• Tidak ada hasil yang ditemukan

---

HARI : SENIN

TANGGAL : 05 JULI 2010 JAM : 14:00 – 15:00 WIB

TEMPAT : KANTOR YJP JL. TEBET BARAT DALAM 9A NO.B-1 KOMPLEKS KEJAKSAAN AGUNG JAKSEL/ CAFÉ CITRUS TEBET, JL. M.T. HARYONO JAKSEL.

---

P : Fokus penelitian saya adalah mengenai acara infotainment di televisi, utamanya terkait masalah terjadinya pergeseran nilai budaya dan etika komunikasi. Bagaimana menurut pendapat Mbak Mariana sebagai aktivis perempuan?

MA : Ya kalau menurut saya sih nggak apa-apa ya, boleh-boleh saja para artis itu tampil di infotainment, masalahnya kan kalau yang ditunjukkan itu hal-hal yang bersifat privasi. Selain itu sering terjadi suatu berita tentang politik atau tentang korupsi tetapi malah terbalik-balik menjadi berita lain seperti masalah kehidupan pribadinya yang disorot. Infotainment kan juga begitu, sering terbalik-balik, yang masalah privasi dimasukkan ke ruang publik, yang masalah publiknya malah tidak diberitakan. Mestinya ada balans baik dari pemerintahnya maupun para pelaku bisnis medianya.

P : Kalau menurut mbak Mariana bagaimana, apakah betul ada pergeseran nilai budaya di dalam acara infotainment?

MA : Kalau dulu mungkin karena masih berupa majalah-majalah sehingga walaupun ada masalah pribadi, tapi tidak begitu menonjol, tetapi lain dengan sekarang. Melalui media televisi maka semakin luas jangkauannya, dan efeknya yaitu

pergeseran itu selalu ada. Mau tidak mau memang harus dibahas dan dikaji, karena itu terkait dengan kepentingan publik.

P : Apa sih kira-kira motifnya kok infotainment sekarang ini begitu maraknya?

MA : Motifnya sih satu arah ya, dari industri, dari pelaku bisnis, dari artisnya juga, kepada masyarakat sebagai pangsa pasar. Para artisnya memanfaatkan media untuk kepentingan pribadinya, sedang industri memanfaatkan artis untuk menjual programnya ke penonton, sebagai konsumen, sebagai penikmat, sebagai penerima saja.

Disini jelas motifnya adalah uang. Apalagi kalau bukan uang? Mereka tahu betul kalau masyarakat kita suka sekali gosip daripada ilmu pengetahuan atau pendidikan. Mereka manfaatkan semaksimal mungkin keadaan ini dan menentukan selera dan budaya yang berurusan dengan uang daripada perbaikan sosial.

P : Berarti sistem yang berlaku kapitalistis ?

MA : Iya, betul, memang kapitalistis. Masyarakat yang belum memiliki kematangan gampang dimanfaatkan, masyarakat dipaksa menerimanya. Walaupun masyarakat golongan ekonomi sosial kelas A, walaupun kaya raya tapi kan sama juga.

P : Dari sudut pandang Mbak Mariana sebagai aktivis perempuan, bagaimana sebenarnya media merekonstruksi realitas sosial yang ada di masyarakat ke dalam ruang publik?

MA : Merekonstruksi realitas sosial adalah sesuatu yang konsepsional, tidak boleh mengejar target semata-mata. Tapi kita lihat banyak yang tidak benar. Seperti menggunakan narasumber yang tidak benar karena ingin mengejar target semata. Sehingga mengabaikan etika dan kebenaran.

Sementara masyarakat sendiri tidak memahami mekanisme pembuatan acara dan menyatakan pendapat tidak biasa bersikap kritis. Masyarakat sering tidak tahu perangkat-perangkat telekomunikasi apa untuk melakukan protes atau pengaduan kemana? Kalaupun ada yang protes mungkin untuk tujuan tertentu atau karena menggampangkan masalah.

P : Sebenarnya pengaduan-pengaduan itu ada, hanya kan kecil sekali persentasenya dibandingkan dengan banyaknya masalah yang ada.

MA : Jadi memang masyarakat belum tahu betul mengenai perangkat-perangkat tadi, sehingga kemana harus mengadukan masalah siaran juga belum tahu bagaimana caranya.

Kalau menurut pendapat AJI dan juga dari Dewan Pers, itu kan acara infotainment banyak melanggar kode etik, makanya walaupun sudah dimasukkan ke dalam golongan jurnalistik, tetapi ternyata mereka juga banyak nggak tahu apa itu kode etik jurnalistik, atau memang gak mau tahu. Karena kode etik itu tidak dimasukkan dalamstandar operational procedure (SOP)bidang pemberitaan.

P : Nah kalau kita lihat kan sepertinya infotainment TV itu akan punya dampak terhadap moralitas masyarakat akibat dari perilaku beberapa orang yang ditayangkan. Bagaimana menurut mbak?

MA : Kalau bicara soal moralitas, sebenarnya sangat tergantung dari tujuannya apa sih dibuat acara infotainment itu? Apakah baik buat masyarakat atau mengabaikan masyarakat? Yang tidak baik itu yang seperti apa sih? Apakah pakaiannya, atau dandanan dan mukanya? Bukan itu kan?

Nah bagaimana perilaku mereka para selebriti itu yang akan diingat oleh penontonnya. Apalagi dalam kondisi mereka (masyarakat) yang lemah ekonominya, rendah pendidikannya, tata kota yang kacau balau, dsb, maka pengaruh-pengaruh negatif itu lebih mudah menyentuh masyarakat. Dan kalau

mau bicara moralitas ya harus dibenahi dulu infrastruktur yang ada termasuk aturan-aturan main dalam bisnis media.

P : Nah terkait masalah aturan main dalam bisnis media itu, apa sih langkah- langkah yang harus dilakukan.

MA : Kalau mengenai masalah isi ya, kan sudah ada KPI, jadi merekalah yang berwenang untuk menindaklanjuti keluhan-keluhan masyarakat.

P : KPI sudah banyak melakukan pendekatan, dan juga membuat aturan-aturan seperti P3SPS, dan juga teguran-teguran kepada pelaku siaran.

MA : Masalahnya mereka tahu nggak kalau ada aturan itu? Dan apa tindak lanjutnya?. Saya pikir kita harus lebih memberdayakan masyarakat supaya bisa cerdas dalam memilih tayangan TV ya. Tapi itu kan juga harus sinergi antara lembaga-lembaga yang lain, seperti lembaga keagamaan, pendidikan, sosial, dan kebudayaan dan termasuk dengan lembaga penyiarannya itu sendiri.

Sekarang ini kan banyak orang yang sudah mengabaikan hal-hal yang tabu, seperti juga orang punya rumah punya mobil, tapi itu adalah dari hasil hutang. Sehingga dalam kehidupannya yang mewah tapi sebenarnya semu. Mereka lebih senang tampilan bagus, tapi bukan kesejahteraan batin atau kesejahteraan yang sebenarnya.

Kenapa? Karena masyarakat kita termasuk masyarakat pasif, kalau tidak digebrak maka tidak terbangun atau tidak bergerak. Apalagi mereka yang memang low- level education tadi, ditambah ekonomi pas-pasan, maka ketika ada acara gosip seperti di infotainment atau acara reality show, maka dianggap pas-lah untuk menjadi hiburan dan kompensasi dari himpitan kesulitan.

P : Bagaimana dengan para artisnya mbak? Kan mereka itu memang ingin tampil dalam rangka untuk popularitas? Dan popularitas bisa mendatangkan job? Job bisa mendatangkan uang?

MA : Itu bisa saja, tetapi saya melihatnya lebih kepada kekuasaan media untuk memilih siapa sih yang akan ditampilkan, atau layak untuk ditampilkan menurut kepentingan mereka (media) tentunya. Kalau yang akan ditampilkan nggak menarik atau tidak dapat menghasilkan sesuatu ya buat apa? Jadi kalau nggak ada nilai jualnya ya tidak akan kepakai. Makanya sering ada kesepakatan-kesepakatan antara media dengan para artisnya.

Media lebih dominan daripada selebritinya. Meskipun media membutuhkan artis dan artis membutuhkan media, tetapi posisi tawar artis lebih rendah daripada medianya. Media yang membuat mereka para artis dalam kelas-kelas, apa kelas atas, menengah atau kelas bawah.

P : Kalau dari pihak aktivis perempuan, apakah pernah melakukan kajian atau komplain terhadap acara-acara seperti infotainment?

MA : Ya kami pernah membuat yang namanya Media Watch, bersama dengan ormas- ormas, dan LSM, bahkan bekerjasama dengan Muhammadiyah dan NU. Kita juga membuat konperensi pers mengkritisi tayangan-tayangan itu, termasuk infotainment, tentang kode etik dan tayangan-tayangan yang sudah berlebihan dalam penyajiannya. Tayangan-tayangan itu tidak cuma kebablasan, tapi memang berlebihan.

P : Kalau mengenai pergeseran nilai budaya itu, Mbak Mariana setuju gak bahwa ada pergeseran itu.

MA : Saya lebih setuju dengan istilah digeserkan, karena memang ada gejala-gejala penggeseran terhadap nilai-nilai budaya kita melalui teknologi media dan bisnisnya. Ada kesengajaan agar bergeser. Yang menggeserkan ya industri media, karena ada sistem kapitalistis itu tadi. Jadi akhirnya pengabaian terhadap nilai-nilai yang ada di masyarakat benar-benar menjadi suatu kebudayaan baru.

Masyarakat posisi tawarnya lemah, sehingga hanya bisa menerima saja terhadap apa yang diagendakan oleh media. Pesawat TV ada di rumah-rumah, di kamar-

kamar, di ruang keluarga, masyarakat berhadapan dengan pesawat TV menerima terpaan-terpaan pesan yang bersifat satu arah, lantas kalau tidak setuju atau tidak suka, mau ngomong sama siapa? Acara berjalan terus dengan cepatnya berganti- ganti dari satu acara ke acara selanjutnya, kita hanya bisa menerima.

Itulah posisi masyarakat. Jadi kita tidak bisa hanya menyalahkan masyarakat kenapa mereka bersikap pasif atau apatis saja? Tapi medialah yang seharusnya memberikan pencerahan dan pencerdasan kepada penontonnya, karena apa, karena sifatnya yang satu arah tadi. Kan tidak mungkin, walaupun ada acara interaktif, akan berlangsung sepanjang hari interaktif kan? Jadi industri medialah yang seharusnya bisa memilihkan bahan acara apa yang bisa bermanfaat bagi masyarakatnya, bukan cuma bermanfaat bagi keuntungan kapital industrinya saja.

P : Kalau harapan Mbak Mariana terhadap industri acara infotainment bagaimnana?

MA : Kalau saya sih ingin ya, infotainment itu bisa dibenahi baik dari segi isi, teknik menyajikan atau isu-isu yang diangkat, tidak lagi berupa gosip-gosip murahan saja, yang tidak ada manfaatnya bagi pemirsa, tanpa mengganggu profit yang mereka inginkan. Contohlah seperti acaranya Oprah, begitu menarik dan banyak bermanfaat bagi orang banyak, toh dia sukses jadi kaya raya, industrinya bertahan terus, dan tidak membodohi pemirsanya. Sayangnya di kita ini banyak acara yang sifatnya Copy-Paste dari acara-acara di luar sana, tidak ada yang orisinil, betul- betul ide sendiri dan bagus.

Infotainment itu sebaiknya dibuat yang baik dan sewajarnya saja, nggak usahlah melibat-libatkan diri seperti pengamat hukum, pengamat sosial, agama, dsb. Dengan statement-statement yang sering gak pas, bicara soal proses hukum, dsb. Akan lebih pas kalau kembali ke fungsinya hanya sebagai media hiburan, menginformasikan tentang entertainment, bukan para entertainernya. Karena memang mereka (pekerja infotainment) sebenarnya bukan jurnalis.

CATATAN PENELITI:

~ Wawancara berlangsung relaks; berlangsung di Café Citrus Tebet, Jl. MT haryono Jakarta Selatan.

~ Informan adalah Aktivis Perempuan utamanya dibidang sosial dan kependidikan masyarakat, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan yang menerbitkan Jurnal Perempuan, mengelola siaran radio untuk remaja, dsb.

~ Wawancara beberapa kali tertunda karena kesibukan Informan dengan kegiatan- kegiatan acara talkshow di stasiun TV dan radio, dan di luar kota.

~ Informan sangat responsif membalas permintaan peneliti untuk wawancara penelitian, meskipun hanya melalui SMS dan per-telepon.

LAMPIRAN 18