• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS BEN BEN IRWANDI NIM:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS BEN BEN IRWANDI NIM:"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KADAR VITAMIN D DALAM DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN TUBERKULOSIS PARU,

PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2, PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DAN KONTROL SEHAT DI MEDAN,

SUMATERA UTARA, INDONESIA

TESIS

BEN BEN IRWANDI NIM: 147041131

PROGRAM PENDIDKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(2)

PERBEDAAN KADAR VITAMIN D DALAM DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN TUBERKULOSIS PARU,

PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2, PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DAN KONTROL SEHAT DI MEDAN,

SUMATERA UTARA, INDONESIA

TESIS

BEN BEN IRWANDI NIM: 147041131

PROGRAM PENDIDKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(3)

PERBEDAAN KADAR VITAMIN D DALAM DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN TUBERKULOSIS PARU,

PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2, PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DAN KONTROL SEHAT DI MEDAN,

SUMATERA UTARA, INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Departemen

Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

BEN BEN IRWANDI NIM: 147041131

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(4)

LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Penelitian : Perbedaan Kadar Vitamin D dalam Darah Penderita Diabetes Melitus tipe 2 Dengan Tuberkulosis Paru, Penderita Diabetes Melitus tipe 2, Penderita Tuberkulosis Paru dan Kontrol Sehat di Medan, Sumatera Utara, Indonesia.

Nama : Ben Ben Irwandi.

Program Studi :Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.dr.Bintang YM.Sinaga,MKed(Paru).Sp.P(K)dr. P.Siagian, MKed(Paru).Sp.P(K),FISR

NIP.197202281999032002 NIP.196304051989121001

Pembimbing III Pembimbing IV Koordinator Penelitian Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi

dr.Putri CE, MSEpid,PhDdr. Santi S,Sp.PD-KEMDDr.dr.Bintang YM.Sinaga,MKed(Paru).Sp.P(K) NIP.197209021999032001 NIP.196909101999032001 NIP.197202281999032002

Ketua Program Studi Ketua Departemen

Magister Kedokteran Klinik Pulmonologi dan

KedokteranRespirasi

Dr.dr.Rodiah R. Lubis, M.Ked(Oph),SpM(K)dr.Zainuddin Amir, M.Ked(Paru), SpP(K) NIP. 19760417 200501 2 002 NIP:19540620 198011 1 001

(5)

TESIS

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Judul Penelitian : Perbedaan Kadar Vitamin D dalam Darah Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Tuberkulosis Paru, Penderita Diabetes Melitus Tipe 2, Penderita Tuberkulosis Paru dan Kontrol Sehat di Medan, Sumatera Utara, Indonesia.

Nama : Ben Ben Irwandi.

Fakultas : Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Program Studi : Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Jangka waktu : 12 (Duabelas) bulan.

Lokasi Penelitian : RSUP Haji Adam Malik Medan, Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru Medan, dan Klinik Dokter Spesialis Paru Swasta di Medan.

Biaya Penelitian : Rp. 65.820.000,-

Pembimbing I : Dr. dr. Bintang YM Sinaga,M.Ked(Paru). Sp.P(K).

Pembimbing II : dr. Parluhutan Siagian, M.Ked(Paru).Sp.P(K).

Pembimbing III : dr. Putri Chairani Eyanoer, MSEpid,PhD.

Pembimbing IV : dr. Santi Syafril,Sp.PD-KEMD.

(6)

SURAT PERNYATAAN

Judul Penelitian : Perbedaan Kadar Vitamin D dalam Darah Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Tuberkulosis Paru, Penderita Diabetes Melitus Tipe 2, Penderita Tuberkulosis Paru dan Kontrol Sehat di Medan, Sumatera Utara, Indonesia.

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat orang lain yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam rujukan.

Yang Menyatakan, Peneliti

dr. Ben Ben Irwandi

(7)

Telah diuji pada Tanggal 22 Juni 2017

PANITIA PENGUJI TESIS

Prof. dr. H. Luhur Soeroso, Sp.P (K) Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P (K)

dr. Hilaluddin Sembiring, Sp.P (K), DTM&H dr. Zainuddin Amir, M.Ked (Paru), Sp.P (K) dr. Widirahardjo, Sp.P(K)

dr. Pandiaman Pandia, M.Ked (Paru), Sp.P(K)

DR. dr. Amira Permatasari Tarigan, M.Ked (Paru), Sp.P(K) DR. dr. Bintang YM Sinaga, M.Ked (Paru), Sp.P(K)

DR. dr. Fajrinur Syarani, M.Ked (Paru), Sp.P(K) dr. Parluhutan Siagian, M.Ked (Paru), Sp.P(K) dr. Noni N. Soeroso, M.Ked (Paru),Sp.P(K) dr. Setia Putra Tarigan, Sp.P(K)

dr. Putri Chairani Eyanoer, MSEpid, PhD.

dr. Santi Syafril, Sp.PD-KEMD.

(8)

ABSTRAK

Objektif : Mengetahui perbedaan kadar vitamin D pada penderita diabetes melitus tipe 2 dengan tuberkulosis paru (TBDMT2), penderita diabetes melitus tipe 2 (DMT2), penderita tuberkulosis paru (TB), dan kontrol sehat di Medan, Sumatera Utara, Indonesia.

Metode : Penelitian analitikdengan menggunakan pendekatancase controldengan estimasi proporsi suatu populasi pada simple random sampling dengan total subjek penelitian 224 subjek di RSUP H.

Adam Malik Medan, Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru Medan (BP4), dan Klinik Dokter Spesialis Paru Swasta di Medan pada periode pengambilan data tanggal 01 april 2016 sampai dengan 31 agustus 2016dengan mengukur kadar vitamin D kelompok penderita DMT2 dengan TB paru(TBDMT2 atau kasus) 42 subjek dan membandingkan dengan hasil pengukuran kadar vitamin Dkelompok kontrol seperti penderita DMT2 sebanyak 60 subjek, penderita TB paru 31 subjek dan kontrol sehat 91 subjek. Subjek kasus dan kontrol harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar vitamin D dengan menggunakan metode enzym linked immunosorbent assay(ELISA). Data hasil penelitian di analisis secara deskriptif untuk melihat distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik subjek penelitian dan analisis inferensial untuk melihat perbedaan kadar vitamin D pada keempat kelompok dengan menggunakan uji Kruskal Wallis dengan nilai kebermaknaan p < 0,05 serta untuk

melihat perbedaan kadar vitamin D pada kedua kelompok dengan uji Mann Whitney nilai kebermaknaan p < 0,05.

Hasil : Penelitian ini diikuti jenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan umur 18-30 tahun. Kadar vitamin D kelompok

(9)

sufisiensi lebih banyak lalu diikuti oleh kelompok defisiensi, kelompok insufisiensi dan kelompok optimal. Penderita TBDMT2 kadar vitamin D 30,53±14,20 ng/dl (status vitamin D ~ optimal) lebih tinggi daripada penderita DMT2 kadar vitamin D 28,09±11,64 ng/dl (status vitamin D ~ sufisiensi), penderita TB paru kadar vitamin D 28,98±10,36 ng/dl (status vitamin D ~ sufisiensi) dan kontrol sehat dengan kadar vitamin D 24,49±6,52 ng/dl (status vitamin D ~ sufisiensi). Ada perbedaan signifikan rerata kadar vitamin D antara keempat kelompok dengan nilai p 0,039.

Sedangkan perbedaan rerata kadar vitamin D antara dua kelompok yaitu ada perbedaan signifikan kadar vitamin D TBDMT2 dengan kontrol sehat nilai p 0,022, ada perbedaan signifikan vitamin D antara TB dengan kontrol sehat nilai p 0,042, dan ada perbedaan signifikan kadar vitamin D antara DMT2 dengan kontrol sehat nilai p 0,045.

Kesimpulan : Ada perbedaan signifikan kadar vitamin D antar keempat kelompok dan ada perbedaan rerata kadar vitamin D antara dua kelompok yang mana kadar vitamin D pada kelompok kontrol sehat lebih rendah daripada penderita TBDMT2, penderita TB dan penderita DMT2.

Kata kunci: Vitamin D, Diabetes Melitus Tipe 2, Tuberkulosis paru.

(10)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur kepada ALLAH SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulisdapatmenyelesaikantulisanakhirini yang berjudul

”Perbedaan Kadar Vitamin D Dalam Darah Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Tuberkulosis Paru, Penderita Diabetes Melitus Tipe 2, Penderita Tuberkulosis Paru dan Kontrol Sehat di Medan, Sumatera Utara, Indonesia”.

Tulisan ini merupakan persyaratan dalam penyelesaian pendidikan gelar magister kedokteran klinik paru dalam program pendidikan magister kedokteran klinik FK USU Medan. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak baik dari guru-guru yang penulis hormati, teman sejawat di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU, paramedis dan non medis serta dorongan dari pihak keluarga. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

dr.Zainuddin Amir,M.Ked(Paru), SpP(K), sebagaiKetua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU/SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang tiada henti-hentinya memberikan bimbingan Ilmu Pengetahuan, arahan, petunjuk serta nasehat dalam cara berpikir, bersikap dan berperilaku yang baik selama masa pendidikan, yang mana hal tersebut sangat berguna di masa yang akan datang.

Dr. dr. Bintang Y.M. Sinaga,M.Ked(Paru) Sp.P(K) sebagai koordinator penelitian ilmiah di Departemen Pulmonolgi dan Kedokteran Respirasi FK USU/

SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan dan sekaligus sebagai pembimbing utama dalam penelitian saya ini yang telah banyak memberikan bantuan, dorongan, bimbingan, pengarahan dan masukan dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan tulisan ini.

dr.Amiruddin, Sp.Psebagai Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) cabang Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan, dorongan, bimbingan, pengarahan dan masukan penyusunan tulisan ini.

(11)

dr. Muhammad Rusda, M.Ked(OG), Sp.OG(K) sebagai Ketua TKP PPDS FK USU dan Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), Sp.M sebagai Ketua program studi magister kedokteran klinik FK USU yang senantiasa tiada jemunya membantu, mendorong dan memotivasi serta membimbing dan menanamkan disiplin, ketelitian, berpikir dan berwawasan ilmiah serta selalu mendorong penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.

Dr.dr.Amira P.Tarigan, M.Ked(Paru),Sp.P(K) sebagai Ketua Program Studi Departemen Pulmonolgi dan Kedokteran Respirasi FK USU/SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang telah banyak memberikan bimbingan, bantuan, dorongan dan nasehat selama penulis menjalani masa pendidikan.

dr. Parluhutan Siagian, M.Ked(Paru), Sp.P(K), FISR sebagai pembimbingakademikdanpembimbingtesissayaini yang telah banyak memberikan penulis bantuan, masukan, arahan danterutamamotivasikepada penulis.

dr. PutriChairaniEyanoer, MS.Epid, PhD sebagai pembimbing statistik yang telah begitu banyak membantu dan membuka wawasan penulis dalam bidang statistik dan dengan penuh kesabaran memberi bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

dr. Santi Syafril, SpPD-KEMD sebagai pembimbing Divisi Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/SMF Paru RSUP H Adam Malik Medanyang telah begitu banyak membantu dan membuka wawasan penulis dalam bidang endokrin terkhusus penyakit diabetes melitus dan dengan penuh kesabaran memberi bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

Penghargaan dan rasa terima kasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada yang terhormat Prof. dr. H. Luhur Soeroso, Sp.P(K), Prof. dr. H.

TamsilSyafiuddin, Sp.P(K), dr. H. Hilaluddin Sembiring, DTM&H, Sp.P(K),dr.

Widirahardjo, Sp.P(K), Dr.dr. Fajrinur Syarani, MKed(Paru), Sp.P(K),dr.P.S.

Pandia, M.Ked(Paru),Sp.P(K),dr. Noni N. Soeroso, M.Ked(Paru), Sp.P(K), dr.Setia Putra Tarigan, Sp.P(K), dr. Syamsul Bihar, M.Ked(Paru), SpP, dr. Ade Rahmaini, M.Ked(Paru) Sp.P,dr. Netty Y. Damanik, Sp.P, dr. Ucok Martin, Sp.P, dr. Nuryunita Nainggolan, SpP(K),yang telah banyak memberikan bantuan, bimbingan, masukan dan pengarahan selama menjalani pendidikan.

(12)

Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran USU Medandan Direktur RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis dalam melaksanakan dan menyelesaikan penelitian ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, pegawai tata usaha, perawat/petugas poliklinik, ruang rawat inap, instalasi perawatan intensif, instalasi gawat darurat RSUP H Adam Malik atas bantuan dan kerja sama yang baik selama menjalani masa pendidikan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat, pegawai tata usaha, perawat/petugas poliklinik, instalasi patologi klinik, di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru Medan dan Klinik Dokter Spesialis Paru di Medan, beserta petugas laboratorium terpadu Universitas Sumatera Utara di Medan atas bantuan dan kerja sama yang baik selama menjalani masa penelitian.

Dengan rasa hormat dan terima kasih yang tiada terbalas penulis sampaikan kepada Ayahanda Alm. H. Maksum dan Ibunda Alm Hj. Wakiah yang telah membesarkan, mendidik dan doa, serta istriku dr. Yati Mulyati, kedua anakku ananda Alif Mujahid Ahsan dan Ayuni Syakira Khairunisa, beserta keluarga besar saya yang memberi dorongan semangat serta doa yang tak henti sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Tiada kata yang dapat diucapkan selain ungkapan rasa terima kasih dan penghargaan atas segala yang telah Ayahanda dan Ibunda, istriku, anakku beserta keluarga besarku.

Akhirnya pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan, kekhilafan dan kesalahan yang pernah diperbuat selama ini. Semoga ilmu, keterampilan dan pembinaan kepribadian yang penulis dapatkan selama ini dapat bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.

Medan, Juni 2017 Penulis,

(dr. Ben Ben Irwandi)

(13)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS

1. Nama : dr. Ben Ben Irwandi.

2. NIP : 19830119 201412 1 001.

3. Tempat tanggal lahir : Sukabumi, 19 Januari 1983.

4. Jenis Kelamin : Laki-laki.

5. Agama : Islam.

6. Status perkawinan : Menikah.

7. Alamat : Jln. Kenanga sari No. 12 Kel. Tanjungsari Kec.

Medan Selayang Kota Medan Sumatera Utara.

8. Hp : 085214177946.

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SDN Cihurang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Tahun lulus 1996.

2. SLTPN 01 Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Tahun lulus 2000.

3. SMAK Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat, Tahun lulus 2003.

4. S1-Kedokteran Universitas Malahayati Bandar Lampung, Tahun lulus 2008.

5. Profesi Dokter Universitas Malahayati Bandar Lampung, Tahun lulus 2010.

RIWAYAT PEKERJAAN

1. Dokter PTT Daerah di RSUD Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat Tahun 2010-2014.

2. Dokter CPNSD Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat Bulan Desember Tahun 2014-2015.

3. Dokter Pegawai Negeri Sipil Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat Tahun 2015 sampai sekarang.

(14)

KETERANGAN KELUARGA.

1. Istri : dr. Yati Mulyati.

2. Anak : 1. Alif Mujahid Ahsan.

2.Ayuni Syakirah Khairunnisa.

PERKUMPULAN PROFESI

1. Sekretaris Komite Medik RSUD Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat Tahun 2011-2012.

2. Bendahara Komite Medik RSUD Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat Tahun 2012-2013.

3. Organisasi IDI Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat Tahun 2010 sampai sekarang.

4. Anggota Muda PDPI Cabang Medan.

TULISAN

1. Perbedaan Kadar Vitamin D Dalam Darah Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Tuberkulosis Paru, Penderita Diabetes Melitus Tipe 2, Penderita Tuberkulosis Paru dan Kontrol Sehat di Medan, Sumatera Utara, Indonesia. Dipresentasikan pada oral presentation di “21 st Congress of Asian Pacific Society of Respirology”, Tanggal. 12-15 November 2016, Bangkok, Thailand.

2. Tantangan Penanganan MDR TB dengan Komplikasi Multiple Giant Bullaedan Empyema Necessitans pada Wanita Usia 38 Tahun: Laporan Kasus. Dipresentasikan pada poster presentation di “Konferensi Kerja XV PDPI”, Tanggal. 05-06 Mei 2016, Hotel Hermes Palace Banda Aceh, Indonesia.

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

SURAT PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xv

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah... 6

1.3. Tujuan Penelitian... 6

1.3.1. Tujuan Umum... 6

1.3.2. Tujuan Khusus ... 7

1.4. Manfaat Penelitian... 7

1.4.1. Manfaat Teoritis ... 7

1.4.2. Manfaat Terapan ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Tuberkulosis ... 10

2.1.1. Definisi Tuberkulosis ... 10

2.1.2. Epidemiologi Tuberkulosis ... 10

2.1.3. Morfologi dan Struktur M. tuberculosis ... 11

2.1.4. Patogenitas Penularan M. tuberculosis ... 12

2.1.5. Imunopatogenitas Tuberkulosis ... 16

2.1.6. Klasifikasi Tuberkulosis ... 21

2.1.7. Diagnosis Tuberkulosis ... 24

(16)

2.1.8. Pengobatan Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus ... 26

2.2. Diabetes Melitus ... 27

2.2.1. Definsi Diabetes Melitus ... 27

2.2.2. Epiedmiologi Diabetes Melitus ... 27

2.2.3. Klasifikasi Diabetes Melitus... 28

2.2.4. Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2 ... 29

2.2.5. Diagnosis Diabetes Melitus ... 31

2.2.6. Pilar Penatalaksanaan Diabetes Melitus ... 33

2.2.7. Penyulit Diabetes Melitus ... 35

2.3. Hubungan Diabetes Melitus dengan Tuberkulosis Paru ... 37

2.3.1. Epidemiologi Diabetes Melitus dengan Tuberkulosis Paru ... 37

2.3.2. Mekanisme Imunitas DM Terhadap Kerentanan TB ... 39

2.3.3. Perubahan Pertahanan Paru Terhadap Diabetes Melitus ... 46

2.3.4. Hubungan Diabetes Melitus dengan Infeksi Tuberkulosis ... 47

2.3.5. Jenis Infeksi Tuberkulosis Penderita Diabetes Melitus ... 48

2.3.6. Sputum BTA Penderita Tuberkulosis dengan Diabetes Melitus 48 2.3.7. Pemeriksaan Radiologi Penderita Tuberkulosis dengan Diabetes Melitus ... 49

2.4. Vitamin D ... 50

2.4.1. Struktur Kimia Vitamin D ... 50

2.4.2. Sintesis dan Metabolisme Fungsi Skeletal Vitamin D ... 51

2.4.3. Metabolisme dan Fungsi Non-Skeletal Vitamin D... 53

2.4.4. Mekanisme Genomik dari 1α-25hidroksivitamin D3 ... 55

2.4.5. Referensi Batas Kadar Serum Vitamin D ... 55

2.4.6. Vitamin D Terhadap Respon Imun Bawaan M. tuberculosis ... 57

2.4.7. Vitamin D Terhadap Diabetes Melitus ... 67

2.5. Hubungan Vitamin D, Diabetes Melitus Tipe 2, dan Tuberkulosis Paru 69 2.6. Kerangka Teori ... 73

2.7. Kerangka Konsep ... 74

2.8. Hipotesis ... 75

BAB III METODE PENELITIAN ... 76

3.1. Rancangan Penelitian ... 76

(17)

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 76

3.3. Populasi, Subjek Penelitian dan Besar Subjek Penelitian ... 76

3.3.1. Populasi Penelitian ... 76

3.3.2. Subjek Penelitian ... 77

3.3.3. Besar Subjek Penelitian ... 80

3.4. Kerangka Operasional ... 82

3.5. Definisi Operasional ... 83

3.6. Prosedur Pengumpulan Data ... 87

3.6.1. Prosedur Pemriksaan Kadar Glukosa Darah ... 88

3.6.2. Prosedur Pemeriksaan Sediaan Hapusan Langsung Kuman Bakteri Tahan Asam dari Sputum ... 88

3.6.3. Prosedur Pemeriksaan Kadar Vitamin D ... 89

3.6.4. Prosedur Pemeriksaan Rongent Thoraks ... 90

3.7. Analisa Data ... 90

3.8. Jadwal Penelitian ... 91

3.9. Biaya Penelitian ... 91

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 92

4.1. Hasil Penelitian ... 92

4.1.1. Karakteristik Demografi Subjek Penelitian ... 92

4.1.2. Perbedaan Rerata Kadar Vitamin D Antara Kelompok ... 94

4.2. Pembahasan Hasil Penelitian ... 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 113

5.1. Kesimpulan ... 113

5.2. Saran ... 113

DAFTAR PUSTAKA ... 115

LAMPIRAN 1 ... 120

LAMPIRAN 2 ... 123

LAMPIRAN 3 ... 124

LAMPIRAN 4 ... 128

LAMPIRAN 5 ... 129

(18)

DAFTAR SINGKATAN

DOTS = Directly Observed Treatment Short coures.

DM = Diabetes Melitus.

TB = Tuberkulosis.

HIV = Human Immuno Deficiency Virus.

AIDS = Aquired Immuno Deficiency Syndrom.

MDR TB = Multi Drug Resistant Tuberculosis.

ISTC = International Standar for Tuberculosis Care.

SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga.

BTA = Bakteri Tahan Asam.

HbA1c = Hemoglobin A1c.

MTB = Mycobacterium tuberculosis.

WHO = World Health Organization.

MDGs = Millenium Development Goals.

CDR = Case Detection Rate.

SR = Succes Rate.

MHC = Major Histocompatibility Complex.

IFN-γ = Interferon gamma.

CMI = Cell Mediated Immun.

AMI = Antibody Mediated Immunity.

IL-1 = InterLeukin-1.

TNF = Tumor Necrosis Factor.

PMN = Polymorfonuclear.

MTB/RIF = Mycobacterium tuberculosis/Rifampisin.

OAT = Obat Anti Tuberculosis.

ARV = Antiretrovirus.

LCS = Liquor cerebrospinal,

BACTEC = Becton Dcikinson Diagnostic Instrument System.

(19)

PCR = Polymerase Chain Reaction.

IUATLD =International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease.

LED = Laju endap darah.

FDC = Fixed Dose Combination.

PMO = Pengawas menelan obat.

SGOT = Serum Glutamic-Oxaloacetic Transaminase.

SGPT = Serum Glutamic-Pyruvic Transaminase.

ADA = American Diabetes Association.

IDDM = Insulin Dependent Diabetes Melitus.

NIDDM = Insulin Non-dependent Diabetes Melitus.

TTGO = Tes toleransi glukosa oral.

TGT = Toleransi glukosa terganggu.

GDPT = Glukosa darah puasa terganggu.

ABI = Ankle brachial index.

HDL = High Dencity Lipoprotein.

LDL = Low Dencity Lipoprotein.

OHO = Obat hipoglikemik oral.

TNM = Terapi Nutrisi Medis.

BBI = Berat badan ideal.

IMT = Indeks Massa Tubuh.

PPAR-g = Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma.

DPP-IV inhibitor = Dipeptidyl Peptidase-4 Inhibitor.

GLP-1 = Glucagon-like peptide-1.

DPP-4 = Dipeptidyl peptidase-4.

KAD = Ketoasidosis Diabetik.

SHH = Status Hiperglikemi Hiperosmolar.

UVB = Ultraviolet B.

FGF-23 = Fibroblast Growth Factor-23.

RANKL = Receptor Activator of Nuclear Kappa-B Ligand.

TLR1 / TLR2 = Toll-Like Reseptor 1 dan 2.

(20)

VDR = Vitamin D Reseptor.

IU = International Unit.

DNA = Deoksiribo Nucleat Acid.

PTH = Paratiroid hormon.

RXR = Reseptor asam retinoic X.

VDRE = Vitamin D Respon Elemen.

PAMPs = Pathogen-associated Molecular Patterns.

PRR = Pathogen Recognition Reseptor.

JAK/STAT =Janus-Kinase/Signal Transducer and Activator of Transcription.

PRRS = Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome.

CRAMP = Cathelicidin-related Antimicrobial Peptide.

NOD2 = Nucleotida-binding Oligomerization Domain containing 2.

MDP = Muramyl Dipeptida Product.

DCs = Dendritic Cells.

DBP = Vitamin D-Binding Protein.

RIA = Radioimmunoassay.

ELISA = Enzym-Linked Iimmunosorbent Assay.

LC = Liquid Chromatographi.

LC-MS = Liquid Chromatographi Mass Spectrometry.

VDEQA = Vitamin D External Quality Assurance.

DFI = Diabetes Foundation International.

LTBI = Latent Tuberkuculosis Infection.

GM-CSF = Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor.

M-CSF = Macrophage colony-stimulating factor.

ROS = Reaktif Oxigen Species.

ATS = American Thoracic Society.

RNTCP = Revised National Tuberculosis Control Programme.

FGA = Fingerstick Glucometer Assay.

APC = Antigen Presenting cell.

(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman Tabel. 2. 1. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnostik diabetes dan

prediabetes...30

Tabel.2.2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dL) ... 30

Tabel.2.3. Status vitamin D ... 57

Tabel.3.1. Besar sampel penelitian ... 81

Tabel.3.2. Definisi operasional ... 84

Tabel.3.3. Jadwal penelitian ... 92

Tabel. 4. 1. Karakteristik demografi subjek penelitian ... 94

Tabel. 4. 2. Nilai rata-rata (mean), nilai tengah (median), nilai standar deviasi (SD), nilai minimal dan nilai maksimal sampel berdasarkan gula darah sewaktu serta kadar vitamin D... 95

Tabel. 4. 3. Perbedaan rerata kadar vitamin D antara kelompok ... 96

Tabel. 4. 4. Perbandingan kadar dan status vitamin D hasil penelitian dengan penelitian Chaudhary, S et al (2013) dengan Zhan, Y dan Jiang, L (2015) ... 105

(22)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman Gambar.2.1. Koloni M. tuberculosis pada media Lowenstein-Jensen .. 11 Gambar.2.2. Apusan M. tuberculosis (Acid-fast Stain) ... 11 Gambar.2.3. Droplet nuklei M. tuberculosis ... 12

Gambar.2.4 Tuberkulosis dimulai ketika droplet nuklei mencapai alveoli ... 13

Gambar.2.5. Patogenitas tuberkulosis paru...15 Gambar.2.6. Fagositosis dan pengenalan kuman MTB ... 16 Gambar.2.7. Respon inflamasi sel-sel fagositik atas pengaktifan oleh

kuman TB ... 19 Gambar.2.8. Patogenitas DM Tipe 2 ... 29 Gambar.2.9. The Omnious Octet, delapan organ yang Berperan dalam patogenitas hiperglikemia pada DM Tipe 2 ... 31 Gambar.2.10. Peta kejadian diabetes melitus dan TB Paru di seluruh

dunia saat ini ... 38 Gambar.2.11. Penentuan paparan masyarakat dan kerentanan yang

mempertahankan epidemi tuberkulosis ... 39 Gambar.2.12. Kerentanan TB pada pasien DM ... 40 Gambar.2.13. Struktur kimia ergokalsiferol dan kholekalsiferol ... 51 Gambar.2.14. Sintesa dan metabolisme vitamin D ... 52 Gambar.2.15.Metabolisme 25-hidroksivitamin D untuk 1,25-

dihidroksivitamin D untuk fungsi non-skeletal ... 55 Gambar.2.16. Mekanisme genomik dari 1α-25idroksivitamin D3 ... 55 Gambar.2.17. Vitamin D dan respon imun bawaan M. tuberculosis .... 58 Gambar.2.18. Vitamin D terhadap diabetes melitus ... 68 Gambar.2.19. Kerangka teori ... 74 Gambar.2.20. Kerangka konsep ... 75

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman Lampiran. 1. Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian ... 122 Lampiran. 2. Lembar persetujuan medik (informed consent) ... 125 Lampiran. 3. Status penelitian ... 126 Lampiran. 4. Lembar persetujuan komisi etik ... 130 Lampiran. 5. Daftar data sampel penelitian ... 131

(24)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi permasalahan kesehatan didunia hingga saat ini. Dalam situasi TB di dunia yang memburuk dengan meningkatnya jumlah kasus TB dan pasien TB yang tidak berhasil disembuhkan terutama di 22 negara dengan beban TB paling tinggi di dunia, World Health Organization (WHO) melaporkan dalam Global Tuberkulosis Report 2011 terdapat perbaikan bermakna dalam pengendalian TB dengan menurunnya angka penemuan kasus dan angka kematian akibat TB dalam dua dekade terakhir ini. Insidensi TB secara global dilaporkan menurun dengan laju 2,2% pada tahun 2010-2011. Beban global akibat TB masih tetap besar walaupun dengan kemajuan yang cukup berarti. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)

Kejadian global TBpada tahun 2005 diperkirakan 8,8 juta kasus ( 136 per 100.000 ), dimana 3,9 juta ( 60 per 100.000 ) adalah kasus TB paru yang dikonfirmasi dengan mikroskopik sputum langsung. Asia dan Sub-Sahara Afrika menyumbang 84% dari perkiraan jumlah kasus TB. Diperkirakan bahwa tingkat kejadian global akan meningkat menjadi sekitar 150 per 100.000 pada tahun 2015, menghasilkan lebih dari 10 juta kasus baru. Dan prevalensi morbiditas TB diperkirakan 14,1 juta kasus (217 per 100.000). Beberapa wilayah di dunia mengalami epidemiologi yang tinggi terjadinya resistensi obat tuberkulosis ganda ( MDR TB ). Ada sekitar 420.000 kasus MDR TB setahun, termasuk kasus baru dan prevalensi tertinggi MDR TB di Eropa Timur dan beberapa provinsi Cina.

(World Health Organization, 2007)

Penyakit TB di Indonesia adalah pembunuh nomor satu di antara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh kalangan usia. Keberhasilan strategi dalam mengontrol kasus TB cukup tinggi dan keberadaan TB di berbagai belahan

(25)

dunia menunjukkan kebutuhan untuk mengidentifikasi berbagai faktor yang meningkatkan resiko terjadinya TB, antara lain usia dan imunitas. (Cahyadi A, 2011)

Diabetes melitus (DM) menggambarkan suatu kelainan penyakit metabolik dengan berbagai etiologi yang ditandai oleh hiperglikemia kronis dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar gula dalam darah melebihi batas normal dan merupakan salah satu tanda khas penyakit DM, meskipun juga mungkin didapatkan pada beberapa keadaan yang lain. Hiperglikemia kronis tersebut terjadi sebagai akibat defek pada sekresi insulin, kerja insulin, dan atau keduanya. Dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan prevalensi DM, terutama DM tipe 2. Hal ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup, meningkatnya obesitas, dan berkurangnya aktivitas yang umumnya terjadi pada negara-negara yang mulai mengalami industrialisasi. Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang akan disandang seumur hidup. (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2015)

Vitamin D merupakan kelompok senyawa yang larut dalam lemak dengan kandungan kolesterol dan cincin aromatik dan lebih sering dikenal sebagai prohormon. Sintesis dan metabolisme vitamin D dipengaruhi oleh paparan radiasi sinar matahari ultraviolet-B, dimana vitamin D di kulit dalam bentuk 7- dehidrokolesterol diubah menjadi previtamin D3, yang segera diubah menjadi vitamin D3.Vitamin D2 dan vitamin D3 dari sumber makanan yang dimasukkan ke dalam tubuh dalam bentuk kilomikron dan diangkut oleh sistem limfatik ke sirkulasi vena. (Holick MF, 2007)

Vitamin D dikenal memiliki fungsi skeletal, yaitu berfungsi sebagai pengaturan kalsium, fosfor, dan metabolisme tulang. Selain fungsi skeletal, vitamin D juga memiliki fungsi non-skeletal, yaitu mempunyai efek imunomodulator yang telah terbukti berperan penting dalam mendorong kerja antimikrobakterial dengan menghambat pertumbuhan M. tuberculosis dan mengatur respon host. Vitamin D memodulasi aktivitas monosit dan makrofag dengan mengikat Vitamin D Respons atau VDRs, yang bertanggung jawab untuk

(26)

kedua replikasi intraseluler M. tuberculosis dan berperan sebagai Antigen Presenting cell (APC) yang berfungsi menghancurkan M. tuberculosis. (Zeng J, et al, 2015)

Efek vitamin D pada sistem kekebalan tubuh telah diakui selama lebih dari tiga puluh tahun dan sebagian berasal dari analisis metabolisme vitamin D yang tidak teregulasi terkait dengan penyakit granulomatosa. Secara khusus, vitamin D menginduksi dan mengaktifkan enzim CYP27B1 dalam monosit melalui reseptor patogen. Vitamin D berfungsi sebagai inducer poten antibakteri dari respon imun bawaan. Vitamin D juga berperan dalam melindungi infeksi pada berbagai jaringan dan status vitamin D juga mendorong enzim metabolik sebagai penentu aktivitas lokal kekebalan tubuh. (Lagishetty V, 2011)

Tuberkulosis dan DM tipe 2 merupakan masalah kesehatan utama di dunia, termasuk di Indonesia.Peningkatan prevalensi DM sebagai faktor resiko TB juga disertai dengan peningkatan prevalensi TB. Para ahli mulai memberi perhatian pada epidemi DM dan TB, terutama pada negara-negara berpenghasilan rendah-menengah, seperti Cina dan India yang mengalami peningkatan prevalensi DM tercepat dan memiliki beban TB tertinggi di dunia. (Cahyadi A, 2011)

Tuberkulosis harus dipertimbangkan pada penderita DM, dan DM harus dipertimbangkan juga pada penderita TB. Individu dengan kedua kondisi tersebut membutuhkan manajemen klinis yang harus berhati-hati untuk memastikan bahwa perawatan yang optimal yang disediakan untuk kedua penyakit tersebut. Penderita TB harus diskrining untuk DM dan begitu pula pada penderita DM harus diskrining untuk TB pada awal melakukan manajemen pengobatan. Manajemen pengobatan DM pada penderita TB ataupun sebaliknya harus disediakan sesuai dengan pedoman manajemen yang ada. (Wulandari DR, 2013)

Diabetes melitus merupakan faktor resiko tiga kali lipat yang dapat meningkatkan terjadinya dan keparahan suatu infeski seperti TB. Sebaliknya, TB dapat memperburuk kontrol kadar glukosa darah pada penderita DM. (Wulandari DR, Sugiri YJ, 2013) Hal tersebut disebabkan oleh adanya abnormalitas dalam imunitas yang diperantarai oleh sel-sel dan fungsi fagosit berkaitan dengan hiperglikemia, termasuk berkurangnya vaskularisasi. (Cahyadi A, 2011) Dalam

(27)

kasus ini, TB aktif akan mengembangkan penyakit berikut dengan kegagalan sistem kekebalan tubuh penderita dan pada penderita DM dapat terjadi penurunan fungsi kekebalan tubuh yang rentan terhadap infeksi TB paru. (Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2011)

Penyebab meningkatnya insiden TB paru pada penderita DM kemungkinan dapat berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan penjamu. Mekanisme yang mendasari terjadinya hal tersebut masih belum dapat dipahami hingga saat ini, meskipun telah terdapat sejumlah hipotesis mengenai peran sitokin sebagai suatu molekul yang penting dalam mekanisme pertahanan manusia terhadap TB. Selain itu, ditemukan juga aktivitas bakterisidal leukosit yang berkurang pada penderita DM, terutama pada mereka yang memiliki kontrol kadar gula yang buruk. (Cahyadi A, 2011)

Meningkatnya resiko TB pada penderita DM diperkirakan disebabkan oleh defek pada makrofag alveolar atau limfosit T. Wang et al mengemukakan adanya peningkatan jumlah makrofag alveolar matur (makrofag alveolar hipodens) pada penderita TB paru aktif, tetapi tidak ditemukan perbedaan jumlah limfosit T yang signifikan anatara penderita TB dengan DM dan penderita TB tanpa DM. Proporsi makrofag alveolar matur yang lebih rendah pada penderita TB yang disertai DM, seperti yang ditemukan dalam penelitian ini dianggap bertanggungjawab terhadap lebih hebatnya perluasan TB dan jumlah bakteri dalam sputum pasien TB dengan DM. (Cahyadi A, 2011)

Defisiensi vitamin D dalam darah diperkirakan dapat meningkat kejadiannya pada penderita DM tipe 2 dan TB paru. Penelitian yang memperkirakan prevalensi defisiensi vitamin D dalam darah pada penderita DM tipe 2 dengan TB paru sangat jarang. Diabetes melitus tipe 2 dan TB paru adalah dua penyakit berbeda secara etio-patogenesisnya. Etiologi dari penyakit DM tipe 2 dan TB paru berbeda, dimana prevalensi defisiensi vitamin D akan ada hubungan dengan penyakit DM tipe 2 dan TB paru pada satu penderita(co- existent).10 Diperkirakan 1 miliar orang di seluruh dunia defisiensi atau insufisiensi vitamin D akibat paparan sinar matahari yang kurang atau asupan yang tidak memadai. (Handel AE, 2010)

(28)

Serum 25-hidroksivitamin D3 (25(OH)3D) adalah ukuran valid dari status kadar vitamin D dalam darah pada seseorang. Bentuk aktif vitamin D3 adalah 1,25(OH)2D3 yang berfungsi sebagai imunomodulator dalam homeostatis imun dan telah terbukti untuk menahan pertumbuhan M. tuberculosis. Defisiensi kadar vitamin D serum telah terbukti berkaitan dengan kejadian TB paru dan DM.

Interaksi 1,25(OH)2D3 dengan reseptor pada limfosit T mungkin memainkan peran penting dalam regulasi status kekebalan. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa 1,25(OH)2D3 dapat menjadi agen terapi antituberkulosis.

Peptida antimikroba cathelicidin (LL-37) merupakan peptida antimikroba endogen yang disintesis oleh neutrofil, monosit, sel T dan sel kekebalan lainnya dan telah terbukti berfungsi melawan infeksi M. tuberculosis baik secara in vitro maupun in vivo. Vitamin D dapat membatasi respon kekebalan yang diperoleh terhadap infeksi TB dengan mengatur produksi sitokin. Bukti 1,25(OH)2D3 dapat memodulasi produksi sitokin sebagai respon terhadap antigen M. tuberculosis oleh sebagian besar dengan menekan produksi interferon gamma (IFN-γ). (Zhan Y, 2015)

Diabetes melitus mengubah kekebalan terhadap TB paru, sehingga lebih sering menyebabkan kegagalan dalam pengobatan penderita TB paru dengan DM.

Tuberkulosis paru dan DM diperkirakan berhubungan dengan kekurangan mikronutrien salah satunya seperti defisiensi vitamin D. Defisiensi vitamin D dapat mempengaruhi kekebalan tubuh dan dapat mempengaruhi fungsi sel β- pankreas yang berfungsi sebagai sintesis dan sekresi insulin serta intoleransi glukosa. 13 Mekanisme yang bertindak pada fungsi sintesis dan sekresi insulin oleh 1,25(OH)2D3 yang disebabkan oleh kenaikan yang signifikan dari kalsium (Ca2+) dalam sitosol oleh sel islet. Hal tersebut masuknya kalsium eksternal melalui voltage dependent calcium chanel yang bertanggungjawab atas kenaikan kalsium tersebut dan mobilisasi kalsium intraseluler dari organel serta terlibatnya aktivasi release-potentiating system oleh jalur protein kinase-C dan jalur protein kinase-A. (Mathieu C, 2005)

Dari uraian diatas menjelaskan bahwa ada hubungan antara kadar vitamin D dalam darah yang rendah pada penderita DM dengan kejadian TB paru ataupun

(29)

sebaliknya bahwa ada hubungan antara kadar vitamin D dalam darah yang rendah pada penderita TB paru dengan kejadian DM. Belum ada data tentang status kadar vitamin D yang jelas pada penderita TB paru yang diperberat dengan DM ataupun sebaliknya penderita DM dan penderita TB paru. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik dan status kadar vitamin D (25(OH)3D) dalam darah penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru dan kontrol sehat. Dengan adanya data yang jelas maka data tersebut memberikan gambaran peranan vitamin D dan dapat digunakan untuk mengevaluasi hubungan DM tipe 2 dengan TB paru, DM tipe 2, dan TB paru di kota Medan, khususnya kadar vitamin D dalam darah pada penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, dan penderita TB paru, serta beratnya resiko yang timbul untuk menderita DM tipe 2 dengan TB paru, DM tipe 2, dan TB paru berdasarkan kadar vitamin D dalam darah di Medan, Sumatera Utara, Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Untuk mengetahui perbedaan kadar vitamin D antar keempat kelompok dan kadar vitamin D antar kelompokpada penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehat yang dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D di Medan, Sumatera Utara, Indonesia.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan kadar vitamin D antar keempat kelompok dan kadar vitamin D antar kelompok pada penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehat yang dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D di Medan, Sumatera Utara, Indonesia.

(30)

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui informasi, ilmu, pengetahuan, dan wawasan yang baik tentang kadar vitamin D dalam darahpada penderita DMtipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehat di Medan, Sumatera Utara.

b. Untuk mengetahui informasi tentang pentingnya kadar vitamin D dalam darah dalam penatalaksanaan pada penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehatdi Medan, Sumatera Utara.

c. Untuk mengetahui informasi dan data ilmiah tentang perbedaan kadar vitamin D dalam darah dengan sistem imunitas pada penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehatdi Medan, Sumatera Utara.

d. Untuk mengetahui informasi tentang pentingnya makanan tinggi kandungan vitamin D dan suplemen vitamin D dalam penatalaksanaan pada penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehatdi Medan, Sumatera Utara.

e. Untuk mengetahui pemberian suplemen vitamin D dalam penatalaksanaan pada penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehat di Medan Sumatera Utara.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis

Dengan mengetahui adanya peranan kadar vitamin D pada penderita DMtipe 2 dengan terjadinya TB paru ataupun sebaliknya pada penderita TB paru dengan terjadinya DM tipe 2, maka dapat diketahui faktor predisposisi dari segi imunologi terjadinya TB paru pada penderita DM ataupun terjadinya DM tipe 2 pada penderita TB paru.

(31)

1.4.2. Manfaat Terapan a. Bagi peneliti.

1) Dapat memberikan bahan informasi, ilmu, pengetahuan, dan wawasan yang baik tentang kadar vitamin D dalam darah pada penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehatdi Medan, Sumatera Utara.

2) Dapat memberikan informasi tentang pentingnya kadar vitamin D dalam darah dalam penatalaksanaan pada penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehatdi Medan, Sumatera Utara.

b. Bagi masyarakat dan pasien.

1) Dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat dan pasien dalam memahami masalah kesehatan tentang kadar vitamin D dalam darah pada penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehatdi Medan, Sumatera Utara.

2) Dapat memberikan informasi kepada masyarakat ataupun pasien tentang pentingnya makanan tinggi kandungan vitamin D dan suplemen vitamin D pada penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehatdi Medan, Sumatera Utara.

c. Bagi praktisi spesialis paru.

1) Dapat memberikan informasi dan data ilmiah kadar vitamin D dalam darah pada penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehatdi Medan, Sumatera Utara.

2) Dapat memberikan informasi dan data ilmiah tentang perbedaan kadar vitamin D dalam darah dengan sistem imunitas pada penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehatdi Medan, Sumatera Utara.

3) Dapat memberikan informasi dan data ilmiah tentang hubungan kadar vitamin D dalam darah dengan sistem imunitas pada penderita DM

(32)

tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehatdi Medan, Sumatera Utara.

4) Dapat memberikan informasi tentang pentingnya makanan tinggi kandungan vitamin D dan suplemen vitamin D dalam penatalaksanaan penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehatdi Medan, Sumatera Utara.

d. Bagi instansi rumah sakit pendidikan.

1) Dapat memberikan informasi dan data ilmiah kadar vitamin D dalam darah pada penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehatdi Medan, Sumatera Utara.

2) Dari hasil penelitian ini kiranya dapat dipergunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan informasi tentang pentingnya :

a. Pemberian suplemen vitamin D dalam penatalaksanaan penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehatdi Medan, Sumatera Utara.

b. Pemeriksaan kadar vitamin D dalam darah dalam penatalaksanaan penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehatdi Medan, Sumatera Utara.

e. Bagi instansi pendidikan.

1) Dapat memberikan informasi dan data ilmiah kadar vitamin D dalam darah pada penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, penderita TB paru, dan kontrol sehatdi Medan, Sumatera Utara.

2) Sebagai dasar mulainya penelitian lanjutan tentang kadar vitamin D dalam darah pada penderita DM tipe 2 dengan TB paru, penderita DM tipe 2, dan penderita TB paru di Indonesia pada umumnya dan Sumatera Utara pada khususnya.

(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis 2.1.1. Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex, yang merupakan penyebab terjadinya tuberkulosis pada manusia sebagai tempat satu-satunya untuk bakteri tersebut, (Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2011) yang dapat menyerang paru dan organ tubuh lainnya.(World Health Organization, 2012)

2.1.2. Epidemiologi Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting didunia ini. Pada tahun 1992 WHO telah mencanangkan TB sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru TB pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA positif. Setiap detik ada satu orang terinfeksi TB di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33%

dari seluruh kasus TB didunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir dua kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk. Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat TB pada tahun 2002. Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul. (World Health Organization, 2007)

(34)

2.1.3. Morfologi dan Struktur M. tuberculosis

M. tuberculosis adalah bakteri non-motil berbentuk batang yang cukup besar berukuran panjang 2-4 μm dan lebar 0,2-0,5 μm sehingga dengan mudah masuk ke saluran pernafasan bawah. 16, 17M. tuberculosis merupakan ordo Actinomycetalis, familia Mycobacteriaceae, dan genus Mycobacterium.

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006)

M. tuberculosis termasuk kedalam organisme jenis aerob obligat yaitu organisme yang membutuhkan oksigen untuk melakukan respirasi sel aerobik.

Oleh karena itu M. tuberculosis complex selalu ditemukan di lobus atas paru yang baik siklus aerasi. Selain itu, M. tuberculosis complex secara karakteristik fisiologis yang dapat berkontribusi untuk virulensinya adalah parasit intraseluler fakultatif, biasanya makrofag, dan memiliki waktu pertumbuhannya yang lambat 15-20 jam. (Todar K, 2012)

Gambar. 2. 1. Koloni M. tuberculosis pada media Lowenstein-Jensen. (Todar K, 2012)

Gambar. 2. 2. Apusan M. tuberculosis (Acid-fast Stain). (Todar K, 2012)

(35)

2.1.4. Patogenitas Penularan M. tuberculosis

Mekanisme tahapan-tahapan yang menjelaskan M. tuberculosis sensitif terhadap host (manusia). Telah dinyatakan sebelumnya bahwa hanya sebagian kecil dari infeksi M. tuberculosis berkembang menjadi penyakit. Dimana perkembangan penyakit tergantung pada strain M. tuberculosis, paparan sebelumnya, vaksinasi, infeksi, dan status kekebalan tubuh dari manusia itu sendiri. Mekanisme tahapan-tahapan tersebut adalah: (Todar K, 2012)

a. Tahap pertama.

Diawali dengan proses droplet nuklei yang terhirup dan dikeluarkan dengan cara batuk, bersin, berbicara, atau percikan ludah orang terinfeksi TB paru.

Satu droplet nuklei mengandung tidak lebih dari tiga basil. Droplet nuklei begitu kecil dan dapat tetap di udara dalam waktu yang lama atau beberapa jam. Droplet nuklei yang paling infektif adalah droplet nuklei yang memiliki diameter 5 μm (ukuran < 5 – 10 μm). Batuk menghasilkan sekitar 3000 droplet nuklei, berbicara selama 5 menit menghasilkan 3000 droplet nuklei, dan bersin menghasilkan inti yang paling droplet dan dapat menyebar ke individu hingga 10 kaki. Gambar dibawah ini menerangkan droplet nuklei dari satu orang ke orang lain, setelah droplet nuklei terhirup, bakteri yang nonspesifik diambil oleh makrofag alveolar, namun makrofag tidak diaktifkan dan tidak dapat menghancurkan organisme intraseluler.

Gambar. 2. 3.Droplet nukleiM. tuberculosis. (Todar K, 2012)

(36)

Gambar. 2. 4. Tuberkulosis dimulai ketika droplet nuklei mencapai alveoli.(Todar K, 2012)

Seseorang yang menghirup udara yang mengandung tetesan droplet nuklei, sebagian besar tetesan droplet nukleiyang lebih besar bersarang di saluran pernafasan atas (hidung dan tenggorokan), dimana infeksi tidak bisa untuk berkembang. Namun inti droplet nuklei kecil dapat mencapai jalan nafas terminal di paru yang terkecil (alveoli) dan membentuk sarang pneumonia, yang dikenal sebagai sarang primer atau afek primer dan lalu dimulainya proses infeksi. Dari sarang primer dapat terjadi peradangan saluran getah bening (limfangitis lokal) yang diikuti pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional membentuk kompleks primer. Kompleks primer ini dapat sembuh tanpa meninggalkan cacat, sembuh dengan meninggalkan fibrotik atau kalsifikasi, ataupun menyebar secara perkontinuitatum, bronkogen, limfogen, maupun hematogen.

b. Tahap kedua.

Pada tahap ini dimulai 7-21 hari setelah infeksi awal, M. tuberculosis mengalikan hampir tidak terbatas dalam makrofag yang tidak aktif sampai terjadi makrofag yang banyak. Makrofag lainnya mulai terekstravasasi dari darah perifer. Makrofag ini juga yang mengfagositisis M. tuberculosis, tetapi makrofag juga mengnonaktifkan sehingga tidak dapat menghancurkan bakteri.

c. Tahap ketiga.

Pada tahap ini sel limfosit T menyusupyang disajikan oleh M. tuberculosis dalam molekul MHC. Hal ini menyebabkan aktivitas sel limfosit T dan membebaskan sitokin termasuk IFN-γ serta pembebasan IFN-γ menyebabkan

(37)

aktivitas makrofag. Makrofag ini akan diaktifkan dan dapat menghancurkan bakteri M. tuberculosis, sehingga individu dengan tes tuberkulin menjadi positif. Reaksi tuberkulin positif tersebut merupakan hasil dari host yang mengembangkan cell mediated immun (CMI), yang berfungsi mengendalikan infeksi M. tuberculosis. Respon antibody mediated immunity(AMI) tidak akan membantu dalam pengendalian infeksi M. tuberculosis, karena M.

tuberculosismemiliki konsentrasi lipid yang tinggi pada dinding sel sehingga yang tahan terhadap respon AMI. Meskipun respon CMI diperlukan untuk mengendalikan infeksi M. tuberculosis, CMI juga bertangung jawab dalam banyak faktor patologis yang terkait dengan TB. Makrofag diaktifkan dan dapat melepaskan enzim litik yang memfasilitasi pengembangan patologis kekebalan tubuh. Makrofag diaktifkan dan sel T juga mensekresikan sitokin yang juga mungkin memainkan peran dalam perkembangan patologi kekebalan tubuh, termasuk interleukin 1 (IL-1), tumor necrosis factor (TNF) dan IFN-γ, sehingga pembentukan tuberkulum dimulai. Pusat tuberkulum yang ditandai dengan “kaseosa nekrosis” dan tidak dapat berkembang baik dalam tuberkel ini karena pH rendah dan lingkungan anoxic. M. tuberculosis dalam tuberkel dapat bertahan dalam waktu yang panjang.

d. Tahap keempat.

Pada tahap ini banyak makrofag diaktifkan dan dapat ditemukan mengelilingi tuberkel, banyak makrofag lain yang hadir tetap tidak aktif. M. tuberculosis menggunakan makrofag ini untuk meniru dan oleh karena itu tumbuhtuberkulum. Tumbuhnya tuberkulum dapat menginvasi bronkus dan infeksi M. tuberculosisdan dapat menyebar ke bagian lain dari paru.

Tuberkulum mungkin menyerang arteri atau jalur suplai darah lainnya secara hematogen. Penyebaran hematogen dari M. tuberculosis dapat mengakibatkan TB paru atau dikenal sebagai tuberkulosis milier. Lesi sekunder yang disebabkan oleh TB milier dapat terjadi di hampir setiap lokasi anatomi, tetapi biasanya melibatkan sistem genitourinaria, tulang, sendi, kelenjar getah bening dan peritonium. Lesi ini terdiri dari dua jenis:

(38)

1) Lesi eksudatif, sebagai hasil dari akumulasi sel PMN di seluruh M.

tuberculosisdan bakteri mereplikasi dengan hampir tidak ada perlawanan, sehingga terjadi pembentukan tuberkel lunak.

2) Lesi produktif atau granulomatosa, terjadi ketika host menjadi hipersensitif terhadap tuberkuloprotein. Hal ini disebut dengan pembentukan tuberkulum keras.

e. Tahap kelima.

Pada tahap ini, pusat-pusat kaseosa dari tuberkel mencair. Cairan ini sangat kondusif untuk pertumbuhan M. tuberculosis dan organisme mulai berkembang biak dengan cepat di ekstrasel serta menyebabkan dinding bronkus terdekat menjadi nekrotik dan pecah. Hal ini menyebabkan pembentukan rongga dan memungkinkan M. tuberculosis banyak ke saluran udara lain dan cepat menyebar ke bagian lain dari paru-paru. Seperti dinyatakan sebelumnya, hanya sedikit persen dari infeksi M. tuberculosis mengakibatkan penyakit dan bahkan persentase yang lebih kecil lagi dari infeksi M. tuberculosis menjadi stadium lanjut. Host akan mulai mengendalikan infeksi di beberapa titik. Ketika lesi primer sembuh maka akan menjadi berserat dan mengalami kalsifikasi dan disebut sebagai “kompleks ghon”. Tergantung dari ukuran dan beratnya kompleks ghon bisa dilihat atau tidak, tetapi biasanya kompleks ghon akan terlihat mudah pada foto rontgen dada. Fokus penyebaran berisi sedikit M tuberculosis, tetapi dalam banyak kasus fokus ini akan mengandung organisme yang banyak atau disebut “simon fokus”. “Simon fokus” dapat terliat pada foto rontgen dada dan sering berhubungan dengan reaktivasi penyakit.

Gambar.2. 5. Patogenesis tuberkulosis paru.(Todar K, 2012)

(39)

2.1.5. Imunopatogenitas Tuberkulosis

Imunitas alamiah maupun imunitas adaptif berperan dalam mekanisme defensi terhadap M. tuberkulosis. Imunitas alamiah yang diawali oleh ikatan antara M. tuberkulosis dengan reseptor fagosit dan masuknya M. tuberkulosis ke dalam makrofag alveolar, sel dendrit, maupun monosit, yang merupakan kunci untuk terbentuknya imunitas adaptif terhadap M. tuberkulosis. Imunitas adaptif berupa imunitas yang diperrantarai oleh sel, yang akan menimbulkan resistensi terhadap M. tuberkulosis dan menyebabkan terbentuknya hipersensitivitas terhadap antigen TB. Imunitas alamiah dan imunitas adaptif tersebut akan menentukan hasil akhir dari paparan terhadap M. tuberkulosis. (Cahyadi A, 2011)

Terdapat tiga kemungkinan hasil akhir paparan M. tuberkulosis. Pada beberapa orang, kuman TB ini langsung segera dieliminasi oleh penjamu setelah inhalasi. Frekuensi dan penyebab dari penyembuhan spontan tidak diketahui dengan pasti. Kemungkinan kedua dan kelompok terbesar ialah bertahannya infeksi melalui keberhasilan pembentukan granuloma, sebuah fungsi respon imun alamiah dan adaptif yang kuat oleh penjamu dan menghasilkan infeksi laten. Pada kelompok ini, reaktivasi dari infeksi laten dapat terjadi akibat beberapa faktor, seperti penuaan atau status imunokompromais dari penjamu. Pada sejumlah kecil penjamu yang terinfeksi, imunitas adaptif gagal dan terbentuklah infeksi primer.

(Cahyadi A, 2011)

Gambar. 2. 6. Fagositosis dan pengenalan kuman M. tuberkulosis. (Cahyadi A, 2011)

(40)

Rangkaian interaksi anatara makrofag dengan kuman TB dan peran makrofag sebagai respon penjamu diawali dengan ikatan M. tuberkulosis pada permukaan makrofag, kemudian dilanjutkan dengan fusi fagosom-lisosom, hambatan pertumbuhan kuman TB, perekrutan sel imun tambahan untuk respon inflamasi lokal dan presentasi antigen kepada sel T untuk perkembangan imunitas adaptif. (Cahyadi A, 2011)

M. tuberkulosis dapat meninvasi makrofag penjamu setelah opsonifikasi dengan faktor komplemen C3, yang diikuti dengan pengikatan dan uptake melalui reseptor komplemen 1 (CR1), CR3 dan CR4. 18, 19 Pentingnya reseptor diantara berbagai reseptor untuk faktor komplemen C3 telah terbukti melalui penelitian in vitro yang mana tidak adanya CR3, fagositosis M. tuberkulosis oleh makrofag dan monosit berkurang 70-80%. 18M. tuberkulosis juga menggunakan sebagian dari jalur klasik aktivasi komplemen dengan cara berikatan langsung dengan C2a, meskipun tidak ada C4b, dengan cara ini telah terbentuk ikatan C3b dengan CR1.

Mekanisme ini memfasilitasi uptake M. tuberkulosis pada lingkungan yang kurang opsonin, seperti di paru. M. tuberkulosis yang nonopsonifikasi dapat berikatan secara langsung dengan CR3 dan CR4. Reseptor yang sudah sangat dikenal untuk fagositosis M. tuberkulosis tanpa opsonifikasi adalah reseptor manosa makrofag (MR), yang dapat mengenali ujung residu manosa pada bakteri.

Apabila uptake oleh CR dan MR dihambat makrofag masih bisa menginternalisasi M. tuberkulosis melalui reseptor scavenger. (Chaudhary S, 2013)

Semakin kuat ikatan antara M. tuberkulosis dengan sel-sel epitel dan makrofag dapat mencerminkan faktor resiko untuk terjadinya TB klinis. Colectin, merupakan penamaan untuk sekelompok protein yang meliputi surfaktan, seperti manossa –binding lektin (MBL) dan C1q yang merupakan protein-protein yang penting dalam masalah ini. Protein surfaktan-A (Sp-A) membantu uptake M.

tuberkulosis melalui pengikatan baik dengan makrofag, pneumosite tipe II atau neutrofil. Hal yang menarik adalah bahwa pada pasien HIV terjadi peningkatan kadar Sp-A pada paru dan hal ini menyebabkan peningkatan sampai 3 kali lipat ikatan M. tuberkulosis dengan makrofag. Berbeda dengan protein surfaktan yang lain yaitu surfaktan–D (Sp-D) yang diketahui dapat menghambat uptake strain

(41)

patogen M. tuberkulosis dengan makrofag. Dengan kejadian tersebut diduga bahwa konsentrasi relatif protein surfaktan berkorelasi dengan resiko infeksi.

(Alamelu, R, 2004)

Manossa –binding lektin merupakan jenis lain dari protein collectin juga dapat berperan dalam upatke M. tuberkulosis oleh sel fagositik. Manossa –binding lektin mengenali konfigurasi karbohidrat bermacam-macam patogen dan menginduksi fagositosis secara langsung melalui sistem komplemen. Peningkatan kadar Manossa –binding lektin telah dibuktikan oleh suatu studi dan merupakan suatu hal yang tidak menguntungkan dalam infeksi M. tuberkulosis. (Wolf J, 2006)

M. tuberkulosis memiliki kemampuan menarik sel-sel fagositik, namun ia juga dapat berikatan dengan sel-sel fagositik non-profesional, yaitu sel epitel alveolar. Ikatan ini melibatkan firbonektin, yaitu suatu glikoprotein yang ditemukan didalam plasma dan pada permukaan berbagai jenis sel. Mirip dengan M. leprae, M. tuberkulosis dapat berikatan dengan sel berhubungan dengan IL-1R- associated kinase (IRAK), suatu kinase serin yang mengaktivasi faktor transkripsi yang menyerupai NF-b untuk memberikan sinyal terhadap produksi sitokin. (Wolf J, 2006)

Sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sepuluh tol-like reseptor (TLR) juga diperkirakan memiliki peranan dalam pembentukan imunitas adaptif terhadap M. tuberkulosis dan TLR yang telah diidentifikasi diantaraya: TLR2, TLR4, dan TLR9 tampaknya berperan untuk respon seluler terhadap peptidoglikan dan lipopeptida bakteri, endotoksin dari bakteri gram negatif dan DNA bakteri. 36 TLR juga berperan dalam pengenalan seluler M. tuberkulosis.

Melalui TLR, M. tuberkulosis atau lipoprotein yang terikat dinding sel M.

tuberkulosis merangsang pembentukan IL-12 yang merupakan suatu sitokin proinflamasi kuat. Mutasi TLR2 dapat menghambat secara spesifik produksi TNF yang menginduksi M. tuberkulosis. Hambatan ini tidak lengkap karena itu diduga terdapat keterlibatan TLR lain. (Wolf J, 2006)

Sitokin proinflamantori merupakan pengenalan oleh sel fagositik yang menyebabkan aktivasi sel dan produksi sitokin, yang mana dengan sendirinya

(42)

menginduksi aktivasi dan produksi sitokin lebih lanjut dengan proses yang rumit terhadap regulasi dan regulasi silangnya. Jaringan sitokin-sitokin ini memiliki peranan yang penting dalam respon infalmasi dan hasil infeksi M. tuberkulosis.M.

tuberkulosis menginduksi produksi TNF yang merupakan prototipe sitokin proinflamasidanstimulasi monosit, makrofag dan sel dendritik. TNF-α memerankan peranan penting pada pembentukan granuloma, menginduksi aktivasi makrofag dan memiliki sifat pengaturan imunitas. Pada penderita TB, produksi TNF terjadi ditempat pusat sakit. Peredaran sistemik dari TNF dapat menyebabkan efek inflamasi yang tidak diinginkan seperti demam dan penurunan berat badan. Pada penyakit TB yang terjadi pada manusia, mutasi gen TNF dapat ditemukan dan namun demikian polimorfisme pada gen penyandi TNF tidak berkorelasi positif dengan kerentanan terhadap penyakit TB. Iinterleukin-1 merupakan sitokin proinflamasi kedua yang terlibat dalam respon host terhadap M. tuberkulosis. Sebagaimana TNF, IL-1 utamanya diproduksi oleh monosit, makrofag dan sel-sel dendritik. Pada paasien dengan TB, IL-1 diproduksi dalam jumlah yang berlebihan pada temapat sakit. (Cravel RA, 2002)

Gambar. 2. 7. Respon inflamasi sel-sel fagositik atas pengaktifan oleh kuman TB. (Cravel RA, 2002)

Pengenalan imun oleh makrofag dan sel-sel dendritik diikuti oleh respon inflamasi yang berperan penting dalam pembentukan sitokin. Pada TB, IL-12 dapat dideteksi di infiltrat paru, pleuritis TB, granuloma dan limfadenitis. Selain IL-12, ada dua sitokin lain yan penting pada jalur pembentukan INF yaitu IL-18

(43)

dan IL-15. Interleukin-18 merupakan suatu sitokin proinflamasi yang baru dan memiliki sifat yang mirip dengan IL-1, yang pertama kali ditemukan sebagai faktor penginduksi IFN dalam hal ini sudah lama diketahui terutama imunitas antigen spesifik sel T. Interferon dapat digunakan sebagai marker alternatif untuk infeksi M. tuberkulosis. Dasarnya adalah pada individu TB (tuberkulin tes negatif) tidak memperlihatkan produksi IFN-γ secara in vitro yang distimulasi oleh purified protein derivative (PPD). Meskipun demikian pada penderita tuberkulosis baik PPD positif maupun negatif monosit pasien yang terinfeksi M. tuberkulosis akan menstimulasi limfosit untuk menghasilkan IFN-γ. (Cravel RA, 2002)

Reseptor sitokin terlarut (misalnya reseptor I dan II TNF) mencegah ikatan antara sitokin dengan reseptor seluler, sehingga menghambat proses transduksi sinyal lebih lanjut. Interleukin-1 dilawan oleh antagonis spesiifik yaitu IL-1Ra.

Selanjutnya terdapat 3 jenis sitokin antiinflamasi yang menghambat produksi atau efek dari sitokin proinflamasi yaitu IL-1, IL-10 dan transforming growth factor (TGF) . 18 Interleukin-10, sitokin ini diproduksi oleh makrofag setelah fagositosis oleh M. tuberkulosis dan setelah ikatan dengan LAM. Limfosit T termasuk limfosit T reaktif M. tuberkulosis dapat memproduksi IL-10. Interleukin-10 menghambat kerja sitokin proinflamasi dengan cara menekan produksi IFN-γ dan TNF-α. TGF merupakan sitokin yang melawan sifat imunitas protektif terhadap M. tuberkulosis. M. tuberkulosis menginduksi produksi Transforming growth factor (TGF) oleh sel-sel dendritik dan monosit. Hal yang menarik adalah antigen lipoarabinomannan (LAM) yang berasal dari M. tuberkulosis virulen secara selektif menginduksi produksi TGF. Transforming growth factor menghambat imunitas yang diperantarai sel. Pada sel T sitokin ini menghambat produksi IFN-γ.

Makrofag melawan presentasi antigen, pembentukan sitokin proinflamasi dan deposisi kolagenase makrofag dnan matrik kolagen. (Wolf J, 2006)

Kemokin atau disebut kemotaktik sitokin secara luas bertanggungjawab dalam pengumpulan sel-sel inflamasi pada tempat sakit. Sekitar 40 kemokin dan 16 reseptor kemokin telah berhasil diidentifikasi sampai saat sekarang ini.

Sejumlah kemokin telah diteliti dalam infeksi TB diantaranya adalah peranan IL- 8. Interleukin-8 diketahui berperan dalam penarikan neutrofil, limfosit T dan

(44)

kemungkinan juga monosit. Pada saat fagositosis M. tuberkulosis, atau stimulasi oleh LAM, makrofag menghasilkan IL-8. Kemokin terpenting kedua adalah monosit chemoattractant protein-1 (MCP1) yang diproduksi dan bekerja pada monosit dan makrofag. Kemokin yang ketiga adalah regulated on activation normal T cell expressed and secreted (RANTES) yang mana diproduksi oleh beragam sel dan dapat berikatan dengan beragam reseptor. (Cravel RA, 2002)

2.1.6. Klasifikasi Tuberkulosis

Klasifikasi TB dengan konfirmasi bakteriologis atau klinis dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok berdasarkan sebagai berikut : (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)

A. Lokasi Anatomi Penyakit.

1) TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru dan ekstraparu harus diklsifikasikan sebagai kasus TB paru.

2) TB ekstraparu adalah kasus TB yang melibatkan organ diluar parenkim paru, seperti: pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitourinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus TB ekstraparu dapat ditegakkan secara klinis atau histogis setelah diupayakan semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.

B. Riwayat Pengobatan Sebelumnya.

Klasifikasi tersebut adalah:

1) Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan.

2) Kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang pernah mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih. Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai berikut :

(45)

a. Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan saat ini ditegakkan diaagnosis TB episode rekuren.

b. Kasus pengobatan setelah gagal adalaah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.

c. Kasus setelah putus obat adalah pasien yang pernah menelan OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan berturut-turut atau dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir pengobatan (loss to follow up).

d. Kasus dengan riwayat pengobatan lainnya adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak didokumentasikan.

e. Pasien pindah adalah pasien yang dipindah dari register TB (TB 03) lain untuk melanjutkan pengobatan.

f. Pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.

C. Hasil bakteriologi dan uji resistensi OAT (obat anti tuberkulosis).

Pemeriksaan spesimen klinis yang penting seperti sputum, urin, atau cairan serebrospinal. Spesimen harus diperiksa dan dibiakkan di laboratorium yang khusus unruk pemeriksaan M. tuberculosis. Pemeriksaan bakteriologis tersebut memiliki lima komponen, yaitu:

1) Mengumpulkan spesimen, pengolahan spesimen, dan review. Untuk tujuan diagnostik, semua orang yang diduga penyakit TB bahkan mereka tanpa gejala pernafasan harus memiliki spesimen sputum yang dikumpulkan untuk pemeriksaan acid fast bacilli. Paling sedikit spesimen sputum tiga kali berturut-turut, masing-masing spesimen dikumpulkan dalam waktu interval 8-24 jam dengan setidaknya satu spesimen berasal dari spesimen pagi. Spesimen harus diperoleh di dalam ruangan terisoasi dari infeksi dan berventilasi baik misalnya di luar ruangan.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Karena peserta abal-abal itu tidak memenuhi syarat sebagai peserta, Dewan Pers memutuskan, bagi mereka yang memperoleh sertifikat dan identitas uji kompetensi wartawan,

dalam konteks pemikiran bahwa, Muhammad adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa

Berdasarkan tahapan dan jadwal lelang yang telah ditetapkan serta memperhatikan hasil evaluasi kualifikasi terhadap peserta yang lulus evaluasi dokumen penawaran, dengan

Agus Suprijono, Cooperatif Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal.. Dilaksanakan secara kelompok yang beranggotakan dua orang

Uraikan secara kuantitatif per tahun dan kumulatif semua fasilitasi yang telah dilaksanakan oleh sentra KI, seperti sosialisasi KI dan/atau tata cara pengusulan KI, pelatihan

Perlakuan perendaman pada suhu 45 °C selama 10 menit adalah perlakuan pemanasan yang tepat karena dengan waktu perlakuan yang singkat dapat mengurangi 9 jenis

a) Menggalang efektifitas karakter mulia. b) Mengembangkan dan memberdayakan lembaga pendidikan dalam upaya mengembangkan konflik dalam masyarakat yang dilandasi