• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUKU-BUKU TENTANG MASALAH PERTELEVISIAN

---

HARI : KAMIS

TANGGAL : 24 JUNI 2010 JAM : 18:30 – 19:00 WIB

TEMPAT : STUDIO 5 TVRI SENAYAN JAKARTA

---

P : Penelitian ini berkaitan dengan asumsi bahwa telah terjadi pergeseran nilai budaya dan etika komunikasi dalam acara infotainment televisi, dimana hal-hal yang bersifat privasi telah berubah menjadi ajang promosi diri bagi para sumber berita (artis/pesohor). Bagaimana menurut pendapat Mas Veven?

VSW : Ya, kalau melihat acara infotainment, memang telah terjadi itu terutama dari para pekerja infotainment itu sendiri mereka selalu memakai argumentasi bahwa artis itu milik publik, makanya ada istilahpublic figure. Pengertianpublic figurekan bukan itu sebetulnya. Artis itu hanya orang terkenal, hanya sosok pesohor. Sementara public figure adalah figur yang mempunyai kontribusi atau menghasilkan kebijakan untuk publik. Ya seperti orang parlemen sebenarnya, atau pemimpin formal.

Nah kesalahkaprahan itu diteruskan oleh infotainment dan bahkan oleh para artisnya sendiri yang mengatakan: Kan saya public figure. Jadi saya harus jadi contoh, katanya.Sehingga mereka menempatkan diri entah secara sadar entah karena dikendalikan narsisme. Artinya dengan menempatkan diri sebagai figur publik, mereka nggak lagi punya wilayah privat kan jadinya. Ketika diungkit-ungkit masalah privasi mereka baru mereka teriak-teriak. Tapi ya kemudian tarik ulur-tarik ulur terus kan.

Sebenarnya yang dilakukan Desy Ratnasari dulu itu benar sekali “no comment”. Karena soal perkawinan dia dengan siapa itu soal dia pribadi, tapi kan teman-teman

media kan mencecar dia dari sisi lain, yang katanya nggak mau kerjasama dengan media lah dsb. Jadi pada akhirnya lama-lama nggak jelas mana yang privat dan mana yang bukan privat.

(Catatan: Ilham Bintang dalam bukunya “Mengamati Daun-Daun Kecil Kehidupan” Tahun 2007: 45-48, tentang kumpulan komentar tulisan Ilham Bintang yang pernah dimuat di Tabloid C&R, menuliskan tentang komentarnya tentang Dessy Ratnasari, Kisah sedih di hari kasih sayang).

P : Kalau dari etika komunikasi, dimana media merekonstruksi realitas sosial yang ada di masyarakat kedalam ruang publik, itu kan sepertinya menggunakan perspektif mereka sendiri. Bagaimana menurut anda?

VSW : Ya.. ya, tapi kan dalam pengertian media yang hiburan kan? Artinya bukan media yangmainstreamyang seperti Tempo, Kompas kalau mau menyebut nama, mereka nggak mau menyentuh itu, atau kalau menyentuh wilayah publik para selebriti lebih ke human interestnya, apakah masuk rumah sakit berulangkali, atau susah mengurus paspor, atau suka dengan pakaian warna apa. Tapi kalau sudah masuk ke kasus, mereka stop, kecuali kalau sudah statement dari penelitian baru mereka nulis. Karena itu informasi resmi dan berlaku publik dan untuk konsumsi publik.

P : Kalau kita lihat apa yang dilakukan artis, dia mengundang wartawan hiburan meliput kemudian dimuat, itu kan seperti narsis atau eksibionis?

VSW : Ya, ya, tapi itu juga bagian dari PR (public relation)nya dia. Setahu saya pada awalnya yang namanya infotainment itu informasi tentang produk-produk baru, album baru, benar-benar informasi tentang entertainment. Makin kebelakang akhirnya menjadi informasi tentangentertainer, jadi lebih fokus ke person. Seingat saya begitu, karena waktu di SCTV mau menurunkan (melaunching) satu acara baru, saya dimintai pendapat, ini bagaimana? Menarik, tapi kurang ini – itu. Yaitu tadi informasi tentang dunia hiburan, bukan penghiburnya. Seperti selamatan mau bikin sinetron, begitulah kira-kira.

P : Apa yang anda sampaikan tadi kan bisa karena industri, kemudian ekonomi dan akhirnya popularitas. Dari sudut pandang itu bagaimana?

VSW : Iya, semuanya akan saling berkait, jadi ketika artis mengundang media itu kan bagian dari menaikkan nama mereka, ya untuk popularitas mereka, bahkan kadang- kadang bikin sensasi kecil-kecilan intinya agar orang mengingat bahwa dia masih ada, padahal kalau dia penyanyi, nyanyi apa sih dia? Nah kalau dia pemain sinetron, apa judulnya dan apa perannya? Itu nggak sedikit lho yang kayak gitu. Muncul ngapain-ngapain gak jelas, yang penting bisa dianggap komersial.

P : Dalam perkembangannya, infotainment sepertinya menjadi budaya populer. Apa betul begitu?

VSW : Ya betul, tapi sebetulnya lebih ke budaya massa, dan budaya populer kan bagian dari budaya massa.

P : Nah kalau terkait masalah privasi, di kita kan belum ada undang-undang yang khusus mengatur itu, meskipun ada tapi kan sedikit-sedikit dan tersebar di mana- mana, perlu nggak sih kita punya undang-undang semacam itu?

VSW : Kalau undang-undang seperti itu sebenarnya tidak terlalu perlu, karena sudah terlalu banyak undang-undang yang memuat masalah itu. Seperti di Undang- Undang Penyiaran kan sudah ada aturan tentang itu, tetapi perlu lebih dijelaskan lagi dalam penjelasannya. Seperti misalnya privasi itu apa sih? Di penjelasan ditulis “cukup jelas”, padahal sebetulnya belum jelas. Nah seperti itu.

P : Kalau terkait dengan sedikitnya kasus aduan masyarakat ke KPI mengenai acara infotainment, kira-kira gejala apa dengan masyarakat kita?

VSW : Itu terkait banyak hal, karena yang ditawarkan juga nggak banyak kan gitu-gitu aja. Jadi masyarakat nggak punya pilihan alternatif , jadi kalau yang ada ABC yang udah diterima ABC, padahal mestinya sampai Z kan. Jadi ya udah karena yang ada ini ya, kemungkinannya memindah saluran, tapi sama juga, atau mematikan. Jadi tidak ada kemungkinan mencari alternatif pilihan. Apalagi kalau melihat siaran televisi di Indonesia ini kan seragam semua kan. Kalau logonya ditutup, kita nggak tahu ini stasiun TV yang mana. Yang dilakukan TransTV itu betul, ketika menayangkan iklan itu ada logonya, jadi penonton nggak tersesat. Sementara yang lain waktu siaran iklan ya iklan.

VSW : Iya, saya kira iya, dan memang niatan awal lahirnya kan untuk kapitalisasi. Untuk menambah modal melalui iklan dsb.

P : Nah apakah infotainment merupakan bentuk eskapisme baik bagi pesohornya maupun masyarakatnya?

VSW : Kalau eskapisme kan menjadi hanya ada satu-satunya pilihan, padahal masih banyak pilihan, jadi saya tidak begitu yakin tentang itu.

P : Bagaimana pendapat anda tentang fatwa PBNU terhadap infotainment yang menyangkut ghibah?

VSW : Ya sebetulnya bener sih menggunjingkan orang itu kan memang tidak baik, soal apakah itu diharamkan itu soal lain lagi. Karena kalau bicara ghibah kan tidak hanya di infotainment kan, di dunia politik banyak sekali tapi kenapa sasarannya hanya infotainment?. Dulu saya pernah diskusi dengan Kyai Agil Siraj di MetroTV mengenai itu, jawaban saya waktu itu: “Wah saya nggak tahu kalau itu haram, jangan-jangan makruhpun nggak”. Nah seperti sekarang tentang kasusnya Ariel dan Luna Maya, ketika kru infotainment mencari informasi kepada keluarganya Ariel dsbnya itu, itu kan sudah pergunjingan yang luar biasa. Kalau nggak ada itupun masyarakat kan nggak masalah, seperti menanyai gurunya Ariel waktu SD gimana, SMP gimana, ini kan berlebihan banget sudah mengarah ke ghibah dan privasi. Termasuk mewawancarai suaminya Cut Tari, bagaimana .., itu kan bias kan. Ini kan korban jadinya.

P : Apa harapan anda terhadap acara infotainment TV kedepan?

VSW : Yah sebenarnya perkara selebritas digunjingkan kan tidak hanya ini saja kan, ya silahkan saja ngomongin ini sedang jalan bersama atau makan siang bersama, tapi mbok jangan diasumsikan kalau makan bersama itu pacaran gitu lho. Itu ntar apa- apa nggak boleh jadinya. Yang penting proporsinya saja. Kan seperti nonton bareng, konsepnya kan sah-sah saja sebagai teman, tapi kan dianggap : ‘Wah udah ganti pacar nih, yang dulu kan bukan yang ini’. Padahal itu bisa saja teman pacarnya juga yang sama-sama kenal dan sama-sama baik. Kadang-kadang narasinya berlebihan. Kadang-kadang satu paket selama setengah jam atau satu jam isinya cuma satu kan. Sampai akhirnya .. ini misalnya karena Mama Lauren sudah

meninggal saja gak ditanya, coba kalau masih hidup, pasti ditanyain bagaimana masa depan mereka?

P : Apakah itu termasuk bagian dari pelanggaran kode etik jurnalistik?

VSW : Iya, itu kan kebutuhan orang media aja. Kalau pelanggaran kan berarti dia tahu, ini bacapun tidak. Saya termasuk yang menempatkan mereka sebagai jurnalis juga, dengan harapan mereka tidak menjadi liar, dan mentaati kode etik. Tapi kenyataannya dilapangan ya tetap masih seperti itu.

P : Baik Mas Veven, sementara ini dulu, terima kasih banyak atas waktunya. ---bw---

Catatan Peneliti:

~ Wawancara berlangsung di Lobby Gedung Pusat Produksi dan Siaran (GPPS), sambil berdiri, sedikit serius, namun penuh keakraban;

~ Informan baru selesai dialog acara Talkshow Minggu Malam Bersama Slamet Rahardjo;

~ Informan menyatakan dirinya sebagai Penghayat Media Massa; tapi juga sebagai Kritikus Media, dan Penulis Artikel-Artikel dan Buku-Buku tentang masalah pertelevisian.

~ Meskipun waktunya sangat terbatas, namun Informan sangat antusias membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar topik penelitian.

~ Informan juga sangat responsif membalas permintaan peneliti untuk wawancara penelitian, walaupun ditemui mendadak pada saat selesai rekaman di Studio, dan siap dihubungi sewaktu-waktu diperlukan.

LAMPIRAN 15