96
Bab III
Ketentuan Peralihan Dalam
Undang-Undang dan Akibat-Akibat Hukum
Terhadap Yayasan
Dalam Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan per-UU-an, ketentuan peralihan ditulis dalam tanda kurung “(jika diperlukan)”. Pemakaian frase “jika diperlukan”1 menyiratkan bahwa ketentuan
peralihan bukan keharusan dalam setiap UU.
Sekalipun bukan keharusan, namun ketentuan peralihan kerap diadakan guna mencegah terjadinya kekosongan hukum akibat terjadinya perubahan keten-tuan menyangkut materi yang sama dengan apa yang diatur dalam UU yang baru dan ketentuan sebelumnya. Secara teknis, ketentuan peralihan ditempatkan pada bagian akhir UU, yaitu sesudah ketentuan pidana (jika ada) dan ketentuan penutup.
Bagian berikut akan membahas ketentuan peralihan dalam UU dan keberadaannya dalam UUY.
1 Sri Hariningsih, Ketentuan Peralihan Dalam
97
A.
Ketentuan Peralihan Undang-Undang
Istilah “ketentuan peralihan” sering dinyatakan dengan istilah “aturan peralihan”2, namun makna
dari kedua istilah itu sama, yaitu ketentuan yang berisi norma peralihan yang berfungsi mengatur perubahan normatif terhadap hal-hal tertentu atas kehadiran peraturan per-UU-an yang baru. Dalam tulisan ini, istilah yang dipakai adalah ketentuan peralihan, sama dengan yang dipakai dalam UUY. Perkecualian dari hal itu adalah dalam hal kutipan guna memertahankan orisinalitas kutipan.
1. Pengertian Ketentuan Peralihan
Ketentuan peralihan dalam UU dapat dikata-kan budikata-kan aturan pokok, melaidikata-kan aturan yang mengatur kelancaran penerapan aturan pokok
UU. Jimly Asshiddiqie3 mendefinisikan
ketentu-an peralihketentu-an sebagai berikut:
“Ketentuan peralihan adalah ketentuan yang
berisi norma peralihan dan berfungsi
2 Sekedar contoh, Dalam UUD 1945 istilah yang dipakai “Aturan
Peralihan”, Dalam UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas, istilah yang dipakai, “Ketentuan Peralihan”. Demikian
pula dalam UU No 16 Tahun 2001 jo UU No. 2008 Tentang Yayasan dan UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, istilah yang dipakai adalah “Ketentuan Peralihan”.
98
atasi kemungkinan terjadinya kekosongan hukum sebagai akibat peralihan norma dari ketentuan lama ke ketentuan baru.”
Menurut Bagir Manan4, pengadaan ketentuan
peralihan dalam UU didasarkan pada dua asas, yaitu: pertama, asas umum pembentukan UU dengan prinsip bahwa hukum baru meniadakan
hukum lama; dan kedua, asas ubi societas ibi ius
dengan prinsip bahwa di mana ada masyarakat, di situ ada hukum.
Menurut asas umum pembentukan UU, dengan berlakunya peraturan yang baru, maka peraturan lama, yang mengatur pokok yang sama, tidak berlaku lagi. Prinsip ini berlaku pada peraturan per-UU-an sejenis atau sederajat dan juga pada peraturan yang lebih rendah seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden, atau kebijakan-kebijakan mengenai pelaksanaan per-aturan per-UU-an.
Pada kenyataannya, prinsip tersebut tidak dapat diterapkan secara ketat. Peraturan yang baru sering belum dapat dilaksanakan secara menyeluruh karena berbagai sebab. Di antaranya peraturan pelaksanaan UU belum ada. Dalam keadaan seperti itu, ketentuan peralihan diperlu-kan untuk mengatur proses peralihan dari keadaan lama ke keadaan baru yang ditetapkan
99
secara hukum. Dalam hal ini, ketentuan peralih-an menunda penerapperalih-an peraturperalih-an yperalih-ang baru untuk sementara waktu. Hal ini sering disebut
sebagai penyimpangan sementara5 terhadap
peraturan yang baru atas tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu.
Menurut asas ubi sosietas ibi ius, sebelum
adanya peraturan per-UU-an (yang baru), selalu ada ketentuan hukum yang mengatur hal yang sama dengan yang baru. Untuk menjamin keter-tiban dan ketentraman, keadilan dan kepastian hukum, maka berbagai hubungan dan akibat hukum yang sudah ada dalam penerapannya perlu diakomodasi dalam peraturan per-UU-an yang baru. Caranya ialah menunda berlakunya ketentuan baru menyangkut aspek tententu sampai batas waktu tertentu. Hal ini dimak-sudkan untuk memberikan kesempatan bagi adresat hukum menyesuaikan diri terhadap ketentuan yang baru.
Menurut Bagi Manan6 ada lima fungsi
keten-tuan peralihan, yaitu: a. sebagai dasar hukum agar peraturan lama tetap berlaku; b.
5 Istilah penyimpangan sementara dipergunakan oleh Jimly
Asshiddiqie, Op. Cit. hal. 129 dan Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan 2, Kanisius, Yogyakarta, Cet. ke-1, tahun 2007, hal 130.
100
dari atau meniadakan kekosongan hukum atau kekosongan peraturan; c. sebagai instrumen yang mengatur keadaan hukum dari peraturan lama akibat kehadiran aturan baru; d. menjamin kepastian dan perlindungan hukum; dan e. menjamin ketertiban akibat perubahan peraturan per-UU-an.
2. Materi Ketentuan peralihan
Berdasarkan pengertian di atas tampak bahwa ketentuan peralihan diadakan guna memulus-kan berjalannya peraturan per-UU-an baru tanpa menimbulkan masalah hukum. Oleh karena itu, kejelasan rumusan materi ketetuan peralihan merupakan keharusan.
Bagir Manan7 menyatakan bahwa isi atau
materi ketentuan peralihan ada tiga, yaitu:
1. Mengatur hubungan antara aturan hukum
yang baru dan yang lama. Ketentuan ini lazimnya menyatakan aturan-aturan lama yang tetap berlaku dengan syarat atau tanpa syarat tertentu sampai tidak diperlukan lagi. Suatu peraturan lama tidak diperlukan lagi baik karena telah tercipta aturan baru atau keadaan hukum atau hubungan hukum yang telah ada atau yang sedang timbul tidak memerlukan lagi aturan lama.
101
2. Mengatur keadaan atau hubungan hukum
yang telah timbul atau sedang timbul berdasarkan aturan lama. Ketentuan ini menentukan aturan hukum yang berlaku terhadap keadaan atau hubungan hukum yang telah ada atau yang sedang timbul pada saat aturan baru dilahirkan. Pernyataan penundukan ini dapat berlaku terhadap peraturan lama atau peraturan baru.
3. Mengatur hubungan waktu bagi aturan lama,
keadaan atau hubungan hukum yang telah ada serta penyesuaiannya dengan aturan baru. Ketentuan peralihan dapat menentukan suatu keadaan atau hubungan hukum tetap dikuasai aturan lama sampai waktu tertentu atau sampai terjadi suatu peristiwa hukum tertentu.
Bertitik tolak hal-hal di atas tampak bahwa ketentuan peralihan merupakan aturan yang mengatur elastisitas hukum. Norma yang ada di dalamnya lebih mengarah pada upaya mencegah penerapan hukum secara kaku yang didasarkan pada prinsip positivisme serta upaya penciptaan kondisi agar apa yang diatur dalam per-UU-an yang baru dapat diterima.
102
satu-satunya tujuan hukum, tetapi juga aspek kemanfaatan yang dapat membawa kebaikan bagi manusia, adresat hukum.
Berdasarkan prinsip tersebut dapat dikatakan bahwa ketentuan peralihan memosisikan adresat hukum (penyelenggara yayasan) sebagai hal uta-ma. Penyelenggara yayasan diposisikan sebagai subyek yang memiliki kebebasan dan kemampu-an mengatur dirinya sendiri menuju ke keadakemampu-an yang lebih baik. Dalam persepektif ini, fungsi ketentuan hukum dan UU bukanlah tujuan, tetapi hanyalah alat bagi manusia untuk menca-pai keadaan yang lebih baik tersebut.
Dengan pencandraan yang demikian menjadi jelas bahwa ketentuan peralihan dalam UU begi-tu penting. Kendati hanya mengabegi-tur proses pera-lihan keberlakuan ketentuan baru dari ketentuan lama, namun kehadirannya turut menentukan lancar-tidaknya bekerjanya UU baru.
103
efektif.8 Itulah sebabnya mengapa ketentuan
peralihan perlu dirumuskan secara tegas, jelas, tidak sama-samar atau ambigu. Dengan begitu apa yang dikehendaki pembuat UU dipahami sama oleh adresat dan para penegak hukum. Ketegasan dan kejelasan rumusan dimaksud dapat berupa:
a. Batasan waktu berakhirnya keberlakuan
ke-tentuan lama dan dinyatakan tidak diperlukan lagi;
b. Pengaturan tindakan-tindakan hukum yang
harus dilakukan adresat hukum selama penu-ndaan pemberlakuan peraturan yang baru;
c. Penegasan tentang acuan hukum atas
tindak-an hukum atau hubungtindak-an hukum selama ma-sa penundaan pemberlakuan peraturan yang baru; dan
d. Akibat-akibat hukum atau sanksi apabila
adresat hukum tidak menaati ketentuan pada nomor 1, 2, dan 3 tersebut.
8 Efektif artinya, masyarakat menaati ketentuan hukum bukan
104
Menurut Jimly Asshiddiqie9 hal-hal tersebut
perlu dinyatakan secara tegas karena ketentuan peralihan dapat terkait dengan subyek hukum (menyangkut hak dan kewajiban atau tugas dan keweanangan), norma hukum (yang mengalihkan berlakunya suatu peraturan dari mengikat menjadi tidak mengikat atau sebaliknya), dan obyek hubungan hukum tertentu atau tindakan hukum tertentu yang diatur.
B.
Ketentuan Peralihan Undang-Undang
Yayasan
Dalam UUY, ketentuan peralihan tertera pada Pasal 71. Ketentuan ayat (2) pada UU No. 16 Tahun 2001 diubah menjadi ayat (3) pada UU No 28 Tahun 2004, sedangkan ayat (2) pada UU No. 28 Tahun 2004 merupakan ayat tambahan sebagai penyem-purnaan Pasal 71, UU No. 16 Tahun 2001. Rumus-an selengkapnya demikiRumus-an:
(1) Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan yang telah: a. didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau b. didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melaku-kan kegiatan dari instansi terkait; tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam
jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak
mulai berlakunya Undang-undang ini, Yayasan
105
tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini.
Pada UU No. 28 Tahun 2004, ketentuan pasal 71 ayat (1) huruf b diubah menjadi: “...paling lambat 3 (tiga) tahun tehitung sejak tangal undang-undang ini mulai berlaku, ...”.
Dalam penjelasannya, masa 3 (tiga) tahun itu diberikan kepada yayasan untuk menentukan pilih-an apakah meneruskpilih-an atau tidak keberadapilih-an yaya-san. Jika diteruskan, maka dalam kurun waktu ter-sebut yayasan wajib menyesuaikan Anggaran Dasar-nya (AD) dengan UUY.
(2) Yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini, dan mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini mulai berlaku.
(3) Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib diberitahukan kepada Menteri paling lam-bat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesu-aian.
106
atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Pada penjelasan ayat (4) disebutkan bahwa, pi-hak yang berkepentingan, adalah pipi-hak yang memu-nyai kepentingan langsung dengan Yayasan.
Pada hemat penulis, ayat (4) tersebut bukan ketentuan peralihan, sebab ketentuan yang ada di dalamnya bukan mengatur proses peralihan, mela-inkan mengatur sanksi bagi yayasan yang tidak me-lakukan penyesuaian AD dan/atau tidak memberi-tahukan kepada menteri penyesuaian AD dalam kurun waktu yangtelah ditetapkan.
Jimly Asshiddiqie10 memang setuju kalau akibat
hukum semacam itu ditempatkan pada ketentuan peralihan, namun pandangan ini sulit diterima kare-na pekare-nataan materi UU selalu diklasifikasi berdasar-kan pokok yang diatur. Materi sanksi, termasuk ketentuan pidana (bila diperlukan), diatur pada bagian khusus, baik dalam bab maupun pasal. Berdasarkan pemahaman itu, ayat (4) semestinya tidak ditempatkan dalam ketentuan peralihan, melainkan dalam bab atau pasal khusus yang mengatur sanksi. Oleh karena itu, ayat (4) akan dibahas di bagian khusus terpisah dari bahasan tiga ayat sebelumnya.
107
Dalam pasal 71 di atas ada empat hal pokok yang diatur, yaitu: 1. penundaan berlakunya UUY; 2. dasar hukum penundaan berlakunya UUY; 3. Kewajiban menyesuaikan AD; dan 4. akibat hukum ketentuan peralihan terhadap yayasan yang tidak melakukan penyesuaian AD dengan ketentuan UU setelah masa penundaan sementara berakhir. Pokok 1, 2, dan 3 secara berturut-turut dibahas pada sub bab ini, sementara pokok 4 dibahas pada sub bab berikutnya.
1. Penundaan Undang-Undang Yayasan
Berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2), yayasan yang telah berdiri sebelum UUY pada prinsipnya dapat diakui sebagai badan hukum menurut versi UUY. Yayasan dimaksud ialah yayasan menurut versi ayat (1), yang didi-rikan menurut kebiasaan, doktrin, atau yurispru-densi Mahkamah Agung dan versi ayat (2), yaitu yayasan yang didirikan dengan Akta Notaris atau tanpa Akta Notaris.
108
tetap menjadi badan hukum berdasarkan UUY, yayasan tersebut wajib melakukan penyesuaian AD dengan UUY.
Penyesuaian AD dimaksud meliputi banyak hal seperti perubahan fungsi dan kewenangan organ yayasan, struktur organisasi, persyaratan pendirian yayasan, pengelolaan kekayaan dan sumber kekayaan yayasan. Penyesuaian AD ini dinilai butuh waktu yang relatif lama. Dalam proses penyesuaian itulah diperlukan ketentuan peralihan. Ia menjadi dasar hukum penundaan berlakunya UUY untuk sementara waktu seraya memberi kesempatan kepada yayasan memelajari dan memahami UUY dan akhirnya melakukan penyesuaian AD.
Selama masa penundaan, keberadaan yayasan dan kegiatannya tetap diakui dengan pengaturan berdasarkan AD yayasan yang ada. Itu artinya, meskipun UUY sudah dinyatakan berlaku sejak tanggal 6 Agustus 2002, ketentuan pokok yang ada di dalamnya belum diberlakukan bagi yaya-san dalam kategori ayat (1) dimaksud.
109
dalam UUY. Pembuat UU menilai bahwa yayasan di Indonesia belum siap. Untuk itu, yayasan yang telah berdiri sebelum UUY perlu diberi kesem-patan menyesuaikan diri dengan menunda berla-kunya UUY.
Bagi Jimly Asshiddiqie11 penundaan semacam
itu disebut penyimpangan sementara atas UU. Disebut demikian karena apa yang ditetapkan dalam ketentuan peralihan, sifatnya temporer. Manakala waktu yang ditetapkan telah berakhir, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan baru, dalam hal ini UUY. Dalam kurun waktu tersebut ketentuan hukum yang berlaku bagi
yayasan adalah AD12 lama. Hal ini berlaku
sampai tanggal 6 Agustus 2007 atau lima tahun setelah UU No. 16 Tahun 2001 dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 6 Agustus 2002.
Pembuat UU tampaknya yakin bahwa dalam kurun waktu tersebut, yayasan melakukan penyesuaian AD dengan ketentuan UU No. 16 Tahun 2001. Kenyataannya tidak demikian. Sebelum berakhirnya batas waktu penundaan
11 Jilmy Asshiddiqie, Ibid, hal 129. Lihat juga Maria Farida Indrati
S., Ilmu Perundang-undangan (2), Proses dan Teknik Pemben-tukannya, Penerbit Kanisius, Cet-1, Tahun 2007, hal. 130.
12 Pasal 72A menyatakan, pada saat UU ini mulai berlaku,
110
berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (2), respon yayasan tidak sama. Sebagian besar yayasan ti-dak melakukan penyesuaian AD dengan UUY.
Keadaan di atas mendorong DPR untuk mengubah UU No. 16 Tahun 2001 dengan UU No. 28 Tahun 2004. Berdasarkan UU terakhir, masa penundaan diperpanjang sampai 6 Oktober 2008 atau 3 (tiga) tahun setelah UU No 28 Tahun 2004 dinyatakan berlaku tanggal 6 Oktober 2005. Total waktu penundaan 6 (enam) tahun 2 (dua) bulan. Terhadap yayasan versi ayat (2) batasan penyesuaian AD lebih singkat, yaitu paling lam-bat tanggal 6 Agustus 2003 atau 1 (satu) tahun sejak UU No. 16 Tahun 2001 dinyatakan mulai berlaku tanggal 6 Agustus 2002. Dengan terbit-nya UU No. 28 Tahun 2004, waktu tersebut diperpanjang menjadi paling lambat tanggal 6 Oktober 2006 atau 1 (satu) tahun sejak UU No. 28 Tahun 2004 dinyatakan mulai berlaku. Total waktu penundaan 2 (dua) tahun 2 (dua) bulan.
2. Dasar hukum penundaan pemberlakuan Undang-Undang Yayasan
111
ketentuan Pasal 71 ayat (1), huruf b; dan c. ketentuan Pasal 72 A.
a. Ketentuan Pasal 73 UUY. Pasal ini
menegas-kan: “Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundang-kan.” UU No 16 tahun 2001 disahkan pada tanggal 6 Agustus 2001 dan dinyatakan berlaku terhitung sejak tanggal 6 Agustus 2002. Ini artinya sekalipun UU sudah diundangkan, yayasan boleh menyimpanginya dengan tetap menggunakan AD lama sebagai dasar hukum kegiatan yayasan.
b. Ketentuan Pasal 71 ayat (1), huruf b UU No.
16 Tahun 2001. Ketentuan dalam Pasal ini menegaskan:
“...tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan tersebut wajib menyesu-aikan Anggaran Dasarnya dengan
keten-tuan Undang-undang ini.”
men-112
jadi paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UU No. 28 Tahun 2004 dinyatakan berlaku pada tanggal 6 Oktober 2005 sampai paling lambat tanggal 6 Oktober 2008. Ini artinya bahwa sampai tanggal 6 Oktober 2008 status hukum yayasan masih diakui berdasarkan AD lama.
c. Ketentuan Pasal 72A UU No 28 Tahun 2004.
Ketentuan dalam pasal ini berbunyi :
“Pada saat Undang-undang ini mulai ber-laku, ketentuan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2) yang belum disesu-aikan dengan ketentuan Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak
berten-tangan dengan Undang-undang ini.”
Dasar hukum di atas merupakan pene-gasan dasar hukum bagi yayasan selama masa penundaan berlakunya UUY. Pernyataan “ketentuan Anggaran Dasar yayasan..., tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang ini”, merupakan legalisasi
masih berlakunya AD lama. Dengan ketentu-an-ketentuan tersebut, tampak bahwa kebera-daan yayasan yang belum menyesuaikan AD dan seluruh kegiatannya memiliki dasar hu-kum yang jelas.
113
sebagai hukum positif. Ia dapat menimbulkan anggapan bahwa penyesuaian AD tidak harus dilakukan dalam waktu terbatas. Sekalipun batas akhir masa penyesuaian AD terlewati dan yayasan belum melakukan penyesuaian AD lama yayasan tetap diakui sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan UUY.
Dasar hukum seperti itu tampak ambigu. Di satu sisi merupakan hukum positip, tetapi di sisi ia terus memberi kelonggaran yang seolah-olah tanpa batas. Ada kemungkinan bahwa rumusan tersebut sengaja dipakai untuk mencegah kekosongan hukum bagi yayasan yang belum melakukan penyesuaian AD. Sekalipun bermanfaat, namun ketentuan seperti itu tampaknya secara implisit meng-akui tidak adanya urgensi eksekusi ketentuan peralihan bagi yayasan yang tidak melakukan penyesuaian AD.
3. Kewajiban Menyesuaikan Anggaran Dasar
114
Boedi Wahyono dan Suyud Margono13,
menya-takan ada empat substansi materi AD yang harus disesuaikan dengan ketentuan UUY, yaitu:
a. organ yayasan dan segala kewenangan dan
larangnya;
b. pemisahan harta kekayaan yayasan dari
kekayaan pribadi pendiri;
c. standar isi AD; dan
d. prosedur formal pendirian yayasan.
Menurut penulis, bagian d tidak masuk dalam materi penyesuaian AD. Ketentuan ini berlaku pada yayasan baru untuk mendapatkan status badan hukum. Oleh karena itu, bagian tersebut tidak dibahas. Yang dibahas berikut ini, yaitu: a. Strandar isi anggaran dasar; b. Kekayaan yaya-san; dan c. Organ yayasan dan kewenangannya.
a. Standar isi Anggaran Dasar
Sebagaimana telah disebutkan pada bab I, halaman 8-9, ada sekurang-kurangnya 11 un-sur yang harus dimuat dalam AD untuk men-dapatkan status badan hukum, yaitu:
a. nama dan tempat kedudukan;
13 Boedi Wahyono dan Suyud Margono, Hukum Yayasan Antara
115
b. maksud dan tujuan serta kegiatan
untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut;
c. jangka waktu pendirian;
d. jumlah kekayaan awal yang dipisahkan
dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda;
e. cara memperoleh dan penggunaan
keka-yaan;
f. tata cara pengangkatan, pemberhentian,
dan penggantian anggota Pembina,
Pengurus, dan Pengawas;
g. hak dan kewajiban anggota Pembina,
Pengurus, dan Pengawas;
h. tata cara penyelenggaraan rapat organ
Yayasan;
i. ketentuan mengenai perubahan
Anggar-an Dasar;
j. penggabungan dan pembubaran
Yayas-an; dan
k. penggunaan kekayaan sisa likuidasi
a-tau penyaluran kekayaan Yayasan sete-lah pembubaran.
Selain itu, ayat (3) menambahkan bahwa keterangan lain yang perlu dimuat dalam AD adalah identitas organ yayasan. Paling sedikit, meliputi nama, alamat, tempat dan tanggal lahir, serta kewarganegaraannya. Prinsipnya makin lengkap makin baik.
116
serupa dalam AD sebelumnya. Yang perlu adalah penyesuaian pengaturan unsur-unsur tersebut dengan ketentuan UUY. Hal yang paling pokok di antaranya ialah tentang kekayaan yayasan, organ yayasan dan kewe-nangannya sebagaimana dibahas pada bagian b dan c di bawah.
Untuk memudahkan proses penyesuaian
AD, pemerintah telah menetapkan format AD14
baku, dan telah disebarluaskan kepada para notaris segera setelah UUY terbit. Prosedur untuk memeroleh pengesahan menteri atas akta penyesuaian AD juga diatur secara rinci dalam pasal 37 dan Pasal 38 PP 63. Di sini ditekankan bahwa perubahan AD dilakukan oleh organ yayasan sesuai dengan AD yang bersangkutan, diberitahukan kepada menteri oleh pengurus yayasan atau kuasanya melalui notaris pembuat akta perubahan AD.
Bukti-bukti administrasi apa saja yang diperlukan ketika memberitahukan kepada menteri, juga diatur secara sangat rinci seper-ti: salinan akta perubahan AD yayasan, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat akta pendirian yayasan atau
14 Gatot Supramono, Hukum Yayasan di Indonesia, Rineka Cipta,
117
bukti pendaftaran akta pendirian di pengadil-an negeri dpengadil-an izin melakukpengadil-an kegiatpengadil-an dari instansi terkait, foto copy Nomor Pokok Wajib Pajak yayasan yang dilegalisir notaris, dan lain-lain.
Dengan persyaratan dan prosedur di atas dapat dikatakan bahwa apabila yayasan serius memertahankan bentuk yayasan maka proses penyesuaian AD terhadap UUY, diyakini dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditetapkan, yakni paling lambat tanggal 6 Oktober 2008. Kenyataannya tidak demikian. Keengganan yayasan untuk melakukan penye-suaian AD dalam kurun waktu yang ditetap-kan tampaknya disebabditetap-kan tidak sinkronnya tuntutan UUY dan kebutuhan nyata para penyelenggara yayasan.
b. Kekayaan Yayasan
118
“Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diper-untukkan untuk mencapai tujuan di bi-dang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak memunyai anggota.”
Menurut teori kekayaan bertujuan dari A.
Brinz15, kekayaan semacam itu bukan milik
siapa-siapa. Kalaupun ada pemilik, maka pe-miliknya bukanlah pendiri atau pengurus ya-yasan, melainkan tujuan yayasan itu sendiri. Menurut teori ini yang menjadi subyek hukum adalah manusia, namun dalam kenyataannya ada hak-hak atas kekayaan tertentu yang bukan dimiliki oleh siapa pun. Kekayaan semacam itu terikat oleh suatu tujuan, yaitu tujuan yang hendak diwujudkan oleh yayasan. Bagi Brinz kekayaan bertujuan inilah yang disebut badan hukum, dalam hal ini yayasan.
Bagi pendiri dan pengurus yayasan, konsep Brinz yang juga dianut UUY tersebut sulit diterima. Hal ini dapat ditemukan di kalangan yayasan yang didirikan oleh orang perorang. Bagi mereka, badan hukum yayasan adalah organisasi yang terdiri atas pendiri dan para pengurus, bukan kekayaan seperti konsep
15 Rido Ali R., Badan Hukum dan Keududukan Badan Hukum,
119
Brinz. Kekayaan yang dipakai untuk mendiri-kan yayasan dianggap tetap merupamendiri-kan milik pendiri yang kerap merangkap menjadi pengu-rus yayasan.
Terlepas dari pandangan di atas, keten-tuan Pasal 1 ayat (1) tampaknya mengandung setidaknya dua pesan, yaitu:
1) Yayasan hanya boleh didirikan apabila ada
kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri dan/atau dari sumbangan donatur;
2) Status kekayaan yang dipisahkan bukan
lagi milik pendiri dan/atau milik donatur, melainkan milik yayasan.
Pesan tersebut memberi penegasan bahwa pendirian yayasan tidak boleh dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh orang yang memiliki kekayaan yang secara khusus dipisahkan untuk mewujudkan tujuan yayasan. Ini artinya, sejak yayasan didirikan sejak saat itu pendiri dan/atau
donatur kehilangan hak atas kekayaan
120
Dalam pandangan Chatamarrasjid Ais16
ketentuan Pasal 1 ayat (1) itu merupakan penegasan bahwa penentuan status badan hukum yayasan tidak lagi menganut sistem terbuka berdasarkan kebiasaan, doktrin, atau yurisprudensi, melainkan menganut sistem tertutup berdasarkan UU. Artinya, status badan hukum yayasan hanya dapat diperoleh apabila memenuhi ketentuan UU. Salah satunya tentang kekayaan yang dipisahkan itu, yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Penegasan yang demikian, tampaknya mengandung setidaknya tiga maksud, yaitu: 1) sebagai strategi hukum untuk menciptakan kepastian hukum tentang keberadaan yayasan sekaligus mengembalikan fungsi yayasan; 2) mencegah pendirian usaha bisnis berkedok yayasan sebagaimana sering terjadi pada masa sebelumnya; 3) memerjelas perbedaan antara yayasan dan badan hukum lain secara hukum.
Bagi yayasan yang telah berdiri sebelum UUY, utamanya bagi yayasan yang didirikan oleh orang perorangan, ketentuan tersebut tampak tidak memotivasi mereka untuk
121
kukan penyesuaian AD. Para pendiri yang menggunakan harta kekayaan pribadi untuk mendirikan dan melaksanakan kegiatan yaya-san keberatan bila kekayaannya hilang hanya karena kehadiran sebuah UU.
Keadaan di atas, makin diperkuat oleh ketentuan Pasal 5 UUY. Pasal ini menguatkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) dengan larangan pengalihan atau pembagian kekayaan yayasan berupa uang, barang, atau kekayaan lain, baik langsung maupun tidak langsung kepada pendiri, pengurus dan pengawas. Dengan adanya ketentuan ini, penyelenggara yayasan tampaknya makin tidak termotivasi untuk melakukan penyesuaian AD dengan ketentuan UUY.
122
Dalam Pasal 3, Pasal 7, dan Pasal 8 dije-laskan bahwa kekayaan yayasan dapat dipero-leh dari kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuan yayasan, baik dengan mendirikan badan usaha maupun ikut serta dalam suatu badan usaha. Oleh karena itu, hasil dari kegiatan usaha tidak boleh dibagikan kepada pendiri, pengurus, dan pengawas.
Para pendiri yayasan beranggapan bahwa
ketentuan tersebut a-historis17. Ia tidak peduli
kenyataan dan sejarah pendirian yayasan di Indonesia dan mengadopsi secara langsung pandangan masyarakat di negara maju, yang berpandangan bahwa yayasan adalah badan hukum yang melulu bersifat filantropis.
Dalam pandangan masyarakat Indonesia, yayasan memang diakui bertujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Bersamaan dengan itu, yayasan juga dipahami sebagai wadah untuk membuka lapangan kerja yang mendatangkan penghasilan bagi pendiri dan/ atau pengurus dan anggota keluarga mereka, bahkan orang lain.
17 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa
123
Menurut Anwar Borahima18, yayasan
seperti itu banyak ditemukan di lingkungan
pondok-pondok pesantren. Selain untuk
tujuan sosial, mereka mendirikan yayasan untuk melestarikan warisan secara turun temurun. Itulah sebabnya mereka bukan cuma memberikan hartanyanya berupa tanah, bangunan dan fasilitas lain untuk yayasan. Mereka kerap merangkap menjadi pengurus yang berkeja penuh waktu. Yayasan semacam inilah antara lain yang keberatan terhadap ketentuan Pasal 5.
Di sisi lain, ketentuan Pasal 5 ternyata memiliki peran signifikan dalam memulihkan
fungsi yayasan. Irma Devita Purnamasari19
menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 5 berhasil meredam niat para pengusaha untuk mendirikan badan usaha komersial berkedok yayasan. Mereka yang sebelumnya mendirikan rumah sakit dan lembaga pendidikan komer-sial dalam bentuk yayasan beralih ke bentuk perseroan terbatas.
18 Anwar Borahima, Op.Cit., hal. 19.
19 Irma Devita Purnamasari, Mengapa Saat Ini Para Pengusaha
124
Mungkin dengan timbulnya efek positip tersebut, pembuat UUY berusaha menjawab keberatan yayasan dengan merevisi materi larangan pada Pasal 5 dalam UU No 16 Tahun 2001. Objek larangan dan pengecualian atas larangan ditata kembali. Kalau semula peng-urus dilarang menerima gaji, namun setelah Pasal 5 direvisi, larangan tersebut diubah menjadi pengurus dapat menerima gaji, upah
maupun honorarium atau bentuk lain20 yang
dapat dinilai dengan uang. Syaratnya ialah pengurus yayasan bukan pendiri yayasan dan tidak berafiliasi dengan pendiri, pembina, dan pengawas, serta melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh. Keten-tuan ini harus diatur secara eksplisit dalam AD.
Bagi yayasan yang didirikan oleh badan hukum seperti yayasan dalam instansi peme-rintah, BUMN/D, TNI, Polri, BI, revisi di atas tampaknya bisa diterima. Kekayaan yayasan pada yayasan semacam itu tidak berasal dari kekayaan pribadi para pendiri, melainkan dari lembaga tempat kerja mereka. Para pengurus
20 Istilah bentuk lain berarti pendapatan yayasan berupa deviden,
125
juga bekerja penuh waktu dan diberi gaji dari keuangan yayasan.
Hal yang berbeda terjadi pada yayasan yang didirikan dengan memisahkan kekayaan pribadi. Para pendiri yayasan ini tampak tidak mudah menerima pengalihan kekayaan priba-di menjapriba-di milik yayasan hanya karena ada-nya UUY. Upaya mereka membantu pemerin-tah mencerdaskan dan memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat dinilai tidak se-layaknya diimbali hilangnya hak mereka atas kekayaannya oleh kehadiran aturan hukum.
Yang menjadi persoalan ialah argumen tersebut bertentangan dengan prinsip hukum positip. Apa yang diatur dalam UU merupakan aturan yang mengikat dan harus ditaati. Kekayaan yayasan serta hasil usahanya tidak boleh dikaitkan dengan opini atau pandangan masyarakat. Niat mendirikan yayasan tidak boleh bertentangan dengan UU. Asumsi UU ialah pendiri yayasan hanyalah orang kaya yang merasa terpanggil membantu sesama, tanpa pamrih atau imbalan. Oleh sebab itu, seluruh yayasan dan para pendiri wajib menaati ketentuan UUY, termasuk apa yang diatur dalam ketentuan Pasal 5.
Pe-126
langgaran atas ketentuan Pasal 521 misalnya
dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Organ yayasan yang melakukan pelanggaran dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.
Pada hemat penulis, benturan prinsip hukum positip dan pandangan masyarakat atas ketentuan Pasal 1 dan Pasal 5 tidak boleh dibiarkan atau diatasi hanya dengan mengan-dalkan prinsip hukum positip secara kaku. Solusi yang tampaknya tepat dan sesuai de-ngan tujuan hukum nasional adalah pende-katan prioritas kasuistik sebagaimana diajar-kan Rabruch. Dalam hal ini, penerapan keten-tuan-ketentuan UUY, termasuk Pasal 1, Pasal 5, dan ketentuan peralihan perlu dilakukan secara kasuistik.
Berdasarkan pendekatan tersebut ada se-tidaknya dua kemungkinan yang dapat ditem-puh. Pertama, ketentuan peralihan cukup diterapkan pada yayasan yang didirikan oleh badan hukum dan yayasan yang didirikan se-jak UUY dinyatakan berlaku. Kedua, keten-tuan bagi yayasan yang didirikan oleh
127
rangan dan telah berdiri sebelumnya, diatur secara khusus dengan mengakomodasi kepen-tingan pendiri yang menggunakan kekayaan pribadi untuk mendirikan dan menyelengga-rakan kegiatan yayasan.
Dalam Aturan tersebut, pengklasifikasian yayasan seperti disebutkan pada bab II harus dilakukan. Dengan demikian, ada setidaknya dua aturan khusus. Pertama, aturan yang mengatur yayasan murni, yaitu yayasan yang
kegiatannya melulu mengumpulkan dan
menyalurkan sumbangan para dermawan kepada pihak yang memerlukan. Kedua, aturan yang mengatur yayasan yang selain melaksanakan hal di atas, juga melaksanakan sendiri kegiatan yayasan seperti yayasan pendidikan dan rumah sakit.
128
c. Organ Yayasan dan kewenangannya
Unsur pokok lain yang harus ada agar diakui sebagai badan hukum oleh UUY adalah adanya organ yayasan. Hal ini dinyatakan secara tegas pada Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2001, bahwa “Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Penga-was.”
Organ yayasan merupakan personifikasi yayasan dalam melaksanakan perbuatan-perbuatan hukum. Yayasan sebagai badan hukum adalah subyek hukum, tetapi tidak sama dengan manusia. Yayasan tidak memi-liki kemampuan untuk mendapatkan semua hak, melakukan semua kewajiban, serta
perbuatan hukum seperti halnya manusia22.
Dalam kondisi ini organ yayasan berfungsi menjadi perantara atau pelaku semua perbu-atan hukum untuk dan atas nama yayasan
guna mewujudkan maksud dan tujuan
yayasan.
Dalam melaksanakan hal tersebut, fungsi, wewenang, dan tugas masing-masing organ
diatur secara terpisah dan tegas23. Hal ini
22 R. Ali Rido, Op.ci, hal. 10-33
129
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya konflik internal yang dapat merugikan, baik yayasan maupun pihak lain. Oleh karena itu hubungan masing-masing organ diatur secara jelas sehingga setiap organ dapat memainkan peran maksimal pada “wilayahnya” masing -masing sebagai satu kesatuan yang utuh dan saling mendukung untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan.
Sebelum UUY, organ yayasan adalah pendiri, pengurus dan kadang ada dewan penyantun. Fungsi, wewenang, serta tugas pendiri dan pengurus cenderung tumpang tindih. Jabatan ketua, sekretaris, dan bendara pada badan pendiri dan badan pengurus dan/ atau dewan penyantun dirangkap oleh orang-orang yang sama. Contohnya: Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Keanekaan Ragam
Hayati, dan Yayasan Beasiswa Supersemar24.
Tumpang tindih atau rangkap jabatan itulah antara lain yang menyebabkan yayasan pada masa lalu menyimpang dari hakekat yayasan.
Fungsi, wewenang, dan tugas organ pem-bina dalam UUY diatur dalam 3 (tiga) pasal, yaitu Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30. Bagi
130
yayasan baru, organ pembina ini bisa sekali-gus pendiri, tetapi tidak harus demikian. Kewenangan pokok organ ini lebih bersifat kebijakan. Di antaranya, kewenangan tentang perubahan AD, menetapkan kebijakan umum yayasan, mengangkat dan memberhentikan pengurus dan pengawas, mengesahkan prog-ram kerja dan rancangan anggaran yayasan, serta putusan penggabungan atau pembubar-an yayaspembubar-an.
Organ pengurus merupakan pengelola kekayaan dan pelaksana kegiatan yayasan secara penuh, bahkan bertanggung jawab mewakilli yayasan dalam dan di luar penga-dilan. Perkecualian atas hal ini antara lain terkait dengan kasus yang melibatkan pribadi pengurus dan yayasan, mengikat yayasan sebagai penjamin uang, mengalihkan kekaya-an yayaskekaya-an tkekaya-anpa persetujukekaya-an pembina, dkekaya-an membebani yayasan untuk kepentingan pihak lain.
per-131
tanggungjawaban pengurus diatur dalam 9 (sembilan) pasal, yaitu Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37 Pasal 38, dan Pasal 39.
Untuk memastikan pelaksanaan kegiatan yayasan, pengawas melakukan pengawasan, dan kalau perlu memberikan nasehat, kepada pengurus. Manakala pengurus melakukan kesalahan berdasarkan AD, pengawas berwe-nang menegur,bahkan dapat memberhentikan sementara pengurus. Sama seperti pengurus, organ pengawas wajib menyampaikan pertang-gungjawaban pengawasan yayasan kepada pembina dengan tata cara yang diatur dalam AD. Fungsi, wewenang, dan tugas Pengawas diatur dalam 8 (delapan) pasal, yaitu Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pokok-pokok yang diatur terhadap organ yaya-san paling sedikit ada lima hal, yaitu:
1. Persyaratan menjadi pembina, pengurus,
dan pengawas;
2. Kewenangan masing-masing organ yang
tidak dapat diserahkan kepada atau
132
3. Proses pengangkatan atau pemberhentian
atau penggatian anggota organ;
4. Ketentuan tentang rapat dan pengambilan
keputusan di setiap organ berdasarkan kewenangannya masing-masing;
5. Susunan organisasi organ yayasan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, tampak bahwa organ yayasan tidak identik dengan anggota sebagaimana dipahami dalam yayasan sebelum UUY. Pada tiga yayasan yang disebutkan depan, yayasan memiliki anggota. Personalnya, termasuk di antaranya pendiri yang kerap merangkap sebagai pengurus, dewan penyantun, bahkan sekaligus pemilik.
Rumusan Pasal 1 ayat (1) menegaskan, bahwa yayasan tidak memiliki anggota. Kalau
pun ada, menurut Rochmat Sumitro25
anggo-ta tersebut lazimnya dipahami sebagai orang-orang yang mendapat manfaat dari yayasan, seperti penerima beasiswa dari siswa miskin atau biaya hidup bagi anak-anak terlantar, anak yatim piatu, atau kaum jompo.
Menurut UUY, organ yayasan bukanlah pemilik. Kalaupun mereka disebut pemilik, maka status mereka hanyalah pemilik formal
25 Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan
133
yang dipercayakan mengelola kekayaan
yaya-san (trustee) sehingga hanya boleh
mengguna-kan kekayaan yayasan untuk mewujudmengguna-kan tujuan yayasan.
Dalam status yang demikian, Anwar
Borahima26 menyatakan organ yayasan
dise-but sebagai pemilik fidusia (fidusiair eigenaar),
pemilik yang terikat (gebonden eigenaar),
pemilik dalam suatu kedudukan tertentu
(eigenaar in kwaliteit). Ini artinya, bila mereka
berhenti atau diberhentikan dari status pem-bina, pengurus, dan pengawas, maka status
kepemilikannya atas yayasan berakhir.
Mereka tidak lagi memiliki hak dan kewajiban hukum apa pun dalam yayasan.
Bagi yayasan yang didirikan oleh badan hukum, seperti yayasan dalam instansi peme-rintah, BUMN/D, TNI, Polri, BI atau perusa-haan, ketentuan di atas tampaknya tidak menjadi persoalan. Status organ sebagai pemi-lik fidusia atas kekayaan yayasan dapat diterima karena kekayaan tersebut tidak terkait langsung dengan kekayaan pribadi pembina, pengurus dan pengawas. Pergantian organ pun dianggap wajar. Menurut penulis, keadaan ini merupakan salah satu jawaban
134
mengapa yayasan bentukan badan hukum umumnya melakukan penyesuaian AD dalam kurun waktu yang diatur dalam ketentuan peralihan.
Berbeda dengan itu, yayasan yang didiri-kan oleh orang perorangan tampak belum menerima pengaturan organ versi UUY. Bagi mereka ketentuan tersebut merupakan pengu-kuhan ketentuan Pasal 5 jo Pasal 3, Pasal 7 dan Pasal 8 yang menghilangkan hak mereka atas kekayaannya dalam yayasan. Bagi mere-ka, status organ bukanlah pemilik fidusia, tetapi pemilik murni sebagaimana halnya terhadap kekayaan mereka yang lain.
Konsisten dengan apa yang dikemukakan di depan, benturan ketentuan hukum terha-dap kepentingan masyarakat tidak boleh di-biarkan, tetapi tidak tepat pula diatasi dengan mengandalkan prinsip hukum positip secara kaku. Solusi yang tampaknya tepat dan sesuai dengan tujuan hukum nasional adalah pende-katan prioritas kasuistik model Rabruch itu.
135
yang tidak melakukan penyesuaian AD
cenderung meredusir tujuan hukum menjadi sekedar kepastian dan mengabaikan tujuan hukum yang sesungguhnya sebagaimana disebutkan di depan.
C.
Akibat-Akibat Hukum Ketentuan Peralihan
Sampai berakhirnya jangka waktu penyesuaian AD pada tanggal 6 Oktober 2008, bahkan sampai tesis ini ditulis, respon yayasan terhadap ketentuan peralihan ternyata tidak seperti yang diharapkan o-leh UUY. Sebagian yayasan melakukan penyesuaian AD tepat waktu, sebagian melakukan penyesuaian AD setelah berakhirnya batasan waktu, dan
sebagi-an lainnya tidak melakuksebagi-an penyesuaisebagi-an AD27 atau
mengubah bentuknya menjadi perkumpulan.
Mengacu pada ketentuan peralihan, dua katego-ri yayasan yang disebut terakhir seharusnya menda-patkan akibat hukum dan sanksi. Akibat hukum
27 Penelitian Bisdan Sigalingging, menyatakan bahwa sampai April
136
dan sanksi tersebut tentu tidak berjalan otomatis tanpa didukung oleh unsur lain dalam sistem hukum, utamanya pemerintah dan penegak hukum. Jika yayasan dimaksud mau “diselamatkan” karena pertimbangan kontribusinya yang besar bagi kehi-dupan masyarakat, maka perlu ada tindak lanjut ketentuan peralihan yang dinilai tepat.
Ketiga hal di atas (akibat hukum, sanksi, dan tindak lanjut) akan dibahas berturut-turut pada bagian di bawah.
1. Akibat Hukum
Menurut ketentuan peralihan, yayasan yang tidak melakukan penyesuaian AD tepat waktu dan/atau melakukan penyesuaian tetapi tidak memberitahukannya kepada menteri sebagaima-na diatur dalam ketentuan Pasal 71 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dengan sendirinya akan menang-gung setidaknya dua akibat hukum, yaitu:
a. Tidak menjadi subjek dari hak dan
kewajib-an28. Tidak berhak menggunakan kata “yaya
-san” di depan namanya dan yayasan yang bersangkutan tidak diakui sebagai badan hukum. Oleh karena itu, keberadaan yayasan dan segala kegiatannya tidak diakui oleh hukum. Sekalipun secara fisik ia ada, namun
137
secara hukum dianggap tidak ada. Apabila yayasan melakukan kegiatan dalam bentuk yayasan, maka kegiatan tersebut tidak memili-ki legitimasi hukum atau ilegal.
Yayasan semacam itu tidak berwenang melakukan tindakan-tindakan hukum dan hubungan-hubungan hukum seperti perikat-an atau perjperikat-anjiperikat-an tertulis dperikat-an tak tertulis,
serta tidak memunyai hak atas kebendaan29.
Menurut Chidir Ali30, yayasan semacam itu
tidak memiliki hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA No. 5 Tahun 1960. Ia tidak memunyai hak memiliki, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, atau hak membuka tanah.
b. Tidak memunyai hak tempat kedudukan atau
domisili sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UUY. Menurut Chidir Ali, tempat kedudukan bagi yayasan identik dengan tempat kedu-dukan atau domisili orang, terutama untuk menentukan ke pengadilan mana badan hu-kum itu harus digugat dan menggugat. Jika yayasan dirugikan oleh pihak lain, yayasan ti-dak dapat menggungat karena ia titi-dak
138
liki posisi hukum dan tidak memiliki tempat kedudukan hukum.
Ketiadaan status hukum yayasan membawa konsekuensi hukum bagi pengurus. Dengan tidak diakuinya keberadaan yayasan maka kedudukan pengurus dalam yayasan tidak diakui. Oleh karena itu, pengurus yayasan tidak berwenang bertindak demi, untuk, dan atas nama yayasan. Pengurus tidak berhak mengikat-kan yayasan kepada pihak ketiga atau sebalik-nya, juga tidak berhak mewakili yayasan di depan Pengadilan baik sebagai penggugat
mau-pun sebagai tergugat31. Dengan demikian segala
akibat hukum dari tindakan pengurus bukan lagi tanggung jawab yayasan, melainkan tanggung jawab masing-masing pengurus secara tanggung renteng32.
Banyak akibat lanjutan yang timbul bila yayasan semacam ini dibiarkan, baik dalam
keadaan normal maupun dalam keadaan
bermasalah. Dalam keadaan normal pada ya-yasan pendidikan umpamanya, secara hukum
mengakibatkan penyelenggaraan dan hasil
pendidikan yang diselengarakannya tidak sah
31 Liha Pasal 35 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2001
32 Ketentuan ini antara lain diatur dalam Pasal 36 ayat (3), PP No.
139
atau ilegal33. Karena tidak sah, maka ijazah dan
gelar akamik yang diterbitkan bagi lulusan tidak
memiliki efek sipil34.
Dalam keadaan bermasalah misalnya terkait dengan penyelesaian sengketa apabila ada ang-gota masyarakat yang merasa dirugikan oleh yayasan. Ketiadaan posisi hukum dan tempat kedudukan hukum yayasan, menyulitkan anggo-ta masyarakat mengajukan gugaanggo-tan kepada pengadilan. Prosedur yang diatur dalam Pasal 118 HIR yang mensyaratkan tempat domisili si tergugat tidak terpenuhi. Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 56 UUY memang menyebut-kan prosedur pengajuan permohonan pemerik-saan terhadap yayasan, namun aturan itu berla-ku bagi yayasan yang sah, yayasan berbadan hukum menurut UUY.
Dalam keadaan seperti itu, pintu masuk tun-tutan mau tidak mau diarahkan kepada
33 Ketiga hal itu telah diatur dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas, PP No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan, UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Indonesia No 178/U/2001 tentang Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi
34 Tidak memiliki efek sipil mengandung pengerian bahwa Ijazah
140
rus yayasan secara pribadi. Jika hal ini yang
ditempuh, maka kasusnya menjadi lebih
kompleks karena kasus yang semula bersifat perdata berubah menjadi kasus tindak pidana penipuan oleh pengurus yayasan atau pimpinan perguruan tinggi atau kepala sekolah.
Kasus semacam itu biasanya dihindari oleh anggota masyarakat, sebab ada gejala bahwa gugatan yang dilakukan anggota masyarakat tidak memulihkan kerugian yang dialami. Biaya dan tenaga yang dikeluarkan untuk mengajukan gugatan sering lebih besar dari kebenaran proses peradilan dan putusan pengadilan.
Berdasarkan dua contoh di atas, tampak bahwa eksekusi sanksi ketentuan peralihan UUY seharusnya dilaksanakan bagi yayasan yang tidak melakukan penyesuaian AD tepat waktu. Namun, karena hal itu tidak dilaksanakan sebagaimana ditetapkan UUY, maka ketentuan peralihan tidak memiliki urgensi apa pun dalam upaya mewujudkan tujuan hukum.
2. Sanksi Terhadap Pelanggaran Ketentuan peralihan
141
kepada menteri dikenakan sanksi. Hal itu diatur dalam dua level, yaitu level UU dan level PP.
Pada level UU, sanksi diatur pada Pasal 71 ayat (4) UUY yaitu sanksi bagi yang tidak mela-kukan penyesuaian AD sampai batas akhir yang ditetapkan, tanggal 6 Oktober 2008. Pada level PP sanksi diatur pada Pasal 39 PP No. 63 jo PP No. 2, yaitu sanksi bagi yang sudah melakukan penyesuaian AD, tetapi tidak memberitahukan kepada menteri paling lambat 1 (satu) tahun setelah penyesuaian.
Sanksi yang diatur UU ada dua, yaitu “dilarang menggunakan kata ‘Yayasan’ di depan namanya” dan “dapat dibubarkan berda-sarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak lain yang berkepentingan.”
Sepintas, sanksi tersebut tampak logis dan mudah dieksekusi. Akan tetapi, jika aspek gra-matikal dan logika hukumnya dicermati, keada-annya tampak rumit. Penggunaan kata sambung “dan” di antara antara frase “di depan namanya” dan frase “dapat dibubarkan” menunjukkan dua tindakaan hukum yang bersifat simultan dan
kumulatif35, bukan pilihan salah satu dari dua.
35 Lampiran II UU No. 12 Tahun 2001 Tentang Pembentukan
142
Karena bersifat kumulatif, maka eksekusinya harus dilaksanakan bersama dan sekaligus.
Sanksi “tidak dapat menggunakan kata yaya -san di depan namanya”, memang logis dan dapat dieksekusi. Di sisi lain, adanya kata “dapat”36
pada sanksi “dapat dibubarkan” mengandung makna fakultatif, bukan keharusan, tidak harus, atau tidak wajib. Sanksi semacam ini menun-jukkan ketidak-tegasan hukum atas pelanggaran yang dilakukan yayasan. Hal ini pasti memenga-ruhi sikap penegak hukum dan adresat hukum atas ketentuan hukum.
Sekalipun yayasan tidak menyesuaikan AD-nya dengan UUY tidak berarti ia dibubarkan. Ada kemungkinan dibubarkan atau sebaliknya. Hal ini, sangat tergantung pada banyak faktor terkait dengan kejaksaan seperti penafsiran patut-tidaknya, atau ada-tidaknya waktu kejaksaan, ada-tidaknya kuasa khusus untuk memohonkan pembubarannya kepada pengadilan negeri, atau ada tidaknya pengaduan dari pihak yang berke-pentingan.
Apabila kedua sanksi tersebut dieksekusi, ka-takan misalnya dibubarkan berdasarkan putusan
pengadilan, maka sanksi “tidak dapat mengguna
-kan kata ‘yayasan’ di depan namanya” menjadi
143
tidak memiliki makna hukum. Yayasan yang sudah dibubarkan sama dengan tidak ada. Karena tidak ada, maka kata “yayasan” di depan namanya jelas tidak diperlukan.
Sebaliknya, jika sanksi ‘tidak menggunakan
kata “yayasan” di depan namanya’ dieksekusi, maka yang menjadi persoalan ialah bagaimana prosedur formalnya. UUY dan PP 63 maupun PP No. 2 tidak mengatur tatacara eksekusi sebagai acuan kerja penegak hukum. Mengharapkan ya-yasan agar mengeksekusinya sendiri, tampaknya mustahil terjadi.
144
Selain itu, yayasan yang semula memakai kata “yayasan” di depan namanya kemudian hilang karena dilarang oleh UUY dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga. Ma-syarakat yang semula percaya pada yayasan dan kegiatannya sebagai lembaga yang bergerak di bidang sosial, keagamaan, atau kemanusiaan da-pat berubah dan mencurigainya dengan berbagai pandangan negatif. Keadaan ini cenderung meng-ganggu kelancaran kegiatan dan ketercapaian tu-juan yayasan.
Ancaman sanksi yang diatur dalam Pasal 39 PP 63 Tahun 2008 jo PP No. 2 Tahun 2013, adalah keharusan melikuidasi kekayaan yayasan bila setelah penyesuaian AD tidak disertai pem-beritahuan kepada menteri paling lambat 1 (satu) setelah penyesuaian serta tidak melakukan kegi-atannya sesuai AD selama 3 (tiga) tahun bertu-rut-turut. Ketentuan tersebut, berbunyi:
“Yayasan yang belum memberitahukan kepa-da Menteri sesuai dengan ketentuan sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya seba -gaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang dan tidak lagi melakukan kegiatannya sesuai dengan AD selama 3 (tiga)
tahun berturut-turut, harus melikuidasi
sebagai-145
mana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-Undang.”
Sama seperti sanksi pada Pasal 71 UUY,
peng-gunaan kata sambung “dan” antara dua syarat
untuk melikuidasi kekayaan yayasan, menunjuk-kan bahwa syarat pelanggaran agar bisa dilikui-dasi bersifat kumulatif. Jika salah satu tidak terpenuhi, maka eksekusi likuidasi tidak meme-nuhi ketentuan hukum. Dengan syarat yang demikian, ada empat kemungkinan yang dapat terjadi seperti bagan di bawah:
Bagan-2: Prasyarat Pelanggaran untuk Melikuidasi Kekayaan Yayasan
Tidak Memberitahukan (1)
Tidak Melakukan Kegiatan 3 Tahun
Berturut-turut (2)
A A
B A
A B
B B
A = tidak memberitahukan/tidak melakukan kegiatan. B = memberitahuan/melakukan kegiatan.
mela-146
kukan kegiatan sesuai AD selama tiga tahun
berturut-turut’. Jika yayasan hanya melanggar
salah satu dan memenuhi yang lain, misalnya 1B dan 2A atau 1A dan 2B, maka pelanggaran tersebut tidak memenuhi syarat eksekusi dili-kuidasi.
Rumusan batasan waktu paling lambat satu tahun sebenarnya sudah jelas dan tegas. Batasan ini bisa berarti berada dalam rentang waktu penyesuaian AD dan dapat pula di luar itu. Jika penyesuaian dilaksanakan tanggal 7 Juni 2006 misalnya, maka pemberitahuan kepada menteri paling lambat tanggal 7 Juni 2007. Ini masih dalam rentang waktu penyesuaian AD. Jika penyesuaian AD dilakukan pada tanggal 6 Oktober 2008, maka waktu satu tahun itu berarti paling lambat 6 Oktober 2009 atau di luar rentang waktu penyesuaian AD. Dengan ketentu-an ini, tampak bahwa pemberitahuketentu-an penyesuai-an AD ypenyesuai-ang melewati batas waktu 7 Juni 2007 dan 6 Oktober 2009 merupakan pelanggaran.
147
Persoalan berikutnya ialah pemberian sanksi yang sama bagi yayasan yang tidak melakukan penyesuaian sama sekali dan yayasan sebagai-mana disebutkan pada 1A dan 2A. Penyamaan sanksi bagi dua yayasan yang kondisinya berbe-da mengusik rasa keadilan hukum.
Hal yang lebih sulit dimengerti secara logika adalah sanksi “...harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 68 Undang-Undang.” Sanksi ini sama
dengan mengadili diri sendiri, menghukum diri sendiri, berdasarkan kesadaran dan kemauan sendiri. Apakah hal itu mungkin? Jika mungkin, lalu kapan hal itu harus dilakukan, bagaimana tatacara penyerahan sisa hasil likudasi kekayaan yayasan kepada yayasan yang memunyai maksud dan tujuan yang sama? Hal ini tidak diatur dalam Pasal 68 UUY atau Pasal 39 PP.
Dikaitkan dengan ketentuan Pasal 62 tentang
pembubaran yayasan, sanksi “dapat dibubarkan”
148
a. Jangka waktu yang ditetapkan dalam AD
te-lah berakhir;
b. Tujuan yang ditetapkan dalam AD telah
ter-capai.
Bubar karena paksaan didasarkan pada pu-tusan pengalisan yang telah memeroleh kekatan hukum yang tetap. Putusan pengadilan ini harus
didasarkan pada tiga alasan sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 62 huruf c, yaitu:
1) yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan; 2) tidak mampu membayar utang-nya setelah diutang-nyatakan pailit; atau 3) harta kekayaan yayasan tidak cukup untuk melu-nasi utangnya setelah pernyataan pailit dica-but.
149
tindakan eksekusi dengan alasan dasar hukum Pasal 71 ayat (4) sekaligus merupakan pelang-garan atas ketentuan dalam Pasal 62 UU yang sama, yaitu UUY.
Berdasarkan jalan pikiran tersebut, tampak bahwa pengaturan sanksi dan posisi kejaksaan dalam ketentuan peralihan mirip patung polisi di persimpangan jalan. Ia hadir mengingatkan, teta-pi ketika pengendara menerobos rambu jalan, patung polisi tidak dapat berbuat apa-apa. San-ksi yang demikian tidak memiliki kekuatan, baik pada tataran ide hukum maupun tataran empiris guna memerlancar bekerjanya ketentuan hukum.
Penelitian Bisdan37 menyatakan beberapa
alasan mengapa Kemenkumham tidak mengam-bil tindakan tegas kepada yayasan tersebut. Yang utama adalah pertimbangan nilai kemafaatan atas tindakan hukum. Disadari sepenuhnya bah-wa kontribusi yayasan dalam membantu melak-sanakan program Pemerintah Indonesia memba-ngun bangsa relatif besar. Upaya yayasan sudah berlangsung jauh-jauh hari sebelum UUY bahkan sebelum Indonesia merdeka. Jika yayasan seperti itu dibubarkan, maka yang muncul bukanlah ketertiban dan keteraturan, melainkan kericuhan
37
150
dan kekacauan; bukan keadilan melainkan kepincangan; bukan kebahagiaan tetapi kesusah-an bagi, bukkesusah-an hkesusah-anya yayaskesusah-an, tetapi juga masyarakat secara umum.
Jika yayasan penyelenggara pendidikan dibu-barkan misalnya, maka penyelenggaraan pendi-dikan pada yayasan itu akan terbengkalai. Ini menimbulkan banyak masalah. Misalnya pendi-dikan siswa terbengkalai atau hilangnya pekerja-an guru dpekerja-an pegawai, ypekerja-ang berakibat pada ter-ganggunya ekonomi keluarga. Jika hal ini terjadi, dapat dipastikan bahwa berbagai masalah besar lainnya dalam kehidupan berbangsa dan berne-gara segera menyusul, seperti masalah politik, sosial, ekonomi, dan hak asasi manusia.
Tampaknya jalan pikiran tersebut sama de-ngan kebanyakan penyelenggara yayasan. Mere-ka menilai bahwa kehadiran yayasan dalam masyarakat jauh lebih penting daripada kehadir-an UUY. Apa ykehadir-ang diatur dalam UUY dkehadir-an keha-rusan penyesuaian AD dengan UUY tidak mem-beri manfaat signifikan bagi kemajuan yayasan. Sebaliknya, UUY malahan dianggap tidak adil karena kekayaan pendiri yang digunakan untuk
memerlancar kegiatan yayasan seolah-olah
151
Dalam perbincangan penulis dengan Tri
Budi-ono38, salah seorang pengurus yayasan Salib
Putih, Salatiga dan Kustadi39, salah seorang
pengurus Yayasan Sion Salatiga, terung-kap bahwa yayasan melakukan penyesuaian AD ter-hadap ketentuan UUY lebih didorong oleh kepen-tingan praktis. Dalam hal ini sekedar memenuhi syarat yang ditetapkan Dinas Sosial atau dinas
lain untuk mendapatkan bantuan40 atau hal-hal
tertentu yang diperlukan lembaga41. Dengan kata
lain motivasi penyesuaian AD dilakukan bukan karena diyakini bahwa hal itu dapat me-macu
perkembangan yayasan. Yayasan terpaksa
karena disyaratakan oleh pemerintah bahwa untuk mendapatkan bantuan seperti kompensasi BBM, dana operasional Panti Asuhan, sumbangan pendidikan dan bantuan biaya makan anak-anak panti, pakaian, dan bayaran biaya sekolah, yayasan harus memiliki bukti pengesahan penyesuaian AD dari Kemenkumham.
Contoh lainnya adalah Yayasan Sion. Yayasan yang mengelola sekolah (SD, SMP, dan SMK), panti asuhan (Salatiga dan Getasan), dan panti jompo (di Jalan Ahmad Yani Salatiga) ini melakukan penyesuaian AD pada tahun yang sama dengan Yayasan Salib Putih.
41 Banyak ketentuan di Dikti secara eksplisit menyebutkan syarat
152
melakukan penyesuaian AD sekedar memenuhi persyaratan administrasi untuk mendapatkan bantuan dana atau ijin mendirikan perguruan tinggi atau program studi baru.
Dari sisi pengadilan, penegakan hukum yaya-san juga tidak mudah. Selain adanya pertentang-an Pasal 71 ayat (4) terhadap Pasal 62, huruf c tersebut di depan, ada persoalan teknis hukum yang menghambat tindakan Pengadilan. Posisi Pengadilan dalam ketentuan Pasal 71 ayat (4) bersifat pasif. Pengadilan hanya boleh mene-tapkan putusan apabila ada pengaduan dari pi-hak Kejaksaan atau pipi-hak lain yang berkepen-tingan.
Hal serupa dialami oleh pihak kejaksaan. Selain adanya pembatasan kewenangan yang diatur secara ketat dalam ketentuan hukum, hambatan teknis kejaksaan adalah keterbatasan waktu dan tenaga kejaksaan untuk mengiden-tifikasi yayasan yang melanggar ketentuan peralihan UUY. Kasus-kasus yang ada di Kejak-saan sendiri sering tertunda pelimpahannya ke Pengadilan karena keterbatasan tersebut.
153
seperti halnya pengadilan. Pasal 30 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menegaskan:
Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat ber-tindak baik di dalam maupun di luar pengadil-an untuk dpengadil-an atas nama negara atau peme-rintah.
Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa kejaksaan hanya dapat bertindak apabila
peme-rintah42 memberinya kuasa khusus untuk
me-nangani pelanggaran yayasan. Adanya surat kua-sa khusus pun, tidak berarti pihak kejakkua-saan dapat langsung bertindak. Surat kuasa perlu disertai ketentuan hukum yang mengatur tata cara pelaksanaan dan instrumen pengidentifika-sian berbagai hal tentang pelanggaran yayasan. Hal ini diperlukan untuk menentukan permohon-an putuspermohon-an pengadilpermohon-an macam apa ypermohon-ang tepat dimohonkan. Ketentuan dan instrumen tersebut tidak diatur dalam UUY.
Jika mengharapkan adanya permohon dari pihak yang berkepentingan, persoalan yang mengganjal tetap saja berkutat pada persoalan hukum. Ketentuan tentang tatacara, prosedur, dan kriteria masalah yang dapat diajukan oleh
42 Dalam hal ini, Gubernur atau Bupati/Walikota tempat
154
pihak yang berkepentingan kepada Pengadilan sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya gugatan yang tak berdasar. Hal ini juga tidak diatur dalam UUY dan PP.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa sanksi bagi yayasan yang tidak melakukan penyesuaian AD tidak dapat dieksekusi. Kalau pun dileksekusi secara paksa, maka eksekusi itu, selain melanggar ketentuan lain dalam UUY, eksekusi itu sendiri tidak memiliki urgensi dalam upaya pencapaian tujuan hukum yang adil.
Berdasarkan jalan pikiran di atas, penulis berpendapat bahwa ketentuan peralihan UUY tidak patut diterapkan secara sama pada seluruh yayasan. Selama masa penyesuaian AD, paling lambat tanggal 6 Oktober 2008, ketentuan tersebut tampak Lebih cocok dikenakan kepada: (1) perusahaan berkedok yayasan dan yayasan dalam lingkungan lembaga-lembaga negara atau perusahaan; (2) yayasan baru, yaitu yang didi-rikan setelah diberlakukannya UUY; (3) yayasan yang didirikan oleh lembaga atau perorangan bernuansa bisnis seperti penyelenggara pendidik-an dpendidik-an rumah sakit.
155
lain seperti disebutkan sebelumnya perlu diatur tersendiri, baik dengan merevisi beberapa pasal yang disebutkan sebelumnya, maupun dengan menerbitkan ketentuan baru, yang isinya antara lain:
a. Jika yayasan tersebut tetap memertahankan
bentuk yayasan, maka penghasilan yayasan, terutama sisa hasil setelah mencukupkan kebutuhan rutin yayasan, dipersentasekan jumlah yang harus dimanfaatkan untuk pengembangan kegiatan yayasan dan yang dapat dipakai untuk kepentingan ekonomi mereka. Posisi kekayaan yayasan dalam hal ini tetap merupakan milik pendiri atau keluarganya di bawah kontrol hukum. Untuk menyusun ketentuan ini pembuat UU perlu melibatkan yayasan. Alternatif ini mewadahi jasa historis dari yayasan.
b. Jika yayasan tersebut merasa keberatan,
156
yayasan tersebut dengan menyiapkan lembaga serupa yang memberikan pelayanan yang sama terhadap anggota masyarakat.
c. Ketentuan sanksi bagi pelanggar, termasuk
penegak hukum dan pejabat pada instansi pemerintah yang terkait dengan yayasan perlu dirumuskan secara jelas dan terukur.
3. Tindak Lanjut Ketentuan peralihan
Solusi yang ditawarkan ketentuan peralihan bagi yayasan yang tidak memenuhi ketentuan pasal 71 ayat (1) dan (2) UU UUY diatur dalam Pasal 36 dan Pasal 37 PP No. 63 Tahun 2008 jo PP No. 2 Tahun 2013.
Untuk yayasan yang tidak memenuhi
ketentuan versi ayat (1), masih diberi kesempatan menjadi badan hukum dengan syarat bahwa yayasan tersebut tetap melakukan kegiatan setidaknya 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian dan belum pernah dibubarkan. Jika dua hal ini terpenuhi, maka yayasan dapat melakukan penyesuaian dengan cara mengubah seluruh AD.
157
a. Laporan keuangan yang dibuat dan
ditanda-tangani oleh pengurus atau laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik bagi yayasan yang laporan tahunannya wajib diaudit sesuai dengan ketentuan UU.
b. Data tentang nama anggota pembina,
pengurus, dan pengawas yang diangkat saat penyesuaian.
Perubahan AD tersebut wajib disampaikan kepada menteri oleh pengurus yayasan atau kuasanya melalui notaris yang membuat akta perubahan AD yayasan. Untuk maksud ini, ada sembilan lampiran yang perlu disertakan, seperti diatur dalam Pasal 37 PP 63 jo Pasal 37A PP No. 2, yaitu:
a. Salinan akta perubahan seluruh anggaran
dasar yang dilakukan dalam rangka penye-suaian dengan ketentuan Undang-undang;
b. Tambahan Berita Negara Republik
Indone-sia yang memuat akta pendirian Yayasan atau bukti pendaftaran akta pendirian di pengadilan negeri dan izin melakukan kegiatan dari instansi terkait;
c. Laporan kegiatan Yayasan selama 5 (lima)
tahun berturut-turut sebelum penyesuaian Anggaran Dasar yang ditandatangani oleh Pengurus dan diketahui oleh instansi terkait;
d. Surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa
158
sukarela atau berdasarkan putusan peng-adilan;
e. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan
yang telah dilegalisir oleh notaris;
f. Surat pernyataan tempat kedudukan
disertai alamat lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat;
g. Neraca Yayasan yang ditandatangani oleh
semua anggota organ Yayasan atau laporan
akuntan publik mengenai kekayaan
Yayasan pada saat penyesuaian;
h. Pengumuman surat kabar mengenai
ikhtisar laporan tahunan bagi Yayasan yang sebagian kekayaannya berasal dari bantuan negara, bantuan luar negeri, dan/atau sumbangan masyarakat sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 72 Undang-Undang; dan
i. Bukti penyetoran biaya pemberitahuan
perubahan Anggaran Dasar Yayasan dan pengumumannya.
Anggaran dasar yang baru itu mulai berlaku sejak tanggal diterbitkannya surat penerimaan pemberitahuan perubahan AD oleh menteri.