• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENALARAN DAN KONTEKSTUALISASI IBADAH SHALAT DALAM MEMBINA KEPRIBADIAN SISWA DI SMA : Studi Analisis Deskriptif pada SMA Pesantren Unggul Al Bayan Sukabumi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENALARAN DAN KONTEKSTUALISASI IBADAH SHALAT DALAM MEMBINA KEPRIBADIAN SISWA DI SMA : Studi Analisis Deskriptif pada SMA Pesantren Unggul Al Bayan Sukabumi."

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...

i

KATA PENGANTAR ... ...

ii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... ... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian ...

1

B. Perumusan Masalah ... 17

C. Tujuan Penelitian ...

18

D. Manfaat Penelitian ... 19

BAB II KONSEP KEPRIBADIAN DAN IBADAH SHALAT

A. Beberapa Penelitian Terdahulu Tentang Pembinaan Kepribadian

Melalui Ibadah Shalat ... 20

1.

Peran Orang Tua dalam Membina Perilaku Ibadah Ritual Shalat

dan Do’a Anak ...

20

2.

Pengamalan Fadhailu A’mal dalam Membina Sikap Istiqamah

Santri Sondok Pesantren ...

22

B. Kajian Tentang Konsep Kepribadian ... 24

1. Pengertian kepribadian ... 24

a. Arti kepribadian secara istilah ... 24

b. Arti kepribadian secara bahasa ... 25

c. Pengertian kepribadian menurut psikologi ……... 26

d. Pengertian kepribadian menurut ahli filsafat ... 29

e. Pengertian kepribadian dalam Islam ... 30

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian ... 32

3. Aspek-aspek dan tahap-tahap perkembangan kepribadian …... 38

4. Pembinaan kepribadian ... 41

a. Metode pembiasaan ... 50

(2)

C. Kajian Tentang Ibadah Shalat ……... 55

1. Pengertian ibadah shalat ... 55

2. Kronologi ibadah shalat ...

59

3. Ibadah shalat berjama’ah ...

64

4. Tingkatan shalat ...

67

5. Hikmah shalat ...

70

6. Nilai-nilai edukatif dalam ibadah shalat ...

74

7. Pengaruh ibadah shalat dalam pembentukan kepribadian ...

86

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Kualitatif ...

91

B. Sumber Data dan Lokasi Penelitian ... 94

C. Teknik Pengumpulan Data ...

95

D. Langkah-Langkah Pengumpulan Data ...

97

E. Instrumen Penelitian ...

99

F. Pelaksanaan Penelitian ... 100

G. Asumsi Penelitian ...

102

H. Definisi Operasional ...

104

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Deskripsi Hasil Penelitian ... 116

1. Gambaran umum SMA PU Al Bayan ...

116

a. Profil SMA PU Al Bayan ...

116

b. Sejarah berdirinya SMA PU Al Bayan ... 119

c. Visi, misi, dan strategi ... 121

d. Sistem pendidikan ... 122

e. Kegiatan di SMA PU Al Bayan ... 137

f. Data lulusan SMA PU Al Bayan ... 146

2. Pembiasaan ibadah shalat di SMA PU Al Bayan ... 148

a. Makna ibadah shalat ... 148

b. Makna berjamaah ... 151

c. Internalisasi Shalat dalam Proses Belajar Mengajar ... 154

(3)

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 165

1. Pembinaan Kepribadian di SMA PU Al Bayan ... 165

2.

Penalaran dan Kontekstualisasi Ibadah Shalat ……

... 171

a.

Tujuan pembinaan perilaku yang hendak dicapai melalui

ibadah shalat pada siswa ... 171

b.

Nilai-nilai dan sikap yang ditanamkan oleh sekolah dan

guru-guru kepada siswa melalui shalat ... 173

c.

Metode yang digunakan dalam pembinaan kepribadian dan

sikap siswa melalui shalat di SMA ... 180

d.

Proses pembinaan kepribadian dan akhlak siswa yang

berlangsung dalam shalat di SMA PU Al Bayan ... 185

e.

Penciptaan iklim lingkungan belajar yang mendukung

keber-langsungan penalaran dan kontekstualisasi ibadah shalat ... 208

C. Temuan Dalam Penelitian

1. Temuan Keunggulan ... 226

2. Temuan Masalah ... 229

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan ... 232 B. Saran ... 236

DAFTAR PUSTAKA ... 238

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

(5)

Berkaitan dengan fungsi shalat tersebut, Adz-Dzakiey (2005:300)

mengemukakan bahwa ibadah shalat merupakan media pelatihan dan proses evaluasi

menuju kepada pengislaman hakikat diri secara praktis, empiris, dan ruhaniyah.

Dimensi pendidikan dalam ibadah shalat ini, menurut Rusli Amin (2004:175)

merupakan tujuan pragmatis bagi umat Islam yang telah ditegaskan dalam al-Quran.

Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa ‘inilah fakta bahwa Allah SWT mensyariatkan

shalat tidak hanya untuk memperluas ruang mencari pahala, melainkan juga sebagai

pendidikan pragmatis bagi umat Islam agar sukses dalam menghadapi hidup dan

kehidupan di dunia. Dengan demikian kepribadian sebagai salah satu penunjang

kesuksesan hidup seseorang di dunia dapat dibina melalui ibadah shalat yang ia

laksanakan secara baik dan benar.

Bagi seorang muslim yang beriman, ibadah shalat yang berulangkali

dilakukan merupakan kewajiban keseharian yang tidak bisa ditinggalkan.

Sebagaimana firman Allah, “Maka dirikanlah shalat; sesungguhnya shalat itu adalah

kewajiban yang telah ditentukan waktu-waktunya bagi orang yang beriman.” (QS.

An-Nisa’ 4:103). Selama hayat masih dikandung badan, setiap muslim baik yang sehat

maupun yang sakit seluruhnya wajib melaksanakan shalat, termasuk mereka yang

karena sakitnya tidak mampu melaksanakannya dengan berdiri, bahkan yang tidak

mampu dengan duduk, atau bahkan yang lumpuh sekalipun. Kewajiban shalat bagi

seorang muslim ini berdasar pada hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhari

dan Muslim dari Umar bahwa, “(Agama) Islam itu dibangun dengan lima perkara;

syahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,

(6)

1990:166). Begitu pentingnya ibadah shalat dalam ajaran Islam sehingga ia menjadi

ciri utama yang membedakan seorang muslim dari mereka yang kafir sebagaimana

sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Muslim, “perbedaan antara seorang laki-laki

(mukmin) dengan seorang kafir adalah meninggalkan shalat. (Zaini, 1990:v).

Demikianlah diwajibkannya ibadah shalat bagi seseorang yang telah mengikrarkan

bahwa dirinya muslim yang mukmin.

Sebagai ibadah, shalat merupakan upacara lahir-batin yang mesti bagi setiap

makhluk manusia sebagaimana firman Allah yang dinyatakan dalam Al-Quran kitab

suci umat Islam (QS. Adz-Dzariyat 51:56), “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan

manusia melainkan supaya mereka beribadah (mengabdi) kepada-Ku

..”

. Firman ini

mengandung pemahaman bahwa ritus shalat kepada Allah sesungguhnya merupakan

sebuah sarana pengokoh individu dalam menjalankan misi besar hidup di alam dunia

dan merupakan konsekuensi bagi manusia yang telah diciptakan dan dihidupkan. Oleh

karena ibadah ini merupakan maksud dan tujuan utama manusia diciptakan, maka

ibadah atau pengabdian ini akan Allah SWT pertanyakan atau dimintai

pertanggungjawaban dari manusia pada saat kembali pada-Nya, yaitu pada hari

qiyamat. Namun secara khusus shalat yang dilakukan berulangkali itu memiliki

(7)

akan diterimalah darinya semua amalnya. Tetapi jika shalatnya ditolak, akan

ditolaklah darinya semua amalnya.” (Zaini, 1990:vi). Jelaslah bahwa ibadah itu

diwajibkan karena seseorang itu hidup sehingga dapat dibedakan di antara

manusia-manusia yang hidup ini mana yang beriman dan tetap dalam misi Tuhan Penciptanya

serta mana diantara mereka yang ingkar kepada Allah Penciptanya dalam hidupnya.

Selain apa yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, ibadah juga

telah Allah SWT tetapkan bagi manusia berkaitan dengan fungsi dan eksistensi

manusia itu sendiri sebagai khalifah fil ardh (pemimpin di atas bumi), sebuah peran

besar yang tidak disanggupi oleh semua makhluk di alam ini. Peran sebagai khalifah

fil ardh sangatlah berat karena tugas-tugas yang diemban bukanlah urusan yang

(8)

potensi-potensi bio-fisik dan spiritual-psikis, dan perangainya yang menunjang peran

hidupnya sebagai khalifah. Dengan kata lain, manusia yang diciptakan secara utuh itu,

dengan ia beribadah kepada Allah SWT maka sifat, jiwa, dan perangainya pun

senantiasa terpelihara sehingga tetap mencerminkan kepribadian manusia yang utuh.

Dengan shalat yang dilakukan secara berulang-ulang ini, Islam mengajarkan

umatnya agar senantiasa menjalankan misi dan peran hidup ini agar diri dan hidupnya

senantiasa terbimbing sebagai ‘ibady atau manusia-manusia yang setia dalam

menjalankan misi ibadah kepada Allah Penciptanya serta kembali kepada-Nya dalam

keadaan puas, lapang, dan bahagia (radhiyatan) yang sesungguhnya itulah peringkat

yang memuaskan (mardhiyah) karena ia mendapatkan surga. Manusia-manusia yang

diri dan hidupnya senantiasa konsisten dan setia dalam ibadah kepada Allah SWT

tersebut di atas mereka digelari sebagai pribadi muthmainnah, manusia-manusia yang

memiliki kepribadian tenang, tentram, dan mendapatkan kedamaian. Sesungguhnya

selain pribadi muthmainnah ini, ada dua kepribadian lain : pertama, yang disebut

pribadi lawwamah, yaitu manusia-manusia yang dirinya masih dilanda kegelisahan

karena sikap dan perilaku mereka yang tidak/belum terbimbing sebagai ‘ibady; kedua,

pribadi yang sikap dan perbuatannya (masih) dikendalikan oleh nafsu (ammarah

bissu’i). Kedua kepribadian terakhir masih diwarnai oleh perasaan-perasaan tidak

(9)

hadapan Allah SWT yang tentunya berimplikasi pada citra kepribadiannya dalam

pandangan sesama manusia.

Pendidikan, secara umum, sebagai kegiatan mengubah perilaku individu anak

dan remaja kearah kedewasaan dan kematangan memiliki tujuan agar individu tersebut

menjadi insan kamil, atau manusia sempurna. Kesempurnaan manusia yang dimaksud

adalah keberadaannya yang sejak lahir merupakan satu kesatuan tak terpisahkan antara

aspek jasmani dan rohani, lahir dan batin, atau jiwa dan raga. Mengenai

kesempurnaan manusia ini, Al-Attas dalam Wan Daud (2003: 94) menjelaskan bahwa

manusia bukanlah makhluk ruh murni dan bukan pula jasad murni, melainkan

makhluk yang secara misterius terdiri dari kedua elemen ini, dan yang disebut entitas

ketiga, yaitu jati dirinya sendiri. Kemudian Nursid Sumaatmadja (1998:18)

menjelaskan bahwa keberadaan manusia yang individe itu, secara biologis lahir

dengan kelengkapan fisik yang tidak ada bedanya dengan makhluk hewani, akan tetapi

secara psikologis ia sangat berbeda dengan makhluk hewani manapun, bahwa manusia

dilengkapi dengan potensi-potensi psikologis yang berkembang dan dapat

dikembangkan. Pengembangan potensi-potensi inilah yang kemudian dinyatakan

sebagai

pendidikan.

Dengan

pengembangan

potensi-potensi

bio-fisik-psikis

diharapkan individu akan menjadi manusia yang tumbuh secara sempurna. Dalam hal

ini ibadah shalat memiliki fungsi yang sama yang dapat mengarahkan seseorang agar

berkembang tetap sebagai insan kamil.

(10)

kepribadian. Kepribadian ini merupakan keseluruhan perilaku individu yang

merupakan hasil interaksi antara potensi-potensi bio-psiko-fisikal yang terbawa sejak

lahir dengan rangkaian situasi lingkungan, yang terungkap pada tindakan dan

perbuatan serta reaksi mental-psikologisnya, jika mendapat rangsangan dari

lingkungan. (Nursid, 1998:22). Sebagai makhluk yang berwujud kesatuan antara

jasmani dan ruhani tentu perkembangan kepribadiannya terbentuk melalui dua aspek

pokok jasmani dan ruhani.

(11)
(12)

2) Mengajarkan pendidikan kemiliteran dan kedisiplinan, 3) membina kekuatan ruh

dan jiwa, 4) membina kekuatan akhlak, dan 5) sejalan dengan olah raga fisik. Dari

beberapa keistimewaan ibadah shalat yang dikemukakan oleh Amin dan Qaradhawi di

atas menunjukkan bahwa ibadah shalat bukanlah sekedar amalan ibadah yang

mendatangkan pahala dan barokah dari Allah SWT, melainkan juga ada hikmah

kebaikan yang akan diraih oleh seorang beriman yang melaksanakannya secara baik

dan benar berupa pembinaan. Pembinaan yang sejalan dengan pembinaan kepribadian.

Pembinaan yang menanamkan nilai-nilai dan sekaligus mengembangkan potensi

manusia dalam berbagai aspek perkembangan sehingga memungkinkan menjadi

sarana bagi terbentuknya kepribadian sempurna. Memahami hakikat ibadah shalat

sebagaimana telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa ibadah yang satu ini

merupakan amalan ibadah yang sangat penting sebagai hubungan seorang manusia

dengan Tuhan Penciptanya, sekaligus sebagai sarana pembinaan bagi pengembangan

kepribadiannya.

(13)

dan hakikat batiniah dari shalat itu sendiri sehingga ia tidak memperoleh kenikmatan

dalam perjumapaan dengan Rabb-nya, serta tidak mengalami perubahan dalam

eksistensi diri maupun kepribadiannya. Inilah gambaran shalat yang sia-sia, yaitu

shalatnya orang-orang yang lalai (sahun), shalatnya orang-orang yang riya (ingin

dipandang), dan shalat yang tidak mendorong untuk peduli dan berbuat baik kepada

sesama. (QS. Al-Ma’un, 107:4-7). Sikap dan sifat lalai, ketidaksesuaian antara lisan,

perbuatan, dan hati pada saat seseorang bersikap riya, kemudian ketiadaan rasa peduli

tersebut di atas sudah jelas merupakan contoh-contoh sikap yang tidak mencerminkan

kepribadian. Berdasarkan pada keterangan di atas dapatlah dikatakan bahwa ibadah

shalat dapat berfungsi sebagai pembinaan kepribadian manusia utuh manakala ibadah

shalat yang dilakukan secara totalitas, mencakup syariat sekaligus hakikatnya.

(14)

Shalat adalah kewajiban bagi setiap muslim, kewajiban pertama yang mesti

dilaksanakan oleh orang yang telah menyatakan dan berjanji (syahadah) Islam sebagai

din, jalan hidupnya. Ia adalah amalan pertama yang akan dihisab oleh Allah Swt. di

hari akhir. Shalat adalah kewajiban setiap muslim laki-laki maupun perempuan baik

yang masih muda maupun sudah lanjut usia. Begitu seseorang sudah mencapai aqil

dan baligh maka ia telah dikenakan kewajiban untuk melaksanakan ibadah shalat.

Remaja yang telah memasuki pendidikan tingkat menengah pada umumnya telah

dapat dikategorikan aqil dan baligh. Oleh karena itu, mereka telah dibebani kewajiban

shalat dan mereka dituntut untuk mampu melaksanakan ibadah shalat wajib lima

waktu. Agar mereka memiliki kemampuan melaksanakan shalat sejak kecil, orang tua

memiliki kewajiban mendidik dan membina secara benar, baik mengajarkannya secara

langsung maupun dengan cara memasukkan ke lembaga pendidikan tertentu yang

dapat mengajarkan putra-putrinya melaksanakan ibadah shalat dengan baik.

(15)

yang sama dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim

bahwasanya Rasulullah saw. mengingatkan kaum muslimin, “Tidak satupun anak lahir

kecuali dalam keadaan fitrah (suci dari kemusyrikan), kedua ibu bapanyalah yang

menjadikan dia Yahudi, Nashrani atau Majusi.” Proses pendampingan yang diperlukan

oleh remaja adalah pendampingan yang penuh dengan perhatian, kasih sayang, dan

motivasi.

(16)

siswa berada di sebuah sekolah dengan sistem keasramaan yang selama 24 jam dalam

sehari siswa terus dapat didampingi oleh guru. Dan proses pembinaan yang dapat

dilakukan di sekolah tersebut tidak hanya pembinaan yang bersifat formal melainkan

juga, pembinaan yang bersifat informal.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 Tentang

Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan dapat diselenggarakan

melalui tiga jalur, pertama, pendidikan formal yang diselenggarakan di sekolah;

kedua, pendidikan non-formal yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tertentu, dan

ketiga, pendidikan informal yang dijalankan sehari-hari dalam keluarga dan

masyarakat. Dengan demikian maka pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah

(kelas), melainkan juga berlangsung dalam keluarga dan masyarakat. Keberhasilan

pendidikan individu dalam membentuk kepribadian dan kedewasaannya sangat

ditunjang oleh keharmonisan antara ketiga jalur pendidikan tersebut. Demikian juga

pembinaan individu agar berkepribadian secara utuh mesti diupayakan secara

sungguh-sungguh melalui ketiga jalur tersebut.

Pendidikan umum (terutama pada jalur sekolah) merupakan jenis pendidikan

yang mengutamakan perluasan pengetahuan. Karakter ini merupakan gambaran yang

menekankan pendidikan umum sebagai sistem yang mengintegrasikan berbagai ilmu

(integrated knowledge sistem ). Sebagaimana kenyataan bahwa lahirnya Pendidikan

Umum diantaranya adalah sebagai jawaban atas masalah kehidupan modern

(17)

memenuhi tuntutan logis dari kemajuan industri dan teknologi sehingga menyebabkan

sikap arogansi disipliner dan dikotomi keilmuan tadi melahirkan lulusan-lulusan yang

berkepribadian lemah (split personality), tidak utuh. Dengan demikian Pendidikan

Umum memiliki peran dan posisi yang sangat strategis dalam pembinaan manusia

Indonesia seutuhnya.

(18)

penghayatan komitmen dan penyusunan nilai-nilai agama sebagai jalan esensial

kepada karakter dan ahlak mulia.

Dalam konteks Indonesia, pendidikan agama sangat mendapat dukungan dari

berbagai sendi pendidikan nasional, yakni: akar budaya bangsa Indonesia, Pancasila,

dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu ciri masyarakat Indonesia adalah religius,

yang berarti bahwa kehidupannya disemangati oleh nilai-nilai agama. Di samping itu,

dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menuntut segala

aktivitas bangsanya, termasuk pendidikan, senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai

Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula berkaitan dengan ciri manusia Indonesia

seutuhnya yang menjadi tujuan pendidikan nasional, adalah manusia yang beriman

dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sendi-sendi tersebut menuntut seluruh

bentuk pendidikan di Indoensia harus berlandaskan pada nilai-nilai agama.

Dalam pandangan keislaman Abul Qosim (2003:1), agama itu sejalan dengan

pembinaan manusia manusiawi sebagaimana dalam definisinya: “Agama (al-Din)

adalah seluruh jenis sikap dan perbuatan dalam rangka keimanan dan tanggungjawab

kepada Allah bagi pembentukan pola pikir dan keyakinan, demi menghidupkan

prinsip-prinsip luhur moralitas atau akhlak kemanusiaan yang pada gilirannya

berperan dalam melestarikan hubungan yang baik dan harmonis di antara individu

manusia, sekaligus mengenyahkan setiap bentuk diskriminasi yang tidak semestinya.”

(19)

dunianya. Suatu upaya pembinaan yang sangat relevan bagi pembentukan insan kamil,

manusia seutuhnya. Oleh karenanya bagi umat Islam, ibadah shalat sebagai sarana

komunikasi antara makhluk dengan khaliknya akan diliputi oleh barakah, rahmat dan

ampunan. Mereka memanfaatkan kesempatan yang satu ini untuk mendekatkan diri

(taqarrub) kepada Allah SWT. dengan cara melaksanakan ibadah shalat yang telah

dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. melalui muqarrabah dan yang senantiasa

sampai akhir hayat inilah umat Islam mendapatkan pembinaan menjadi insan kamil,

manusia sempurna.

(20)

Berdasarkan pada uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis memandang

implementasi perintah shalat dalam membina kepribadian siswa di SMA PU Al Bayan

merupakan suatu hal yang perlu dikaji dalam rangka mengembangkan pendidikan

keagamaan dalam pendidikan umum, terutama bila dikaitkan dengan jati diri

pendidikan umum itu sendiri sebagai pendidikan kepribadian, pendidikan

memanusiakan manusia, yang menekankan pada pembinaan kepribadian.

B. Perumusan Masalah

Untuk memperjelas masalah penelitian ini, diperlukan suatu fokus kajian

yang lebih terarah dan pembatasan masalah yang jelas, sehingga diharapkan penelitian

ini dapat menghasilkan suatu kajian yang mendalam, bukan hanya melihat fenomena

yang tampak saja namun ingin melihat lebih jauh dari itu. Untuk itu, penelitian ini

akan difokuskan pada upaya-upaya yang dilakukan oleh kepala sekolah dan guru-guru

dalam membina kepribadian siswa di SMA PU Al Bayan.

Oleh karena pembahasan masalah upaya pembinaan kepribadian masih sangat

luas, maka penelitian ini dibatasi pada aspek pembinaan kepribadian yang diupayakan

melalui implementasi ibadah shalat. Untuk mencapai batasan ini maka penelitian

difokuskan pada penalaran dan kontekstualisasi ibadah shalat yang dilaksanakan di

SMA PU Al Bayan.

(21)

kontekstualisasi ibadah shalat dalam membina kepribadian siswa di SMA PU Al

Bayan?”.

Pertanyaan pokok penelitian di atas dijabarkan ke dalam

pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pembinaan kepribadian melalui implementasi

ibadah shalat yang diselenggarakan di SMA PU Al Bayan.

1.

Apa tujuan pembinaan perilaku yang hendak dicapai melalui ibadah shalat pada

siswa SMA ?

2.

Nilai-nilai dan sikap apa yang ditanamkan oleh sekolah dan guru-guru kepada

siswa di SMA melalui shalat ?

3.

Metode apakah yang digunakan dalam pembinaan kepribadian dan sikap siswa

melalui shalat di SMA ?

4.

Bagaimana proses pembinaan kepribadian dan akhlak siswa yang berlangsung

dalam shalat di SMA PU Al Bayan?

5.

Bagaimana

penciptaan

iklim

lingkungan

belajar

yang

mendukung

keberlangsungan penalaran dan kontekstualisasi ibadah shalat di SMA ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan masalah penelitian yang telah diuraikan di

atas secara umum bertujuan mendeskripsikan penalarandan kontekstuaisasi ibadah

shalat dalam membina kepribadian siswa di SMA PU Al Bayan Sukabumi.

Tujuan yang hendak dicapai secara rinci dalam penelitian ini adalah untuk:

1.

Mengetahui tujuan pembinaan perilaku yang hendak dicapai melalui ibadah shalat

(22)

2.

Mengidentifikasi nilai-nilai dan sikap yang ditanamkan oleh sekolah dan

guru-guru kepada siswa di SMA melalui shalat.

3.

Mengetahui metode yang digunakan dalam pembinaan kepribadian dan sikap

siswa melalui shalat di SMA.

4.

Mengetahui proses pembinaan kepribadian dan akhlak siswa yang berlangsung

dalam shalat di SMA PU Al Bayan.

5.

Mengetahui

penciptaan

iklim

lingkungan

belajar

yang

mendukung

keberlangsungan penalaran dan kontekstualisasi ibadah shalat di SMA.

D. Manfaat Penelitian

Apabila tujuan-tujuan di atas tercapai, diharapkan hasil penelitian ini dapat

diambil beberapa manfaat antara lain: Manfaat teoritis dan manfaat praktis. Adapun

manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian ini terutama bagi pengembangan

pendidikan Umum adalah sebagai berikut: 1) dikembangkannya konsep pembinaan

kepribadian yang berlandaskan nilai-nilai religi. 2) ditemukan gagasan-gagasan untuk

pengembangan pendidikan umum khususnya pada bidang pendidikan keagamaan. 3)

ditemukan gagasan-gagasan agama yang memperkuat konsep-konsep pendidikan

umum.

(23)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Kualitatif

Dalam suatu penelitian, metode yang digunakan merupakan hal penting yang

menentukan berhasil atau tidaknya penelitian tersebut. Oleh karena itu, metodologi

penelitian perlu ditetapkan berdasarkan sifat masalah, kegunaan dan hasil yang hendak

dicapai. Berdasarkan permasalahan yang akan diteliti, maka penelitian ini

menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan naturalistik.

Dalam bidang pendidikan, penelitian kualitatif sering disebut incuiri

naturalistik, karena peneliti mengamati, mencatat, mewawancarai secara bebas

berdasarkan keperluan di tempat kejadian di mana peneliti tertarik pada suatu kejadian

atau objek tertentu secara alami (wajar).

Data yang menjadi bahan dalam penelitian ini adalah: 1) hasil pengamatan

langsung peneliti terhadap peristiwa yang terjadi; 2) hasil wawancara dengan

orang-orang yang dimintai keterangannya dalam suasana wajar; dan 3) dokumen-dokumen

tertulis yang dikumpulkan oleh peneliti.

Pengumpulan data tersebut dilakukan secara alami (wajar) seperti dalam

percakapan sehari-hari, mengunjungi, makan-makan, dan melihat serta mengamati

perilaku seadanya tidak dibuat-buat dari objek yang diteliti.

(24)

perkembangan terjadinya sesuatu; (5) mencari makna di belakang kelakuan atau

perbuatan, sehingga dapat memahami masalah atau situasi; (6) mengutamakan data

langsung atau “First hand”; (7) triangulasi: data atau informasi dari satu pihak haruis

diteliti kebenarannya dengan cara memperoleh data itu dari sumber lain;

(8) menonjolkan rincian kontekstual; (9) subyek yang diteliti dipandang berkedudukan

sama dengan peneliti; (10) mengutamakan perspektif emic, artinya mementingkan

pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dari

segi pendiriannya; (11) verifikasi, antara lain melalui kasus yang bertentangan atau

negatif; (12) samping yang purposif, artinya sampelnya cukup sedikit dan dipilih

menurut tujuan penelitian; (13) mengutamakan “audit trail” (mengikuti jejak atau

melacak) untuk mengetahui apakah laporan penelitian sesuai dengan yang

dikumpulkan; (14) partisipasi tanpa mengganggu, untuk memproleh situasi yang

“natural” atau wajar; (15) mengadakan analisis sejak awal penelitian.

Berdasarkan permasalahan yang akan diteliti, serta merujuk pada pandangan

Nasution, tentang penelitian kualitatif dan ciri-cirinya tersebut di atas, maka penelitian

ini menggunakan suatu strategi kualitatif dengan pendekatan naturalistik, pendekatan

ini menuntut pemahaman yang lebih mendalam terhadap subyek yang diteliti, tidak

sekedar mencari jawaban atas pertanyaan “apa” dan “bagaimana”, tetapi juga mencari

jawaban atas pertanyaan “mengapa”. Oleh karena itu, penelitian ini tidak hanya

mendeskripsikan data, akan tetapi peneliti mencoba mengangkat makna-makna dan

prinsip-prinsip mendasar yang terdapat pada data-data penelitian.

(25)

langkah-langkah sebagai berikut: (1) penegasan pada fokus dan tujuan penelitian;

(2) mengamati dan mencatat peristiwa-peristiwa yang terkait dengan data-data yang

diperlukan seperti dalam peristiwa serah terima orang tua siswa dengan kepala

sekolah, proses belajar mengajar di kelas, evaluasi ubudiyah ba’da maghrib di masjid,

kegiatan pembinaan di asrama, dan lain sebagainya; (3) mengumpulkan

dokumen-dokumen tertulis seperti laporan hasil Raker, jadwal evaluasi ubudiyah, kurikulum

pengajaran dan kepesantrenan, peraturan-peraturan sekolah, tata tertib di asrama yang

tertulis, dan pemotretan beberapa kegiatan atau peristiwa atau lokasi-lokasi yang

dianggap menunjang; (4) memasukkan data-data yang telah diperoleh ke dalam

bagian-bagian tertentu sesuai dengan sub permasalahan; (5) mengembangkan

pertanyaan penelitian untuk mempertajam analisis dan penafsiran data; (6) membuat

penafsiran secara umum terhadap data yang diperoleh sesuai dengan gagasannya;

(7) hasil analisis dan penafsiran, kemudian dibuat suatu simpulan sebagai temuan dari

penelitian ini.

Fokus masalah dalam penelitian ini adalah masalah pembinaan kepribadian

manusia utuh melalui implementasi ibadah shalat di SMA Pesantren Unggul Al Bayan

Sukabumi. Sesuai dengan fokus penelitian ini, maka data-data objektif yang telah

dideskripsikan itu selanjutnya dianalisis dengan cara mengangkat makna-makna

esensial dari gejala-gejala yang bersifat alami (wajar).

(26)

Demikian halnya dengan penelitian ini, dalam mengambil nilai-nilai esensial,

peneliti melakukan penelusuran makna-makna yang terkandung pada gelaja-gejala

alami (wajar) dengan mempertimbangkan aspek budaya, historis, geografis, dan

nilai-nilai yang berlaku serta diyakini oleh objek penelitian.

B. Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu:

Pertama, sumber data primer (utama) adalah sebagai berikut: (1) situasi alami

(wajar) yang terjadi di lingkungan sekolah itu sendiri baik situasi fisik maupun

nonfisik; (2) kepala sekolah dan guru sebagai nara sumber di SMA PU Al bayan;

(3) para guru terutama yang dilibatkan dalam pembinaan siswa sehari-hari. Data–data

yang diperoleh dari mereka berupa hasil pengamatan peneliti terhadap

peristiwa-peristiwa pendidikan yang terjadi saat itu, hasil wawancara dengan berbagai pihak

dalam situasi dan kondisi.

Kedua. sumber data sekunder (penunjang), yaitu segala sesuatu yang

dianggap menunjang data-data primer di atas, antara lain: (1) dokumen-dokumen

resmi secara tertulis tentang sekolah Al Bayan seperti AD ART, kebijakan, hasil rapat

kerja secara tertulis; (2) dokumen-dokumen tidak resmi, seperti peraturan-peraturan

sekolah yang tertulis dan dipampangkan untuk dibaca dan diketahui oleh semua siswa,

maupun yang tidak dipampangkan namun para santri harus mengetahuinya;

(3) wawancara dengan masyarakat setempat yang tidak secara langsung terlibat dalam

(27)

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1.

Pengamatan langsung, yang dimaksud pengamatan langsung adalah peneliti

memperhatikan secara seksama atau merekam secara langsung peristiwa-peristiwa

yang terjadi pada saat itu di tempat tertentu, kemudian peneliti mencatat peristiwa

itu secara utuh. Peristiwa-peristiwa yang dicatat itu adalah peristiwa yang

berkaitan dengan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini seperti

mengamati peristiwa serah terima siswa dari orang tua kepada pihak sekolah

dalam hal ini adalah guru dan kepala sekolah, proses atau kegiatan-kegiatan

ubudiyah shalat, dan lain sebagainya.

2.

Wawancara; wawancara ini ditujukan pada perorangan. Ciri khas wawancara ini

adalah penekanannya pada hubungan perorangan yang kuat antara pewawancara

dan yang diwawancarai, sehingga hal-hal yang sifatnya pribadi sekalipun dapat

terungkap (Winarno Surakhmad, 1983:63).

Dalam wawancara diusahakan mengungkap data yang objektif dan menghindarkan

diri dari bias. Dalam penelitian ini pihak yang diwawancarai dengan bantuan dua

mitra di asrama dan seorang mitra di masjid meliputi: kepala sekolah, guru-guru,

dan para alumni, serta siswa-siswa itu sendiri. Sebagaimana dianjurkan oleh J.

Allen William Jr. (dalam Ikhsan Bunyamin, 1983:79), bahwa:

(28)

bahwa seorang pewawancara yang baik harus mampu untuk menciptakan

rapport yang baik dan juga mempertahankan objektivitas”.

3.

Observasi partisipasi, artinya peneliti, mengikuti kegiatan-kegiatan tertentu yang

dianggap menunjang pada data yang ingin diungkap, seperti pada acara pengajian

umum di masjid atau evaluasi ubudiyah bada maghrib, dan kegiatan mentoring hari

jumat untuk melihat langsung bagaimana proses pembinaan kepribadian di sekolah.

4.

Studi literatur dan dokumentasi, studi ini dilaksanakan untuk memperoleh data

teoritis sekaligus memperoleh data kongkrit berupa dokument-dokumen tertulis,

foto-foto dan hasil rekaman.

Adapun perlengkapan yang dibutuhkan dalam pengumpulan data ini di

antaranya adalah: (1) pedoman wawancara untuk semua responden, meliputi kepala

sekolah, para guru, dan siswa serta alumni, dan lain-lain; (2) pedoman observasi atau

lembar pengamatan. Lembar pengamatan yang diberi nama catatan untuk data kasar,

dan catatan lapangan untuk data yang sudah disusun, gunanya untuk menuliskan

situasi dan kondisi lingkungan yang terjadi pada saat peristiwa berlangsung;

(3) kamera.

(29)

D. Langkah-langkah Pengumpulan Data

Secara garis besarnya langkah-langkah pengumpulan data dalam penelitian

kualitatif yang akan dapat diperoleh melalui tahapan-tahapan berikut ini :

1. Orientasi

Kegiatan-kegiatan yang tergolong dalam tahap orientasi ini adalah:

Pertama, mencari informasi tentang sekolah SMA PU Al Bayan yang sifatnya masih

umum, caranya membaca literatur tentang sekolah, membaca rekomendasi dari hasil

penelitian terdahulu, mengamati suasana sekolah, dan mewawancarai beberapa guru

dengan maksud untuk memperoleh fokus penelitian.

Kedua, mengadakan pra survey ke beberapa sekolah menengah atas berasrama untuk

menentukan masalah dan lokasi penelitian.

2. Eksplorasi

(30)

3. Mengadakan triangulasi

Tahap ini merupakan tahap pemeriksaan keabsahan data yang telah diperoleh

dengan memanfaatkan sesuatu yang lain untuk keperluan pengecekan atau sebagai

pembanding terhadap data itu (Lexi Meleong, 1995:195). Triangulasi yang dilakukan

dalam studi ini melalui teknik sebagai berikut: a) membandingkan hasil wawancara

dengan hasil observasi/pengamatan dan dokumentasi yang terkait; b) membandingkan

hasil wawancara pada waktu diwawacara tatkala dengan orang lain dengan hasil dari

hasil wawancara pada waktu sendirian (pembicaraan empat mata); c) membandingkan

keabsahan data yang diperoleh dari hasil wawancara pengamatan langsung dengan

pendapat dan pandangan orang-orang lain di luar sekolah seperti pendapat tokoh

masyarakat, dan pemerintah setempat, d) membandingkan data-data yang diperoleh

dari sumber yang sama dan pendekatan yang sama dalam rentang waktu yang cukup

lama.

4. Audit trail

Tahap ini sengaja dipersiapkan untuk membuktikan kebenaran data yang

disajikan dalam laporan penelitian ini. Setiap data yang ditampilkan disertakan

sumbernya, hal ini dilakukan untuk memudahkan penelusuran kebenaran data tersebut.

(31)

E. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif instumen penelitian yang utama adalah peneliti itu

sendiri. (Nasution, 1988:34). Artinya peranan dan keterlibatan langsung peneliti di

lapangan sangat menentukan hasil penelitian, karena dalam penelitian kualitatif

data-data yang sifatnya primer harus langsung didapatkan oleh peneliti sendiri tidak boleh

diwakilkan kepada orang lain. Hal ini sangat penting artinya, karena hal-hal yang

berkenaan dengan pengamatan situas dan suasana yang terjadi di lapangan akan sulit

untuk dianalisis secara mendalam oleh peneliti bila data-data pokok penelitiannya

diperoleh dari tangan ke dua atau ke tiga, karena dalam analisis data diperlukan

penghayatan langsung dari pihak peneliti. Akan tetapi bila penelitian berlangsung

selama waktu tertentu, dan telah diperoleh fokus yang lebih jelas maka pengumpulan

data-data yang sifatnya penunjang yang dijaring melalui angket atau mencari

dokumen-dokumen tertulis, dan wawancara yang lebih terstruktur, untuk mempercepat

perolehan data bisa saja peneliti meminta bantuan pada pihak lain.

(32)

data. Setelah selesai tahap ini, mulailah tahap penafsiran data, hasil sementara menjadi

teori substantif dengan menggunakan metode tertentu.

F. Pelaksanaan Penelitian

Secara garis besar penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu sebagai

berikut:

1. Orientasi

Tahap ini meliputi: (a) orientasi pendahuluan, yakni sebelum disain penelitian

disusun, peneliti mengumpulkan informasi tentang sekolah melalui studi literatur;

(b) penjajagan ke beberapa sekolah menengah atas (SMA) boarding school atau

pesantren untuk belanja masalah; (c) menyelesaikan persyarakat administratif meliputi

penyelesaian surat izin kepada pihak-pihak terkait.

2. Mengumpulkan data di lapangan

(a) Setelah perizinan (terlampir) keluar, secara maraton selama dua bulan, dari

tanggal 1 Agustus sampai 26 September 2008 peneliti berada di lapangan. Dua

minggu pertama peneliti tinggal di dalam komplek sekolah bersama-sama siswa.

(33)

dua bulan peneliti berada di lapangan, data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini

berhasil dikumpulkan.

3. Pengolahan data penelitian

Pengolahan data penelitian meliputi langkah-langkah berikut ini: (a) display

data (b) mendeskripsikan data; (c) menganalisis data; (d) menafsirkan data;

(e) menarik kesimpulan; (f) penyusunan laporan akhir penelitian, sistematika

[image:33.595.103.508.221.631.2]

penyusunan hasil penelitian dan pengolahan data tersebut disesuaikan dengan

langkah-langkah penyusunan laporan dalam penelitian kualitatif.

Table 1: Jadwal penelitian

Kegiatan 2008 2009

7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 10 11 12

Orientasi

Perizinan

Pengumpulan

data

Pengolahan

data

Menyusun

laporan akhir

Pengajuan

ujian thp.I

Ujian thp.I

Pengajuan

ujian thp.II

Ujian thp.II

Keterangan :

(34)

G.

Asumsi Penelitian

Penelitian ini didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut:

Pertama, setiap orang memiliki potensi dan kecenderungan untuk beragama;

ikrar manusia dihadapan Tuhannya menunjukkan bahwa setiap orang yang dilahirkan

berada dalam keadaan fitrah. Fitrah sebagai pembawaan sejak lahir antara lain berupa

potensi religius seperti yang difirmankan Allah SWT. Dalam surat Al-Araf:172 yang

artinya:”Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu keturunan anak-anak Adam sulbi mereka dan

Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka seraya berfirman:”Bukankah Aku ini

Tuhanmu? Mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan kami); kami bersaksi”. Ikrar

pengetahuan tersebut membuktikan bahwa tidak ada manusia yang memiliki

kecenderungan untuk tidak mengakui Allah SWT. sebagai Tuhannya. Semua ada

kecenderungan untuk mengakui Allah SWT. sebagai Tuhannya Yang Esa. Siswa SMA

Pesantren Unggul Al-Bayan Sukabumi adalah bagian dari mahluk-Nya yang terikat

oleh ikrar tersebut.

Kedua, sekolah merupakan bagian dari lingkungan kehidupan yang sangat

penting dalam kehidupan individu. Tidak hanya kerangka intelektual yang dapat

dikembangkan melalui lingkungan sekolah, tetapi mengembangkan keseluruhan

kepribadian siswa selain membina/membimbing dan meningkatkan jati diri siswa serta

memperkaya nilai-nilai moral.

Ketiga, penelitian ini dilakukan di SMU PU Al Bayan dengan asumsi bahwa

(35)

(1991:310) fase umur 16 sampai 18 tahun merupakan masa untuk mencari jatidiri,

kesadaran moral makin diperluas, bahkan mungkin mereka sampai pada keempat

kesadaran moral (Kohlberg) yakni kesadaran moral dari sebagian orang dewasa.

Karena itu transformasi nilai religius dilingkungan SMA PU Al Bayan akan sangat

penting bagi perkembangannya pada tahap selanjutnya.

Keempat, ibadah shalat yang diterapkan di berbagai sekolah terutama di SLTA

selain merupakan ajaran universal yang tertuang dalam nilai-nilai dasar, kewajiban

bagi individu muslim, bisa diasumsikan sebagai proses dan tahap pembinaan

kepribadian siswa yang sangat menentukan untuk masa depannya sejalan dengan

pendapat Djahiri (1985:58) bahwa setiap kreativitas / kegiatan semuanya mempunyai

nilai. Pelaksanaan ibadah shalat dalam konteks pendidikan merupakan sarana

pembinaan sikap, perilaku, dan kepribadian individu yang melaksanakannya.

Kelima, dengan acuan nilai-nilai Islam universal dan kewajiban beragama akan

dapat memperkuat kontekstualisasi ibadah shalat yang berpengaruh terhadap

pembinaan kepribadian manusia utuh. Semuanya jelas sesuai dengan ajaran Islam,

sehingga perilaku seseorang itu dilandasi niat yang ikhlas ditaati sebagai ibadah

kepada Allah SWT.

(36)

mendatangkan barakah atau memiliki implikasi positif bagi setiap mukmin yang taat

beribadah dalam menjalani hidup dan kehidupan di dunia, sehingga orang-orang yang

tidak mengikuti ajaran ini kelak tergolong dalam orang-orang yang merugi.

Ibadah dalam Islam bukan sekedar persembahan untuk Allah dari hamba-Nya

dalam pemahaman sempit, melainkan juga memberikan hikmah besar bagi

perkembangan seluruh aspek diri dan kepribadian setiap mukmin yang

menjalankannya secara benar dan ikhlas. Maka, ibadah shalat yang telah diperintahkan

oleh Allah SWT. dan telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. sudah menjadi ketetapan

ibadah yang berfungsi sebagai sebagai pembinaan kepribadian yang penuh dengan

nilai yang mengarah pada kepribadian kaffah.

H. Definisi Operasional

1. Kepribadian

Istilah-istilah yang dikenal dalam kepribadian adalah: Mentality

yaitu:

Situasi

mental

yang

dihubungkan

dengan

kegiatan

mental

atau

intelektual." Pengertian secara definitif yang dikemukakan dalam Oxford

Dictionary. (1) Mentality: (a) Intellectual Power, (b) Integrated activity of

the organism dan (2) Personality, menurut Wibters Dictionary: (a) The

totality of personality's characteristic. (b) An integrated group of constitution

of trends in behaviour tendencies act. (3) Individuality adalah: Sifat khas

seseorang yang menyebabkan seseorang mempunyai sifat yang berbeda dari

orang lain. (4) Identity yaitu: Sifat kedirian sebagai suatu kesatuan dari

sifat-sifat yang mempertahankan dirinya terhadap sesuatu dari luar (Unity and

(37)

Kepribadian, menurut Horton (1982:12) adalah keseluruhan sikap, perasaan,

ekspresi, dan tempramen seseorang. Sikap, perasaan, ekspresi, dan tempramen

tersebut akan terwujud dalam tindakan seseorang jika dihadapkan pada situasi tertentu.

Setiap orang mempunyai kecenderungan berperilaku yang baku, atau berpola dan

konsisten, sehingga menjadi ciri khas pribadinya. Kepribadian adalah struktur dan

proses psikologis yang tetap yang menyusun pengalaman-pengalaman individu serta

membentuk berbagai tindakan dan respons individu terhadap lingkungan tempat ia

hidup. Demikian individu akan bertindak dan memberi respons sebagai suatu kesatuan

yang sistem fisik dan psikis terangkat dan saling mempengaruhi serta menentukan

perilaku dan responsnya dengan cara yang berbeda dari orang lain.

Wetherington

(dalam

Ramayulis,

1994:188-192)

menyimpulkan

definisi-definisi

yang

telah

dikemukakan

Allport,

Mark

A.

May;

Woodworth; L.P. Titorp; dan C.H. Judd, bahwa kepribadian mempunyai

ciri-ciri sebagai berikut: (1) manusia karena keturunannya mula sekali

hanya merupakan individu dan kemudian barulah merupakan suatu pribadi

karena pengaruh belajar dan lingkungan sosialnya; (2) kepribadian adalah

istilah untuk menyebutkan tingkah laku seseorang secara terintegrasi dan

bukan hanya beberapa aspek saja dari keseluruhan itu; (3) kata kepribadian

menyatakan pengertian tertentu saja yang ada pada pikiran orang lain dan

isi

pikiran

itu

ditentukan

oleh

nilai

perangsang

sosial

seseorang;

(4) kepribadian tidak menyatakan sesuatu yang bersifat statis, seperti bentuk

(38)

setiap orang mempergunakan kapasitasnya secara aktif untuk menyesuaikan

diri kepada lingkungan sosial.

Fadhil Al-Djamaly (dalam Arifin, 1986:170) menggambarkan kepribadian

muslim sebagai muslim yang berbudaya, yang hidup bersama Allah dalam tingkah laku

hidupnya, dan tanpa akhir ketinggiannya. Dia hidup dalam lingkungan yang luas tanpa

batas ke dalamnya, dan tanpa akhir ketinggiannya. Kepribadian muslim seperti

digambarkan dia atas mempunyai hubungan yang erat dalam suatu lingkaran hubungan

yang meliputi: (1) Allah, (2) Alam, dan (3) Manusia. Dengan kepribadian muslim

manusia harus mengembangkan dirinya dengan bimbingan petunjuk Ilahi, dalam rangka

mengemban tugasnya khalifah Allah di muka bumi, dan selalu melaksanakan kewajiban

sebagai hamba Allah melakukan pengabdian kepada-Nya.

Berangkat dari teori kepribadian muslim di atas, maka kita dapat membagi

kepribadian muslim tersebut kepada dua macam yaitu:

Pertama,

kepribadian

kemanusiaan

(basyariah);

terdiri

dari

dua

bagian yaitu: (a) kepribadian individu; yang meliputi ciri khas seseorang dalam

bentuk sikap dan tingkah laku serta maupun intelektual yang dimiliki

masing-masing secara khas sehingga ia berbeda dengan orang lain. Menurut pandangan

Islam memang manusia mempunyai dan memiliki potensi yang berbeda

(Al-Farq Al-Fardiah) yang meliputi aspek fisik dan psikis; dan (b) Kepribadian

(39)

memiliki kemampuan untuk mempertahankan identitas tersebut dari pengaruh

luar, baik ideologi maupun lainnya yang dapat memberi dampak negatif.

Kedua,

kepribadian

samawi

(kewahyuan)

yaitu

corak

kepribadian

yang dibentuk melalui petunjuk wahyu dalam kitab suci Al-Qui an, yaitu:

kepribadian muslim sebagai individu dan sebagai suatu ummah, terintegrasi

dalam bentuk suatu pola yang sama. Dalam hal ini dasar teori kepribadian

muslim, baik sebagai individu maupun sebagai suatu ummah yang satu, tidak

berdikhotomi antara aspek basyariah dan aspek samawi. Dikhotomi terletak

hanya dalam pembagian saja, namun dalam dasar dan tujuan pembentukan

keduanya terintegrasikan kepada dasar yang sama, serta tujuan yang satu yaitu

menjadi pengabdi Allah SWT yang taat, Oleh karena itu menurut Syaltut:

‘Karena

kepribadian

perseorangan

dan

ummah

belum

dapat

menjamin

terwujudnya perilaku mulia sesuai dengan tuntutan hidup duniawi ukhrawi.

Oleh karena itu diperlukan kepribadian samawi atau Islami, dimana perilaku

lahiriah dan rohaniah manusia berada di dalam nilai-nilai Ketuhanan yang

positif dan konstruktif yang berorientasi kepada kesejahteraan dan kebahagiaan

hidup di dunia dan akhirat’.

2. Pembinaan

Pembinaan berasal dari kata “bina” yang mendapat awalan ke dan akhiran

an, yang berarti bangun/bangunan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:

(40)

juga menjelaskan bahwa asal kata pembinaan adalah ‘bina’ yang berarti bangun dan

pembinaan berarti membangun atau pembaruan, pemeliharaan, pengembangan,

pembentukkan dan penyempurnaan. Pembinaan tidak dapat disamakan dengan

pelatihan. Pelatihan menurut Amstrong (1991) adalah “ Training is A planned process

to modify attitude,knowledge or skill behavior through learning experience to achieve

effective peformance in an activity or of activities’

.

Pelatihan adalah proses yang

direncanakan untuk mengubah sikap, pengetahuan atau keterampilan perilaku melalui

pengalaman belajar untuk mencapai peformance efektif dalam suatu kegiatan atau

dalam banyak kegiatan

. Pelatihan adalah suatu proses terrencana untuk mengubah sikap, pengetahuan, kecakapan berperilaku melalui pembelajaran pengalaman untuk mendapatkan penampilan yang efektif dalam suatu aktivitas atau berbagai aktivitas. Pekatihan lebih menekankan pemberian keterampilan tertentu.

Pembinaan tidak juga

disebut sebagai pendidikan yang dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 bermakna

usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan diri dan masyarakat. Pengertian

pendidikan sangat luas, sementara pembinaan merupakan bagian dari bentuk

pendidikan tersebut. Pembinaan juga berbeda dengan istilah bimbingan. Bimbingan

diartikan sebagai

Bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis

kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai

kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk

menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self

(41)

dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan

lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat. Demikian bimbingan menurut

Djumhur dan Moh. Surya (dalam Junaidi, 2009) yang lebih menekankan pada proses

pemberian bantuan. Berbeda dengan pendidikan, pelatihan, ataupun bimbingan,

pembinaan lebih menekankan pada pembaruan, pemeliharaan, pengembangan,

pembentukkan dan penyempurnaan. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan

pembinaan adalah segala bentuk upaya yang dilakukan oleh komponen-komponen

fungsional yang ada di SMA PU Al Bayan dalam membentuk sikap, perilaku, dan

kepribadian utuh yang sejalan dengan visi dan misi.

3.

Pembinaan kepribadian

Pembinaan ialah upaya didalam mengembangkan pengetahuan, ketrampilan,

sikap dan rohani yang ditujukan bagi tercapainya manusia yang terampil cakap dan

terpupuk sikap mental positif seutuhnya, dimana dalam pengembangannya

diselaraskan dengan nilai-nilai yang dianut. (Munandar, 1987:92). Maksudnya adalah

suatu usaha atau proses yang dilakukan secara sadar untuk mengembangkan atau

meningkatkan kualitas kemampuan dan potensi pribadi.

Pembinaan kepribadian atau pembentukkan kepribadian dalam Islam adalah

(42)

(2) education by another atau tarbiyah ma’a ghairih (pendidikan secara langsung oleh

orang lain), dan (3) self education atau tarbiyah al-nafs (pendidikan secara pribadi

tanpa bantuan orang lain).

Sedangkan pembinaan kepribadian dalam konteks pendidikan di SMA PU Al

Bayan adalah proses pembentukan sikap dan perilaku siswa menjadi karakter-karakter

yang mencerminkan kepribadian sesuai visi dan misi, yaitu akhlakul karimah.

4.

Penalaran

Wikipedia (2009), penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari

pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan

pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi–

proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap

benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui.

Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar

penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut

dengan konklusi (conclusion). Sedangkan hubungan antara premis dan konklusi

disebut konsekuensi (consequence).

(43)

penalaran berbentuk bahasa, sehingga wujud penalaran akan berupa argumen.

Kesimpulannya adalah pernyataan atau konsep adalah abstrak dengan simbol berupa

kata, sedangkan untuk proposisi simbol yang digunakan adalah kalimat (kalimat

berita) dan penalaran menggunakan simbol berupa argumen. Argumenlah yang dapat

menentukan kebenaran konklusi dari premis. Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa

tiga bentuk pemikiran manusia adalah aktivitas berpikir yang saling berkait. Tidak ada

ada proposisi tanpa pengertian dan tidak akan ada penalaran tanpa proposisi.

Bersama–sama dengan terbentuknya pengertian perluasannya akan terbentuk pula

proposisi dan dari proposisi akan digunakan sebagai premis bagi penalaran. Atau

dapat juga dikatakan untuk menalar dibutuhkan proposisi sedangkan proposisi

merupakan hasil dari rangkaian pengertian.

Jika seseorang melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk

menemukan kebenaran. Kebenaran dapat dicapai jika syarat–syarat dalam menalar

dapat dipenuhi. Suatu penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki

seseorang akan sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang memang salah. Dalam

penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi semua

premis harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu yang benar secara formal

maupun material. Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat, diturunkan

dari aturan–aturan berpikir yang tepat sedangkan material berarti isi atau bahan yang

dijadikan sebagai premis tepat.

(44)

guru dan kepala sekolah hingga akhirnya melahirkan pengertian-pengertian,

pemahaman, atau konsep mereka tentang ibadah shala tersebut. wujud nyata dari

penalaran mereka tentang ibadah shalat tercermin dari apa yang mereka lisankan

tentang ibadah shalat.

5.

Kontekstualisasi

Wikipedia (2009), dinyatakan bahwa Kontekstualisasi atau Contextualization

is the process of assigning meaning, either linguistic or as a means of interpreting the

environment within which an expression or action is executed. Kontekstualisasi adalah

proses untuk menempatkan makna, baik linguistik atau sebagai cara menafsirkan

lingkungan di mana ekspresi atau tindakan dijalankan. Kontekstualisasi yang

digunakan dalam studi terjemahan Alkitab dalam kaitannya dengan latar belakang

budaya mereka yang relevan.

Kontekstualisasi dalam Kristen, menurut A. Hizbullah (dalam Ramadhan,

2009) adalah strategi misi yang diupayakan agar Injil bisa dimengerti dan

diterima oleh objek misi, dalam dimensi budaya objek misi yang dinamis, baik

secara politik, sosial, dan ekonomi. Namun sesuai dengan tulisan Paulus dalam

Bibel (Korintus 9:20-22), ia menilai bahwa strategi kontekstualisasi tersebut

identik wujudnya dengan jurus serigala berbulu domba.

(45)

yang terus berubah. Kontekstualisasi dalam tradisi Islam didasari oleh asumsi

pertama, adanya dua kategori terpisah, yaitu agama itu sendiri, dan penafsiran

dan interpretasi atas agama. Setiap interpretasi selalu terkait dengan konteks

tertentu, dank arena itu bias saja menjadi tidak relevan lagi saat konteks

berubah. Menurut Abdalla (2009) menyatukan antara kedua kategori ini bias

berbahaya sebab menjebak umat untuk menyamakan antara tafsir yang dibuat

oleh manusia dengan agama itu sendiri. Kedua, Islam mengandung dua elemen,

yaitu ajaran universal yang tertuang dalam bentuk nilai-nilai dasar (universal

values) yang berlaku untuk segala zaman. Tetapi Islam juga memuat hal-hal

yang bersifat kontekstual dan karena itu bias diubah, diganti, dan disesuaikan

dengan perkembangan zaman. Dua dasar inilah yang menjadi asumsi dasar

upaya kontekstualisasi ajaran Islam dengan titik tekan penyesuaian ajaran Islam

dengan konteks ruang dan waktu. Tidak hanya itu, ditambahkan oleh Yahya

(2007), bahwa kontekstualisasi juga berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan

yang diperlukan oleh umat dalam melaksanakan syariat Islam. Dalam konteks

tertentu, umat Islam perlu mengadakan revisi pengertian tentang ajaran-ajaran

dalam Islam.

(46)

Demikian juga halnya dengan ibadah shalat, SMA PU Al Bayan

menerapkannya dalam rangka pembinaan terhadap para siswa agar mampu

menunaikan ibadah shalat sesuai dengan apa yang diperintahkan. Inilah

kontekstualisasi ibadah shalat dalam arti penyesuaian ibadah tersebut dengan

konteks pendidikan di SMA PU Al Bayan.

6.

Ibadah shalat

Secara universal, ibadah merupakan semua aktivitas manusia yang

dikehendaki oleh pencipta-Nya, sebagaimana firman Allah SWT. : “... dan Aku tidak

akan menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (mengabdi)

kepada-Ku” (Adz-Dzariyat 51:56). Ibadah adalah perilaku ritus manusia beragama

secara formal menghambakan diri kepada yang dicintainya, mepunyai arti ketaatan

berulang-ulang kepada Allah secara periodik dengan disertai ketundukkan serta

merendahkan diri. Ibadah itu suatu bentuk ketundukkan dan tidak ada yang berhak

menerimanya kecuali pihak yang memberi nikmat dengan jenis kalimat yang paling

tinggi, seperti kehidupan, kepahaman, pendengaran dan penglihatan (Al-Qaradhawi,

2005:27).

Shalat adalah salah satu ibadah ritual keseharian yang paling pokok, dikenal

(47)

kekhusyuan yang bersifat bathiniyah. Kekhusyuan yang bersifat lahiriyah adalah

seseorang melaksanakan shalat dalam keadaan yang tenang, menatap tempat sujudnya,

tidak menoleh ke kanan ke kiri, menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak berguna, tidak

mendahului imam, dan tidak berrgerak bersamaan dengan imam. kekhusyuan yang

bersifat bathiniyah terwujud dengan perasaan menghadirkan keagungan Allah dan

perasaan tunduk kepada-Nya (dalam hati), merenungkan makna ayat-ayat dan dzikir

(yang diucapkan dalam shalat), dan menjauhkan pikiran dan sesuatu selain yang

diucapkan. (Shalih Al Fahd, 2005:16).

Definisi shalat secara hakikat ialah: “Menghadapkan jiwa (hati) kepada Allah

SWT. dengan khusyu dan ikhlas, yang mendatangkan rasa takut dan gentar mengingat

akan kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya, beserta menghadirkan hati

ketika berdzikir, berdo’a dan memuji, menzhahirkan (menyatakan) hajat dan

keperluan kepada-Nya dengan ucapan dan kelakuan, yang dimulai dengan takbir dan

disudahi dengan salam, atau berdialog dengan cara-cara yang tertentu yang

ditunjukkan dan dicontohkan oleh sunnah Rasulullah saw. sehingga dapat membentuk

manusia untuk berakhlak mulia.”(Zaini,1990:163). Definsi shalat secara bahasa

adalah do’a-do’a. Sedangkan menurut syari’at, shalat mengandung arti: ”suatu ibadah

yang terdiri dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu yang dimulai dengan

takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu.(Satori,2004:49).

(48)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A.

Simpulan

Pada bagian ini dapatlah disimpulkan bahwa penalaran dan kontekstualisasi ibadah

shalat dalam membina kepribadian siswa di SMA merupakan program yang dirancang

sebagai bagian dari sistem pembinaan di sekolah yang sejalan dengan visi dan misi sekolah

yang bersangkutan. Adapun di SMA PU Al Bayan penalaran dan kontekstualisasi ibadah

shalat tersebut merupakan bagian dari pembinaan yang bertujuan untuk memberikan

fasilitas tumbuh kembangnya kepribadian pesertadidik yang seimbang dalam

penghayatan imaniah, penalaran ilmiah dan memiliki kecakapan amaliah sehingga

membentuk pribadi seorang muslim yang bertaqwa, cerdas dan berakhlaqul karimah.

Bagi SMA PU Al Bayan, shalat adalah perintah Allah. Shalat adalah aktivitas

spiritual yang memberikan keseimbangan mental dan pikiran bagi siswa-siswa yang

berorientasi pada mata pelajaran sains yang cenderung rasional dan empiris. Shalat juga

merupakan wujud dzikir kepada Allah SWT. Selain itu, di SMA PU Al Bayan

dikembangkan bahwa shalat juga merupakan media penghambaan yang memfasilitasi

penghambaan manusia semata-mata hanya kepada Allah SWT. Dengan dasar pemaknaan

inilah, di SMA PU Al Bayan diupayakan penalaran dan kontekstualisasi ibadah shalat

dalam membina kepribadian siswa.

(49)

shalat-shalat sunnah yang utama seperti tahajjud, rawatib, dan dhuha serta memperhatikan

sarana-sarana penunjang seperti pakaian yang dikenakan saat shalat. Selain itu, pembinaan melalui

ibadah shalat bertujuan menanamkan nilai-nilai dan sikap yang terkandung dalam ibadah

shalat itu sendiri.

Adapun nilai-nilai dan sikap yang ditanamkan oleh kepala sekolah dan guru-guru

kepada siswa melalui ibadah shalat adalah kedisiplinan, kejujuran, kemandirian,

tanggung-jawab, dan persaudaraan. Nilai-nilai dan sikap tersebut ditanamkan mulai saat pengondisian

menjelang waktu shalat, hingga selesai shalat. Nilai-nilai ini ditanamkan kepada siswa

melalui tiga mekanisme pembentukan kepribadian, yaitu enkulturasi, sosialisasi, dan

internalisasi.

Metode yang digunakan dalam pembinaan kepribadian dan sikap siswa melalui

ibadah shalat adalah pembiasaan, keteladanan, dan metode nasihat. Dengan pembiasaan,

siswa diarahkan agar terus menerus melakukan shalat fardlu lima waktu berjamaah di masjid,

tahajjud setiap malam, rawatib setiap waktunya, dan shalat dhuha. Dengan keteladanan dari

guru, diharapkan siswa memiliki contoh atau figure acuan bagaimana mereka melasakanakan

ibadah shalat. Guru tidak hanya memberi perintah pada siswa dan menegakkan aturan-aturan

dalam shalat, melainkan juga guru sendiri melakukan dan menjadi teladannya. Sementara

teguran, peringatan pada saat siswa melakukan pelanggaran tata tertib shalat atau melakukan

kelalaian pola yang digunakan guru dan pembina adalah dengan metode nasihat yang

memberikan kesempatan siswa untuk lebih bias mengevaluasi diri dan melakukan perbaikan

sesuai dengan kesiapan mentalnya.

(50)

dijelaskan dalam hadits, dan dipertegas dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh

pihak sekolah sejalan dengan visi dan misi pendidikan sekolah.

Penerapan ibadah shalat di SMA PU Al Bayan yang dilakukan dengan strategi, di

antaranya: Pertama, Penetapan aturan yang akan diterapkan pada siswa beserta bentuk

sanksi atas pelanggarannya. Kedua, pembagian tugas di kalangan guru dalam menangani

kegiatan ibadah shalat siswa di lingkungan sekolah. Ketiga, pelaksanaan tugas-tugas yang

berkaitan dengan program kegiatan ibadah shalat ini. Keempat, Pemantauan pelaksanaan

program kegiatan ibadah shalat siswa. Kelima, evaluasi program kegiatan shalat siswa.

Strategi yang dirancang merupakan aspek managemen dari proses penalaran dan

kontekstualisasi ibadah shalat dalam membina kepribadian siswa yang diupayakan agar

ibadah shalat dapat dilaksanakan secara tertib dan baik sesuai dengan aturan yang

ditetapkan.

Adapun aspek teknis operasional dari penalaran dan kontekstualisasi ibadah shalat ini

dapat disebut sebagai teknik penerapan tata-tertib pelaksanaan ibadah shalat di SMA PU Al

Bayan yaitu meliputi : Sosialisasi tata-tertib pelaksanaan ibadah shalat, pengondisian

siswa menjelang waktu shalat, pelaksanaan ibadah shalat, evaluasi pelaksanaan ibadah

shalat (muhasabah ubudiyah), dan pemberian sanksi bagi pelanggar tata-tertib ibadah

shalat.

(51)

begitu kondusif untuk belajar tetap dipertahankan dan dipelihara, ditambah dengan

penyediaan berbagai sarana yang diperlukan termasuk sarana masjid dan sarana lain

untuk keberlangsungan pembinaan kepribadian siswa melalui ibadah shalat.

Suasana social dibangun dari dua dimensi, pertama yang bersifat structural

berupa organisasi atau kelompok-kelompok siswa, kedua adalah yang bersifat

dinamis, yakni interaksi antar siswa dan antara siswa dan guru. Suasana social ini

ditata sedemikian rupa agar terus berjalan harmoni, tanpa gesekan, bahkan tercipta

hubungan timbale-balik yang saling menunjang. Sosliasisasi yang dibangun adalah

sosialisasi

bersifat

kooperatif

yang

kondusif

untuk

berlangsungnya

proses

pembentukan kepribadian siswa.

Adapun lingkungan budaya ditata dalam tindakan-tindakan para siswa

sehari-hari berupa penampilan atau gaya (mode), cara-cara (usage),

kebiasaan-kebiasaan (habit), tatacara (custom) ataupun aturan-aturan tertulis yang dijalankan

oleh siswa sehari-hari. Kesan yang dibangun dalam suasana budaya di SMA PU Al

Bayan adalah nilai-nilai dan norma islami, diantaranya budaya bersih dan rapi

dalam penampilan fisik, pakaian, dan lingkungan; Kebersamaan; budaya baca dan

cinta ilmu; budaya “salam” dan “takbir”; hormat dan santun kepada orang lain yang

lebih tua; disiplin dan menghargai waktu; dan keteladanan. Iklim budaya diciptakan

sedemikianrupa agar proses enkulturasi sebagai pembentuk kepribadian siswa dapat

berlangsung efektif.

(52)

siswa sebagai inputnya, menyiapkan perangkat guru dan Pembina yang kompeten,

menggunakan metode yang tepat, penciptaan instrument penunjang pembinaan baik

yang bersifat sarana fisik, lingkungan social, maupun lingkungan dan iklim budaya.

Seluruh

komponen

pembinaan

tersebut

dipersiapkan

sehingga

kondusif

untuk

berlangsungnya internalisasi ibadah shalat baik dalam proses belajar mengajar

formal di kelas maupun internalisasi ibadah shalat dalam kehidupan sehari-hari.

B. Saran

Beberapa saran yang perlu disampaikan oleh penulis kepada pengelola dan

pendidik di SMA PU Al Bayan Sukabumi berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai

berikut.

1.

Penalaran dan kontekstualisasi ibadah shalat dalam membina kepribadian siswa di

SMA PU Al Bayan Sukabumi dapat berjalan baik karena ditopang oleh

komponen sekolah, di antaranya kepala sekolah, guru-guru, siswa, lingkungan,

dan sistem pendidikan. Kerjasama antar komponen pendidikan mutlak diperlukan

dalam mencapai visi dan tujuan pembinaan. Berkaitan dengan dengan

faktor-faktor penunjang jalannya implementasi perintah shalat ini, maka perlu

peningkatan kerjasama antara komponen pendidikan di sekolah agar pencapaian

terbentuknya pribadi-pribadi seimbang yang dicita-citakan lebih mudah

terrealisasi.

(53)

wawasan siswa tentang keutamaan ibadah shalat dikembangkan dengan

keteladanan dari berbagai komponen pendidikan..

3.

Kepribadian seorang muslim tercermin dalam tindakan yang bercirikan akhlakul

karimah. Membentuk kepribadian siswa dengan pengamalan ibadah shalat lebih

efektif dengan menerapkan disiplin yang dikontrol dan dievaluasi efektivitasnya

sebagaimana sebuah perencanaan matang, organisasi yang baik, pelaksanaan

program yang teratur, kontrol program yang berkesinambungan dan adanya

evaluasi program. Berkaitan dengan hal ini, masih adanya pelanggaran shalat dan

tingkah laku siswa yang belum mencerminkan kepedulian terhadap sesama dan

lingkungan menunjukkan perlunya evaluasi mengenai efektivitas pelaksanaan

tata-tertib pelaksanaan shalat ini.

4.

Pemahaman pendidik terhadap keadaan siswa mutlak diperlukan. Sanksi yang

diberlakukan akan berdampak positif manakala mampu memberikan rasa j

Gambar

Table 1: Jadwal penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Pendaftar an dan pengambilan Dokumen Kualifikasi dapat diw akilkan dengan membaw a surat tugas dar i dir ektur utama/ pi mpinan per usahaan.kepala cabang dan kar tu

Mereka bisa memanfaatkan facebook tersebut untuk berhubungan atau berinteraksi dengan sesama teman dalam satu komunitas dan facebook juga dapat dijadikan sebagai

Pembuatan penjadwalan pada proyek Apartemen Gateway Pasteur- Bandung dibuat dengan menggunakan metode CPM berbasis Microsoft Project dengan data- data yang

Perlu adanya penelitian lanjut terhadap pembuatan film berbahan dasar Poli Asam Laktat dengan penambahan pemlastis dan filler yang lainnya agar dihasilkan film

Objek dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa sebagai variabel terikat (Y) dengan faktor yang mempengaruhinya yaitu kecerdasan intelegensi dan

Skala Likert banyak digunakan dalam riset- riset SDM yang menggunakan metode survey untuk mengukur sikap karyawan, persepsi karyawan, tingkat kepuasan karyawan, atau mengukur

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF TIPE THE POWER OF TWO DALAM PEMBELAJARAN IPS UNTUK MENINGKATKAN SELF-EFFICACY BELAJAR SISWA.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Rumah Adat Riau (Melayu Selaso Jatuh Kembar).4. Rumah Adat Jambi