• Tidak ada hasil yang ditemukan

--- PSIKOLOG, DOSEN PSIKOLOGI, KABAG. PSIKOLOGI SOSIAL - FAKULTAS PSIKOLOGI UNIKA ATMAJAYA JAKARTA

---

HARI : RABU

TANGGAL : 07 JULI 2010 JAM : 14:00 – 15:00 WIB

TEMPAT : FAK. PSIKOLOGI UNIKA ATMAJAYA GD. C LT.4 JL. JEND. SUDIRMAN 51 JAKARTA.

---

P : Ibu, terima kasih atas kesediaan Ibu menerima saya. Penelitian saya ini mengenai tayangan infotainment di televisi. Dalam pengamatan saya, telah terjadi adanya pergeseran nilai budaya dan juga etika komunikasi . Sehingga hal yang semula sifatnya tabu, hal-hal yang privasi seolah-olah malah dipromosikan. Bagaimana menurut Ibu dari sudut pandang psikologi?

NIRN : Bicara tentang pergeseran nilai budaya, kalau melihat media seperti itu, disatu pihak dari segi sosial itu selalu ada interaksi antara subyek dengan lingkungan, lingkungan dalam hal ini media, subyeknya adalah para pesohor. Kalau kita lihat pesohornya, ya mereka sebagai seorang pesohor tentunya juga ingin mempertahankan membina hubungan dengan para pengidolanya. Dan juga tetap untuk mempertahankan reputasi atau status mereka di dunia entertainment.

Di lain pihak kalau dari media massanya tentunya disini adalah melihat pesohor adalah menjadi daya tarik tersendiri untuk diberitakan dan tahu bahwa akan diikuti atau dilihat oleh para pengidolanya itu. Sekarang bagaimana masing-masing itu, siapa menggunakan apa. Asal sudah begitu kan kepentingan dan tujuan masing-masing pihak tidak lagi atau berkuranglah di

dalam hal ini mengenai nilai sosial budaya secara umum, karena yang berperan adalahegomereka.

P : Kalau kita lihat dari sisi masyarakatnya sendiri, apa yang mereka lihat seperti perilaku para pesohor termasuk masalah privasinya yang dimasukkan ke ruang publik, kan ada hal-hal yang dapat mempengaruhi mereka apakah dari sisi moralitas, atau menjaditrend setter.Bagaimana menurut Ibu?

NIRN : Kalau saya lihat pada dasarnya masyarakat kita adalah masyarakat kolektif. Kemudian budaya lisan itu lebih dominan daripada budaya tulis. Nah, kolektivitas mengimplikasikan bahwa ini adalah jejak-jejak masa lalu. Kita sudah terbiasa untuk tahu siapa-siapa saja dalam lingkungan kita. Terus dengan budaya lisan maka itu kemudian dibicarakan.

Dengan teknologi maka informasi komunikasi menjadikan ruang publiknya menjadi lebih luas. Siapapun bisa masuk. Jadi disini ada unsur kebiasaan kita untuk membicarakan orang lain, ngegosip, karena kita biasa lebih membicarakannya daripada membaca. Karena membaca memerlukan pemikiran kritis. Kalau ini pengulangan, mengulang-ulang apa yang sudah dibicarakan. Apalagi dengan keterbukaan teknologi komunikasi sekarang ini, ya sudah semakin terbuka segala sesuatunya, siapa saja bisa membicarakannya.

P : Tadi menarik ketika Ibu sampaikan bahwa masing-masing ada kepentingan, baik artis maupun medianya. Tapi mungkin karena faktor popularitas atau pada akhirnya faktor ekonomi telah mendorong perubahan perilaku mereka. Bagaimana menurut Ibu?

NIRN : Kalau dia merupakan figur publik maka apapun yang dia lakukan itu dia anggap publik dalam hal ini pengidolanya itu perlu tahu. Masalahnya adalah pada dianya sendiri, dimana batasannya. Misalnya, okey ini adalah batasan saya, kalau orang mau tahu tentang saya ya tunggu dulu. Tetapi dalam hal ini sangat terkait dengan “citra” yang bagaimana yang ingin dia bangun, ingin dia kemas, ingin dia buat, sebagai satu identitas dirinya. Sementara citra itu kan yang buat media.

Nah disini sebetulnya dinamika, kalau mau dikatakan konflik ya bisa, atau kalau mau “simbiose mutualistis” ya bisa, nah dimana dia bargainingnya atau negosiasinya di ruang publik itu. Sedangkan di satu pihak dia ingin mempertahankan imej dirinya, tapi di lain pihak batasannya mana? Sampai dimana media itu boleh meliput dirinya, supaya dalam hal ini kalau memang dia membatasi tidak mau lebih dari hal tertentu, tidak sampai dia diboikot oleh media, sehingga pengidolanya kehilangan jejak dan dia juga bisa kehilangan popularitas.

P : Ada yang mengatakan bahwa pesohor itu juganarsis. Apa betul begitu Bu?

NIRN : Itu terkait pada memelihara popularitas dan pencitraan tadi, jadi dia harus tampak menyenangkan, tampak memuaskan dan menjadikannya tetap dianggap sebagai “role model”. Kan tapi bukan hanya dengan pengidolanya, tapi dengan sesama pesohor atau saingannya. Kalau narsis itu sangat ditentukan oleh kepribadiannya. Yaitu tadi dimana sebenarnya batasan antara ruang privat, pribadi (self)dengansocial course-nya.

P : Bagaimana pandangan Ibu terhadap pekerja infotainment ketika mengemas atau merekonstruksi realitas sosial ke dalam ruang publik?

NIRN : Ya, itu sangat tergantung dari motivasi mereka. Kalau motivasinya uang, tapi kalau dalam hal ini motivasinya mereka ingin menampilkan tokoh yang layak diangkat, itu ya .. Tapi gimana, kalau nggak ya mereka akan kehilangan sumber. Jadi yang nomor satu kan selalu “bad news is a good news”. Lantas selanjutnya seberapa dalamnya mereka mencabik-cabik kehidupan pribadi orang itu. Itu mau tidak mau juga dikaitkan dengan budaya masyarakat kita, seperti selektivitis, lalu budaya lisan, senang membicarakan orang. Kenapa, karena kita “people- oriented”, bukan “problem oriented”.

NIRN : Iya, menurut saya iya, karena pada dasarnya kalau saya perhatikan infotainment, sedikit banyak meniru siaran-siaran di negeri barat terutama Amerika. Sedangkan di sinetron saja juga banyak yang duplikasi, bukan original. Jadi media itu membentuk budaya atau habit terhadap perilaku mereka ataupun masyarakatnya. Kalau “simbiose mutualistis” kan dari kedua belah pihak. Tapi media begini, maka dia semakin ini, semakin ini..terus begitu.

(Catatan peneliti: Informan menggambarkan dengan gesture tangan menjelaskan bagaimana antara media dengan para sumber berita saling mengejar atau berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkan).

P : Menurut Ibu apakah kita perlu semacam Privacy Act atau Undang-undang yang mengatur tentang masalah privasi?

NIRN : Kalau menurut saya iya, karena kalau tidak, dimana sebenarnya pengertian hak azasi manusia itu? Setiap orang kan mempunyai hak.

P : Kalau bicara tentang infotainment, bicara tentang apa yang layak dijual kepada masyarakat kita yang kolektivis tadi, apakah itu cerminan dari masyarakat juga?

NIRN : Saya pikir nggak juga. Kenapa masyarakat menggemari itu? Karena infotainment, dan beberapa tayangan lain, itu bisa merupakan suatu sarana pelarian dari kehidupan nyata. Jadi terus memberikan mimpi kepada orang- orang tadi.

P : Jadi dapat dikatakan bahwa teknologi telah mengubah perilaku manusia. Apakah persaingan ketat antar sesama pesohor yang membuat mereka itu berlomba-lomba untuk tampil di TV?

NIRN : Iya, jelas. Karena gini, terutama di Jakarta, dan juga dikaitkan dengan di Indonesia pada umumnya, seberapa besar sih luasnya ruang infotainment itu?

Kita hanya mengenal film dan sinetron, drama atau teater boleh dikatakan kecil. Kita lihat saja para pesohor itu, mereka sebagai pemain sinetron, ya penyanyi, ya pengiklan, jadi semua ruang itu diperebutkan dan dipertahankan oleh pihak pesohor itu.

Yang kedua didalam hal ini, dengan adanya acara-acara seperti Indonesian Idols, dsb, itu membuat orang awam menjadi terobsesi ingin cepat kaya, cepat terkenal. Tidak tertutup kemungkinan diantara mereka itu akan jadi pesohor, yang akan mendesak mereka yang sudah eksis sebelumnya. Dan di dalam hal ini, saya tidak tahu, bagaimana soal pengelolaan keuangan mereka. Itu menyangkut kesadaran bahwa usia menjadi pesohor yang dapat mendatangkan keuntungan itu berapa lama, dan kemudian untuk kelanjutan hidupnya. Apa yang akan dan sedang mereka pikirkan?

P : Dengan adanya ajang kompetisi seperti Indonesian Idols dsb, bagaimana peran orangtua yang mempersiapkan anak-anaknya untuk menjadi terkenal? Gejala apa sebenarnya?

NIRN : Kembali lagi, itu macam-macam faktor penyebabnya. Orang cenderung mencari jalan pintas, atau instant. Dan kemudian tenar, tokoh, tersohor. Siapa yang gak senang? Karena di dalam hal ini, masyarakat kita kan masih memegang atau menilai tinggi status, status sosial.

Yang kedua di dalam hal ini, adalah terkait daya juang, ketekunan, keuletan, untuk mencapai sesuatu, di kita itu kurang, lemah sekali. Dan di dalam kehidupan ekonomi sekarang ini, materi, konsumerisme, semuanya sudah menjadi privasi yang terbuka, tidak lagi tabu.

P : Lantas dalam hal ini apakah telah terjadi pelanggaran etika, logika,dan estetika?

NIRN : Oh ya, itu jelas, jelas terjadi. Namun peran KPI bagaimana? Sampai seberapa jauh teguran-teguran diberikan? Kalau yang saya tahu, misalnya seperti di

Amerika, atau juga seperti disini, katakanlah saluran-saluran untuk akses ilmu pengetahuan, dsbnya itu lebih mahal memang. Seberapa banyak sih ratingnya? Tapi kalau kita lihat, seperti acara Jelajah Nusantara di Metro TV, itu juga menarik, seperti Kuliner, tapi rating rendah. Itu kembali pada masalah kehidupan nyata.

P : Kalau menurut para pakar, bahwa acara infotainment itu mudah membuatnya, murah sekali biayanya, artisnya gak perlu dibayar, bahkan mereka mengundang dan membiayai kru infotainment, serta ratingnya tinggi. Itu merupakan faktor mengapa infotainment begitu menjamur sekarang ini. Karena juga tidak perlu siaran diprime time,namun kan membuat masyarakat menjadi terbiasa menggosip atau menggunjing orang?

NIRN : Iya, semakin diintensifkan jadinya. Dan itu menyangkut masalah moralitas, etika sosial, dan kesantunan. Infotainment seharusnya mengangkat orang-orang yang berhasil, dalam pengertian mereka yang betul-betul aktor, seniman yang punya karakternya sendiri, kemudian itu diulas, itu akan bagus. Sementara kebanyakan pesohor yang diangkat dalam infotainment itu tidak punya karakter. Padahal apa sebetulnya yang seniman lakukan adalah akting, akting itu menginterpretasikan tokoh yang diperankannya.

Tapi kalau pesohor kan hanya memerankan dirinya sendiri saja. Nah itu kan sampai seberapa jauh dia mampu keluar dari dirinya sendiri, untuk memainkan karakter itu. Nah itu kan suatu pekerjaan yang memeras energi, psikologi, dan pikirannya. Tapi itu gak keluar. Karena pesohor itu kan hanya orang yang tenar saja.

P : Jadi memang betul ya Bu, seperti pendapat Pak Slamet Rahardjo yang menyatakan bahwa berbeda antara artis pesohor dengan seniman? Kalau seniman itu menghasilkan karya seni yang keluar dari dirinya sendiri, sedangkan pesohor hanyalah orang yang tenar atau ditenarkan?

NIRN : Iya, kalau pesohor kebanyakan adalah karena dia penyanyi saja atau main sinetron yang berbeda dengan film-film serius. Sedangkan seniman lebih dikarenakan kepuasan maka dia menghasilkan karya seni termasuk aktingnya, dan dipahami oleh masyarakat, dan kemudian apa yang dilakonkan dapat diambil pesannya. Itu seperti apa yang dikatakan oleh Shakepearz, lalu unsur dramatiknya dimana?

P : Saya mengamati seperti DP (Dewi Persik), dia jalan-jalan ke Singapura, dan diliput oleh infotainment, apa saja yang dilakukan di hotelnya, di Mal, di toko, apa yang dia beli semuanya direkam dan ditayangkan secara detail. Termasuk ketika sepertinya dia kehabisan uang, duduk dipinggir jalan. Memang ada dramatisasi disana, tapi kan sebenarnya karena ada sesuatu yang ingin ditunjukkan kepada publik yaitu tentang seluk beluk DP secara pribadi. Padahal misalnya tidak ada informasi itu masyarakat juga nggak apa-apa. Kalau mendapatkannya juga apa manfaatnya buat publik? Bagaimana menurut Ibu kalau hal itu ditinjau dari sudut pandang psikologi sosial, termasuk hubungannya dengan teorinya Sigmund Freud tentang Psikoanalisis untuk zaman pasca modern?

NIRN : Kalau dengan pendekatan posmo (post modernism) itu kan realitas macam- macam. Nah bervariasinya realitas maka terjadi berebutan di ruang publik. Nah siapa yang punya katakanlah “power” berupa modal yang kuat akan muncul menjadi realitas yang dominan. Memang ini adalah suatu situasi yang didukung oleh proses informasi yang tidak didalami secara intens, apa sih sebenarnya di balik itu semua? Hanya kulitnya saja.

P : Apakah kondisi tersebut disebabkan oleh materialisme dan kapitalisme?

NIRN : Saya tertarik pada tulisannya Effendy Gozaly tentang Jurnalisme, dikatakan bahwa sekarang ini bergeser, apa sih sebenarnya definisi jurnalism itu?. Saya juga berpikir tentang kondisi sekarang ini, ini apa sih sebenarnya yang terjadi? Karena kalau kita lihat pola-pola pemberitaan sekarang ini, itu kayaknya cuma melempar masalah saja. Bukan memberikan informasi yang seharusnya dan