• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL (Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL (Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

(Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak) Hery Sumanto1), Moch. Juli Pudjiono2)

1,2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun

Abstract

This study aims to analyze the form of legal protection of child victims of sexual violence according to Law Number 23 Year 2002 on Child Protection and analyze whether the Law Number 23 Year 2002 on Child Protection has been providing legal protection for child victims of sexual violence in Indonesia. The method used is a normative juridical methods. The results showed that Law Number 23 Year 2002 on Child Protection has been providing legal protection for child victims of sexual violence in Indonesia, namely the presence of special protection, the establishment of child protection commission and the tough sanctions in an effort to provide protection to children victims of sexual violence.

Key words: legal protection, Children, Sexual Violence

PENDAHULUAN

Anak mempunyai peranan yang sangat penting baik di dalarn keluarga maupun di Negara, karena anak adalah amanah dari karunia Tuhan Yang Maha Esa yang di dalarn dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Oleh karena itu anak harus dihargai dengan melindungi dan membimbing mereka menjadi pribadi yang mengagurnkan. Perlindungan yang diberikan terhadap anak bertujuan agar setiap anak kelak mampu memiliki tanggungjawab untuk menjadi potensi dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, maka ia perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia, serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Anak adalah orang yang dalarn perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapanbelas) tahun dan belum pernah kawin, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Selain itu, ada perlindungan khusus yang

diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak ysng berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat aditif lainnya, anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Akhir-akhir ini, banyak diberitakan soal kekerasan terhadap anak. Ada yang dipukul, disiram dengan air panas, hingga ada juga yang tubulnya disetrika.

Kenyataan itu sangat memprihatinkan dan makin meneguhkan persepsi bahwa kekerasan terhadap anak belum bisa diselesaikan, walaupun dengan aturan hukum dan perundang-undangan.

Kekerasan terhadap anak dipengaruhi oleh beberapa faktor misaInya, adanya pandangan bahwa anak adalah harta kekayaan orang tua atau pandangan bahwa anak harus patuh kepada orang tua seolah-olah menjadi alat pembenaran atas tindak kekerasan terhadap anak.

Bila si anak dianggap lalai, rewel, tidak patuh, dan menentang kehendak orang

(2)

tua, dia akan memperoleh sanksi atau hukuman, yang kemudian dapat berubah menjadi kekerasan. Selain itu adanya hubungan yang tidak seimbang, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Di sini, anak berada dalam posisi lebih lemah, lebih rendah karena secara fisik, mereka memang lebih lemah daripada orang dewasa dan masih bergantung pada orang-orang dewasa di sekitarnya. Sernua kasus kekerasan terhadap anak, baik kekerasan seksual maupun kekerasan fisik, pelakunya adalah orang dari lingkungan terdekat korban; baik anggota keluarga, seperti orangtua, paman, guru, maupun teman dekat. Karena itu, untuk menanggulangi persoalan tersebut, perlu ada penegakan hukum maksimal. Sebab, bukan tidak mungkin fakta-fakta tentang kesengsaraan dan kesusahan hidup anak akan mengakibatkan persoalan yang sangat rumit di masa mendatang.

Adapun langkah nyata yang harus dilakukan adalah mengampanyekan penghapusan kekerasan terhadap anak, seperti pemasangan stiker, pelatihan kepada ibu-ibu, dan permintaan dukungan dari pemerintah daerah agar hak-hak anak perlu dilindungi.

Secara yuridis formal, pemerintah telah memiliki Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terkait dengan perlindungan terhadap hak-hak anak. Adapun hak-hak yang dapat diperoleh anak antara lain : Anak berhak atas kesejahteran, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Anak berhak atas pelayanan untuk mengernbangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa dan untuk menjadi warga Negara yang baik dan berguna.

Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa, dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Meski demikian, realitas kesejahteraan anak masih jauh dari harapan. Banyak terjadi kekerasan terhadap anak, baik yang dipekerjakan di sektor pekerjaan terburuk, diperdagangkan, maupun korban eksploitasi seksual.

Dari segi moral, etika, norma dan sosial masyarakat, tindakan pemerkosaan jelas-jelas adalah perbuatan tercela. Kasus kekerasan seksual umumnya lebih potensial menimpa anak-anak yang secara mental, fisik dan sosial lemah. Anak-anak yang lemah mental biasanya kurang mampu berfikir, kurang mampu membuat penilaian, kurang mampu mencari jalan keluar dalam menghadapi kesulitan atau bahaya dan dihinggapi rasa takut untuk melawan. Sedangkan anak-anak yang lemah fisiknya biasanya kurang mampu melawan, tidak mempunyai sarana untuk melindungi diri, ada kecenderungan tertentu yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan seksual atau pemerkosaan. Kekerasan seksual terhadap anak perlu mendapatkan perhatian serius mengingat akibat dari kekerasan seksual atau pemerkosaan terhadap anak akan menyebabkan anak

mengalami trauma yang

berkepanjangan. Trauma dapat membahayakan bagi perkembangan jiwa anak sehingga anak tidak akan dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar.

Seperti tertuang dalam Pasal 2 (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. Akibat lebih jauh dari adanya trauma itu juga menyebabkan terhambatnya proses pembentukan bangsa yang sehat. Untuk itu penegakan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan khususnya terhadap anak dibawah umur perlu untuk dikaji karena menyangkut kesejahteraan anak dan itu merupakan hak setiap anak.

Kenyataan dalam masyarakat masih sering didengar seorang anak telah menjadi korban suatu kekerasan seksual.

(3)

Masih adanya bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak ini tentunya sangat bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh pasal-pasal dalam konvensi hak-hak anak internasional.

Ironisnya lagi perangkat perundangan yang telah dipersiapkan dan dilahirkan oleh negara yang sedikit banyak justru akan semakin menempatkan anak sebagai yang bersalah atau terdakwa semakin kuat, walaupun tidak tertutup kemungkinan perangkat peraturan itu juga dibuat dengan melindungi kepentingan anak.

Meskipun peraturan-peraturan yang ada kelihatannya sudah cukup ideal bagi kehidupan masyarakat dan bangsa namun tujuan dari perangkat peraturan tersebut masih memihak pada kepentingan pelaku, sedangkan kepentingan pihak-pihak yang menjadi korban kekerasan seksual kurang mendapatkan perhatian yang nyata.

Tujuan Penelitian

1. Menganalisa bentuk perlindungan hukum terhadap anak-anak korban kekerasan seksual menurut Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

2. Menganalisa apakah Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah memberikan perlindungan hukum terhadap anak-anak korban kekerasan seksual di Indonesia

Manfaat Penelitian

Adapun dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :

1. Manfaat Teoritis, dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran yang berkaitan dengan perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan Hukum pidana pada khususnya.

2. Manfaat Praktis, Memberikan masukan atau sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak terkait, mengenai perlindungan anak dan dapat dijadikan rujukan bagi para praktisi hukum dalam menghadapi

permasalahan hukum perlindungan anak korban kekerasan seksual berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002.

METODE PENELITIAN

Tipe penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang ditinjau dari peraturan perundang- undangan yang berlaku, dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan peraturan perundang-undangan terkait.

Pendekatan Masalah

Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan melalui statute approach, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasikan serta membahas peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan materi yang dibahas dalam pembahasan ini dan juga melalui conceptual approach, yaitu pendekatan terhadap permasalahan dengan mendasarkan pendapat para sarjana sebagai landasan pendukung.

Bahan Hukum

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, berupa peraturan perundang- undangan dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, yaitu literatur maupun karya ilmiah para sarjana yang berkaitan dengan materi yang dibahas.

(4)

Langkah Penelitian

1. Pengumpulan bahan, dilakukan dengan pengumpulan bahan-bahan hukum dan pengelompokan yaitu memilah-milah bahan hukum yang penting dan berkaitan dengan obyek penelitian. Keseluruhan dilakukan dengan sistemasi bahan hukum yang tersusun secara runtun agar mudah dipahami.

2. Analisis, dilakukan melalui penalaran deduksi, diawali dengan norma-norma atau undang-undang yang bersifat umum yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, kemudian diterapkan pada kasus tertentu, sehingga menghasilkan suatu jawaban yang khusus. Dilakukan pula dengan menggunakan penafsiran sistematis, yaitu penafsiran dengan cara melihat susunan pasal yang berhubungan dengan pasal-pasal yang lainnya yang ada di dalam undang-undang itu sendiri atau pasal-pasal lain dari undang-undang yang lain, untuk memperoleh pengertian dan pemahaman yang lebih dalam.

PEMBAHASAN

Masalah Kekerasan Seksual

Pengertian Korban Kekerasan Seksual Pengertian korban dalam kekerasan seksual ini diambil dari dua pendapat, yaitu :

a. Menurut The Declaration of Basic Principles of justice for victims of Crime and Abuse of Power PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tahun 1985 :

Korban adalah orang-orang yang secara individual atau kolektif, telah mengalami penderitaan, meliputi penderitaan fisik atau mental, penderitaan emosi, kerugian ekonomis atau pengurangan substansi hak asasi, melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaran-pembiaran yang melanggar hukum pidana yang berlaku di negara-negara anggota,

yang meliputi juga peraturan hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.

b. Menurut Arif Gosita(1985) :

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita. Mereka disini dapat berarti individu atau kelompok baik swasta maupun pemerintah.

Dari dua pendapat ini kiranya pengertian tentang korban kekerasan tidak jauh berbeda, karena kedua- duanya mempunyai unsur yang sama, yaitu dimana mereka yang mengalami penderitaan sebagai akibat dari tindakan orang lain dalam memenuhi kepentingannya yang bertentangan dengan hak asasi manusia.

Istilah kekerasan seksual terhadap anak mengambil pendapat dari departemen Kesehatan dan Jaminan Sosial di Inggris, kekerasan seksual terhadap anak adalah penggunaan anak serta remaja yang masih belum matang tingkat perkembangannya dalam kegiatan yang tidak dipahami sepenuhnya oleh mereka untuk mana mereka tidak mampu melakukannya secara suka rela, atau melanggar norma susila dari peran keluarga. Definisi ini mungkin akan lebih keras jika ditambahkan unsur paksaan kedalamnya. Pemaksaan menjadi unsur niscaya kalau menganggap bahwa anak, berhubung tingkat perkembangannya belum mampu melakukan tindak seksual atas dasar suka sama suka. Istilah

”penganiayaan” atau ”pelecehan” seksual sering dipakai sebagai pengganti istilah

”kekerasan seksual”.

Sedangkan kekerasan seksual menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah (1) Pemaksaan hubungan seksual yang

dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga;

(2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup

(5)

rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Masalah kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kejahatan yang melecehkan dan menodai harkat kemanusiaan, serta patut dikategorikan sebagai jenis kejahatan melawan kemanusiaan (crime againts humanity).

Perlu diketahui misalnya dalam perspektif masyarakat pada lazimnya bahwa kejahatan seksual ini bermacam- macam, seperti perzinaan, homo seksual, kumpul kebo (samen leven), lesbian, pelacuran, pencabulan, perkosaan promiskuitas (hubungan seksual yang dilakukan diluar ikatan perkawinan dengan cara barganti-ganti

pasangan).

Namun demikian dalam kejahatan seksual itu ada di antaranya tidak berbentuk atau dilakukan dengan cara- cara kekerasan seksual. Ada diantara kejahatan seksual (sexual crime) atau kejahatan kesusilaan itu dilakukan dengan suka sama suka dan melalui transaksi (imbalan uang atau barang untuk melayani kebutuhan seksual seseorang atas dasar perjanjian) seperti pelacuran. Meskipun demikian, kejahatan seksual itu dapat berefek pada terjadinya kekerasan bilamana kejahatan tersebut bersifat terorganisir, atau pihak yang memiliki uang banyak dan ”menguasai”

transaksi mengidap kelainan seksual dan baru terpenuhi kebutuhan seksualnya jika dilayani dengan cara-cara kekerasan.

Begitupun soal kekerasan yang terkait dengan hubungan seksual tidak selalu dapat dikatakan sebagai kejahatan bilamana ketentuan perundang- undangan tidak atau belum mengaturnya. Misalnya pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa salah satu praktik seks yang menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual (sexual violence).

Artinya hubungan seksual yang

dilakukan dengan cara-cara kekerasan, diluar ikatan perkawinan yang sah.

Kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya memiliki kekuatan fisik yang lebih, atau kekuatan fisiknya dijadikan alat untuk memperlancar usaha-usaha jahatnya.

Kekerasan seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat.

Kekerasan seksual adalah lebih dan sekedar issue kejiwaan, ia adalah merupakan akibat dari budaya, sosial, legal formal, ekonomi dan pendidikan.

Yang menjadi korban perkosaan kebanyakan wanita termasuk anak-anak, dimana wanita dan anak-anak tergolong lemah mental, fisik dan nsosial. Wanita yang lemah mental dan anak-anak, biasanya kurang mampu membuat penilaian,kurang mampu mencari jalan keluar dalam menghadapi kesulitan atau bahaya dan dihinggapi rasa takut untuk melawan. Sedangkan wanita yang lemah fisik dan anak-anak biasanya kurang mampu melawan, tidak mempunyai sarana untuk melindungi diri, ada kecenderungan tertentu yang dapat menyebabkan perkosaan.

Korban kekerasan seksual selain mengalami penderitaan fisik dan psikis juga mengalami penderitaan sosial. Hal ini berbeda dengan penderitaan korban kejahatan lainnya, maka para korban mempunyai hak disamping kewajiban dari akibat kejahatan kekerasan seksual.

Pihak korban mempunyai hak untuk :

a. Mendapat ganti rugi atas penderitaannya;

b. Mendapat perlakuan yang sesuai dengan taraf penyidikan;

c. Mendapatkan hak untuk rehabilitasi dan dibina;

d. Mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku;

e. Mendapatkan hak un tuk tidak disiarkan nama dan wajahnya oleh media massa baik cetak maupun elektronik.

Pihak korban mempunyai kewajiban : a. Untuk tidak membalas dendam;

(6)

b. Menjadi saksi, bilamana tidak membahayakan diri;

c. Direhabilitasi dan dibina oleh lembaga yang berkompeten untuk itu.

Dalam masyarakat Amerika serikat menganggap kekerasan seksual terutama perkosaan terhadap wanita yang dibawah umur atau masih gadis, sebagai tindak pidana yang tergolong jenis aurogeous violation yaitu kejahatan yang amat keji. Kerasnya sikap serta pandangan masyarakat di negara Amerika Serikat terhadap perkosaan terutama terhadap wanita dibawah umur, paling tidak karena berpijak pada suatu keyakinan bahwa, pertama dalam kasus perkosaan pasti terjadi perampasan atau perusakan terhadap suatu ”mahkota”

yang tidak ternilai yaitu kehormatan dan kesucian kewanitaan (femininedignity) yang pada hakekatnya sebetulnya juga merupakan kehormatan kemanusiaan.

Jika korban kekerasan seksual kebetulan gadis atau perawan, maka dinilai kehormatan yang dipertaruhkan berupa keperawanan, maka jauh lebih berharga lagi. Kedua, dalam kasus perkosaan korbannya kebanyakan wanita, yang dilihat dari segi fisik maupun biologisnya dalam posisi jauh lebih lemah dibanding dengan pihak pemerkosanya yaitu laki- laki. Ketiga, dalam kasus perkosaan terutama apabila seorang gadis (perawan), maka ia harus menanggung derita seumur hidup, terutama dalam bentuk penderitaan mental yang bukan mustahil akan menimbulkan gangguan kejiwaan. Keempat, kesucian keperawanan merupakan kehormatan yang perlindungannya tidak cukup hanya dipikul kaum wanita saja, tapi merupakan amanah kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi oleh segenap anggota masyarakat. Dengan landasan pemikiran di atas tindak pidana perkosaan tidak mungkin dikualifikasikan hanya sekedar sebagai perbuatan melanggar kesopanan atau perbuatan pencabulan (http://kekerasan anak.go.id)

2. Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Kekerasan Seksual Dan Pencegahannya

Apabila kita melihat kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak baik di televisi maupun di media cetak, yang sering terjadi adalah antara pelaku dan korban sudah saling mengenal sebelumnya, walaupun diantara mereka tidak ada hubungan saudara. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinnya tindak pidana tersebut yaitu dengan terbukannya kesempatan untuk membujuk atau mengelabuhi si anak, karena si anak akan menurut kepada orang yang telah dikenalnnya. Namun yang sering terjadi faktor penyebab terjadinya tindak pidana seksual tersebut datang dari pihak pelaku sendiri dengan didukung adanya kesempatan dan situasi yang memungkinkan dilakukannya perbuatan tersebut.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak-anak adalah :

a. Adanya kelainan jiwa, dimana pelaku merasa minder apabila berhubungan dengan wanita dewasa, sehingga ia memilih anak-anak sebagai pelampiasannya karena dengan begitu ia merasa lebih kuat;

b. Adanya ajaran sesat yang dipelajari pelaku yaitu dengan memperkosa anak kecil demi mendapatkan kesakitan dan kedigdayaan. Mereka percaya bahwa semakin banyak melakukan perkosaan maka akan semakin sakti dan kebal tubuhnya terhadap segala macam senjata;

c. Kurangnya pendidikan seks pada anak, sehingga ia mudah dibujuk untuk melakukan perbuatan yang tidak semestinya;

d. Adanya kelainan seks yang disebut pedopilia adalah kegairahan seks pada orang dewasa terhadap anak;

e. Adanya paksaan atau ancaman dari pelaku terhadap korban;

f. Banyaknya gambar-gambar cabul dan film porno yang beredar dimasyarakat, akibatnya anak

(7)

remaja yang melihatnya merasa tertarik untuk menirunya dan biasanya yang dijadikan sasaran adalah anak-anak yang masih dibawah umur;

g. Hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku kekerasan seksual selama ini masih dianggap ringan sehingga pelaku merasa tidak takut untuk melakukannya kejahatan tersebut;

h. Banyak beredar minuman keras di masyarakat sehingga bagi orang yang meminumnya tidak dapat mengontrol perbuatannya.

(http://blog hukum.com)

Dalam mencegah tindak kekerasan seksual terhadap anak-anak maka dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :

a. Secara preventif

Usaha yang dilakukan secara preventif ini diwujudkan dalam kegiatan untuk mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan seksual.

Adapun usaha ini antara lain berupa 1). Meningkatkan pemberian pendidikan

keagamaan dan kerohanian masyarakat, karena semakin jauh masyarakat dari agama semakin sulit memelihara moral orang dalam masyarakat itu sehingga akan menyebabkan banyaknya pelanggaran-pelanggaran atas hak, hukum dan nilai moral;

2). Penyitaan terhadap beredarnya buku- buku dan majalah cabul, gambar- gambar porno;

3). Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan keluarga;

4). Memberi penyuluhan hukum tentang bahaya maupun akibat dari kejahatan seks.

b. Secara represif

Usaha yang dilakukan secara represif dalam menanggulangi masalah kekerasan seksual ini adalah diwujudkan dengan cara : 1). Penerapan hukuman yang kongkret

dalam arti bahwa pelaku dsari tindak pidana tersebut harus benar-benar dijatuhi hukuman yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan

agar pelaku jera dan tidak akan mengulangi perbuatan tersebut;

2). Kerjasama antara aparat penegak hukum dengan masyarakat, dalam arti bahwa apabila di dalam masyarakat terjadi tindak pidana, maka pihak korban atau masyarakat yang mengetahuinya diharapkan melapor mengenai kasus kekerasan seksual tersebut;

3). Melakukan pembinaan dan bimbingan terhadap nara pidana yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan agar apabila mereka kembali nanti menjadi anggota masyarakat yang baik.

3. Dampak Psikologis Terhadap Anak- Anak Korban Kekerasan seksual

Pelecehan seksual, penyerangan seksual dan kekerasan seksual hingga perkosaan yang dialami korban, merupakan pengalaman yang traumatik.

Kekerasan seksual tersebut merupakan trauma psikis dari pada trauma fisik, karena dapat menimbulkan gangguan jiwa yang disebut sebagai stres pasca trauma. Adapun gejala-gejala stres pasca trauma itu adalah sebagai berikut : a. Terdapat stressor yang berat dan jelas

yang akan menimbulkan gejala penderitaan yang berarti bagi hampir setiap korban;

b. Penghayatan yang berulang-ulang dari trauma yang dibuktikan oleh terdapatnya paling sedikit satu dari hal berikut :

1. Ingatan berulang dan menonjol tentang peristiwa itu;

2. Mimpi-mimpi berulang dari peristiwa itu;

3. Timbulnya secara tiba-tiba perilaku atau perasaan seolah-olah peristiwa traumatik itu sedang timbul kembali.

4. Pengumpulan respons terhadap atau berkurangnya hubungan dengan dunia luar yang mulai beberapa waktu sesudah trauma dan dinyatakan oleh paling sedikit satu dari hal berikut : a) Berkurangnya secara jelas minat

terhadap satu atau lebih aktivitas yang cukup berarti;

(8)

b) Perasaan terlepas atau terasing dari orang lain;

c) Efek yang menyempit atau efek depresif.

5. Paling sedikit ada dua dari gejala- gejala berikut ini yang tidak ada sebelum trauma terjadi yaitu :

a. Kewaspadaan atau reaksi terkejut berlebihan;

b. Gangguan tidur (disertai mimpi-mimpi yang menggelisahkan);

c. Adanya kesukaran daya ingat atau konsentrasi;

d. Penghindaran diri dari aktivitas yang membangkitkan ingatan tentang peristiwa traumatik tersebut;

e. Peningkatan gejala-gejala apabila dihadapkan pada peristiwa yang menyerupai peristiwa traumatik tersebut.

Apabila gejala-gejala ini berlanjut dan tidak dapat diatasi, maka lama-lama korban bisa mengalami gangguan jiwa.

Dalam kasus kekerasan seksual hendaklah jangan hanya si pelaku yang mendapatkan perhatian, hendaklah juga dilakukan pemeriksaan kejiwaaan (visum psikiatrik) terhadap korban. Hal ini penting bagi hakim dalam penjatuhan hukuman pada pelaku agar lebih kecil.

Perlindungan Hukum Terhadap Anak- Anak Korban Kekerasan Seksual Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara optimal.

Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi

dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik atau mental, anak yang menyandang cacat, anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa :

Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip- prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :

1. Non diskriminasi;

2. Kepentingan yang terbaik bagi anak;

3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan 4. Penghargaan terhadap pendapat

anak

Sedangkan dalam Pasal 3 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa : Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa

Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak

(9)

korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Selanjutnya pasal 66 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa : (1) Perlindungan khusus bagi anak yang

dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat;

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui : a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi

ketentuan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya :

a. Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang- undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan

b. Pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi.

Pasal 71 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa :

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat;

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, maka pemerintah membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang independen.

Pasal 75 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa :

(1) Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri dari 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, 1 (satu) orang sekretaris dan 5 (lima) orang anggota.

(2) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.

(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun, dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Pasal 76 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa :

Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas :

a. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima

(10)

pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak;

b. Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.

Ketentuan pidana menurut Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa :

Pasal 77 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa :

Setiap orang yang sengaja melakukan tindakan :

a. Diskriminatif terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau

b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,

c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa

Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 80 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa :

(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah).

(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orangtuanya.

Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan

(11)

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa

Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah memberikan perlindungan hukum terhadap anak-anak korban kekerasan seksual di Indonesia yaitu dengan adanya perlindungan khusus, pembentukan komisi perlindungan anak dan adanya sanksi yang tegas dalam upaya memberikan perlindungan kepada anak-anak korban kekerasan seksual.

Perlindungan khusus dilaksanakan dengan penyebarluasan dan atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi dan pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat dalam penghapusan

eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan seksual.

Saran-saran

Perlunya pemberian pendidikan keagamaan, kerohanian masyarakat baik dalam media elektronik maupun media massa dan sosialisasi masyarakat misalnya melalui pengajian, ceramah keagamaan dan perlunya sosialisasi atau penyuluhan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak oleh Komisi Perlindungan Anak dan kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam upaya memberikan perlindungan kepada anak.

DAFTAR PUSTAKA

Arif Gosita, 1985, Masalah Perlindungan Anak, CV. Presindo Akademika.

Elly Hernawati, Ida Sampit Karo-Karo, dan Elfina Lebrine Sahetapy, 2010, Hand Out Materi Kuliah Sistem Peradilan Anak dan

Kekerasan Terhadap

Perempuan, Laboratorium Hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Surabaya, 2009-2010

Mohammad Farid, 1999, Kekerasan Seksual, Eksploitasi Seksual dan Eksploitasi Seksual Komersial Terhadap Anak, Jakarta : UNICEF

Shanty Dellyana, 1988, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2002, Mengenal Hukum, Liberty Yogyakarta.

Syahmin, 1985, Hukum Perjanjian internasional menurut konvensi wina 1869, Bandung, Amrico.

Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

(12)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Kodifikasi dan Konvensi Hak Anak

http://blog hukum. com

http://kekerasan terhadap anak. go.id

Referensi

Dokumen terkait

[7] berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kadar bioetanol dari biji buah nangka (Artocarpus heterophyllus) dengan proses hidrolisis asam sulfat 1M

Sebagai pendidik profesional, seorang guru yang telah memiliki kompetensi yang dipersyaratkan serta telah memenuhi kualifikasi pendidik yang ditentukan wajib melakukan

Hal ini dikarenakan perhitungan Ecological Footprint berdasarkan data tahunan yang telah berlalu, dan tidak dapat benar-benar tepat mengukur kemampuan daya dukung lingkungan hidup

“Setiap Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat meliputi seluruh informasi lengkap yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala” [4.27]

Hiperkolesterolemia merupakan masalah yang cukup penting karena termasuk faktor resiko utama penyakit jantung koroner disamping hipertensi dan merokok. Kebiasaan makan individu..

Tujuan penelitian ini adalah membuat sistem pakar yang dapat digunakan untuk mendiagnosa penyakit menular pada anjing yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan

Terdapat tujuh variabel dari faktor pengetahuan, lima variabel dari faktor keterampilan, empat variabel dari faktor konsep diri, dua variabel dari karakteristik pribadi dan

Maka hal yang harus di lakukan adalah mencari informasi sebanyak mungkin mengenai profil perusahaan tersebut bisa melalui media search engine, yellowpages, forum atau referensi