• Tidak ada hasil yang ditemukan

---

JURNALIS, KETUA BIDANG PENDIDIKAN PWI PUSAT, DIREKTUR

PEMASARAN CEK & RICEK.

---

HARI : RABU

TANGGAL : 23 JUNI 2010 JAM : 10:00 – 11:30 WIB

TEMPAT : KANTOR PWI PUSAT –GEDUNG DEWAN PERS, LT.4, JL. KEBUN SIRIH JAKARTA PUSAT

--- P : Saya ingin mengetahui tentang pengalaman Bapak sebagai wartawan senior di

bidang hiburan khususnya terkait dengan perilaku para pesohor yang diliput oleh infotainment.

MSS : Sebelumnya saya sebagai Jurnalis Mainstream, pernah di Tempo, Editor, dsb. Memang berbeda sebagai Jurnalis Mainstream dengan Jurnalis Hiburan, terutama untuk mendapatkan obyek berita atau narasumber.

Untuk berita entertainment dalam infotainment, pada umumnya para pesohor itu sangat senang diekspose. Atau sering dikatakan sebagai eksibionis dan bahkan kadang-kadang narsis. Mereka dapat mengatur bagaimana untuk tampil di media. Mereka juga sering datang ke infotainment, memberitahukan bahwa dia punya pacar baru, atau akan menikah, dsb. Mereka meminta untuk diliput, bahkan digosipkan.

Hubungan antara mereka para selebriti dengan pekerja infotainment cukup dekat, akrab, sehingga tidak sulit untuk mendapatkan berita tentang mereka. Tidak perlu investigasi, tidak perlu persuasif atau membujuk untuk menjadi sumber berita seperti

kepada para narasumber formal. Pada dasarnya mereka mencari teman atau pendukung untuk popularitasnya.

P : Jadi intinya dia mencari dukungan?

MSS : Perlu sekali media atau wartawan untuk bisa membantu dia dalam rangka untuk membesarkan dirinya sendiri. Sehingga kalau kemudian pada saat seperti ada kasus mereka bentrok, maka wartawan kan merasa kami sudah menjadikan anda figure public, dulu anda zero lalu menjadi hero. Karena sudah berteman, maka bisa saja mengatakan “sekarang kok belagu amat sih, dulu kok gampang. gak begitu..” Karena wartawan infotainment memang merasa punya kontribusi membesarkan mereka.

Sekarang bisa bilang itu masalah privat, dulu gak sebut-sebut itu privat. Ketika dibandingkan dgn di mainstream tidak sebesar itu tuntutan wartawan. Wartawan mainstream mesti bujukin orang untuk bisa jadi besar. Saya pernah membesarkan orang namanya James Riady. Saya kenal bapaknya, dia bilang: saya punya anak lho. Dulu di Tempo saya yang paling sering interview-interview dia. Sampai akhirnya saya berteman saya dia. Setelah dua tiga kali saya wawancara di Tempo, kemudian dia diwawancara oleh banyak orang. Saya gak berani dong, mengklaim bahwa saya yang telah membesarkan namanya, saya yang merintis, yang menaikkan dia ke panggung media.

Tapi kalau anak-anak infotainment, karena berteman lama, sehingga sampai apapun tidak ada lagi rahasia sudah begitu dekat, seperti dia mau kawin sama si ini, dia sama anak bininya atau sama lakinya sudah gak cocok, dsb. Berita macam itu tidak usah diinvestigasi sudah tahu, cuma inilah, kadang-kadang kerjanya kurang rapi. Karena gampang mendapatkan bahan, lalu nggampangin. Sehingga dia tidak teliti lagi, missed, sehingga kurang akurat, dan segala macem.

P : Dalam hal itu apakah bapak melihat adanya pergeseran nilai, dimana dulu mungkin artis mau diwawancara sulit, tidak seperti sekarang setelah ada infotainment?

MSS : Dulupun sebenarnya sudah gampang, tapi menurut konsep dulu. Sekarang tentu sudah jauh bedanya, mereka lebih maju lagi artisnya. Dia sudah sangat mengerti tentang bagaimana kamera, dan memanfaatkan media. Dulu, dalam keadaan yang

belum seperti ini komunikasinya, teknologi informasinya, mereka sudah ada terasa, apalagi sekarang, udah paham betul.

Orang malahan sekarang sudah menyiapkan diri untuk menjadi selebriti, untuk menjadi entertainer, menjadi pesohor. Kan ada manajemennya dan ada wahana kegiatan dari televisi sendiri. Seperti Indonesian Idol, API, IMB, mau jadi bintang idola dan segala macem itu, orang sudah dipersiapkan. Kalau dulu jadi orang untuk jadi artis itunot by design, kalau sekarang untuk jadi artis ituby design. Dulu ituby accident, karena kebetulan tampang bagus ketemu dengan produser, karena nasib bagus segala macem, maka jadilah dia artis.

Sekarang ini, anak masih kecil orang tuanya sudah gelisah ingin anaknya menjadi terkenal, sudah disiapkan. Dengan demikian bukan penyimpangan sebenarnya, tetapi memang sudah disainnya, bahwa orangtua punya mau, bahwa dia mengharapkan anaknya akan menjadi public figure, pesohor, entertainer, konsekwensinya adalah bahwa kehidupan pribadinya akan terganggu.

Pada kondisi yang normal dan baik, itu menyenangkan juga buat mereka, anak- anak pada minta tanda tangan, minta foto bersama, pesohor menikmati juga, demikian juga keluarganya ikut senang, anaknya disoraki, diteriaki dimana-mana. Nah tapi begitu ada masalah, seperti Ariel ini, maka semuanya ikut terkena, nah itu kontradiktif kan. Ada konswekwensi-konsekwensi yang harus diambil, dihadapi. Saya melihatnya itu bukan sebuah perubahan nilai, tapi sebuah perubahan situasi kehidupan, kemudian industri merubah segalanya itu, ada faktor-faktor industri yang menyebabkan terjadinya perubahan perilaku, perubahan tata nilai itu, tapi itu sebenarnyaby design. Tapi dari awalnya sudah disadari, saya tidak percaya kalau orang tiba-tiba kaget apalagi untuk menjadi pesohor. Dan menyadari konsekwensi- konsekwensinya itu tadi.

P : Kalau kita lihat, sekarang ini ketika seorang pesohor tidak ada prestasi, misalnya, atau tidak ada sesuatu yang bisa mencuatkannya, maka ruang privasinya yang diungkap ke publik. Bagaimana menurut bapak?

MSS : Iya itu betul, dia akan mengundang sensasi, mengundang macam-macam tanggapan, membuat stimuli lain, sehingga dia akan menjadi perhatian.

P : Termasuk ketika dia mengundang pekerja infotainment ngajak jalan-jalan?

MSS : Kadang-kadang mereka bikin pak, sengaja memanggil wartawan, tolong dong gosipin gue, itu ada yang seperti itu. Kesepakatan-kesepakatan itu ada, di bawah tangan gitu.

P : Bagaimana kalau si pengundang yang mengajak jalan-jalan memberikan semacam uang untuk keperluan sosial affairnya si wartawan, selain tiketnya?

MSS : Itu tergantung kesepakatan, tidak bisa dipukul rata. Karena di Kode Etik Wartawan ada etik yang harus dipatuhinya, tidak boleh menerima amplop dan sejenisnya. Ada aturannya. Wartawan kan gak boleh terima amplop kan, itu kalau wartawan yang bener ya, yang lurus, yang lempang, akan tunduk kepada kode etiknya.

P : Bapak sebagai wartawan senior yang selain berpengalaman di bidang politik, bidang yang serius formal, dsbnya, kemudian sebagai wartawan di bidang hiburan, bagaimana bapak dan teman-teman bapak yang bergerak dibidang hiburan merekonstruksi realitas yang ada di masyarakat ke dalam ruang hiburan? Seperti misalnya, kan ada fakta yang bersifat formal, tapi kan fakta-fakta yang bersifat tidak formal. Bagaimana wartawan infotainment merekonstruksinya? MSS : Kalau saya merasa, wartawannya sendiri mestinya memiliki ciri. Kalau sekarang

ini sepertinya sejajar, atau wartawan tidak berada pada posisi yang lebih cerdas daripada narasumber. Paling banter sama, atau bahkan berada di bawah. Ini yang menentukan arah komunikasinya disini. Narasumber yang menentukan, bukan wartawan infotainmentnya. Sehingga kami di PWI melakukan kajian-kajian, untuk mendorong mereka wartawan infotainment meningkatkan kompetensi, kemampuan, wawasan, dan etikanya sendiri. Nah dalam hal ini memang ada problem, kita harus akui itu. Mereka wartawan yang di mainstream nampaknya lebih waspada, lebih mau mengisi diri daripada anak-anak wartawan infotainment.

P : Apakah berarti terkait dengan masalah etika?

MSS : Ya, bagi wartawan-wartawan di mainstream itu, mungkin karena dunia mereka lebih serius, dia lebih hati-hati dan dia banyak mengalami banyak masalah, sehingga terdorong untuk belajar, termotivasi untuk mengejar sesuatu. Meng”update” dirinya, paling tidak untuk mensejajarkan diri dengan narasumbernya. Kalau anak-anak infotainment cenderung, menurut tangkapan saya pribadi, lebih rendah, paling satu dua yang sama daripada narasumbernya, mayoritas ya, minimal samalah dengan narasumbernya.

P : Itu karena apa?

MSS : Mungkin faktor lingkungannya, suasana. Karena hiburan itu kan memang suasana nyantai. Yang ditanyakan tidak perlu harus berbekal pendalaman atau pengetahuan tentang masalahnya. Cukup tentang ini itu apa, kamu rekaman apa filmnya apa, dsb itu kan hal yang biasa saja, nggak challenging dia untuk mengisi nilai sains-nya. Untuk menanya ke selebriti kan mudah sekali, gak perlu dia belajar atau membaca buku segala macem, kapan saja. Makanya ketika dia mau menginterviupun persiapan-persiapan dia ya minimalis saja tidak perlu membaca ini dan itu seperti yang di mainstream. Kalau artis itu kan sambil ketawa-ketawa pertanyaannya bisa dilakukan, dan itu sangat kooperatif.

P : Jika dibandingkan dengan yang mainstream, untuk infotainment itu sendiri katanya materinya paling murah untuk diproduksi, apa betul?

MSS : Ya, karena kalau dia masuk dalam kategori sebagai berita, kan tidak ada pembayaran,free. Karena masuk dalam lahan berita, news, sehingga tidak ada hak artis minta dibayar, mau difoto atau apapun, kecuali untuk sejumlah majalah- majalah wanita sebagai cover misalnya, ya itu mesti ada bayarannya. Untuk wawancara biasa saja ya tidak ada bayarannya.

Sehingga ya bisa dimengerti, untuk kategori lainnya, silahkan tanyakan ke Pak Ilham Bintang yang lebih tahu masalah itu. Karena buat sebuah produk infotainment kalau

dibandingkan dengan kategori sinetron ya jauh sekali bedanya, semuanya harus dibayar. Sedangkan untuk infotainment kan hanya sewa peralatan, gaji pekerjanya, sehingga ya sangat jauh bedanya.

Sehingga bisa dimengerti mengapa stasiun televisi itu mengambil alih, .. dulu kan infotainment itu hanya dibuat oleh rumah produksi saja, sekarang bergeser hanya tiga besar saja yang masih bertahan, yaitu Bintang Group, Shandika dan Indigo. P : Tertarik apa yang Bapak uraikan tadi, jadi pada dasarnya para pesohor maupun

mereka yang sudah mempersiapkan diri sebelumnya itu kan dapat dikatakan seperti eksibisionis atau bahkan narsis? Nah ini kan bertolak belakang dengan masalah hak privasinya?

MSS : Betul, karena itulah seperti saya bilang tadi, kalau dengan seperti itu sebenarnya dalih aja, alibi saja yang mereka katakan. Misalnya seperti dia mau menikah dikasih tahu, dia pacaran sama siapa dikasih tahu, istrinya ngidam dikasih tahu, kemudian dimuat beritanya. Juga seperti”gua dapat pacar cantik nih”, gua dapat segala macem, termasuk ganti-ganti pacar di kasih tahu. Nah ketika dia terbuka kepada wartawan, itu dalih saja sebenarnya, karena dia tidak merasa memiliki kehidupan pribadi, karena tidak memperjanjikan itu dengan wartawan.

Saya bisa mengerti kenapa anak-anak infotainment itu mengejar sampai kerumahnya, memang sih dalam batas apa yang disebut privasi itu sih ada konvensi. Ketika ada suami istri, suaminya mengadu kepada kita, itu masih privasi. Tapi ketika kemudian dia mengadukan kepada pengacara, itu sudah menjadi ranah publik, karena pengacara udah pihak ketiga. Meskipun dia curhat kepada kita, tapi belum boleh, karena masih privat. Jadi meskipun dia berkelahi, mereka berkelahi itu belum bisa di ekspose. Tapi begitu dia ke pengacara, maka itu sudah menjadi publik. Itu batasan yang kita jadikan acuan.

P : Kita kan belum punya undang-undang mengenai privasi, ada gak wacana kearah itu dari PWI atau lainnya?

MSS : Kayaknya enggak, karena kita kan bisa mengaturnya di kode etik.

P : Tapi kan hanya secara moril saja, sementara secara hukum positif bagaimana?

MSS : Karena apa, itu problem juga. Karena para artis itu yang aktif.

P : Bukankah terjadinya pergeseran itu disitu pak? Karena hal yang dulu tabu, kini tidak lagi. Sampai urusan pakaian dalam juga diperlihatkan, ruang-ruang pribadi di kasih lihat. Jadi dilihat dari sisi itu, terjadi perubahan-perubahan norma kan pak? Tapi kalau membaca laporan tentang pengaduan-pengaduan dari masyarakat kepada KPI selama tahun 2009, ternyata dari 8000 sekian pengaduan, yang mengenai infotainment hanya 163 kasus, dan yang terkait masalah konten hanya 70. Nah ini fenomena apa pak? Apakah karena masyarakat kita sudah jenuh, atau sudah bisa menerima tayangan infotainment, atau karena sudah ada perbaikan dalam produksinya?.

MSS : Ya, perbaikan itu ada, sedikit-sedikit ada perubahan. Karena kita kan melakukan pembinaan-pembinaan. Kemudian ada fatwa-fatwa dari PBNU terkaitghibah. Jadi ada perbaikan dalam produksinya. Meskipun saya sendiri nggak puas. Makanya dalam merekonstruksi realita itu kan tergantung wartawannya. Bagaimana kalau tidak belajar menambah pengetahuannya? Jadi bagaimana akan menyaring informasi dari gaya hidup yang seperti itu? Bagaimana memfilternya? Hal yang nggak cocok buat kita, harus kritis. Bagaimana mereka pakai baju, dsb. Anak infotainment sendiri ada yang pakai anting, jadi wartawan kita terpengaruh gitu. Jadi soal kualitas, ya berimbang sajalah.

Wawasan intelektualitas pengetahuan wartawan infotainment dengan mereka (artis) itu berimbang. Atau bahkan ada dibawah mereka, sehingga bukan wartawan yang mengendalikan, tapi mereka para artis yang mengendalikan. Padahal harusnya normanya itu wartawan berada di atas mereka. Jadi sebenarnya bagi wartawan atau jurnalis maka medianya itu yang harus mengkritisi, memfilter segala perilaku wartawannya, melakukan pembinaan. Karena menghadapi perilaku para selebritis

yang kebanyakan adalah orang-orang kaya baru, mereka punya uang banyak, bermilyar-milyar. Seperti Tukul dan lainnya, dari nothing tiba-tiba mendapatkan ketenaran dan menjadi kaya raya, rumah yang wah, kendaraan yang wah.

P : Jadi industri merubah perilaku mereka ?

MSS : Iya, nah mereka tidak bisa berhati-hati dengan uangnya, tidak bisa memfilter misalnya mendingan ditabung saja. Demikian juga si wartawan, yah segala kelakuan mereka, oleh wartawan ya senang-senang aja, dia gak pikirin apa-apa, tulis aja apa yang ada. Apakah dia mengkritisi itu? Nggak. Maka dia bulat-bulat merekonstruksi saja apa yang ada semuanya, dieksposnya. Baik yang negatif atau hidup yang konsumtif, buka aja semua kepada publik.

P : Tapi ada gak pak, selebritis atau pemain sinetron, yang tidak mau terganggu oleh infotainment, dia tidak ingin hidupnya tak nyaman.

MSS : Ada juga. Kalau artis itu yang bagus-bagus, mereka kekeuh pada prinsip. Contoh: Sophan Sophian almarhum dengan Widyawati itu rapi, dia enak dan kita dekat sih, tapi terjaga mereka tidak mau mengumbar masalah pribadi segala macam. Jadi memang ada beberapa orang yang terseleksi hidupnya, bagus, makanya saya tidak mau pukul rata.

Pada wartawan infotainment ada juga yang pintar yang bagus, tapi entah yang bawa, mau dibawa kemana mereka itu. Makanya dengan harapan bisa membina mereka, PWI memasukkan mereka, karena kan daripada liar lebih baik menjadi anggota dan mengkategorikan mereka sebagai wartawan, supaya mereka tunduk pada kode etik jadi ada pegangan. Bahwa ada yang belum rapih betul, masih kurang, ya gak apa-apa.

Jadi kewenangan PWI itu ada untuk membina anggotanya, bisa menegur kalau ada hal-hal yang sensasi atau cabul misalnya. Ada item-item dalam kode etik yang harus ditaati. Dari pada dibiarkan liar sendiri tapi hidup, sedangkan per-definisi undang-undang masuk dalam kategori itu. Jadi kalau ada pihak lain yang mengatakan tidak sependapat, salah secara diktum definisi seperti mengumpulkan, mencari, mengolah

dan menyiarkan, seperti dalam Pasal 1 Undang-undang Penyiaran itu masuk kategori itu.

P : Apakah betul pak, ada yang masih belum setuju atas keputusan PWI itu? Dan ketidaksetujuannya itu karena menurut pendapatnya bahwa infotainment atau dulu disebut pekerja infotainment dengan wartawan mainstream itu sebenarnya sejajar? Masing-masing punya karakter sendiri-sendiri, tidak berada dibawah wartawan yang mainstream itu, tapi justru harus punya warna sendiri. Barangkali masalahnya adalah bagaimana meningkatkan kompetensinya, dan siapa yang seharusnya yang melakukan kalau dia tidak masuk kesini (PWI)?.

MSS : Sebenarnya medianya, organisasinya. Kami pernah bikin penataran ketika mereka masuk dalam PWI, kami tatar, kami lakukan orientasi masalah etika, hukum, pers, dsb, memberikan pemahaman bagaimana bedanya ketika dulu disebut sebagai pekerja infotainment dengan sekarang sebagai wartawan atau jurnalis. Maka kita sampaikan bahwa kita punya undang-undang, kode etik, aturan-aturan, termasuk etika jurnalistik, etika perilaku, dsb. Undang-undang ada UU tentang pers, UU tentang Penyiaran, dsb.

Tapi ada interupsi-interupsi atau masukan yang menyatakan bahwa apa yang harus dilakukan bagus, tetapi kalau diterapkan bisa turun ratingnya. Karena itu kerjanya agak susah, nanti kami akan menghadapi problem pada pemilik, pada quality controldi televisi, karena mereka tidak menerapkan kode-kode itu.

Sehingga sebenarnya political will-nya mesti seluruhnya. Perlunya kita semua sepakat, seluruh komponen bangsa ini termasuk pemerintahnya, dan utamanya pemiliknya ini juga harus sepakat. Tidak hanya profit, karena ini ranah publik sehingga sensitif sekali, kalau kita nggak hati-hati, kalau anda hanya mengumbar sensasi saja, atau cerita buruk seperti itu, ya nanti memang akan diminati masyarakat kita, tetapi apa pengaruhnya itu yang dia gak mikir.

Ya kita (PWI) selalu mencoba, tapi kendalanya ya itu. Kita tahu kemunafikan banyak, didepan kita bilang okey, tapi kenyataan di lapangan tetap sama. Karena ditonton oleh

10 sampai 12 jutaan orang, ratingnya bagus. Jadi kalau difatwakan tayangan infotainment itu haram, ya kita gak bisa melarang. Tapi kalau sudah difatwakan begitu bisa kita buktikan gak bahwa tayangan itu ratingnya turun? Kenyataannya malah naik. Nah masalah itu haram atau tidak terserah masing-masing. Kecuali di tempat-tempat khusus seperti Pondok Pesantren bisa diberlakukan bahwa tayangan itu haram, dalam pengertian para santri tidak boleh menontonnya. Karena tayangan itu ada dimana-mana, hampir di setiap waktu.

P : Jadi walaupun trend programnya makin sedikit tapi sekarang ini tayangan itu dibagi-bagi dalam segmen waktu, ada yang pagi, siang atau sore.

MSS : Makanya benar apa yang dikatakan oleh Mochtar Lubis bahwa ciri khas orang Indonesia itu adalah “munafik”. Boleh dibaca tulisannya, tentang ciri manusia Indonesia, diantaranya gila pangkat, munafik, dsb. Itu suatu autokritik, dan terbukti sekarang.

P : Jadi dari apa yang diuraikan tadi, sebenarnya masyarakat itu memang begitu, sudah terbentuk dari dulunya atau memang industri mempengaruhinya?

MSS : Ya, ada pengaruhnya industri, besar pengaruhnya. Terutama dari nilai-nilai komersial yang disajikan lewat media, dia mengatur semua pola hidup di masyarakat, pada saat kumandang Adzan, puasa, dsb itu dimasukkan nilai-nilai komersial baik itu iklan atau lainnya.

P : Kalau kembali pada pengalaman Bapak, apakah ada pesohor yang mungkin by accidenttidak disiapkan kemudian tiba-tiba jadi dikenal oleh masyarakat. Seperti contoh waktu ada liputan tentang seorang anak perempuan kecil di Bogor dimana dilidahnya terdapat tulisan Arab “Allah”. Nah, ibunya kan awalnya bukan siapa- siapa, tapi ketika anaknya diliput oleh infotainment, dia tahu kalau akan disiarkan di TV, dia lantas ingin merepresentasikan dirinya seperti pesohor juga. Menurut Bapak, itu gejala apa?

MSS : Menurut saya sih biasa saja ada peniruan-peniruan perilaku, tapi itulah buktinya bahwa pengaruh media itu besar, bahwa masyarakat kita itu sangat rapuh perilakunya. Tidak memiliki prinsip-prinsip atau kekuatan untuk bisa menolak apa yang ada di media. Oleh karena itu jangan diharapkan masyarakat akan mampu melakukan penolakan secara langsung. Mereka cenderung terpengaruh dan mengikuti apa yang ada di media.

Oleh karena itu media menjadi sangat penting, dan masyarakat harus bisa memilih media. Media juga bertanggung jawab untuk semua kemaslahatan masyarakat kita. Wartawan hanyalah salah satu bagian yang, mungkin hanya 30 atau 40 persen saja dia berperan dalam tayangan isi media. Yang berkuasa sekarang ini adalah pemilik medianya khususnya untuk televisi.

Dalam pertemuan lintas sektor pernah saya sampaikan tentang pengaruh media terhadap masyarakat. Jadi kalau kita mau tatar sampai manapun terhadap wartawan-wartawan itu oke dia terima, tapi kadang-kadang akhirnya mentok juga. Karena pola rating bukan dia, tapi pemilik media. Dan pemilik media sangat tergantung pada industrinya, pemasoknya, pemasang iklannya, produsennya, pemilik barang. Dia kiblatnya hanya ini, para pemilik barangnya. Sedangkan pemilik barangnya apa? tergantung sama rating sama lembaga survey.

Jadi itulah semuanya, saling memengaruhi. Jadi pemilik media ingin selamat hanya memikirkan ekonominya dia sendiri saja ingin industrinya jalan, sementara pemasang iklan atau pemilik barang tergantung sama rating acaranya seperti gossip, infotainment. Ada puluhan item yang dibuat rating oleh lembaga survey, dan itulah yang dilihat oleh para produsen. Jadi kalau ada acara yang ratingnya paling tinggi itulah yang dimasukkan iklannya. Soal bagaimana hasilnya atau implementasinya apakah positif atau negatif dia tak peduli. Yang penting profitnya. P : Tapi si wartawan itu sendiri terutama untuk wartawan infotainment, karena dia sendiri hidupnya sangat tergantung pada owner dan industri. Pada waktu hasil kerjanya tidak disiarkan, resikonya tidak dibayar?

MSS : Itu bisa berakibat ratingnya turun, karena berkejaran dengan rating. Sehingga dari pengalaman, ketika suatu tayangan ratingnya turun dan tidak memenuhi syarat bisnis, maka tidak akan berumur lama, paling bisa bertahan selama-lamanya empat