TINJAUAN PUSTAKA

W.L.G Lemaire memberikan pengertian mengenai hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan laranganlarangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu hal keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. Dengan demikian Hukum Pidana diartikan sebagai suatu ketentuan hukum/undang-undang yang menentukan perbuatan yang dilarang/pantang untuk dilakukan dan ancaman sanksi terhadap pelanggaran larangan tersebut. Banyak ahli berpendapat bahwa Hukum Pidana menempati tempat tersendiri dalam sistemik hukum, hal ini disebabkan karena hukum pidana tidak menempatkan norma tersendiri, akan tetapi memperkuat norma-norma di bidang hukum lain dengan menetapkan ancaman sanksi atas pelanggaran norma-norma di bidang hukum lain tersebut. Menurut E.Utrecht, tindak pidana dengan isilah peristiwa pidana yang ser ing juga ia sebut delik, kar ena per istiwa itu suatu pe r buatan {handelen atau doen positif) atau suatu melalaikan (natalen-nogatif), maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu).

Menurut Sudarto, tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah "perbuatan jahat" atau "kejahatan" (crime atau Verbrechen atau misdactd) yang bisa diartikan secara yuridis atau hukum atau secara kriminologis. Istilah tindak pidana sering dipakai untuk menggantikan strafbaar feit. "Perkataan feit itu sendiri di dalam Bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een gedelte van de werkelijkheid, sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak kita akan ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan perbuatan ataupun tindakan".Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut :

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subyektif.

Adanya aturan-aturan yang bersifat mengatur dan memaksa anggota masyarakat untuk patuh dan menaatinya, akan meyebabkan terjadinya keseimbangan dan kedamaian dalam kehidupan mereka. Para pakar hukum pidana mengutarakan bahwa tujuan hukum pidana adalah pertama, untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan (preventif). Kedua, untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabi'atnya (represif). Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan hukum pidana di Indonesia harus sesuai

(5)

72

dengan falsafah Pancasila yang mampu membawa kepentingan yang adil bagi seluruh warga negara. Dengan demikian hukum pidana di Indonesia adalah mengayomi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan hukum pidana dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :

1. Tujuan Hukum Pidana Sebagai Hukum Sanksi.

Tujuan ini bersifat konseptual atau filsafati yang bertujuan member dasar adanya sanksi pidana. Jenis bentuk dan sanksi pidana dan sekaligus sebagai parameter dalam menyelesaikan pelanggaran pidana. Tujuan ini biasanya tidak tertulis dalam pasal hukum pidana tapi bisa dibaca dari semua ketentuan hukum pidana atau dalam penjelasan umum.

2. Tujuan Dalam Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Orang Yang Melanggar Hukum Pidana.

Tujuan ini bercorak pragmatik dengan ukuran yang jelas dan konkret yang relevan dengan problem yang muncul akibat adanya pelanggaran hukum pidana dan orang yang melakukan pelanggaran hukum pidana. Tujuan ini merupakan perwujudan dari tujuan pertama.

Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti

{vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan

mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya. Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi: "Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana".

Menurut Moeljatno, bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu :

a. Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiot), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

b. Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.

Tinjauan Umum Wajib Pajak

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 2 mendefinisikan Wajib Pajak adalah Orang Pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan perpajakan. Orang Pribadi merupakan Subjek Pajak yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 , Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa: "Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan

(6)

73

komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negaraatau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap."

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teori Pertanggungjawaban Pidana Tindak Pidana Perpajakan

Roeslan Saleh menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subyektif memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Maksud celaan obyektif adalah bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang memang merupakan suatu perbuatan yang dilarang. Indikatornya adalah perbuatan tersebut melawan hukum baik dalam arti melawan hukum formil maupun melawan hukum materiel. Sedangkan maksud celaan subyektif menunjuk kepada orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tadi. Sekalipun perbuatan yang dilarang telah dilakukan oleh seseorang, namun jika orang tersebut tidak dapat dicela karena pada dirinya tidak terdapat kesalahan, maka pertanggungjawaban pidana tidak mungkin ada. Dalam bahasa lain tapi memiliki esensi yang sama disebutkan oleh Chairul Huda bahwa dasar adanya pidana adalah azas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakekatnya raerupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.68 Khusus terkait celaan obyektif dan celaan subyektif ini, Sudarto

mengatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum (celaan obyektif). Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (celaan subyektif). Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Dalam tindak pidana di bidang perpajakan, yang berpotensi sebagai pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana adalah Wajib Pajak, baik seseorang maupun badan hukum perusahaan yang didalamnya terdapat subyek hukum orang dan badan hukum. Pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana bidang perpajakan terkait dengan adanya pertanggungjawaban pidana dari pelaku tindak pidana bidang perpajakan yang berhubungan dengan suatu wajib pajak Badan Hukum, yakni perusahaan atau korporasi, dimana dalam teori pertanggungjawaban pidana korporasi, dikenal ada dua macam doktrine, yaitu doktrine strict liability (tanggung jawab ketat atau tanggung jawab mutlak) dan doktrine vicarious liability (tanggung jawab pengganti). Namun, karena persoalan pertanggungjawaban korporasi sedapat mungkin harus mempertimbangkan unsur kesalahan, maka sebagaimana dijelaskan oleh Muladi, muncul teori baru yang dipertahankan oleh Viscount Haldane yang dikenal dengan "Theory of primary corporate criminal liability"yang kenudian dikenal dengan sebutan "Identification Theory".

Perkembangan dibidang perpajakan, membawa dampak pada keterlibatan korporasi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam perbuatan perbuatan yang melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian bagi kepentingan orang banyak ataupun negara berupa kerugian negara. Dengan besarnya dampak negatif yang terjadi akibat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi, maka dalam hukum pidana mulai dikenal istilah korporasi sebagai subyek hukum yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya terdapat dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP, termasuk perubahan atas Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Uraian tersebut di atas jika dicermati, maka dalam kaitannya denganterjadinya tindak pidana di bidang Perpajakan, terdapat beberapa bentuk pertanggungjawaban pidana dari pelaku tindak pidana dibidang perpajakan yang meliputi sebagai berikut :

1. Tanggung Jawab Pidana Bagi Wajib Pajak (Perorangan dan Badan Hukum) yang melakukan Tindak Pidana Perpajakan;

(7)

74

2. Tanggung Jawab Pidana Bagi Pegawai / Pejabat Direktorat Jenderal Perpajakan Yang Melakukan Tindak Pidana Perpajakan;

3. Tanggung Jawab Pidana Pihak Ketiga Yang Melakukan Tindak Pidana Perpajakan.

Tanggungjawab tindak pidana perpajakan merupakan tanggung jawab berdasarkan kesalahan {liability based on fault

atau culpability). Wajib Pajak (WP) perorangan secara jujur harus melaksanakan kewajibannya, karena apabila WP

perorangan tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak yang melanggar akan terkena sanksi pidana. Contoh mereka yang dalam hal ini tidak melaksanakan kewajibannya seperti pembangkang, pengemplang pajak, penghindaran pajak, pengelak pajak, tanggung jawab pidana dibidang perpajakan selain oleh WP perorangan, juga oleh WP Badan Hukum (Perseroan, Perusahaan, Kumpulan, Yayasan. Koperasi). Dalam hal tindak pidana perpajakan yang dilakukan korporasi, pertanggungjawaban pidana diberikan terhadap badan hukum atau korporasi, sama seperti yang dilakukan orang perorangan. Akan tetapi ada juga yang mengatakan, bahwa dalam tindak pidana yang dilakukan korporasi, yang bertanggungjawab adalah orang yang berada dalam organisasi badan hukum tersebut, yang bertanggungjawab atas jalannya kegiatan usaha badan hukum tersebut. Sehingga, orang tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan. Berdasarkan teori identifikasi (Identifications Theory), penguruslah yang harus bertanggungjawab ketika suatu korporasi melakukan tindak pidana. Dalam hal ini, berlaku asas societas/universitas delinquare non potest. Artinya korporasi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban, karena tidak bisa dipersalahkan atas pcrbuatan tercela dari pengurus atau karyawannya. Jadi, teori ini tidak diakui dalam pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana dibidang perpajakan Indonesia. Sebab, UU Perubahan Ketiga atas UU KUP menyatakan adanya beberapa pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terjadi tindak pidana di bidang perpajakan yang meliputi :

1. Wajib Pajak orang pribadi atau badan, me liputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan (Pasal 1 ayat (2), Pasal 13 A, 38, 39, 39A, 40);

2. Pegawai/Pejabat (Pasal 34, 36 A ayat (3) dana ayat (4), 41 ayat (1) dan ayat (2);

3. Badan, sekumpulan orang / modal yang merupakan satu kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perusahaan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap (Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 32,38, 39,39 A);

4. Pihak ketiga meliputi, bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, instansi pemerintah, lembaga asosiasi (Pasal 35 dan 35 A); dan

5. Setiap orang yang menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan (Pasal 41 B). Dalam model Vicarious Liability korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab. Maka, yang dipandang sebagai korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Sifat dari perbuatan yang menjadi tindak pidana itu adalah "ompersoomlijk". Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab secara pidana, terlepas apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu. Model ini sudah tidak mempertimbangkan adanya asas kesalahan (mens red) dalam perbuatan pidana untuk dapat dipertanggungjawabkan oleh pengurus suatu korporasi (vicarious liability). Apabila terjadi pelaku tindak pidana perpajakan, model pertanggungjawaban ini dapat berlaku,khususnya pada bentuk tindak pidana perpajakan yang diatur dalam Pasal 38, 39, 39A, 40 dan 41. Sedangkan, dalam model Strict Liability, korporasi yang berbuat dan korporasi yang bertanggungjawab. Jika pengurusnya saja yang dapat dipidana, maka hal itu tidak cukup. Oleh karena itu, sangat mungkin untuk memidanakan korporasi dan pengurus sekaligus. Model pertanggungjawaban ini secara jelas dianut dalam kebijakan pertanggungjawaban terhadap pelaku tindak pidana perpajakan. Jadi, tidak hanya perorangan (pengurus perusahaan) saja yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana, tetapi terhadap perusahaannya pun dapat diminta pertanggungjawaban pidana. Pembenaran atas dianutnya pertanggungjawaban langsung (strict liability) didasarkan atas beberapa hal sebagai berikut :

1. Atas dasar falsafah integralistik, yaitu segala sesuatu hendaknya diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan social;

(8)

75 2. Atas dasar asas kekeluargaan dan gotong royong;

3. Untuk memberantas sukses tanpa aturan (anomie of success); 4. Untuk perlindungan Wajib Pajak;

5. Untuk kemajuan teknologi.

Strict liability digunakan juga karena didasarkan pada pandangan, bahwa secara tegas, perusahaan adalah pelaku fungsional

dan menerima keuntungan dari dilakukannya tindak pidana perpajakan, yang berupa penghindaran perpajakan. Sehingga, apabila tanggungjawab tindak pidana diberikan kepada korporasi saja, maka terhadap pelaku (pengurus) tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi, akan terjadi kekosongan pemidanaan. Oleh karena itu, pertanggungjawaban harus diberlakukan secara bersama (tanggung renteng). Dalam rangka penegakan hukum, perundang-undangan dibidang perpajakan diatur pula mengenai sanksi. Adanya ketentuan sanksi ini untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku baik dilakukan oleh Wajib Pajak, petugas pajak maupun pihak ketiga. Oleh sebab itu dalam rangka mencegah terjadinya kejahatan di bidang perpajakan diperlukan adanya sanksi, sehingga kebocoran dari sektor ini dapat dihindari.

Akibat Hukum Tindak Pidana Perpajakan

Dalam hukum pajak, disamping sanksi administratif terdapat juga sanksi pidana. Sanksi administrasi dijatuhkan untuk pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya ringan. Hukum pidana merupakan ancaman bagi wajib pajak yang ketentuan UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pemberian sanksi dapat berupa sanksi administrasi atau sanksi pidana. Sanksi pidana perpajakan dikenakan melalui proses penyidikan dan penuntutan dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera bagi Wajib Pajak itu sendiri maupun Wajib Pajak yang lain. Penerimaan pajak dalam kegiatan pemeriksaan pajak hanyalah sebagai akibat dari penegakan hukum terhadap Wajib Pajak yang terbukti tidak patuh sehingga tidak tepat jika dijadikan target pemeriksaan pajak maupun sebagai tolak ukur prestasi pemeriksa pajak dan sarana pengawasan kegiatan pemeriksaan pajak. UU KUP menyatakan bahwa pada dasarnya, pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Namun, pemerintah masih memberikan keringanan dalam pemberlakuan sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi Wajib Pajak yang baru pertama kali melanggar ketentuan Pasal 38 UU KUP tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi. Pelanggaran Pasal 38 UU KUP adalah tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara. Hukurn pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan tmdak kejahatan. Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak pelanggaran disebut dengan kealpaan, yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan tindak kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Meski dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terlampaui Jangka waktu ini dihitung sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, berakhimya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Penetapan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun ini disesuaikan dengan daluarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang, yaitu selama 10 (sepuluh) tahun. Dalam UU Perpajakan Indonesia, ketentuan mengenai sanksi pidana pada intinya diatur dalam Bab VIII UU KUP sebagai hukum pajak formal. Namun, dalam UU Perpajakan lainnya, dapat juga diatur sanksi pidana. Sanksi pidana biasanya disertai dengan sanksi administrasi berupa denda, walaupun tidak selalu ada. Berdasarkan Undang Undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang Undang No. 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan dan Undang Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta Undang-undang tentang Bea Meterai dikenal adanya dua sanksi dalam bidang perpajakan yakni sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada negara, khususnya yang merupakan denda, bunga dan kenaikan. Sedang sanksi pidana merupakan suatu alat terakhir atau benteng hukum yang digunakan fiskus agar nornia hukum dipatuhi. Sebagai bagian dari hukum administrasi, Undang Undang pajak lebih banyak mengandung sanksi administrasi dari pada sanksi pidana. Sanksi administrasi merupakan wewenang administrasi pajak dan dijatuhkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, sedangkan sanksi pidana merupakan wewenang pengadilan pidana dan dijatuhkan oleh hakim pidana, bila hakim mempunyai keyakinan bahwa pelaku benar-benar terbukti bersalah melakukan

(9)

76

tindak pidana. Sanksi Administrasi Sanksi administrasi merupakan sejumlah pembayaran kerugian berupa uang kepada negara. Ada tiga macam sanksi administrasi perpajakan yang dapat dikenakan terhadap wajib pajak sesuai dengan undang-undang perpajakan, yakni dalam bentuk denda, bunga dan kenaikan pajak.

Denda administrasi, yaitu :

a. Biia surat pemberitahuan (SPT) tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan, yaitu :

1. Untuk surat pemberitahuan (SPT) masa, selambat-lambatnya dua puluh hari setelah akhir masa pajak. 2. Untuk surat pemberitahuan (SPT) tahunan, selambat-lambatnya tiga bulan setelah akhir tahun pajak. 3. Untuk surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan wajib pajak badan paling lama empat bulan

setelah akhir tahun pajak.

Berdasarkan pasal 7 UU KUP, apabila terjadi keterlambatan maka Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT masa pajak pertambahan nilai, Rp 100.000,00 (Seratus ribu rupiah) untuk SPT masa lainnya Potput, Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk SPT tahunan pajak penghasilan Wajib pajak Badan dan Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT tahunan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi dan SPT Masa Lainnya Potput untuk Badan.

b.Wajib pajak dapat membetulkan SPT atas kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis sesudah masa pajak atau tahun pajak terakhir, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan penyidikan (walaupun telah melakukan pemeriksaan) yaitu dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150 % (seratus lima puluh prosen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.74 Sanksi Administrasi Berupa Bunga terdiri atas :

a. Wajib pajak yang pembayaran pajaknya tidak sesuai dengan ketentuan atau terlambat dibayarkan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % perbulan (Pasal 8 ayat (2, 2a), Pasal 9 ayat (2a,2b), Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (3) UU. No. 28 Tahun 2007.

b. Surat ketetapan pajak kurang bayar masih dibenarkan untuk diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48 % dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar meskipun telah lewat lima tahun, dalam hal wajib pajak dipidana dibidang perpajakan atau tindak pidana lain (Pasal 13 ayat (5), Pasal 15 ayat (4) UU No. 28 Tahun 2007. Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan terdiri atas :

a. Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50 % dari pajak yang kurang dibayar.

b. Dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar :

1. 50% dari pajak penghasilan yang tidak / kurang dibayar dalam satu tahun pajak.

2. 100 % dari pajak penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor.

3. 100 % dari pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah yang tidak atau kurang dibayar.

c. Dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % dari jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan.

Sanksi Pidana Terhadap Wajib Pajak terdiri atas :

a. Karena kealpaannya tidak menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) atau menyampaikan surat pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 A, didenda paling sedikit l(satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

(10)

77

usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; menyalah gunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau pengukuhan pengusaha kena pajak; tidak menyampaikan SPT; menyampaikan SPT dan / atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Ancaman pidana menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana bila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.

c. Setiap orang dengan sengaja menerbitkan dan / atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan / atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak di pidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam)tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan / atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti

pemotongan pajak, dan / atau bukti setoran pajak.

d. Percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalah gunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau pengukuhan pengusaha kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) dan / atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau perkreditan pajak; dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan / atau kompensasi atau perkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan / atau kompensasi atau perkreditan yang dilakukan.Sanksi Pidana Terhadap Pihak Ketiga terdiri atas :

a. Dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

b. Dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

c. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

d. Dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus ribu rupiah).

e. Dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 A ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

f. Dengan sengaja menyalah gunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(11)

78

dapat dilakukan secara penal (hukum pidana) dan non penal (tanpa menggunakan hukum pidana). KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Asas asas dalam sistem pemungutan pajak ditinjau dari Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terdiri dari Asas yuridis, Asas ekonomis, Asas umum dan merata, Asas domisili, Asas Sumber, Asas Kebangsaan, Asas Waktu, Asas Rentabilitas.

2. Jenis tindak pidana perpajakan ditinjau dari Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan suatu perbuatan yang melanggar larangan-larangan atau kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam undang-undang perpajakan, yang menimbulkan kerugian keuangan negara dimana pelakunya diancam dengan hukuman pidana. Tindak Pidana Perpajakan diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, Bab VIII tentang ,,Ketentuan Pidana Pasal 38, 39, 39A, 40,41, 41A, 41B, 41C, 43, 43A .Dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perpajakan, penggolongan atau jenis tindak pidana perpajakan terbagi kedalam tindak pidana perpajakan dalam bentuk pelanggaran (culpa) sebagai perbuatan yang tidak sengaja dan tindak pidana perpajakan dalam bentuk kejahatan (dolus) sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.

3. Berdasarkan Undang Undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang Undang No. 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan dan Undang Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta Undang-undang tentang Bea Materai dikenal adanya dua sanksi dalam bidang perpajakan yakni sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi dalam tindak pidana perpajakan terdiri atas sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi terdiri atas sanksi denda, sanksi bunga, dan sanksi kenaikan yang masing masing atas pengenaannya diatur dalam undang Undang Ketentuan Umum Perpajakan.

Saran

1. Disarankan penentuan suatu perbuatan hukum termasuk ke dalam ranah tindak pidana sebaiknya ditentukan melalui unsur unsur apakah suatu perbuatan termasuk tindak pidana atau tidak.

2. Disarankan Praktik tindak pidana perpajakan berupa penghindaran pajak dan penggelapan pajak merupakan tindakan yang telah lama menjadi masalah terjadi dan masih belum terdapat solusi yang sempurna untuk meminimalisir tindak pidana di bidang perpajakan. Sebaiknya peraturan mengenai pemberian sanksi terhadap hal tersebut dapat diuji kembali agar tidak ada celah yang dapat digunakan para pelaku usaha sebagai alasan untuk melakukan tindakan kejahatan tersebut. Serta dalam menentukan kategori suatu tindakan termasuk ke dalam kategori tindak pidana perpajakan atau tidak maka sebaiknya harus dilihat terlebih dahulu apakah tindakan tersebut telah memenuhi unsur unsure perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana perpajakan.

3. Disarankan sebaiknya pemerintah melakukan sosialisasi terhadap sanksi-sanksi di bidang perpajakan kepada Wajib Pajak baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana untuk menciptakan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi Wajib pajak memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui konsekuensi hukum dari apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan.

DAFTARPUSTAKA

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2001. _____ , Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 1994.

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Bustamar Ayza, Hukum Pajak Indonesia, Depok : Kencana, 2017.

(12)

79

Devano, Sony dan Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan : Konsep, Teori dan Isu, Jakarta: 2006. Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayumedia, 2008. Irawan, Hadi, Pengantar Perpajakan, Malang: Bayu Media, 2003.

Isroah, Perpajakan, Jurusan Pendidikan Akuntasi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta, 2003.

Kanter, E.Y dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002.

Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997. Mahmud Marzuki,Peter, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana. 2006.

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta : Bina Aksara, 1993. _____ , Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 1993.

Prasetyo,Teguh, Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press, 2010.

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2003.

Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak (Kebijakan dan Implementasi di Indonesia) , Jakarta : Raja Grafindo Persada ,2012.

R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, Jakarta : Ind Hill-Co, 1996.

Saleh,Roesian, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar dalam Hukum

Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982.

Referensi

Dokumen terkait

Intergranular corrosion (IGC) adalah bentuk penyerangan terhadap batas butir atau daerah sekitarnya pada material dalam lingkungan korosif tetapi hanya sebagian

Oleh karena itu, sebagai dokter umum harus dapat menguasai cara menilai derajat dan luas luka bakar, serta memberikan terapi pendahuluan untuk menstabilkan kondisi pasien

Kepuasan pelanggan dapat terwujud apabila kualitas pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan sama, atau setidaknya hampir sama dengan apa yang pelanggan harapkan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi morfometri dari Rajungan yang meliputi panjang karapas, lebar karapas, dan berat tubuh serta mengetahui aspek

Berdasarkan hasil uji duncan/uji lanjut dari hasil sidik ragam pengaruh penambahan pupuk kompos terhadap berat basah total tanaman menunjukkan bahwa perlakuan dengan

Untuk berada dalam persaigan tiga besar marketplace di Indonesia, Bukalapak harus tetap melakukan strategi pemasaran di televisi dengan mempertahankan isi iklan, dan

Pukul 23.00 keluarga melaporkeperawatB bahwa sonde pasien terlepas, mendengar hal itu perawat B marah kepada keluarga karena menganggap keluarga tidak bisa menjaga

Kemudian pada tahap kedua, dari setiap kecamatan terpilih, dilakukan pemilihan sampel industri secara sistematik sebanyak 20% dari jumlah industri di tiap kecamatan