• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802010048 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802010048 Full text"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENDAHULUAN

Saxton (1968) menyebutkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah ketika pasangan suami istri melibatkan satu sama lain dalam memberi respon untuk suatu kebutuhan yang diterima. Tetapi, bila salah satu pasangan hanya mampu menyesuaikan diri dengan dirinya saja tanpa melibatkan pasangannya maka akan merugikan penyesuaian pasangannya tersebut.

Mulyono (2012) mengatakan bahwa salah satu kondisi yang mempersulit penyesuaian perkawinan adalah perkawinan antara pasangan yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, termasuk perkawinan antar etnis. Menurut Hurlock (1997 dalam Mulyono, 2012) bahwa proses penyesuaian yang baik mungkin akan sulit diperoleh bagi pasangan yang berbeda etnis, agama dan latar belakang sosial karena pasangan seperti ini biasanya mempunyai perbedaan minat, nilai dan bingkai rujukan. Asimilasi

dalam perkawinan campuran yang disampaikan oleh Soekanto (1990) berguna untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang dianut. Salah satu bentuk asimilasi adalah perkawinan campuran (amalgamation).

(2)

sebagian masyarakat Cina yang dipukul mundur tersebut bergabung dengan masyarakat Cina lainnya yang sudah datang lebih dahulu dan sebagian lainnya menikah dengan wanita Dayak.

Walaupun sudah disebut-sebut adanya hubungan yang saling timbal balik antara etnis Tionghoa dan Dayak, tetapi tentu keduanya memiliki perbedaan budaya mengenai kehidupan perkawinan. Menurut Mulyono (2012), perkawinan pada tradisi Cina melibatkan keluarga besar, sehingga pada tradisi Cina orangtua berperan penting dalam pengaturan perkawinan anak-anaknya. Pada generasi tua masyarakat Tionghoa, perkawinan diperuntukkan untuk keluarga bukan untuk diri sendiri, termasuk untuk meneruskan

clan-nya (Hariyono, 1994). Walaupun demikian, Hariyono (1994) mengatakan bahwa ada pergeseran mengenai pendapat tersebut walau masih ada peranan penerusan clan. Sementara itu, menurut Andasputra (2011) pada etnis Dayak kekerabatan itu sangat penting terutama untuk kepentingan musyawarah (pembagian warisan dan hubungan perkawinan). Selain itu, masyarakat Dayak tidak mengenal adanya penurunan clan, karena masyarakat Dayak tidak mengenal sistem kekerabatan matrilineal atau patrilineal (Andasputra, 2011). Keluarga memainkan peranan yang penting dalam perkawinan agar tidak terdapat silsilah hubungan keluarga antar pasangan yang hendak menikah.

(3)

yang cukup mampu bersama-sama menyepakati nilai masing-masing etnis namun ada juga yang tidak.

Hurlock (1996) mengatakan bahwa studi menekankan kesulitan penyesuaian perkawinan yang hampir tidak terelakkan bila suami dan istri mendidik anak di rumah di mana pola keluarganya berbeda. Selain itu, Hurlock (1996) mengatakan bahwa salah satu dari faktor sulitnya penyesuaian perkawinan adalah perkawinan campuran.

Lasswell (dalam Purgiyastuti, 2008) mengatakan bahwa faktor-faktor yang dapat memengaruhi penyesuaian perkawinan

yaitu, latar belakang budaya dan kebiasaan, sikap beragama, kematangan emosi, kerukunan, cara pengambilan keputusan, dan usaha saling menghargai. Menurut Walgito (2000), kematangan emosi dan pikiran akan saling kait-mengait. Bila seseorang telah matang emosinya, telah dapat mengendalikan emosinya, maka individu akan dapat berpikir secara matang, berpikir secara baik, berpikir secara objektif.

Saxton (1968) mengatakan bahwa kegagalan hubungan perkawinan tersebut disebabkan oleh salah satu dari sekian banyak faktor kegagalan, yaitu ketidakmatangan emosi pasangan tersebut. Apalagi kedua pasangan berasal dari latar belakang individu yang berbeda, baik itu ekonomi dan etnis (heterogenomy), dengan nilai yang berbeda-beda dan mereka bawa pada perkawinan, kedua pasangan diharapkan mampu untuk saling menyesuaikan (Saxton, 1968).

(4)

penilaian diri sendiri dalam kematangan emosi berhubungan secara positif dengan penyesuaian pernikahan untuk korelasi antar suami (0, 28) dan antar istri (0,35) dan bahwa pada pengukuran kematangan emosi antar pasangan suami-istri berhubungan lebih kuat secara positif untuk para istri (0, 55). Berbeda dengan Purgiyastuti (2008) yang menemukan bahwa adanya hubungan yang positif dan signifikan antara kematangan emosi dengan penyesuaian perkawinan, korelasi yang ada (0, 805). Walaupun demikian, ada perbedaan yang ditemukan oleh Mulyono (2012) pada penelitian perkawinan beda etnis Tionghoa- Jawa. Mulyono (2012)

menemukan bahwa faktor adat-istiadat, ekonomi, agama, dan pemukiman menjadi faktor penting dalam penyesuaian perkawinan beda etnis sementara penelitian lain menekankan bahwa kematangan emosi menjadi faktor yang berpengaruh dalam penyesuaian perkawinan.

Itulah sebabnya Penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul “Hubungan antara kematangan emosi dengan

penyesuaian perkawinan beda etnis Tionghoa-Dayak di Kalimantan Barat?”

LANDASAN TEORI

Penyesuaian Perkawinan Beda Etnis

(5)

Pengertian Perkawinan Beda Etnis

Pengertian perkawinan beda etnis adalah bersatunya dua orang sebagai suatu ikatan dan komitmen legal yang mengandung tujuan bersama membentuk suatu kehidupan rumah tangga dan keluarga bahagia untuk saling berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagi tanggung jawab, dan sumber pendapatan tetapi dengan latar belakang pasangan yang berbeda golongan manusia menurut kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan.

Etnis Dayak

Djuweng dan Krenak (2010) menyatakan bahwa Dayak adalah nama kolektif yang kemudian membentuk sebuah label etnik untuk menyebut kira-kira 450 suku asli non muslim yang mendiami pulau Kalimantan (Borneo).

Etnis Tionghoa

Coppel (1994) menyebutkan bahwa orang Tionghoa di Indonesia didefinisikan sebagai orang keturunan Tionghoa yang berfungsi sebagai warga negara atau berpihak pada masyarakat Tionghoa dan dianggap oleh orang pribumi Indonesia sebagai orang Tionghoa sehingga mendapatkan perlakuan tertentu sebagai akibatnya.

(6)

a. Latar belakang budaya dan kebiasaan

Mulyono (2012) menjelaskan bahwa persamaan latar belakang budaya antara suami dan istri merupakan hal yang baik, sedangkan jika terdapat perbedaan latar belakang yang cukup besar maka hal tertentu ini dapat menyulitkan penyesuaian dalam pernikahan.

b. Sikap beragama

DeGenova (2005) memaparkan mengenai sikap beragama sebagai penyesuaian dalam perkawinan yaitu

dapat menerima dengan baik keyakinan beragama pasangannya juga mengamalkan ritual keagamaannya.

c. Kematangan emosi

Kematangan emosi dan pikiran akan saling kait-mengait. Bila seseorang telah matang emosinya, telah dapat mengendalikan emosinya, maka individu akan dapat berpikir secara matang, berpikir secara baik, berpikir secara objektif (Walgito, 2000)

d. Kerukunan

(7)

e. Cara Pengambilan Keputusan

DeGenova dkk (2005) menerangkan bahwa pengambilan keputusan ini adalah suatu usaha sebagai tugas dari perkawinan.

f. Usaha Saling Menghargai

Usaha saling menghargai yang dimaksud adalah bila individu menyesuaikan moral, nilai, etika, keyakinan, filosofi dan tujuan hidup pasangannya.

Hal Penting bagi Kebahagiaan Perkawinan

Menurut Hurlock (1996) empat pokok yang paling penting bagi kebahagiaan perkawinan adalah:

a. Penyesuaian dengan pasangan

Bagaimanapun juga dalam kasus perkawinan, hubungan interpersonal jauh lebih sulit untuk disesuaikan daripada kehidupan bisnis, sebab dalam perkawinan terdapat kerumitan karena ditimbulkan faktor kehidupan individual.

b. Penyesuaian seksual

(8)

c. Penyesuaian keuangan

Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyesuaian perkawinan. Penyesuaian keuangan sangat penting dilakukan untuk menghindar dua hal yang kemungkinan akan terjadi. Pertama, adanya percekcokkan yang terjadi karena istri berharap suami dapat menangani bagian dari tugasnya. Kedua, untuk menunjukkan bahwa mereka adalah keluarga yang berhasil maka mereka membeli harta benda untuk meningkatkan mobilitas sosial

sebagai keluarga yang berhasil.

d. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan

Dengan perkawinan, setiap orang dewasa akan secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga. Mereka itu adalah anggota keluarga pasangan dengan usia yang berbeda-beda, yang kerapkali mempunyai minat dan nilai yang berbeda. Bahkan seringkali sangat berbeda dari pendidikan, budaya, dan latar belakang sosialnya.

Komponen Penyesuaian perkawinan Beda Etnis

Menurut Spanier (1976), komponen penyesuaian pasangan dalam perkawinan adalah:

a. Kepuasan antar pasangan (Dyadic Satisfaction)

(9)

b. Kohesivitas antar pasangan(Dyadic Cohesion)

Dyadic cohesion atau kedekatan hubungan adalah kebersamaan atau kedekatan, yang menunjukkan seberapa banyak pasangan melakukan berbagai kegiatan secara bersama-sama dan menikmati kebersamaan yang ada.

c. Konsensus antar pasangan (Dyadic Consensus)

Dyadic Consensus adalah kesepahaman atau kesepakatan antar pasangan dalam berbagai masalah dalam

perkawinan seperti keuangan, rekreasi, keagamaan.

d. Ekspresi efeksi (Affectional Expression)

Affectional expression atau ekperesi afeksi adalah kesepahaman dalam menyatakan perasaan dan hubungan seks maupun masalah yang ada mengenai hal-hal tersebut. Bagi beberapa orang tidak mudah untuk membiarkan orang lain mengetahui siapa mereka, apa yang mereka rasakan atau apa yang mereka fikirkan.

Kematangan Emosi

Pengertian Kematangan Emosi

Coleman (dalam Saxton 1968) mendefinisikan kematangan emosi meliputi dua kali kesadaran: kesadaran akan kebutuhan dan nilai diri sendiri, juga kesadaran dan nilai orang lain maupun masyarakat yang lebih luas.

(10)

pengertian, memiliki toleransi yang baik, bertanggungjawab, mandiri, tidak mudah frustrasi.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi adalah satu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional yang ditunjukkan dengan kesadaran akan kebutuhan dan nilai diri sendiri dan juga orang lain, berpikir secara obyektif, tidak bersifat impulsif, mengontrol emosi dengan baik, bersikap sabar dan penuh pengertian, memiliki toleransi yang baik, bertanggungjawab, mandiri, tidak mudah frustrasi.

Komponen-komponen kematangan emosi

Menurut Dean (1966), komponen dalam kematangan emosi meliputi komponen di bawah ini:

a. Ability to handle Stress

Individu yang emosinya sudah matang, ditandai dengan kemampuannya menangani stres dalam kehidupan sehari-hari tanpa ketegangan yang tidak pantas.

b. Ability to handle Anger

(11)

c. Healthy relationship with Authority

Individu yang sudah matang emosinya dapat menerima suatu wewenang tetapi tidak bergantung pada wewenang tersebut.

d. Integration

Individu menyatu dengan filosofi hidup dan mood-nya. Apa yang dipikirkan individu tersebut tampak sejalan dengan perasaan yang dimunculkan oleh individu tersebut.

e. Self control

Individu yang sudah matang emosinya dapat melakukan kontrol diri yang baik. Individu dapat menyeimbangkan dirinya, mengatur emosi, maupun perilakunya.

f. Judgement

Individu yang matang emosinya memiliki penilaian yang baik. Individu akan memberikan penilaian secara objektif, tidak memihak.

g. Heterosexual relationship

(12)

h. Attitude toward learning

Sudut pandang individu lebih terbuka. Individu memandang masalah dari berbagai sisi oleh karena pembelajaran yang ia dapatkan sepanjang hidupnya. Dia sudah memiliki perilaku yang terbuka terhadap pembelajaran, misalnya: “He is teachable”.

i. Intelectual maturity

Individu yang sudah matang emosinya sudah mencapai level “dewasa” dari kematangan intelektual.

j. Responsibility

Individu menjadi lebih bertanggungjawab atas konsekuensi dari sikapnya ataupun tindakannya.

k. Egocenteredness-sosioceneredness

Individu mulai mengalihkan pikirannya untuk kepentingan sosial daripada memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Pemusatan pikiran tidak semata-mata kepada kebutuhan dirinya, melainkan kepada orang lain juga.

l.Communication

(13)

m. Emotional security

Individu yang sudah matang secara emosi akan memiliki rasa aman secara emosional. Individu tidak akan bergantung sepenuhnya kepada orang lain. Individu akan merasa aman walaupun berjauhan dengan orang dekatnya atau pasangannya.

n. Social poise

Individu yang sudah matang emosinya akan memiliki sikap tenang yang sesuai dengan keadaannya. Individu yang

mampu mengontrol dirinya akan memiliki keseimbangan dalam bersikap sehingga akan menunjukkan sikap tenangnya dalam berbagai situasi.

Hipotesis

H0 : Tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara kematangan emosi dengan penyesuaian perkawinan beda etnis.

H1 : Ada hubungan yang positif dan signifikan antara kematangan emosi dengan penyesuaian perkawinan beda etnis. Jika skor kematangan emosi tinggi, maka skor penyesuaian perkawinan tinggi.

METODE

Metode Penelitian

(14)

2014. Dalam pengambilan data, peneliti juga menjelaskan bahwa angket yang diberikan merupakan pengumpulan data untuk penyelesaian skripsi peneliti.

Pelaksanaan penelitian dilakukan di Provinsi Kalimantan Barat, khusunya Kota Sanggau dan Kota Ngabang.

Partisipan

Jumlah partisipan dalam peneilitian ini yaitu 40 orang yang terdiri dari 20 pria dan 20 wanita, menikah beda etnis Tionghoa-Dayak, bertempat tinggal di Kalimantan Barat.

Prosedur Sampling

Teknik pengambilan sampel atau teknik sampling yang dilakukan adalah non-probability sampling dengan Incidental Sampling. Pengambilan sampel ini dilakukan karena tidak adanya

data terkait jumlah populasi yang akan dijadikan sampel.

Pengukuran

Alat ukur yang digunakan adalah skala kematangan emosi yang penulis buat berdasarkan teori Dean (1966) dan Skala Penyesuaian Perkawinan yang dimodifikasi dari Dyadic Adjusment Scale milik Spanier (1976). Sebelumnya, Skala Kematangan Emosi

telah melalui tahap validitas melalui validitas isi oleh expert judgement (dosen pembimbing utama dan dosen pembimbing

(15)

α=0,904. Koefisien reabilitas Alpha Dyadic Adjusment Scale milik Spanier (1976) sebesar α=0,86 dan Dyadic Adjusment Scale dilakukan telah dilakukan validitas melalui criterion-related validity

dan construct validity. Pada penelitian ini, dilakukan modifikasi skala, uji bahasa, validitas isi dan terjemahan Dyadic Adjusment Scale ke Bahasa Indonesia. Koefisien reabilitas Alpha setelah

dimodifikasi, uji bahasa, validitas isi dan setelah diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahahasa Indonesia melalui Alpha Cronbach

adalah α= 0,924. Semua aitem valid dari 32 aitem dan Nilai α aitem

bergerak dari 0,296 – 0, 834.

Hasil

Melalui uji statistik deskriptif ditemukan bahwa pada variabel kematangan emosi M= 110,25, SD= 20, N=40. Pada variabel penyesuaian perkawinan M= 119,75, SD= 20,44, N=40. Hasil uji analisis diferensial ditemukan bahwa sampel tidak berdistribusi normal, pada variabel kematangan emosi ditemukan sig. 0.150 (p>0.005) dan pada variabel penyesuaian perkawinan ditemukan berdistribusi normal dengan sig. 0.000 (p>0.005). Pada uji linieritas ditemukan sig. .623 dengan F=0,894. Pada uji hipotesis ditemukan rxy = 0,283 dan p= 0,038 (p<0,05) yang artinya H0

ditolak dan H1 diterima.

Pembahasan

Dari hasil uji hipotesis dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi berhubungan positif dengan penyesuaian perkawinan (rxy= 0,283) dan signifikan yaitu p= 0,038 (p<0,05 one

(16)

emosi maka penyesuaian perkawinan juga semakin tinggi. Penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Purgiyastuti (2008) yang mengatakan bahwa adanya hubungan positif dan signifikan antara kematangan emosi dengan penyesuaian perkawinan, yaitu r = 0, 805 dengan p sebesar 0,000 (p<0,05). Penelitian ini menolak penelitian Mulyono (2012) yang dilakukan secara kualitatif, yang menyebutkan bahwa faktor adat-istiadat, ekonomi, agama, dan pemukiman menjadi faktor penting dalam penyesuaian perkawinan beda etnis.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa variabel kematangan

emosi memberikan sumbangan efektif sebesar 8% terhadap penyesuaian perkawinan. Artinya, ada 92% faktor lain yang memengaruhi seseorang untuk menyesuaikan diri dengan pasangannya yang berlatar belakang beda etnis. Walaupun uji hipotesis membuktikan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan pada variabel kematangan emosi dan penyesuaian perkawinan, namun hubungan tersebut rendah. Santoso (2008) mengatakan bahwa angka korelasi di atas 0,5 menunjukkan korelasi yang cukup kuat, sedangkan di bawah 0,5 korelasi lemah. Hal ini didukung dengan nilai determinasi yang hanya 8% pada variabel kematangan emosi untuk memberikan pengaruh pada penyesuaian perkawinan. Untuk sisanya (100% - 8% = 92%) adalah variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini, misalnya latar belakang budaya dan kebiasaan, sikap beragama, kerukunan, cara pengambilan keputusan dan usaha saling menghargai.

(17)

beda etnis terletak pada kategori tinggi dengan nilai Mean sebesar 110,25 dari nilai kategorisasi 0-175 dengan interval sebesar 35 dan SD= 20. Saxton (1968) mengatakan bahwa pasangan yang berasal dari latar belakang individu yang berbeda, baik itu ekonomi dan etnis (heterogenomy), membawa nilai-nilai yang berbeda sehingga mereka diharapkan mampu untuk saling menyesuaikan agar tidak mengalami keretakan hubungan perkawinan karena faktor ketidakmatangan emosi. Vincent dan Satir (dalam Cole, 1980) menemukan bahwa individu dan kelompok pasangan yang sejahtera secara emosional dalam perkawinan memiliki dampak

yang signifikan untuk mampu menangani tuntutan-tuntutan dari lingkungan sekitar mereka.

Ketidakmatangan emosi membuat individu tidak dapat menghadapi krisis-krisis yang terjadi dalam kehidupan berkeluarga, tampaknya hal inilah yang menjelaskan mengapa pasangan yang menikah saat remaja tidak matang secara emosi (Bartz, Nye, Lewis, Spanier, Otto dalam Cole, 1980). Pada wawancara ketika penelitian dilakukan, peneliti menemukan bahwa 82,5% usia pasangan saat menikah adalah lebih dari 21 tahun. Hal ini dibuktikan dengan nilai rata-rata kematangan emosi pada populasi berada dalam kategori tinggi.

(18)

hormat kepada leluhur, dan pemilihan jodoh atau pasangan hidup sebagai lambang budaya Tionghoa. Etnis Dayak memandang bahwa kekerabatan itu sangat penting terutama untuk kepentingan musyawarah (pembagian warisan dan hubungan perkawinan) (Andasputra, 2011). Hubungan perkawinan yang dimaksud adalah untuk mengatur perkawinan pada etnis Dayak agar tidak terjadi perkawinan yang sumbang atau melakukan perkawinan sedarah hingga pada garis keturunan ke delapan (Andasputra dan Julipin, 2011). Orang-orang Tionghoa menganut sifat patriarikal (Haryono, 1993), sedangkan Andasputra dan Julipin (2011)

menyebutkan bahwa orang dari etnis Dayak tidak menganut sistem mattrilineal atau patrilineal. Sistem kekerabatan berdasarkan ke dua belah pihak secara seimbang (Andasputra dan Julipin, 2011).

(19)

Hal ini didukung dengan kemampuan etnis Dayak yang mampu menyerap praktik kebudayaan dari etnis Cina atau Tionghoa (Djuweng, 2010). Orang Dayak yang lebih terbuka dapat menyerap lebih cepat budaya etnis lain, dalam hal ini apabila pasangannya berasal dari etnis Tionghoa. Selain itu, garis keturunan yang egalitarian (memandag seimbang pihak Ayah dan Ibu) bagi etnis Dayak tidak mempermasalahkan mengenai penerusan clan bagi etnis Tionghoa.

Mulyono (2012) menyebutkan bahwa beberapa faktor yang memengaruhi penyesuaian di dalam perkawinan orang yang

menikah beda etnis antara lain pendidikan dan penyesuaian dengan keluarga. Pada penelitian, 37,5% subjek mengenyam pendidikan SMA/SMK. Selain itu, subjek tidak hanya bergaul dengan keluarga dari dirinya saja, melainkan dengan pihak pasangannya juga. Subjek mengatakan bahwa mereka saling mengunjungi sanak saudara dari pihak pasangannya juga.

Kekurangan dari penelitian ini adalah sedikitnya sampel yang diambil dikarenakan tidak diketahuinya sumber populasi orang yang menikah beda etnis Tionghoa-Dayak di Kalimantan Barat.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Terdapat hubungan yang positif yang ditunjukkan dengan

(rxy= 0,283) signifikansi 0,038 (sig.≤0.05). Hal ini

(20)

2. Kematangan emosi orang yang menikah beda etnis Tionghoa-Dayak rata-rata masuk dalam kategori tinggi yaitu dengan nilai mean 110,25. Penyesuaian perkawinan orang yang menikah beda etnis Tionghoa-Dayak masuk dalam kategori tinggi dengan nilai mean 119,75.

3. Sumbangan efektif (koefisien determinasi) variabel kematangan emosi terhadap variabel penyesuaian perkawinan adalah 8%, faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini yaitu latar belakang budaya dan kebiasaan, sikap beragama, kerukunan, cara pengambilan keputusan dan usaha saling

menghargai sebesar 92%. Saran

Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, peneliti mengajukan beberapa saran bagi:

1. Para Psikolog dan Ilmuwan di bidang Psikologi Perkembangan, Psikologi Sosial dan Budaya agar menggiatkan konseling pranikah pada calon pasangan yang akan menikah beda etnis Tionghoa-Dayak untuk mempertahankan kematangan emosi yang tinggi pada kedua etnis.

(21)

daerah lain misalnya di Kalimantan Selatan atau Kalimantan Timur yang populasi penduduk etnis Tionghoa dan Dayaknya lebih sedikit.

3. Pasangan yang menikah beda etnis Tionghoa-Dayak untuk mempertahankan kematangan emosi yang sudah ada. Selain itu, disarankan agar mempertahankan komponen-komponen penyesuaian perkawinan yaitu kepuasan antar pasangan (dyadic satisfaction), kohesivitas antar pasangan (dyadic cohesion), kedekatan antar pasangan (dyadic consensus) dan

ekpresi afeksi (affectional expresion).

Daftar Pustaka

Andasputra, N & Djuweng, S.(2010). Manusia Dayak Orang Kecil yang Terperangkap Modernisasi cetakan ke Tiga. Pontianak: Institut Dayakologi.

_____________& Julipin, V. (2011). Mencermati Dayak Kanayatn. Pontianak: Institut Dayakologi.

Cole, C.L., Cole, A.L., Dean, D.G.(1980). Emotional Maturity and Marital Adjusment: A Decade Replication. Journal of Marriage and Family, vol. 42, No.3 (Aug., 1980), pp.

533-539.

Coppel, C.A. (1994). Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

(22)

DeGenova, M.K., Rice, F.P. (2005). Intimate Relationship, Marriages, and Families. Sixth Edition. New York: McGraw Hill.

Dean, D.G.(1966). Emotional Maturity and Marital Adjusment. Journal of Marriage and Family, vol. 28, No.4 (Nov., 1966), pp. 454-457.

Hariyono, P. (1993). Kultur Cina dan Jawa; pemahaman menuju asimilas kultrural. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Hurlock, E.B. (1996). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi Ke Lima.Jakarta: Erlangga.

Mulyono, A.S. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Perkawinan Pada Istri Beretnis Cina Yang Mempunyai Suami Beretnis Jawa. (2012). Tesis.(Tidak Diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata.Semarang.

Purgiyastuti, A. (2008). Hubungan Antara Kematangan Emosi dengan Penyesuaian Diri dalam Perkawinan. Skripsi.(Tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga.

Rachmawati, D., Mastuti, E. (2013). Perbedaan Tingkat Kepuasan Perkawinan Ditinjau Dari Tingkat Penyesuaian Perkawinan Pada Istri Brigif 1 Marinir Tni – Al Yang Menjalani Long Distance Marriage. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Volume 02, No. 01.

Saxton, L. (1968). The Individual and the Marriage Family. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, Inc.

(23)

Soekanto, S. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar Edisi keempat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan analisa teknikal belum tentu cocok bagi semua investor, pembaca disarankan untuk melakukan penilaian terhadap diri sendiri mengenai analisa investasi yang cocok dengan

Dari hasil penelitian, persepsi pasien luka diabetik tentang perawatan luka lembab di ASRI Wound Care Center mayoritas berada dalam kategori persepsi baik yaitu sebesar 83,3% &amp;

Semakin pesat dan berkembangnya media informasi, salah satunya media Internet yang banyak menyediakan berbagai macam informasi, maka penulis ingin mencoba membuat situs web Ikan

Alur pencarian solusi dengan algoritma genetika ini adalah dengan menampung semua solusi pada suatu populasi untuk didapatkan solusi yang terbaik pada generasi

Membahas mengenai sistem penjualan yang digambarkan dengan menggunakan Data Flow Diagram (DFD), Entity Relationship Diagram (ERD) dan Normalisasi yang kemudian diimplementasikan

Penggunaan Homepage itu sendiri sangatlah fleksibel karena jika terdapat penambahan atau pengurangan halaman web, maka Homepage dapat ditulis kembali, ditambah, dikurangi atau

Kartu Seminar PKL, PraSeminar (Biru) yang telah ditandatangani oleh Ketua Program Studi6. Tanda Terima Pengumpulan Laporan PKL dan

Mengulas bagaimana pemanfaatan driver dan mode grafis pada bahasa C di sebuah game, dan penerapannya ke dalam logika pemrograman. Game My Igo ini memiliki beberapa kelebihan