• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Pergeseran Nilai Budaya dan Etika Komunikasi Dalam Acara Infotainment Televisi (Suatu Perubahan Hak Proteksi Atas Privasi Ke arah Ajang Promosi Pribadi)s.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Pergeseran Nilai Budaya dan Etika Komunikasi Dalam Acara Infotainment Televisi (Suatu Perubahan Hak Proteksi Atas Privasi Ke arah Ajang Promosi Pribadi)s."

Copied!
307
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN 1

WAWANCARA PENULIS DENGAN BAPAK DR. H. HENDRI SUBIAKTO, SH., MA.

---STAF AHLI MENKOMINFO BIDANG MEDIA MASSA

---HARI : JUMAT

TANGGAL : 11 JUNI 2010 JAM : 13:30 – 14:00 WIB

TEMPAT : KANTOR STAF AHLI MENTERI KOMINFO BIDANG MEDIA MASSA, KEMENKOMINFO, LT.7 JL. MERDEKA BARAT 4 & 5 JAKARTA.

---P : Saya ingin mengetahui pendapat/pemikiran Pak Henri mengenai topik penelitian saya, mengingat kompetensi Pak Henri sebagai pengajar, penulis, pengamat media,

sekaligus banyak juga terlibat dalam penyusunan regulasi (sbg Staf Ahli Menteri

Kominfo Bidang Media Massa).

Menurut Pak Henri, apakah benar telah terjadi pergeseran budaya para pelaku

bisnis infotainment khususnya subyek dan obyek cerita yang diberitakan?

HS : Pergeseran dari mana kemana?

P : Pergeseran nilai dari paradigma lama ke paradigma baru, artinya, karena banyak pengaruh dari teknologi. Paradigma lama, kan semua dulu boleh dikatakan serba

tabu, artinya, ada orang untuk menunjukkan siapa dirinya dsb termasuk hak-hak

privasi dirinya dulu boleh dikatakan sangat klasik tradisional, sekarang ketika

seseorang yang semula dia tidak sadar bahwa dia menjadi obyek cerita, tetapi

kemudian ketika dia sadar dia malah berubah menjadikan media sebagai ajang utk

(2)

HS : Sebenarnya…, dulu kan infotainment tidak ada, kemudian ada dan sekarang infotainment itu menjadi semacam program yang paling banyak dimiliki hampir semua media TV sampai sehari bisa sampai 13 jam siaran..

P : Bahkan lebih mas, sehari bisa sampai 15 jam, tapi sekarang sudah mulai menurun lagi..

HS : Ya, ya sampai 15 jam; Kenapa seperti itu, pertama karena media sendiri itu memang selalu memilikiair timeyang banyak dan membutuhkan konten untuk disiarkan. Dia kan pasti, konten yg paling murah dan kemudian menarik itu memang infotainment, infotainment itu murah sekali, pertama tentang artis itu kan menarik, kedua artisnya gak perlu dibayar, untuk diwawancara dan diberitakan itu tidak perlu membayar uang buat artis, kalau mengundang artis buat nyanyi, sekali nyanyi itu buat (Luna) Maya itu 24 juta hanya utk dua lagu. Tapi kalau di infotainment orang atau artis-artis itu malah senang, tidak perlu dibayar, bahkan malah senang, dan bahkan itu sudah merupakan promo, dan itu murah.

Dan ini adalah kejelian dari Production House yang membuat sebuah infotainment sebagai produk yang murah, yang bisa dipasarkan dan dapat dijual ke beberapa media; sebenarnya Production House-nya juga itu-itu saja, tapi dikemas dengan nama yg berbeda-beda, isinya juga hampir sama-sama, Cuma disampaikan dengan cara yg berbeda-beda, tapi isinya sama. Makanya kalau satu sudah ngomong tentang Ariel ya semuanya berbicara tentang Ariel, Ariel. Karena ya memang hanya itu (modalnya). Disini yang namanya Check & Recheck, disana namanya Kroschek, disana Silet, hanya penyajiannya yang di rubah-rubah.

P : Berarti itu termasuk apa, trend ya? Kenapa dan ada motif apa sih di balik

maraknya acara infotainment ..?

(3)

karena memang dia biasanya disiarkan pada jam-jam yang tidak prime time. Tapi TVshare-nya lumayan-lah, seperti itu.

Nah mengenai privasi dan kemudian dijual, karena memang yang namanya apa, para selebritis itu ya yang menarik itu ya privasi mereka; Persoalannya apakah itu kemudian melanggar etika atau tidak, itu .. bagi kalangan pemrodusen infotainment menganggap bahwa public figure itu layak untuk diberitakan, dan itu hak masyarakat untuk tahu, walaupun sebenarnya kalau tidak tahupun ya tidak apa-apa; dan kalau masyarakat tahupun juga tidak menambah apa itu, kecerdasan, dan tidak ada kaitannya dengan peningkatan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat.

Itu istilahnya sebenarnya itu infotainment bagian dari lowtaste content, atau isi selera rendah; yang disebarkan kepada orang banyak, diterima oleh orang banyak, dan disukai orang banyak, tetapi ikut menyumbangkan penurunan selera massa dan standar-standar moral. Karena berkaitan dengan perselingkuhan, berkaitan dengan kawin cerai, dan menurunkan standar-standar moral, dengan gambar-gambar porno yang menurunkan standar-standar moral dan menurunkan standar-standar budaya. Jadi berkontribusi terhadap penurunan-penurunan standar itu. Tetapi disukai, dan yah.. itulah infotainment.

P : Jadi kalau menurut Pak Henri apakah ada perubahan etika terutama dalam

berkomunikasi khususnya untuk para pekerja infotainment?

HS : Kalau pekerjaan infotainment itu dulunya memang itu .. anu.. yang berubah itu adalah ee .. pengertian dari wartawan. Jadi, dulu wartawan, yang namanya wartawan itu adalah orang-orang yang profesional memang tugasnya mencari berita dan beritanya itu mempunyai ukuran-ukuran tertentu, dan dilakukan oleh organisasi berita. Organisasi berita itu bisa kantor berita, koran, dsb. Ini nggak, ini kan production house; production house itu organisasi berita bukan,?

(4)

HS : Iya bukan; Jadi pemrodusen infotainment itu bukan organisasi berita. Pelaku-pelakunya itu juga bukan orang-orang yang dididik sebagai wartawan news, pemberitaan. Tapi adalah hanya memproduksi sebuah tayangan program… namanya juga production house. Nah itulah kemudian terjadi pergeseran, dalam perkembangannya bahwa merekapun dianggap sebagai wartawan oleh PWI, Tapi oleh sementara yang lain belum mau mengakui, itulah pergeserannya disitu. Karena apa, karena ada etika-etika jurnalistik yang tidak dijalankan. Misalnya mengenai apa… standar-standar nilai obyektivitas,factuality, atau juga mungkinimparsiality. Factuality berkaitan dengan ..bukan hanya sekedar fakta, tapi tujuan fakta itu disampaikan itu relevan nggak dengan tujuan itu.

Apa sih tujuan infotainment? Sekedar hanya .. untuk menyampaikan info biar masyarakat senang? Terus kemudian banyak penonton, atau sebuah media itu tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas masyarakat. Kalau media sebagai institusi sosial itu harus punya tujuan sosial, tujuannya sosialnya adalah .. tujuannya yang signifikan adalah untuk meningkatkan kualitas masyarakat, tidak hanya kualitas hidup, tetapi semuanya termasuk kualitas standar moral, dan macam-macam.

Misalnya contoh ini, kasus Luna Maya dan Ariel. Ada fakta, tujuan memberitakan video porno itu apa, kalau tujuannya adalah hanya sekedar memenuhi keinginan masyarakat yang ingin tahu, terus kemudian karena banyak yang suka, terus kemudian ratingnya naik, itu artinya media mengabaikan yang namanya institusi sosial.

(5)

Jadi penekanannya pada hal-hal sisi negatif daripada pornografi. Bukan hanya pada fakta yang diungkap lalu memunculkan rasa penasaran lalu akhirnya ribuan orang ingin mengakses, lalu jutaan orang ingin tahu, seperti apa yang sekarang terjadi. Nah disitulah problema dari infotainment. Mereka tidak paham tentang standar-standar etika jurnalistik sehingga akhirnya sekedar factuality dalam artian bahwa faktanya ada, tetapi tidak relevan dengan tujuan pemberitaan. Tidak relevan dengan institusi media itu tujuannya apa?

P : Bagaimana mereka ketika merekonstruksi realitas sosial itu kedalam media,

mungkin tidak sama dengan jurnalis yang betul-betul dari organisasi pemberitaan.

Ketika infotainment merekonstruksi realitas dalam masyarakat menurut sudut

pandang mereka sendiri. Apakah benar ada kaitannya dengan .. ..ada yang

mengatakan bahwa infotainment itu mempertahankan sistem kapitalisme baru?

HS : Ehm, ya yang namanya media itu tidak hanya infotainment, semua, semua, semua media sebagai institusi adalah energi kapitalis. Oleh karena itu pelaku-pelaku media atau wartawan sekalipun itu juga mau tidak mau ia adalah pemain dari kapitalisme. Ehm, termasuk media yang terbaik sekalipun. Jadi begini, jangan dianggap bahwa yang namanya kapitalisme itu selalu isinya jelek, tidak!

(6)

itu sangat mencerdaskan masyarakat? Karena menurut dia ada ceruk pasar yang seperti itu yang dibutuhkan. Kenapa Kompas itu sangat kritis, sangat bagus, intelektualitas- nya tinggi, kemudian dia juga menentang pasar bebas, karena dia dibutuhkan oleh publik. Jadi kembali … jadi itu akan mendapatkan pasar yang bagus, kapitalisme.

P : Sama seperti infotainment juga begitu?

HS : Infotainment juga begitu, dia melihat dari aspek yang berbeda. Jadi kapitalisme tidak hanya sekedar kita lihat dari kontennya, tapi juga bagaimana melihat infotainment itu kapitalisme atau tidak, dapat dilihat bagaimana wartawan-wartawannya apakah menjadi sejahtera setelah mereka bekerja sedemikian rupa. Jangan-jangan mereka sudah dieksploitasi, nanti wartawannya juga berganti-ganti terus, itu kapitalisme.

P : Jadi infotainment itu sekarang ini sudah merupakan budaya pop begitu? Dan

masyarakat sendiri sudah terpengaruh sedemikian rupa, sehingga ada

pergeseran-pergeseran nilai, kemudian ini menjadi bagian dari budaya populer. Bagaimana

menurut anda?

HS : Memang bisa saja disebut budaya pop, tapi yang jelas infotainment itu, eee.. kemunculannya itu keinginan masyarakat atau apa masyarakat itu seleranya dibentuk, itu juga satu hal yang seperti ayam dan telor, yang mana yang duluan? Karena apa, banyak masyarakat yang sebenarnya tidak suka, tapi karena memang dimana-mana ada. Kadang-kadang pada pagi hari anda menghindari infotainment dari Channel 1, kemudian pindah ke Channel 2, eh muncul infotainment, pindah ke Channel 3 juga muncul infotainment. Mau tidak mau akhirnya terpaksa tahu dan terpaksa nonton ada kasus tentang selebriti, sehingga dia menjadi terlibat dengan kasus itu.

(7)

dibuat oleh media, lalu ada anggapan bahwa kalau seorang selebriti itu akan terkenal ya harus sering muncul di acara infotainment, muncul di media.

Ini sekarang tinggal yang mana yang disebut sebagai budaya pop-nya? Budaya popnya itu apakah cara mereka hidup, atau cara mereka berpakaian, atau yang mana? Itu memang masih samar-samar. Yang mana yang disebut sebagai budaya pop?. Apa kawin cerai itu budaya pop? Itu problemanya. Jadi Infotainment itu banyak dimensinya. Karena di dalamnya juga mengenai cita-cita banyak selebritis, kemudian apa, .. termasuk gaya hidupnya, cara mereka berpakaian, macam-macam. Apakah cara mereka menikah, menikah dengan cara glamour, yang mana yang disebut budaya pop?

P : Kalau kita lihat, ketika mereka muncul di infotainment, kan banyak tulisan atau

komentar yang mengatakan bahwa kalau artis sudah mulai merosot pamornya

kemudian itu adalah ajang untuk promo dan pada akhirnya adalah masalah

ekonomi dan popularitas. Menurut Pak Henri bagaimana?

HS : Ya bisa saja memang ajang untuk promo, makanya seperti tadi saya katakan itu menjadi murah, karena masing-masing medianya butuh dan selebritinya juga butuh, jadi ada simbiose mutualistik terhadap infotainment. Jadi infotainment itu memang dibutuhkan oleh media tapi juga dibutuhkan oleh para selebritis. Selebritisnya ingin muncul, nongol di TV, jadi sekarang ini ukuran keberhasilan publiknya adalah ukuran keberhasilan nongol di televisi. Dan disebut selebritis juga karena nongol di televisi. Itu makanya lalu orang berlomba-lomba untuk bisa muncul di televisi.

P : Kalau menurut pak Henri, apakah acara infotainment itu melanggar privasi, etika,

logika, dan apakah kalau begini termasuk kategori kejahatan atau bukan?

(8)

Ee, apa, privasi itu sebenarnya memang hak hidup dari semua orang, semua orang itu punya hak untuk memperoleh privasi. Hidup ini kalau tidak ada privasi tidak akan nyaman. Kalau anda tiap hari diikuti kamera, mau mandi diikuti kamera, mau tidur diikuti kamera, itu hidup menjadi tidak nyaman dan tidak normal. Nah tapi lalu ada asumsi bahwa orang-orang selebritis atau yang namanya tokoh-tokoh publik itu privasinya sudah memang sudah dimiliki oleh publik, disampaikan oleh media atas nama publik. Media sepertinya memiliki hak semacam itu. Nah cuma sebenarnya kalau menurut saya yang dilanggar itu etika tentang kegunaan bagi publik. Yang namanya hak publik itu hak seperti apa? Kepentingan publik itu yang mana? Apakah memang tanpa ada infotainment publik akan kehilangan? Apakah kalau tidak ada berita-berita kawin-cerai itu publik akan kehilangan? Tidak, tidak ada. Ini tidak menambah suatu peningkatan kualitas apapun untuk publik. Jadi itu saja yang jadi masalah. Tapi ini persoalan etika, bukan persoalan hukum.

P : Jadi sebenarrnya di negara kita Indonesia, kan belum ada yang namanya

Undang-Undang ttg Privasi atau Privacy Act. Yang ada kan kalau misalnya orang pada buat

situs internet, maka masing-masing membuat aturan-aturan mengenai privasi. Saya

sudah menyelusuri Undang-Undang yang dibuat sejak tahun 1945, belum ada

Undang-Undang mengenai itu. Bagaimana dengan kondisi seperti ini? Memang

masuk hanya sedikit-sedikit di KUHP, KIP, dsb

HS : Memang belum ada, ya.. di UU KIP, KUHP, ada. Yang dikecualikan itu salah satu kalau menyangkut privasi. Yang khusus memang tidak ada, di Amerika ada, karena memang sebenarnya privasi itu termasuk hak asasi, karena hidup manusia itu tidak pernah akan bisa nyaman kalau tanpa ada privasi.

P : Di negara kita kira-kira akan ada rencana nggak untuk itu, kearah pembuatan UU

tentang privasi?

(9)

P : Ya, mungkin Pak Henri bisa mewacanakan mengenai itu, karena di KUHP ada

sedikit, tapi lebih banyak tentang pekerja jurnalistik. Juga di Undang-Undang

Penyiaran juga tidak secara eksplisit dinyatakan tentang privasi.

HS : Karena bandulnya adalah kebebasan. Privasi Act itu akan mengurangi kebebasan. Dan akan mendapatkan tentangan pertentangan keras dari teman-teman yang lagi senang-senangnya dengan kebebasan.

P : Satu lagi pak Henri, setelah saya mendapatkan data dari KPI tentang

pengaduan-pengaduan dari masyarakat terhadap acara-acara yang disiarkan televisi, kan

banyak. Selama satu tahun kemarin tahun 2009 dari Januari sampai Desember,

ternyata pengaduan tentang infotainment itu sangat sedikit, cuma sebanyak 163

pengaduan dari 8093 kasus aduan yang diterima KPI. Sebanyak 7513 aduan

mengenai isi siaran dan 71 saja terkait isi siaran infotainment. Menurut pak Henri

bagaimana? Apakah memang masyarakat sudah bisa menerima infotainment?

Karena jenuh atau bagaimana? Karena seolah-olah infotainment sudah menjadi

hal yang biasa.

HS : Karena konten ini adalah urusannya KPI;

P : Maksud saya adalah masalah sedikitnya pengaduan mengenai infotainment

dibandingkan dengan aduan terhadap acara-acara yang lainnya. Juga trendnya

sekarang ini turun, dari 15 jam per-hari, sekarang hanya sekitar 10 – 12 jam saja.

(10)

Itulah media, pemberitaan yang terlalu sering itu memunculkan .. apa.. desensitivitas, sensitivitasnya berkurang. Ada mekanisme permisifness, masyarakat menjadi semakin permisif, atau permisifness mechanism. Jadi, masyarakat menjadi permisif terhadap berita-berita selebritis yang kawin cerai, udahlah itu memang kayak gitu, mau ngapain lagi, udah capai..

P : Kira-kira kalau harapan Pak Henri terhadap acara infotainment apa? Seyogyanya

bagaimana?

HS : Sebenarnya ini kan problem, problem dari media yang membutuhkan tayangan program yang banyak, air time yang tersedia banyak, lalu mencari yang murah, ini yang perlu dipikirkan. Apa medianya yang terlalu banyak? Medianya terlalu banyak dan tidak ada format, kalau menurut saya sih problem utamanya itu. Jadi ketika media itu jumlahnya cukup banyak dan formatnya sama, maka lalu semua media menyajikan infotainment. Seharusnya kalau misalnya seperti katakanlah seperti media yang khusus untuk berita, dia mestinya tidak akan menyajikan infotainment. Berita-beritanya seperti berita politik, atau berita-berita current issues yang hot issues, itu nggak akan menyiarkan infotainment. Tapi ketika media itu generalis seperti katakanlah RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, AnTV, TransTV, itu kan generalis semua. Mereka punya banyak program yang sama-sama. Itu yang membuat kita jenuh. Ada program apa.. infotainment yang semuanya sama, ada reality show yang formatnya sama, ada program musik yang bentuknya sama, itu membuat jenuh dan masyarakat menjadi.. apa ini, menjadi itu tadi (tidak sensitive), dan memilihpun juga pilihan-pilihannya sama. Tidak ada bedanya antara TV satu dengan TV lainnya, yang membedakan hanya logonya saja. Hal ini berbeda kalau misalnya TV itu memiliki format yang jelas, ada narrowcasting programming, jadi kalau berita ya berita dan kita tahu kalau logonya ini pasti TV anu. Kalau siaran isinya musik pasti AnTV, misalnya. Oo, TV isinya cuma kebudayaan dan flora-fauna, misalnya, oh ini National Geographics.

(11)

yang dapat ijin itu formatnya harus jelas, dan merobah format, itu ijin bisa ditarik kembali. Merobah format, misalnya kayak TPI, televisi pendidikan berubah menjadi TV Dangdut. Itu jelas berubah format, itu ijin harus diperbaharui. Harus ada usulan baru, dan harus sesuai. Karena ijin itu diberikan pertimbangan utamanya adalah formatnya. Kenapa pada formatnya? Karena masyarakat itu membutuhkan macam-macam format, perlu dilayani oleh macam-macam-macam-macam format, ada TV khusus budaya, TV khusus Berita, TV khusus nyanyi-nyanyi, TV khusus kehidupan binatang, TV Kartun, TV Anak-anak. Itu format, nah kalau tiba-tiba berobah, itu menyebabkan pelayanan pada publik itu juga berobah. Sebetulnya ijinnya perlu ditinjau ulang. Nah kalau formatnya sudah tertentu, maka mosok sih pada TV untuk Anak-anak akan muncul infotainment? Infotainment ya akan hanya ada di TV-TV yang tertentu, sesuai dengan formatnya.

P : Baik pak Henri, barangkali sementara itu dulu pertanyaan-pertanyaan saya, nanti

kalau ada kekurangan yang ingin saya tanyakan lagi, mungkin melalui e-mail, atau

SMS? Terima kasih atas waktu dan kesediaan Pak Henri memaparkan

pemikiran-pemikiran ini.

---bw---Catatan Peneliti:

~ Wawancara berlangsung sedikit formal, namun relaks dan penuh keakraban; ~ Informan baru selesai mengikuti rapat pimpinan di kantornya.

~ Sebelum wawancara selesai, sudah ada 5 (lima) orang mahasiswa Fikom Moestopo yang datang dan juga akan melakukan wawancara dengan informan.

~ Meskipun waktunya sangat terbatas karena kesibukan beliau, Informan sangat antusias membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar topik penelitian. ~ Informan juga sangat responsif membalas permintaan peneliti untuk wawancara

(12)

LAMPIRAN 2

WAWANCARA PENULIS DENGAN BAPAK K.R.M.T. ROY SURYO NOTO-DIPRODJO

---ANGGOTA KOMISI I DPR-RI, PAKAR TELEMATIKA, DOSEN ISI & UGM, PENGAMAT MEDIA, PRAKTISI MEDIA.

---HARI : KAMIS

TANGGAL : 17 JUNI 2010 JAM : 17:00 – 19:00 WIB

TEMPAT : GEDUNG NUSANTARA I DPR-RI, SENAYAN LT. 21, RUANG 2103.

---P : Penelitian ini adalah mengenai acara infotainment di televisi, dimana menurut saya terdapat fenomena bahwa telah terjadi pergeseran nilai budaya dan etika

komunikasi dalam acara tersebut. Dalam pengamatan saya, para pesohor telah

memanfaatkan layar kaca untuk ajang promosi pribadinya meskipun itu bersifat

privasi. Saya ingin mengetahui pendapat/pemikiran Mas Roy mengenai hal tsb.

RSN : Ya kalau menurut saya, itu adalah efek dari medium dan komunikasi. Artinya, merupakan konsekwensi dari kehadiran teknologi. Teknologi itu bisa mem-boosting dengan cepat, tetapi juga dapat mereduksi dengan sangat cepat. Jadi seperti televisi yang bisa mengangkat seseorang kalau dia memang talentanya cocok ya dia bisa terus melejit ya, tetapi juga bisa terbalik, kalau misalnya, ibaratnya gini, kadang-kadang ada teknologi yang bisa membungkus itu. Ada seseorang yang kalau dalam rekaman bagus suaranya, dalam minus one itu masih bagus. Tapi kalau televisi mengangkat itu dalam live, ternyata suaranya tidak sesuai dengan rekamannya, baik aksektuasinya maupun cara dia melakukannya gak sama, itu teknologi juga bisa menjatuhkan.

(13)

RSN : Memang ini tidak bisa dihindari juga, bahwa kadang-kadang tergantung personality dari yang bersangkutan. Artinya, seseorang itu bisa terllihat sangat sopan, sangat berbudaya, ketika tampil di layar kaca atau di media, tetapi bisa terlihat kemudian kebalikannya. Gara-gara, mungkin sesuatu yang sebenarnya dia tidak harus begitu, tapi terpancing atau dipancing.

Jadi sebenarnya unsurnya itu ada beberapa macam. Satu, sifat dari media itu sendiri yang karena sekarang teknologi itu tidak seperti dulu yang bisa diharapkan orang dengan mudah dapat meralat. Seseorang sebelum tampil bisa diwawancara sekarang, kemudian dia berpikir bahwa dia bicara sesuatu yang tidak sesuai, maka dia akan telpon produsernya, termasuk yang di media cetak juga begitu, sehingga yang terbit besok sudah sesuai dengan keinginannya.

Tapi sekarang dengan teknologi, itu cepat sekali. Yang kita katakan sekarang, dengan cepat naik jadi berita. Atau artis misalnya dia tampil, saat itu juga muncul di layar. Infotainmentpun juga kalau diperhatikan, dulu namanya information on entertainment, itu lebih bersifat menghibur. Informasinya adalah ditengah-tengah. Tapi kalau sekarang, infotainment rata-rata sudah live juga. Jadi meskipun materi programnya yang ditayangkan itu rekaman, tapi tidak jarang infotainment itu berani siaran live. Paling tidak pembawa acaranya. Jadi sudah seperti hardnews. Padahal infotainment awalnya kan munculnya feature, lebih ada bumbunya dari feature, itulah infotainment. Kalau dulu kita lihat seperti acara Cek & Ricek, Kabar-Kabari, itu yang paling awal, dulu siaran seminggu sekali. Kemudian tambah jadi dua kali seminggu. Dan sekarang tiap hari,strippingdan seperti siaran berita (news) harian. Nah, jadi itu bisa merubah perilaku, juga bahwa bisa merubah cara dia memahami atau cara dia menghormati budaya tadi.

(14)

tidak pandai dalam memenej informasi yang dia sampaikan, akibatnya informasi itu malah jadi canda atau malah jadi berbalik sama infotainmentnya.

Misal atau contohnya dari tiga artis yang sedang top terkait kasus visum (video mesum), mengatakan bahwa: ibu saya tidak kenal, anak sayapun tidak mengenal, bahkan suami sayapun tidak mengenal dengan yang ada divideo itu. Nah itu kan malah sekarang diulang-ulang, jadi bumerang seolah-olah dia sudah membalik atau tidak jujur, karena apa, karena publik toh sudah melihat itu.

Nah, unsur yang ketiga masih ditambah dari unsur perilaku si pekerja medianya. Pekerja medianya juga nakal, kalau dia natural saja mungkin nggak apa-apa, tapi ini ditambah-tambahin.

Saya sering melihat, bahwa memang etika jurnalistik yang diampu oleh teman-teman pekerja infotainment itu memang perlu ada pelunakan atau standarisasi, dibandingkan dengan teman-teman yang mainstream. Saya tahu pasti, misalnya mereka lagi ingin membenturkan suatu comment, karena sifatnya yang bisa cepat tadi, semua jadi ngaruh, si public figure-nya juga sudah terbiasa dibenturkan begitu, seperti misalnya kasus Tamara Bleszinky dengan suaminya. Itu benar-benar, maaf, benar-benar jahatnya infotainment. Yang satu wawancara suaminya, yang satu wawancara si Tamara-nya, padahal dua-duanya belum pernah atau belum sempat konfirmasi, nah dua-duanya dikeluarkan (disiarkan) dan diadu. Tiap hari diadu terus.

(15)

Gubernur ini menampilkan .. dan para pendukung ….” Nah itu pasti belakangnya “bentrok”. Dan jeleknya lagi, saya juga sempat di lapangan, sempat menyaksikan sendiri, ketika misalnya ada pelajar, tadinya mungkin pelajar itu kalau lagi berkelahi hanya tantang-tantangan, tapi kemudian pelajar tadi jadi bisa seperti artis, dia juga pengin tampil, sementara media , .. maaf ya.., ingin dapat berita. Jadi bahasa Jawanya “tumbu oleh tutup”. Yang satu kelompok mungkin lebih keras, sementara yang satunya lagi di “ojok-ojoki” atau di panas-panasi suruh melempar batu atau apa, dan akan di rekam gambarnya, akan dimasukkan ke TV. Itu terjadi, meskipun tidak sampai membakar (bakar-bakaran).

(Catatan: Tumbu adalah suatu wadah atau tempat terbuat dari anyaman bambu berbentuk segi empat seperti box nasi, digunakan untuk tempat nasi/berkat, untuk menaruh

bumbu-bumbu dapur, tempat ikan asin, dsb. Oleh artinya mendapat, dan tutup maksudnya tutupnya tumbu yang sama terbuat dari anyaman bambu. Maknanya

adalah sesuatu yang “klop”).

Dan yang menarik juga, itu terjadi di Gedung ini (Gedung DPR-RI), kapan-kapan bisa dilihat, seperti misalnya di Komisi III yang sekarang sedang naik daun, gara-gara kasus Century dan banyak kasus lagi di bidang hukum, itu karena disorot oleh kamera, maka anggota DPR Komisi III sekarang punya panggung dan berubah perilakunya. Nuwunsewu (mohon maaf), dalam istilahnya, ini istilah saya agak kasar, boleh dimasukkan boleh tidak, “mereka menjadi banci kamera”. Artinya pengin tampil di kamera terus. Sekarang, beberapa tokoh yang kemarin sudah muncul (dalam sidang Komisi III DPR RI tentang kasus Century), sekarang kehilangan itu dan berusaha mencari kamera, bahkan direlakan untuk pindah Komisi juga, hanya untuk bisa tampil lagi.

P : Padahal kalau seorang yang profesional atau kompeten, maka kamera akan mencarinya kan?

(16)

dianggap tidak layak jual, maka seolah-olah rapatnya jadi hilang. Misalnya RDP kok pesertanya sedikit sekali? Nah itu sebenarnya mediapun bisa berperan baik, artinya sebagai “the fourth estate” atau pilar kekuatan keempat, media itu memberitakan ini lho, yang ada di DPR, sehingga kalau niat ya niatnya akan tampak dengan baik, tapi kalau tidak niat ya akan tampak tidak baik niatnya.

Tapi kembali ke tiga unsur tadi, yang pertama dari medianya yang memungkinkan itu tadi, kemudian dari orangnya yang bisa ngaruh, dan ketiga kalau dari pekerja medianya mau melakukan itu. Dan ini belum tentu juga atau bukan tidak mungkin ada unsur bisa direkayasa juga. Lho saya ngalami sendiri, pada waktu sidang paripurna Century, waktu itu situasi gaduh dan disoraki, saya itu hanya teriak sekali, eh dua kali, maaf. Sampai Pak Idrus Marham SMS saya, katanya ”mas, seingat saya anda itu hanya teriak sekali” tapi kok di media jadi berkali-kali?. Dan sepanjang berita selalu ditempel lagi ditempel lagi gambar saya itu.

Saya menyatakan bahwa itu memang ya gambar saya dan saya memang teriak, karena suasananya waktu itu semuanya atau sebagian besarlah, teriak-teriak. Dan dari kita sudah janjian (sudah diatur) siapa-siapa yang bertugas apa.

P : Nah dari situ kan nampak bahwa kamera mencari bintang. Karena kenapa yang disorot hanya anda? Sementara banyak lagi anggota yang lain?

(17)

P : Apakah itu pengaruh owner yang mempengaruhi filosofi kebijakan siaran?

RSN : Memang saya memonitor dua stasiun TV berita dengan men-split layar dan membandingkan isi siaran keduanya yang sampai jam 4 pagi, dimana masing-masing menyiarkan kejelekan/kelemahan masing-masing-masing-masing kandidat, misalnya yang satu mengangkat isu Lapindo terus menerus, yang satunya lagi mengangkat masalah lain lagi. Nah ternyata setelah salah satu kandidat memenangkan pertarungan, maka di stasiun yang satunya tidak muncul berita kemenangan itu sama sekali, atau hasil akhir persaingan hilang dari layar kaca. Dan yang muncul program lain yaitu pidato yang tampaknya ingin mengimbangi siaran kemenangan pesaingnya yaitu pemilik stasiun yang satunya.

P : Nah kalau menurut Mas Roy, apa sebenarnya motif di balik maraknya produk dan tayangan infotainment di Stasiun-stasiun TV kita?

RSN : Itu tidak lepas juga dari kekuatan modal juga, faktor ekonomi. Artinya, dari pemilik juga. Kalau di infotainment, itu kan ada beberapa Grup dibalik itu, yaitu grup Bintang Media Group, itu tampak dari acara infotainmentnya. Sementara ada Grup infotainment dari In House production, dari Stasiun TVnya sendiri atau dari grup lain. Dan mereka memang bersaing dengan sangat ketat, dan bahkan yang kadang-kadang tidak atau kurang bermutu. Itu mereka itu ada pengin tampil tetapi kadang salah menggunakan atau melakukan akreditasi. Misalnya, kalau disebut ekslusif, seperti TVOne kemarin ketika mewawancara Luna Maya dan Ariel, itu betul ekslusif, karena yang lain nggak ada yang dapat wawancara itu. Nah itu kemenangan Pak Karni Ilyas, karena dapat menego mereka dan mewawancarai.

(18)

Tapi kebalikannya, karena ada masalah teknologi tadi, dia juga bisa kadang-kadang agak nakal. Main copy-pasting juga. Dari ini, karena grup-nya sama, dicopy, tinggal nanti dibuat sedikit beda dengan narasi lain. Jadi karena ada 3 (tiga) parameter tadi, parameter bentuk acaranya, parameter tokohnya sendiri maupun parameter pekerjanya, itu yang membuat begitu.

P : Jadi ketika merekonstruksi realitas sosial yang ada di masyarakat, berarti mereka menggunakan perspektif mereka sendiri?

RSN : Ya, meskipun yang namanya media atau apapun yang namanya memberitakan itu tidak pernah bisa seobyektif seratus persen. Tapi kalau mereka sudah tersubyektif, itu memang menjadi tidak nyaman dan itu nampak nyata. Kalau dikatakan tidak akan obyektif seratus persen kenapa? Dari sisi pengambilan gambar saja, seorang kameraman akan ambil angle tertentu dan tidak mengambil yang lain, itupun sebenarnya sudah subyektif. Itu tidak bisa dihindari, tetapi ketika unsur subyektivitas itu ditambah dengan opini, maka jadilah yang ada seperti kemarin kasus inilah. (Catatan penulis: Kasus yang sedang hangat yaitu kasus video porno).

Jadi artinya, ketika sebelum dibuktikan, dia sudah di “judg” begini. Atau bahkan cerita itu dibuat untuk ditempelkan pada sosok yang bersangkutan. Contohnya saya pernah lihat, ya dengan segala hormat saya, suatu saat grup media tertentu itu tiba-tiba mem-blow-up ketika KD cerai dengan Anang, sehingga katanya KD bangkrut. Padahal kondisinya sih nggak bangkrut-bangkrut amat. Tapi kesannya dibuat sedemikian rupa, seolah-olah. Gambar yang dipilihpun, tadinya mobilnya ini, sekarang hanya naik ini, make-upnya tadinya ini sekarang ini, tasnya tadinya ini kok sekarang jadi ini. Kok sepertinya sudah ada agenda setting yang sangat kelihatan.

(19)

P : Jadi disitu kelihatan adanya perubahan etika komunikasi mereka?Para pesohor yang diliput selain alasan ekonomi juga karena popularitas? Seperti tadi anda

katakan, akhirnya orang jadi “banci” kamera. Bagaimana menurut Mas Roy,

karena itu kan sudah banyak masuk ke ruang publik. Masalah privasinya

bagaimana?

RSN : Betul. Ada itu perubahan etika itu. Memang, itu lebih ke alasan popularitas, karna popularitas dapat menghasilkan uang. Dan tentang privasi itu memang ada, yaitu privasi yang dimiliki mereka sebelum ditayang atau belum dimediakan, atau privasi yang katakanlah dari ketika mereka tampil ke publik. Maksudnya gini, yang namanya privasi ketika tampil ke publik, itu seiring dengan berjalannya waktu, saya harus katakan kalau untuk tayangan infotainment atau media biasa itupun sudah sangat tipis atau sudah sangat bergeser.

Contohnya adalah, yah saya harus mengatakan kalau, ini unsur yang kedua, unsur aktornya sendiri, kalau dia memang public figure, atau kalau dia memang tokoh, maka ketika dia keluar dari ruangannya atau dari rumah, itu sudah tidak ada lagi privasi. Dan itu harus dimaklumi. Artinya adalah orang itu memang harus “jaim” harus jaga imej betul. Kemana pergi tidak boleh sembarangan, ke Mal juga tidak bisa sembarangan pakai apa, atau pergi sama siapa. Tapi itupun baik untuk mengkontrol kepribadian yang bersangkutan. Artinya sisi privasi yang ketika dia berada di ruang publik.

(20)

Tetapi yang menarik adalah ketika atau privasi sebelum mereka tampil dimuka umum. Contohnya seperti mereka memiliki dokumen pribadi. Mereka memiliki cerita atau keluarga, ini juga perlu untuk di “protect”. Karena yang menjadi artis itu adalah itu adalah apa yang disebut public figure. Contoh, seperti dalam kasus ini (Catatan: Kasus Ariel, Luna Maya dan Cut Tari), sayapun termasuk ikut memberi “comment”, atau memberi saran, ketika misalnya seorang Luna, ketika dia sedang “mbopong” kemudian dikejar-kejar kru infotainment, itu saya belain Luna. Kasihan dia, dan anak itu bukan menjadi bagian dari cerita itu. Kecuali anak itu adalah hasil hubungan gelap mereka, meskipun itu harus disamarkan, tetapi itu layak untuk kemudian dikejar. Jadi kan ibaratnya gini, kita memang tidak tampil untuk itu, tapi kenapa harus dipaksakan tampil seperti itu.

Kalimat yang tadi dikeluarkan oleh Cut Tari: Keluarga nggak mengenal itu saya. Tapi itupun di sampingnya ada anak kecilnya. Tetapi sekarang sudah diblur. Tapi tadinya itu kan seolah-olah kan gambar itu bisa bernilai lain. Atau apalagi dia hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan apa yang harus dia ceritakan.

Kadang-kadang seperti tadi (pengalaman informan di Bareskrim Mabes Polri), misalnya, selesai wawancara saya diikuti oleh kamera terus sampai saya masuk kendaraan, kameramen mau ikut masuk ke kendaraan saya, saya tanya : “Lho mas mau apa”; katanya mau ikut mau meliput isi mobil. Lha kan nggak ada hubungannya wawancara saya tadi dengan isi mobil saya. Katanya lagi, “tertarik aja mas, dalemnya mobil mas Roy kayak apa”. Lho kenapa? Apa hubungannya? Jawabnya: “Pengin tahu aja, kok kenapa masih nyopir sendiri?” Nah, padahal kemana-mana saya biasa nyopir sendiri, dan di dalam mobil saya tentunya ada alat-alat komunikasi saya. Nah kalau saya buka, kan bisa macem-macem jadinya. Nah ini yang bisa menjadi berubah, dan itupun nanti perubahan bentuk yang akan menjadi budaya, bisa jadi trend bagi pemberitaan yang lain.

(21)

dan Kru Liputan SCTV, kok kenapa ratingnya turun? Jawab mereka, karena mereka tidak memberitakan yang kayak gitu. Sementara dua stasiun TV yang memang kategorinya TV berita, isinya itu ya sampai hal kayak gitu. Nah yang harus dicermati, bahkan kadang ketika ada teknologi yang memungkinkan isinya live, itu bisa masalah sensorship-nya terlewati. Ketika ada siaran langsung misalnya kejadian-kejadian di daerah, atau seperti kejadian di Rawamangun, di Mbah Priuk, dimana dalam bentrokan ada yang digebukin, mobil-mobil dibakarin, dsb nah itu akan jadi trend, dan terbukti. Ternyata Stasiun TV yang punya siaran beritanya “sopan”, atau berita yang positif, itu lantas menjadi kurang tertonton. Penonton melihatnya jadi nggak rame.

Tadi atau hari ini kan ada diskusi antara Kemenkominfo, Dewan Pers dan KPI, membahas masalah infotainment, judulnya “Etika ruang privat ke ruang publik”. Meskipun ya jangan sampai nanti itu menjadi pembenaran. Kalau dari sisi teman-teman media, yang di privat-pun bisa semuanya ditarik ke publik, atau kebalikannya menjadi pembenaran dari sisi narasumner atau aktor, bahwa kalau yang namanya privat dia bilang privasi, tidak boleh disyut.

P : Nah kan memang di Indonesia belum ada Undang-Undang tentang privasi (Privacy Act). Wacananya bagaimana? Karena tampaknya di infotainment itu banyak terjadi pelanggaran atas privasi?

RSN : Makanya memang perlu ada standarisasi meskipun kita tidak bisa mengharapkan bahwa semua pekerja media termasuk infotainment itu akan bisa sama kualitasnya. Dan lucunya di kalangan teman-teman wartawanpun itu kan memang ingin dibedakan. Seperti wawancara tadi siang, ada yang nggak mau bareng ikut wawancara dengan yang lainnya, ingin tersendiri.

(22)

menanyakan: Mas komentar anda terhadap OC Kaligis yang menyatakan anda sama pegang HP? Kalau orang news gak akan bertanya begitu. Tapi ya saya trenyuh, saya jawab, yah saya memaafkan atas komentar-komentar yang kurang tepat. Dalam hal ini saya kan membantu negara membantu Kepolisian. Dan yang menunjuk saya adalah Mabes Polri.

Nah disitu tiga unsur itu berlaku, kalau terpancing ya saya jadi kelihatan budayanya jelek sekali, wah dia yang .. kan jadi polemik, dan itu yang ditunggu. Itu seperti sengaja dibegitukan kan? Kadang kayak dialog pagi stasiun TV, saya pernah ngalamin, saya diundang mewakili partai, “ditempukkan” (dipertemukan/ dikonfrontirkan)dengan PKB yang memiliki suara berbeda Bu Lily Wahid. Begitu sampai studio, MetroTV kecewa, karena dia pikir saya nggak kenal mbak Lily, dan akan terjadi pertentangan. Lha saya kalau dengan Mbak Lily di ruangan Komisi I itu sudah saya anggap mbakyuku (kakakku). Nah kita memang akrab ya akhirnya saling mendukung. Itu kelihatan sekali sebenarnya mereka ingin membenturkan antara saya dengan mbak Lily. Ketika presenter menanya, jadi saya tidak berfriksi dengan mbak Lily, saya jawab : Ya tidak, wong Mbak Lily itu Mbak saya. Dan Mbak Lily Wahid menyahuti : Ya iya, wong Roy Suryo itu adik saya. Jadi sebenarnya agenda setting yang dibangun oleh media, juga bisa di-counter oleh unsur yang kedua.

(23)

P : Berkaitan dengan pengaduan masyarakat ke KPI terhadap tayangan acara, dari 8.000 lebih kasus yang diadukan, ternyata yang terkait dengan masalah

infotainment Cuma 163, dan yang terkait dengan konten hanya 70 saja. Apakah

karena masyarakat sudah jenuh, atau menganggap itu sudah biasa,sudah sangat

permisif, atau bagaimana?

RSN : Saya melihatnya begini, bagaimanapun juga yang namanya infotainment itu sudah menjadi sebuah acara yang ditunggu oleh masyarakat. Sehingga kalau terjadi pelanggaran sisi privasi atau pelanggaran dari sisi budaya, ada kekhawatiran dari masyarakat sendiri ketika akan melaporkan acara itu menjadi sayang kalau seperti itu akan hilang. Ini tak lepas dari kelemahan-kelemahan peraturannya. Hal yang terjadi pada acara Empat Mata yang kemudian berubah menjadi Bukan Empat Mata, juga terjadi pada internet. Ketika terjadi pelanggaran FaceBook yang memuat karikatur Nabi Muhammad, dan Depkominfo cepat bertindak menutup FaceBooknya, masyarakat marah-marah, karena yang ditutup kok bukan kontennya saja. Itu sama dengan kita mau mencari tikus, tapi yang dibakar lumbungnya.

Nah apa yang sedang pak Bambang teliti, ini sangat penting, ya karena ada hal-hal yang harus dicermati dan perlu diberikan edukasi, semuanya. Jadi kalau tadi itu ada tiga yang berperan (Catatan: teknologi, narasumber/aktor, dan pekerja media), sekarang ditambah satu lagi yaitu pemirsanya.

P : Nah jadi pergeseran nilai budaya itu bergeser ke masyarakat? Apakah masyarakat sudah bisa menerima, menyukai lantas menunggu infiotainment atau hanya sebuah

bentuk eskapisme saja baik untuk masyarakat maupun pelakonnya sendiri?

RSN : Ya, ya itu karena saling membutuhkan. Di satu sisi orang membutuhkan panggung, di sisi lain infotainment butuh rating yang bagus. Sehingga ketika rekor infotainment itu pernah sampai lebih dari 50 judul infotainment.

(24)

infotainment 13 jam, ternyata pada tahun 2008-2009 bisa mencapai 15 jam

per-hari. Namun sekarang trend-nya turun hanya sekitar 8 – 10 jam saja per-harinya.

RSN : Iya betul, kan yang masih bisa bertahan kan hanya beberapa nama saja seperti Cek & Ricek, Kabar-Kabari, Silet, dan beberapa yang lain. Tapi banyak yang sudah tidak tampak lagi. Jadi kelihatannya masyarakat sepertinya sudah jenuh juga.

P : Kan mas Roy sangat concern dengan masalah moralitas, apalagi dikaitkan dengan ketiga unsur tadi. Nah infotainment kan sepertinya menyebabkan orang bergunjing

itu boleh, dsb., bagaimana pandangan mas Roy?

RSN : Makanya kita harus sangat hati-hati terutama terhadap komentar-komentar yang disampaikan. Seperti tadi saya ditanya wartawan : Mas percaya gak kalau itu memang betul-betul Ariel, Luna dan Cut Tari? Saya bilang, lho saya tidak berkompeten soal itu, saya cuma bicara dari sudut ilmiahnya saja.

Masalahnya kan mereka ingin mencari sensasi, infotainment butuh sensasi juga. Yang dicari sisi-sisi seperti itu, itu yang dijual.

P : Mas Roy, kan sekarang ini acara-acara lain seperti talkshow atau reality show, kan juga sudah banyak mengupas sisi-sisi pribadi seseorang. Nah kalau dalam

infotainment apakah terjadi pelanggaran terhadap etika atau kode etik, norma

apa logika, ataukah bisa dikategorikan suatu kejahatan?

(25)

membungkusnya, sehingga sebelum sampai padapoint of no return, dia sudah bisa mbalik, karena kalau sampai pada point of no return maka media itu akan ditinggalkan. Sehingga tampak tidak obyektif.

P : Para pakar kan menyatakan bahwa kehidupan dan kemajuan yang sekarang ini kan semu, apa pendapat dan harapan anda tentang itu mas.

RSN : Saya berharap, bagaimanapun juga, dalam bahasa yang tidak ilmiah tadi seperti “tumbu oleh tutup”, tetapi secara ilmiah semua itu saling memberikan pengaruh kepada zamannya sendiri-sendiri. Ketika teknologi memberikan pengaruh kepada bentuk atau style dan gaya hidup juga membawa kebudayaan akhirnya bagi masyarakat itu untuk bergerak. Dan itu mengandung konsekwensi, artinya tidak mungkin kita balik lagi kebelakang. Contoh, kasus-kasus dari News, seperti kasunya Tommy Suharto dulu. Ketika saya mbantu aparat dan diwawancara di TV membawa-bawa laptop itu saya dikatakan tidak lazim. Dibilang laptopnya suruh ditaruh dibawah saja. Nah saya itu bawa laptop karena saya perlu ini. Tapi sekarang? Jadi trend malah? Kalau gak pakai laptop dianggap ketinggalan.

Terus kalau soal infotainment, itu juga sekarang media atau infotainment itu berusaha untuk mengikuti teknologi yang ada. Meskipun ya kadang-kadang juga lucu. Seperti artisnya sengaja diposisikan untuk bawa ini itu, biar kelihatan canggih atau gimana.

P : Bagaimana kalau artis mengundang atau mengajak jalan-jalan kru infotainment kemudian meliput apa saja yang dilakukan si artis?

(26)

P : Nah setahu saya Mas Roy kan juga sudah lama jadi pemerhati acara infotainment, lantas apa pendapat pribadi anda tentang itu?

RSN : Nah kalau pertanyaan yang ini saya gak bisa jawab. Karena kalau pendapat pribadi ya nggak usah di publikasikan?

(Catatan: terjadi interupsi telepon lagi dari seseorang yang menanyakan maslah hasil penyelidikan video mesum di Mabes Polri, dan dijawab oleh Pak Roy Suryo bahwa

bukan kompetensi dia untuk menyampaikan apa hasil lidik tadi, tapi tunggu saja

pengumuman resmi dari Polri)

Nah kalau saya “banci kamera” ini kan kesempatan untuk muncul terus di layar kan? Tapi kan orang jadi bosan lihat: “dia lagi dia lagi”. Saya juga pernah ngalamin, tiba-tiba ditelpon ditanya sedang ngapain. Tapi saya selalu siap di manapun kapanpun statement kita itu harus bisa dipertanggungjawabkan. Karena memang sering terlihat pelanggaran etika, lha baru saja ditelpon kok tiba-tiba sudah muncul di TV, tanpa memberitahu terlebih dahulu. Iya kalau kita ngomongnya bener, lha kalau ngomongnya salah? Kan bisa jadi masalah. Tapi juga orang (artis atau narasumber) sering memanfaatkan itu, seolah-olah salah, padahal memang ingin menceritakan itu. Begitu dipancing kearah sana, wartawan akan mengejar terus.

P : Kalau itu dalam konsep penelitian ini ada yang saya sebut “orang sadar media” yaitu ketika orang, artis atau narasumber sadar bahwa kamera mengambil gambar

dia, merekam atau menyiarkan, maka yang bersangkutan akan merubah

perilakunya tidak seperti biasanya. Contohnya: seorang ibu di Bogor yang di lidah

anak perempuannya yang berumur 3 tahun terdapat tulisan Arab “Allah”, kan

begitu dia tahu bahwa ada kamera infotainment mewawancarainya dan

mengambil gambar dia dan anaknya, maka si ibu tadi yang semula biasa saja,

kemudian cepat berubah menjadi seperti ahli bicara dengan actingnya sekalian.

Nah ini kan teknologi dan media (pekerja media) telah merubah perilaku atau nilai

(27)

RSN : Ya, ya itulah teknologi dan pekerja media yang mempengaruhi perubahan nilai di masyarakat, ditambah faktor kedua yaitu kesiapan si narasumber atau aktornya. Memang kadang-kadang ada sifat narsis dan eksibisionisnya.

Terkait masalah kasus yang sedang hangat, kan kalau masalah privasi seharusnya dilindungi dan ditutup rapat hanya diketahui oleh yang bersangkutan saja. Tetapi ketika perbuatan itu direkam maka sulit dihindari akan menjadi konsumsi publik.

P : Baik Mas Roy, terima kasih sekali atas waktu dan kesediaan anda menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Kalau nanti ada yang kurang atau ingin saya

tanyakan lagi, mudah-mudahan masih bersedia.

RSN : Ya, kayak kita baru kenal saja, monggo, silahkan seperti biasanya saja SMS-an atau via telepon.

P : Terima kasih.

---bw---CATATAN PENELITI :

~ Wawancara berlangsung relaks dan penuh keakraban, di Ruang Kerja Informan, di Kantor DPR-RI Gedung Nusantara I Lt. 21 Ruang 2103 Lt. 21 Ruang 2103;

~ Informan adalah Anggota Komisi I DPR-RI, Pakar Telematika, Dosen ISI/UGM, Pengamat Media, dan Praktisi Media.

~ Informan baru datang dari Bareskim Mabes Polri dalam rangka membantu Polri meneliti mengenai Video Mesum yang sedang aktual menyangkut artis Ariel, Luna Maya dan Cut Tari.

~ Informan sebenarnya sedang dalam tugas dinas di negeri Belanda selama satu bulan, namun karena harus membantu Polri untuk penyelidikan kasus Visum, maka informan kembali ke Indonesia selama lima hari, dan selanjutnya akan meneruskan tugas dinas di Belanda tsb.

(28)

~ Selama wawancara berlangsung, peneliti mencatat bahwa informan menerima 4 atau 5 kali telepon dari luar khususnya wartawan/redaktur tabloid dan televisi, yang intinya minta kesediaan atau pernyataan informan mengenai kasus yang sedang hangat dibicarakan.

~ Informan sangat antusias dan serius membahas topik penelitian ini.

(29)

LAMPIRAN 3

WAWANCARA PENULIS DENGAN BAPAK WINA ARMADA, S.H, M.H.,

---KETUA KOMISI HUKUM & PERUNDANG-UNDANGAN DEWAN PERS ,

PRAKTISI DAN PENGAMAT MEDIA, PENULIS BUKU-BUKU TENTANG PERS DAN PERUNDANG-UNDANGAN PERS.

---HARI : JUMAT

TANGGAL : 18 JUNI 2010 JAM : 11:00 – 12:00 WIB

TEMPAT : KANTOR KPI PUSAT, GEDUNG BAPETEN LT.6 JL. GAJAH MADA NO.38 JAKARTA PUSAT.

--

---P : Bahwa mengamati perkembangan acara infotainment sepertinya telah terjadi pergeseran nilai budaya dari para pelaku bisnis infotainment khususnya subjek atau

objek yang dijadikan berita, dimana hak proteksi atas privasi berubah menjadi

ajang promosi pribadi di layar kaca, bagaimana menurut pak Wina?

WA : Saya pernah menulis buku, bukunya “Menggugat Kemerdekaan Pers”, dalam salah satu Bab ada mengenai the right of privacy vs the right of publication, Nah disitu ada, meskipun ini buku lama, ada sedikit sejarah tentang kenapa “the right of privacy”, mengapa the right of privacy mencuat dan menjadi bagian dari masalah. Kalau kita lihat di Indonesia, itu sebenarnya konsep privacy bukan konsep Indonesia, bukan dunia timur, ini yang menarik, karena ternyata konsep dari barat.

(30)

sekarang balik ke publik. Kalau kita mau lihat infotainment itu mungkin variabelnya tidak sederhana.

P : Jadi kalau diamati apakah benar telah terjadi pergeseran nilai budaya para pelaku bisnis infotainment, terutama para pesohornya, kalau dilihat dari banyak sisi,

termasuk sisi hukum, sosial atau sisi teknologi medianya?

WA : Kalau dari segi nilai budaya, hukum, sosial, saya tidak melihat perubahan dari pengelola, baik owner maupun pelakunya, tapi saya melihat infotainment ini dia menyesuaikan dengan zamannya termasuk teknologi dan pasarnya. Jangan dilupakan dia juga merupakan bagian dari industri televisi, media khususnya media televisi. Dulu infotainment ketika awal kemunculan, boleh dibilang adalah 100 persen PH, kemudian cukup lama menjadi 80% PH dan 20% inhouse (stasiun TV), lalu sekarang ini 80% in house, stasiun televisi sendiri dan 20% milik PH. Hal ini mencerminkan bahwa infotainment tidak terlepas dari kebijakan industri TV itu sendiri.

P : Kalau dilihat apakah itu inhouse atau PH, itu kan merekonstruksi realitas sosial yang ada di masyarakat sesuai dengan perspektif mereka, menurut anda?

WA : Sebenarnya itu juga tidak terpisahkan dari industri pers secara umum. Pers juga mekonstruksikan realitas sosial tentu menurut kacamata pers sendiri, walaupun kemudian dibatasi juga misalnya oleh kode etik jurnalistik. Kemudian apakah infotainment itu jurnalistik atau bukan? Itu kalau kita lihat kita setidak-tidaknya menganut paham kegiatan jurnalistik itu 6 M, yaitu mencari, memperoleh, mengolah, menyimpan, memiliki, dan menyiarkan informasi melalui berbagai saluran yang ada.

(31)

itu. Apakah mengkonstruksikan realitas sama saja dengan pers mengkonstruksikan realitas sesuai cara pandangnya.

Satu lagi yang menarik, seringkali terjadi satu kerjasama, dulu istilah kolaborasi itu negatif, tapi saya gak pakai istilah itu. Seringkali terjadi antara artis dengan infotainment, seakan akan sebuah berita, padahal ingin promosi filmnya, mengangkat popularitasnya. Contoh : waktu itu ada ribut-ribut antara Kiki Fatmala dengan Syaiful Jamil, ada yang pelecehan, ternyata itu baru mau untuk promosi film mereka. Kadang-kadang karena hal ini sering terjadi, maka terjadilah berbagai campuran, mana yang realitas mana yang bukan, mana yang promosi mana yang tidak, dan seterusnya kabur, semu. Itu dulu terjadi di media cetak, ketika infotainment belum ada. Artis-artis film itu digosipkan di media cetak. Jadi ini merupakan perpanjangan tangan. Tapi mungkin persentasenya berapa saya tidak menguasai.

P : Kalau melihat dari pernyataan anda, sebetulnya faktor para pesohor memanfaatkan ruang publik melalui media, latar belakangnya bisa ekonomi dan popularitas?

WA : Iya, jelas itu. Juga yang ingin saya kemukakan, di buku saya juga disinggung, ada yang namanya missed value. Misalnya, apakah seseorang itu boleh dipublikasikan? Kalau The right of privacy itu kan antara lain adalah hak seseorang untuk menentukan kapan, bagaimana, dan apa yang boleh dipublikasikan dari pribadi, dirinya sendiri. Kalau memang demikian, kalau artis dipotret untuk cover, dia minta bayaran. Bahkan untuk tour kaset dia sendiri, dia minta bayaran. Lalu bagaimana kalau pejabat publik, seperti presiden, menteri, yang fotonya setiap hari ada di pampangkan, apakah dia minta bayaran. Lalu bagaimana dengan olahragawan, tiap hari muncul di TV. Begitu juga dengan artis, kapan dia sebagai pribadi dan kapan dia sebagai public figure. Nah kalau dia minta uang terus, lantas kapan dia boleh menolak tidak mau diberitakan?

(32)

pesohornya. Tapi khusus untuk pelaku bisnisnya, yang membuat, memproduksi dan

menyiarkan, ada sesuatu yang beda dengan yang dulu, seperti misalnya perilaku

berkomunikasi, atau mengabaikan etika apakah ini masalah privasi atau bulkan,

apakah ini logik atau tidak, bahwa ini penharuhnya negatif atau tidak, seolah-olah

kan mereka mengabaikan hal itu, bahwa seolah-olah yang dilakukan itu boleh atau

wajar. Bagaimana menurut anda?

WA : Saya rasa nggak, nggak boleh, tidak boleh diabaikan, karena dia bagian dari jurnalistik, dia harus tetap tunduk pada kode etik jurnalistik. Apakah dia hanya tunduk pada kode etik penyiaran, P3SPS atau kode etik jurnalistik. Kalau saya lihat di Undang-Undang Penyiaran, dia termasuk harus taat kepada kode etik jurnalistik ini, msalnya tadi masalah privasi harus dilindungi demi kepentingan umum, anak-anak masa depannya, dan seterusnya. Dia harus tunduk pada kode etik jurnalistik, tidak bisa tidak, ditambah dengan kaedah-kaedah penyiaran. Jadi dia nggak boleh menabrak rambu-rambu, gak boleh.

P : Jadi kalau dia melakukan pelanggaran, apakah bisa disebut bentuk kejahatan?

WA: Pertama, kalau dia jurnalistik apakah dia melanggar kode etik atau tidak, dia melanggar Undang-Undang Pers atau tidak, dari sudut itu, kalau sepanjang dia tidak melakukan dengan itikad buruk, dia bisa kena sanksi moral dari Dewan Pers. Tapi KPI kan punya kewenangan untuk memberikan sanksi, dari peringatan tertulis sampai pencabutan ijin. Perusahaannya sendiri juga bisa terkena hukuman berbagai hukuman, bisa pidana umum, KUHAP, pers, penyiaran, konsumen, dan segala macamnya.

P : Jadi sebetulnya cukup berat yang mengelola infotainment, di satu sisi dia ingin punya waktu, airtime, di sisi lain banyak hal2 secara sengaja atau tidak sengaja

terlanggar. Sekarang infotainment kan sudah seperti budaya pop. Pengaruhnya

sangat besar terhadap masyarakat. Pendapat anda?

(33)

yang terjadi di masyarakat itu. Dulu seperti budaya, kalau pegangan tangan itu kan ga boleh, tidak biasa, dulu cium pipi itu tabu atau terbatas. Tapi sekarang hampir semua orang melakukan, sehingga sudah biasa, dan dia merefleksikan hal itu. Dulu kawin cerai tidak dibicarakan, sekarang biasa saja, dia mengikuti itu. Pola itu ada 2. Pertama menjadi bagian dari refleksi apa yang terjadi di masyarakat, memperkuat nilai-nilai itu. Dan dia juga menciptakan nilai-nilai baru, trendsetter, new value, sehingga dari hal yang kecil kebaya artis, model rambut, sampai nilai-nilai kebebasan pada artis itu.Nah itu kan sesuai dengan proses budaya, pembentukan nilai-nilai baru. Di satu pihak dia merefleksikan apa yang ada di masyarakat, di lain pihak dia menjadi trendsetter terhadap masyarakat juga.

P : Apakah ada kejenuhan di masyarakat sehingga kalau kita lihat dari 8.000 lebih pengaduan msyarakat terhadap siaran, itu yang mengenai infotainment hanya 163

sepanjang tahun 2009, dan yang berkaitan dengan konten itu hanya 70an kasus.

Apakah dengan kondisi seperti itu patut dapat diduga bahwa masyarakat kita itu

sudah bisa menerima infotainment atau memang nilai yang ada sudah berubah

betul?

WA : Kalau menurut Dewan Pers kalau memang dia itu bagian dari jurnalistik, mestinya pengaduan mengenai itu sampai ke Dewan Pers. Tapi sampai saat ini tahun 2010 bulan Juni ini kami belum menerima ada pengaduan terhadap konten infotainment. Tentu bisa karena berbagai hal, ini bisa terjadi karena satu, masyarakat belum atau kurang mengetahui fungsi Dewan Pers, termasuk menampung masalah infotainment, kedua, mungkin karena masyarakatnya segan atau sudah cuek, atau ketiga, memang telah terjadi pergeseran nilai-nilai.

(34)

menyangkut selebriti. Kecuali yang luar biasa seperti video porno itu kan memang ekstra. Tapi yang umum, kan sepertinya sudah biasa.

P : Jadi kembali kepada masalah privasi dan hak privasi warga negara, dimana sering ada pertentangan itu tadi antara the right of protection, the right to be let alone denganthe right of publication atauthe right of expression, wartawan dengan dalih the public right to know, bagaimana dalam hal ini terkait infotainment atau acara yang sejenis?

WA : Kalau saya lihat di dalam sejarah perkembangannya selalu ada tarik menarik dan tidak pernah selesai, apakah itu kepentingan pribadi atau itu kepentingan umum, kadang-kadang sesuatu menjadi pribadi kadang-kadang menjadi umum. Hukumpun ikut campur. Tapi, tiba-tiba kok kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan itu menyangkut banyak hal, sampai isteri bisa melaporkan suaminya mau memperkosa dia. Padahal faktanya, dia nikah untuk itu. Jadi menurut saya itu tidak merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, terkait dengan pokok masalahnya dan itu saling mempengaruhi. Bikin akselerasi, terus demikian, akhirnya muncul nila-nilai baru lagi.

P : Saya mencoba men-trace produk Undang-Undang yang ddihasilkan di negara kita sejak merdeka, kan belum ada Undang-Undang yang khusus mengatur masalah

privasi. Apakah itu perlu atau tidak?

(35)

P : Apakah itu semacam “simulakrum”?

WA : Iya, begitu.

P : Kalau menurut anda, ini kan infotainment banyak diambil alih oleh inhouse production, apakah ini suatu bentuk eskapisme atau lebih kepada masalah ekonomi atau alasan profit, tanpa memikirkan misalnya efek yang akan ditimbulkan.

WA : Kalau orang infotainment saya tanya, menurut mereka : kamipun juga melakukan kontrol sosial, termasuk kontrol sosial untuk para figur publik. Jangan melakukan kebohongan publik, misalnya belum kawin dibilang sudah kawin. Jadi saya rasa sih kehadiran infotainment itu sih bagian dari jurnalistik saja. Salah satunya adalah memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Dibantu dengan kecepatan, ada kamera dan peralatan lain yang begitu canggih. Kalau dulu kan hanya news saja.

P : Tapi kan ada item yang nampak sebenarnya itu bukan berita, tapi diolah seperti seolah-olah suatu berita dengan narasi yang menggebu-gebu, padahal nilai

beritanya tidak ada. Seperti misalnya, menelpon seseorang menanyakan sedang

ngapain, lalu disyuting tentang keseharian si figur tadi. Bagaimana pendapat anda?

WA : Ini juga bagian dari jurnalistik dan kemajuan teknologi. Kalau dulu ada sahabat pena, sekarang begitu cepat bukan hanya direkam. Nah untuk news kan selalu ada prominance people, kalau anda terkenal maka anda akan menjadi sumber berita, apapun yang anda lakukan akan jadi berita. Ketika dia sudah berkaitan dengan irisan publik itu, maka dia akan menarik perhatian publik. Sebaliknya kalau kita bikin video porno misalnya, siapa yang akan nonton? Tapi kalau kita sama artis akan lain soal, akan dikejar-kejar juga.

(36)

negatif, maka dia akan mengatakan bahwa ini adalah masalah privasi, akan komplain, dst.

Itu bisa dikaitkan dengan masalah kebudayaan masyarakat Indonesia dimana tingkat baca kita kan rendah. Berbeda dengan budaya masyarakat di Eropa, semuanya kan buku, baca. Menurut saya disini ada terjadi “jumping” kebudayaan, loncatan budaya. Kalau di Eropa pada zaman Renaissance pada abad ke 17 – 18 itu semuanya serba buku, bahkan sampai sekarang masih budaya buku. Literatur dan budaya baca menjadi sangat penting bagi mereka, dimana-mana atau mau kemana buku itu kebawa. Masyarakat kita kan sebenarnya masih agraris, meloncat ke teknologi. Jadi teknologi bisa menyatukan berbagai hal, yang tradisional masih pakai cangkul, tetapi dia pakai HP juga. Seperti telepon, kan tahapannya setelah telpon maju, kan ada fixed line,baru pakaihandphone.

Kan pada akhir tahun 60an atau awal tahun 70an, kan kalau lelucon itu pakai telpon kebalik. Sementara sekarang? Masyarakat yang tidak pernah pakai fixed telepon tiba-tiba langsung pakai HP. Karena tidak terbiasa, maka mau dimanapun tempatnya, mereka bicara teriak-teriak. Seorang pembantu rumah tangga misalnya, dia untuk beli baju seharga duaratus ribu mikir-mikir terus, tapi untuk pulsa? Gak mikir lagi, berapapun dibelinya. Nah inilah yang dimaksud dengan “jumping” kebudayaan tadi.

Infotainment berada dalam ruang lingkup yang seperti itu. Menurut saya, infotainment itu seperti “alun-alun” pada zaman modern. Artinya, pada zaman tradisional, alun itu memiliki berbagai macam fungsi. Orang datang ke alun-alun untuk mengadu ke Penguasa, untuk saling ketemu dan berkomunikasi, atau ngegosip, untuk berjualan, untuk ajang pamer, berkumpul, dsb. Nah secara fisik alun-alun itu sekarang pindah ke Mal. Orang datang kesana buat ngegosip ini itu. Kalau dulu orang makan itu gak mau diliatin orang, kita malu. Tapi kalau sekarang malah diperlihatkan kita makan apa.

(37)

mengadu, mungkin nantinya bisa saling adu, langsung. Dengan teknologi komunikasi, memungkinkan nantinya interaktif langsung. Jadi kalau tinjauannya budaya, maka aspek budaya seperti ini perlu diperhatikan.

P : Kalau menurut anda, bagaimana harapan terhadap acara infotainment?

WA : Saya survey pada tahun 2007, hanya sekitar 20% wartawan kita yang membaca Kode Etik Jurnalistik. Karena infotainment juga menyangkut sesuatu yang terkait dengan image orang, citra orang atau reputasi orang, sementara citra dan reputasi ini sangat penting dalam pengembangan karir dia, ekonomi dia, dst., makanya menurut saya tidak bisa tidak maka kalau di infotainment itu harus lebih tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik. Dan untuk itu mungkin wartawannya harus , karena sekarang di Dewan Pers sudah memiliki Standar Kompetensi Wartawan, maka wartawan infotainment juga harus memenuhi standar kompetensi tersebut sebelum dia kesana.

P : Apakah karena mereka berangkat bukan dari sisi jurnalis, tetapi program biasa? Meskipun sudah diakui sebagai wartawan, sudah dilakukan pelatihan-pelatihan,

tapi kalau masih memakai paradigma lama, bagaimana? Lantas apakah ini

merupakan suatu bentuk eskapisme, baik dari sisi masyarakat, mungkin mereka

underpressure sehingga menggunakan infotainment TV sebagai pelarian dia

sehingga pada akhirnya mempengaruhi perilaku gaya hidup mereka. Sedangkan

dari sisi lain terutama dari para pelakunya, apakah ini karena kecenderungan untuk

mencari peluang yang bisa berdampak ekonomik, dan dari sisi mereka yang

diberitakan yaitu para artis, selebritis, ini kadang-kadang kan mengadu,

membantah, atau pamer hingga jalan-jalanpun juga diinfokan, di-cover.

Bagaimana?

(38)

bertahan terus, memberikan kontribusi yang besar terhadap pemasukan stasiun TV.

Ini saya rasa ada satu pertemuan muara-muara, seperti sistem budaya kita yang lisan, yang dengar, termasuk nilai-nilai budaya yang mungkin suka mempergunjingkan orang, atau hal-hal yang secara umum dipandang buruk tapi sering kita lakukan, dan itu sudah terjadi dan kita ada disitu. Kita mengkritik, mengecam, tapi kita menikmati juga.

P : Atau memang karena budaya kita memang masih ada feodalismenya? Kemudian bergeser ke budaya global?

WA : Kalau soal mempengaruhi kan memang semua sejak zaman dulu kan. Sejak Belanda masuk kan gaya hidup Kompeni berpengaruh di Keraton, bahkan sampai sekarang kan masih ada. Sekarang tipe-tipe ideal yang akan diikuti oleh masyarakat itu ada. Kalau dulu kan tertutup, tapi sekarang kan terbuka. Seorang abang becak dia pakai HP, tukang pijat pakai HP, tukang Ojek juga pakai HP. Perlu mereka tinggal nelpon.

P : Ya, bahkan tukang gali pembuatan jalan, tiba-tiba berhenti dan cuci tangan karena ada telpon masuk di HP-nya.

WA : Jadi itu adalah konsekwensi logis dari perkembangan teknologi, dan itu bisa dimasukkan sebagai suatu perubahan nilai dari industri massal yang dikemas sedemikian rupa, itulah mungkin menjadi industri populer. Nah orang nilai-nilai masa lalu sudh tidak melekat lagi. Juga kalau mau apa misalnya, harus pakai pakaian mewah, bagi masyarakat gak penting siapa yang memulainya.

P : Artinya apakah nilai-nilai moral yang ada di masyarakat, apakah karena masyarakat menganggap itu berat, sehingga tidak melekat. Jadi bagi masyarakat

mungkin karena menganggap suatu hal sudah biasa, atau sudah jenuh mungkin?

(39)

Kalau kita perhatikan berita TV, seperti berita di Amerika itu kan katanya sudah seperti soap opera. Apa itu soap opera, pertama anda harus ada tokoh protagonis dan antagonis, tokoh baik dan tokoh tidak baik. Kalau bisa mereka berkonflik, pro dan kontra. Susunannya juga dibikin ada semacam opening-nya, terus kemudian konflik, terus kapan ending-nya? Ending-nya kalau masyarakat sudah bosan. Katakanlah misalnya TV-X, pagi, siang, sore, malam, ada suatu isu, terus menerus itu aja yang dibahas, dari pagi, sampai petang dan malam. Narasumbernya kadang bingung, lha saya pagi kan sudah, kok ditanya lagi. Yang pagi produsernya lain katanya. Terus saja sampai orang jenuh, baru diganti. Berita ada unsur ini, apalagi infotainment. Kebudayaan pop ini kan berbeda dengan yang lain, dia kan lebih selintas kilas saja, tak usah dalam-dalam gak usah terlalu mikir. Itu yang industri massa, menurut saya.

P : Jadi kalau menurut pak Wina, apa sih dibalik maraknya tayangan dan produksi infotainment itu?

WA : Ini kombinasi antara satu, tadi faktor kebudayaan dengan dilain pihak opportunity ekonomi. Bertemulah di alun-alun tadi. Kalau dulu ada dalam majalah-majalah hiburan, sekarang sudah dalam bentuk visual, bisa cepat sekali diketahui massa. Lantas apa boleh sih guru merazia HP murid-muridnya? Itu kan melanggar hak privasi murid? Kan HP isinya bukan cuma itu, mungkin ada masalah-masalah pribadi, catatan keuangan, nomor PIN, dsb, boleh gak sih dipriksa-priksa? Melanggar privasi.

P : Jadi cukup complicated gitu? Kalau Pak Wina mungkin melihatnya dari sisi etika hukum. Sementara orang-orang itu kalau bicara regulasi kan alergi. Jadi sering

seperti itu.

(40)

ternyata pengetahuan tentang televisi bagi wartawan yang mainstream-pun ternyata mengalami hal yang sama dengan infotainment.

Jadi kita melakukan pendidikan, pelatihan, kemudian kita juga mengkampanyekan kepada masyarakat atau narasumber yang dirugikan untuk mengadu kepada Dewan Pers, sosialisasi ke masyarakat. Kita sudah lakukan tapi seperti disebut “lain di bibir lain di hati”, dibibirnya mengecam-ngecam, tapi dihatinya menerima dan menikmati.

Dulu di organisasi wartawan kalau infotainment masih ada perbedaan, PWI mengatakan jelas itu adalah berita, AJI mungkin belum, dengan parameter kalau berita itu harus memberikan kemanfaatan, dsb.

Yang harus diwaspadai adalah, bahwa kalaupun sebagian infotainment itu sudah ada perubahan atau perbaikan, tapi presenternya problem. Presenter kadang-kadang bicara, bertindak seperti yang bisa menghakimi. Mungkin beritanya nggak begitu, tapi pengantarnya, narasinya itu.

P : Memang ada yang berpendapat bahwa kurangnya pengaduan antara lain karena infotainment sudah ada perbaikan, asumsinya seperti itu. Tapi masalah presenter

apakah memang disengaja seperti itu, atau karena tidak ada pilihan lain, atau

karena yang punya uang yang menentukan siapa boleh jadi presenternya. Sering

antara narasi dengan konten tidak sesuai.

WA : Iya betul, antara konten dan narasinya sering tidak sesuai.

P : Baik pak Wina, sudah cukup banyak informasi yang saya peroleh dari Bapak, terima kasih, dan besok kalau ada kekurangan saya akan mengkontak Bapak lagi. Terima

kasih.

(41)

---bw---CATATAN PENELITI:

~ Wawancara berlangsung sedikit formal, namun relaks dan penuh keakraban; berlangsung di Ruang kerja informan di Lantai 7 Gedung Dewan Pers, Jl. Kebun Sirih, Jakarta Pusat.

~ Informan baru kembali dari tugas dinas di Batam, dan seharusnya mengikuti rapat pimpinan Dewan Pers yang dihadiri oleh Ketua Dewan Pers Prof. Bagir Manan bersama para Ketua Komisi di Dewan Pers.

~ Informan adalah Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, juga sebagai Jurnalis, penulis buku-buku pers dan sebagai pengamat media, serta praktisi media.

~ Informan sangat antusias dan serius membahas topik penelitian ini.

(42)

LAMPIRAN 4

WAWANCARA DENGAN BAPAK BIMO NUGROHO, SE., M.Si.

---KANDIDAT DOKTOR STUDI EKONOMI MANAJEMEN STRATEGI INDUSTRI MEDIA; KOMISIONER KPI PUSAT 2 PERIODE (2004-2010), PRAKTISI MEDIA, DOSEN/ AKADEMISI, PENELITI, PEMERHATI MEDIA.

---HARI/TGL : RABU/16 JUNI 2010 JAM : 13:30 – 15:00 WIB

TEMPAT : KPI PUSAT, JL. GAJAH MADA JAKARTA

---P : Menurut Bapak apakah benar telah terjadi pergeseran nilai budaya dan etika

komunikasi khususnya dalam acara infotainment baik subyek atau obyek materi

yang diberitakan atau para pelaku bisnisnya pak, bagaimana menurut Bapak?.

BN : Iya pak, intinya adalah bahwa memang terjadi perubahan itu. Hanya saja perubahan itu juga cerminan perubahan yang terjadi di masyarakat kita. Infotainment itu kan sangat digemari, program siarannya banyak, diberbagai stasiun TV itu pasti ada, kemudian di satu stasiun TV itu juga ada beberapa program, dan satu program itu bisa terbagi ada Insert Pagi, Insert Siang, Insert Malam, bahkan yang mingguan. Jadi dari pagi bangun tidur sampai kita menjelang tidur lagi itu ternyata kita pasti bisa menemukan infotainment, mnmal di salah satu stasiun televisi.

Saya kan bertanya-tanya, mungkin pak Bambang juga begitu, kenapa ya kok bisa begitu, hanya acara infotainment saja, yang lain tidak begitu, misalnya Berita kan hanya pada jam tertentu saja.Demikian juga untuk talkshow, sinetron, dan reality show kan hanya pada jam tertentu saja. Jadi satu-satunya acara yang mendominasi siaran dari mulai dari awal TV nyala sampai mau berakhir itu ya infotainment.

(43)

Pakai teorinya Freud,psikoanalisisitu. Bahwa ini adalibidoyang digerakkan, dari penonton, dari awaknya, maupun dari materinya, materi dalam hal ini dari artis-artisnya. Itu libiso yang saya maksudkan itu ya hasrat seksual. Hasrat seksual yang tidak secara terbuka tampak, tetapi dikemas. Kan manusia kan selalu begitu pak, kalau itu tampak dalam ketelanjangan yang murni secara vulgar, malah cepat bosan, paling tahan berapa lama. Selanjutnya kan pasti muak. Tetapi karena disingkap secara sedikit-sedikit dan di”blur”kan, itu menjadi menarik.

Itu tadi saya mengiyakan pertanyaan apakah telah terjadi pergeseran nilai karena ada dialektika antara infotainment dengan perubahan di masyarakat. Dalam arti etika komunikasi maupun etika hidupnya itu sudah semakin longgar makin permisif terhadap manifestasi libido, perwujudan dari libido tadi. Awalnya memang yang saya tangkap itu bukan dari masyarakatnya, tetapi dari dunia artisnya. Dunia artis yang memang mempunyai energi berlebih, terus eksesif kapital yang ada disana, terus yang ketiga waktu luang yangnmereka miliki. Sehinggga gaya hidup, gaya pesta dan yang sebagainya itu, memungkinkan permisifisme itu mendapat tempat. Disamping itu kan mereka juga orang-orang yang suka menampakkan diri dalam artinarsis dan eksibisionis. Sehingga mereka suka mendapatkan liputan, terlepas bahwa mereka selama ini menghindar-hindar dari wartawan, tapi pada dasarnya mereka itu suka diliput dan diketahui oleh umum. Dan ini merembet ke perilaku infotainmentnya, dan akhirnya merembet ke masyarakatnya, dari masyarakat di terima kemudian balik lagi, karena masyarakat kan suka sensasi-sensasi. Makin lama makin banal juga masyarakat dibutuhkan sensasi yang lebih dan lebih terus diperas, dan itu sebetulnya siklus libido itu. Kalau dia tidak dikendalikan dan dibiarkan dia akan menghisap energi libido tsb sampai .. apa namanya …ke puncak yang paling banal itu.

P : Tapi apa kira-kira di balik maraknya tayangan infotainment itu? Kan selama ini

Mas Bimo banyak memperhatikan, dan bahkan trend-nya pada tahun 2007-2008

kan siaran infotainment sampai 15 jam per-hari. Sekarang agak turun, trendnya

antara 10-12 jam per-hari. Bahkan kalau kita lihat laporan tahun 2009 dari KPI

tentang pengaduan masyarakat mengenai infotainment cuma 163 kasus aduan

(44)

mengenai kontenpun hanya sekitar 71 aduan. Apakah itu suatu gejala atau

tanda-tanda bahwa masyarakat sendiri sudah jenuh, atau bagaimana?

BN : Kalau dari sisi rating itu turun ya, rating per- tayangannya turun. Tapi kalau dikalikan dengan jumlah programnya itu naik. Jadi total jam siaran, kemudian dari situ dihitung penontonnya, dikalikanaudience share-nya, itu infotainment ternyata memegang yang paling tinggi setelah dihitung. Karena, itu tadi, meskipun ratingnya menurun, tapi dia terpecah-pecah jadi berbagai program, dan setiap program dipecah dalam episode-episode waktu. Itu dikalikan tetap yang paling banyak.

Menarik yang disampaikan pak Bambang tadi, mengapa pengaduan justru turun. Ini bisa jadi karena ada perbaikan kualitas infotainmentnya bisa jadi karena ada peningkatanbanalismeitu tadi, peningkatan permisifisme. Artinya. Sebetulnya kan yang dimuat oleh infotainment itu kan esensi dari .. ininya.. peristiwanya itu kan relatif sama, perkawinan, perselingkuhan, perceraian. Kehidupan privat dari artis-artis atau pejabat publik, public figure. Nah itu kemasannya yang berbeda-beda, aktornya berganti-ganti, cara pengambilan gambarnya berbeda.

P : Menurut Mas Bimo bagaimana tentang media, terutama media yang memproduksi

acara infotainment, kan merekonstruksi realitas dalam masyarakat menurut

mungkin cara pandang dia dihadirkannya ke ruang publik dalam perspektif

mereka. Kalau menurut anda bagaimana?

(45)

Produksi infotainment itu adalah produksi acara yang paling murah, dan paling mudah juga, dibandingkan dengan sinetron. Artinya kalau dia sinetron kan harus ada skrip, bayar untuk artisnya juga. Sedangkan kalau infotainment tidak, bahkan kalau jalan-jalan yang bayar artisnya. Lebih murah dari program berita. Bahkan artisnya memberikan amplop yang tidak termasuk kategori penyuapan kepada wartawan karena dia mengundang dan untuk keperluan sosial affair.

P : Tapi kalau kita lihat makna etika komunikasi yang dilakukan oleh para pekerja

infotainment yang sekarang disebut wartawan itu, sebagaimana telah diakui oleh

PWI, ini kan kelihatannya ada sesuatu yang diabaikan gitu, bagaimana menurut

Mas Bimo?

BN : Saya mempunyai pendapat yang berbeda, saya menghormati pandangan teman-teman PWI yang mengatakan bahwa itu adalah produk jurnalistik. Saya berpendapat bahwa infotainment itu bukan jurnalisme, tetapi bukan berarti infotainment itu kedudukannya lebih rendah dari jurnalisme. Dia itu setara, seperti ayam dengan bebek, dia itu sama-sama

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat karya yang diciptakan semata-mata tidak mengedepankan bentuk dan teknik belaka, melainkan juga memperkuat isi atau pesan yang hendak disampaikan, maka, apa yang

Melihat fenomena yang ada di kalangan mahasiswa STAIN Jurai Siwo Metro yang tergabung dalam organisasi kemahasiswaan dalam hal ini Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)

Matlab adalah suatu bahasa pemerograman komputer yang digunakan untuk memecahkan persoalan- persoalan (khususnya bidang teknik), seperti halnya bahasa-bahasa program lainnya

INAF: Spends IDR250 Billion to Build Infusion Factory INKP: Issues MTN Amounting to IDR450 Billion BBTN: Targets Growth of 20% - 23% in 2018 Domestic & Global News.. Bank

Berdasarkan berbagai aspek yang telah kami bahas, maka kami dapat menyimpulkan bahwa pandangan islam tentang manusia yaitu tujuan dari manusia diciptakan oleh Sang Pencipta

Dari hasil analisis yang telah diolah menunjukan bahwa kontribusi Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung dari retribusi daerah rata -ratanya adalah sebesar 7,30%

Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan Hibah Pengabdian kepada Masyarakat.. Susunan Organisasi Tim Kegiatan

Berdasarkan klasifikasi ekologi, habitat dasar perairan di lokasi penelitian dikelompokkan menjadi empat klas sesuai dengan dominasi habitat tersebut dan implikasinya bagi