• Tidak ada hasil yang ditemukan

Doding Karya Taralamsyah Saragih Analisis Makna Syair dan Struktur Musik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Doding Karya Taralamsyah Saragih Analisis Makna Syair dan Struktur Musik"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

40 2.1 Sejarah Simalungun

Suku Simalungun adalah salah satu suku asli dari Sumatera Utara, Indonesia. Kata Simalungun dapat dibagi ke dalam tiga suku kata yaitu : Si berarti

‘Orang’, Ma sebagai kata sambung berarti ‘yang’ dan Lungun berarti ‘Sunyi, kesepian, jarang dikunjungi’ dengan demikian , Simalungun berarti ‘ia yang bersedih hati, sunyi atau kesepian. Orang Batak Toba menyebutnya

Balungun’sedangkan orang Karo menyebutnya Batak Timur karena bertempat di

sebelah timur mereka (www.kompasiana.com)

Gelombang pertama (Proto Simalungun), diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik.

(2)

Terbentuknya Simalungun, Pada kerajaan Nagur di atas, terdapat beberapa panglima (Raja Goraha) yaitu masing-masing bermarga: Saragih, Sinaga , Purba, Kemudian mereka dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan selanjutnya mendirikan kerajaan-kerajaan: Silou (Purba Tambak), Tanoh Djawa(Sinaga),Raya (Saragih)

Selama abad ke-13 hingga ke-15, kerajaan-kerajaan kecil ini mendapatkan serangan dari kerajaan-kerajaan lain seperti Singasari, Majapahit, Rajendra Chola (India) dan dari Sultan Aceh, Sultan-sultan Melayu hingga Belanda. Selama periode ini, tersebutlah cerita “Hattu ni Sapar” yang melukiskan

kengerian keadaan saat itu di mana kekacauan diikuti oleh merajalelanya penyakit

kolera hingga mereka menyeberangi “Laut Tawar” (sebutan untuk Danau Toba)

untuk mengungsi ke pulau yang dinamakan Samosir yang merupakan kependekan dari Sahali Misir (bahasa Simalungun, artinya sekali pergi). Saat pengungsi ini kembali ke tanah asalnya (huta hasusuran), mereka menemukan daerah Nagur yang sepi, sehingga dinamakanlah daerah kekuasaan kerajaan Nagur itu sebagai Sima-sima ni Lungun, bahasa Simalungun untuk daerah yang sepi, dan lama kelamaan menjadi Simalungun.

Sistem mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan jagung, karena padi adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi. Jual-beli diadakan dengan barter, dalam pengucapan bahasa sehari orang Simalungun mempunyai dialek yang khas yaitu panjang dan mengalir ,hampir menyerupai dialek karo. Selain itu

(3)

2.2 Legenda Asal-Usul Simalungun

Dalam bahasa Simalungun legenda sering juga disebut dengan kata ‘turi-turian’ yang berarti cerita rakyat. Banyak sekali tulisan-tulisan yang mengungkapkan asal-usul suku Simalungun tersebut baik dari segi sejarah, legenda, dan lain-lain. Dari hasil wawancara langsung penulis dengan Haris purba, Simalungun memiliki sejarah antara lain : Secara garis besar, terdapat beberapa fase kerajaan yang pernah berkuasa dan memerintah di Simalungun, fase

itu antara lain adalah fase kerajaan yang dua ‘harajaon na dua’ yakni kerajaan

Nagur yang dipimpin oleh marga Damanik dan Batanghio yang dipimpin oleh

marga Saragih. Berikutnya adalah kerajaan berempat ‘harajaon na opat’ yakni

Kerajaan Siantar yang dipimpin oleh marga Damanik, Panei yang dipimpin oleh marga Purba Dasuha, Silau atau Silou yang dipimpin oleh marga Purba Tambak dan Tanoh Jawa yang dipimpin oleh marga Sinaga. Terakhir adalah fase kerajaan

yang tujuh ‘harajaon na pitu’ yakni: kerajaan Siantar yang dipimpin oleh marga Damanik, Panei yang dipimpin oleh marga Purba Dasuha, Silau atau Silou yang dipimpin oleh marga Purba Tambak, Tanah Jawa yang dipimpin oleh marga Sinaga, Raya yang dipimpin oleh marga Saragih Garingging, Purba yang dipimpin oleh marga Purba Pakpak, dan Silimakuta yang dipimpin oleh marga Purba Girsang.

(4)

Padang-Bedagai dan Hulu Asahan. Kerajaan tua yang lain ialah Batanghio yang terletak di Tanah Jawauri atau Tanah Jawa. Kendati konsepsi raja dan kerajaan di Simalungun masih kabur, akan tetapi, Kroesen (1904:508) mengemukakan bahwa konsep raja dan kerajaan itu berasal dari orang Simalungun itu sendiri sebagai perwujudan otonomi kekuasaan yang lebih tinggi. Bangun dalam Saragih

(2000:310) mengemukakan bahwa kata ‘raja’ berasal dari India yaitu ‘raj’ yang

menggambarkan pengkultusan individu penguasa. Konsep itu terbawa ke Simalungun akibat penetrasi kerajaan Hindu-Jawa seperti Mataram lama pada masa ekspansi ke Sumatera Timur (Tideman,1922:58). Lebih lanjut dikemukakan bahwa pengaruh Hindu di Simalungun dapat diamati langsung dari bentuk peninggalan yang mencerminkan pengaruh Hindu-Jawa. Nama kerajaan Tanoh Djawa setidaknya telah mendukung argumentasi itu Menurut sumber Cina yakni Ying-yai Sheng-ian, pada tahun 1416, kerajaan Nagur (tertulis nakkur) berpusat di Piddie dekat pantai barat Aceh Dikisahkan bahwa raja nagur berperang dengan raja samudra (Pasai) yang menyebabkan gugurnya raja Samudra akibat panah beracun pasukan Nagur. Pemaisuri kerajaan Samudra menuntut balas dan setelah diadakannya sayembara, maka raja Nagur berhasil ditewaskan. Kendati demikian, sejarawan Simalungun sepakat bahwa lokasi ataupun pematang kerajaan Nagur adalah di Pematang Kerasaan sekarang yang berada dekat kota Perdagangan terbukti dengan adanya konstruksi tua bekas kerajaan Nagur.

2.3 Marga-marga Simalungun

(5)

pihak laki-laki atau ayah. Orang yang memiliki marga yang sama adalah berarti sebagai saudara seketurunan sehingga tidak diperbolehkan untuk saling menikah. Marga-marga pada suku Simalungun terdiri atas 4 marga asli, yaitu: Damanik, Purba, Saragih, dan Sinaga

Keempat marga di atas berasal dari marga para Raja-Raja di Simalungun. Selain itu ada juga marga-marga yang berasal dari luar Simalungun yang sejak dahulu ikut menetap di wilayah adat Simalungun, kemudian menjadi sub-bagian dari 4 marga di atas. Bagi pihak perempuan, marga disebut sesudah kata‘boru’(biasa disingkat br.). Apabila perempuan Simalungun (mis: Agnes boru Sinaga), menikah dengan laki-laki bermarga Purba, maka ia akan dipanggil sebagai Agnes Purba boru Sinaga.

Selain itu di dalam perkembanganya marga-marga dalam Simalungun mempunyai cabang dari suku batak lainya, antara lain:

1. Cabang asli Simalungun, yaitu Dadihoyong, Porti, Simaibang, dan Simanjorang.

(6)

Marga Purba mengenal beberapa cabang, yaitu:

a. Cabang asli Simalungun meliputi Tambak, Sidasuha, Sidadolog, Sidagambir, Siborou, Sigumonrong, Silangit, Sihala, Tua, Tanjung, Tondang, Tambun Saribu, dll

b. Cabang dari Pakpak, yaitu Pakpak (dari Tungtung Batu) dan Girsang (Lehu). c. Cabang dari Toba yaitu Manorsa, cabang marga ini hanya dijumpai di daerah

Haranggaol. Sementara itu, untuk marga Purba Toba yang banyak bermukim di daerah Dolok Sanggul juga mengenal beberapa cabang, seperti Sigulang Batu, Parhorbo, dan Pantom Hobon.

Sebagaimana halnya marga di atas, marga Saragih juga mengenal cabang-cabang dengan kategori berikut:

1. Cabang asli Simalungun, yaitu Sumbayak, Garingging, Sidasalak, Sidajawak. 2. Cabang dari Toba, yaitu Turnip, Siadari, Sijabat, Sidauruk, Simanihuruk,

Sinapitu, Siallagan, Sitio, Sidabutar, Sidabalog, Simarmata, Sitanggang, Ruma Horbo (di Simalungun membentuk cabang baru yaitu Simaronggang) , Tamba, dan Sidabaho (Naibaho), dll.

Cabang dari Karo, yaitu Munte, Lalu beberapa cabang yang belum diketahui secara pasti keberadaannya apakah sebagai cabang asli atau pendatang seperti Sidamuntei, Parmata, Sidapulou, dan Simatondang.

Demikian juga marga Damanik mengenal beberapa cabang, yaitu:

(7)

2. Cabang dari Toba, yaitu: Manik (Raja), Malau, Gurning, Tomog, Ambarita (Bariba), Limbong, Sagala, dll.

2.4 Sistem Kekerabatan ‘Partuturan Tolu Sahundulan’Simalungun

Dalam suku Simalungun sebutan atau panggilan untuk orang-orang yang ingin disapa sangat banyak dan beragam baik dari pihak pria maupun wanita,

Partuturan’ atau panggilan sapaan dalam derajat kekeluargaan suku Simalungun sangat diperlukan untuk menciptakan kesopanan dalam memanggil atau berbicara terhadapat orang dihormati. Didalam suku Simalungun sangat dihindari memanggil nama seseorang tampa ada tutur jelas didepan namanya. Tolu Sahundulan berarti juga tiga kedudukan. Yang dimaksud dengan dengan tiga kedudkan disini yaitu : Tondong (keluarga dari pihak wanita dalam tiap rumah tangga). Sanina (semarga ayah tetapi pria.), Boru ( Semarga ayah tetapi wanita) yang mengambil perannya masing-masing disetiap acara hajatan orang Simalungun. Partuturan dalam suku Simalungun di bagi ke dalam 3 kategori menurut kedekatan hubungan seseorang

2.4.1“Tutur manorus”atau perkerabatan langsung

Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri.

1. Ompung (dibaca oppugn): orangtua ayah atau ibu, saudara (kakak/adik) dari orangtua ayah atau ibu

(8)

4. Abang : saudara lelaki yang lahir lebih dulu dari kita. 5. Anggi : adik lelaki; saudara lelaki yang lahir setelah kita. 6. Botou : saudara perempuan (baik lebih tua atau lebih muda).

7. Amboru : saudara perempuan ayah; saudara perempuan pariban ayah; saudara perempuan Mangkela. Bagi wanita: orangtua dari suami kita; amboru dari suami kita; atau mertua dari saudara ipar perempuan kita.

8. Mangkela : suami dari saudara perempuan dari ayah

9. Tulang : saudara lelaki ibu; saudara lelaki pariban ibu; ayah dari besan 10. Anturang : istri dari tulang; ibu dari besan

11. Parmaen : istri dari anak; istri dari keponakan; anak perempuan dari saudara perempuan istri; amboru dan mangkela kita memanggil istri kita parmaen 12. Nasibesan : istri dari saudara (Ipar) lelaki dari istri kita atau saudara istri kita 13. Hela : suami dari puteri kita; suami dari puteri dari kakak/adik kita

14. Gawei : hubungan wanita dengan istri saudara lelakinya

15. Lawei : hubungan laki-laki dengan suami dari saudara perempuannya; panggilan laki-laki terhadap putera amboru; hubungan laki-laki dengan suami dari puteri amboru (botoubanua).

16. Botoubanua : puteri amboru; bagi wanita: putera tulang 17. Pahompu : cucu; anak dari botoubanua; anak pariban 18. Nono : pahompu dari anak (lelaki)

19. Nini : cucu dari boru

(9)

2.4.2 Tutur holmouan atau kelompok

Melalui tutur Holmouan atau ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun

1. Ompung Nini : ayah dari ompung

2. Ompung Martinodohon : saudara (kakak/adik) dengan ompung

3. Ompung Doli : ayah kandung dari ayah, kalau nenek perempuan disebut inang tutua

4. Bapa Tua : saudara lelaki paling tua dari ayah

5. Bapa Godang : saudara lelaki yang lebih tua dari ayah, di beberapa tempat biasa juga disebut bapa tua

6. Inang Godang : istri dari bapa godang

7. Bapa Tongah: saudara lelaki ayah yang lahir dipertengahan (bukan paling tua, bukan paling muda)

8. Inang Tongah : istri dari bapa tongah

9. Bapa Gian / Bapa Anggi : saudara lelaki ayah yang lahir paling belakang 10. Inang Gian / Inang Anggi : istri dari bapa gian/Anggi

11. Sanina / Sapanganonkon : saudara satu ayah/ibu

12. Pariban : sebutan bagi orang yang dapat kita jadikan pasangan (suami atau istri) atau adik/kakaknya

13. Tondong Bolon : pambuatan (orang tua atau saudara laki dari istri/suami) kita 14. Tondong Pamupus : pambuatan ayah kandung kita

(10)

17. Anak boru jabu : sebagai pimpinan dari semua boru, anak boru jabu dituakan karena bertanggung jawab pada tiap acara suka/duka Cita.

18. Panogolan : anak laki/perempuan dari saudara perempuan

19. Boru Ampuan : pria kandung yang menikahi anak perempuan kandung kita 20. Anak boru mintori : istri/suami dari panogolan

21. Anak boru mangihut : lawei dari botou 22. Anak boru sanina

2.4.3 Tutur natipak atau kehormatan

Tutur natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat.

1. Kaha : digunakan pada istri dari saudara laki-laki yang lebih tua. Bagi wanita, kaha digunakan untuk memanggil suami boru dari kakak ibu.

2. Nasikaha : digunakan istri kita untuk memanggil saudara laki kita yang lebih tua

3. Nasianggiku : untuk memanggil istri dari adik 4. Anggi : adik ipar

5. Ham : digunakan pada orang yang membesarkan/memelihara kita (orang tua) atau pada orang yang seumur yang belum diketahui hubungannya dengan kita 6. Handian : serupa penggunaannya dengan ham, tapi memiliki arti yang lebih

luas.

(11)

9. Kakak: digunakan anak perempuan kepada saudara lakinya yang lebih tua 10. Ambia : Panggilan seorang laki terhadap laki lain yang seumuran

11. Ho : panggilan bagi orang yang sudah akrab (sakkan) atau pada orang yang derajadnya lebih rendah, kadang digunakan oleh suami pada istrinya

12. Hanima : sebutan untuk istri (kasar) atau pada orang yang berderajad lebih rendah dari kita (jamak, lebih dari seorang)

13. Nasiam : sebutan untuk yang secara kekerabatan berderajad di atas (jamak,

lebih dari seorang)

14. Akkora : sebutan orang tua bagi anak perempuan yang dekat hubungan kekerabatannya

15. Abang : panggilan pada saudara laki yang lebih tua atau yang berderajad lebih dari kita

16. Tuan : dulu digunakan untuk memanggil pemimpin huta (kampung), atau pada keturunan Raja

17. Sibursok : sebutan bagi anak laki yang baru lahirSitatap : sebutan bagi anak perempuan yang baru lahir

(12)

2.5 Sistem Kepercayaan dan Upcara Dalam Simalungun 2.5.1 Haboran do bona

Salah satu kepercayaan asli yang masih dipakai sebagai motto

masyarakat di daerah Simalungun adalah kepercayaan ‘Habonaron Do Bona, yang mengandung arti adalah Kebenaran di atas segalanya. Pendukung ajaran Habonaron Do Bona pada umumnya adalah masyarakat Simalungun yang juga dikenal dengan Halak Timur. Masyarakat Simalungun merupakan salah satu dari enam sub suku bangsa Batak yang secara geografis mendiami daerah induk Simalungun. Ajaran Habonaron Do Bona bersatu padu dengan adat budaya Simalungun atau Adat Timur, sebagai tata tuntunan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dalam menyembah Tuhan Yang Maha Esa.

Nilai-nilai luhur dalam kepercayaan Habonaron Do Bona terkandung dalam ajarannya, seperti ajaran tentang: Ketuhanan, manusia, alam serta ajaran-ajaran yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesamanya dan alam semesta. Di bawah ini secara singkat ajaran-ajaran dari kepercayaan Habonaron Do Bona.

Ajaran tentang Tuhan, Manusia dan Alam. Menurut kepercayaan Habonaron Do Bona, Tuhan Yang Maha Esa adalah awal dari segala sesuatu

yang ada. Tuhan Yang Maha Esa disebut sebagai ‘Naibata’. Naibata adalah satu

sada’ dan Maha Kuasa ‘Namar Kuasa/Namar Huasa’. Karena Naibata adalah

(13)

pendukung kepercayaan Habonaron Do Bona menghormati leluhur yang disebut

Simagot, Begu Jabu, Tua-Tua atauBitara Guru’. Menurut Habonaron Do Bona, leluhur adalah penghubung untuk menyampaikan titah Tuhan Yang Maha Esa kepada orang-orang tertentu yang berlangsung secara manunggal terhadap keturunan yang disukainya.

Sehubungan dengan hal tersebut maka kekuasaan Tuhan adalah tidak ada batasnya dan Tuhan bisa melimpahkan sebagian kekuasaan-Nya kepada orang-orang suci yang bersih lahir dan batinnya, kepada roh leluhur. Karena kekuasaan-Nya itu pula, maka banyak sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa, seperti: Namar Huasa (Tuhan Yang Maha Kuasa), Namam Botoh atau Na Pentar (Tuhan Yang Tau), Parholong (Tuhan Maha Pengasih), Pangarak-arak (Tuhan Maha Penuntun), Bona Habonaron (Tuhan Sumber Kebenaran) dan masih banyak sebutan lainnya.

Kemudian ajaran Habonaron Do Bona tentang manusia mengatakan bahwa manusia adalah diciptakan oleh Tuhan yang terdiri dari laki-laki ‘dalahi’ dan perempuan ‘daboru/naboru’. Sejak diciptakan, manusia telah dilengkapi

(14)

Selanjutnya ajaran Habonaron Do Bona tentang alam mengatakan bahwa alam adalah ciptaan Tuhan. Alam memiliki kekuatan-kekuatan. Dalam alam ini penuh dengan kekuatan-kekuatan gaib, yaitu kekuatan yang berasal dari Tuhan

Yang Maha Esa maupun dari arwah leluhur. Bencana Banjir ‘halonglongan’, gampa bumi ‘sohul-sohul’, angin ribut ‘aliogo doras’, petir ‘porhas’, kegagalan panen, wabah penyakit dan bahkan tidak mendapat keturunan pun adalah merupakan perwujudan dari kekuatan gaib Tuhan dan leluhur, yang diperkenakan kepada alam dan manusia.

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi, mempunyai tugas dan kewajibannya, baik terhadap Tuhan, sesama maupun terhadap alam sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.

Sebagai konsekuensi bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan, maka manusia mempunyai kewajiban dalam hidup di dunia ini baik tugas dan kewajiban terhadap Tuhan, sesamanya maupun terhadap alam. Demikian ajaran Habonaron Do Bona.

Terhadap Tuhan Yang Maha Esa warga Habonaron Do Bona wajib untuk selalu ingat kepada-Nya dan setiap hari menyembah kepada-Nya. Pada

bulan besar ‘bittang baggal’ wajib melaksanakan penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada leluhur. Di samping itu ajaran Habonaron Do Bona

(15)

2.5.2 Upacara dalam suku Simalungun

Upacara menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak terpisahkan dengan upacara-upacara ritual adat. Warga Habonaron Do Bona mengenal bermacam-macam upacara seperti:

1. Upacara daur hidup/ masa kehamilan 2. Upacara membongkar tulang belulang.

3. Upacara pesta tahunn (Robu-robu/Horja Taun), yaitu upacara berdoa kepada Tuhan dan kepada leluhur untuk memulai suatu usaha seperti kegiatan pertanian/bercocok tanam padi, agar memperoleh hasil yang memuaskan. 4. Upacara memasuki rumah baru.

5. Upacara menghormati roh leluhur pelindung desa (mambere tambunan/pagar parsakutuan).

6. Upacara menghormati roh suci penjaga desa.

7. Upacara menghormati keramat pelindung (mambere sinumbah).

(16)

1. Menghormati orang tua dan orang lain sesuai dengan tata krama tutur ‘hormat hubani urang tua oppa hasoman mangiihutkon tutur’.Menghormati

guru ‘hormat hubani guru/hormat hubani sibere ajar’.

2. Membantu orang lain (manappati).

3. Tidak boleh membunuh sesama manusia, termasuk mengugurkan kandungan. 4. Tidak boleh menikah semarga (ulang marboto-boto).

5. Tidak boleh membuat orang lain meneteskan air mata sampai “berwarna kuning” (ulang ibaen manetek iluhni halak magorsing).

6. Tidak boleh meminta-minta (ulang tedek-tedek).

7. Tidak boleh menyusahkan orang lain (ulang manusahi). 8. Tidak boleh berbohong (ulang marguak).

9. Tidak boleh memaki orang lain (ulang manurai). 10. Tidak boleh membungakan uang (ulang makhilang).

11. Tidak boleh menipu dan mengkhianatai orang lain (ulang magoto otoi/ulang mangkhianat).

Tugas dan kewajiban manusia terhadap dan menurut ajaran Habonaron Do Bona ialah bahwa manusia tidak boleh membunuh tumbuhan dan hewan liar secara sembarangan karena perbuatan ini dapat merusak alam ulang massedai. Alam harus dijaga kelestariannya karena alam memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia.

(17)

memberikan hasil yang memuaskan. Upacara-upacara tersebut diantaranya adalah robu buang boro (mendoakan agar padi jangan diserang hama), membere eme (mendoakan saat padi sedang bunting), mamutik (mendoakan saat padi sudah menguning), menutup panjang (mendoakan saat padi sudah terkumpul pada suatu tempat) dan menutup hobon (mendoakan rasa syukur karena seluruh hasil panen telah terkumpul).

2.6 Pakaian Adat Simalungun

Sama seperti suku-suku lain di sekitar daerah Simalungun, pakaian adat suku Simalungun tidak terlepas dari penggunaan kain Ulos (disebut Uis di suku Karo). Kekhasan pada suku Simalungun adalah pada kain khas serupa Ulos yang disebut Hiou dengan berbagai ornamennya.

Ulos pada mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung kekuatan yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos oleh suku bangsa Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya.

Secara legenda ulos dianggap sebagai salah satu dari 3 sumber kehangatan bagi manusia (selain Api dan Matahari), namun dipandang sebagai sumber kehangatan yang paling nyaman karena bisa digunakan kapan saja (tidak seperti matahari, dan tidak dapat membakar (seperti api). Seperti suku lain di

(18)

kepada penerima hio. Hiou dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, sebagai kain penutup kepala, penutup badan bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup punggung dan lain-lain.

Hiou dalam berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis yang berbeda-beda, misalnya Hiou penutup kepala wanita disebut suri-suri, Hiou penutup badan bagian bawah bagi wanita misalnya ragipanei, atau yang digunakan sebagai pakaian sehari-hari yang disebut jabit. Hiou dalam pakaian penganti Simalungun juga melambangkan kekerabatan Simalungun yang disebut

tolu sahundulan’, yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada

(pakaian) dan tutup bagian bawah (abit).

Menurut Haris Purba, Budayawan Simalungun, awalnya Gotong Penutup Kepala Pria Simalungun) berbentuk destar dari bahan kain gelap ( Berwarna putih untuk upacara kemalangan, disebut Gotong Porsa), namun kemudian Tuan Bandar Alam Purba Tambak dari Dolog Silou juga menggemari penutup kepala ala melayu berbentuk tengkuluk dari bahan batik, dari kegemaran pemegang Pustaha Bandar Hanopan inilah, kemudian Orang Simalungun dewasa ini suka memakai Gotong berbentuk Tengkuluk Batik. Disamping itu tiap daerah di Simalungun memiliki kekhasan pakaian adatnya masing-masing tampa menghilangkan makna yang terdapat didalamnya.

(19)

Gambar 2.1 Raja Siantar –Tuan Sawadim (morga Damanik) & Raja Dolog Silou Tuan Ragaim (morga Purba), 1930-an. Coba perhatian gotong yang mereka kenakan

Sumber:http://www.google.com/imgres?imgurl=http://halibitonganomtatok.files. wordpress.com/2009/05/raja-siantar-raja-dolog-silou-1930an.jpg

Gambar 2.2 Tuan Gomok Saragih memakai gotong

(20)

Gambar 2.3 Pakain modern adat Simalungun Sumber :www.google.com

2.7 Aksara dan Bahasa Simalungun

Sebelum mengenal tulisan, bahasa Simalungun hanya dapat diungkapkan dalam bentuk lisan, suku Simalungun mulai mengenal tulisan adalah semenjak datangnya pengaruh bangsa India.

Aksara Simalungun yang dikenal saat ini dan banyak tertulis dalam

pustaha-pustaha’ Simalungun tidak lain merupakan sumbangan dari aksara

pallawa’dari India.

Menurut para ahli, aksara ‘pallawa’ ini masuk ke tanah Batak melalui daerah Mandailing, dekat perbatasan Sumatera Barat, dari tempat itu kemudian berkembang dan menyebar ke daerah diantara Parapat dan Balige, dari sana ia kemudian menyebar ke Simalungun dan Toba.

(21)

aksara Simalungun dibagi dalam 2 bentuk, yaitu ‘indung ni surat’(ibu huruf) dan

anak ni surat’(anak huruf/diakritik).

Dalam bahasa Simalungun terdapat sejumlah fonem yang jarang ditemukan pada bahasa batak yang lain. Fonem-fonem itu ada yang berbentuk konsonan dan ada pula berbentuk diftong.

Fonem-fonem itu adalah : /ou/, /ei/, dan /ui/; /h/, /d/, /g/, dan /b/, dan semuanya terletak pada akhir kata. Di samping bahasa Simalungun, fonem /ou/, /ei/, dan /ui/ ini juga banyak dijumpai pada bahasa-bahasa rumpun Melayu, Karo, Alas di Aceh Tenggara, dan Keluet di Aceh Selatan.

Fonem /ou/, /ei/, dan /ui/ ini dalam bahasa Simalungun disebut dengan

anak ni surat’ atau diakritik, hanya Simalungunlah yang mengenal diakritik khusus untuk fonem-fonem ini, yang masing-masing bernama hatulungan, hatalingan, dan hatuluyan. Fonem berdiftong /ou/ juga terdapat pada aksara Karo, tetapi tidak pada aksara-aksara Batak lainnya. Namun di Karo, tidak terdapat diakritik khusus untuk fonem /ou/, dan penggunaannya hanya terbatas pada bahasa Karo yang berdialek Jahe-jahe yang bermukim di Deli Serdang dan Langkat, tidak meluas hingga ke dialek Karo yang lain yang memang bermukim di pusat daerah Karo, seperti dialek Kabanjahe dan Gunung.

(22)

dari aksara aslinya yang kini telah punah kemungkinan tidak jauh berbeda dengan aksara Karo dan Simalungun.

Dalam bahasa Simalungun, fonem /ou/ dapat dilihat pada kata horbou, pisou, magou, kahou, sopou, lahou, lopou, babou, dan dilou. Kemudian fonem /ei/ pada kata lobei, hitei, bogei, dogei, atei, dan buei. Selanjutnya fonem /ui/ terdapat pada kata tondui, langui, apui, sungui, babui, ampodui, surui, dan haluhui.

Selanjutnya dalam bahasa Alas, yaitu pada kata endou, enggou, idou, benei, melohei, awei, kelukui, tendui, dan apui. Dalam bahasa Keluet yang hanya mengenal fonem /ou/ dan /ei/ saja, yaitu pada kata kou, kerbou, tangkou, benei, kunei, awei, atei, dan mbuei. Sedang dalam bahasa Karo, yaitu pada kata dilou, belou, sapou, rimou, ayou, namou, payou, matei, berei, isei, keina, benei, dan lumei.

Bila dilihat padanannya dengan bahasa bahasa Batak yang lain (Toba, Mandailing-Angkola, Pakpak) fonem /ou/ biasa berbunyi /o/ seperti pada kata-kata berikut horbo, piso, mago, sopo, laho, babo, tangko, dan dilo; /ei/ berbunyi /e/ seperti kata lebe, hite, bege, dege, ate, dan mbue; dan /ui/ berbunyi /i/ seperti kata tondi, langi, api, babi, suri, dan halihi.

(23)

daroh akan berbunyi daro, babah akan berbunyi baba, roh akan berbunyi ro, dilah akan berbunyi dila, dan gogoh akan berbunyi gogo. Bila ditelusuri lebih jauh fonem /ou/, /ei/, /ui/, dan /h/ ini merupakan fonem warisan langsung dari bahasa Austronesia kuno yang telah lama punah. Sebagaimana kita ketahui bahasa Austronesia kuno ini merupakan bahasa induk yang menurunkan seluruh bahasa di sebagian besar kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Voorhoeve (1955) pernah mengemukakan bahwa bahasa Simalungun juga mengenal fonem penutup /d/, /g/, dan /b/, yang juga tidak terdapat di antara kosa kata bahasa Batak yang lain. Fonem penutup ini masih tampak sekali dalam beberapa kata, baik itu diucapkan maupun ditulis. Fonem /d/ terdapat pada kata bod, saud, tuod, agad, sogod, bagod, sarad, dan alud. Sedang fonem akhir /g/ pada kata dolog, pusog, balog, gijig, ubag, lanog, gilog, borgog, bolag, bogbog, pag, dan ulog. Kemudian fonem akhir /b/ pada kata dob, rongkob, dorab, tayub, dan sab.

Pada bahasa Pakpak dan Karo /d/ berubah menjadi /n/, dan /g/ menjadi /ng/, seperti kata bod menjadi bon/ben, saud menjadi sahun, tuod menjadi tiwen, sogod menjadi cegen, sarad menjadi saran, dan alud menjadi alun. Kemudian kata dolog menjadi deleng, pusog menjadi puseng, balog menjadi baleng, lanog menjadi laneng, borgog menjadi bergeng, bolag menjadi belang, dan pag menjadi pang.

(24)

lain (Toba, Mandailing-Angkola) fonem /d/ berbunyi /t/ seperti tampak pada

kata-kata berikut ‘bod-bot’, ‘saud-saut’, ‘tuod-tot’, ‘agad-agat’, ‘sogod-sogot’, ‘bagod-bagot’,’sarad—sarat’, dan ‘alud—arut’; /g/ berbunyi /k/ seperti ‘ dolog-dolok’, ‘balog—balok’, ‘lanog—lanok’, ‘bolag--bolak, dan *ulog--ulok; sedang

fonem b belum dapat ditentukan bentuk perubahannya.

Gorys Keraf dalam bukunya Linguistik Bandingan Historis mengemukakan, bahwa fonem /d/, /g/, dan /b/ merupakan fonem yang dianggap bermasalah dalam beberapa bahasa, tidak hanya pada bahasa Nusantara, tetapi juga pada bahasa di Eropa. Karena fonem /d/, /g/, dan /b/ ini secara deskriptif biasanya mengalami proses netralisasi ketika berada di posisi akhir, dan berganti dengan fonem /t/, /k/, dan /p/. Padahal sebenarnya fonem tersebut dapat muncul dalam posisi awal, tengah, dan akhir. Hal itulah yang menjadi masalah, karena saat ini banyak bahasa yang tidak lagi menampilkan gejala tersebut. Timbul pertanyaan, mengapa bahasa Simalungun masih menampilkan gejala tersebut?.Selanjutnya bila ditinjau dari keaslian bahasa, pada hakikatnya tiada satupun bahasa di nusantara bahkan di dunia yang bisa dikatakan asli atau masih menunjukkan keasliannya, maksud asli di sini bahasa itu memang dihasilkan atau diciptakan secara murni dan utuh oleh pengguna bahasa itu. Karena memang jauh sebelum manusia dan bahasa tumbuh dan berkembang pesat seperti sekarang ini, keaslian bahasa itu memang telah terkontaminasi.

(25)

budaya atau bahasa. Bahasa Indonesia saja yang semula asli karena hanya terdapat bahasa Melayu di dalamnya, kini perlahan telah mengalami kepudaran, karena pada saat ini bukan hanya bahasa Melayu saja yang terkandung didalamnya tetapi telah banyak dimasuki unsur-unsur bahasa nusantara yang lain, seperti bahasa Minangkabau, Jawa, Sunda, Palembang, dan lain-lain.

Masuknya unsur bahasa yang lain itu sebenarnya tidak lain hanya untuk melengkapi atau memperkaya khazanah perbendaharaan kata bahasa Indonesia, dan kondisi ini memang tidak perlu dipermasalahkan, karena bahasa

Indonesia ‘kan bukannya bahasa yang dimiliki oleh eka-suku atau dwi-suku melainkan dimiliki oleh multi-suku yang semuanya berhak menyumbangkan bahasa sukunya untuk memperkaya bahasa Indonesia. Dan proses itu merupakan peluang yang nantinya dapat dipergunakan oleh orang Batak khususnya orang Simalungun untuk menjadikan bahasanya menjadi bagian dari bahasa Indonesia.Hal demikianlah yang terjadi pada bahasa Simalungun, meski telah diungkapkan di atas istilah asli yang berkaitan dengan dialek, namun hal itu tidak bermakna asli sebagaimana dijelaskan di atas, melainkan bahasa Simalungun itu telah sah dan disepakati menjadi bahasa baku oleh seluruh komponen orang Simalungun, kendatipun bahasa itu tidak seutuhnya dihasilkan atau diciptakan oleh mereka.

(26)

sori, hala, dan borma yang tidak lain adalah perubahan bentuk dari kata shiwa, whisnu, sri, kala, dan berahma; menyebut gugusan bintang dengan mesa, morsoba, mituna, harahata, singa, hania, tula, mortiha, dahanu, mahara, humba, dan mena yang dalam bahasa Sanskertanya mesa, vrisabha, mithuna, karkata, singha, kanye, tule, vrstika, dhanu, makara, kumbha, dan mina. Kemudian untuk menyebut nama-nama hari seperti adintia, suma, anggara, mudaha, boraspati, sihora, dan samisara yang dalam bahasa sanskertanya berbunyi aditya, soma, anggara, budha, brihaspati, syukra, dan syanaiscara.

(27)

Selanjutnya serapan dari bahasa Arab seperti kata pingkir yang diserap dari kata fikr, adat dari kata adat, dunia dari kata dunya, uhum dari kata hukm, sibolis dari kata iblis, dan lain-lain.

Kemudian serapan dari bahasa Persia seperti kata saluar yang berasal dari kata shalwar, sarunei yang berasal dari kata surnai, pinggan yang berasal dari kata pinggan.

Dan yang terakhir serapan dari bahasa Tamil seperti kata bodil yang diserap dari kata badil, sohei dari kata Tamil cukkai, mandihei dari kata Tamil komattikai, dan lain-lain.

Secara pasti, banyak uang belum diketahui bagaimana proses penyerapan kata itu terjadi, apakah memang langsung diserap dari bahasa Sanskerta, Arab, Persia, dan Tamil atau melalui bahasa lain yang memang pernah mengadakan kontak langsung dengan bahasa itu.

(28)

cabang dari bahasa rumpun selatan, yang berpisah dengan bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola sebelum bahasa itu terbentuk. Dari ungkapan Adelar itu, berarti bahasa Simalungun telah ada sebelum bahasa rumpun selatan lain terbentuk yang kemudian berpisah.

Hal itu sesuai dengan Kozok (1999:14) yang menegaskan bahwa jika ditilik dari persebaran bahasa dan aksara Batak, bahasa dan aksara Simalungun jauh lebih tua daripada bahasa dan aksara Batak Toba, Pakpak, dan Karo.

Gambar 2.4 Aksara Simalungun (Indung Huruf)

(29)

Gambar 2.5 Aksara Simalungun (Anak Huruf)

Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Gambar 2.6 Aksara Simalungun (Penggabungan Indung dan Anak Huruf) Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Gambar 2.7 Aksara Simalungun dalam tulisan

Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Gambar 2.8 Terjemahan dalam tulisan latin

(30)

Gambar 2.9 Terjemahan kedalam Bahasa Indonesia

Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Gambar 2.10 Aksara Simalungun Dalam Tulisan

Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Gambar 2.11 Terjemahan dalam tulisan latin

Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Gambar 2.12 Terjemahan dalam Bahasa Indonesia

(31)

Gambar 2.13 Aksara Simalungun Dalam Tulisan

Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

Gambar 2.14 Terjemahan Aksara Simalungun dalam tulisan Latin Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin

(32)

2.8 Kalender dan Hari Simalungun ( Parhalaan)

Didalam suku Simalungun setiap hari selalu mempunyai nama, berbeda dengan kalender masehi yang hanya mempunyai tujuh nama hari dan perhitungan pergantian hari dalam suku Simalungun dimulai dari tenggelamya matahari.

Berikut ini 30 nama hari dalam sebulan menurut Parhalaan Simalungun, yaitu:

9. Suma ni Siah (Suma ni Mangadop) 10. Anggara Sampuluh

(33)

21. Samisara Bona Turun Hurung tidak diikutkan, tetapi dari hari Samisara Marhulung langsung ke hari Likkar.

(34)

12. Luyu Tangtang

2.9 Seni Musik Simalungun

Musik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan.

Gonrang” (istilah bahasa Simalungun untuk “gendang”) salah satu alat musik

dari daerah Simalungun, yang telah lama ada dan berkembang di daerah Simalungun. Musik gonrang tidaklah hanya apresiasi seni semata, tetapi juga mau memperlihatkan makna dan fungsi yang sangat mendalam bagi kehidupan masyarakat Simalungun khususnya. Makna dan fungsi gonrang terwujud sebagai suasana pengungkapan hati, sebagai sarana hiburan, sebagai sarana komunikasi. Musik gonrang juga sebagai representasi simbolis yang mencerminkan nilai-nilai, pengaturan kondisi sosial dan perilaku kultur lainnya serta sebagai peneguh ritus-ritus keagamaan dan ikatan sosial. Dalam hal ini seni musik Simalungun Simalungun terbagai menjadi dua bagian yaitu instrumen dan nyanyian

1. Instrumen

Masyarakat Simalungun memiliki instrumental. Alat-alat musik tradisional Simalungun ini pada umumnya digunakan untuk upacara-upacara tertentu yang disesuaikan berdasarkan perannya untuk mengiringi upacara-upacara adat. Adapun beberapa instrumen yang dimiliki suku Simalungun sebagai berikut :

a. Instrumen perkusi :

(35)

2. Ogung, merupakan nama lain dari Gong yang selama ini kita kenal. Ogung ada dua macam yaitu ogung sibaggalan dan ogung sietekan.

3. Sitalasayak, adalah alat musik yang bentuknya seperti simbal yang terbuat dari kuningan atau besi dan terdiri dari dua bilah yang sama bentuknya.

4. Garantung, merupakan alat musik yang terbuat dari kayu dan mempunyai resonator yang juga terbuat dari kayu. Garantung terdiri dari tujuh bilah yang mempunyai nada berbeda.

5. Alat tabung Gondrang sidua-dua, merupakan gendrang yang badannya terbuat dari kayu ampirawas dan kulitnya dari kulit kancil atau kulit kambing. Gondrang sidua-dua terdiri dari dua gendang.

6. Jatjaulul / tengtung, merupakan alat musik yang terbuat dari bambu yang senarnya sebanyak dua atau tiga buah. Dimainkan dengan memukul senarnya. 7. Alat tabung Gondrang sipitu-pitu/Gondrang bolon, merupakan gendang yang

badannya terbuat dari kayu dan kulitnya terbuat dari kulit lembu, kambing dan kulit kancil. Pada bagian atas terdapat kulit dan pada bagian bawah ditutupi kayu. Gendangnya terdiri dari tujuh buah gendang.

a. Instrumen tiup :

(36)

2. Sarune buluh, merupakan jenis alat musik tiup yang terdiri dari satu lidah (single reed). Sarune buluh terbuat dari bambu, mempunyai tujuh lobang suara, sebelah atas enam lobang dan sebelah bawah satu lobang.

3. Tulila, merupakan jenis recorder yang terbuat dari bambu , tulila dimainkan secara vertikal.

4. Sulim, merupakan alat musik sejenis flute yang terbuat dari bambu.

5. Sordam, merupakan alat musik sejenis flute yang terbuat dari bambu yang dimainkan miring (obluque flute).

6. Saligung, merupakan salah satu alat musik sejenis flute yang terbuat dari bambu hanya saja ditiup dengan hidung.

7. Ole-ole, adalah merupakan jenis alat musik tiup yang terdiri dari satu lidah (single reed). Badannya terbuat dari batang padi dan resonantornya terbuat dari daun enau atau daun kelapa.

8. Hodong-hodong, merupakan alat musik sejenis geng gong, geng gong jenis alat musik yang dibuat dari bilah, besi, kawat, dan sebagainya. Yang dibunyikan dengan ditekankan dimulut lalu dipetik dengan telunjuk. Hodong-hodong dipergunakan sebagai alat komunikasi seorang pemuda kepada kekasihnya dn sebagai hiburan .

(37)

a. Instrumen Petik:

1. Husapi, merupakan alat musik sejenis flute yang mempunyai leher. Husapi terbuat dari kayu dan mempunyai dua senar.

b. Instrumen Gesek:

1. Arbab, adalah alat musik yang terbuat dari tabung resonator dari labu atau tempurung, leher terbuat dari kayu atau bambu, lempeng atas terbuat dari kulit kancil atau kulit biawak, senar terbuat dari benang dan alat penggesek terbuat dari ijuk enau yang masih muda.

Setelah terjadi penggabungan beberapa alat musik atau instrument,

terjadilah sebuah ansambel musik simalungun yang disebut dengan “gondrang”

Fungsi Musik gonrang dalam komunitas masyarakat simalungun anatara lain sebagai berikut:

a. Sebagai pengungkapan suasana hati,

(38)

Salah satu faktor yang dianggap penting dalam menentukan reaksi suasana hati terhadap musik di kalangan masyarakat Simalungun adalah tempo musik yang dibawakan. Untuk menunjukkan suasana gembira, maka dipakai tempo sedang hingga tempo cepat. Sedangkan tempo lambat umumnya dipakai untuk yang berhubungan dengan hal-hal musibah, kekecewaan, kesedihan dan kerinduan hati. Banyaknya lagu-lagu sedih di daerah Simalungun dan digunakannya istilah inggou menggambarkan makna suasana hati dari lagu-lagu tersebut serta persepsi masyarakat Simalungun terhadap lagu-lagu tersebut. Pengungkapan perasaan mungkin paling mudah dan sederhana untuk difahami dari lirik yang dikandungnya.

(39)

Maka kerendahan hati merupakan makna dari inti tarian yang dibawakan oleh boru yang diungkapkan dalam konteks tarian dan musik yang dibawakan.

b. Sebagai sarana hiburan

Salah satu fungsi musik gonrang bagi masyarakat Simalungun adalah sebagai sarana hiburan. Karena kurangnya kesempatan untuk menikmati suasana istirahat dari kerja, maka pada saat pesta merupakan kesempatan untuk beristirahat dari aktivitas kerja. Pesta merupakan salah satu bentuk acara selingan. Ada sejumlah pesta yang dilaksanakan setiap tahun, yang termasuk di dalamnya yaitu Manumbah (penyembahan tempat keramat maupun arwah para nenek moyang).

Ada pesta yang diselenggarakan pada saat-saat khusus : pesta palaho/paroh boru (pesta pernikahan), pesta mangalo-alo tamuei (pesta penyambutan tamu atau undangan istimewa), mamongkot jabu (selamatan memasuki rumah baru) dan masih banyak kesempatan lain yang dijadikan suasana pesta. Salah satu kebiasaan dalam berpesta adalah mengundang antara kampung yang satu dengan kampung yang lain yang memiliki ikatan hubungan tondong, boru dan sanina (mereka yang berasal dari marga dan sub-marga yang sama dengan yang bersangkutan) untuk memeriahkan pesta tersebut.

(40)

masyarakat biasanya baru mendapat giliran untuk menari pada akhir-akhir acara. Untuk mereka, ini adalah kesempatan untuk bersosialisasi satu sama lain dan kesempatan untuk belajar menari pada pesta-pesta resmi.

Selain pada kegiatan adat dan tradisi musik gonrang yang disebutkan diatas, musik merupakan sarana hiburan pada kesempatan lain. Para warga, khususnya kaum pria, suka berkumpul pada malam hari sambil bernyanyi.

c. Sebagai sarana komunikasi

Para ahli musik telah mengakui fungsi kesenian musik adalah sebagai sarana komunikasi. Lewat nuansa musik yang dibawakan, mereka mau mengkomunikasikan seluruh perasaannya secara simbolis, baik yang menggembirakan maupun yang sedih. Nuansa kesedihan, kekecewaan dan kesepian biasanya diungkapkan dengan lirik dan bunyi lagu-lagu percintaan maupun lagu-lagu perpisahan. Kita akan lebih merasakan perasaan hati seperti ini pada sejumlah gual yang bertempo lambat. Bunyi musik juga dapat menyajikan suasana hati tertentu yang dapat membantu untuk mengungkapkan perasaan hati dan inti dari lirik yang dinyanyikan.

(41)

dan tari-tarian Simalungun, yang mempengaruhi musik dan tari-tarian nasional Indonesia. Dengan demikian, musik Simalungun merupakan suatu acara guna mengkomunikasikan karakter dan kebanggaan etnis mereka.

d. Sebagai Representasi Simbolis

Musik mencerminkan nilai-nilai, pengatur kondisi sosial dan perilaku kultur lainnya. Musik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan. Dan sebagaimana aspek-aspek kebudayaan lainnya, musik niscaya akan mencerminkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang mendasarinya, yang menghidupkan kebudayaan tersebut secara menyeluruh. Ansambel musik gonrang mempunyai hubungan erat dengan struktur adat. Status para pemain musik dalam suatu ansambel musik gonrang didasarkan atas jenis alat musik yang dimainkannya. Si peniup sarunei (alat musik tiup yang memiliki tujuh buah lubang jari) selalu diakui sebagai pemimpin di antara mereka (secara musik maupun secara adat). Ia mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan ansambel musik yang akan dimainkan. Menurut adat juga, bila pihak yang meminta gual memberikan penghargaan maka si peniup sarunei-lah yang harus menerima penghargaan tersebut. Dalam hal pendapatan di antara anggota pemain musik, ia juga yang akan mendapat imbalan yang lebih besar.

(42)

sarunei. Pertingkatan di antara penabuh hampir tidak ada, namun umumnya penabuh gonrang yang lebih mahir dalam memainkannya diakui sebagai yang menentukan.

Tingkatan yang ketiga yaitu para pemukul gong dan mongmongan (dua buah gong kecil yang digunakan sebagai tanda bunyi kolotomis). Meskipun musik dapat dimainkan tanpa didampingi oleh pemukul gong dan mongmongan, tetapi umumnya bagian ini juga selalu diikutkan. tugas mereka adalah membawakan kerangka dari gual tersebut, yang tujuannya untuk menambah nilai rasa dan tekanan yang menetap pada gual yang dimainkan. Sekali mereka mendapat pola yang pas dari gonrang dan sarunei, tugas mereka hanya mengulangi pola tersebut sampai gual berakhir.

(43)

saat mempersiapkan acara pesta, pendamping bagi boru dan bagian dari boru itu sendiri.

Walaupun pengelompokan tondong, boru dan sanina dalam struktur adat mempunyai hubungan yang sangat erat dengan si peniup sarunei, penabuh gonrang dan pemukul gong dan mongmongan dalam ansambel musik gonrang, tetapi di antara kelompok ini praktisnya masih terdapat perbedaan. Pada ansambel musik gonrang, para pemainnya sangat jarang saling bertukar posisi atau tukar peran dalam memainkan ansambel musik gonrang.

Hanya dimungkinkan antara penabuh gonrang dengan pemukul gong dan mongmongan yang saling bertukar posisi. Pada konteks adat, posisi seseorang ditentukan oleh ikatan hubungan dengan pihak yang menyelenggarakan pesta. Dalam suatu pesta umpamanya, posisi seseorang dapat sebagai tondong namun pada saat pesta lain, dapat sebagai boru atau sanina. Jadi, seseorang dapat menempati ketiga posisi yang ada dalam kelompok ini. Dengan demikian akan ada keseimbangan, karena semua orang berkesempatan untuk memerankan salah satu dari ketiga kelompok ini dalam suatu pesta

e. Sebagai peneguh ritus-ritus keagamaan dan ikatan social

(44)

merupakan norma yang mendukung terciptanya ikatan sosial yang kuat dalam kalangan masyarakat Simalungun.

Adat dan kelompok adat adalah unsur-unsur yang paling sentral dan kuat di kalangan masyarakat Simalungun, maupun masyarakat Batak umumnya. Kekuatan adat tersebut ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari melalui acara seperti tari-tarian adat yang dipentaskan hampir pada setiap pesta. Gual yang dibawakan pada acara tersebut pada umumnya gual yang mengingatkan pihak tondong, boru dan sanina akan tata cara keharmonisan sikap dan tindakan diantara mereka. Sikap dan kasih sayang serta tindakan mencurahkan berkat harus dipraktekkan dalam konteks sosial lingkup suasana gual yang dibawakan. Musik gonrang dijadikan sebagai sarana untuk menjaga kelangsungan nilai-nilai kultural dan keagamaan. Musik gonrang menjadi alat untuk pengikat dan peneguh ikatan sosial dan upacara-upacara kultural maupun keagamaan yang dianggap penting oleh masyarakat Simalungun.

2.10 Tarian Simalungun

(45)

dengan diiringi oleh musik untuk melengkapinya. Adapun tor-tor Simalungun dipertunjukkan antara lain:

1. Tor-tor Huda-huda/ Toping-toping, yaitu tarian yang dilakukan untuk menghibur keluarga maupun orang yang melayat dimana orang yang meninggal tersebut sudah sayur matua atau sudah berusia uzur (lanjut usia). Tarian ini digunakan untuk menghibur keluarga raja karena anaknya meninggal agar tidak larut dalam kesedihan. Tor-tor dewasa ini sudah digunakan dalam pertunjukan seperti yang diadakan dalam pesta kebudayaan . tarian ini menggunakan media topeng dengan sepasang pemain toping-toping dan satu orang pemain huda-huda yang menirukan gerakan kuda.

Gambar 2.16. Tarian toping-toping Simalungun

Sumber : https://muharomtatok.wordpress.com/author/muharomtatok/

(46)

rantingnya dan kemudian mengibaskan kebatang kayu dan ke badan orang-orang yang menariknya untuk memberi semangat. Kegiatan ini dilakukan sambil menari agar para pekerja tersebut tidak mudah lelah dan akan lebih semangat lagi.

3. Tor-tor Sombah, yaitu tor-tor yang digunakan untuk menyambut tanu (tondong) yang datang dalam sebuah acara maupun upacara. Tor-tor ini dilakukan sebagai tanda penghormatan terhadap keluarga maupun tamu yang datang.

Gambar 2.17 Tor-tor Sombah

Sumber: http://www.metrosiantar.com/2014/09/19/156788/ mengembalikan-marwah-pdt/

(47)

menjadi pemegang keamanan di lingkungan istana raja-raja . Tarian dihar ini telah dipertunjukkan oleh dinas parawisata Simalungun sampai ketingkat nasional dan internasional sebagai kebanggaan seni budaya (tor-tor) di Simalungun .

Gambar 2.18 :Tor-tor mandihar

Sumber : http:en.wikipedia.org/wiki/batak-indonesia

2.11 Seni Rupa Simalungun

(48)

atap rumah bolon dan gambar cecak yang selalu ada di setiap rumah adat di Simalungun. Cecak adalah lambang menjaga seluruh isi rumah. Banyak lagi seni-seni rupa yang terdapat di Simalungun.

Gambar 2.19 Rumah Adat Simalungun

Sumber : https://pecintawisata.wordpress.com/tag/rumah-bolon/

Gambar 2.20 Patung Bertingkat

Sumber : Seni Ukir Relief Motif dan Rumah Adat Tradisional Simalungun

Gambar 2.20 Pinar Sulepat

(49)

Gambar 2.21 Pinar Hail Putor

Sumber : Seni Ukir Relief Motif dan Rumah Adat Tradisional Simalungun

Gambar 2.22 Pinar Gundur Manggulapa

Sumber : Seni Ukir Relief Motif dan Rumah Adat Tradisional Simalungun

Gambar 2.23 Andorni Tabu Mangganupi Desa

Sumber : Seni Ukir Relief Motif dan Rumah Adat Tradisional Simalungun

Gambar 2.24 Pinar Bulungni Andudur

(50)

Gambar 2.25 Pinar Asi-asi

Sumber : Seni Ukir Relief Motif dan Rumah Adat Tradisional Simalungun

2.12. Seni Sastra Simalungun

Pantun atau Uppasa adalah betuk puisi lama yang mirip dengan pantun dalam sastra Melayu, yakni berupa puisi rakyat yang mencakup seluruh lapisan masyarakat dan segala tingkatan umur. Ada uppasa Podah atau petuah, uppasa pangindoan atau harapan , uppasa taur-taur atau nyanyian dan lain-lain.

Adapun fungsi uppasa didalam masyarakat Simalungun antara lain: 1. Uppasa adalah sastra lisan yang dipergunakan sebagai alat komunikasi,

milsanya dahulu komunikasi antar muda-mudi berlangsung melalui tonja² (tonja adalah suatu cara mengungkap pikiran secara simbolis melalui pemberian suatu barang), namun tidak semua orang mengerti makna simbol tersebut.

(51)

Issopan lembei bulung Sabagod anak-anak Asok botou maruhur Marimbang ahu dakdanak.

Artinya : setiap orang harus hati-hati berhadapan dengan anak-anak sebab pikiran mereka gampang berunah.

Sipemuda dapat membalasnya dengan mengirim haporas ( Sejenis ikan kecil dari sungai atau sawah ) dengan maksud :

Haporas ni sin Lokkung Etek-etek marpira Anggo jolma harosuh Etek pe na paima

Artinya : bagi orang yang saling jatuh cinta, umur tidak menjadi penghalang. umur yang masih muda bisa di tunggu.

Jadi barang kiriman tersebut merupakan pengganti surat seperti sebagaimana lazimnya masakini. Maka mau tidak mau seorang pemuda atau pemudi pada masa itu harus mempelajari uppasa². (ads: adatbatak.com) dengan demikian, uppasa boleh dikatakan sebagai ilmu yang harus dipelajari. bahkan pada zaman dahulu telah dibuat semacam kriteria supaya seseorang dapat disebut dewasa, misalnya, harus mampu membaca surat sampuluh siah (Tulisan atau huruf simalungun ), menguasai ilmu mendatangkan dan menolak hujan, mahir maruppasa dan sebagainnya.

(52)

seorang pemudi, langkah pertama yang harus di buatnya ialah mengunjungi sipemudi kerumahnya, tetapi dia tidak boleh langsung menemui sipemudi tersebut. menurut adat, sipemuda harus terlebih dahulu bertemu dengan orang tua sipemudi itu, atau melalui perantara jika rumah itu rumah bolon.

Pada saat pertemuan itu mereka berkomunikasi melalui uppasa. Jika ternyata orang tua sipemudi itu atau perantara itu setuju, berarti ada izin untuk bertemu. Pertemuan-pertemuan selanjutnya biasanya berlangsung di pasar “tiga”,

diladang pada saat gotong royong “marharoan”, pada saat sipemudi itu sedang

bertenun(martonun), ditengah perjalanan menuju tempat mandi “partapianan”,

saat pesta rondang binatang (syukuran atas tanaman yang sudah mulai menampakkan hasilnya), pada saat si pemudi itu menumbuk padi di losung ( tempat untuk menumbuk padi, dahulu setiap kampung mempunyai losung panjang yang terdiri dari beberapa lobang. disitulah tempat gadis-gadis dikampung menumbuk padi. Semua pembicaraan dalam pertemuan ini selalu melalui uppasa.

contoh uppasa podah atau petuah

Happidi ni latamu Haondukni buluhmu Ni idah ni matamu Lapiti bai hatamu

(53)

Ganjang tu pe sura-sura

Sumber : Buku Perpustakaan SDN 091317 Kec. Raya Contoh uppasa pangindoan atau harapan

Sumber : Buku Perpustakaan SDN 091317 Kec. Raya Contoh uppasa taur-taur atau nyanyian

(54)

Wanita : Marbunga sappilulut Martitik dali-dali Lape marusah dungut Paima ham ma tokkin nari

Pria : Bolag bulung ni birah Bokkou bulung gambiri Dokah ma lang pajuppah Siholan naming diri ale

Wanita : Lajamu do hasihor

Bulungmu marratting hon Hatamu do nasihol Uhurmu manadikkom

Sumber : Buku Perpustakaan SDN 091317 Kec. Raya

2.13 Konsep Doding Dalam Masyarakat Simalungun

Pengertian doding dalam masyarakat Simalungun ialah sebuah nyanyian untuk mengungkapkan perasaan lewat syair dan melodi yang indah. Sebuah doding Simalungun ornament utamanya adalah inggou yaitu improvisasi permainan nada yang khas. .

(55)

memiliki nyanyian. Semua jenis nyanyian musik vokal Simalungun tidak terlepas dari Inggou.

Jenis nyanyian masyarakat Simalungun berdasarkan penggolongan yang di kemukakan Brunvand (dalam Danandjaja,1991 :145-152), dapat dibagi dalam sembilan bagian :

1. Nyanyian menidurkan anak (lullaby), yakni nyanyian yang mempunyai lagu dan irama yang halus dan tenang, berulang-ulang, ditambah dengan kata- kata kasih sayang, sehingga biasanya membangkitkan rasa santai, sejahtera, dan sehingga anak-anak yang mendengarnya menjadi ngantuk dan tertidur. Contohnya nyanyian di Simalungun adalah urma lo manuk.

2. Nyanyian kerja (work song), yakni nyanyian yang mempunyai irama dan kata-kata yang bersifat menggugah semangat sehingga dapat menimbulkan rasa gairah untuk bekerja. Contohnya orlei-orlei dan lailullah.

3. Nyanyian permainan (play song), yakni nyanyian yang mempunyai irama gembira serta kata-kata lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan bermain (play) atau permainan bertanding (game) banyak diantaranya yang mengungkapkan perasaan sedih putus asa karena kehilangan sesuatu atau cinta, sehingga menimbulkan keinginan-keinginan yang tidak mungkin tercapai. Contohnya: tangis huda-huda, taur-taur simbandar, simangei, tangis-tangis boru laho.

(56)

keagamaan, atau pelajaran-pelajaran keagamaan. Contohnya: mandilo tonduy, manalunda, Inggou turi-turian.

5. Nyanyian liris sesungguhnya, yakni nyanyian-nyanyian yang liriknya mengungkapkan perasaan tanpa menceritakan suatu kisah yang bersambung (coherent). Banyak diantaranya yang mengungkapkan perasaan sedih, putus asa karena kehilangan sesuatu atau cinta, sehingga menimbulkan keinginan-keinginan yang tidak mungkin tercapai. Contohnya: tangis-tangis boru laho.

6. Nyanyian nasihat, yakni nyanyian rakyat yang liriknya memberi nasihat untuk kebaikan. Contoh: urma lo dayok, tihtolol.

7. Nyanyian mengenai pacaran dan pernikahan. Contohnya : tangis-tangis boru laho, taur-taur simbandar.

8. Nyanyian kanak-kanak. Contohnya: marsiarangoi, marsap-sap sere, tapi garo-garo.

9. Nyanyian rakyat yang bersifat berkisah (narative folksong), yakni nyanyian rakyat yang menceritakan suatu kisah. Contohnya : Inggou turi-turian mengisahkan asal mula pengobatan.

(57)

Simalungun pada khususnya karena banyak makna dan syair yang tidak sesuai dengan kaedah budaya Simalungun.

Adapun jenis-jenis nyanyian musik vokal rakyat Simalungun antara lain :

(58)

masyarakat Simalungun,yang semakin terkikis dan mengalami beberapa perubahan yang menghilangkan jati diri kebudayaan itu sendiri dan mengalami kepunahan. Hal ini terlihat pada sedikitnya masyarakat Simalungun yang mengetahui dan dapat menyanyikan lagu-lagu rakyat Simalungun khususnya nyanyian doding namarInggou Simalungun.

2. Tangis dan tangis-tangis, yaitu suatu nyanyian yang dilakukan oleh seorang gadis atau ibu tua oleh karena putus asa, berpisah dengan keluarga oleh karena kematian,berpisah dengan kekasihnya. Seorang yang ditinggal suaminya karena meninggal dunia yang disebut tangis. Seorang gadis yang hendak meninggalkan orangtuanya untuk pergi mengikut suaminya, dimana akan mengumandangkan kata-kata perpisahan sekaligus perminta-annya. Nyanyian di Simalungun disebut tangis-tangis boru laho.

3. Urdo-urdo, yaitu nyanyian yang digunakan untuk menidurkan seorang anak. Hal ini biasanya dilakukan oleh seorang ibu kepada anaknya maupun seorang anak perempuan kepada adiknya. Urdo-urdo ini merupakan suatu bentuk kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Simalungun untuk menidurkan anaknya, karena hal ini di yakini akan membuat si anak dapat tidur lebih nyenyak dan bahkan membantu si anak untuk lebih merespon kepada orangtuanya.

(59)

Simalungun ini sangat erat hubungannya dengan Inggou karena didalam bernyanyi doding Simalungun haruslah ada ciri khas cengkok/ ornamen dan gaya bernyanyi seseorang penyanyi Simalungun bila sedang menyanyikan lagu rakyat Simalungun yang seperti tertulis diatas.

5. Ilah, yakni suatu nyanyian yang dilakukan oleh pemuda-pemudi secara bersamaan, pemuda saja atau pun pemudi saja sambil menari dan menepuk tangannya, berkeliling membentuk lingkaran dihalaman yang lebar (alaman na bolag). Biasanya dinyanyikan pada saat terang bulan dihalaman dengan riang dan gembira, sehingga menimbulkan rasa persaudaraan sesama penyanyi. Contohnya: ilah bolon,ilah doding.

6. Doding-doding, yaitu suatu nyanyian yang dilakukan oleh seseorangsecara bersama-sama oleh pemuda-pemudi maupun orangtua untuk menyam-paikan rasa keagungan, pujian, ataupun sindiran. Melalui doding-doding juga mengungkapkan perasaan sedih dan kesepian. Contohnya: tading ma ham, sarsahon jambulanmu, layur mandera, Perawi.

7. Orlei dan mardogei, yaitu suatu nyanyian yang dilakukan secara bersama-sama menarik kayu dan menginjak kayu dari hutan yang dibawa ke desa untuk keperluan pembuatan lumpung maupun keperluan pembuatan rumah. Demikian pula secara bersama-sama menginjak padi di ladang sambil bernyanyi melepaskan padi dari bulirnya. Contohnya: orlei-orlei dan lailullah.

(60)

9. Manalunda/mangmang, yaitu mantera yang dinyanyikan oleh seorang datu (dukun) guna menyembuhkan suatu penyakit atau pelantikan seorang raja. Mula-mula mantera ini diucapkan seperti berbicara, kemudian bagian tertentu dinyanyikan. Mantera yang dinyanyikan disebut manalunda, sedangkan yang diucapkan disebut tabas.

Gambar

Gambar 2.1 Raja Siantar –Tuan Ragaim (morga Purba), 1930-an. Coba perhatian gotong yang mereka Tuan Sawadim (morga Damanik) & Raja Dolog Siloukenakan
Gambar 2.3 Pakain modern adat SimalungunSumber : www.google.com
Gambar 2.4 Aksara Simalungun (Indung Huruf)Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin
Gambar 2.5 Aksara Simalungun (Anak Huruf)Sumber : Buku Terjemahan Pustaha Lak-Lak Kedalam Aksara Latin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Trio pada musik populer Batak Toba adalah tiga orang penyaji instrumen vokal yang beranggotakan hanya laki-laki atau hanya perempuan atau penggabungan (campuran) laki-laki

Sebelum menuliskan sebuah biografi seseorang, ada beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan pertimbangan, misalnya: (a) Apa yang membuat orang tersebut istimewa atau menarik

Bahasa puisi adalah sifat bahasa yang dipergunakan sebagai wadah untuk mengekspresikan secara universal atau umum dan bukan merupakan bahasa yang

Pengamatan yang dilakukan merupakan langkah analisa terhadap struktur kalimat, motif, frase dan bagian/periode yang terdapat dalam karya musik Panca Indra komposer

The objective of this study is to know more about the personally figure of Dakka Hutagalung, to analyze the structure of Batak pop music as the works of Dakka Hutagalung, as well

The objective of this study is to know more about the personally figure of Dakka Hutagalung, to analyze the structure of Batak pop music as the works of Dakka Hutagalung, as well

Medan, Pusat pengkajian Musik Batak Universitas HKBP Nommensen Medan, 2004.. Pasaribu,

Gariada, gariada, gariada dang marna metep /dan tidak bisa hilang dari hatiku.. 51) Judul : Tao Toba Cipt : Dakka Hutagalung. Sambulonku tano batak (kebangganku