• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desain Didaktis Untuk Mengatasi Learning Obstacle Topik Persamaan Linear Satu Variabel.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Desain Didaktis Untuk Mengatasi Learning Obstacle Topik Persamaan Linear Satu Variabel."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Septiani Yugni Maudy, 2015

Septiani Yugni Maudy. (1100577). Desain Didaktis Untuk Mengatasi

Learning Obstacle Topik Persamaan Linear Satu Variabel.

Transisi dari aritmatika ke aljabar menyediakan beberapa kesenjangan kognitif

yang akan dirasakan oleh siswa. Penelitian ini bertujuan untuk merancang desain

didaktis yang menjembatani pemahaman siswa kelas 7 SMP dari konsep variabel

hingga ke beberapa bentuk persamaan linear. Dengan menerapkan Didactical

Design Research, peneliti melakukan repersonalisasi dan rekontekstualisasi

persamaan linear satu variabel untuk menelusuri learning trajectories dan

learning obstacles yang terkandung di dalamnya. Desain didaktis untuk

merepresentasikan konteks permasalahan yang disajikan dianalisis dalam

beberapa tahap: 1) gagasan mode representasi Bruner digunakan untuk melibatkan

siswa memaknai konsep variabel; 2) eksplorasi prediksi respon siswa terkait

permasalahan persamaan linear satu variabel berbentuk x ± b = c and ax ± b = c;

dan 3) collaborative learning untuk mengarahkan siswa dalam memaknai

hubungan antara pendekatan aritmetika dengan aljabar. Dengan menyajikan

konteks volume larutan dalam tabung reaksi, siswa menghubungkan secara intuitif

the unknown dengan membuat iconic drawing (tabung reaksi, kotak, titik-titik) ke

bentuk simbolik (x). Dengan meyajikan permasalahan kontekstual terkait

persamaan linear, siswa memperluas gagasan aritmatikanya tetapi pada saat yang

bersamaan siswa mengalami kesulitan dalam menghubungkannya ke dalam

persamaan aljabar. Dalam hal ini collaborative learning membantu siswa dalam

menerjemahkan permasalahan ke dalam persamaan aljabar. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa learning obstacle dapat diantisipasi walaupun belum

sepenuhnya.

Kata kunci: persamaan linear satu variabel, transisi aritmatika-aljabar,

(2)

Septiani Yugni Maudy, 2015

Septiani Yugni Maudy. (1100577). Didactic Design to Overcome Learning

Obstacle on The Topic of Linear Equations in One Variable.

Transition from arithmetic to algebraic thinking inevitably leaves cognitive

discrepancies for students. In this study, we aim at designing didactical bridge

between the notion of variable and linier equation for seven graders. By drawing

on Didactical Design Research stance, we map out the topic of linier equations in

one variable by employing repersonalization and recontextualization in order to

explore both learning trajectories and obstacles inherent within such a concept. By

doing so, didactical design representing contextual problems of linier equation

was sequentially developed: 1) applying Bruner’s idea of modes of representation

to manipulate engaging tasks for students to grasp the idea of variable; 2)

exploring predicted students’ responses towards problems presented in the forms of x ± b = c and ax ± b = c; and 3) harnessing collaborative learning to foster

students’ understanding of the relationship between arithmetic and algebraic

thinking. From design implementation, we found that by representing the volumes

of solution in the test tube, students intuitively connected the unknown variable by

turning iconic drawing (test tubes, boxes, points) into symbolic form (x).

Although students were able to expand their arithmetic ideas in dealing with

problems related to linier equation, in fact they had difficulties to make sense of

algebraic equation. Thus, orchestrating various students responses were helpful

for them to translate word problem into algebraic equation. Our experience has

shown that the learning obstacles can be anticipated although not yet fully.

Keywords: linier equation, arithmetic-algebraic transition, Didactical Design

(3)
(4)

Septiani Yugni Maudy, 2015

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Belajar matematika harus bermakna. Sebagaimana yang dikatakan oleh

Piaget (dalam Kieran, 1979) setiap pengetahuan baru yang akan dipelajari harus

ditemukan kembali atau paling tidak dikonstruksi kembali oleh siswa, tidak begitu

saja disampaikan kepada mereka. Dengan begitu belajar matematika menjadi

punya arti. Bagaimana siswa dapat mengkonstruksi makna dari suatu konsep

matematika perlu mendapat perhatian lebih. Untuk dapat mengkonstruksi suatu

konsep diperlukan proses berpikir yang mendalam dan penalaran yang tinggi.

Tentunya proses tersebut tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat, sehingga

guru perlu memikirkan ide dan mempersiapkan dengan baik rancangan kegiatan

pembelajaran yang dapat membuat siswa membangun sendiri suatu konsep

matematika yang ia pelajari. Pembelajaran matematika sering kali dianggap

sebagai kegiatan yang dilaksanakan oleh guru saja dan siswa hanya

mendengarkan secara pasif. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Silver (1997)

bahwa pada umumnya dalam pembelajaran matematika, siswa memperhatikan

bagaimanana prosedur yang didemonstrasikan oleh gurunya dalam menyelesaikan

soal-soal matematika di papan tulis dan siswa meniru yang telah dituliskan oleh

gurunya. Dalam hal ini siswa tidak ikut berpikir, barangkali yang hadir di kelas

hanya fisiknya saja, sehingga dapat dikatakan siswa tidak belajar. Padahal belajar

itu membutuhkan proses berpikir. Siswa tidak dilibatkan secara langsung dalam

membangun pengetahuan, sehingga menjadikan kegiatan pembelajaran bergulir

tanpa makna.

Ketidakbermaknaan proses pembelajaran matematika juga dipicu karena

siswa memahami konsep matematika secara parsial. Untuk dapat mengkonstruksi

suatu pengetahuan baru, siswa harus dapat mengaitkan dengan konsep relevan

yang sudah ia ketahui. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Flavell (dalam Kieran,

1979), jika terdapat gap antara konsep baru dan konsep lama, siswa tidak dapat

(5)

yang terstruktur dan terintegrasi antara konsep yang satu dengan konsep yang lain.

Ketika siswa berkata “saya tidak mengerti” artinya pengetahuan baru itu terlalu

kompleks untuknya, diperlukan penyerderhanaan pengetahuan baru tersebut

sehingga dapat mengintegrasi dengan pengetahuan lama. Bagaimanapun ini

menjadi tugas bagi seorang guru agar siswanya dapat memahami konsep secara

utuh.

Salah satu topik matematika yang perlu dipahami secara utuh adalah

persamaan linear satu variabel. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus karena

pada saat anak mempelajari persamaan linear satu variabel terdapat hal yang tak

dapat dipungkiri, yaitu adanya transisi dari aritmatika ke aljabar. Guru yang akan

menyiapkan siswa untuk belajar aljabar membutuhkan ide untuk mempersiapkan

pengenalan aljabar lebih dari mempersiapkan aljabar itu sendiri, yang akan

meningkatkan kesiapan siswa. Siswa akan kesulitan belajar aljabar jika guru tidak

menyadari adanya kesulitan kognitif dalam belajar aljabar, begitu juga bahan ajar

yang mereka gunakan. Guru sering mengabaikan kesulitan belajar aljabar pada

saat dipelajari pertama kalinya, sehingga siswa menengah pertama membawa

kesalahan dalam berpikir dan memahami aljabar sampai ke sekolah menengah

atas. Easley menemukan (dalam Kieran, 1979) banyaknya siswa menengah atas

yang mengalami masalah dalam belajar aljabar, mereka tidak memahami makna

dari persamaan. Terdapat tuntutan kognitif yang baik bagi siswa untuk dapat

memahami persamaan. Wagner (dalam Kieran, 1979), dalam penelitiannya

menemukan meluasnya kesulitan belajar aljabar ke siswa sekolah menengah atas

dalam memahami konsep dari persamaan. Dalam disertasinya dia menyajikan dua

buah persamaan kepada 72 siswa,

7 x w + 22 = 109 dan 7 x n + 22 = 109

dan bertanya solusi manakah yang lebih besar, w atau n. Sebagian siswa

menjawab “solusi persamaan pertama itu lebih besar daripada solusi persamaan

kedua, karena w muncul setelah n dalam alfabet”, sebagian lagi menjawab “tidak

dapat diketahui sampai kedua persamaan diselesaikan”, dan “tentu, solusinya

(6)

kesulitan yang dialami banyak siswa pada gagasan yang sangat mendasar dari

aljabar. Penting untuk dipahami guru mengenai bagaimana siswa belajar dan

memahami aljabar.

Pada hakekatnya seorang guru dituntut untuk selalu mengembangkan diri

dalam pengetahuan matematika dan proses belajar mengajar. Selain itu, guru

harus mempunyai kemampuan untuk mengdiagnosis kesulitan siswa. Ini berarti,

dia harus dapat menganalisis kesulitan yang mungkin dialami siswa dalam

menerima pelajaran yang disampaikan. Salah satu faktor penting lainnya dalam

sebuah pembelajaran adalah bahan ajar untuk siswa. Karena apabila terjadi

kesalahan pada bahan ajar, akan berdampak besar bagi siswa.

Salah satu buku teks yang banyak digunakan oleh sekolah yaitu BSE

(Buku Sekolah Elektronik) yang diterbitkan Depdiknas (Departemen Pendidikan

Nasional). Dalam buku teks BSE yang berjudul Pegangan Belajar Matematika

karya A. Wagiyo, F. Surati dan Irene Supradiarini, persamaan linear satu variabel

disajikan sebagai berikut.

[image:6.595.121.503.390.574.2]

(Sumber: Buku BSE Pegangan Belajar Matematika halaman 80)

Gambar 1.1.1

Menentukan Penyelesaian Persamaan Linear Satu Variabel

Di awal pembelajaran persamaaan linear satu variabel siswa dihadapkan pada

bentuk matematis baru, seperti 3x – 1 =14 yang kemudian dimanipulasi untuk

(7)

topik baru tersebut sebenarnya berhubungan dengan pengetahuan lama siswa

mengenai identitas aritmatik (3.5 - 1 = 14). Pendekatannya terlihat berat menuju

akomodasi dan sering menyebabkan siswa tidak memiliki kemampuan

mengkonstruksi makna. Di lain pihak, pendekatan tranformasi kognisi siswa dapat

dimulai dengan identitas aritmatik, sebuah konsep yang sudah ada dalam

pengetahuannya dan mengkonstruksi dari hal tersebut, hingga bertransformasi

dalam pengetahuan siswa menjadi konsep persamaan. Sehingga pengetahuan baru

tersebut tidak terasa asing bagi siswa.

Dibandingkan dengan mendorong siswa membangun makna dari bentuk

matematis baru, penulis tersebut terlihat mengharapkan siswa dapat membangun

pemahaman melalui latihan soal saja. Teknik repetisi dan latihan mungkin efektif

untuk sebagian siswa, namun untuk yang lainnya hanya manipulasi tanpa makna

dari simbol tanpa makna. Proses mengkonstruksi makna harus dilakukan sebagai

usaha untuk menjembatani gap yang ada antara aritmatika dan aljabar.

Persoalan tidak hanya berhenti sampai siswa memahami jenis persamaan x

± b = c dan ax ± b = c dengan menganggapanya sebagai persamaan aritmatika.

Sebagaimana dalam penelitian Filloy dan Rojano (1989), siswa belum siap

menerima ax ± b = cx dan ax ± b = cx ± d sebagai persamaan aljabar. Karena

siswa harus mengoperasikan ekspresi aljabar. Bahasa aritmatika berfokus pada

jawaban, sedangkan bahasa aljabar berfokus pada hubungan. Kieran (1979)

memandang perkembangan aljabar sebagai suatu siklus dari evolusi

prosedural-struktural. Istilah prosedural merujuk pada operasi aritmatik. Contoh: 2x + 5 = 17,

dengan mencoba mensubstitusi nilai x, diperoleh 3 sebagai solusi persamaan

tersebut. Istilah struktural merujuk kepada himpunan operasi bukan kepada

bilangan, tetapi kepada ekspresi aljabar. Contoh: 6x + 8 = 3x – 2, dengan

mengurangkan kedua ruas oleh 3x diperoleh 3x + 8 = -2. Bagaimana anak bisa

mengambil insiatif untuk mengurangkan kedua ruas dengan 3x adalah hal yang

harus digali. Konsep persamaan membentuk fondasi yang penting pada aljabar,

siswa sering memandang tanda sama dengan sebagai perintah untuk mengambil

tindakan daripada memandangnya sebagai representasi dari sebuah hubungan.

(8)

mereka cenderung melakukan operasi yang mendahului tanda sama dengan. Bagi

siswa tanda sama dengan berarti “jawabannya adalah”. Untuk bergerak menuju

pemahaman yang lebih bersifat aljabar dari suatu persamaan, siswa perlu

memahami bahwa tanda sama dengan merupakan persamaan kuantitatif, dapat

dikatakan bahwa ekspresi di ruas kiri tanda sama dengan merupakan jumlah yang

sama seperti ekspresi di ruas kanan tanda sama dengan. Tanpa pemahaman ini

siswa akan sulit untuk bekerja dengan persamaan, misalnya dalam persamaan

yang terdapat variabel di kedua sisi tanda sama dengan seperti 6x + 8 = 3x – 2.

Disini perlu adanya transisi yang cukup lama hingga akhirnya siswa dapat

memahami persamaan linear satu variabel seutuhnya, mulai dari persamaan x ± b

= c dan ax ± b = c hingga ax ± b = cx dan ax ± b = cx ± d. Hasil penelitian

Hercovics (1994) dalam mencari solusi persamaan linear dengan satu variabel

menunjukkan adanya gap kognitif antara aritmatika dan aljabar, gap kognitif

tersebut ditandai dengan ketidakmampuan siswa untuk mengoperasikan variabel

secara spontan. Diperlukan usaha serius untuk membangun jembatan agar

pemahaman siswa tidak parsial.

Selain pemahaman yang masih parsial mengenai persamaan linear satu

variabel, akibat lain yang dapat ditimbulkan dari proses pembelajaran yang kurang

baik, yaitu tingkat penguasaan siswa terhadap persamaan linear satu variabel yang

faktanya masih rendah. Hal ini menunjukkan adanya learning obstacle (hambatan

belajar) yang dialami siswa. Penulis melakukan studi pendahuluan untuk melihat

learning obstacle, dengan memberikan soal pada siswa yang telah belajar

persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel. Penulis memberikan soal

mengenai pertidaksamaan juga, dikarenakan penulis ingin melihat dampak dari

learning obstacle persamaan linear satu variabel. Penulis memberikan soal cerita

sehingga siswa perlu mengubahnya menjadi persamaan aljabar. Namun seluruh

siswa yang diberikan soal, menjawab dengan aritmatika(mencoba

satu-satu/mencacah). Tidak ada satupun yang menjawab secara aljabar, padahal

mereka sudah belajar mengenai persamaan dan pertidaksamaan linear satu

(9)

Gambar 1.1.2 Jawaban Siswa Pada Saat Studi Pendahuluan

Learning obstacle yang dialami siswa bisa saja terjadi akibat penggunaan

bahan ajar yang tidak cocok dengan karakteristik siswa itu sendiri. Penggunaan

bahan ajar tentu berkaitan dengan perencanaan pembelajaran yang telah dirancang

guru. Suratno dan Suryadi (2013) menyatakan bahwa dalam perencanaan

pembelajaran, kebanyakan guru kurang mempertimbangkan keragaman respon

siswa atas situasi didaktis (pola hubungan siswa-materi melalui bantuan sajian

guru) yang dikembangkan, sehingga rangkaian situasi didaktis berikutnya

kemungkinan besar tidak lagi sesuai dengan keragaman lintasan belajar (learning

trajectory) masing-masing siswa. Dalam hal ini, setiap siswa memiliki pola atau

(10)

Dalam penyusunan suatu rancangan pembelajaran, guru harus dapat

melakukan repersonalisasi dan rekontekstualisasi terlebih dahulu untuk mengkaji

konsep matematika lebih mendalam dilihat dari keterkaitan konsep dan konteks.

Repersonalisasi adalah melakukan matematisasi seperti yang dilakukan

matematikawan, jika konsep itu dihubungkan dengan konsep sebelum dan

sesudahnya. Dengan demikian, sebelum melakukan pembelajaran seorang guru

perlu mengkaji konsep matematika lebih mendalam dilihat dari keterkaitan konsep

dan konteks. Berbagai pengalaman yang diperoleh dari proses tersebut akan

menjadi bahan berharga bagi guru pada saat guru berusaha mengatasi kesulitan

yang dialami siswa dan terkadang kesulitan tersebut sama persis dengan proses

yang pernah dialaminya pada saat melakukan repersonalisasi (Suryadi, 2010).

Suatu rancangan bahan ajar yang disusun guru berdasarkan penelitian

mengenai learning obstacle suatu materi dalam pembelajaran matematika

merupakan suatu disain disaktis. Learning obstacle memiliki kaitan erat dengan

learning trajectory. Learning trajectory merupakan alur belajar anak untuk

mencapai tujuan tertentu atau suatu kemampuan tertentu yang difasilitasi melalui

serangkaian aktivitas belajar yang sesuai dengan kemampuannya.

Desain didaktis yang disusun berdasarkan learning obstacle dan learning

trajectory dapat memunculkan alternatif penyajian materi yang dapat digunakan

guru sesuai dengan kebutuhan siswa dan dirancang dengan penuh

mempertimbangkan proses berpikir siswa dalam memahami konsep matematika.

Melalui suatu desain didaktis yang berorientasi pada penelitian learning obstacle

dan learning trajectory persamaan linear satu variabel, diharapkan siswa mampu

memahami konsep secara terintergrasi (tidak parsial lagi) sehingga tidak lagi

menemui hambatan-hambatan yang berarti pada saat proses pemahaman

konsepnya. Selain itu, guru dapat lebih memahami kebutuhan siswa berdasarkan

tingkat kemampuannya dalam matematika, sehingga dalam proses pembelajaran

(11)

Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini penulis tertarik untuk

melakukan penelitian yang berjudul, “Desain Didaktis Untuk Mengatasi Learning

Obstacle Topik Persamaan Linear Satu Variabel”. B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah pada penelitian ini,

yaitu:

1. Apa saja learning obstacle yang berkaitan dengan topik persamaan linear satu

variabel?

2. Bagaimana bentuk desain didaktis berdasarkan analisis learning obstacle dan

learning trajectory topik persamaan linear satu variabel?

3. Bagaimana hasil implementasi desain didaktis berdasarkan analisis masalah

yang terdapat dalam pembelajaran persamaan linear satu variabel?

4. Bagaimana pengaruh hasil implementasi desain didaktis terhadap learning

obstacle topik persamaan linear satu variabel?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini.yaitu:

1. Mengidentifikasi learning obstacle yang berkaitan dengan topik persamaan

linear satu variabel.

2. Mengetahui bentuk desain didaktis berdasarkan analisis learning obstacle dan

learning trajectory topik persamaan linear satu variabel.

3. Mengetahui hasil implementasi desain didaktis berdasarkan analisis masalah

yang terdapat dalam pembelajaran persamaan linear satu variabel.

4. Mengetahui pengaruh hasil implementasi desain didaktis terhadap learning

obstacle topik persamaan linear satu variabel.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut.

1. Bagi siswa, diharapkan dapat lebih memahami dan menguasai persamaan

(12)

2. Bagi guru, diharapkan dapat menjadi motivasi untuk menciptakan proses

pembelajaran matematika berdasarkan karakteristik dan proses berpikir siswa

melalui desain didaktis.

3. Bagi peneliti, diharapkan dapat mengetahui desain didaktis persamaan linear

satu variabel beserta implementasinya pada pembelajaran matematika di

Sekolah Menengah Pertama.

E. Struktur Organisasi

Skripsi ini terdiri dari beberapa bab dengan struktur organisasi dan

penjelasannya sebagai berikut:

1. BAB I Pendahuluan, berisikan tentang gambaran isi skripsi, yang terdiri dari

latar belakang yang berisikan alasan melakukan penelitian, rumusan masalah

penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta struktur organisasi yang berisi

tentang urutan dan bagian bab dalam skripsi ini.

2. BAB II Landasan Teoritis, berisikan tentang teori yang digunakan dalam

penelitian dan penyusunan skripsi.

3. BAB III Metode Penelitian, berisi penjelasan mengenai metode penelitian

yang digunakan, desain penelitian, instrumen penelitian, subjek penelitian, dan

teknik analisis data yang digunakan.

4. BAB IV Temuan dan Pembahasan, berisikan hasil penelitian yang diperoleh

berdasarkan rumusan masalah, serta pembahasan yang dikaitkan dengan

landasan teoritis.

5. BAB V Simpulan, Implikasi, dan Rekomendasi, berisi kesimpulan dan saran

yang berkenaan dengan hasil penelitian.

6. Daftar Pustaka, memuat semua sumber tertulis yang digunakan dalam

penelitian skripsi.

(13)

Septiani Yugni Maudy, 2015 A. Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif

berupa Penelitian Desain Didaktis (Didactical Design Research) melalui tiga

tahapan analisis, yaitu:

1. Analisis situasi didaktis sebelum pembelajaran yang wujudnya berupa Desain

Didaktis Hipotesis termasuk ADP.

2. Analisis metapedadidaktik, yakni analisis kemampuan guru yang meliputi tiga

komponen yang terintergrasi, yaitu kesatuan, fleksibilitas, dan koherensi.

3. Analisis retrosfektif, yakni analisis yang mengaitkan hasil analisis situasi

didaktis hipotesis dengan hasil analisis metapedadidaktik.

Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian yaitu mengkaji

learning obstacle dan learning trajectory topik persamaan linear satu variabel

serta menyusun desain didaktis berdasarkan learning obstacle dan learning

trajectory sehingga desain didaktis tersebut diharapkan dapat memperbaiki dan

mengembangkan proses pembelajaran ke arah yang lebih baik dan dapat

mengatasi learning obstacle yang dialami oleh siswa.

Adapun tahapan-tahapan yang dilaksanakan pada penelitian ini, yaitu

sebagai berikut.

1. Tahap Perencanaan

a. Memilih sebuah topik matematika yang akan dijadikan sebagai materi

penelitian.

b. Menganalisis fakta lapangan.

c. Menganalisis alur penyampaian topik pada buku teks yang digunakan

dalam pembelajaran di sekolah.

d. Mempelajari dan menganalisis karakteristik dari materi yang telah dipilih

untuk penelitian.

2. Tahap Persiapan

(14)

Septiani Yugni Maudy, 2015

b. Melakukan repersonalisasi dari topik yang telah dipilih.

c. Menganalisis proses pembelajaran matematika mengenai topik persamaan

linear satu variabel.

d. Menganalisis karakteristik siswa yang akan dijadikan subjek penelitian.

e. Menyusun instrumen penelitian uji learning obstacle.

f. Menyusun, membuat, dan mengkonsultasikan desain didaktis awal yang

telah dibuat kepada orang-orang yang ahli dibidangnya. Desain didaktis

awal dibuat dengan mempertimbangkan learning obstacle.

3. Tahap Pelaksanaan

a. Memilih subjek penelitian.

b. Melakukan uji coba learning obastacle.

c. Menganalisis hasil uji coba learning obastacle.

d. Melakukan uji coba desain didaktis awal.

e. Menganalisis dan melakukan evaluasi terhadap kekurangan dari desain

didaktis awal.

f. Melakukan perbaikan dan menyusun desain didaktis baru yang lebih baik

dari sebelumnya.

B. Partisipan dan Tempat Penelitian

Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok. Subjek penelitian

kelompok pertama, yaitu ketika melakukan penelitian untuk mengetahui kesulitan

belajar adalah siswa kelas VII dan VIII di SMP Negeri 2 Lembang, kelas IX di

SMP Negeri 1 Cimahi dan kelas X di SMA Negeri 6 Bandung. Subjek penelitian

kelompok kedua, yaitu ketika melakukan penelitian pada penggunakan desain

didaktis awal topik persamaan linear satu variabel adalah siswa SMP kelas VII di

SMP Negeri 9 Bandung. Peneliti membuat desain didaktis persamaan linear satu

variabel khusus untuk siswa SMP kelas VII. Oleh karena itu, peneliti

mengujicobakan kepada siswa SMP kelas VII semester genap sebagaimana sesuai

(15)

Septiani Yugni Maudy, 2015 C. Instrumen Penelitian

Instrumen utama dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri,

dimana peneliti itu berfungsi dalam menentukan faktor penelitian, memilih

informasi sebagai sumber data, menentukan kualitas data, menganalisis dan

membuat kesimpulan dari data yang diperoleh.

Akan tetapi, dibuat instrumen tambahan yang digunakan untuk

mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Jenis instrumen yang digunakan pada

penelitian ini adalah instrumen tes dan instrumen non tes. Instrumen tes

digunakan untuk menguji learning obstacle dan menguji desain didaktis yang

telah dibuat. Untuk instrumen non tes digunakan wawancara, observasi, dan

dokumentasi.

D. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah

teknik triangulasi, yaitu gabungan dari wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Wawancara adalah suatu cara pengumpulan data yang digunakan untuk

memperoleh informasi langsung dari sumbernya dan lebih mendalam pada

responden yang jumlahnya sedikit. Wawancara dilakukan agar peneliti dapat

mengidentifikasi kesulitan belajar persamaan linear satu variabel.

Observasi adalah suatu teknik evaluasi non tes yang menginventarisasikan

data tentang sikap dan kepribadiaan. Data yang diperoleh dari hasil observasi

bersifat relatif karena dipengaruhi oleh keadaan dan subjektivitas pengamat.

Observasi yang dilakukan penulis adalah observasi non participant, artinya

penulis hanya bertindak sebagai pengamat independent tanpa harus masuk ke

dalam kehidupan sehari-hari subjek yang diteliti.

Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang ditujukan untuk

memeroleh data langsung dari tempat peneliti, meliputi video pembelajaran,

buku-buku yang relevan, peraturan-peraturan, laporan kegiatan, dan data lain yang

(16)

Septiani Yugni Maudy, 2015 E. Analisis Data

Analisis data pada penelitian kualitatif dilakukan sejak awal penelitian dan

selama proses penelitian dilaksanakan. Adapun langkah-langkah yang dilakukan

peneliti dalam tahap analisis data sebagai berikut.

1. Mengumpulkan informasi.

2. Menganalisis secara keseluruhan informasi yang diperoleh.

3. Mengklarifikasikan informasi yang diperoleh.

4. Membuat uraian terperinci mengenai hal-hal muncul pada saat pengujian.

5. Mencari hubungan dan membandingkan antara beberapa kategori.

6. Menemukan dan menetapkan pola atas dasar data aslinya.

7. Melakukan interpretasi.

(17)

Septiani Yugni Maudy, 2015

DESAIN DIDAKTIS UNTUK MENGATASI LEARNING OBSTACLE TOPIK PERSAMAAN LINEAR SATU A. Simpulan

Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, diperoleh

kesimpulan bahwa masalah yang terdapat dalam pembelajaran topik persamaan

linear satu variabel (PLSV) di Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu adanya

transisi dari aritmatika ke aljabar, siswa mengalami kesulitan belajar aljabar untuk

pertama kalinya, dan membawa kesulitan tersebut ke jenjang selanjutnya. Siswa

tidak memiliki makna akan variabel, belum bisa menguasai opersai aljabar, dan

belum bisa menyelesaikan persamaan linear satu variabel. Hal ini terjadi akibat

dari pengalaman belajar yang biasa menghapal atau meniru contoh yang diberikan

guru atau meniru buku teks, bukan dari pembelajaran bermakna sehingga siswa

hanya melakukan imitasi bukan menemukan kembali topik, sehingga tidak

memahami topik secara utuh dan tidak mengetahui makna dan manfaat dari materi

dan pembelajarannya.

Bedasarkan masalah terebut, penulis membuat desain didaktis topik

persamaan linear satu variabel untuk 3 pertemuan yang disusun mulai dari

menemukan makna variabel, menemukan penyelesaian PLSV berbentuk x ± b = c

dan ax ± b = c, sampai menemukan penyelesaian PLSV berbentuk ax ± b = cx dan

ax ± b = cx ± d. Desain ini disusun untuk memfasilitasi proses berpikir siswa,

sehingga siswa dapat menyelesaikan permasalahan dengan caranya sendiri dan

melihat keberagaman jawaban teman-temannya, sampai akhirnya siswa memilih

sendiri cara yang paling efektif. Setelah itu, siswa mengemukakan makna dari

yang telah dipelajari dengan bahasanya sendiri.

Berdasarkan hasil implementasi desain didaktis dan hasil tes akhir siswa,

learning obstacle yang diprediksi dapat diantisipasi walaupun belum sepenuhnya.

Untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam desain didaktis

awal, penulis menyusun sebuah desain didaktis revisi topik persamaan linear satu

(18)

Septiani Yugni Maudy, 2015

DESAIN DIDAKTIS UNTUK MENGATASI LEARNING OBSTACLE TOPIK PERSAMAAN LINEAR SATU VARIABEL

B. Implikasi dan Rekomendasi

Implikasi dan rekomendasi yang ditujukan kepada peneliti lain yang akan

menjadikan penelitian ini sebagai sumber rujukan, yaitu:

1. Lakukan pendekatan terhadap siswa agar mengenal karakteristik siswa lebih

baik lagi, sehingga dapat memprediksi respon siswa yang beragam.

2. Lakukan repersonalisasi dan rekontekstualisasi dengan baik agar dapat tercipta

suatu desain didaktis yang matang.

3. Jangan sampai terjadi lagi guru melakukan labelling atau memvalidasi

penyelesaian permasalahan sebelum siswa yang memikirkannya sendiri, guru

disini sebaiknya hanya memberikan hint sehingga memberikan ruang kepada

siswa untuk berpikir. Setelah siswa memvalidasi, barulah guru yang

menegaskan kembali.

4. Berikanlah ruang agar siswa dapat mengambil makna dari yang telah

dipelajari agar siswa mengetahui manfaat dari belajar itu sendiri.

5. Sebaiknya penelitian dilakukan di sekolah yang memberikan fleksibilitas

waktu agar implementasi desain dapat dijalankan dengan maksimal tanpa

terburu-buru oleh waktu.

6. Peneliti selanjutnya dapat memikirkan ide mengenai matematisasi vertikal

dalam menerjemahkan permasalahan berkonteks menjadi persamaan linear

(19)

Septiani Yugni Maudy, 2015

Brouseau, G. (1997). Theory of Didactical Situation in Mathematics. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Bruner, J.S. (1977). The Processes of Education. Cambridge, MA: Harvard

University Press.

Clements, D.H & Sarama, J. (2009). Learning and Teaching Early Math: The

Learning Trajectories Approach. New York: Routledge.

Filloy, E. & Rojano, T. (1989). Solving Equation: the Transition from Arithmetic to Algebra. For the Learning of Mathematics, 9 (2), hlm. 19-26.

Hercovics, N. (1989). The Description and Analysis of Mathematical Processes. Dalam C.A. Maher, G. A. Godin, & R. B. Davis (Editor), Proceeding of

the Eleventh Annual Meeting North American Chapter of the International Group for the Pscychology of Mathematics Education. New Jersey: Center

for Mathematics, Science, and Computer Education Rutgers.

Hercovics, N. & Linchevski, L. (1994). A Cognitife Gap Between Arithmetic and Agebra. Educational Studies in Mathematics, 27 (1), hlm. 59-78.

Kieran, C. (1979). Constucting Meaning For The Concept of Equation. (Tesis). The Departement of Mathematics, Concordia University, Montreal.

Kieran, C. (1992). The Learning and Teaching of School Algebra. Dalam D. A. Grouws (Editor), Handbook of Research on Mathematics Teaching and

Learning. New York: Macmillan Publishing Company.

Silver, E.A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Problem Posing. Zentralblatt für Didaktik der

Mathematik International Reviews on Mathematical Education, 29 (3),

hlm 75-80.

Suherman. (2010). Belajar dan Pembelajaran Matematika. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.

Suratno, T. (2009). Memahami Kompleksitas Pengajaran-Pembelajaran dan

(20)

Septiani Yugni Maudy, 2015

DESAIN DIDAKTIS UNTUK MENGATASI LEARNING OBSTACLE TOPIK PERSAMAAN

Suratno, T. & Suryadi, D. (2013). Metapedadidaktik dan Didactical Design

Research (DDR) dalam Implementasi Kurikulum Praktik Lesson Study.

Hand-out Seminar. Surabaya: tidak diterbitkan.

Suryadi, D., Yulianti, K., & Junaeti, E. (2011). Model Antisipasi dan Situasi

Didaktis dalam Pembelajaran Matematika Kombinatorik Berbasis Pendekatan Tidak Langsung. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika

FPMIPA UPI.

Suryadi, D. (2010). Menciptakan Proses Belajar Aktif: kajian Dari sudut

Pandang Teori Belajar dan Teori Didaktik. Hand-out Seminar. Bandung:

tidak diterbitkan.

Suryadi, D. (2010). Metapedadidaktik dan Didactical Design Research (DDR):

Sintesis Hasil Pemikiran Berdasarkan Lesson Study, dalam Teori, Paradigma, Prinsip, dan Pendekatan Pembelajaran MIPA dalam Konteks Indonesia. Bandung: FPMIPA UPI.

Usdiyana, D. (2010). Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Berkaitan dengan

Transisi dari Aritmatika ke Aljabar. Bandung: FPMIPA UPI.

Vygotsky, L.S. (1978). Mind in Society. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Gambar

Gambar 1.1.1

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan desain didaktis pada penelitian ini berdasarkan pada hasil analisis learning obstacles dari Tes Kemampuan Responden (TKR) awal pada siswa yang sudah

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui proses triangulasi, Hasil penelitian diperoleh beberapa learning obstacle siswa dan desain didaktis untuk mengatasi learning

untuk mengurangi learning obstacle , mendeskripsikan implementasi desain didaktis, dan menghasilkan desain didaktis pada materi Pesawat Sederhana. Identifikasi learning

DESAIN DIDAKTIS UNTUK MENGATASI LEARNING OBSTACLES MATERI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN PECAHAN PADA SISWA KELAS IV SD.. Universitas Pendidikan Indonesia |

DESAIN DIDAKTIS PADA PEMBELAJARAN KONSEP LARUTAN PENYANGGA BERDASARKAN LEARNING OBSTACLE SISWA SMA. DAN REFLEKSI DIRI GURU MELALUI

4.1 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan persamaan dan pertidaksamaan nilai mutlak dari bentuk linear satu variabel.. Melalui pembelajaran materi persamaan

Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan mengenai hambatan belajar siswa dan desain didaktis untuk mengatasi hambatan belajar siswa dalam materi persamaan kuadrat,

Kalian telah mempelajari konsep kalimat terbuka, kalimat tertutup, dan perbedaannya, mempelajari konsep persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel, menentukan selesaian