• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Ada tiga sifat bahasa yang harus diutamakan yaitu bahasa sebagai sistem

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. Ada tiga sifat bahasa yang harus diutamakan yaitu bahasa sebagai sistem"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Ada tiga sifat bahasa yang harus diutamakan yaitu bahasa sebagai sistem tanda atau sistem lambang, sebagai alat komunikasi, dan digunakan oleh kelompok manusia atau masyarakat.Selain itu, bahasa juga merupakan bunyi suara, bersifat arbitrer, manusiawi, berhubungan dengan suara dan pendengaran, konvensional dan bersistem(Sibarani, R1992:3).

Pendapat Sibarani tentang bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi tentu memiliki beragam penafsiran, salah satunya adalah komunikasi yang baik antara penutur dengan petutur.Hal yang diperlukan ketika proses percakapan berjalan dengan lancar adalah sikap sopan dan santun antar sesama mitra tutur. Selain itu bahasa juga memiliki norma sosiokultural yang menghendaki agar manusia bersikap santun dalam berinteraksi dengan sesamanya.(Ismari dalam Lutfiyatin, http://kesantunanberbahasa.wordpress.com/) mengatakan bahwa hal penting yang berkenaan dengan keberhasilan pengaturan interaksi sosial melalui bahasa adalah strategi-strategi yang mempertimbangkan status penutur dan mitra tutur.Keberhasilan penggunaan strategi-strategi ini menciptakan suasana kesantunan yang memungkinkan transaksi sosial berlangsung tanpa mempermalukan penutur dan mitra tutur.

(2)

Sebagaimana juga diungkapkan oleh Keith Allan dalam Rahardi (2005:52) bahwa agar proses komunikasi penutur dan petutur dapat berjalan dengan baik dan lancar, mereka haruslah dapat saling bekerja sama. Ia berpendapat bahwa bekerja sama yang baik di dalam proses bertutur itu, salah satunya dapat dilakukan dengan berprilaku sopan kepada pihak lain. Sehubungan dengan itu, ia menyatakan bahwa berperilaku sopan itu dapat dilakukan dengan cara memperhitungkan “muka” si penutur di dalam kegiatan bertutur.

Ketika sesorang mengujarkan imperatif, memperhitungkan muka petutur juga sangat penting dilakukan, di samping juga muka penutur sendiri.Disebutkan bahwa dalam komunikasi interpersonal, muka seseorang selalu dalam keadaan terancam.Untuk itulah digunakan sopan dan santun ketika berbahasa.

Imperatif adalah bentuk perintah untuk kalimat atau verba yang menyatakan larangan atau keharusan melaksanakan perbuatan (KBBI, 2005:427). Dalam bahasa Indonesia, deskripsi satuan lingual imperatif dengan ancangan struktural telah banyak dilakukan linguis. Berkaitan dengan imperatif, Slamet Muljana, Poedja Wijatna, dan Ramlan menggunakan istilah “kalimat suruh” sementara Mees.Keraf, Alisjahbana, Fokker, dan Moeliono menggunakan istilah “kalimat perintah” (Rahardi, 2005:1).

Berhubungan dengan kesantunan dalam pemakaian tuturan imperatif, menurut Rahardi (2005:6) ditentukan oleh dua faktor utama yaitu penentu-penentu linguistik dan penentu-penentu ekstralinguistik.Penentu-penentu yang bersifat linguistik di antaranya ditentukan berbagai macam aspek, seperti panjang pendek tuturan, pemakaian kata, dan atau frasa penanda kesantunan yang berpengaruh terhadap persepsi kesantunan dalam pemakaian tuturan imperatif bahasa Indonesia.Sedangkan

(3)

penentu yang bersifat ekstralingustik menunjuk kepada berbagai aspek luar bahasa yang kemunculannya bersama tuturan berpengaruh terhadap persepsi kesantunan pemakaian tuturan imperatif.Aspek-aspek tersebut, misalnya maksud tuturan, waktu dan tempat munculnya tuturan, peserta tutur, dan sebagainya.Aspek-aspek itu membentuk sebuah informasi indeksal yang lazim disebut dengan konteks situasi ujar.

Penelitian yang mengambil kesantunan berbahasa sebelumnya pernah dilakukan oleh Ratna Juwita (2010) berjudul “Kesantunan Imperatif Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unja Angkatan 2006 dalam Berbahasa Indonesia”, Maryana (2006) berjudul “Nilai Kesantunan dalam Seloko Adat Upacara Perkawinan di Kabupaten Muaro Jambi”, dan Fitriani (2006) berjudul “Persepsi Kesantunan Direktif Mahasiswa S1 FKIP Unja Angkatan 2004 dalam Berbahasa Indonesia”.

Meskipun penelitian yang berkenaan dengan kesantunan dan kesantunan imperatif sudah pernah dilakukan, namun sepengetahuan peneliti belum ada penelitian kesantunan imperatif yang datanya adalah bahasa daerah. Padahal Bangsa Indonesia sangat kaya akan bahasa daerah serta kebudayaannya. Setelah mengetahui ketentuan-ketentuan dari kesantunan dalam praktik berbahasa Indonesia, khususnya bahasa Melayu Jambi Dusun Pauh Agung Kabupaten Bungo, penulis berasumsi bahwa anggota masyarakat pengguna bahasa itu akan lebih mudah membina relasi dan menjalin kerja sama di dalam membangun komunikasi dan interaksi dengan sesamanya jika memiliki kesantunan saat proses pertuturan sedang berlangsung.

(4)

Alasan mengapa peneliti memilih Dusun Pauh Agung karena masyarakat Dusun Pauh Agung Kabupaten Bungo merupakan bagian dari anggota masyarakat yang sebagian besar tidak memahami kesantunan dalam berkomunikasi, khususnya dalam mengujarkan tuturan imperatif. Selain itu, Dusun Pauh Agung juga merupakan dusun penulis yang juga putra daerah asli dusun tersebut. Sebagai masyarakat yang sebagian besar proses komunikasi terjadi di lingkungan dusun, tentu perlu menggunakan bahasa yang sopan supaya tidak terjadi benturan dan perselisihan antar sesama anggota dusun, yang tentu sudah seperti keluarga. Dengan kesopanan akanada suatu anggapan positif dan perasaan bahwa penutur (n) dan petutur (t) sebenarnya sama atau sederajat, sehingga secara langsung petutur yang dalam hal ini masyarakat Dusun Pauh Agung akan merasa lebih dihargai dan lebih tertarik jika masyarakat lainnya mengujarkan kalimat imperatif yang santun.

Jadi, sangat tepat jika penulis mencoba meneliti bentuk kesantunan imperatif masyarakat Melayu Dusun Pauh Agung jika dilihat dari proses bertutur dan komunikasi sehari-hari. Proses tersebut seperti antara Suami dengan istri, ibu dengan anak, ayah dengan anak, anak dengan anak, ataupun orang dewasa dengan orang dewasa. Dalam hal ini khususnya daerah pedesaan yang bernama Dusun Pauh Agung. Dusun yang dihuni oleh mayoritas penduduk suku melayu Jambi ini dalam setiap proses komunikasi selalu menggunakan bahasa daerah dan bahkan kebanyakan dari mereka kesulitan untuk memahami atau menafsiran dalam bahasa Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, sebagai upaya untuk memperhatikan banyaknya bentuk kalimat kesantunan imperatif dalam proses komunikasi masyarakat Melayu Jambi di dusun Pauh Agung, maka peneliti mencoba mengembangkan dan

(5)

memaparkan hal-hal atau bentuk-bentuk komunikasi masyarakatMelayu Jambi yang dianggap termasuk ke dalam bentuk kesantunan linguistik tuturan imperatif bahasa Melayu Jambi Dusun Pauh Agung Kabupaten Bungo dan kesantunan pragmatik tuturan imperatif bahasa Melayu Jambi dusun Pauh Agung Kabupaten Bungo didalam tuturan kesantunan imperatif masyarakat Melayu Jambi.

Selain itu informasi mengenai kesantunan imperatif di lingkungan tertentu dirasa perlu karena (1) Bangsa Indonesia adalah bangsa Timur yang mempunyai ciri kesopanan melebihi bangsa barat; terutama dari ramah-tamah bahasanya, (2) kebakuannya, (3) dengan asumsi bahwa bahasa itu bersifat dinamis, terus menerus berubah maka gejala-gejala kebahasaan yang ada sekarang bila tidak didokumentasikan akan menyebabkan kehilangan “jejak” salah satu unsur bahasa

Dilihat dari betapa pentingnya informasi mengenai kesantunan, maka upaya pendokumentasian hal tersebut mutlak dilakukan.Pendokumentasian itu dapat dilakukan antara lain dengan penulisan laporan penelitian, penulisan buku, dan literatur tentang kesantunan imperatif, penulisan karya ilmiah seperti skripsi, tesis, disertasi, dan sebagainya. Oleh karena itu diharapkan dengan dilakukan penelitian ini setidaknya dapat mendeskripsikan kesantunan imperatif masyarakat Dusun Pauh Agung Kabupaten Bungo. Kenyataan itulah yang mendorong penulis tertarik untuk mengangkat judul “Kesantunan Imperatif dalam Bahasa Melayu Jambi Dusun Pauh Agung Kabupaten Bungo”.

(6)

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakahkesantunan linguistik tuturan imperatifBahasaMelayu Jambi DusunPauh AgungKabupaten Bungo?

2. Bagaimanakah kesantunan pragmatik tuturan imperatif BahasaMelayu Jambi Dusun Pauh Agung Kabupaten Bungo?

1.3 Tujuan Penelitian

1.Mendeskripsikan kesantunan linguistik tuturan imperatifBahasaMelayuJambi DusunPauh Agung Kabupaten Bungo?

2.Mendeskripsikan kesantunan pragmatik tuturan imperatif BahasaMelayu Jambi Dusun Pauh Agung Kabupaten Bungo?

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoritis maupun praktis

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam kajian pragmatik, khususnya mengenai kesantunan Imperatif dalam masyarakat saat proses komunikasi kehidupan sehari-hari dan pelanggaran PK maupun PS didalam kegiatanbertutur.

(7)

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini selain memberikan manfaat teoretis yang telah diuraikan, penelitian ini juga dapat memberikan manfaat praktis sebagai berikut:

1. Memberikan masukan praktis tentang kesantunan imperatif bagi pendidik untuk memperhatikan bahasa anak disekolah.

2. Sebagai masukan bagi pemerhati bahasa, bahwa bahasa yang beraneka ragam di Indonesia mempunyai perbedaan penafsiran, dan kesantunan saat proses komunikasi berlangsung.

3. Sebagai masukan bagi mahasiswa FKIP Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra yang berminat meneliti tentang bahasa dan tingkat kesantunannya.

(8)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hakikat dan Fungsi Bahasa

Semua orang mempunyai dan menggunakan bahasa. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Karena, berbahasa adalahsuatu kegiatan yang kita lakukan selama kita hidup. Hal ini harus disadari benar-benar. Jika kita tidak melakukan tindakan berbahasa, maka identitas kita sebagai manusia akan hilang.Bahasa mempunyai ciri-ciri utama yang melekat pada diri manusia sebagai pemakainya.

Subyakto dan Nababan (1992: 1) “Adanya bahasa membuat kita menjadi makhluk yang bermasyarakat (atau makhluk sosial). Kemasyarakatan kita tercipta dengan bahasa, dibina dan dikembangkan dengan bahasa”.Dari pernyataan tersebut, sedikit simpulan bahwa kemasyarakatan akan tercipta dengan baik apabila setiap makhluk mempunyai modal utama yaitu bahasa. Jika bahasa bisa diasumsikan demikian, maka setiap pengguna bahasa akan menjadi seorang manusia yang dapat berbaur dan berinteraksi dengan sesama.

Pada hakikatnya bahasa telah mendapat perhatian besar dari para ahli bahasa sejak dahulu. Jawaban atas pertanyaan, “apa yang disebut dengan bahasa?” pada dasarnya merupakan upaya untuk mengetahui serta memahami hakikat bahasa.

(9)

Dipandang sekilas pintas pertanyaan itu mudah sekali, tetapi kalau direnungi dalam-dalam ternyata jawabannya tidak semudah yang disangka orang (Tarigan 1986:2).

Fungsi bahasa adalah suatu kenyataan bahwa manusia mempergunakan bahasa sebagai sarana komunikasi vital dalam hidup ini. Bahasa adalah milik manusia. Bahasa adalah satu ciri pembeda utama kita umat manusia dengan makhluk hidup lainnya di dunia ini (Tarigan 1986:3). Setiap masyarakat terlibat dalam komunikasi linguistik, di satu pihak dia bertindak sebagai pembicara dan di pihak lain sebagai penyimak. Dalam komunikasi yang lancar, proses perubahan dari pembicara menjadi penyimak, dari penyimak menjadi pembicara, begitu cepat terasa sebagai suatu peristiwa biasa dan wajar, yang bagi sebagian besar orang tidak perlu dipermasalahkan apalagi dianalisis dan ditelaah. Bahasa mempunyai fungsi-fungsi yang amat penting bagi manusia, terutama fungsi komunikatif.

Wadlaugh (Abdul Chaer 2009:33) memaparkan beberapa fungsi bahasa sebagai alat komunikasi seperti yang dijelaskannya berikut ini.

Fungsi bahasa adalah alat komunikasi manusia, baik lisan maupun tulisan. Namun fungsi ini sudah mencakup lima fungsi dasar yang menurut Kinneavy disebut fungsi ekspresif, informasi, eksplorasi, persuasi, dan entertainmen. Fungsi bahasa sebagai sarana informasi adalah untuk menyampaikan pesan atau amanat kepada orang lain. Eksplorasi berguna untuk menjelaskan suatu hal, perkara, dan keadaan. Persuasi merupakan penggunaan bahasa yang bersifat mempengaruhi atau mengajak orang lain. Entertainmen adalah penggunaan bahasa dengan maksud menghibur, menyenangkan atau memuaskan perasaan orang lain.

2.2Kesantunan Berbahasa

Dalam penilaian kesantunan berbahasa adalah bagaimana kita bertutur dan dengan siapa kita bertutur. Hakikatnya kesantunan berbahasa adalah etika kita dalam bersosialisasi dimasyarakat dengan penggunaan, pemelihan kata yang baik serta memperhatikan di mana, kapan, kepada siapa, dengan tujuan apa kita berbicara secara

(10)

santun. Budaya kita menilai berbicara dengan menggunakan bahasa yang santun akan memperlihatkan sejatinya kita sebagai manusia yang beretika, berpendidikan, dan berbudaya sehingga mendapatkan penghargaan sebagai manusia yang baik.

Bersikap atau berbahasa santun dan beretika juga bersifat relatif, tergantung pada jarak sosial penutur dan mitra tutur. Selain itu, makna kesantunan dan kesopanan juga dipahami sama secara umum; sementara itu, kedua hal tersebut sebenarnya berbeda. Istilah sopan merujuk pada susunan gramatikal tuturan berbasis kesadaran bahwa setiap orang berhak untuk dilayani dengan hormat, sementara

santun itu berarti kesadaran mengenai jarak sosial (Thomas, 1995:7).

Selain pendapat di atas, Brown dan Levinson juga memiliki pandangan sendiri mengenai kesantunan. Pandangan kesantunan Brown dan Levinson yang dikenal dengan pandangan “penyelamatan muka” (face-saving), telah banyak dijadikan ancangan penelitian. Pandangan ini mendasarkan asumsi pokoknya pada aliran Weber (Weberian School) yang juga diilhami dari konsep muka seorang antropolog Cina bernama Hsien Chin Hu.Selain itu, pandangan kesantunan ini juga didasari oleh konsep muka yang dikembangkan oleh Erving Goffman, yakni bahwa kesantunan atau penyelamatan muka itu merupakan manifestasi penghargaan terhadap suatu masyarakat.Menurut Erving Goffman, anggota masyarakat sosial, lazimnya memiliki dua macam jenis muka, yaitu muka negative (negative face) dan muka positif (positif face) (dalam Rahardi, 2005:39).

Muka negatif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindankannya atau membiarkan bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu.

(11)

Sedangkan muka positif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini (sebagai akibat dari apa yang dilakukan atau dimilkinya itu) diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, dan seterusnya.

Dalam komunikasi interpersonal, muka seseorang selalu dalam keadaan terancam (face-treathened). Brown dan Levinson menyebutnya dengan istilah

Face-Treatining (FTA). Untuk mengurangi atau jika dapat menghilangkan ancaman itulah

di dalam komunikasi kita tidak mesti selalu mematuhi maksim-maksim Grice, dan kita jadi perlu menggunakan prinsip sopan santun atau sopan santun berbahasa.

Prinsip kesantunan adalah peraturan dalam percakapan yang mengatur penutur dan petutur untuk memperhatikan sopan santun dalam bertutur.Menurut Leech (1993) prinsip kesantunan menyangkut hubungan antara peserta komunikasi, yaitu penutur dan pendengar.Oleh sebab itu mereka menggunakan strategi dalam mengujarkan suatu tuturan dengan tujuan agar kalimat yang dituturkan santun tanpa menyinggung pendengar.

Terdapat tiga macam parameter atau skala pengukur peringkat kesantunan yang sampai saat ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan.Ketiga macam skala itu adalah (1) skala kesantunan menurut Leech, (2) skala kesantunan menurut Brown dan Levinson, dan (3) skala kesantunan menurut Robin Lakoff.

(12)

a) Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakintuturan tersebut merugikan diri penutur, akan dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal demikian dilihat dari kacamata si mitra tutur dapat dikatakan bahwa semakin menguntungkan diri mitra tutur, akan dipandang semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri si mitra tutur akan dianggap semakin santunlan tuturan itu.

b) Optioniality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (option) yang disampaikan penutur si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinkan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun. Berkaitan dengan pemakaian tuturan imperatif di Dusun Pauh Agung, dapat dikatakan bahwa apabila tuturan itu menyajikan banyak pilihan tuturan akan menjadi semakin santunlah pemakaian tuturan imperatif itu. c) Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau

tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.

d) Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu. e) Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan sosial

antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan menjadi semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur. (Rahardi, 2005:66-68).

2. Skala Kesantunan Brown dan Levinson

a) Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and hearer) banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Berkenaan dengan perbedaan umur antara penutur dan mitra tutur, lazimnya didapatkan bahwa semakin tua umur seseorang, peringkat kesantunan dalam bertuturnya akan menjadi semakin tinggi. Orang yang berjenis kelamin wanita, lazimnya memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin pria. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kaum wanita cenderung lebih banyak berkenaan dengan sesuatu yang bernilai estetika dalam keseharian hidupnya. Latar belakang sosiokultural seseorang memiliki peran sangat besar dalam menentukan peringkat kesantunan bertutur yang dimilikinya. orang yang memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat, cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan orang, seperti misalnya petani, pedagang, kuli perusahaan, buruh bangunan, dan pembantu rumah tangga.

(13)

b) Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer relative power) atau seringkali disebut dengan peringkat kekuasaan (power rating) didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur. Sebagai contoh, dapat disampaikan bahwa di ruang periksa sebuah rumah sakit, seorang dokter memiliki peringkat kekuasaan lebih tinggi dibandingkan dengan seorang pasien. Sejalan dengan itu, di sebuah jalan raya seorang polisi lalu lintas dianggap memiliki peringkat kekuasaan lebih besar dibandingkan dengan seorang dokter rumah sakit yang pada saat itu kebetulan melanggar peraturan lalu lintas. Sebaliknya, polisi yang sama akan jauh di bawah seorang dokter rumah sakit dalam hal peringkat kekuasaannya apabila sedang berada di sebuah ruang periksa rumah sakit.

c) Skala peringkat tindak tutur atau sering disebut rank rating atau lengkapnya thedegree of imposition associated with the required expenditure of goods of service didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. Sebagai contoh, dalam situasi yang sangat khusus, bertamu di rumah seorang wanita dengan melewati batas waktu bertemu yang wajarakan sebagai tidak tahu sopan santun dan bahkan melanggar norma kesantunan yang berlaku pada masyarakat tutur. Namun demikian, hal yang sama akan dianggap sangat wajar dalam situasi yang berbeda. Misalnya, pada saat di suatu kota terjadi kerusuhan dan pembakaran gedung-gedung dan perumahan, orang berada di rumah orang lain atau rumah tetangganya bahkan sampai pada waktu yang tidak ditentukan, tidak akan dianggap melanggar norma kesopanan. (Rahardi, 2005:68-70).

3. Skala Kesantunan Robin Lakoff

a) Skala formalitas (formality scale), dinyatakan bahwa agar peserta tutur dapat merasa nyaman dan betah dalam kegiatan bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa atau tidak boleh berkesan angkuh.

b) Skala ketidaktegasan (hesytanci scale) atau sering disebut skala pilihan (optionality scale) menunjukkan bahwa agar penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dalam bertutur, pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak. Orang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dan terlalu kaku di dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak santun.

c) Skala kesamaan atau kesekawanan menunjukkan bahwa agar dapat bersikap santun, orang haruslah bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak lain. (Rahardi, 2005:70).

Berdasarkan uraian beberapa ahli di atas, dapat memberikan gambaran terkait pengukuran skala kesantunan dalam kegiatan bertutur.Jika norma-norma dalam tradisi lokal menanamkan kesantunan dalam berbahasa, mungkin belum terjadi pemilahan antara kesopanan (deference) dan kesantunan (politeness).

Leech (1983) membagi Prinsip Kesantunan menjadi 6, seperti yang ditulisnya berikut ini.

(14)

(1) Maksim Kebijaksanaan Kurangi kerugian orang lain. Tambahi keuntungan orang lain. (2) Maksim Kedermawanan

Kurangi keuntungan diri sendiri. Tambahi pengorbanan diri sendiri. (3) Maksim Penghargaan

Kurangi cacian pada orang lain. Tambahi pujian pada orang lain. (4) Maksim Kesederhanaan

Kurangi pujian pada diri sendiri. Tambahi cacian pada diri sendiri. (5) Maksim Pemufakatan

Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. (6) Maksim Simpati

Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain. Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain.

2.3Imperatif

Beberapa ahli tata bahasa menggunakan istilah lain yang pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan istilah kalimat imperatif, diantaranya Alisjahbana dan Gorys

(15)

Keraf yang menggunakan istilah kalimat perintah. Alisjahbana (Rista Noermala sari, 1978:1) mengartikan kalimat perintah sebagai ucapan yang isinya memerintah, memaksa, menyuruh, mengajak, meminta, agar orang yang diperintah itu melakukan apa yang dimaksudkan di dalam perintah. Gorys Keraf (1991) banyak menjelaskan kalimat perintah bahasa Indonesia dalam karya ketatabahasaannya. Ia mendefinisikan kalimat perintah sebagai kalimat yang mengandung perintah atau permintaan agar orang lain melakukan sesuatu seperti yang diinginkan orang yang memerintah itu.

Rahardi (2005:71) menyatakan bahwa kalimat imperatif mengandung maksud memerintah atau meminta agar mitra tutur melakukan sesuatu sebagaimana diinginkan si penutur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia itu kompleks dan bervariasi. Rahardi (2005:87) mengatakan wujud kesantunan imperatif mencakup dua macam hal, yaitu (1) wujud formal imperatif atau struktural dan (2) wujud pragmatik imperatif atau nonstruktural. Wujud pragmatif imperatif adalah realisasi maksud imperatif menurut makna pragmatiknya. Makna tersebut dekat hubungannya dengan konteks situasi tutur yang melatarbelakangi munculnya tuturan imperatif itu. Konteks mencakup banyak hal, seperti lingkungan tutur, nada tutur , peserta tutur, dan aspek-aspek konteks situasi tutur lain.

Menurut Rahardi (2005:118) terdapat dua hal pokok berkaitan dengan pemakaian tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia.Kedua hal pokok tersebut adalah kesantunan linguistik tuturan imperatif dan kesantunan pragmatik tuturan imperatif.

(16)

2.3.1 Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif

Kesantunan linguistik tuturan imperatif merupakan kesantunan dalam mengujarkan ujaran imperatif yang dapat dilihat atau diperhatikan dari segi bahasa atau lingual yang digunakannya.Adapun bentuk kesantunan linguistik tuturan imperatif adalah dalam bentuk pemakaian kata, frasa, dan kalimat. Rahardi (2005:118) mengatakan bahwa kesantunan lingustik tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia mencakup empat hal, yaitu panjang-pendek tuturan, urutan tutur, intonasi dan isyarat-isyarat kinesik, dan pemakaian penanda kesantunan.

2.3.1.1Panjang-Pendek Tuturan sebagai Penentu Kesantunan Linguistik Tuturan

Terdapat semacam ketentuan tidak tertulis bahwa pada saatmenyampaikan maksud tertentu dalam bertutur, orang tidak diperbolehkan secara langsung mengungkapkan maksud tuturannya. Orang yang terlalu langsung dalam menyampaikan maksud tuturannya akan dianggap sebagai orang yang tidak santun dalam bertutur.

Secara umum, semakin panjang sebuah tuturan, akan semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan, akan cenderung semakin tidak santunlah tuturan itu. Karena panjang-pendeknya tuturan berhubungan sangat erat dengan masalah kelangsungan dan ketidaklangsungan dalam bertutur.Selanjutnya, kelangsungan dan ketidaklangsungan tuturan itu berkaitan

(17)

dengan masalah kesantunan (Rahardi, 2005:119).Berkenaan dengan itu, contoh-contoh tuturan berikut dapat dipertimbangkan sebagai ilustrasi.

(1) “Arsip surat kontrak itu!” (2) “Ambil arsip surat kontrak itu!” (3) “Ambilkan arsip surat kontrak itu!”

(4) “Tolong ambilkan arsip surat kontrak itu!”

Situasi Ujar:

Tuturan 1,2,3, dan 4 dituturkan oleh seorang direktur kepada sekretarisnya dalam situasi yang berbeda-beda pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang direktur.

Tuturan di atas masing-masing memiliki jumlah kata dan ukuran panjang-pendek yang tidak sama. Tuturan (1) terdiri dari empat kata, tuturtan (2) terdiri dari lima kata, tuturan (3) terdiri dari lima kata, namun kata ambil pada tuturan (2) berubah menjadi ambilkan yang lebih panjang wujudnya daripada bentuk ambil. Tuturan (4) terdiri dari enam kata dan merupakan tuturan yang terpanjang dari tuturan-tuturan imperatif yang disebutkan di atas.

Tuturan (1) secara linguistik berkadar kesantunan paling rendah, sedangkan tuturan (4) berkadar kesantunan paling tinggi. Tuturan (1) memiliki konotasi makna keras, tegas, dan kasar karena ciri kelangsungan yang melekat di dalamnya sangat tinggi.Konotasi makna yang keras, kasar, dan langsung itu berangsur-angsur semakin mengecil pada tuturan (2), (3), dan tuturan (4).Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semakin panjang sebuah tuturan menjadi semakin santunlah sebuah tuturan itu.

(18)

Dari uraian yang disampaikan, dapat dikatakan bahwa penanda kesantunan dalam pemakaian tuturan imperatifbahasa Indonesia dapat diidentifikasi dari panjang-pendeknya wujud tuturan imperatif itu. Apabila seorang penutur dapat memperpanjang tuturannya dalam bertutur, tentu saja dengan makna dasar yang tidak berubah dari makna sebelumnya, penutur itu akan dikatakan sebagai orang yang santun.

2.3.1.2 Urutan Tutur sebagai Penentu Kesantunan Linguistik Tuturan

Pada kegiatan bertutur yang sesungguhnya, orang selalu mempertimbangkan apakah tuturan yang digunakan itu tergolong sebagai tuturan santun ataukah tuturan tidak santun.Ada kalanya tuturan yang digunakan itu kurang santun dan dapat menjadi jauh lebih santun ketika tuturan itu ditata kembali urutannya.

Dalam wacana panjang, urutan tutur sebuah tuturan itu relatif lebih mudah diidentifikasi dibandingkan dengan urutan tutur pada urutan pendek.Dalam tuturan pendek, urutan tutur itu dapat diidentifikasi keberadaanya walaupun memang tidak semudah pada wacana panjang. Berkenaan urutan tutur sebagai penentu kesantunan linguistik tuturan imperatif seperti telah diuraikan di depan, contoh tuturan berikut dapat dicermati.

(5) “Ruangan ini akan digunakan untuk pertemuan pukul 09.00 tepat. Bersihkan dulu meja itu!”

(6) “Cepat! Bersihkan dulu meja itu! Ruangan ini akan digunakan untuk pertemuan pukul 09.00 tepat”

(19)

Tuturan (5) dan tuturan (6) dituturkan oleh seorang direktur kepada sekretarisnya di dalam sebuah ruangan yang segera akan digunakan untuk rapat. Kedua tuturan itu berbeda dalam urutan tuturannya.

Tuturan (5) dan tuturan (6) mengandung maksud yang sama. Namun demikian, kedua tuturan itu berbeda dalam hal peringkat kesantunannya.Tuturan (5) lebih santun dibandingakan dengan tuturan (6) karena untuk menyatakan maksud imperatifnya, tuturan itu diawali terlebih dahulu dengan informasi lain yang melatarbelakingi imperatif yang dinyatakan selanjutnya. Kemunculan tuturan yang berbunyi “ruangan ini akan digunakan untuk pertemuan pukul 09.00 tepat” mendahului tuturan imperatif yang berbunyi “Bersihkan dulu meja itu! Cepat!” dapat merendahkan kadar imperatif tuturan itu secara keseluruhan. Urutan tutur yang demikian berkaitan erat dengan masalah kelangsungan dan ketidaklangsungan tuturan.Tuturan yang langsung itu berkadar kesantunan rendah, sedangkan tuturan yang tidak langsung berkadar kesantunan tinggi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tuturan imperatif yang diawali dengan informasi nonimperatif di depannya memiliki kadar kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan tuturan imperatif yang tanpa diawali informasi nonimperatif. (Rahardi,2005:122).

2.3.1.3Intonasi dan Isyarat-isyarat Kinesik sebagai Penentu Kesantunan Linguistik Tuturan

Apabiladicermati dengan lebih seksama, tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur dalam kegiatan bertutur itu terdengar seperti bergelombang. Hal demikian disebabkan oleh alunan gelombang bunyi yang dituturkan itu tidak sama

(20)

kadar kejelasan tuturannya pada saat diucapkan. Pada suatu saat, ada seperti yang dipanjangkan, ada yang diberhentikan sementara, dan ada pula yang diberhentikan lama.Semua dapat berbeda-beda tergantung dari konteks situasi tuturnya (Rahardi, 2005:122).

Intonasi adalah tinggi-rendahnya suara, panjang-pendek suara, keras lemah suara, jeda, irama, dan timbre yang menyertai tuturan.Intonasi dapat dibedakan menjadi dua, yakni intonasi yang menandai berakhirnya suatu kalimat atau intonasi final, dan intonasi yang berada ditengah kalimat atau intonasi nonfinal.Intonasi berfungsi untuk memperjelas maksud tuturan.Oleh karena itu, intonasi dapat dibedakan lagi menjadi intonasi berita, intonasi Tanya, dan intonasi seruan.Intonasi seruan itu sendiri masih dapat diperinci menjadi intonasi perintah, ajakan, permintaan, permohonan, dan sebagainya (Sunaryati, 1998 dalam Rahardi, 2005:123).

Disamping intonasi, kesantunan penggunaan tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia juga dipengaruhi oleh isyarat-isyarat kinesik yang dimunculkan lewat bagian-bagian tubuh penutur. Sistem paralinguistik yang bersifat kinesik itu dapat disebutkan diantaranya sebagai berikut: (1) ekspresi wajah, (2) sikap tubuh, (3) gerakan jari-jemari, (4) gerakan tangan, (5) ayunan lengan, (6) gerakan pundak, (7) goyangan pinggul, (8) gelengan kepala. Isyarat-isyarat kinesik memiliki fungsi sama dalam menuturkan imperatif, yakni sama-sama berfungsi sebagai pemertegas maksud tuturan (Rahardi, 2005:123).

(7) “Kirim surat ini!” 2 3 3 3 3 1 #

(21)

Situasi Ujar:

Tuturan di atas dituturkan dengan intonasi yang halus, dengan wajah tersenyum, muka ramah, sambil tangan memberikan surat tersebut.

(8) “Kirim surat ini secepatnya dan jangan sampai terlambat lagi!” 2 3 3 3 3 3 2 3 3 3 / / 2 3 3 3 3 3 3 3 3 1 #

Situasi Ujar:

Tuturan di atas diucapkan dengan intonasi keras, wajah sangat tidak bersahabat, sambil melemparkan surat itu.

(9) “Dikirim saja surat ini secepatnya dan jangan sampai terlambat lagi!” 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 / / 2 3 3 3 3 3 3 3 3 1 #

Situasi Ujar:

Tuturan itu diucapkan dengan intonasi sangat keras, kasar, muka marah, sambil menunjuk surat tersebut dengan sikap yang menakutkan dan sangat tidak bersahabat.

Dari ketiga contoh tuturan di atas dapat dilihat denga jelas bahwa jika dilihat dari jumlah konstituen katanya, tuturan (7) berjumlah paling sedikit. Jika mengabaikan aspek intonasi dan tidak memperhitungkan sistem paralinguistik kinesik yang digunakan dalam bertutur, tuturan (7) akan dianggap sebagai tuturan paling tidak santun. Sebaliknya, tuturan (9) akan dikatakan tuturan yang sangat santun karena disamping tuturan tersebut panjang, tuturan itu juga diungkapkan dalam bentuk pasif. Namun demikian, karena tuturan-tuturan itu dituturkan dengan intonasi keras dan tegas, tuturan yang panjang itu dapat berubah menjadi tuturan yang bermakna sangat keras, sangat tegas, dan sangat tidak santun.Jadi, dapat dikatakan bahwa intonasi dan sistem paralinguistik yang sifatnya kinesik memegang peranan

(22)

sangat penting di dalam menentukan tinggi rendahnya tingkat kesantunan pemakaian tuturan imperatif bahasa Indonesia.

2.3.1.4Penanda Kesantunan sebagai Penentu Kesantunan Linguistik

Secara linguistik, kesantunan dalam pemakaian tuturan imperatif bahasa Indonesia sangat ditentukan oleh muncul atau tidak munculnya ungkapan-ungkapan penanda kesantunan. Dari bermacam-macam penanda kesantunan itu dapat disebutkan beberapa sebagai berikut: tolong, mohon, silakan, mari, ayo, biar, coba,

harap, hendaknya, hendaklah, -lah, sudi kiranya, sudi apalah kiranya (Rahardi,

2005:125).

1) Penanda kesantunan Tolong sebagai Penentu Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif

Penggunaan penanda kesantunan Tolong dapat memperhalus maksud tuturan imperatif yang dituturkan oleh seseorang dengan mitra tutur.Secara maksud dan tujuan penyampaian, penanda kesantunan tolong semata-mata tidak hanya dianggap sebagai imperatif yang bermakna perintah saja tetapi juga dapat dianggap imperatif bermakna permintaan.

Perhatikan contoh berikut.

(10a) “Susun acara pertemuan dengan Romo Bono nanti siang!”

(10b) “Tolong susun acara pertemuan dengan Romo Bono nanti siang!”

Dapat dilihat bahwa tuturan (10b) memiliki kadar kesantunan lebih tinggi jika dibandingkan dengan tuturan (10a). Namun, apabila tuturan (10b) dibandingkan

(23)

dengan tuturan yang berdietesis pasif seperti tuturan (10c) dan (10d) berikut, tututan itu memiliki kadar kesantunan yang lebih rendah.

(10c) “Tolong disusun acara pertemuan dengan Romo Bono nanti siang!” (10d) “Tolong disusun saja acara pertemuan dengan Romo Bono nanti siang!”

2) Penanda Kesantunan Mohon sebagai Penanda Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif

Tuturan imperatif yang dilekati penanda kesantunan Mohon pada bagian awalnya akan dapat menjadi lebih santun. Seringkali juga didapatkan bahwa pemakaian penanda kesantunan mohon itu digunakan bersama unsur lain, misalnya

kiranya atau sekiranya. Perhatikan contoh berikut.

(11a) “Terima hadiah buku ini!”

(11b) “Mohon diterima hadiah buku ini!”

(11c) “Mohon (se)kiranya dapat diterima hadiah buku ini!”

Secara berurutan, ketiga tuturan di atas memiliki peringkat kesantunan berbeda-beda.Tuturan (11a) memiliki peringkat kesantunan paling rendah apabila dibandingkan dengan tuturan-tuturan yang lainnya.Perlu dicatat bahwa kata mohon sebagai penanda kesantunan, seringkali digunakan dalam bentuk pasif dimohon pada ragam formal.Dengan demikian, bentuk yang digunakan adalah konstruksi imperatif pasif seperti tampak pada contoh tuturan (12), (13), dan tuturan (14) berikut ini.

(12) “Dimohon bapak Direktur Akademik berkenan membuka rapat bulanan pada kesempatan ini!”

(24)

(13) “kepada Bapak Direktur Akademik dimohon berkenan membuka rapat bulanan pada kesempatan ini!”

(14) “Sebentar lagi para wisudawan akan segera memasuki ruang wisuda. Hadirin dimohon berdiri!”

3) Penanda Kesantunan Silakan sebagai Penentu Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif

Tuturan imperatif yang bagian awalnya dilekati penanda kesantunan

silakanakan dapat menjadi lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang tanpa

menggunakan penanda kesantunan. Dengan digunakannya penanda kesantunan

silakan, tuturan imperatif itu akan dapat memiliki makna persilaan. Perhatikan contoh

berikut.

(15) “Tutup jendela dekat tempat tidur itu!”

(15a) “Silakan tutup jendela dekat tempat tidur itu!” (15b) “Silakan ditutup jendela dekat tempat tidur itu!”

Situasi Ujar:

Tuturan (15), (15a), dan (15b) dituturkan oleh seorang ayah kepada anaknya saat senja sudah mulai tiba di dalam situasi tuturan yang berbeda-beda.

Dari ketiga tuturan di atas, dapat dilihat bahwa tuturan (15) merupakan tuturan yang paling rendah tingkat kesantunannya.Bentuk yang lebih santun dapat dilihat pada tuturan (15a) dan tuturan (15b).

4) Penanda Kesantunan mari sebagai Penentu Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif

(25)

Bentuk marimemiliki peringkat keformalan lebih tinggi daripada ayo atau yo. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tuturan imperatif yang dilekati penanda kesantunan marimemiliki peringkat kesantunan lebih tinggi daripada tuturan imperatif yang dilekati penanda kesantunan ayoatau yo. Perhatikan contoh berikut. (16) “Makan!”

(16a) “Mari makan!” (16b) “Ayo makan!”

(16c) “Yo, makan!” atau “Makan yuk!”

Situasi Ujar:

Tuturan di atas diungkapkan oleh seorang Ibu kepada anaknya dalam situasi tuturan yang berbeda-beda.

Sebagai imperatif yang bermakna ajakan, tuturan seperti pada (16) dapat dikatakan lebih jarang tingkat kemunculannya dalam pertuturan.Biasanya, tuturan itu muncul apabila yang dimaksud adalah imperatif suruh dan imperatif perintah.Dengan demikian, bentuk seperti pada tuturan (16) berkadar kesantunan lebih rendah daripada tuturan-tuturan yang lainnya.Tuturan (16a) lebih santun dibandingkan dengan tuturan (16c) dan (16d).Dalam situasi yang tidak formal, tuturan seperti pada (16c) dan (16d) cenderung lebih sering muncul dan dengan mudah ditemukan dalam praktik keseharian bertutur.

(26)

5) Penanda Kesantunan Biar sebagai Penentu Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif

Penanda kesantunan biar, biasanya digunakan untuk menyatakan makna imperatif permintaan izin.Perhatikan contoh berikut.

(17) “Biarkan aku saja yang membukakan pintu itu!”

(17a) “Aku meminta kepadamu supaya kamu mengizinkan aku membukakan pintu itu!”

(18) “Aku saja yang membukakan pintu itu!”

Situasi Ujar:

Dituturkan oleh seorang anak kepada ibunya pada saat tengah malam ada orang yang mengetuk pintu di rumahnya.Pada saat itu, tidak ada yang berani membukakan pintu karena semua merasa takut dan curiga. Sebagai anak laki-laki yang tertua, ia minta izin untuk membukakan pintu si pengetuk pintu tersebut.

Untuk membuktikan bahwa tuturan (17) pada contoh di atas memiliki makna permintaan izin, tuturan itu dapat diubahujudkan sehingga menjadi tuturan (17a).Sama-sama mengandung makna permintaan izin, tetapi tuturan (17) jauh lebih santun dibandingkan dengan tuturan (18).Dikatakan demikian karena tuturan (18) itu mengandung makna pemaksaan kehendak kepada mitra tutur.

6) Penanda Kesantunan Ayo sebagai Penentu Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif

Dengan digunakannya kata ayo di awal tuturan, makna imperatif yang dikandung di dalam tuturan itu akan dapat berubah menjadi imperatif ajakan.

(27)

Sama-sama berfungsi menuntut tindakan yang Sama-sama, namun makna imperatif mengajak jauh lebih santun. Perhatikan contoh berikut.

(19) “Ayo, minum dulu!”

Situasi Ujar:

Dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya yang menolak untuk minum susu. Dengan mengucapkan tuturan sambil melakukan tindakan, yakni minum susu, diharapkan sang anak mau minum susu seperti ibunya.

(20) “minum dulu!”

Situasi Ujar:

Dituturkan oleh seorang Ibu yang sedang marah kepada anaknya yang selalu menolak minum obat pada saat ia sedang sakit.

Pada tuturan (19) terkandung makna bahwa tindakan minum itu tidak dilakukan sendiri oleh si mitra tutur, melainkan dilakukan bersama-sama oleh penutur dan mitra tutur. Kegiatan yang sama, yakni minum pada tuturan (20) tidak dilakukan bersama dengan si penutur, melainkan dilakukan sendiri oleh si mitra tutur. Tuturan (19) dapat dikatakan lebih santun dibandingkan dengan tuturan (20) karena pada tuturan (19) terkandung maksud penyelamatan muka. Tindakan penyelamatan itu dilakukan dengan cara menghindari unsur paksaan, seperti yang terdapat di dalam tuturan (20).

(28)

7) Penanda Kesantunan Coba sebagai Penentu Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif

Dengan digunakannya kata coba pada tuturan imperatif akan menjadikan tuturan tuturan tersebut bermakna lebih halus dan lebih santun dari pada tuturan imperatif yang tanpa menggunakan kata coba.

(21) “Coba bersihkan dulu!”

Situasi ujar:

Dituturkan oleh seorang ayah kepada anaknya yang baru saja menjatuhkan sesuatu dan mengotori lantai rumahnya. Sebagai ayah yang sungguh bijaksana, ia sama sekali tidak memerahi anaknya yang masih kecil itu, tetapi menyuruhnya utuk membersihkan kotoran itu.

(22) “Bersihkan dulu!”

Situasi Ujar:

Dituturkan oleh seorang ayah yang sedang marah kepada anaknya yang berkali-kali menumpahkan dan memecahkan sesuatu di lantai rumahnya.Tuturan itu dituturkan dengan penuh nuansa kejengkelan.

Makna imperatif yang terkandung dalam tuturan (21) lebih halus dan santun daripada makna imperatif pada tuturan (22).

8) Penanda Kesantunan Harap Sebagai Penentu Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif

Penenda kesantunan harap yang diletakkan pada bagian awal tuturan imperatif akan dapat memperhalus tuturan itu.

(29)

(23) “ Datang tepat waktu!”

Situasi Ujar:

Dituturkan oleh seorang pimpinan kepada bawahannya yang biasa datang terlambat kalau menghadir undangan rapat.Tutran ini disampaikan dengan nuansa kejengkelan karena hal itu sudah sangat sering terjadi.

(24) “Harap para dosen datang tepat waktu!”

Situasi Ujar:

Dituturkan oleh seorang direktur kepada para dosen dalam suatu rapat dosen di sebuah perguruan tinggi.Tuturan itu ditujukan kepada banyak orang dengan tidak menunjuk orang tertentu.

Tuturan (23) merupakan perintah atau suruhan yang sangat tegas dan keras apabila ditunjukkan kepada orang tertentu.Tuturan (24) tidak lagi bermakna imperatif perintah atau suruhan karena di bagian awalnya telah diletakan penanda kesantunan

harap.

9) Penanda Kesantunan Hendak (lah/nya) sebagai Penentu Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif

Tuturan yang mengandung penanda kesantunan hendaknya atau hendaklah dapat memperhalus makna tuturan imperati.Perhatikan contoh berikut.

(25) “Datang tepat waktu!”

(26) “Hendaknya datang tepat waktu!” (27) “Hendaklah datang tepat waktu!”

(30)

Tuturan-tturan di atas disampaikan oleh seorang pimpinan kepada bawahannya dalam situasi tutur yang berbeda-beda.

Tuturan (25) memiliki kadar tuntutan yang sangat tinggi. Karena memiliki kadartuntutan sangat tinggi, dengan senidirinya kadar kesantunan tuturan itu menjadi rendah.Pada tuturan (26) dan (27) dengan ditambahkannya penanda kesantunan

hendaknya dan hendaklah, tuturan tersebut dapat menjadi lebih halus dari pada

tuturan (25).

10)Penanda Kesantunan Sudi Kiranya/Sudilah kiranya/Sudi apalah kiranya sebagai Penentu Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif

Pemakaian penanda kesantunan sudi kiranya, sudilah kiranya atau sudi apalah kiranya, sebuah tuturan imperatifyang bermakna perintah itu akan menjadi lebih halus konotasi maknanya.

(28) “Sudilah kiranya, Bapak datang untuk membicarakan rencana pertunangan anak-anak kita yang sudah terlanjur saling mencintai.”

(29) “Sudi apalah kiranya Ibu berkenan datang menyelesaikan urusan perselisihan Antik dengan pacar Antik yang tidak pernah mau mengerti kesulitanku ini.” (30) “Mohon Bapak sudi kiranya berkenan membantu mengusahakan biaya penelitian

untuk penyusunan disertasi ini.”

Penanda kesantunan sudi apalah kiranyapada tuturan (29) memiliki ciri arkais.Bentuk itu lebih santun dibandingkan dengan bentuk sudi kiranya pada tuturan (30) dan sudilah kiranya pada tuturan (28).Penanda-penanda kesantunan dalam

(31)

tuturan-tuturan di atas, semuanya berfungsi sebagai penentu kesantunan tuturan imperatif yang bermakna permohonan.

2.3.2 Kesantunan Pragmatik Tuturan Imperatif

Kesantunan pragmatik tuturan imperatif merupakan kesantunan dalam mengujarkan ujaran imperatif secara pragmatik.Pragmatik sebagaimana kita tahu, mengkaji maksud penutur dalam menuturkan sebuah satuan lingual tertentu pada sebuah bahasa dengan mempertimbangkan komponen situasi ujar untuk dapat memahami makna yang disampaikannya.

Menurut Rahardi (2005:134) makna pragmatik imperatifdapat diungkapkan dalam tuturan deklaratif dan dapat juga diungkapkan dalam tuturan interogatif.Adapun bentuk kesantunan pragmatik tuturan imparatif adalah dalam bentuk kata, frasa, dan kalimat.

2.3.2.1 Kesantunan Pragmatik dalam Tuturan Deklaratif

Digunakannya tuturan deklaratif untuk menyatakan makna pragmatik imperative, dapat mengandung makna ketidaklangsungan yang cukup besar.Rahardi mengatakan bahwa semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan, maka tuturan itu menjadi semakin santun.Kesantunan pragmatik imperatif pada tuturan deklaratif dapat dibedakan menj di beberapa macam yang satu persatu diuraikan sebagai beikut.

1) Tuturan Deklaratif yang Menyatakan Makna Pragmatik Imperatif Suruhan Di dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya, penutur cenderung menggunakan tuturan non-imperatif untuk menyatakan makna pragmatik

(32)

imperatif.Demikian pula untuk menyatakan makna pragmatik imperatif suruhan, penutur dapat menggunakan tuturan yang berkonstruksi deklratif.Tuturan dengan konstruksi deklaratif banyak digunakan untuk menyatakan makna pragmatik imperatif suruhan karena dengan tuturan itu muka si mitra tutur dapat terselamatkan.Perhatikan contoh berikut.

(31) Dosen :”Tugas menterjemahkan surat-surat bisnis sekarang ini tidak dapat dikerjakan tanpa menggunakan kamus.”

Situasi Ujar:

Tututran ini disampaikan oleh seorang dosen bahasa Inggris kepada para mahasiswanya di dalam kelas pada saat mengajar penerjemahan.

(32) Direktur :”Surat peringatan untuk membuat kesalahan itu harus secepatnya disampaikan kepada yang bersangkutan.”

Sekretaris :”Baik, Pak.”

Situasi Ujar:

Tuturan itu disampaikan oleh seorang direktur kepada sekretarisnya di dalam ruang kerja direktur.

2) Tuturan Deklaratif yang Menyatakan Makna Pragmatik Imperatif Ajakan Makna imperatif ajakan sering dituturkan dengan menggunakan tuturan inperatif dengan penanda kesantunan mari dan ayo. Namun dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya, makna pragmatic imperatif ajakan ternyata banyak diwujudkan dengan menggunakan tuturan yang berkontruksi deklaratif.Pemakaian tuturan yang demikian, lazimnya memiliki ciri ketidaklangsungan sangat tinggi.Adapun wujud

(33)

kesantunan pragmatik imperatif ajakan dalam tuturan deklaratif itu dapat dilihat pada contoh sebagai berikut.

(33) Istri : “Mas, nanti sore tidak usah jadi pergi ke tempat teman Mas, ya. Dalam arisan nanti sore itu, semua akan berangkat dengan suaminya.”

Suami : “Ya…nanti aku bias juga.”

Situasi Ujar:

Tuturan itu disampaikan oleh seorang istri kepada suaminya pada waktu akan berangkat arisan bersama ke rumah temannya.

(34) Anak (berumur sekitar 6 tahun) :”Bapak,…bapak…kampanye PPP bagus lho. Tapi aku takut kalau lihat sendiri.”

Bapak :”Waduh,..Bapak baru banyak

pekerjaan.Nanti sebentar lagi, ya.”

Situasi Ujar:

Tuturan ini merupakan percakapan antara seorang anak dengan bapaknya pada saat-saat kampanye menjelang pemilihan umum.

(36) Dosen A :“Pak, nanti aku jadi mau ke Gramedia. Jadi, mau beli bukunya Romo Mangun, ya, nanti.”

Dosen B : “O, ya, nanti kita ketemu di sana saja.”

Situasi Ujar:

Tuturan ini disampaikan oleh seorang dosen kepada teman dosennya pada sebuah kampus perguruan tinggi. Pada mulanya mereka berencana akan pergi ke toko buku Gramedia bersama-sama.

(34)

3) Tuturan Deklaratif yang Menyatakan Makna Pragmatik Imperatif Permohonan

Makna tuturan imperative permohonan secara linguistik, dapat diidentifikasi dari munculnya penanda kesantunan mohon. Selain itu, makna imperatif permohonan dapat pula diungkapkan dengan menggunakan bentuk pasif dimohon.

Penggunaanbentuk pasif itu lazimnya digunakan dalam kesempatan-kesempatan formal dan seremonial.

Di dalam komunikasi keseharian yang sesungguhnya, seringkali makna imperatif memohon diungkapkan dalam bentuk deklaratif, maksud imperatif memohon menjadi tidak terlalu kentara dan dapat dipandang lebih santun.

(36) Seorang guru :“Bapak Kepala, nanti siang banyak Bapak dan Ibu guru yang akan pergi melayat ke Solo.”

Kepala Sekolah :“Baik, rapatnya kita tunda saja dulu.”

Situasi Ujar:

Tuturan ini disampaikan di dalam ruang guru pada sebuah sekolah oleh salah seorang guru kepada kepala sekolah.Saat ini, ada salah seorang family dari guru sekolah tersebut yang meninggal dunia.”

(37) Seorang siswa : “Pak, dengan permohonan maaf kami terpaksa

mengatakan bahwa untuk bulan ini Bapak dan Ibu kami belum dapat melunasi uang sekolah.”

Bapak Guru :“Baik, katakana pada Bapak dan Ibu bahwa mereka tidak usah terlalu memikirkan uang sekolahmu dulu.”

(35)

Situasi Ujar:

Tuturan itu meupakan cuplikan percakapan antara seorang siswa yang cukup pandai dan pemberani dengan seorang guru wali di sekolahnya. Saat itu, ia dan keleuarganya sedang menghadapi masalah finasial yang cukup berat sehingga tidak dapat membayar kewajiban keuangannya.

4) Tuturan Deklaratif yang Menyatakan Makna Pragmatik Imperatif Persilaan Tuturan imperative yang menyatakan makna persilaan, biasannya ditandai oleh penanda kesantunansilakan.Untuk maksud-maksud tertentu yang lebih formal dan seremonial, sering digunakan bentuk pasif dipersilakan.Namun, di dalam komunikasi keseharian, seringkali ditemukan bahwa makna pragmatik imperatif persilaan diungkapkan dengan menggunakan tuturan yang berkonstruksi deklaratif. (38) Seorang Murid SLTA :“Permisi,..permisi pak,..permisi.”

Kepala Sekolah :“Ya.”

Situasi Ujar:

Tuturan itu terjadi pada saat seorang siswa datang menghadap Bapak kepala sekolah. (39) Mahasiswa :“Maaf Pak, apakah kami dapat datang kerumah untuk

menyerakan bab I dan bab II sekaligus?” Dosen Pembimbing :“Baik. Jam lima saya ada di rumah.”

Situasi Ujar:

Tuturan itu merupakan cuplikan percakapan antara seorang mahasiswa dengan dosen pembimbing di sebuah perguruan tinggi.

(36)

5) Tuturan Deklaratif yang Menyatakan Makna Pragmatik Imperatif Larangan

Imperatifyang bermakna larangan dapat ditemukan pada tuturan imperatif yang berpenanda kesantunan jangan.Selain itu, imperatif larangan juga ditandai oleh pemkaian bentuk pasif dilarang, tidak diperkenankan, dan tidak diperbolehkan pada tuturan.Namun, secara pragmatic, makna imperatif larangan seringkali diungkapkan tidak dengan menggunakan penanda sebagaimana disebutkan di atas.Perhatikan contoh berikut.

(40) Dosen : “Yang meletakkan buku catatan di atas meja dianggap pecontek.”

Situasi Ujar:

Tuturan itu disampaikan oleh seorang pengawas ujian pada saat ujian akhir semester berlangsung.

(41) “Untuk sementara pasien tidak menerima tamu.”

Situasi Ujar:

Bunyi sebuah peringatan pada sebuah pintu kamar pasien di rumah sakit.

2.3.2.2 Kesantunan Pragmatik Imperatif dalam Tuturan Interogatif

Makna pragmatik imperatif ternyata juga banyak ditemukan pula pada tuturan-tuturan yang berkonstruksi interogatif.Digunakannya tuturan interogatif untuk menyatakan makna pragmatic imperatif itu dapat mengandung makna ketidaklangsungan yang cukup besar (Rahardi, 2005:142).

(37)

1) Tuturan Interogatif yang Menyatakan Makna Pragmatik Imperatif Perintah

Dalam kegiatan bertutur yang sebenarnya, tuturan interogatif dapat pula digunakan untk menyatakan maksud atau makna pragmatik imperatif.Perhatikan contoh berikut.

(42) Pimpinan : “Selesaikan urusan telpon itu sekarang juga.”

Bawahan : “Baik, Pak. Kami akan segera berangkat ke kantor TELKOM sekarang juga.”

(42a) Pimpinan : “Apakah dapat urusan telpon itu diselesaikan sekarang juga?”

Bawahan : “Baik, Pak. Kami akan segera berangkat ke kantor TELKOM sekarang juga.”

Dari contoh di atas, dapat dilihat bahwa maksud imperatif perintah tidak saja dapat diungkapkan dengan tuan imperatif, melainkan juga dimungkinkan diungkapkan dengan tuturan interogatif.

2) Tuturan Interogatif yang Menyatakan Makna Pragmatik Imperatif Ajakan Makna pragmatik imperatif ajakan di dalam bahasa Indonesia dapat diungkapkan dengan bentuk tuturan yang diungkapkan dengan tuturan interogatif. Maksud imperatif ajakan yang diungkapkan dengan tuturan interogatif akan lebih santun daripada diungkapkan dengan tuturan imperatif. Perhatikan contoh berikut. (43) Anak kecil : “ Buk…aku takut sendiri di sini. Ibu sudah selesai belum

(38)

Situasi Ujaran:

Tuturan itu disampaikan oleh seorang anak kecil kepada ibunya yang sedang sibuk mengerjakan pekerjaan kantornya yang dibawa ke rumah.Anak kecil tersebut minta kepada ibunya untuk menemani di ruang belajarnya.

3) Tuturan Interogatif yang Menyatakan Makna Pragmatik Impertif Permohonan

Imperatif yang bermakna memohon sangat lazim dinyatakan dengan bentuk tuturan imperatif permohonan yang ditandai oleh penanda kesantunan mohon atau

dimohon dalam pengungkapannya. Dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya,

ternyata banyak ditemukan bahwa tuturan interogatif dapat menyatakan maksud imperatif permohonan.Konotasi makna kesantunan yang dimunculkan dari tuturan itu lebih tinggi daripada tuturan imperatif.Perhatikan contoh berikut.

(44) “Dokter apakah saya akan diberi obat antibiotik lagi? Tahun lalu saya alergi obat karena obat itu, lho, Dok.”

Situasi Ujar:

Tuturan itu merupakan cuplikan percakapan yang terjadi di dalam ruang periksa sebuah rumah sakit antara seorang dokter dengan pasiennya.

4) Tuturan Interogatif yang Menyatakan Makna Pragmatik Imperatif Persilaan

Seperti yang terdapat pada maksud-maksud tuturan imperatif lain, makna imperatif persilaan dapat pula dinyatakan baik dengan tuturan imperatif maupun tuturan nonimperatif. Bentuk persilaan dengan tuturan nonimperatif lazimnya

(39)

digunakan dalam situasi formal yang penuh dengan muatan dan pemakaian unsur basa-basi.Situasi yang dimaksud dapat ditemukan, misalnya dalam kegiatan-kegiatan resmi dan dalam perayaan-perayaan tertentu, seperti dapat diungkapkan pada contoh tuturan berikut.

(45) Seorang petugas penerima tamu : “Bapak Bupati sudah datang dan duduk di dalam. Apakah tidak sebaiknya Bapak duduk Saja bersama Bapak Bupati?”

Pembantu Bupati :“Terima kasih. Bapak-bapak yang lain

apakah juga sudah datang semua di dalam ?”

Situasi Ujar:

Tuturan itu merupakan cuplikan percakapan antara penerima tamu dengan seorang pejabat pemerintah pada saat berlangsung pertemuan formal di instansi tertentu.

5) Tuturan Interogatif yang Menyatakan Makna Pragmatik Imperatif Larangan

Di dalam berkomunikasi keseharian, sangat lazim ditemukan bahwa maksud imperatif larangan itu diungkapkan dengan bentuk tuturan imperatif. Tuturan yang demikian banyak dapat ditemukan di tempat-tempat wisata, tempat umum, ruang tunggu sebuah hotel, ruang tamu sebuah kantor, dan tempat-tempat umum lainnya. Tuturan-tuturan yang bermakna imperatif larangan sangat jarang ditemukan dengan bentuk nonimperatif.Perhatikan contoh berikut.

(40)

Situasi Ujar:

Bunyi sebuah tutran peringatan pada sebuah tama di kota Yogyakarta. Tuturan tersebut ditempatkan di setiap bidang tanah yang terdapat tanamannya.

2.4 Tindak Tutur

Wijuna (Rahardi, 2009:19) menguraikan adanya dua macam jenis tindak tutur di dalam praktik bahasa, yakni (1) tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, (2) tindak tutur litereal dan tindak tutur tidak litereal. Pembahasan mengenai kedua jenis tindak tutur tersebut, akan dijelaskan sebagai berikut.

Tindak tutur langsung adalah tindak tutur yang dinyatakan sesuai dengan modus kalimatnya. Artinya, tindak tutur langsung itu merefleksikan fungsi konvensional dari sebuah kalimat. Adapun yang dimaksud dengan tindak tutur tidak langsung adalah tindakan yang tidak dinyatakan langsung oleh modus kalimatnya.

Selanjutnya, tindak tutur litereal dapat dimaknai sebagai tindak tutur yang maksudnya sama persis dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Tindak tutur nonlitereal adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama, atau bahkan berlawanan dengan makna yang menyusunnya itu.

Jadi, dari empat macam jenis tindak tutur yang disampaikan di atas itu, masing-masing kemudian bisa diin teraksikan antara satu dengan lainnya. Dari interaksi keempatnya itu dapat dihasilkan empat jenis tindak tutur yang berikutnya yakni (1) tindak tutur langsung litereal, (2) tindak tutur tidak langsung litereal, (3) tindak tutur langsung tidak litereal, (4) tindak tutur tidak langsung tidak litereal.

(41)

Jika dilihat dari sudut pembicara atau percakapan yang terjadi,tuturan imperatif erat hubungannya dengan jenis-jenis tindak-tindak tutur.Tindak tutur yang dimaksud adalah (1) tindak lokusioner, (2) tindak ilokusioner, (3) tindak perlokusioner.Berikut penjelasan mengenai ke tiga tindak tutur di atas.

(1) Lokusioner (lokusi) adalah tindakan bertutur yang mengatakan sesuatu dalam arti “berkata”. Searle (1969) menamakan tindak bahasa ini dengan istilah proposisi (propositional act). Untuk memudahkan dalam pengertian, maka digunakanlah istilah proposisi.

(2) Ilokusioner (ilokusi) adalah tindak bahasa yang diidentifikasi dengan kalimat pelaku yang eksplisit.

(3) Pelokusioner (perlokusi) adalah tindak bahasa yang dilakukan sebagai akibat atau efek dari sesuatu ucapan orang lain.

Di bawah ini dicantumkan beberapa contoh dari no (1), (2), dan (3).

(1) Tindak tutur proposisi: Ayah mengatakan kepada saya untuk mengawini

Aminah.

(2) Tindak tutur ilokusi: Ayah menyuruh (memaksa, mendikte kepada) saya untuk

mengawini Aminah. Perhatikan bahwa di sini, tindak bahasa ilokusi itu

merupakan suatu tekanan atau kekuatan kehendak orang lain yang terungkap dengan kata-kata kerja: meyuruh, mamaksa, mendikte kepada. Hal ini disebut

nilai ilokusi (illocutionary force).

(3) Tindak tutur perlokusi: Ayah memaksa saya untuk mengawini Aminah. (perlokusi: sikap dan perilaku non-linguistik ayah mengakibatkan saya merasa terpanggil untuk mengadakan tindakan selanjutnya; yakni salah satu dari dua

(42)

tindakan: menurut perintah atau tidak menurut perintah ayah. (Nababan, 1992:31)

(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan prosedur yang mengahasilkan data deskriptif berupa data tertulis atau lisan di masyarakat bahasa (Djajasudarma, 1993:10).Penggunaan metode ini bertujuan membuat deskriptif yang sistematis dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diteliti (Djajasudarma, 1993:8).

Bodgar dan Taylor dalam (Moleong, 2006:4) menyatakan bahwa pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.

Sedangkan jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Moleong (2010:11) data yang sudah dikumpulkan dari proses pendekatan kualitatif akan mengahasilkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka.

Penelitian deskriptif adalah cara peneliti yang mencoba menggambarkan kegiatan penelitian yang dilakukan pada objek tertentu secara jelas dan sistematis.Penelitian deskriptif ini juga penelitian pra-eksperimen. Karena, dalam penelitian ini mereka melakukan eksplorasi, menggambarkan, dengan tujuan untuk dapat menerangkan dan memprediksi terhadap suatu gejala yang berlaku atas dasar data yang diperoleh dilapangan.

42 43

(44)

3.2Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah berupa kalimat percakapan atau dialog masyarakat suku Melayu Jambi dalam bahasa Melayu, yang penafsirannya akandiartikan oleh peneliti kedalam bahasa Indonesia. Percakapan yang dilakukan oleh masyarakat Melayu Jambi dalam ragam santai sehingga di dalamnya terkandung kesantunan imperatif dan pelanggaran kesantunan imperatif saat berkomunikasi.Data yang diambil dalam penelitian ini terdiri dari dua macam.Pertama, data tentang kesantunan linguistik tuturan imperatif dalam bahasaMelayu Jambi Dusun Pauh Agung Kabupaten Bungo.Kedua, data tentang kesantunan pragmatik tuturan mperatif dalam bahasa Melayu Jambi Dusun Pauh Agung Kabupaten Bungosaat berkomunikasi.Sudaryanto(Wiryotinoyo, 2010:48) mengemukakan tentang kesahihan dan keterandalan data.Data yang berkualitas sahih adalah data yang berkaitan secara alamiah dengan sampel.

Sedangkan sumber data dalam penelitian ini adalah masyarakat Dusun Pauh Agung itu sendiri sebagai informan utama dan informan kedua adalah sebagai penafsiran dari bahasa Melayu Jambi ke bahasa Indonesia. Masyarakat melayu yang tinggal di dusun Pauh Agung berpenghuni ± 500 kepala keluarga, dan peneliti tidak akan meneliti keseluruhan dari kepala keluarga, tapi peneliti hanya akan meneliti secara acak atas data temuan yang diperoleh dilapangan. Peneliti dapat memperoleh data dari proses komunikasi atau dialog yang dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan keseharian,baik itu anak-anak ataupun orang dewasa.

(45)

3.3 Lokasi Penelitian

Penelitian inidilakukan di Kabupaten Bungo, tepatnya di Dusun Pauh Agung. Peneliti memilih lokasi ini karena kesadaran masyarakat melayu tentang pentingnya memahami bahasa Indonesia dan kesantunan saat memberikan perintah masih rendah. Penelitian ini banyak dilakukan di lingkungan dusun. Misalnya di pos ronda pada malam hari, di pelataran rumah pada saat berkumpul sambil menyeduh kopi, di rumah peneliti, di area lapangan bola pada sore hari, di area sungai (ketika selesai bermain bola biasanya pemuda Dusun Pauh Agung Kabupaten Bungo akan duduk santai menejelang magrib tiba dan setelah itu mereka akan mandi bersama dengan cara menceburkan diri ke sungai), di area langgar, masjid, pemakaman, ladang dan lain sebagainya.

Penelitian ini banyak dilakukan di tempat-tempat tersebutkarena sebagian besar kegiatan masyarakat Dusun Pauh Agung Kabupaten Bungo hanya berada di lingkungan dusun.Mengenai waktu, penelitian ini dilakukan pada jam-jam dimulainya kegiatan dan berakhirnya kegiatan.

3.4Kehadiran Peneliti

Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti itu sendiri (human

instrument).Dalam upaya memperoleh data penelitian ini, peneliti sebagai pengamat

peran serta.Djajasudarma (1993:12) mengatakan bahwa pengamat peran serta adalah melakukan dua peran sekaligus, yaitu sebagai pengamat sekaligus menjadi anggota resmi dari kelompok yang diamatinya.

(46)

Untuk memperoleh data penelitian yang sah dan mewakili, dalam penelitian ini peneliti berperan penuh sebagai pengumpul data di lapangan.Kehadiran peneliti dalam aspek kerja yakni sebagai perencana, pengumpulan data, penafsiran data, dan laporan hasil penelitian.Sehingga keterlibatan peneliti secara penuh mutlak diperlukan dalam upaya memperoleh data yang sempurna dan lengkap.

3.5Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data adalah tata cara yang ditempuh seorang peneliti untuk memperoleh data yang diperlukan. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak.Metode ini memiliki teknik dasar yang berwujud teknik sadap.Mahsun (2005:90) mengatakan, teknik sadap disebut sebagai teknik dasar dalam metode simak karena pada hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan.Dalam arti, peneliti dalam upaya mendapatkan data dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang yang menjadi informan.

Teknik sadap ini diikuti dengan empat teknik lanjutan yang berupa teknik simak libat cakap, teknik simak bebas libat cakap, teknik catat, dan teknik rekam. Teknik simak libat cakap maksudnya peneliti melakukan penyadapan dengan cara berpartisipasi sambil menyimak, dalam arti peneliti terlibat langsung dalam dialog. Sementara teknik simak bebas libat cakap, maksudnya peneliti hanya berperan sebagai pengamat penggunaan bahasa oleh informannya.Selanjutnya teknik catat rekam adalah teknik lanjutan yang dilakukan ketika menerapkan metode simak dengan kedua teknik lanjutan.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada setiap perlakuan intensitas serangan penyakit Phytophthora pada buah yang menyerang

Pada penelitian ini parameter derajat keparahan asma eksaserbasi berdasarkan kriteria GINA 2008 yang memiliki korelasi sangat kuat dengan saturasi oksigen perkutan

Bila obat FOI yang diresepkan oleh dokter tidak ada di Apotek atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit yang bekerjasama dengan PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia, maka Apotek

Apabila kita membandingkan grafik di atas dengan grafik pada saat lingkar terbuka, bisa dilihat bahwa pada kondisi loop tertutup waktu untuk mencapai

1) Adalah tiga urutan popularitas nilai-nilai kepemimpinan menurut para kepala sekolah adalah (1) Asta Brata, (2) Sitem Among, dan (3) Sastra Gendhing. Responden

Perluasan tambak yang tidak ramah lingkungan ini, terutama terjadi di Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah, serta Kabupaten Pohuwato dan Boalemo Provinsi

Dalam rapat panitia yang dipimpin langsung oleh Sekretaris MWA UNAIR, Iman Prihandono, SH., MH., LLM., semua seksi melaporkan kesiapannya, baik seksi protokol yang akan

Keunggulan daya saing dapat diperoleh apabila setiap perusahaan memiliki kemampuan untuk menyajikan setiap proses dalam operasi bisnisnya secara lebih baik dalam