• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DETERMINAN KEKERASAN TERHADAP ANAK DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TINGKAT I RS SUKANTO JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS DETERMINAN KEKERASAN TERHADAP ANAK DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TINGKAT I RS SUKANTO JAKARTA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DETERMINAN KEKERASAN TERHADAP ANAK DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TINGKAT I RS SUKANTO JAKARTA

Nurhayati

STIKes ‘Aisyiyah Bandung Email : nesa3364@gmail.com ABSTRAK

Hasil pencatatan dan pelaporan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa tahun 2009 terdapat 1.998 kasus kekerasan seksual. Total pengaduan yang masuk ke KPAI, sebanyak 62,7% adalah kekerasan seksual dalam bentuk sodomi, perkosaan, pencabulan serta inces, 37,3 adalah kekerasan fisik dan psikis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kekerasan terhadap anak di jakarta hasil analisis data rekam medik di rumah sakit Bhayangkara Tingkat I RS Sukanto Jakarta. Desain penelitian kuantitatif, Survei analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Tehnik pengambilan sampel dengan total populasi yaitu sebanyak 238 responden. Hasil penelitian ini menunjukkan kejadian kekerasan seksual sebanyak 180 orang (75,6%). Karakteristik yang berhubungan dengan kekerasan terhadap anak didapatkan 5 variabel yaitu jenis kelamin anak, jenis kelamin pelaku, umur pelaku, pekerjaan pelaku, status pelaku. Faktor yang paling dominan dalam penelitian ini yaitu Jenis Kelamin Anak didapat OR (18,734) artinya anak yang berjenis kelamin perempuan mempunyai peluang 18 kali mengalami tindakan kekerasan terhadap anak, dibanding anak yang berjenis kelamin laki-laki. Dan status pelaku didapat OR (18,369) artinya status hubungan pelaku dengan anak non keluarga mempunyai peluang 18 kali mengalami tindakan kekerasan terhadap anak, dibanding anak yang berhubungan keluarga dengan pelaku. Disimpulkan karakteristik berhubungan dengan kejadian kekerasan seksual terhadap anak di kontrol oleh jenis kelamin perempuan. Disarankan kepada anak yang berjenis kelamin perempuan untuk lebih berhati-hati agar terhindar dari kekerasan terhadap anak.

Kata kunci : kekerasan, anak, karakteristik

Abstract

Results recorded and reported by Indonesian National Commission on Child Protection (Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia - KPAI) that in 2009 there were 1,998 cases of sexual violence. Total accusation coming into KPAI, as many as 62.7% of sexual violence in the form of sodomy, rape, sexual abuse and incest, 37.3 is a physical and psychological violence. The purpose of this study is to investigate child abuse in Jakarta results of the analysis of medical records in Bhayangkara Level I Hospital RS Sukanto Jakarta. Quantitative study design, analytic survey with cross sectional study design. Sampling techniques with a total population of as many as 238 respondents. The results of this study showed the incidence of sexual abuse of 180 people (75.6%). Characteristics associated with violence against children obtained five variables: sex of the child, sex offender, offender age, occupation offender, offender status. The most dominant factor in this study is Kids Gender obtained OR (18.734) which means that children who are females/girls has a chance 18 times through acts of violence against children, than children who are males/boys. And the status of the perpetrator obtained OR (18.369) which means the perpetrator relation status with non-family child has a chance 18 times through acts of violence against children, compared to children whose related as families with offenders. Concluded the characteristics associated with the incidence of sexual

(2)

LATAR BELAKANG

Anak adalah individu unik yang tidak dapat disamakan dengan orang dewasa baik dari segi fisik, emosi, pola pikir, maupun perlakuan. Anak membutuhkan spesialisasi perlakuan khusus dan emosi yang stabil dibandingkan orang dewasa. Tidak semua anak beruntung dan memperoleh kebutuhan dasarnya secara layak, akan tetapi kehidupan sekarang sebagian anak mengalami perlakuan yang tidak wajar yaitu tindak kekerasan dan penelantaran yang dilakukan oleh orang-orang terdekat di lingkungannya seperti orang-orang tua atau guru yang seharusnya memberikan perlindungan serta kasih sayang kepada mereka.

Beberapa bulan terakhir ini, kasus kekerasan seksual pada anak kembali marak terjadi di Indonesia. Kekerasan seksual terhadap anak menurut ECPAT (End Child Prostitution In Asia Tourism) Internasional merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dan seorang yang lebih tua atau anak yang lebih banyak nalar atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai sebuah objek pemuas bagi kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Kegiatan-kegiatan tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan seksual sendiri bisa berarti melakukan tindak perkosaan ataupun pencabulan (Sari, 2009).

Kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan salah satu kasus yang mengalami peningkatan secara signifikan belakangan ini. Tidak saja meningkat secara kuantitatif tapi juga secara kualitatif. Dari waktu ke waktu kekerasan seksual terhadap anak jumlahnya tak terbendung dan modus operandinya pun semakin tidak berperikemanusiaan Menurut Komite Nasional (Amerika) hasil epidemi terselubung, bahwa banyaknya anak-anak menderita kekerasan dan

penelantaran anak. Lebih dari 3 juta laporan kekerasan terhadap anak yang dibuat setiap tahun di Amerika Serikat, namun laporan tersebut hanya mencakup beberapa anak. Pada tahun 2009, diperkirakan sekitar 3,3 juta laporan pelecehan anak dan tuduhan dilakukan yang melibatkan 6 juta anak.Tindak Kekerasan dan pengabaian pada Anak, mewakili 54% kasus kekerasan terhadap anak yang terkonfirmasi, kekerasan fisik 22%, pelecehan seksual 8%, kekerasan emosional 4% dan bentuk kekerasan lainnya sebesar 12% (UNICEF, 2007).

Hasil pencatatan dan pelaporan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa 21.872 anak menjadi korban kekerasan fisik dan psikis. Pada dua dekade terakhir 12.726 anak mengalami kekerasan seksual sebagai perbandingan kekerasan pada tahun 2004 tercatat 446 kasus. Tahun 2005 meningkat menjadi 750 kasus. Tahun 2006 mengalami peningkatan 1124 kasus. Tahun 2008 tercatat lebih dari 1000 kasus. Sepanjang tahun 2010 KPAI menerima 2.335 pengaduan mengenai kasus kekerasan terhadap anak. Angka ini meningkat dari pengaduan di 2009 yaitu 1.998 kasus. Total pengaduan yang masuk ke KPAI, sebanyak 62,7% adalah kekerasan seksual dalam bentuk sodomi, perkosaan, pencabulan serta inces, 37,3 adalah kekerasan fisik dan psikis (Soekresno, 2007).

Berdasarkan data yang didapat dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia Melalui Center for Tourism Research & Development Universitas Gadjah Mada mengenai berita tentang kekerasan terhadap anak yang terjadi dari tahun 1992–2002 di 7 kota besar yaitu, Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang dan Kupang, ditemukan bahwa ada 3969 kasus dengan rincian sexual abuse 65.8%, physical abuse 19.6%, emotional abuse 6.3%, dan child neglect 8.3% (Solihin, 2004). Pelanggaran pada umumnya lebih banyak dilakukan oleh laki-laki

(3)

daripada perempuan, meskipun persentasenya bervariasi antara satu studi dengan studi lainnya. Persentase insiden pelecehan seksual oleh pelaku perempuan yang menjadi perhatian sistem hukum biasanya dilaporkan antara 1% dan 4% (Denov, 2003).

Berdasarkan kategori usia korban; Kasus sexual abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%). Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun (16.2%). Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%). Kasus child neglect: persentase teringgi usia 0-5 tahun (74.7%) dan terendah usia 16-18 tahun (6.0%) (Solihin, 2004).

Kebanyakan korban kekerasan seksual pada anak berusia sekitar 5 hingga 11 tahun. Bagi pelaku jenis kelamin tidak berpengaruh dalam melakukan kekerasan seksual yang penting bagi pelaku hasrat seksual mereka dapat tersalurkan. Modus pelaku dalam mendekati korban sangatlah berfariasi misalnya mereka tinggal mendekati korban dan mengajak ngobrol saja, ada juga yang membujuk korban, ada juga yang merayu dan ada juga yang memaksa korbanya. Serta modus yang lebih canggih yakni pelaku menggunakan jejaring sosial dengan berkenalan dengan korban, mengajak bertemu dan memperkosa atau melakukan kekerasan seksual (Doni & Mira, 2010).

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun dari hasil Survei Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Tahun 2006 oleh BPS dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, khususnya mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan menurut pelakunya menunjukkan bahwa pelaku tindakan kekerasan dalam rumah tangga adalah

majikan); 2,9 (pelaku: rekan kerja); 0,2% (pelaku: guru); dan 8,0% (pelaku: lainnya) (Mudjiati, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian Gumiarti (2011) mengenai hubungan antara status sosial orang tua dengan kekerasan fisik pada anak umur 3-6 tahun di kabupaten jember dengan sampel sebanyak 164 kasus, yaitu orang tua dengan pendidikan rendah sebanyak 64,02%, orang tua dengan pekerjaan rendah sebanyak 88,41%, penghasilan rendah sebanyak 60,37%, umur ibu >36 tahun sebanyak 58,54%, yang berstatus kawin sebanyak 68,90%, dengan riwayat orang tua yang pernah mengalami kekerasan sebanyak 71,95%, dan yang berstatus anak kandung dalam keluarga sebanyak 98,17% (Gumiarti, 2011). Berdasarkan tempat terjadinya kekerasan; Kasus sexual abuse: rumah (48.7%), sekolah (4.6%), tempat umum (6.1%), tempat kerja (3.0%), dan tempat lainnya-di antaranya motel, hotel dll (37.6%) (Solihin, 2004).

Kasus-kasus kekerasan seksual yang teridentifikasi di pusat-pusat rujukan dan kepolisian merupakan fenomena gunung es belum menggambarkan jumlah seluruh kasus, data kekerasan seksual yang tercatat itu jauh lebih sedikit dari yang seharusnya dilaporkan karena tidak semua anak yang mengalami kekerasan seksual bersedia melaporkan kasusnya. Sebagaimana kasus – kasus yang ada di Rumah Sakit Kepolisian RI Sukanto yang merupakan salah satu rumah sakit yang memiliki pusat krisis (crisis center) untuk penanganan kekerasan terhadap anak.

Berdasarkan hasil penelitian Ririn dkk di RS Sukanto sampelnya sebanyak 121 kasus kekerasan, didapatkan bahwa korban kekerasan yang mencari pertolongan kesehatan di RS

(4)

yang luar biasa yang terjadi pada anak-anak penerus bangsa. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti “Analisis Determinan Kekerasan Anak Di Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I RS Sukanto Jakarta”.

METODOLOGI

Rancangan Penelitian

Desain penelitian kuantitatif, Survei analitik cross sectional yaitu variabel sebab atau risiko dan akibat kasus yang terjadi pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan secara simultan (dalam waktu yang bersamaan). Maka, pengumpulan data penelitian ini, baik untuk variabel risiko atau sebab (independent variable) maupun variabel akibat (dependent variable) dilakukan secara bersama-sama atau sekaligus (Notoatmodjo,2010).

Populasi Dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak yang mengalami kekerasan fisik maupun seksual yang pernah dirawat inap maupun dirawat jalan di Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I RS Sukanto Jakarta. Sampelnya adalah seluruh anak yang mengalami kekerasan fisik maupun seksual yang pernah dirawat inap maupun dirawat jalan di Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I RS Sukanto Jakarta. Pada penelitian ini sudah diketahui jumlah sampelnya yaitu sebanyak 238 anak.

Pengumpulan Data

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I RS Sukanto Jakarta, karena berdasarkan latar belakang bahwa masih banyak kekerasan pada anak yang terjadi di Jakarta dan belum ada penelitian mengenai hubungan antara karakteristik dengan kekerasan seksual pada anak. Waktu penelitian dilakukan pada semester Ganjil September 2014 – Februari 2015.

Sumber data secara sekunder dengan melihat dan menyalin data atau laporan yang tersedia di Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I RS Sukanto Jakarta. Instrumen atau alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah data atau laporan hasil pengkajian di Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I Rs Sukanto Jakarta.

Analisis Data

Analisis Data Univariat

Analisa ini untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi dari variabel dependen yaitu kejadian kekerasan terhadap anak dan variabel independen yaitu jenis kelamin anak, umur anak, pendidikan anak, pekerjaan anak, jenis kelamin pelaku, umur pelaku, pendidikan pelaku, pekerjaan pelaku, dan status hubungan pelaku dengan anak.

Analisis Bivariat

Analisa bivariat untuk melihat hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen. Uji statistik yang digunakan adalah Kai Kuadrat (chi square), tujuannya yaitu untuk menguji perbedaan proporsi/ persentase antara beberapa kelompok data. Proses pengujiannya yaitu membandingkan frekuensi yang terjadi (observasi) dengan frekuensi harapan (ekspektasi), menggunakan derajat kepercayaan 95%. Bila nilai p < 0,05 maka Ho ditolak, artinya ada hubungan dan bila nilai p > 0,05 maka Ho diterima artinya tidak ada hubungan. (Sutanto, 2007).

Kemudian dilakukan penghitungan Odds Ratio (OR), nilai OR merupakan estimasi resiko terjadinya outcome sebagai pengaruh adanya variabel independen. Estimasi Convidence Interval (CI) OR ditetapkan pada tingkat kepercayaan 95%. Interpretasi Odds Ratio adalah sebagai berikut: (Sutanto, 2007) OR = 1 artinya tidak ada hubungan, OR < 1 artinya sebagai proteksi atau

(5)

pelindung, OR > artinya sebagai faktor risiko Analisis Multivariat

Sebelum melakukan analisis multivariat, terlebih dahulu masing-masing variabel independen dianalisis bivariat dengan variabel dependen untuk menseleksi calon variabel untuk analisis multivariat. Bila hasil bivariat menghasilkan p value < 0,25, maka variabel tersebut langsung masuk tahap multivariat. Untuk variabel independen yang hasil bivariatnya menghasilkan p value > 0,25 namun secara substansi dianggap penting, maka variabel tersebut dapat dimasukkan dalam analisis multivariat. Seleksi bivariat menggunakan uji regresi logistik sederhana (Hastono, 2007). Dari analisis ini dapat diketahui variabel independen mana yang paling dominan berhubungan dengan variabel dependen. Pendekatan model yang digunakan untuk menganalisis hubungan satu atau beberapa variabel independen dengan sebuah variabel dependen adalah analisis regresi logistik ganda dengan alasan semua variabel independennya dimasukkan secara bersamaan dan dianalisis dengan variabel dependen. Analisis multivariat menggunakan variabel independen kategorik dan variabel dependen kategorik yang bersifat dikotomi/ binary. Uji interaksi dilakukan

pada variabel yang diduga secara substansi ada interaksi, kalau memang tidak ada berarti tidak dilakukan uji interaksi (Hastono, 2007).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prevalensi Kekerasan Seksual Terhadap Anak Gambaran distribusi frekuensi jenis kekerasan dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 1 Distribusi frekuensi anak berdasarkan jenis kekerasan

Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

Fisik 58 24,4

Seksual 180 75,6

Jumlah 238 100,0

Menurut kategori variabel jenis kekerasan diketahui bahwa dari 238 anak, 180 orang (75,6%) di antaranya mendapatkan kekerasan seksual dan 58 orang (24,4%) di antaranya mendapatkan kekerasan fisik. Jadi kebanyakan anak yang diteliti mendapatkan kekerasan seksual.

Karakteristik Anak Korban Kekerasan

Karakteristik anak korban kekerasan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2 Distribusi frekuensi anak berdasarkan Jenis Kelamin Anak Variabel Kategori Frekuensi (n) Persentase (%) Jenis Kelamin Laki-laki 41 17,2

Perempuan 197 82,8 Umur < 12 tahun 86 36,1 13 – 18 tahun 152 63,9 Pendidikan Tinggi 48 20,2 Rendah 190 79,8 Pekerjaan Bekerja 17 7,1 Tidak bekerja 221 92,9

(6)

Jenis kelamin anak diketahui bahwa dari 238 anak, 197 orang (82,8%) di antaranya adalah perempuan dan 41 orang (17,2%) diantaranya adalah laki-laki. Jadi kebanyakan anak yang diteliti adalah perempuan. Umur anak diketahui bahwa dari 238 anak, 152 orang (63,9%) di antaranya berumur di antara 13-18 tahun dan 86 orang (36,1%) di antaranya berumur kurang dari 12 tahun. Jadi kebanyakan anak yang diteliti berumur di antara 13-18 tahun. Pendidikan anak

diketahui bahwa dari 238 anak, 190 orang (79,8%) diantaranya memiliki pendidikan rendah dan 48 orang (20,2%) di antaranya memiliki pendidikan tinggi. Jadi kebanyakan anak yang diteliti memiliki pendidikan rendah. Menurut variabel pekerjaan anak diketahui bahwa dari 238 anak, 221 orang (92,9%) di antaranya tidak bekerja dan 17 orang (7,1%) diantaranya bekerja. Jadi kebanyakan anak yang diteliti tidak bekerja.

Karakteristik Pelaku

Tabel 3 Distribusi frekuensi pelaku berdasarkan Jenis Kelamin Pelaku Variabel Kategori Frekuensi (n) Persentase (%) Jenis Kelamin Laki-laki 225 94,5

Perempuan 13 5,5 Umur ≤ 24 tahun 97 40,8 >24 tahun 141 59,2 Pendidikan Tinggi 127 53,4 Rendah 111 46,6 Pekerjaan Bekerja 94 39,5 Tidak bekerja 144 60,5 Jenis kelamin pelaku diketahui bahwa dari

238 pelaku, 225 orang (94,5%) diantaranya adalah laki-laki dan 13 orang (5,5%) diantaranya adalah perempuan. Jadi kebanyakan anak pelaku yang diteliti adalah laki-laki. Umur pelaku diketahui bahwa dari 238 pelaku, 141 orang (59,2%) di antaranya berumur lebih dari 24 tahun dan 97 orang (40,8%) di antaranya berumur kurang dari 24 tahun. Jadi kebanyakan pelaku yang diteliti berumur lebih dari 24 tahun. Pendidikan pelaku diketahui bahwa dari 238 pelaku, 127 orang (53,4%) di antaranya memiliki pendidikan tinggi

dan 111 orang (46,6%) di antaranya memiliki pendidikan rendah. Jadi kebanyakan pelaku yang diteliti memiliki pendidikan tinggi. Pekerjaan pelaku diketahui bahwa dari 238 pelaku, 144 orang (60,5%) di antaranya tidak bekerja dan 94 orang (39,5%) di antaranya bekerja. Jadi kebanyakan pelaku yang diteliti tidak bekerja. Status hubungan pelaku dengan anak

Gambaran Distribusi frekuensi anak berdasarkan status hubungan pelaku dengan anak dapat dilihat pada tabel berikut ini :

(7)

Tabel 4 Distribusi frekuensi pelaku berdasarkan Status hubungan Pelaku dengan anak Status Pelaku Frekuensi (n) Persentase (%)

Keluarga 41 17,2 1. Ayah Tiri 10 4,2 2. Ayah Kandung 9 3,8 3. Ibu Kandung 3 1,3 4. Saudara Kandung 4 1,7 5. Sepupu 3 1,3 6. Paman 7 2,9 7. Suami 5 2,1 Non Keluarga 197 82,8 1. Tidak kenal 37 15,5 2. Guru 10 4,2 3. Pembantu 4 1,7 4. Majikan 7 2,9 5. Pacar 43 18,1 6. Teman 30 12,6 7. Tetangga 49 20,6 8. Teman kakak 4 1,7 9. Supir Angkot 8 3,4 10. Tukang Ojek 5 2,1 Total 238 100,0

Menurut variabel status hubungan pelaku dengan anak diketahui bahwa dari 238 pelaku, 197 orang (82.8%) di antaranya non keluarga dan 41 orang (17.2%) di antaranya memiliki keluarga. Jadi kebanyakan pelaku yang diteliti non keluarga, pelaku yang paling terbanyak melakukan kekerasan seksual adalah tetangga sebanyak 49 (20,6).

Analisis Bivariat

Dalam analisis bivariat ini dilakukan uji hubungan antara variabel-variabel yang termasuk dalam karakteristik anak dengan jenis kekerasan dan karakteristik pelaku dengan jenis kekerasan yang dilakukan. Tabel 5 dan 6 akan memperlihatkan secara detail hasil uji hubungan yang telah dilakukan.

(8)

Tabel 5 Hubungan Karakteristik anak dengan jenis kekerasan

Variabel Kategori

Jenis kekerasan

Total OR

(Odds Ratio) P value

Fisik Seksual n % n % n % Jenis kelamin Anak Laki-laki 22 53,7 19 46,3 41 100 5,1 (2,540-10,557) 0,0005 Perempuan 36 18,3 161 81,7 197 100

Umur anak < 12 tahun 20 23,3 66 76,7 86 100

0,9 (0,489-1,691) 0,886 13-18 tahun 38 25,0 114 75,0 152 100

Pendidikan

anak Tinggi Rendah 14 29,2 34 70,8 4844 23,2 114 76,8 190 100100 1,3 (0,673-2,773) 0,498 Pekerjaan anak Bekerja 5 29,4 12 70,6 17 100

1,3 (0,445-3,920) 0,570 Tidak Bekerja 53 24,0 168 76,0 221 100

Tabel 6 menunjukkan bahwa 81,7% anak perempuan telah mengalami kekerasan seksual. Sedangkan anak laki-laki ada sebanyak 46,3% yang telah mengalami kekerasan seksual. Hasil perhitungan statistik didapatkan P value = 0,0005 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin anak dengan jenis kekerasan dan interpretasi OR = 5,1 berarti anak dengan jenis kelamin perempuan mempunyai risiko 5 kali mengalami kekerasan seksual dibandingkan anak dengan jenis kelamin laki-laki. Anak yang berumur kurang dari 12 tahun sebanyak 76.7% telah mengalami kekerasan seksual, sedangkan anak yang berumur di antara 13-18 tahun sebanyak 75.0% telah mengalami kekerasan seksual. Hasil perhitungan statistic didapatkan P value = 0,886 artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara umur anak dengan jenis kekerasan. Anak yang memiliki pendidikan rendah sebanyak 76,8% telah mengalami kekerasan seksual, sedangkan anak yang memiliki pendidikan tinggi sebanyak 70,8% telah mengalami kekerasan seksual. Hasil perhitungan statistik didapatkan p value=0,498 artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan anak dengan jenis kekerasan. Anak yang tidak bekerja sebanyak 76,0% telah mengalami kekerasan seksual, sedangkan anak yang bekerja sebanyak 70.6% telah mengalami kekerasan seksual. Hasil perhitungan statistic didapatkan p value=0,570 artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan anak dengan jenis kekerasan.

Hubungan karakteristik pelaku dengan jenis kekerasan

Tabel 6 Hubungan karakteristik pelaku dengan jenis kekerasan

Variabel Kategori

Jenis kekerasan

Total OR

(Odds Ratio) P value

Fisik Seksual

n % n % n %

Jenis kelamin Laki-laki 45 20,0 180 80,0 225 100

5,0 (3,850-6,493) 0,0005 Perempuan 13 100 0 0 13 100

Umur anak < 24 tahun 29 29,9 68 70,1 97 100

1,6 (0,907-2,990) 0,135 > 24 tahun 29 20,6 112 79,4 141 100

(9)

Variabel Kategori

Jenis kekerasan

Total OR

(Odds Ratio) P value

Fisik Seksual

n % n % n %

Pendidikan Tinggi 28 22,0 99 78,0 127 100

0,7 (0,422-1,382) 0,458 Rendah 30 27,0 81 73,0 111 100

Pekerjaan anak Bekerja 44 30,6 100 69,4 144 100

2,5 (1,287-4,911) 0,009 Tidak Bekerja 14 14,9 80 85,1 94 100

Status pelaku Keluarga 24 58,5 17 41,5 41 100

6,7 (3,285-13,945) 0,0005 Non keluarga 34 17,3 163 82,7 197 100

Tabel 6 menunjukkan bahwa jenis kelamin pelaku laki-laki sebanyak 80,0% yang telah melakukan kekerasan seksual, sedangkan jenis kelamin pelaku perempuan sebanyak 0%. Hasil perhitungan statistik didapatkan p value=0,0005 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin pelaku dengan jenis kekerasan dan interpretasi OR=5,000 berarti pelaku dengan jenis kelamin laki-laki mempunyai kesempatan 5 kali melakukan kekerasan seksual dibandingkan pelaku dengan jenis kelamin perempuan. Pelaku yang berumur lebih dari 24 tahun sebanyak 79,4% telah melakukan kekerasan seksual, sedangkan pelaku yang berumur kurang dari 24 tahun sebanyak 70,1% telah melakukan kekerasan seksual. Hasil perhitungan statistic didapatkan p value = 0,135 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara umur pelaku dengan jenis kekerasan dan interpretasi OR = 1,6 yang berarti pelaku yang berumur lebih dari 24 tahun mempunyai kesempatan 1,6 kali melakukan kekerasan seksual di bandingkan dengan sedangkan pelaku yang berumur kurang dari 24 tahun. Pelaku yang memiliki pendidikan tinggi sebanyak 78,0% telah melakukan kekerasan seksual, sedangkan pelaku yang memiliki pendidikan rendah sebanyak 73,0% telah melakukan kekerasan seksual. Hasil perhitungan statistic didapatkan p value=0,498 artinya tidak

yang bekerja sebanyak 85,1% telah melakukan kekerasan seksual, sedangkan pelaku yang tidak bekerja sebanyak 69,4% telah melakukan kekerasan seksual. Hasil perhitungan statistik didapatkan p value=0,009 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan pelaku dengan jenis kekerasan dan interpretasi OR=2,5 yang berarti pelaku yang tidak bekerja mempunyai kesempatan 2,5 kali melakukan kekerasan seksual di bandingkan dengan sedangkan pelaku yang bekerja. Pelaku yang berhubungan non keluarga sebanyak 82,7% telah melakukan kekerasan fisik, sedangkan pelaku yang berhubungan keluarga dengan anak sebanyak 41,5% telah melakukan kekerasan seksual. Hasil perhitungan statistic didapatkan p value=0,000 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara status pelaku dengan jenis kekerasan dan interpretasi OR=6,7 yang berarti pelaku yang yang berhubungan non keluarga mempunyai kesempatan 6,7 kali melakukan kekerasan seksual di bandingkan dengan sedangkan pelaku yang berhubungan keluarga dengan anak.

Analisis Multivariat

Setelah dilakukan analisis bivariat, selanjutnya dilakukan analisis multivariate yang bertujuan untuk mengetahui hubungan variabel independen yang paling dominan dengan variabel

(10)

Tabel 7 Hasil uji regresi logistic antara variabel jenis kelamin anak, jenis kelamin pelaku, umur pelaku, pekerjaan pelaku dan status pelaku

Variabel P value OR 95% CI

Jenis Kelamin Anak 0,000 18,734 6,478 – 54,180

Jenis Kelamin Pelaku 0,998 0,0005 0,0005

Umur Pelaku 0,012 3,683 1,337 – 10,142

Pekerjaan Pelaku 0,240 0,571 0,224 – 1,455

Status Pelaku 0,000 18,369 6,364 – 53,020

Setelah dilakukan analisis dilihat P value >0,05 dikeluarkan secara berurutan dari P value yang terbesar yaitu jenis kelamin pelaku. Tabel 9 memperlihatkan model akhir dari regresi logistik.

Tabel 8 Hasil akhir uji regresi logistic antara variabel jenis kelamin anak, jenis kelamin pelaku, umur pelaku, pekerjaan pelaku dan status pelaku

Variabel P value OR 95% CI

Jenis Kelamin Anak 0,000 18,734 6,478 – 54,180

Jenis Kelamin Pelaku 0,998 0,0005 0,0005

Umur Pelaku 0,012 3,683 1,337 – 10,142

Pekerjaan Pelaku 0,240 0,571 0,224 – 1,455

Status Pelaku 0,000 18,369 6,364 – 53,020

Dari hasil analisis diperoleh bahwa ada 3 variabel yang berhubungan signifikan dengan kekerasan seksual terhadap anak yaitu jenis kelamin anak, umur pelaku dan status pelaku.

Hasil akhir analisis multivariate di dapatkan bahwa Jenis Kelamin Anak adalah faktor yang paling dominan yaitu OR (18,734) artinya anak yang berjenis kelamin perempuan mempunyai peluang 18 kali mengalami tindakan kekerasan seksual terhadap anak, dibanding anak yang berjenis kelamin laki-laki

Status pelaku yaitu OR (18,369) artinya status hubungan pelaku dengan anak non keluarga mempunyai peluang 18 kali mengalami tindakan kekerasan seksual terhadap anak, dibanding pelaku yang berhubungan keluarga dengan anak setelah di kontrol variabel jenis kelamin pelaku, umur pelaku, dan pekerjaan pelaku.

PEMBAHASAN

Gambaran Kejadian Dan Karakteristik Kekerasan Seksual Terhadap Anak.

Salah satu praktek seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual. Artinya praktek hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai agama serta melanggar hukum yang berlaku. Kekerasan ditunjukkan untuk membuktikan bahwa pelakunya memiliki kekuatan, baik fisik maupun nonfisik. Dan kekuatannya dapat dijadikan alat untuk melakukan usaha-usaha jahatnya itu. Abdul Wahid dan Muhammad Irfan memandang bahwa kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang (Abdul dan Muhammad, 2001).

Pada penelitian ini melibatkan 238 anak yang mendapatkan kekerasan seksual sebanyak

(11)

180 orang (75,6%). Jenis kelamin anak yang diteliti adalah perempuan yaitu sebanyak 197 orang (82.8%), jenis kelamin pelaku yang diteliti adalah laki-lak sebanyak 225 orang (94.5%). Anak yang diteliti berumur diantara 13-18 tahun sebanyak 152 orang (63.9%), usia pelaku yang diteliti berumur lebih dari 24 tahun sebanyak 141 orang (59.2%). Anak yang diteliti memiliki pendidikan rendah sebanyak 190 orang (79.8%), pelaku yang diteliti memiliki pendidikan tinggi sebanyak 111 orang (46.6%). Anak yang diteliti tidak bekerja sebanyak 221 orang (92.9%), pelaku yang diteliti tidak bekerja sebanyak 144 orang (60.5%). Pelaku yang diteliti non keluarga sebanyak 197 orang (82.8%).

Kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan salah satu kasus yang mengalami peningkatan secara signifikan belakangan ini. Tidak saja meningkat secara kuantitatif tapi juga secara kualitatif. Dari waktu ke waktu kekerasan terhadap anak jumlahnya tak terbendung dan modus operandinyapun semakin tidak berperikemanusiaan. Kuantitas kekerasan seksual terhadap anak, akhir-akhir ini sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan pengamatan dan pendampingan Yayasan KAKAK khususnya pada kasus kekerasan seksual terhadap anak di Eks-Karesidenan Surakarta selama 3 tahun terakhir (periode 2005-2008), anak korban kekerasan seksual berjumlah 73 anak (Sari, 2009). Berdasarkan sejumlah studi 1 dari 3 wanita dan 1 dari 6 pria pernah mengalami pelecehan seksual pada masa kanak-kanak. Fenomena tersebut menunjukkan tingginya angka prevalensi pelecehan seksual pada anak (Etherington, 2000; Morris, 2006; Lipovsky & Hanson, 2007).

Di Indonesia belum banyak data yang menggambarkan kekerasan yang terjadi pada anak. Kekerasan pada anak di Jawa Timur,

terdapat 81 kasus kekerasan seksual, 47 kasus berkaitan dengan hukum dan kenakalan remaja, 38 kasus kekerasan fisik, 11 kasus kekerasa psikis, 4 kasus anak dibuang orang tuanya dan 2 kasus perdagangan perempuan. Data tersebut hanya merupakan puncak dari gunung es, faktanya bisa sepuluh kali bahkan seribu kalinya. Di Kabupaten Jember terjadi peningkatan kejadian, tercatat mulai tahun 2004 sampai tahun 2007 tercatat 170 kasus, dengan berbagai tindak kekerasan pada anak.

Hubungan Antara Jenis Kelamin Anak Dengan Kekerasan Seksual Terhadap Anak.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pada jenis kelamin anak perempuan sebanyak 81.7% yang telah mengalami kekerasan seksual dan hasil analisis bivariatnya terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin anak dengan jenis kekerasan.

Berdasarkan fakta yang muncul di masyarakat bahwa seks merupakan ancaman yang seringkali mengikuti perkembangan anak, khususnya anak perempuan. Banyak hal-hal yang memungkinkan anak menjadi korban pelampiasan seks orang-orang dewasa yang seharusnya melindunginya. Selain itu, keberadaan anak perempuan sebagai sosok yang lemah dan memiliki ketergantungan tinggi dengan orang-orang dewasa yang disekitarnya, membuat anak tidak berdaya saat dia diancam untuk tidak memberitahukan apa yang dialaminya.

Kondisi diatas menempatkan anak perempuan pada situasi yang berbahaya dan menjadi sasaran empuk untuk perlakuan yang tidak adil. Marginalisasi, stereotip dan diskriminasi gender merupakan situasi yang sering dihadapi anak perempuan, sehingga bentuk-bentuk kekerasan yang dimotivasi oleh nafsu seks menjadi

(12)

perempuan pada satu sisi lain menyebabkan anak perempuan menjadi mangsa kebuasan seks laki-laki.

Hubungan Antara Umur Anak Dengan Kekerasan Seksual Terhadap Anak.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa yang anak yang berumur kurang dari 12 tahun sebanyak 76.7% telah mengalami kekerasan seksual, berdasarkan hasil analisis bivariatnya bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur anak dengan jenis kekerasan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) di Jakarta, yaitu sebagian besar korban pemerkosaan adalah anak-anak di bawah umur. Selama tahun 2005, tercatat 185 kasus di Jakarta. Sebanyak 13 kasus menimpa balita, 67 kasus menimpa anak dan remaja usia 6-18 tahun, 27 kasus menimpa ibu rumah tangga usia 19-40 tahun dan 7 kasus menimpa nenek-nenek berusia 41-60 tahun. Penyebab angka pemerkosaan tinggi pada usia anak adalah dampak dari budaya bangsa yang mengharuskan anak menuruti perintah orang yang lebih tua, dominasi hubungan relasi kuasa seperti ayah dengan anak, kebiasaan “takut” ketika diancam dan maraknya penjualan buku, majalah, VCD porno dan minuman keras (Munti, 2006)

Penelitian lain oleh Rifka Annisa, kasus yang ditangani sejak tahun 2000 hingga Juni 2010 menunjukkan bahwa 80% kasus pemerkosaan dialami oleh anak dibawah usia 18 tahun. Hal ini disebabkan karena kurangnya kepedulian orang tua dan minimnya pengetahuan anak tentang seksualitas serta moral hazart yang meningkat yaitu suatu keadaan dimana orang sudah tidak peduli apakah tindakan tersebut akan membuat korbannya menjadi menderita atau tidak dan tidak peduli apakah perbuatannya tersebut berdosa atau tidak (Annisa, 2010)

Namun ternyata kasus kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada anak-anak yang usianya lebih muda saja. Remaja putri hingga wanita yang menginjak usia dewasa pun rawan akan bahaya kekerasan seksual. Seperti kasus yang terjadi di Bekasi. Seorang tukang ojek yang mengaku pegawai pajak berhasil mengelabui 3 orang wanita berusia 16,18 hingga 24 tahun. Ia pun melakukan modusnya dengan cara yang lebih modern, dari jejaring sosial yang saat ini sedang marak. Dari situ ia berkenalan dengan korban-korbannya, kemudian mengajak sang korban untuk bertemu dan memperkosa korbannya (Doni & Mira, 2010).

Hubungan Antara Faktor Pendidikan Anak Dengan Kekerasan Seksual Terhadap Anak.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang memiliki pendidikan rendah sebanyak 76.8% telah mengalami kekerasan seksual. Berdasarkan hasil analisis bivariatnya bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan anak dengan jenis kekerasan.

Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Ririn dkk dimana korban kekerasan terbanyak berasal dari yang memiliki latar belakang pendididkan tinggi (minimal SMA). Salah satu faktor yang dapat menjadi penyebab hal tersebut adalah tingginya kesadaran perempuan yang berpendidikan tinggi akan hak asasinya dan perhatian akan kesehatannya, sehingga golongan pendidikan tinggi cenderung untuk berobat dan atau melapor kasus kekerasan yang menimpanya.

Dalam banyak kejadian kaus kekerasan seksual terhadap anak sering tidak dilaporkan kepada polisi, kasus ini cenderung dirahasiakan, bahkan jarang dibicarakan baik oleh pelaku maupun korban. Para korban dengan pengetahuan yang kurang merasa malu karena menganggap hal itu sebagai sebuah aib yang harus disembunyikan

(13)

rapat-rapat atau korban merasa taku ancaman pelaku.

Hubungan Antara Faktor Pekerjaan Anak Dengan Kekerasan Seksual Terhadap Anak.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang tidak bekerja sebanyak 76.0% telah mengalami kekerasan seksual. Hasil perhitungan analisis bivariatnya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan anak dengan jenis kekerasan.

Hubungan Antara Jenis Kelamin Pelaku Dengan Kekerasan Seksual Terhadap Anak.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin pelaku laki-laki sebanyak 80.0% yang telah melakukan kekerasan seksual, dan hasil analisis bivariatnya terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin pelaku dengan jenis kekerasan.

Pelanggaran pada umumnya lebih banyak dilakukan oleh laki-laki daripada perempuan, meskipun persentasenya bervariasi antara satu studi dengan studi lainnya. Persentase insiden pelecehan seksual oleh pelaku perempuan yang menjadi perhatian sistem hukum biasanya dilaporkan antara 1% dan 4% (Denov, 2003).

Sejak bayi manusia telah memiliki dorongan seks. Dorongan tersebut merupakan dasar dalam diri individu yang secara otomatis terbentuk sebagai akibat zat-zat hormon seks yang terdapat dalam diri manusia. Dorongan seks ini sangat kuat dan dorongan ini menuntut untuk selalu dipenuhi. Apabila kita tidak dapat mengendalikannya, maka akibatnya akan terjadi kehilangan keseimbangan yang hal ini akan mempengaruhi gerak tingkah laku kita masing-masing dalam aktivitas kehidupan kita sehari-hari. Pada tahap selanjutnya jika kebutuhan akan seks

halnya perkosaan. Pada laki-laki dorongan seks ini jika muncul maka harus dislurkan, berbeda dengan perempuan masih mampu untuk menahan dorongan seksnya.

Hubungan Antara Umur Pelaku Dengan Kekerasan Seksual Terhadap Anak.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pelaku yang berumur lebih dari 24 tahun sebanyak 79,4% telah melakukan kekerasan seksual. Hasil analisis bivariatnya bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara umur pelaku dengan jenis kekerasan.

Kekerasan terhadap anak-anak ini dilakukan oleh pelaku yang lebih dewasa dengan modus yang beraneka ragam. Ada yang menggunakan cara membujuk korban dengan diberi sejumlah uang, membelikan sesuatu yang diinginkan korban, atau memang sengaja diajak pelaku untuk bermain bersama kemudian pelaku melakukan kekerasan terhadap mereka.

Namun teori Bethea mengatakan pada penelitiannya mengenai hubungan usia ibu dengan kekersan terhadap anak menyatakan bahwa orang tua yang masih muda, belum matang secara emosi, belum mempunyai pengalaman dalam merawat anak, tidak memahami akan kebutuhan tumbuh kembang anaknya dan kemungkinan akan menolak perannya sebagai orang tua, yang berakibat pada penolakan kehadiran anaknya, sehingga menimbulkan tindakan perlakuan salah dan penelantaran anak-anaknya.

Hubungan Antara Faktor Pendidikan Pelaku Dengan Kekerasan Seksual Terhadap Anak.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pelaku yang memiliki pendidikan tinggi sebanyak 78,0% telah melakukan kekerasan seksual, dan hasil analisis bivariatnya bahwa tidak terdapat

(14)

Penelitian ini berbeda dengan teori yang ada, orang yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah cenderung mendapat pekerjaan yang tidak layak. Keadaan yang demikian menyebabkan seseorang dapat kehilangan kepercayaan diri dan menimbulkan jiwa yang apatis, frustasi serta hilangnya respek atas norma-norma yang ada di sekitarnya.

Berdasarkan penelitian gumiarti (2011) bahwa hasil Analisa bivariat penelitiannya membuktikan bahwa status sosial orang tua khususnya pendidikan berhubungan secara bermakna dengan kejadian kekerasan fisik pada anak. Prevalensi kekerasan fisik pada anak lebih tinggi pada pendidikan orang tua yang rendah. Orang tua dengan tingkat pendidikan tertentu akan mempengaruhi pola pengasuhan kepada anak-anaknya. Pendidikan orang tua menentukan mudah tidaknya seseorang dalam menyerap dan memahami pengetahuan tentang pengasuhan anak, pendidikan orang tua juga sangat berpengaruh dalam memberikan kebutuhan psikologis anak-anaknya. Bila pengetahuan orang tua rendah mengenai kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan serta cara pengasuhan yang benar, orang tua akan mudah mengalami mispersepsi dalam menerima masukan atau pengetahuan tentang kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan anak selama masa tumbuh kembangnya, atau akan mudah terjadi miskomunikasi karena keterbatasan pengetahuan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak, sehingga orang tua mudah memperlakukan salah dan menelantarkan anak-anaknya. Hasil di atas hampir sama dengan penelitian Shojaeizadeh (2001), orang tua lebih mudah melakukan tindak kekerasan fisik pada anak atau mengurung anak-anak di dalam rumah, tidak mengijinkan anak bermain diluar rumah bila orang tua sedang marah, tindakan ini disebabkan karena pendidikan orang tua yang rendah.

Hubungan Antara Faktor Pekerjaan Pelaku Dengan Kekerasan Seksual Terhadap Anak.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pelaku yang tidak bekerja sebanyak 69.4% telah melakukan kekerasan seksual, berdasarkan analisis bivariatnya bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan pelaku dengan jenis kekerasan.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian Gumiarti (2011) mengenai hubungan status sosial orang tua dengan kekersan terhadap anak. Pekerjaan orang tua dengan kekerasan fisik pada anak juga berhubungan secara bermakna. Pekerjaan dan penghasilan yang rendah akan memberikan stressor tersendiri bagi orang tua. Orang tua yang sudah bekerja seharian di luar rumah berdampak pada kelelahan fisik, bila harus menghadapi tingkah laku anak-anaknya yang dinilai nakal, orang tua menjadi tidak sabar, mereka tidak lagi menggunakan kata-kata dalam memberi tahu anak-anaknya, mudah meluapkan emosi kepada anak-anaknya dengan langsung menggunakan kekerasan fisik.

Orang tua dengan pekerjaan yang tinggi mengajarkan anak-anaknya bersemangat belajar, mencintai dan terbuka pada orang tua, gembira serta bekerja sama, orang tua lebih memperhatikan dinamika diri si anak, bila anak berbuat kesalahan bukan hukuman fisik yang diberikan oleh orang tuanya. Berbeda dengan orang tua dengan status sosial yang rendah, dalam mendidik anaknya lebih cenderung untuk mematuhi aturan-aturan yang diberikan dariluar/berdasarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat, orang tua takut kalau anak-anaknya dinilai salah oleh orang lain, bila anak salah orang tua langsung menghukum anak tanpa melihat sebab-sebabnya dan hukuman yang diberikan sering berbentuk hukuman fisik.

(15)

Hubungan Antara Status Hubungan Pelaku Dengan Anak Terhadap Kekerasan Seksual Terhadap Anak.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pelaku yang berhubungan non keluarga sebanyak 82.7% telah melakukan kekerasan seksual,hasil analisis bivariatnya bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara status pelaku dengan jenis kekerasan.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya seperti pada pengamatan Yayasan KAKAK bahwa ditinjau dari hubungan pelaku dengan korban, diketahui bahwa di wilayah ekskaresidenan Surakarta sedikit sekali terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang asing. Banyak diantara korban kekerasan yang telah mengenal pelakunya antara lain teman korban, pacar, tetangga bahkan ada pelaku yang merupakan keluarga dekat korban (seperti ayah, menantu, saudara sepupu, dsb) yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kehidupan dan masa depan korban. Berikut ini disajikan tabel mengenai status hubungan pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak berdasarkan penelitian Yayasan KAKAK di Eks-Karesidenan Surakarta selama 3 tahun terakhir (periode 2005-2008):

Pelanggar lebih cenderung merupakan keluarga atau kenalan dari korban mereka daripada orang asing. Sebuah studi pada tahun 2006-2007 Idaho dari 430 kasus yang ditemukan bahwa 82% dari pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang masih muda dikenal oleh korban (kenalan 46% atau kerabat 36%).(Ferguson dkk, 1996 dalam wikipedia)

Sebuah penelitian menyimpulkan orang tua kandung ternyata tercatat lebih banyak melakukan kekerasan seksual terhadap anak

tiri terhadap anak tirinya. Menurut harian sinar harapan, hasil penelitian itu menunjukkan bahwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh orangtua kandung kepada anak kandungnya mencapai 3,3%. Sementara kekerasan seksual yang dilakukan orangtua tiri hanya 2,7%. Hal ini diungkapkan oleh Etty Indriaty, seorang peneliti dari Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi Fakultas Kedokteran UGM, dalam Temu Ilmiah nasional III Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia di Yogyakarta. Data lain juga menunjukkan pelaku kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang yang dikenal atau pengasuh mendapatkan persentase yang besar, yakni mencapai 47,8% yang kemudian disusul dengan kekerasan seksual yang dilakuka oleh orang tak dikenal 23,4%. Sementara pelaku kekerasan seksual oleh saudara kandung 4,5%, saudara sepupu, paman dan saudara lainnya 18,3% (Ety, 2003).

Pelaku kekerasan yang umumnya adalah orang yang telah dikenal baik oleh korban maupun keluarga, membuat korban tidak sepenuhnya menyadari bahaya yang mengancamnya. Sebelumnya, pada para pelaku ini anak memilik jarak personal yang dekat. Namun kedekatan jarak personal ini justru digunakan oleh pelaku untuk melancarkan maksud buruknya. Akibatnya anak kehilangan keyakinan terhadap ruang personal yang dimiliki. Hal ini dapat menimbulkan efek yang lebih buruk karena anak menjadi kehilangan kemampuan untuk menentukan batas-batas ruang personalnya. Anak mungkin menjadi takut untuk memiliki jarak intim atau jarak personal dengan orang lain hingga waktu yang sulit ditentukan, yang dapat muncul dalam bentuk perilaku sosial yang kurang sehat seperti kehilangan kepercayaan pada orang lain, menarik diri, merasa kesepian, bahkan dapat mengarah pada gangguan perilaku dan emosi yang lebih berat seperti kecemasan dan depresi.

(16)

anak yang paling banyak dalam penelitian ini adalah tetangga 49 (20,6), pacar 43 (18,1) dan teman 30 (12,6). Tetangga, pacar dan teman memang termasuk non keluarga namun aktifitasnya dan pertemuannya dengan anak sangatlah sering, sehingga kemungkinan bisa terjadi kekerasan karena faktor nafsu dan ketertarikan kepada anak.

Pacaran sering memunculkan sikap-sikap yang tidak realistik dan bahkan dapat menjadikan posisi perempuan menjadi tidak berdaya dan dependen, masuk dalam kerangka psikologis yaitu merasa aman, susah untuk melepas diri jika bersama dengan pasangannya dan menimbulkan rasa bangga memiliki pasangan. Akan tetapi realitas yang ada, telah menjadikan perempuan merasa tersudut jika tidak dapat memberikan kontribusi yang memadai seperti tanggapan yang manis ketika pasangannya datang berkunjung. Konflik-koflik mengenai rasa hati, tidak enak dengan keluarga, tetangga dan masa depan, sering menjadikan perempuan tidak dapat bersikap asertif, bersikap tegas yaitu memiliki daya tawar memutuskan segera pasangannya atau tidak melanjutkan ke jenjang perkawinan jika mengalami kekerasan dalam berpacaran.

Faktor Yang Dominan Pada Kejadian Kekerasan Seksual Terhadap Anak.

Dari hasil analisis multivariatnya diperoleh bahwa ada 3 variabel yang berhubungan signifikan dengan kekerasan seksual terhadap anak yaitu jenis kelamin anak, umur pelaku dan status pelaku. Adapun faktor yang paling dominannya adalah jenis kelamin perempuan dan status hubungan pelaku dengan anak. Anak perempuan sebagai sosok yang lemah dan memiliki ketergantungan tinggi dengan orang-orang dewasa yang disekitarnya, membuat anak tidak berdaya saat dia diancam untuk tidak memberitahukan apa yang dialaminya. Adapun status hubungan pelaku dengan anak yang paling banyak dalam penelitian ini adalah tetangga 49 (20,6), pacar

43 (18,1) dan teman 30 (12,6). Tetangga, pacar dan teman memang termasuk non keluarga namun aktifitasnya dan pertemuannya dengan anak sangatlah sering, sehingga kemungkinan bisa terjadi kekerasan karena faktor nafsu dan ketertarikan kepada anak.

Pacaran sering memunculkan sikap-sikap yang tidak realistik dan bahkan dapat menjadikan posisi perempuan menjadi tidak berdaya dan dependen, masuk dalam kerangka psikologis yaitu merasa aman, susah untuk melepas diri jika bersama dengan pasangannya dan menimbulkan rasa bangga memiliki pasangan. Akan tetapi realitas yang ada, telah menjadikan perempuan merasa tersudut jika tidak dapat memberikan kontribusi yang memadai seperti tanggapan yang manis ketika pasangannya datang berkunjung. Konflik-koflik mengenai rasa hati, tidak enak dengan keluarga, tetangga dan masa depan, sering menjadikan perempuan tidak dapat bersikap asertif, bersikap tegas yaitu memiliki daya tawar memutuskan segera pasangannya atau tidak melanjutkan ke jenjang perkawinan jika mengalami kekerasan dalam berpacaran.

Keterbatasan Penelitian

Peneliti menyadari bahwa dalam penelitian kekerasan seksual terhadap anak ini masih terdapat banyak kekurangan, karena tidak terlepas dari keterbatasan peneliti yang tidak dapat dihindari. Dalam hal ini peneliti menggunakan desain penelitian cross sectional, selain kelebihannya dari segi waktu dan efisiensi pembiayaan, rancangan ini mempunyai kelemahan. Bias yang terjadi adalah bias informasi. Penelitian kekerasan seksual yang ini merupakan fenomena gunung es belum menggambarkan jumlah seluruh kasus, data kekerasan seksual yang tercatat itu jauh lebih sedikit dari yang seharusnya dilaporkan karena tidak semua anak yang mengalami kekerasan seksual bersedia melaporkan kasusnya sehingga kemungkinan bisa

(17)

juga terjadinya bias informasi dalam penelitian ini karena kurangnya kelengkapan dalam pencatatan dan pelaporannya.

SIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini melibatkan 238 anak yang mendapatkan kekerasan seksual sebanyak 180 orang (75,6%). Anak yang diteliti adalah berjenis kelain perempuan sebanyak 197 orang (82.8%), pelaku yang diteliti adalah berjenis kelamin laki-lak sebanyak 225 orang (94.5%). Anak yang diteliti berumur d iantara 13-18 tahun sebanyak 152 orang (63.9%), usia pelaku yang diteliti berumur lebih dari 24 tahun sebanyak 141 orang (59.2%). Anak yang diteliti memiliki pendidikan rendah sebanyak 190 orang (79.8%), pelaku yang diteliti memiliki pendidikan tinggi sebanyak 111 orang (46.6%). Anak yang diteliti tidak bekerja sebanyak 221 orang (92.9%), pelaku yang diteliti tidak bekerja sebanyak 144 orang (60.5%). Pelaku yang diteliti non keluarga sebanyak 197 orang (82.8%).

Karakteristik yang berhubungan dengan kekerasan seksual terhadap anak yaitu variabel jenis kelamin anak (p value = 0,000), jenis kelamin pelaku (p value = 0,000), umur pelaku (p value = 0,135), pekerjaan pelaku (p value = 0,009), status hubungan pelaku dengan anak (p value = 0,000). Sedangkan variabel yang tidak berhubungan dengan kekerasan seksual terhadap anak yaitu variabel umur anak (p value = 0,886), pendidikan anak (p value = 0,498), pendidikan pelaku (p value = 0,498), pekerjaan anak (p value = 0,570).

Faktor yang dominan dalam penelitian ini yaitu Jenis Kelamin Anak didapat OR (18,734) artinya anak yang berjenis kelamin perempuan mempunyai peluang 18 kali mengalami tindakan kekerasan seksual terhadap anak, dibanding anak yang berjenis kelamin laki-laki.

Timur diharapkan pemerintah daerah dapat menanggulanginya dengan menggunakan kebijakan sanksi hukum sesuai dengan kebijakan hukum yang ada di Indonesia dan menyediakan layanan akses bagi korban kekerasan agar mereka mendapat pertolongan dengan cepat. Selain itu dapat juga memberikan edukasi yang bisa dilakukan melalui pendidikan formal sejak dini (Taman Kanak-kanak) sampai perguruan tinggi, juga secara informal dengan melakukan pelatihan-pelatihan, dan non formal dengan melalui pertemuan rutin masyarakat, arisan, acar organisasi, dan sebagainya. Materi diberikan secara umum sesuai dengan usia, tingkat pendidikan dan kondisi serta jika didapatkan faktor risiko, maka harus lebih intensif lagi. Bagi rumah sakit diharapkan pihak rumah sakit segera merespon secara cepat dan tepat apabila mendapat pasien dengan tindakan-tindakan kriminal. Setelah itu mengadakan pengusutan dengan kerjasama dari anggota masyarakat sehingga dapat mengajukan ke pengadilan untuk mendapatkan pembuktian, yang obyektif demi terciptanya keadilan bagi masyarakat. Sedangkan bagi masyarakat, diharapkan bagi anak-anak perempuan lebih berhati-hati, serta menjaga sikap dan penampilannya dalam upaya pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak. Adapun bagi masyarakat agar senantiasa mengontrol diri dan emosi ataupun nafsu sesaat yang menjadikan diri menjadi khilaf dalam melakukan kekerasan terhadap anak.

DAFTAR PUSTAKA

Sari, A. P. 2009. Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak dan Hubungan Pelaku dengan Korban. Diunduh tanggal 27 Juli 2012 dari http://kompas.com/index.php/ read/xml

(18)

Soekresno E. 2007. Mengenali Dan Mencegah Terjadinya Tindak Kekerasan Terhadap Anak. Diunduh di http://www.kpai.go . Diakses 05 Januari 2012.

Solihin L. 2004. Tindakan Kekerasan pada Anak dalam Keluarga, Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004. Denov M. S. 2003. “The myth of innocence: sexual

scripts and the recognition of child sexual abuse by female perpetrators”. The Journal of Sex Research 40 (3): 303–314. doi:10.1080/00224490309552195.

Mudjiati. 2010. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Suatu Tantangan Menuju Sistem Hukum yang Responsif Gender. Diunduh di (http://www.djpp. depkumham.go.id/hukum-pidana/85- penghapusankekerasan-dalam-rumah- tangga-suatu-tantangan-menuju-sistem-hukum-yangresponsif- gender.html, diakses 05 Januari 2012.

Gumiarti. 2011. Hubungan Antara Status Sosial Orang Tua Dengan Kekerasan Fisik Pada Anak Umur 3-6 Tahun Di Kabupaten Jember, Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, Vol.Ii No. 2; 82-90. ISSN 2086-3098. Diunduh di www.suaraforikes.com, Di akses 05 Januari 2012.

Charles.2002. Definisi Kekerasan, Diunduh di http://www.bpkpenabur.or.id/charles/ orasi6a.htm, Diakses 05 Januari 2012. Huraerah A. 2007. Child Abuse (Kekerasan

Terhadap Anak), edisi revisi, Penerbit Nuansa, Bandung.

Moerti H S. 2010. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, edisi 1, Sinar Grafika, Jakarta. Notoatmodjo S. 2010. Metodologi Penelitian

Kesehatan, edisi revisi, PT Rineka Cipta, Jakarta.

Hastono S,P. 2007. Analisis Data Kesehatan, FKM URINDO, Jakarta.

Suci W. 2007. Child Abuse, Fenomena Dan Kebijakan

Di Indonesia, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, vol.10 no 1;63-70, Surabaya.

Dianawati. 2010. Prevalensi Kekerasan terhadap anak di Jawa Barat. Diunduh di http://news.okezone.com/ r e a d / 2 0 1 0 / 0 7 / 2 3 / 3 4 0 / 3 5 5 8 7 4 / bandung-juara-i-soal-kekerasan-terhadap-anak diakses 05 Januari 2012 Emmy R. 2008. Penghapusan kekersan dalam

rumah tangga. Diunduh di http://peng hapusankekerasandalamrumahtangga. blogspot.com/2011/01/kemiskinan-menjadi-penyebab-utama-kdrt.html, diakses 05 Januari 2012

Doni dan Mira. 2010. Kekerasan Seksual pada Anak. Newsletter pulih vol 15 juni 2010 www.perpustakaanpulih.or.id

Wahid A dan Muhammad I. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan). Bandung: Refika Aditama.

Saherodji, H. Hari. 1980. Pokok- Pokok Kriminologi. Jakarta: Aksara Baru. Arrasyid, Chainur. 1980. Psykologi Kriminil.

Medan: FH USU.

Bawengan, Gerson W. 1977. Pengantar Psychologi Kriminil. Jakarta: Pradnya Paramita. Kartono, Kartini. 1981. Psychologi Wanita, gadis

Remaja, dan Wanita Dewasa. Bandung: Alumni.

Sutherland, Edwin H. dan Donald R. Cressey. 1977. Azas-Azas Kriminologi = Principles of Criminology. Bandung: Alumni.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998. Teori-Teori Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Arief, Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

(19)

http://www.lbh-apik.or.od/, diakses tanggal 7 Juni 2012.

http://www.tempointeraktif.com/, diakses tanggal 7 Juni 2012.

Fergusson, DM.; Lynskey, MT.; Horwood, LJ. (Oct 1996). “Childhood sexual abuse and psychiatric disorder in young adulthood: I. Prevalence of sexual abuse and factors associated with sexual abuse.”. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 35 (10): 1355-64. doi:10.1097/00004583-199610000-00023. PMID 8885590.

Joint Submission by The Office of the Governor C.L. Butch Otter, Governor and The Office of the Attorney General Lawrence Wasden, Attorney General January, 2008. “The Prosecution of Child Sexual Abuse in Idaho July 1, 2006–June 30, 2007” (pdf). Diakses pada 28 Juni 2012.

Idaho Releases Yearly Report on Sexual Abuse, KPVI.com, Suzanne Hobbs

Etherington, K. (2000). Counselling in action: Supervising counselors who work with survivors of childhood sexual abuse. Journal of Counselling Psychology Quarterly,13, 4, 377-389.

Gifford, R. (19..). Environmental Psychology: Principle and Practice

Hertinjung, W.S. (2009). Efek Pelatihan Relaksasi terhadap Gejala PTSD pada Anak

Korban Kekerasan Seksual. Tesis. Tidak diterbitkan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.

Lipovsky, J. A., & Hanson, R. F. (2007) Treatment of child victims of abuse and neglect. Department of social services webpage. Diunduh tanggal 19 April 2012 dari http://www.state.sc.us./dss/cps/images/ figure3.

Morris, R. (2006). Understanding child sexual abuse. 62nd Annual IARCCA Conference-Indianapolis

Ety indriati, 2003. Pencabulan Anak Lebih Banyak Dilakukan Orangtua Kandung. www. google.com

Soetjiningsih, DSAK, 1998. Tumbuh kembang anak, edisi 2. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta

(20)

Gambar

Tabel 1 Distribusi frekuensi anak  berdasarkan jenis kekerasan
Tabel 3 Distribusi frekuensi pelaku berdasarkan Jenis Kelamin Pelaku
Tabel 4 Distribusi frekuensi pelaku berdasarkan Status hubungan Pelaku dengan anak
Tabel 5 Hubungan Karakteristik anak dengan jenis kekerasan  Variabel Kategori
+3

Referensi

Dokumen terkait

Uji hipotesis terdiri dari uji-t yang digunakan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa antara kelas IX D sebagai kelas eksperimen dan kelas IX G

Judul Penelitian : PENGARUH KOMUNIKASI DAN PENGAWASAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI DENGAN PENGAWASAN SEBAGAI VARIABEL MODERATING PADA PT PERUSAHAAN GAS NEGARA (PERSERO) TBK

PENGARUH PEMBERIAN PROBIOTIK BACILLUS Sp DALAM AIR MINUM TERHADAP KADAR LEMAK DAN KOLESTEROL.. DAGING

Laporan skripsi merupakan kajian singka t tentang “ Analisis Kandungan Asam retinoat Dan Hidrokuinon Pada Krim Pemutih Secara Simultan Dengan Metode Kromatografi

Hal tersebut membuat tertarik peneliti untuk melakukan penelitian yang berjudul ³Pola Praktek Kontrol Sosial Keluarga Terhadap Kehamilan Tidak Dikehendaki

Peraturan KPPU Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan tentang Penggabungan

Dapat dilihat bahwa air isi ulang yang diproduksi oleh seluruh depot air minum isi ulang yang diuji sampelnya layak untuk dikonsumsi atau berkualitas baik,

Hasil penelitian ini memnunjukan bahwa kualitas audit, komite audit, komisaris independen dan kepemilikan institusioanl secara simultan berpengaruh terhadap integritas