• Tidak ada hasil yang ditemukan

---

HARI : KAMIS

TANGGAL : 24 JUNI 2010 JAM : 18:00 – 18:30 WIB

TEMPAT : STUDIO 5 TVRI SENAYAN JAKARTA

---

P : Apa pendapat anda tentang acara infotainment? Apakah benar disana telah terjadi pergeseran nilai budaya yang dilakukan oleh para pesohor atau figur- figur yang diliput?

RT : Saya melihatnya ada suatu pergeseran nilai dimana status sosial seseorang menjadi penting dan menjadi sesuatu yang dibutuhkan. Sepertinya masyarakat jadi butuh, butuh berita atau informasi tentang orang-orang dengan status sosial diatas. Dan saya pikir ini menjadi suatu pendangkalan masyarakat terhadap informasi-informasi yang sebenarnya tidak punya dampak publik terhadap masyarakatnya. Ini penting menurut saya ini adalah peninabobokan masyarakat terhadap apa ya, mereka menjadi terlena bahwa informasi-informasi yang sebenarnya tidak penting menjadi begitu penting dan menjadi harus tahu gitu lho.

Ada etika-etika yang tidak sesuai, banyak logika-logika yang saya kira tidak bisa menjadi parameter untuk kebijakan publik. Ambil contoh tadi, “bad news is a good news”. Saya pikir itu adalah logika yang dimiliki oleh orang TV saja. Karena ada adagium uang, mereka juga ada adagium-adagium lain, katanya kan masyarakat kan yang meminta, intinya semisal ada kasus mereka berkata : ‘Toh selama kami tidak melanggar hukum kan tidak masalah?”

Artinya bahwa hukum dibawah etika, kan harusnya etika dibawah hukum. Tapi kadang-kadang hukum tidak mengakomodasi itu, tapi saya pikir itu standar, atau naluri dasar manusia itu secara etika mengerti bahwa ini baik atau tidak bagi masyarakat.

P : Jadi ketika media merekonstruksi realitas sosial yang ada di masyarakat, itu hanya berdasarkan perspektif mereka sendiri begitu?

RT : Iya, mereka pakai parameter atau logika mereka sendiri. Mereka tidak punya data, mereka tidak pernah survey, terus data yang mana yang mereka pakai? Akhirnya mereka pakai asumsi-asumsi yang dibuat seolah itu adalah kemauan atau kebutuhan masyarakat, padahal itu asumsi pribadi, logika mereka pribadi.

P : Nah apakah itu bukan karena pengaruh industri dan faktor ekonomi atau karena untuk popularitas artisnya, dan ini suatu bentuk kapitalisme?

RT : Ya, yang menjadi dasar utama adalah adagium uangnya itu. Karena ada uangnya, mereka melakukan eksploitasi sebesar mungkin untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

P : Nah kalau kita lihat kan pengaduan masyarakat ke KPI tentang infotainment itu kan kecil sekali, nah ini apakah karena masyarakat sudah jenuh atau memang budaya itu sudah bergeser.

RT : Saya kira masyarakat belum tahu sisi buruk acara infotainment artinya belum melek media saja. Mereka belum memperhatikan bahwa acara infotainment itu harusnya bagaimana sih. Mestinya mereka bisa melihat sisi-sisi kebaikan artis seperti bagaimana mereka berkarya dan berproses, tapi bukan sisi kehidupan pribadinya saja, bukan itu. Saya pikir masyarakat belum tahu tetapi yang jelas mereka tidak sadar bahwa dengan pengemasan yang baik mereka ada dalam proses pembuaian.

P : Jadi yang banyak dikupas oleh infotainment kan masalah privasi ya, sehingga tidak jelas batas antara ruang privasi dengan bukan ruang privasi. Sebagai ajang

promosi artis, dan ini kan kembali kepada perilaku atau gaya hidup yang berubah baik karena teknologi atau karena tuntutan itu tadi. Benarkah?

RT : Kembali kepada adagium lagi dari kerja infotainment yang seperti itu, artinya bahwa mereka adalah figur publik yang layak dikuras untuk masukan dia semaksimal mungkin. Ini yang mereka (pekerja infotainment) juga tidak tahu mana yang publik mana yang privat. Seperti tokoh-tokoh publik karena mereka yang punya keterkaitan langsung dengan kepentingan publik, ada uang negara disana, pokoknya ada terkait kepentingan publik, seperti contoh di Filipina, ada petinggi atau pejabat yang berselingkuh, punya istri simpanan, tetapi media setempat tidak langsung mengangkat dia sebagai berita, karena media melihat ini sebagai public figure atau bukan. Tetapi setelah memang diketahui bahwa isteri simpanannya berada di rumah dinasnya, baru diblow upke publik.

Kembali ke masalah privasi tadi, karena mereka (media) tidak sadar bahwa artis bukan tokoh publik atau bukan figur publik yang patut kita pertanyakan perannya karena mereka (artis) tidak punya dampak terkait kebijakan publik. Kalau tidak diungkapkanpun tidak apa-apa, dan mereka masih bisa hidup.

P : Jadi kalau memang telah terjadi pergeseran nilai budaya tadi, menurut anda lebih kearah positif atau negatif?

RT : Lebih banyak ke negatifnya. Kalau tidak negatif maka kami (Maksudnya: Masyarakat Anti Program Televisi Buruk) tak perlu muncul.

P : Kalau dari LSM anda sendiri apa sebenarnya maksud tujuannya?

RT : Pada awalnya kami berniat hanya sebatas iseng-iseng, dalam artian karena kami melihat ternyata Face Book bisa dipakai sebagai alat untuk menghimpun opini masyarakat dan dapat melakukan tekanan publik. Kita ambil contoh beberapa peristiwa demikian. Kami melihat potensi itu dapat digunakan untuk mengkritisi siaran buruk televisi dan akhirnya kami pakai FaceBook untuk menggalang dukungan untuk menggerakkan itu. Tadinya awalnya hanya untuk memberikan tekanan publik, belakangan setelah kami rapat bahwa tekanan publik saja tidak

cukup, karena ketika industri siaran TV tumbangpun atau tayangan-tayangan cengeng tumbangpun, publik yang sudah terdidik seperti ini susah untuk dibangun kembali. Jadi yang penting bagaimana publik melek media, sehingga kami tidak hanya fokus pada masalah tekanan publik terhadap media tapi juga masalah edukasi melek media terhadap masyarakat.

Kami ingin memberikan pelajaran bahwa kami (masyarakat) punya kendali terhadap media, media hidup kan karena kami (masyarakat). Maka ketika media tidak lagi memikirkan kami dalam kerja mereka, maka anda (media) layak kami buang seperti tidak dibaca atau tidak ditonton.

P : Baik Bung Roy, sementara ini saja dulu, terima kasih atas waktu anda.

---bw---

Catatan Peneliti:

~ Wawancara berlangsung di Lobby Gedung Pusat Produksi dan Siaran (GPPS), sambil berdiri, cukup serius;

~ Informan baru selesai dialog acara Talkshow Minggu Malam Bersama Slamet Rahardjo;

~ Informan menyatakan dirinya sebagai Koordinator Masyarakat Anti Program Televisi Buruk, yang bergerak melalui jaringan FaceBook.

~ Meskipun waktunya sangat terbatas, namun Informan sangat antusias membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar topik penelitian.

~ Informan juga sangat responsif membalas permintaan peneliti untuk wawancara penelitian, walaupun ditemui mendadak pada saat selesai rekaman di Studio, dan siap dihubungi sewaktu-waktu diperlukan.

LAMPIRAN 17