LEMBAR PENGESAHAN ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat penelitian ... 10
E. Definisi Operasional ... 12
A. Penalaran Matematika ... 14
B. Berpikir Kritis Matematis ... 16
C. Pembelajaran Menurut Aliran Konstruktivisme ... 22
D. Pembelajaran Konvensional ... 23
E. Model Reciprocal Teaching ... 24
F. Hubungan Reciprocal Teaching dengan Penalaran Matematis dan Berpikir Kritis Matematis ... 28
G. Penelitian yang Relevan ... 29
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian ... 31
B. Populasi dan Sampel ... 32
C. Variabel Penelitian ... 33
D. Instrumen Penelitian ... 33
E. Pengembangan Bahan Ajar ... 46
F. Prosedur Penelitian ... 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 55
B. Pembahasan Hasil Penelitian dan Temuan ... 79
C. Keterbatasan Penelitian ... 88
KESIMPULAN A. Keimpulan ... 90
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam upaya
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam menghadapi era kompetisi
yang mengacu pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengingat
sangat pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia, maka penyelenggaraan
pendidikan harus dilakukan secara optimal, sehingga memperoleh hasil sesuai
dengan yang diharapkan.
Dewasa ini pemerintah terus berusaha meningkatkan mutu pendidikan
melalui berbagai inovasi (pembaharuan), diantaranya inovasi di bidang sistem
pendidikan, kurikulum, buku pelajaran, metode pengajaran dan peningkatan
kualitas guru sebagai pengajar. Inovasi dalam pendidikan matematika berkaitan
dengan inovasi dalam pembelajaran matematika di sekolah. Salah satu faktor yang
mempengaruhi mutu hasil pendidikan adalah terjadinya pembelajaran atau proses
belajar mengajar yang baik sesuai dengan tujuan pendidikan.
Proses belajar mengajar akan terjalin dengan baik apabila terjadi interaksi
yang baik antara guru dan siswa. Guru sebagai salah satu komponen dalam proses
pembelajaran sangat besar pengaruhnya. Guru bukan saja bertugas merencanakan
dan melaksanakan proses pembelajaran di kelas, melainkan bertanggung jawab
terhadap keberhasilan seluruh proses yang dilakukannya. Namun saat ini masih
dengan cara konvensional. Sobel dan Maletsky (2001: 1-2) mengemukakan
didalam proses pembelajaran, banyak sekali guru matematika yang menggunakan
waktu pelajaran dengan kegiatan membahas tugas-tugas lalu, memberi pelajaran
baru, kemudian memberi tugas kepada siswa. Selain itu dalam proses
pembelajaran di kelas, guru jarang menugaskan siswa untuk membaca buku teks.
Sekarang ini guru sekolah menengah perlu mempersiapkan siswanya agar
mampu belajar secara mandiri, memiliki kepercayaan diri yang mantap, dan
mampu berpikir kritis. Mulyana (2008: 3) mengatakan pada awal pembelajaran
matematika siswa seyogyanya dihadapkan pada masalah, selanjutnya siswa
diberikan kesempatan secara mandiri untuk menyelesaikan masalah tersebut
sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan aktualnya secara optimal.
Oleh karena itu kemampuan siswa untuk belajar mandiri dan mampu berpikir
kritis perlu terus dikembangkan. Hal tersebut sesuai dengan fungsi dan tujuan
umum pembelajaran matematika di sekolah.
Tujuan umum pembelajaran matematika menurut National Council of
Teachers of Matematics atau NCTM (2000) yaitu siswa harus mempelajari
matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan baru dari
pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Untuk mewujudkan hal
itu, dirumuskan lima standar pokok pembelajaran matematika, yaitu: pertama,
belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication); kedua, belajar untuk
bernalar (mathematical reasoning); ketiga, belajar untuk memecahkan masalah
ide (mathematical connections); dan kelima, pembentukan sikap positif terhadap
matematika (positive attitudes toward mathematics).
Salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah siswa memiliki
kemampuan penalaran dan berpikir kritis. Depdiknas (2002: 3) mengungkapkan
”Materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tak dapat
dipisahkan, yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran
dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika”. Disaat belajar
matematika, para siswa akan selalu dihadapkan dengan proses penalaran. Sejalan
dengan hal tersebut, Shadiq (2007) berpendapat bahwa seni bernalar sangat
dibutuhkan disetiap segi dan sisi kehidupan ini agar setiap warga bangsa dapat
menunjukan dan menganalisis setiap masalah yang muncul secara jernih, dapat
memecahkan masalah dengan tepat, serta dapat mengemukakan pendapat maupun
idenya secara runtut dan logis. Sedangakan menurut Krulik dan Rudnick
(Haryono, 2008) mengatakan kemampuan penalaran merupakan aspek kunci
dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa. Baroody
(Juariah, 2008: 5) mengungkapkan penalaran adalah suatu alat yang esensial
untuk matematika dan kehidupan sehari-hari. Selanjutnya Baroody
mengungkapkan ada empat alasan, mengapa penalaran penting untuk matematika
dan kehidupan sehari-hari, yaitu:
1. The reasoning needed to do mathematics. Ini berarti penalaran memainkan
peran penting dalam pengembangan dan aplikasi matematika. Misalnya
2. The need for reasoning in shool mathematics. Menurut NCTM salah satu
tujuan utama dalam pembelajaran matematika adalah mengutamakan
perkembangan daya matematis siswa. Meningkatkan penalaran matematis
siswa merupakan hal pokok untuk mengembangkan daya matematis siswa.
3. Reasoning involved in other content areas. Ini berarti
keterampilan-keterampilan penalaran dapat diterapkan pada ilmu-ilmu lain.
4. Reasoning for everyday life. Ini berarti penalaran suatu alat yang esensial
untuk mengatasi masalah kehidupan sehari-hari
Selain kemampuan penalaran matematika, aspek lain yang ditekankan
dalam pembelajaran matematika adalah aspek kemampuan berpikir matematis.
Kemampuan berpikir sering diasosiasikan dengan aktivitas mental dalam
memperoleh pengetahuan dan memecahkan masalah. Surya (1992)
mengemukakan bahwa siswa menggunakan kemampuan berpikirnya untuk
memahami pengetahuan dan memecahkan masalah. Berpikir kritis sangat
diperlukan oleh siswa, menurut Poedjiadi, (1999) Kemampuan berpikir kritis
menjadi bekal bagi siswa untuk menghadapi persaingan di tingkat dunia.
Kemampuan berpikir kritis berpengaruh positif terhadap aspek kognitif
dan afektif siswa. Siswa yang berpikir kritis akan menjadikan penalaran sebagai
landasan berpikir, berani mengambil keputusan dan konsisten dengan keputusan
tersebut (Spliter dalam Hanaswati, 2000: 11). Sejalan dengan hal tersebut (Penner
dalam Hanaswati, 2000: 4) mengungkapkan bahwa siswa yang berpikir kritis
dapat menerima, menyeleksi dan memproses secara baik informasi yang datang
kemungkinan dan kemampuan berpikir kritis ini memiliki karakteristik yang
paling mungkin dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika
(Depdiknas, 2003).
Berdasarkan uraian di atas terungkap bahwa penalaran dan berpikir kritis
perlu dikembangkan melalui proses pembelajaran matematika. Pembelajaran
matematika yang dapat mengembangkan kemampuan penalaran dan berpikir kritis
adalah pembelajaran matematika yang memberikan keleluasan berpikir kepada
siswa. Pembelajaran tersebut tentu harus berpusat kepada siswa, sedangkan peran
guru dalam pembelajaran ini tidak hanya sebagai penyampai informasi saja
melainkan sebagai fasilitator, motivator, dan pembimbing yang akan memberikan
kesempatan siswa untuk belajar aktif dan dan mengembangkan kemampuan
berpikirnya. Kondisi siswa pasif, jelas tidak menguntungkan tehadap peningkatan
kemampuan penalaran dan berpikir kritis siswa dalam matematika. Untuk itu
perlu usaha guru agar siswa belajar secara aktif. Sumarmo (2000) mengatakan,
agar pembelajaran dapat memaksimalkan proses dan hasil belajar matematika,
guru perlu mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam diskusi, bertanya
serta menjawab pertanyaan, berpikir secara kritis, menjelaskan setiap jawaban
yang diberikan, serta mengajukan alasan untuk setiap jawaban yang diajukan.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut bukan pekerjaan yang mudah,
Hasil penelitian Wahyudin (Syukur, 2004: 4) menemukan bahwa selama ini
pembelajaran matematika didominasi oleh guru melalui metode ceramah dan
ekspositori. Disamping itu, menurutnya guru jarang mengajak siswa untuk
menggunakan penalaran logis yang tinggi seperti membuktikan atau
memperlihatkan konsep. Apabila guru hanya melakukan pembelajaran dengan
kedua metode tersebut, tanpa melakukan pembelajaran dengan strategi lain maka
kemampuan penalaran dan berpikir kritis siswa sulit untuk dikembangkan secara
maksimal. Penulis berpendapat bahwa adanya gejala-gejala yang menunjukkan
kesulitan siswa dalam mempelajari matematika salah satu penyebabnya adalah
aspek dari kemampuan penalaran dan berpikir kritis matematis yang rendah dan
belum ditekankan di dalam proses pembelajaran matematika di kelas.
Hal senada diungkapkan oleh Turmudi (2008: 11) yang memandang
bahwa pembelajaran matematika selama ini kurang melibatkan siswa secara aktif,
sebagaimana dikemukakannya bahwa “pembelajaran matematika selama ini
disampaikan kepada siswa secara informatif, artinya siswa hanya memperoleh
informasi dari guru saja sehingga derajat “kemelekatannya” juga dapat dikatakan
rendah”. Dengan pembelajaran seperti ini, siswa sebagai subjek belajar kurang
dilibatkan dalam menemukan konsep-konsep pelajaran yang harus dikuasainya.
Hal ini menyebabkan konsep-konsep yang diberikan tidak membekas tajam dalam
ingatan siswa sehingga siswa mudah lupa dan sering kebingungan dalam
memecahkan suatu permasalahan yang berbeda dari yang pernah dicontohkan
oleh gurunya. Akibat lanjutannya siswa tidak dapat menjawab tes, baik itu tes
akhir semester maupun Ujian Nasional.
Mulyana (2008: 4) mengatakan salah satu rendahnya pendidikan
matematika adalah pembelajaran yang digunakan dan disenangi guru-guru sampai
menjelaskan konsep atau prinsip, kemudian guru memberikan contoh-contoh
penerapan konsep atau prinsip, selanjutnya siswa diberikan porsi waktu yang
cukup banyak untuk berlatih menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan
konsep atau prinsip yang diambil dari Lembar Kerja Siswa (LKS) atau Buku Teks
untuk dikerjakan baik individu maupun kelompok. Selanjutnya, Seto (Mulyana,
2008) menyatakan bahwa proses-proses berpikir yang dilatih di sekolah-sekolah
terbatas pada kognisi, ingatan, dan berpikir konvergen, sementara berpikir
divergen dan evaluasi kurang bergitu diperhatikan.
Pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan dan penalaran
berpikir kritis matematis adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan dan
kebebasan kepada siswa untuk menggunakan semua kemampuan berpikirnya.
Pembelajaran berbalik (reciprocal teaching) adalah salah satu strategi
pembelajaran matematika yang dipandang tepat untuk meningkatkan kemampuan
penalaran dan berpikir kritis matematis.
Mulyati (2007) mengatakan reciprocal teaching adalah model
pembelajaran yang dirancang untuk meningkatkan pemahaman, penalaran dan
berpikir kritis siswa terhadap bahan ajar. Prosedur-prosedur ini dirancang oleh
Anne Marie Palinscar dari Michigan State University dan Anne Brown dari the
University of Illionis pada tahun 1984, dengan karakteristik sebagai berikut: (1)
terjadi dialog antara siswa dengan guru, yang saling mengambil alih dalam peran
menjadi pemimpin dialog; (2) reciprocal terjadi interaksi satu orang berperan
merespon yang lainnya; (3) dialog disusun menggunakan 4 strategi yaitu
Young (2006) mengatakan Reciprocal teaching diduga memberikan
kesempatan kepada siswa meningkatkan kemampuan dan sikap siswa yang lebih
positif ketika membaca, mengorganisir, dan merekam informasi. Selain itu siswa
dapat memperoleh motivasi yang lebih baik untuk membaca, meningkatnya
keterampilan kepemimpinan, kerjasama dan inisiatif yang lebih besar.
Kaitannya dengan hal di atas, maka pembelajaran pada dasarnya
merupakan aktivitas mengaktifkan, mempertautkan, menumbuhkan,
mengembangkan, dan membentuk pemahaman melalui penciptaan kegiatan,
pembangkitan penghayatan, proses penemuan jawaban pertanyaan, dan
rekonstruksi pemahaman melalui refleksi yang berlangsung secara dinamis
(http://rbaryans.wordpress.com). Selain itu, pembelajaran matematika yang
berdasarkan model reciprocal teaching sesuai dengan perubahan paradigma
pembelajaran, yaitu dari paradigma mengajar ke paradigma belajar atau
perubahan paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru ke paradigma
pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dalam proses itu siswa mengecek dan
menyesuaikan pengetahuan baru yang dipelajari dengan pengetahuan atau
kerangka berpikir yang telah dimiliki siswa.
Jika diperhatikan proses belajar mengajar di dalam kelas yang
dilaksanakan oleh guru pada bebagai tingkat sekolah, terutama tingkat dasar dan
menengah, hingga dewasa ini masih terbatas pada penyelesaian materi yang
diprogramkan pada silabus pembelajaran sekolah yang bersangkutan. Belum
yang diajarkan atau tidak, apakah siswa merespon dengan baik terhadap proses
belajar mengajar yang dilakukan guru.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Moleong (Iriawan, 2008: 5)
mengatakan, kira-kira sepertiga dari jumlah siswa dalam suatu kelas yang dapat
mengkuti dan menguasai pembelajaran sampai dengan akhir proses pembelajaran.
Pendapat Moleong ini dapat diartikan, bahwa pada setiap proses pembelajaran
dua pertiga dari jumlah siswa di dalam kelas yang bersangkutan belum dapat
menguasai materi pelajaran yang diajarkan, hal tersebut dapat dimungkinkan
karena faktor dari respon dan sikap siswa yang kurang baik terhadap pembelajaran
yang diikutinya.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka penelitian akan
difokuskan pada penelitian meningkatkan kemampuan penalaran dan berpikir
kritis matematika siswa SMP melalui pembelajaran model reciprocal teaching.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah-masalah
penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran model reciprocal teaching lebih baik
dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara
konvensional?
2. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kritis matematika siswa yang
dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara
konvensional?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis
siswa yang menggunakan model reciprocal teaching dan siswa yang
memperoleh pembelajaran secara konvensional.
2. Untuk mengkaji perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa
dalam matematis yang menggunakan model reciprocal teaching dan siswa
yang memperoleh pembelajaran secara konvensional.
3. Sebagai pelengkap, dikaji sikap siswa terhadap pelajaran matematika dan
pembelajaran matematika yang menerapkan model reciprocal teaching.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Mengetahui kontribusi penerapan pembelajaran matematika dengan model
reciprocal teaching terhadap peningkatan kemampuan penalaran dan
berpikir kritis siswa dalam matematika.
2. Bagi guru
Apabila pembelajaran matematika dengan model reciprocal teaching
dapat meningkatkan kemampuan penalaran dan berpikir kritis siswa, maka
strategi pembelajaran model reciprocal teaching dapat dijadikan sebagai
3. Bagi peneliti yang lain
Dapat dijadikan sebagai informasi untuk mengkaji lebih dalam tentang
penerapan pembelajaran matematika dengan model reciprocal teaching di
Sekolah Menengah Pertama.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari terjadinya penapsiran terhadap istilah-istilah yang
digunakan pada rumusan masalah penelitian ini, perlu dikemukakan definisi
operasional sebagai berikut:
1. Penalaran adalah proses berpikir yang dilakukan dengan cara pengambilan
kesimpulan melalui fakta atau data yang relevan. Dengan indikator
penalaran diantaranya adalah menarik kesimpulan logis, kemampuan
memperkirakan jawaban dan proses solusi, kemampuan memberikan
penjelasan dengan menggunakan model, fakta dan hubungan dalam
menyelesaikan soal.
2. Kemampuan berpikir kritis dalam matematika adalah kemampuan
memberikan jawaban yang benar dengan alasan yang tepat berdasarkan
asumsi melakukan inferensi, mendeduksi, membuat intervensi, dan
mengevaluasi argumen terhadap soal atau pertanyaan matematika.
Kemampuan berpikir kritis yang akan diukur yaitu (i) memberikan
penjelasan sederhana dengan memfokuskan pertanyaan, menganalisis
argumen, serta bertanya dan menjawab pertanyaan yang membutuhkan
mempertimbangkan hasilnya, serta melakukan dan mempertimbangkan
induksi.
3. Reciprocal teaching merupakan prosedur pembelajaran yang dirancang
menggunakan empat tahap yaitu merangkum (menyimpulkan), menyusun
pertanyaan, menjelaskan kembali, dan menyusun prediksi. Reciprocal
teaching memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) terjadi dialog antara
siswa dengan guru, yang saling mengambil alih dalam peran menjadi
pemimpin dialog; (2) terjadi interaksi satu orang berperan merespon yang
lainnya; (3) dialog disusun menggunakan 4 strategi: mengajukan
pertanyaan, merangkum, menjelaskan dan meramalkan. Dalam penelitian
ini, pembelajaran dilakukan dengan mengelompokan siswa dalam
kelompok kecil yang heterogen berdasarkan kemampuan akademis yang
terdiri dari 4 - 5 orang.
4. Pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru sehari-hari di dalam kelas.
Pembelajaran konvensional bersifat informatif, guru menjelaskan materi
pelajaran dan memberikan beberapa contoh soal, siswa mendengarkan dan
mencatat penjelasan yang disampaikan guru, kemudian siswa mengerjakan
latihan, dan siswa dipersilahkan untuk bertanya apabila tidak mengerti.
Siswa pasif pada saat proses pembelajaran berlangsung.
5. Peningkatan yang dimaksud adalah peningkatan kemampuan penalaran
ternormalkan dari perolehan skor pretes dan postes siswa. Rumus gain
ternormalisasi adalah sebagai berikut:
Gain ternormalisasi (g) =
skorpretes skorideal
skorpretes skorpostes
−
− (Hake, 1999)
Kategori gain ternormalkan adalah: g ≥ 0,7 (tinggi); 0,3 ≤ g < 0,7
(sedang); g < 0,3 (rendah).
6. Sikap siswa terhadap matematika yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah kecenderungan siswa untuk terlibat secara aktif dalam pelajaran
matematika, atau respon yang ditunjukkan untuk menyukai atau tidak
menyukai pembelajaran matematika dengan model reciprocal teaching.
F. Hipotesis Penelitian
Sugiyono (1999 : 51) mengungkapkan bahwa hipotesis dapat dinyatakan
sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, bukan jawaban
yang empirik. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah
diuraikan di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran model reciprocal teaching lebih baik dibandingkan siswa
yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional).
2. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran model reciprocal teaching lebih baik dibandingkan siswa
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode dan Desain Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji atau menganalisis pembelajaran
melalui model reciprocal teaching serta pengaruhnya terhadap peningkatan
kemampuan penalaran dan berpikir kritis matematis, sehingga penelitian ini
merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai
suatu penelitian yang berusaha untuk mengungkap hubungan antara dua variabel
atau lebih. Russefendi (1998) mengemukakan bahwa penelitian eksperimen
adalah penelitian yang benar-benar untuk melihat hubungan sebab akibat.
Pada penelitian ini mengkaji hubungan variabel-variabel yang terdiri dari
dua bagian, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Faktor pembelajaran model
reciprocal teaching dan pembelajaran konvensional sebagai variabel bebas; dan
kemampuan penalaran matematis dan berpikir kritis matematis sebagai variabel
terikat.
Metode eksperimen yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan cara
memberikan perlakuan terhadap subjek penelitian berupa penggunaan model
pembelajaran yang berbeda. Model reciprocal teaching diberikan kepada
kelompok eksperimen, sedangkan pembelajaran konvensional diberikan kepada
2. Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap dua kelompok yaitu kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Desain penelitian berbentuk Randomized
Pre-test Post-Pre-test Control Group Design (Ruseffendi, 1994: 45) sebagai berikut:
A O X O
A O O
Keterangan: A: Kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dipilih
secara acak berdasarkan kelas.
X: Perlakuan pembelajaran melalui model reciprocal teaching.
O: Pre-test dan post-test yang diberikan pada kelas kontrol dan
kelas eksperimen.
Kelompok eksperimen adalah kelompok siswa yang mendapatkan
pembelajaran melalui model reciprocal teaching sedangkan kelompok kontrol
adalah kelompok siswa yang yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.
B. Populasi dan Sampel
Subjek populasi dari penelitian ini adalah siswa SMP BPI 1 Kota Bandung
kelas VIII yang terdiri dari enam kelas dengan rata-rata kemampuan matematika
tiap kelas hampir sama. Informasi tersebut diperoleh dari data-data nilai yang ada
pada guru matematika yang mengajar di kelas VIII. Teknik pengambilan
sampelnya menggunakan cluster sampling. Cluster sampling adalah cara
pengambilan sampel secara random (acak) yang didasarkan kepada kelompok atau
Keenam kelompok tersebut memiliki kemampuan yang hampir sama, sehingga
pemilihan kelas eksperimen dan kelas kontrol di lakukan dengan cara diundi tidak
didasarkan pada pertimbangan lain, hasilnya kelas VIII-C dan VIII-F sebagai
sampel penelitian. Penentuan kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan
dengan cara undi kembali terhadap dua kelas yang terpilih yaitu kelas VIII-C dan
kelas VIII-F. Hasilnya adalah kelas VIII-F sebagai kelas kontrol dan kelas VIII-C
sebagai kelas eksperimen.
C. Variabel Penelitian
Menurut Sudjana (2005: 8) penelitian eksperimen adalah suatu penelitian
yang berusaha mencari pengaruh variabel tertentu terhadap variabel lain dalam
kondisi yang terkontrol secara ketat. Pada penelitian ini terdapat dua variabel
yaitu variabel bebas dan variabel tidak bebas (variabel terikat). Variabel bebas
adalah faktor stimulus yaitu faktor yang dipilih, dimanipulasi, diukur oleh peneliti
untuk melihat pengaruh terhadap gejala yang diamati. Variabel bebas ini dapat
disebut sebagai variabel sebab.
Variabel bebas dari penelitian ini adalah pembelajaran melalui model
reciprocal teaching dan pembelajaran konvensional, sedangkan variabel terikat
(dependent variable) adalah kemampuan penalaran matematis dan kemampuan
berpikir kritis matematis.
D. Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini dibuat instrumen penelitian.
adalah tes kemampuan penalaran dan berpikir kritis siswa dalam matematika.
Sedangkan yang termasuk instrumen non tes adalah angket skala pendapat siswa.
1. Tes
Tes adalah suatu cara atau prosedur yang dilakukan untuk mengetahui
tingkat keberhasilan dalam bidang pendidikan. Dalam hal ini, tes tulis yang
diberikan akan digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam
aspek-aspek penalaran matematika dan berpikir kritis matematika. Tes ini dibagi dua
yaitu tes matematika I yang mengukur aspek peanalaran dan tes matematika II
yang mengukur aspek kemapuan berpikir kritis matematis.
Sebelum soal tes dipergunakan dalam penelitian terlebih dahulu dibuat
kisi-kisi soal yang dilanjutkan dengan menyusun soal beserta alternatif kunci
jawaban untuk tiap butir soal.
Selanjutnya soal diujicobakan untuk mengetahui validitas, reliabilitas,
tingkat kesukaran dan daya pembeda tiap butir soal tes yang akan digunakan
dalam penelitian. Sebelum soal-soal tes diujicobakan terlebih dahulu peneliti
melakukan konsultasi dengan dosen pembimbing, guru bidang studi matematika
di sekolah tempat penelitian dan juga rekan-rekan mahasiswa Sekolah
Pascasarjana Program Studi Pendidikan Matematika UPI.
Uji coba soal dilaksanakan pada siswa kelas IX-C SMP BPI 1 Kota
Bandung pada hari Kamis, 7 April 2010. Diujicobakan pada siswa kelas IX karena
mereka pernah mempelajari materi tentang kubus dan balok.
Langkah-langkah dalam menganalisis instrumen itu adalah sebagai
a. Analisis Validitas
1) Validitas Muka dan Validitas Isi
Untuk mendapatkan soal yang memenuhi syarat validitas muka dan
validitas isi, maka pembuatan soal dilakukan dengan meminta pertimbangan
dan saran dari ahli (expert), dosen pembimbing, guru-guru senior bidang studi
matematika, serta mahasiswa pascasarjana program studi matematika.
Validitas muka disebut pula validitas bentuk soal (pertanyaan,
pernyataan, suruhan) atau validitas tampilan, yaitu keabsahan susunan kalimat
atau kata-kata dalam soal sehingga jelas pengertiannya atau tidak menimbulkan
tafsiran lain (Suherman.dkk, 2003), termasuk juga kejelasan gambar dalam
soal. Sedangkan validitas isi berarti ketepatan tes tersebut ditinjau dari segi
materi yang diajukan, yaitu materi (bahan) yang dipakai sebagai tes tersebut
merupakan sampel yang representatif dari pengetahuan yang harus dikuasai,
termasuk kesesuaian antara indikator dan butir soal, kesesuaian soal dengan
tingkat kemampuan siswa kelas VIII, dan kesesuaian materi dan tujuan yang
ingin dicapai.
2) Validitas Butir Soal
Suatu instrumen dikatakan valid bila instrumen itu, untuk maksud dan
kelompok tertentu, mengukur apa yang semestinya diukur, derajat
ketetapannya besar, validitasnya tinggi (Russefendi, 1998: 132). Validitas butir
soal dari suatu tes adalah ketepatan mengukur yang dimiliki oleh sebutir soal
(yang merupakan bagian tak terpisahkan dari tes sebagai suatu totalitas), dalam
2007: 182). Sebuah butir soal dikatakan valid bila mempunyai dukungan yang
besar terhadap skor total. Untuk menentukan perhitungan validitas butir soal
digunakan program Anates Versi 4.0.
Koefisien korelasi hasil perhitungan kemudian diinterpretasikan dengan
klasifikasi menurut Guilford (Suherman dan Sukjaya, 1990: 147), seperti
tertera pada Tabel 3.1 di bawah ini:
Tabel 3.1 Klasifikasi Koefisien Validitas
Nilai rxy Interpretasi
0,90 < rxy ≤ 1,00 Sangat tinggi
0,70 < rxy ≤ 0,90 Tinggi
0,40 < rxy ≤ 0,70 Cukup
0,20 < rxy ≤ 0,40 Rendah
0,00 < rxy ≤ 0,20 Sangat rendah
rxy ≤ 0,00 tidak valid
Berdasarkan hasil uji coba di SMP BPI 1 Kelas IX-C, maka dilakukan uji
validitas dengan bantuan Program Anates 4.0, hasil perhitungan selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran B. Hasil uji validitas ini dapat dinterpretasikan
Tabel 3.2
Interpretasi Uji Validitas Tes Penalaran Matematis
Nomor
Soal Korelasi
Interpretasi
Validitas Signifikansi
1 0,618 Tinggi (baik) Sangat Signifikan
2 0,645 Tinggi (baik) Sangat Signifikan
3 0,480 Sedang (cukup) Signifikan
4 0,537 Sedang (cukup) Signifikan
Dari empat butir soal yang digunakan untuk menguji kemampuan
penalaran matematis tersebut berdasarkan kriteria validitas tes, diperoleh dua soal
(soal nomor 1 dan 2) yang mempunyai validitas tinggi, dan dua soal lainnya
mempunyai validitas sedang atau baik. Artinya, tidak semua soal mempunyai
validitas yang baik. Untuk kriteria signifikansi dari korelasi pada tabel di atas
terlihat dua soal yaitu soal nomor 3 dan 4 yang signifikan, sedangkan dua soal
lainnya sangat signifikan.
Untuk tes penalaran matematis diperoleh nilai korelasi xy sebesar 0,62.
Apabila diinterpretasikan berdasarkan kriteria validitas tes dari Guilford, maka
secara keseluruhan tes penalaran matematis memiliki validitas yang sedang atau
cukup.
Selanjutnya melalui uji validitas dengan Anates 4.0, yang hasil
perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran B diperoleh hasil uji
validitas tes berpikir kritis matematis yang dapat dinterpretasikan dalam
Tabel 3.3
Uji Validitas Tes Berpikir Kritis Matematis
Nomor Soal Korelasi Interpretasi
Validitas Signifikansi
1 0,708 Tinggi (baik) Sangat Signifikan
2 0,596 Sedang (cukup) Signifikan
3 0,484 Sedang (cukup) Signifikan
4 0,526 Sedang (cukup) Signifikan
Dari empat butir soal yang digunakan untuk menguji kemampuan berpikir
kritis matematis tersebut berdasarkan kriteria validitas tes, diperoleh bahwa satu
butir soal tersebut mempunyai validitas tinggi atau baik dan sangat signifikan.
Sementara tiga soal lainnya memiliki validitas cukup dan signifikan.
Secara keseluruhan tes komunikasi matematis mempunyai nilai korelasi xy
sebesar 0,71. Apabila diinterpretasikan berdasarkan kriteria validitas tes dari
Guilford, maka secara keseluruhan tes kemampuan berpikir kritis matematis
memiliki validitas yang tinggi atau baik.
b. Analisis Reliabilitas Butir Tes
Selain validitas, reliabilitas juga mempengaruhi terhadap pemilihan
instrumen. Reliabilitas suatu instrumen menunjukkan keajegan suatu instrumen
yang digunakan. Sebagaimana diungkapkan oleh Suherman (1990), suatu alat
evaluasi dikatakan reliabel jika hasil evaluasi tersebut relatif tetap jika digunakan
Selanjutnya menurut Ruseffendi (1994), reliabilitas instrumen adalah
ketetapan alat evaluasi dalam mengukur atau ketetapan siswa dalam menjawab
alat evaluasi tersebut. Menurut Fraenkel (1990), reliabilitas mengacu pada
konsistensi atau ketetapan nilai yang diperoleh untuk setiap individu, artinya
ketetapan pada perhitungan dari suatu instrumen ke instrumen lainnya dan dari
satu materi ke materi lainnya.
Tingkat reliabilitas dari soal uji coba kemampuan penalaran dan berpikir
kritis matematis didasarkan pada klasifikasi Guilford (Ruseffendi,1991) sebagai
berikut:
Tabel 3.4 Klasifikasi Tingkat Reliabilitas
Besarnya r11 Interprestasi
0,90 < r11 ≤ 1,00 sangat tinggi
0,70 < r11 ≤ 0,90 tinggi
0,40 < r11 ≤ 0,70 sedang
0,20 < r11 ≤ 0,40 rendah
r11 ≤ 0,20 sangat rendah
Berdasarkan hasil uji coba reliabilitas butir soal secara keseluruhan untuk tes
penalaran matematis diperoleh nilai tingkat reliabilitas sebesar 0,77, sehingga
dapat diinterpretasikan bahwa soal tes penalaran matematis mempunyai
reliabilitas yang tinggi. Sedangkan untuk tes berpikir kritis matematis diperoleh
nilai tingkat reliabilitas sebesar 0,83, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa soal
c. Analisis Daya Pembeda
Analisis daya pembeda dilakukan untuk mengetahui perbedaan
kemampuan siswa yang pandai (kelompok atas) dan lemah (kelompok bawah)
melalui butir-butir soal yang diberikan. Daya pembeda menunjukkan kemampuan
soal tersebut membedakan antara siswa yang pandai (termasuk dalam kelompok
unggul) dengan siswa yang kurang pandai (termasuk kelompok asor). Suatu
perangkat alat tes yang baik harus bisa membedakan antara siswa yang pandai,
rata-rata, dan yang kurang pandai karena dalam suatu kelas biasanya terdiri dari
tiga kelompok tersebut. Sehingga hasil evaluasinya tidak baik semua atau
sebaliknya buruk semua, tetapi haruslah berdistribusi normal, maksudnya siswa
yang mendapat nilai baik dan siswa yang mendapat nilai buruk ada (terwakili)
meskipun sedikit, bagian terbesar berada pada hasil cukup.
Proses penentuan kelompok unggul dan kelompok asor ini adalah
dengan cara terlebih dahulu mengurutkan skor total setiap siswa mulai dari skor
tertinggi sampai dengan skor terendah (menggunakan Anates Versi 4.0).
Tabel 3.5 Klasifikasi Daya Pembeda
Daya Pembeda Evaluasi Butiran Soal
Negatif – 9% Sangat buruk, harus dibuang
10% – 19% Buruk, sebaiknya dibuang
20% – 29% Agak baik, kemungkinan perlu direvisi
30% – 49% Baik
Hasil perhitungan daya pembeda untuk tes penalaran dan kemampuan
berpikir kritis matematis disajikan masing-masing dalam Tabel 3.6 dan Tabel 3.7
berikut ini:
Tabel 3.6 Daya Pembeda Tes Penalaran Matematis
Nomor Soal Indeks Daya Pembeda Interpretasi
1 52,78 % Sangat Baik
2 44,44 % Baik
3 25,00 % Agak Baik
4 30,56 % Baik
Tabel 3.7 Daya Pembeda Tes Berpikir Kritis Matematis
Nomor Soal Indeks Daya Pembeda Interpretasi
1 61,11 % Sangat baik
2 44,44 % Baik
3 30,56 % Baik
4 33,33 % Baik
Dari kedua tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk soal tes penalaran
matematis yang terdiri dari empat butir soal, terdapat dua butir soal yang daya
pembedanya baik yaitu soal nomor 2 dan 4, sedangkan soal nomor 1 daya
pembedanya sangat baik. Satu soal agak baik sehingga dilakukan revisi terhadap
soal tersebut. Untuk soal tes berpikir kritis matematis terdapat satu butir soal
yang daya pembedanya baik yaitu soal nomor 1, sedangkan tiga butir soal lainnya
d. Analisis Indeks Kesukaran Soal
Bermutu atau tidak butir-butir soal pada instrumen dapat diketahui dari
derajat kesukaran atau indeks kesulitan yang dimiliki oleh masing-masing butir
soal tersebut. Soal tes hasil belajar dapat dinyatakan sebagai butir-butir soal yang
baik, apabila butir-butir soal tersebut tidak terlalu sukar dan tidak pula terlalu
mudah. Soal yang terlalu mudah tidak merangsang siswa untuk berusaha
memecahkannya, dan soal yang terlalu sukar akan menyebabkan siswa putus asa
dan tidak bersemangat untuk mencoba lagi, karena di luar jangkauannya
(Arikunto, 2002: 213). Tingkat kesukaran pada masing-masing butir soal dihitung
dengan menggunakan Anates Versi 4.0.
Hasil perhitungan taraf kesukaran, kemudian diinterpretasikan dengan
kriteria menurut To (Astuti, 2009), seperti pada Tabel. 3.8 berikut:
Tabel 3.8 Kriteria Tingkat Kesukaran
Tingkat Kesukaran Interpretasi
0% - 15% sangat sukar
16% - 30% sukar
31% - 70 % sedang
71% - 85% mudah
86% - 100% sangat mudah
Berdasarkan hasil uji coba, maka dilakukan uji taraf kesukaran tes dengan
bantuan program Anates 4.0. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada
penalaran matematika dapat dinterpretasikan dalam rangkuman yang disajikan
pada Tabel 3.9 dan Tabel 3.10 berikut ini:
Tabel 3.9
Tingkat Kesukaran Butir Soal Penalaran Matematis
Nomor Soal Tingkat Kesukaran Interpretasi
1 63,89% Sedang
2 58,33% Sedang
3 62,50% Sedang
4 54,17% Sedang
Tabel 3.10
Tingkat Kesukaran Butir Soal Berpikir Kritis Matematis
Nomor Soal Tingkat Kesukaran Interpretasi
1 58,33% Sedang
2 61,11% Sedang
3 54,17% Sedang
4 58,33% Sedang
Dari kedua tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk soal tes penalaran
matematis yang terdiri dari empat butir soal, semua soal memiliki kriteria sedang.
Untuk soal tes berpikir kritis matematis sama seperti kemampuan penalaran yaitu
memiliki kriteria sedang.
e. Rekapitulasi Analisis Hasil Uji Coba Soal Tes Matematika
Rekapitulasi dari semua perhitungan analisis hasil uji coba tes kemampuan
penalaran dan berpikir kritis matematis disajikan secara lengkap dalam Tabel 3.11
Tabel 3.11 Rekapitulasi Analisis
Hasil Uji Coba Soal Tes Penalaran Matematis
Nomor Soal Interpretasi Validitas Interpretasi Tingkat Kesukaran Interpretasi Daya Pembeda Interpretasi Reliabilitas
1 Tinggi (baik) Sedang Sangat Baik
Tinggi
2 Tinggi (baik) Sedang Baik
3 Sedang (cukup) Sedang Agak Baik
[image:30.595.114.515.168.625.2]4 Sedang (cukup) Sedang Baik
Tabel 3.12 Rekapitulasi Analisis
Hasil Uji Coba Soal Tes Berpikir Kritis Matematis
Nomor Soal Interpretasi Validitas Interpretasi Tingkat Kesukaran Interpretasi Daya Pembeda Interpretasi Reliabilitas
1 Tinggi (baik) Sedang Sangat baik
Tinggi
2 Sedang (Cukup) Sedang Baik
3 Sedang (Cukup) Sedang Baik
4 Sedang (Cukup) Sedang Baik
Berdasarkan hasil analisis keseluruhan terhadap hasil ujicoba tes
kemampuan penalaran dan berpikir kritis matematis yang dilaksanakan di SMP
BPI 1 Bandung pada kelas IX-C, serta dilihat dari hasil analisis validitas,
reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran soal, maka dapat disimpulkan
kemampuan penalaran dan berpikir krtitis matematis siswa SMP kelas VIII yang
merupakan responden dalam penelitian ini dengan terlebih dahulu merevisi salah
satu soal yang memiliki daya pembeda agak baik.
2. Angket Pendapat Siswa
Angket ini dipersiapkan dan dibagikan kepada siswa-siswa dikelompok
eksperimen setelah tes akhir selesai dilaksanakan. Angket ini diberikan untuk
mengetahui pendapat para siswa tentang pembelajaraan yang dilaksanakan dan
perangkat tes yang mereka terima. Angket ini menggunakan skala Likert dengan
empat pilihan jawaban terhadap seperangkat pernyataan yang berhubungan
dengan pembelajaran melalui model reciprocal teaching.
Skala sikap dalam penelitian ini terdiri dari 25 pertanyaan dengan 4 pilihan
jawaban yang skornya, untuk pertanyaan positif digunakam skor sebagai berikut:
empat untuk SS (sangat setuju), tiga untuk S (setuju), dua untuk TS (tidak setuju),
dan satu untuk STS (sangat tidak setuju). Sedangkan untuk pertanyaan negatif
digunakan skor sebaliknya yaitu: satu untuk SS (sangat setuju), dua untuk S
(setuju), tiga untuk (tidak setuju), dan empat untuk STS (sangat tidak setuju).
Dalam penelitian ini penulis hanya ingin mengetahui rata-rata skor sikap siswa per
item dan persentase sikap positif dan negatif siswa terhadap pelajaran matematika
dan pembelajaran dengan model reciprocal teaching. Sebelum dilakukan
penyebaran angket pendapat kepada siswa, agar angket pendapat siswa ini
memenuhi prasyarat yang baik, maka terlebih dahulu meminta dosen pembimbing
E. Pengembangan Bahan Ajar
Bahan ajar yang digunakan pada penelitian ini disusun dalam bentuk
bahan ajar yang memuat materi yang akan dipelajari, lebar kerja siswa dan latihan
soal. Selain itum pembelajaran dilengkapi dengan buku paket yang disusun oleh
Depdiknas dan dari buku paket yang dikeluarkan penerbit lainnya. Dengan bahan
ajar ini, siswa berkelompok, berdiskusi, dan saling bekerjasama sesama angota
kelompoknya.
Materi pokok pada bahan ajar ini adalah bangun ruang kubus dan balok
yang merujuk pada standar kompetensi mata pelajaran matematika Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk SMP/MTs dan dikembangkan dalam 6
bahan ajar.
Sebelum bahan ajar digunakan pada kelas eksperimen, terlebih dahulu
dikonsultasikan kepada pembimbing agar bahan ajar benar-benar sesuai dengan
tujuan penelitian.
F. Prosedur Penelitian
Untuk memperoleh dan mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini, maka prosedur penelitian menempuh langkah-langkah yang terdiri
dari tiga tahapan utama. Ketiga tahapan tersebut yakni tahap persiapan, tahap
pelaksanaan, dan tahap analisis data. Untuk lebih lengkapnya akan diuraikan
sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan
Beberapa kegiatan yang dilakukan berkenaan dengan persiapam
a. Persiapan penelitian dilakukan melalui tahap-tahap membuat persiapan
yang mendukung proses penelitian, yaitu menyusun instrumen penelitian
berupa kisi-kisi dan instrumen tes, membuat rencana pembelajaran serta
merancang pengembangan bahan ajar.
b. Mengurus perijinan penelitian
c. Menemui kepala SMP BPI 1 Kota Bandung untuk menyampaikan surat
ijin penelitian sekaligus meminta ijin untuk melaksanakan penelitian
d. Berkonsultasi dengan guru matematika untuk menentukan waktu, teknis
pelaksanaan penelitian, memilih sampel sebanyak dua kelas secara acak
dari 6 kelas VIII yang akan dijadikan kelas kontrol dan kelas eksperimen.
e. Melakukan uji coba soal kepada siswa kelas IX-C pada hari Kamis, 7
April 2010.
2. Tahap Pelaksanaan
Tahap kedua dari penelitian ini adalah tahap pelaksanaan pembelajaran
matematika dengan menggunakan model reciprocal teaching. Yang bertindak
sebagai pengajar yaitu peneliti sendiri. Penelitian ini dilakukan dengan
urutan-urutan sebagai berikut:
a. Memberikan pretes kemampuan penalaran dan berpikir kritis matematis di
kelas terpilih dalam penelitian, yaitu kelas eksperimen (VIII-C) dan kelas
kontrol (VIII-F).
b. Sebelum pembelajaran dilaksanakan, peneliti terlebih dahulu membuat
kelompok siswa di kelas eksperimen berdasarkan data dari guru
menggunakan pembelajaran model reciprocal teaching dikelompokan
menjadi beberapa kelompok yang tiap kelompoknya terdiri dari 4 – 5
orang, dengan kemampuan akademik dan jenis kelamin heterogen.
c. Melaksanakan kegiatan pembelajaran. Untuk kelas eksperimen,
pembelajaran matematika menggunakan model reciprocal teaching
sedangkan untuk kelas kontrol menggunakan pembelajaran matematika
secara konvensional.
d. Setelah pembelajaran materi pokok bangun ruang kubus dan balok selesai
dengan 6 kali pertemuan, baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol
diberikan postes kemampuan penalaran matematis dan berpikir kritis
matematis. Tujuannya untuk mengetahui perbedaan kemampuan dari
setiap kelas penelitian setelah diberi perlakuan berbeda. Soal-soal yang
diberikan pada postes sama dengan soal yang diberikan pada pretes.
e. Setelah pemberian tes akhir selesai, dilanjutkan dengan pengisian angket
skala sikap siswa di kelas eksperimen.
3. Tahap Pengumpulan dan Analisis Data
a. Tahap Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini terdiri dari dua macam, yaitu tes dan
angket skala sikap siswa. Dalam pengumpulan data ini terlebih dahulu
menentukan sumber data, jenis data, teknik pengumpulan, dan instrumen yang
Tabel 3.13
Teknik Pengumpulan Data
No Sumber
Data Jenis Data
Teknik
Pengumpulan Instrumen
1 Siswa Kemampuan awal
penalaran matematis dan berpikir kritis matematis (kelas eksperimen dan kelas kontrol)
Tes awal (pretes)
Butir soal essai yang memuat kemampuan penalaran matematis dan berpikit kritis matematis
2 Siswa Kemampuan akhir
penalaran matematis dan berpikir kritis matematis (kelas eksperimen dan kelas kontrol)
Tes akhir (postes)
Butir soal essai yang memuat kemampuan penalaran matematis dan berpikit kritis matematis
3 Siswa Sikap siswa terhadap
pembelajaran matematis dengan model reciprocal teaching
Angket Angket skala sikap
dan daftar isian
b. Teknik Analisis Data
Setelah penelitian di lapangan dilaksanakan diperoleh data sebagai berikut:
1) Data skor pretes, postes, dan gain kemampuan penalaran dan berpikir
kritis matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.
2) Data skala sikap siswa terhadap pelajaran matematika dan pembelajaran
model reciprocal teaching.
Data skor di atas diolah dan dianalisis sebagai berikut:
1) Analisis Data Pretes dan Postes
Data skor kelas yang terdiri dari skor pretes dan postes dianalisis dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
b) Membuat tabel skor hasil tes siswa baik pretes, postes, maupun gain
ternormalisasi.
c) Menghitung rerata skor tes setiap kelompok.
d) Menghitung standar deviasi untuk mengetahui penyebaran kelompok dan
menunjukkan tingkat variansi kelompok data.
e) Membandingkan skor tes awal dan tes akhir untuk mencari peningkatan
(gain) yang terjadi sesudah pembelajaran pada masing-masing kelompok
yang dihitung dengan rumus g faktor (gain skor ternormalisasi) dengan
rumus:
awal maks
awal akhir
S S
S S
g
− − =
(Meltzer, 2002: 1260)
Keterangan:
g : gain ternormalisasi rata-rata
Sakhir : skor tes akhir
Sawal : skor tes awal
Smaks : skor maksimum
Kriteria tingkat gain adalah sebagai berikut:
g > 0,7 : tinggi
0,3 < g < 0,7 : sedang
g < 0,3 : rendah
(1) Menguji normalitas data
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah sampel berasal
dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Apabila data gain berasal
dari populasi yang berdistribusi tidak normal, maka pengujian dilanjutkan
ke uji non parametrik. Sedangkan apabila data gain berasal dari populasi
yang berdistribusi normal, maka pengujian dilanjutkan ke uji parametrik.
Uji normalitas dilakukan dengan bantuan Program SPSS versi 13.0
dengan hipotesis statistik :
H0 : Data gain berasal dari populasi yang berdistribusi normal
H1 : Data gain berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal
Kriteria pengujian :
Tolak H jika p-value (Sig.) < ½0 α = 0,025, sedangkan untuk kondisi
lainnya H diterima. 0
(2) Menguji homogenitas variansi
Menguji hipotesis antara dua varians pada skor pretes kelompok
eksperimen ( σ12) dan skor pretes kelompok kontrol ( σ22), skor postes
kelompok eksperimen ( σ12) dan skor prostes kelompok kontrol ( σ22).
Hipotesisnya sebagai berikut:
H0 : σ12 = σ22
H1 : σ12 ≠ σ22
Keterangan:
σ22 : varians data gain tes matematika pada kelompok kontrol
H0 : varians populasi kedua kelompok data adalah homogen
H1 : varians populasi kedua kelompok data tidak homogen
Kriteria pengujian :
Tolak H jika p-value (Sig.) < ½0 α = 0,025, sedangkan untuk kondisi
lainnya H diterima. 0
g) Menguji dan menganalisis data penelitian hasil pretes dan postes
dengan uji kesamaan dua rerata.
Untuk menguji apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan
penalaran dan kemampuan berpikir kritis siswa yang memperoleh
pembelajaran model reciprocal teaching bila dibandingkan dengan siswa
yang mendapat pembelajaran konvensional, maka dilakukan pengujian
kesamaan dua rerata. Adapun hipotesisnya adalah:
(1) H0 : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan
kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran model reciprocal teaching dan peningkatan
kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional.
H1 : Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang
daripada peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional.
(2) H0 : Tidak terdapat perbedaan antara peningkatan kemampuan berpikir
kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran model
reciprocal teaching dan peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
H1 : Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran model reciprocal teaching lebih baik
daripada peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Pengujian hipotesis-hipotesis diatas dilakukan sebagai berikut:
1. Jika data berasal dari populasi berdistribusi normal, maka untuk
menguji hipotesis dilakukan pengujian kesamaan dua rerata (uji t)
dengan taraf signifikan = 0, 05.
2. Jika data tidak berasal dari populasi berdistribusi normal, maka untuk
menguji hipotesis digunakan uji U Man-Whitney dengan taraf
signifikan = 0, 05.
Untuk mempermudah dan ketepatan hasil yang diperoleh maka setelah
penelitian peneliti akan mengolah data dengan menggunakan program SPSS
versi 13.0.
(3) Menganalisis data hasil observasi dan angket respon siswa
Untuk mengkaji bagaimana pendapat siswa terhadap pembelajaran
meningkatkan kemampuan penalaran dan berpikir kritis siswa dalam matematika,
data dianalisis secara kuantitatif, yaitu dengan melihat perolehan rata-rata skor
sikap dan persentase sikap positif dan sikap negatif. Selanjutnya rata-rata skor
sikap siswa dibandingkan dengan skor netral. Skor netral pada penelitian ini
sebesar 3,00. Adapun kategorisasi skala sikap adalah sebagai berikut:
X > 3,00 : Positif
X = 3,00 : Netral
X < 3,00 : Negatif
Keterangan:
X = Rata-rata skor siswa peritem
Selain menganalisis rata-rata skor sikap siswa, juga dianalisis persentase
sikap positif dan sikap negatif setiap item pertanyaan. Untuk pertanyaan positif,
sikap positif adalah sikap persetujuan (banyaknya respon S dan SS) dan sikap
negative adalah sikap ketidaksetujuan (banyaknya respon TS dan STS). Untuk
pertanyaan negatif, sikap positif adalah sikap ketidaksetujuan (banyaknyarespon
TS dan STS) dan sikap negatif adalah sikap persetujuan (banyaknya respon TS
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV mengenai
perbedaan peningkatan kemampuan penalaran dan berpikir kritis matematis,
antara siswa yang memperoleh pembelajaran model reciprocal teaching dengan
siswa yang memperoleh pembelajaran biasa diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
1. Kemampuan penalaran matematis baik dengan pembelajaran model
reciprocal teaching maupun dengan pembelajaran biasa mengalami
peningkatan. Kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapat
pembelajaran dengan model reciprocal teaching lebih baik dibandingkan
siswa yang mendapat pembelajaran biasa. Dengan demikian pembelajaran
matematika dengan model reciprocal teaching dapat meningkatkan
kemampuan penalaran matematis siswa.
2. Kemampuan penalaran matematis baik dengan pembelajaran model
reciprocal teaching maupun pembelajaran biasa mengalami peningkatan.
Kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mendapat pembelajaran
dengan model reciprocal teaching lebih baik dibandingkan siswa yang
mendapat pembelajaran biasa. Dengan demikian pembelajaran matematika
dengan model reciprocal teaching dapat meningkatkan kemampuan berpikir
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis mengemukakan beberapa
saran sebagai berikut:
1. Bagi para guru matematika, pembelajaran model reciprocal teaching dapat
dijadikan sebagai salah satu alternatif metode pembelajaran untuk
diimplementasikan dalam pengembangan pembelajaran matematika di kelas.
2. Pembelajaran model reciprocal teaching memerlukan waktu yang lebih lama
dari pembelajaran konvensional. Jadi disarankan, pembelajaran model
reciprocal teaching diterapkan pada topik-topik matematika yang esensial,
sehingga siswa dapat menerapkan pengetahuan dan prosedur matematis yang
telah mereka pelajari.
3. Melihat hasil tes kemampuan penalaran matematis dan berpikir kritis
matematis, masih banyak siswa memperoleh nilai dibawah KKM, guru
sebaiknya membiasakan siswa dengan soal-soal kemampuan penalaran
matematis dan soal-soal kemampuan berpikir kritis matematis.
4. Bagi peneliti berikutnya agar menelaah kelemahan pembelajaran ini dan juga
agar menelaah pembelajaran ini untuk dilihat pengaruhnya pada kemapuan
matematis lainnya seperti kemampuan memecahkan masalah matematis,
kemampuan komunikasi, serta kemampuan berpikir kreatif.
5. Penelitian ini dilakukan pada salah satu Sekolah Menengah Pertama di Kota
Bandung, penelitian lanjutan dapat dilakukan pada jenjang sekolah lainnya
dan dilakukan dengan memperhatikan kategori sekolah tinggi, sedang, dan
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (1999). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Bianchini, J. A. (1997). Where knowledge construction, equity, and context intersect: Student learning of science in small groups. Journal of Research in Science Teaching, 33, 1039-1065.
Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Model Silabus Mata Pelajaran SMP/MTS. Jakarta: BP. Cipta Jaya.
Devi. (2001). Pengembangan Model Pembelajaran Sifat Koligatif Larutan Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Melalui Kegiatan Eksperimen dan Non Eksperimen. Tesis pada PPS Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak dipublikasikan.
Ennis, R. H. (2000). A Super-Streamlined Coonception of Critical Thinking. [on-line]. Tersedia: http:// www.criticalthinking.net/ssConcCTApr3.html. [15 April 2006].
Hanaswati. (2000). Pengembangan Model Pencemaran Air Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Madrasah Aliyah melalui Belajar Kooperatif. Tesis pada PPS Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak dipublikasikan.
Hudoyo, H. (2002). Pengembangan kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang : Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang.
Irianto, A. B. (2003). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematika Siswa SMU Melalui Strategi Think-Talk-Write. Disertasi. Bandung: Program Pasca Sarjana UPI.
Juariah. (2008). Upaya Meningkatkan Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa Melalui Pendekatan Proses. Tesis pada PPS Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak dipublikasikan.
Makmun, (1999). Teori-Teori Belajar. Bandung : Rosda Karya
Marpaung, Y. (2001). Implementasi Pendidikan Matematika Realistik di Indonesia. (Kumpulan makalah pada Seminar Nasional Sehari: Penerapan Pendidikan Matematika Realistik Pada Sekolah Dan Madrasah). Medan.
Mulyati, T. (2007). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dalam Matematika Melalui Reciprocal Teaching. Tesis pada PPS Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak dipublikasikan.
Nurhadi. (2002). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikdasmen.
Qin, Z., Johnson, D. W. & Johnson, R. T. (1995). Cooperative versus competitive efforts and problem solving. Review of Educational Research, 65, 129-143.
Rohayati, A. (2005). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dalam Matematika Melalui Pembelajaran Dengan Pendekatan Kontekstual. Tesis PPS Universitan Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak dipublikasikan.
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Rusmini. (2008). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa SMP Melalui Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Cabri Geometri II. Tesis SPS Unibersitas Pendidikan Indonesi. Bandung: tidak dipublikasikan.
Ruspiani. (2000). Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi Matematika. Tesis. UPI: Tidak diterbitkan.
Sobur, A. (2003). Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Sudjana. (1996). Metode Statistika. Bandung: Tarsito.
Suherman, E. dan Sukjaya, Y. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusuma.
Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Keampuan Pemecahan Masalah pada Guru dan Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.
Suparno, P. (2002). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
Surbakti. (2002). Peningkatan Pemahaman Matematika Siswa SMU Melalui Pembelajaran Kooperatif. Tesis UPI bandung. Tidak diterbitkan.
Surya, M. (1992). Psikologi Pendidikan. Bandung: Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP IKIP Bandung.
Suryadi, D. (2003). Pengembangan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi. Bandung: Universitas Pendidikan Matematika.
Syukur, M. (2004). Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMU melalui Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Open-Ended. Tesis pada PPS Universitas Pendidikan Indonesia Bandung: Tidak dipublikasikan.
Wahyudin. (2006). Pemahaman Matematika Rendah, Dituntut Profesionalisme Guru. Kompas [Online], halaman 2. Tersedia: http://www.kcm.com [23 Juli 2007].