• Tidak ada hasil yang ditemukan

WAWANCARA PENULIS DENGAN BAPAK ARSWENDO ATMOWILOTO ---

SENIMAN, BUDAYAWAN, PRAKTISI MEDIA, KRITIKUS MEDIA,

PRODUSER ACARA NEWSTAINMENT, PEMBAWA ACARA (HOST),

NARASUMBER TALKSHOW, DOSEN LONDON SCHOOL OF P.R., ETC. ---

HARI : SABTU

TANGGAL : 19 JUNI 2010 JAM : 09:00 – 10:30 WIB

TEMPAT : KANTOR ATMO CHADEMAS PERSADA, JL. M.SAIDI 34A, PETUKANGAN SELATAN, JAKARTA SELATAN.

---

P : Apa benar telah terjadi pergeseran nilai budaya di dalam rangka acara infotainment maupun di masyarakat? Apa pendapat anda?

AA : Istilah Infotainment itu sendiri, sebenarnya istilah yang salah kaprah, keliru. Karena info itu tidak selalu berdasar data dan fakta, bisa hanya berdasar info aja, jadi “gossip aja”. Mungkin istilah yang lebih tepat adalah newstainment atau entertainment biasa saja. Lalu pergeseran itu, sebetulnya dulupun juga begitu, hanya karena sekarang jumlahnya demikian banyak, dari 10 stasiun TV, TVRI dan Metro TV tidak termasuk, untuk infotainment aja satu hari 7 jam, dalam seminggu kira- kira 37 acara. Jadi jika ada berita perselingkuhan artis, dalam seminggu minimal 37 kali ditayangkan, itu oleh infotainment saja, belum dari news, talkshow, dsb. Untuk materi yang sama. Artinya, kalau dalam minggu yang sama dia membantahnya atau apa, itu jadinya panjang. Nah disini, inilah kesalahan atau sifat media massa seolah olah menjadi banyak sekali beritanya karena ada rerun-nya, karena di replay terus, diulang ulang terus. Jadi kalau tayangan orang jatuh itu kayaknya jatuhnya puluhan kali.

Bahwa terjadi perubahan tata nilai privasi ya, karena kita sendiri kurang membatasi privasi itu apa, apalagi tidak ada undang-undangnya, sampai sekarang belum ada. Privasi menurut konvensi di Amerika selama mereka

dalam rumahnya, tidak boleh menerobos masuk. Tapi di halaman ada pesta perkawinan, misalnya dia naik helikopter, jadi mereka Infotainment tidak selalu berpegang data dan fakta.

P : Jadi pergeseran itu ada? Lalu pergeserannya lebih mengarah ke positif atau negatif?

AA : Sama lah, ada positif ada negatif . Semua buku-buku, euphoria pasti ada, tapi negatifnya lebih banyak, karena kita jadi tahu lebih detail apa yang terjadi di kasusnya orang lain.

P : Pernah produksi seperti itu?

AA : Pernah, tapi saya pakai nama newstainment, saya tidak mau berdasarkan gosip-gosip saja, saya mencari “solution” nya, misalnya arti perceraian, apa sih sebetulnya masalahnya. Jadi dari sudut pandang lain.

P : Secara umum, bagaimanapun media terutama dari sisi pekerja infotainment mengkonstruksi realitas sosial yang ada di masyarakat kemudian dihadirkan ke ruang publik menurut perspektif mereka, bagaimana menurut anda?

AA : Iya itu tugas pers, kita boleh bilang suka atau tidak suka. Hanya di Indonesia kadang yang terjadi adalah bukan pekerja infotainment atau wartawannya yang bergerak mencari artis, tapi kadang artis yang cari kamera. Dalam arti bukan sekedar konferensi pers, media tidak usah mencari juga dapat berita, kalau di luar negeri kan harus ada paparazzi. Media tidak sesakti itu, masukin beritanya juga sudah dapet.

P : Kira-kira apa di balik maraknya produksi dan tayangan infotainment itu? AA : Menurut teori seorang komunikator , penulis teater, namanya Ortega Y.

Gasset, dia punya teori kurang lebih : masyarakat kita ini Indonesia termasuk masyarakat urban. Dari desanya lalu ke kota besar. Dulu mereka hanya berkenalan dengan pak RT- nya pak Lurahnya. Nah ketika di masyarakat urban tokoh itu tidak ada, yang ada tokoh yang mereka kenali lewat televisi. Sehingga tokoh di TV yang sering hadir itu mereka anggap sebagai bagian dari dirinya, bagian yang mereka kenal, kerabatnya, seperti

dulu menggunjingkan pak lurahnya, itu menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat kita. Dan saya cenderung setuju dengan teori ini.

P : Apakah itu bukan semacamsimulacra? Serba semu?

AA : Iya, iya betul. Semu tapi ada, bahwa dia mengenal Luna Maya iya, tapi melalui televisi. Tapi secara fisik tidak kenal sama sekali. Hanya karena menonton berulang kali, menonton artisnya, iklannya, sehingga merasa mengenal mereka dan dekat dengan mereka, kemudian mengidentifikasikan diri dengan mereka (artis).

P : Hal- hal yang ada di televisi termasuk infotainment adalah semacam budaya pop, menurut anda?

AA : Budaya pop pengertian dia memang mengarah ke mana. Sehingga penentuan apa sebabnya demikian, menjadi apa, pakai ukuran sharing, rating, dan ini semuanya bisa dengan lebih mudah, salah satu ciri budaya pop itu, mudah mengunjunginya?. Contoh Luna Maya ada affair, orang langsung tahu siapa Luna Maya, siapa Ariel, lepas itu benar dia atau bukan. Pers tidak perlu informasi lainnya. Dan seluk beluknya kasus kan berbeda, tidak perlu investigasi lebih jauh, seperti kasus gayus yang perlu teknik khusus atau tertentu.

P : Anda pernah merasakan membuat itu tapi dari sisi lain. Sudut pandang anda sebagai pekerja seni, yang ingin mencari sesuatu yang baru dan budayawan yang sangat Indonesia, apa yang pernah anda alami selama produksi atau melihat kenyataan yang lain seperti itu?

AA : Karena kita industri aja mas, industri itu begini, segala sesuatunya bisa diukur seketika, bisa dibandingkan seketika. Kita tidak bisa lagi berkata Jakarta hujannya deras, tapi hujannya berapa milimeter. Dalam kaitan televisi, yaitu rating dan sharing. Itulah yang kemudian menjadi patokan, sehingga ketika kita bicara ke-Indonesiaan, itu tercermin gak di rating dan sharing, kalau enggak ya lewat. Jadi mereka, televisi ini, terutama TV Swasta, tidak berpikir tentang apa-apa. Kalau dia bikin Si Doel Anak Sekolahan itu bukan karena cinta budaya Betawi atau ingin menghidupkan

budaya Betawi, tapi yang penting laku, di balik itu ada faktor ekonomi. Yang penting untung.

P : Sementara dari sisi yang di cover itu lebih kepada popularitas atau gimana?

AA : Kalau popularitas itu terjadi dengan sendirinya. Sifat media itu jahat, dalam pengertian itu tadi. Ada demonstrasi, kita akan wawancara yg demonstrasi, tapi karena wartawannya bodoh, kalo gak ketemu ketuanya, ya korlapnya, kalo gak ketemu korlapnya, ya yang ikut demo, kalo ga ada ya yang gak ikut demo juga diwawancara. Ini sifat media, ”semua media” melakukan itu, ada yang bisa tepat ada yang gak.

P : Jika media memang jahat dalam konteks itu, kita lihat banyak pelanggaran terhadap privasi maupun hak privasi, termasuk juga pelanggaran terhadap etika dan logika. Apa itu satu bentuk kejahatan? AA : Saya tidak berani mengatakan itu kejahatan, tapi itu adalah kebablasan

dalam hal-hal tertentu. Seperti contoh: seorang artis yang tidak tahu juntrungannya, tiba-tiba ditanya bagaimana rasanya jadi wanita panggilan. Ya kalau saya pasti marah. Realitas ini yang ada. Ketika ditanya : lha kok kamu bisa mengatakan itu? Ya, menurut siA begitu, tapi apakah dia punya data? Kalau enggak kan ngacau, bisa dikatakan memfitnah, menuduh, apa saja.

P : Dari sudut pandang teman-teman wartawan atau pekerja infotainment, apakah benar ada perubahan etika berkomunikasi?

AA : Kalau mereka itu lebih kepada bisnis. Wartawan infotainment itu “kasian”. Realitas di lapangan mereka hanya dibekali kamera, kalau berita mereka dimuat ya dapet duit, kalo nggak ya enggak. Ini kemudian lebih memacu mereka berlomba lomba. Unsur kedua, karena lowongan kerja, semua orang butuh kerja, ijasah, keahlian dan lain-lain gak ditanyakan, dasar-dasar jurnalistik gak ditanyai, yang penting bisa ambil gambar dan berani.

P : Jadi berarti kalau seperti itu, yaitu ketika bicara industri dan cara mereka bekerja, apa itu bukannya ciri-ciri kapitalisme?

AA : Sangat, sekarang ini sudah semakin begitu cerminannya. Semua rumah produksi menjadi bagian dari mereka. Perusahaan perusahaan (PH) yang dulu independen sekarang sudah menjadi inhouse production. Sudah jadi milik mereka (Stasiun TV) semua, baik sahamnya maupun permodalannya.

P : Saya dengar ada informasi, ternyata paket-paket dulu yang merintis PH yang menggarap PH untuk menyuplai stasiun karena stasiun gak punya acara tapi airtime-nya banyak, kemudian mereka setelah tahu segala selahnya, terus diambil alih semua sampai 80% ditangani sendiri? Apa betul itu?

AA : Betul itu, apalagi infotainment, karena harganya murah. Mereka bisa jalan sendiri. Berita begitu banyak, gratis, semua datang dengan sendirinya, orang kawin cerai banyak, selingkuh ada terus. Itu dari dulu ada. Ada teori saya, nilai-nilai di artis dan kontranya nilai-nilai di masyarakat. Pada satu titik tertentu misalnya artis ini kawin cerai atau kawin lagi dengan isteri orang, atau meninggalkan isterinya, dsb., ini sepertinya biasa untuk artis. Tapi masyarakat ternyata tidak mendukung tata nilai itu, sehingga mereka berbekal pada tata nilai yang sama dan memusuhi itu. Itu yang terus menerus kenapa masyarakat suka berita itu, karena itu, dan memojokkan.

Masyarakat kita masih permisif banget dan bahkan sangat possessif dengan tata nilainya. Yang benar orang bebojoan (berumahtangga) itu gini, udah titik. Maka ketika ada proses berbeda yang terjadi di artis, seperti meninggalkan isterinya, maka mereka menolak. Menolak dalam artian sikap, menolak dalam artian cara-cara yang mereka lakukan antara lain dengan mencari berita tsb. Seperti Aa Gym, kurang apa sih dia? Dari segi pendapat dia, dari segi agama, semestinya tidak ada soal kan, tapi masyarakat ternyata menolak. Mungkin karena masyarakat merasa memiliki.

P : Laporan aduan ke KPI tentang konten acara selama tahun 2009, ada sekitar 8000 ribu sekian, tetapi hanya163 terkait infotainment, dan yang terkait konten hanya 71 kasus aduan, apa itu menandakan masyarakat sudah jenuh atau bisa menerima?

AA : Tidak, saya melihatnya itu lebih kepada kasus. Mungkin jenuh, tetapi itu per-kasus. Misalnya kembali lagi ke kasus Luna, masyarakat tidak mengeluhkannya ke KPI, tapi ke yang lain. Infotainment menurut saya tetap per-kasus, yang lainnya seperti perijinan, program, dsb. Masyarakat masih soal-soal hukum.

P : Kira-kira kita perlu undang-undang privasi gak?

AA : Perlu. Itu sebenarnya udah ada, tinggal penerapannya. Seperti artis kalau sudah masuk rumah, di dalam pagarnya, gak boleh dikejar. Kalau mau wawancara harus jarak berapa meter, kalau artis sudah jawabno comment, gak boleh didesak. Soal artisnya bodoh dsb itu soal lain, tapi itu yang harus di patuhi. Kan sederhana saja soal privasi dan non privasi.

P : Kalau dari artisnya sendiri yang mengungkap? AA : Itu gak apa-apa karena itu kemauan dia.

P : Jadi disitu berarti pergeseran nilainya?

AA : Iya. Karena yang terjadi sekarang ini, dimulai tahun 93an atau 95an. Seperti istrinya Ahmad Albar mengadakan konperensi pers dia bilang minta cerai, itu artisnya sendiri sebagai sumbernya yang mempublikasikan. Nah itu benar teori anda. Mempublikkan privasinya. Tentunya banyaklah faktornya.

P : Sebagai budayawan yang sangat konsen terhadap budaya Indonesia baik lokal maupun nasional atau global, apa harapan anda, terutama acara tsb?

AA : Mereka memberikan informasi minimal, gambaran sesaat. Kenapa si A cerai dengan si B. supaya masyarakat bisa ngerti. Ini yang tidak pernah disimpulkan oleh infotainment, jadi ramenya saja.

P : Dia bicara situasi, fakta yg seolah olah realitas ataupun yang bukan realitas?

AA : Mestinya harus ada realitas yang sebenarnya , apapun bentuknya nanti, itu yang harusnya diungkap.

P : Apakah masyarakat kita dengan kondisi seperti itu, maka jika mengacu pada teorinya Sigmund Freud dari sisi psiko-analisis gimana menurut anda?

AA : Pasti iya, karena kita belum punya teori lain selain dari yang ada, yaitu cuma pengaruh sedikit dari itu.

P : Ada yang berpendapat infotainmentbisa jadi akan berubah menjadi infreudtainment?

AA : Ha..ha..ha..ha.., ya..ya.., bisa saja.

P : Kalau dilihat sebenarnya sebagian besar acara infotainment kan sudah mulai bagus, bagaimana?

AA : Ada beberapa yang bagus, seperti Kabar-Kabari, lumayan, atau hanya itu, tidak berlebihan, konsisten. Selalu punya data dan fakta.

P : Apa prinsip bedanya newstainment dgn infotainment?

AA : Prinsipnya, newstainment berdasarkan data dan fakta, dia harus berangkat dari situ. bukan dari informasi atau kabar burung. Dia bekerja dengan itu. Misalnya dia dengar Arswendo selingkuh, dia tahu dan dia harus punya data dan fakta, bukan hanya katanya atau kabar-kabarnya, nah itu bisa fitnah.

P : Apakah ini semacam bentuk eskapisme? Baik masyarakatnya maupun kalangan selebritis ketika memanfaatkan infotainment sesuai dengan kepentingannya?

AA : Kalau saya melihatnya, mereka masih punya tata nilai sendiri. Eskapisme kalau dari jenis infotainment kurang, kalau dari film atau sinetron iya. Kalau infotainment semata mata industri, sangat industri.

P : Jadi kalau PBNU pernah memfatwakan infotainment ghibah karena banyak mempergunjingkan aib orang, bagaimana pendapat anda?

AA : Itu rumusannya bagus, tapi secara operasional tidak bisa jalan. Kita kan belum tau berita ini nantinya akan mengganggu atau tidak. Jadi bagaimana kita bisa menilainya? Apakah berita itu memfitnah atau tidak, bagaimana kita tahunya sebelum terbukti? Menurut saya sebagai retorika menarik, tapi sampai sekarang juga nggak bunyi. Urgensinya tidak ada, bagaimana bisa mengatakan bahwa berita itu menjelek-jelekkan seseorang? Berita itu mestinya ada anehnya seperti orang menggigit anjing. Nah kalau ini artis ulang tahun, itu sih biasa saja. Tapi misalnya, artis ulang tahun ditempat yatim piatu, itu menarik. Tapi kalau artis ulang tahun di tempat yatim piatu, tapi dia sedang kena kasus, nah itu berita.

P : Jadi memang ada yang berpendapat bahwa perubahan nilai itu ada yang positif dan ada yang negatif. Kemudian apa yang dilakukan artis kemudian diangkat oleh infotainment tidak semuanya jelek, ada juga yang positif. Tinggal dari sisi mana kita melihatnya. Tetapi kadang- kadang kalau sudah kehabisan ide atau materi lantas nabrak-nabrak, itu gimana?

AA : Nah itu kembali kepada masing-masing. Dan lagi kalau misalnya kru pulang tanpa berita lalu gimana? Udah gak dibayar, capek, bisa kena sanksi. Nah yang begitu yang membuat mereka bisa nabrak-nabrak, dalam pengertian sokur-sokur ada peristiwa apa gitu sih lumayan, kalau gak ada ya artis belanja, atau artis nginep dimana ya disyut, dibikin tema-tema begitu.

P : Kalau ditingkat infotainment sendiri, bagi penyiarnya terutama, ada enggak sih arahan atau training bagaimana tampil bagus?

AA : Setahu saya gak ada. Yang penting bisa tampil, cantik. Mereka disuruh improvisasi sendiri, bahkan ada yang bicaranya seperti: “apakah…!! (menirukan gaya penyiar infotainment dengan penekanan kata yang tinggi).

P : Menurut anda ada yang salah enggak sih pada infotainment?

AA : Salahnya karena ini tradisi baru. Dan saya tidak menyalahkan. Kalau media cetak itu sudah punya tradisi, dari jaman sebelum zaman perang sudah ada. Untuk media cetak, mana yang haram dan mana yang halal, mana yang boleh dan mana yang tidak, itu mereka sudah punya, sudah ada. Di infotainment itu belum ada, seperti dalam hak privasi. Mereka mengejar-ngejar narasumber sampai akhirnya berantem. Nah ini karena kita tradisi baru. Mestinya orang yang mau diwawancara didatengi udah, selesai, karena mereka udah tahu.

P : Jadi dengan alasanthe public’s right to knowatauthe right of expression yang kemudian bertentangan denganthe right of protectionatauthe right to let alone. Jadi di infotainment, semakin artis menghindar, semakin dikejar-kejar. Tapi ada juga yang artisnya memang sengaja untuk mempromote dirinya.

AA : Ya, tapi itu kalau ada kasus. Artis dan infotainment ada yang saling memudahkan, saling membutuhkan, juga untuk promosi. Artisnya begitu, dan infotainmentnya juga perlu materi.

P : Kalau dari sisi moralitas? Bagaimana menurut Pak Wendo?

AA : Agak susah. Kalau dari sisi moralitas pasti semakin bergeser. Tapi tetap ada nilai-nilai positif yang dimiliki masyarakat. Itu kuncinya.

P : Tapi untuk masyarakat di pedesaan sepertinya masyarakatnya jadi kecanduan?

AA : Nah itu. Karena informasi mengenai pertelevisian itu masih sangat kurang ke masyarakat, sosialisasinya boleh dikatakan tidak ada. Misalnya, Reality show, itu harusnya kan Reality TV. Masyarakat menangkapnya seperti itu, padahal kan adegan-adegan itu kan direkayasa, disutradai. Hidden camera itu sebenarnya bukan hidden camera, tapi pura-pura hidden camera.

P : Padahal kalau di negara-negara lain, hidden camera itu ada yang dilarang, harus ada prior consent atau izin lebih dahulu dari ybs. Kalau gak ya bisa dituntut. Kalau di Indonesia tidak ada. Lantas seberapa efektif sih P3SPS dari KPI?

AA : Sampai sekarang kalau KPI saja gak punya giginya.

P : Ya, itu kan setelah MK memutuskan perkara Judicial Review yang diajukan oleh beberapa kalangan karena ketakutan kalau KPI nantinya akan jadi Deppen seperti zaman dulu. Jadi walaupun hanya satu Pasal yang diubah, tapi kan menyangkut banyak Pasal-Pasal lainnya. Padahal cita-citanya dulu, KPI itu diinginkan seperti FCC di AS.

AA : Ya, kalau KPI seperti FCC itu bagus. Contohnya, tentang pornografi, mau menindak tapi belum punya pegangan yang pasti mana yang porno mana yang bukan. Misalnya dibuat tulisan yang besar-besar tentang skandalnya, itu porno apa gak? atau dikasih lihat cuplikan adegan hubungan pornonya, ya sudah jelas itu pelanggarannya. Kalau adegan di ranjang dengan pakaian lengkap, itu ya nggak apa-apa. Nah kelemahan KPI disini, selain itu juga secara finansial juga berat.

P : Kalau misalnya orang berselingkuh apa tidak boleh diberitakan, masalahnya kan bagaimana menyampaikan berita tsb.

AA : Dan bagaimana cara mendapatkan beritanya, berkaitan dengan etikanya mungkin disitu.

P : Kalau dibandingkan dengan Talk show, dan acara-acara sejenis, kan hampir semuanya mengikuti infotainment. Jadi seolah-olah isinya sama, cuma judulnya saja yang berbeda. Padahal formatnya mestinya berbeda juga.

AA : Nah itu variasi dari dinamika, itu menurut saya lebih bagus. Jadi ada varian-varian, pakai toping, yang ini topingnya apa yang itu apa, dsb, soal isinya sama iya, Cuma disana pakai cara apa, yang lain topiknya apa. Jadi kembali lagi ke bisnis tadi.

P : Yang menarik adalah informasi yang menyatakan bahwa dulu infotainment itu didominasi oleh PH, tetapi sekarang tinggal beberapa saja yang masih bertahan. Sementara sampai 80% produksi dikuasai oleh inhouse production. Itu trend apa?

AA : Itu trend yang tahun 70-an terjadi di Amerika. Tapi sebelum itu di Amerika tidak, baru tahun 76-an atau 75, dan tahun 77 mereka sudah tidak lagi, dilepas lagi. Hanya 5 tahun itu. Kenapa? Karena ide-ide seperti sinetron, dsb itu gak bisa ide-ide itu berasal dari mereka terus, karna akan menghasilkan keseragaman. Ide-ide yang dihasilkan stasiun sekarang dapat terlihat sama, karena orang-orangnya itu-itu saja, pindahan dari stasiun lain.

P : Jadi industri TV dan radio itu sifatnya oligopoly, walaupun beda stasiun tapi satu kelompok. Kapitalisnya di situ?.

AA : Ya itu kapitalisme tadi, misalnya Trans-Corp Group, MNC, dll.

P : Dari pihak PH sendiri, ada beberapa kelompok yang masih mampu bertahan bersaing dengan in house production, menurut anda bagaimana?

AA : Sebenarnya sampai sekarang ini, hampir tidak ada yang murni in house, gak ada, tapi kerjasama. Kerjasamanya itu bukan hanya.. misalnya nanti kamu ngeditnya di mana..? Apakah tertulis atau tidak, gak tahu. Tapi ada pembagian tugas, nanti kamu yang ini, ini, dsb. Bahkan sampai sikap, policy.

P : Apakah karena kejar tayang maka mengurangi newsvalue-nya? Untuk infotainment apakah info-nya itu yang value-nya itu berkurang?

AA : Saya rasa tidak. Itu karena kesulitan kita aja. Tinggal mau dari angle mana ngambilnya. Yang mana mau dibahas. Tapi kembali ke pengaruh tadi, pengaruh kenapa in house seperti yang saya katakan tadi. Sekarang kalau kita ketemu kasus-kasus yang tertentu, misalnya Halimah menabrakkan mobilnya di rumah Maya. Kita bisa tahu segera. Mana media yang muat itu dan mana yang enggak. Kalau itu maka independensinya production

house nggak ada. Kalau afiliasinya ke RCTI udah pasti berita itu nggak ada. Ketika pesawat Lions mau dibeli atau Lions jatuh di Jogja itu ya nggak ada beritanya.

P : Ya itu pengaruhownersangat besar?

AA : Ya itu kapitalisme, itu sudah menjadi isme, menjadi suatu pendekatan, menjadi sistim yang berlaku. Kalau industri tahu betul hal itu. Seperti masalah Lapindo, atau anaknya Bakrie kawin masuk di infotainment, tayangannya beda. Itu sebabnya saya berpendapat bahwa nggak ada rumah produksi yang murni.

P : Tapi seperti acara Kabar Plus Plus misalnya, walaupun yang diceritakan tentang kemiskinan, tentang kesulitan masyarakat kan terhibur juga. AA : Ya seharusnya pengusahanya kurang lebihnya ya seperti itu, kalau itu dari

awal syarat saya itu kita memihak ke masyarakat atau kalau saya ngomongin persis tentang Lapindo, atau waktu itu bukan Lapindo, tapi