2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kemampuan
Hidup
dan
Plastisitas
Fenotip
Serangga
Serangga dengan daur hidup yang kompleks memiliki kemampuan adaptasi yang lebih tinggi terhadap lingkungannya dibandingkan dengan serangga
yang dalam siklus hidupnya tidak kompleks. Ae. aegypti adalah serangga dengan daur hidup yang kompleks sehingga memiliki adaptasi yang tinggi dalam mempertahankan hidupnya. Nyamuk ini dapat hidup dan bertelur dalam habitat
yang kecil, minim sumber nutrisi, suhu yang kurang optimum dan cekaman dari
luar (Hoffmann & Hercus, 2000; Badvaev, 2005).
Kelenturan organisme untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan menunjukkan adanya kelenturan sifat yang dimiliki sebagai hasil interaksi dengan lingkungan, kelenturan ini dikenal dengan istilah plastisitas fenotip. Suatu
hubungan antara dua sifat yang dimiliki satu individu karena sesuatu hal dapat
menyebabkan sifat yang satu mengalami peningkatan sedangkan sifat yang lain
mengalami penurunan, hal ini karena jumlah energi yang digunakan sangat terbatas, peristiwa ini dikenal dengan istilah “trade-off” (Begon et al. 1996).
Peristiwa “trade-off” terjadi akibat peningkatan cekaman karena perubahan
lingkungan misalnya ketersediaan nutrisi, adanya predator, kompetisi dan paparan
insektisida (Agnew et al. 2000; Bedhomme et al. 2003; Schneider et al. 2011). Fenomena trade off yang ditampakkan oleh nyamuk Ae. aegypti untuk mempertahankan hidupnya dibawah cekaman insektisida antara lain adalah
dengan mengalami perubahan ukuran tubuh dan sayap, jumlah betina menjadi
lebih sedikit dalam populasi serta proses pupasi menjadi lebih lambat akibat kekurangan energi (Yan et al. 1998; Koella & Offenberg, 1999).
Plastisitas fenotip suatu organisme tercermin dari kemampuan menanggapi
kondisi lingkungan yang memaksa organisme tersebut untuk mampu mempertahankan keragaman fenotip di lingkungan yang heterogen. Hal ini memungkinkan suatu organisme mampu beradaptasi menghadapi berbagai perubahan lingkungan, termasuk memiliki kemampuan bertahan di bawah
Gunandini (2002) menyatakan bahwa Ae. aegypti yang diseleksi pada
stadium larva dengan malation sampai generasi ke-20 memperlihatkan perubahan pada daur hidupnya sebagai suatu usaha untuk beradaptasi dibawah cekaman
insektisida. Perubahan daur hidup yang terjadi yaitu stadium pradewasa semakin lambat sebaliknya stadium dewasa semakin singkat, sedangkan ratio kelamin jantan menjadi lebih besar dibanding kelamin betina. Kemampuan nyamuk Ae. aegypti untuk beradaptasi terhadap malation ditunjukkan dengan jumlah
kelompok telur, jumlah telur dan daya tetas telur yang tidak berubah.
2.2
Temefos
Temefos merupakan larvasida golongan organofosfat yang sedikit beracun
(toksisitas kelas III) sehingga dapat digunakan secara umum (EPA, 2009). Penggunaannya pada tempat penampungan air minum telah dinyatakan aman oleh
WHO, dapat digunakan di bak mandi serta tempat penampungan air rumah tangga (DepKes RI, 2005) selain itu temefos juga dapat digunakan untuk membasmi kutu pada anjing, kucing dan manusia (EPA, 2009).
Gambar 1. Struktur kimia temefos
Temefos tersedia dalam bentuk emulsi, serbuk (Wettable powder) dan
bentuk granul. Senyawa murni temefos berupa kristal putih padat dengan titik lebur 30-30,50C. Produk komersial temefos berupa cairan kental berwarna coklat,
tidak larut dalam air pada suhu 200C dan heksana, tetapi larut dalam aseton,
asetonitril, ether, kebanyakan aromatik dan klorinasi hidrokarbon. Insektisida ini
mudah terdegradasi bila terkena sinar matahari, sehingga kemampuan membunuh larva tergantung dari degradasi akibat paparan sinar matahari (EPA, 2009).
2.2.1 Cara kerja temefos
Temefos bekerja dengan cara menghambat enzim kolinesterase, sehingga menimbulkan gangguan pada aktivitas syaraf akibat tertimbunnya asetilkolin
pada ujung syaraf. Keracunan fosfat organik pada serangga diikuti oleh gelisah, hipereksitasi, tremor dan konvulsi, kemudian kelumpuhan otot (paralise). Penetrasi temefos ke dalam tubuh larva Ae. aegypti berlangsung cepat karena dapat mengabsorpsi lebih dari 99% temefos dalam waktu 24 jam. Setelah
diabsorpsi, temefos diubah menjadi produk-produk metabolik, sebagian dari produk metabolik tersebut diekskresikan melalui air (Matsumura, 1997).
Menurut Thavara et al. (2005), saat ini konsentrasi efektif temefos yang dianjurkan di Thailand 1 gr/200 liter air untuk wadah yang gelap dan 2-5 gr/200 liter air untuk wadah yang terang, hal ini berkaitan dengan efek temefos yang
rendah bila terdegradasi dengan sinar matahari. Di Indonesia sendiri konsentrasi temefos yang dianjurkan untuk membunuh larva Ae. aegypti dalam air minum adalah 10 gr/100 liter air dalam wadah yang terlindungi oleh sinar matahari (DepKes RI, 2005).
Temefos relatif aman dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia, meskipun demikian konsentrasi tinggi temefos dapat menimbulkan overstimulasi sistem syaraf. Pada pajanan yang sangat tinggi temefos dapat menyebabkan paralise nafas dan kematian (Matsumura, 1978). Reyes-Villanueva
et al. (1990 & 1992) menyatakan bahwa konsentrasi temefos sebesar 0,009 mg/liter; 0,013 mg/liter; 0,015 mg/liter; 0,016 mg/liter; 0,020 mg/liter dan 0,025 mg/liter dapat mengakibatkan penurunan kesuburan (fecundity) dan memperlambat jangka hidup (longevity) Ae. aegypti. Taviv (2005) menyatakan
bahwa temefos masih sangat efektif untuk pengendalian larva Ae. aegypti dengan
KL50 : 0,28 mg/100 liter dan KL90: 0,79 mg/100 liter.
2.3
Pengaruh
Cekaman
Insektisida
Terhadap
Daya
Tahan
Hidup
Serangga
Dalam teori kehidupan, jumlah energi yang tersedia sangat terbatas
sehingga untuk kelangsungan hidup organisme dalam lingkungan yang tidak normal alokasi energi dialihkan. Energi yang seharusnya dimanfaatkan untuk
kehidupan secara normal dialihkan penggunaannya untuk beradaptasi di bawah
cekaman insektisida (Sibly & Calow, 1988 dalam Gunandini, 2002).
Setiap organisme memiliki kemampuan untuk tetap hidup dan mempertahankan kesuksesan keturunannya walaupun hidup pada lingkungan yang tidak optimal di bawah cekaman insektisida (Schneider et al. 2011). Kehidupan bukanlah hal yang kaku sehingga suatu kelenturan (plastisitas) dapat terjadi akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Termasuk di dalam
kerangka plastisitas fenotip adalah kelenturan dalam skala waktu (Begon et al. 1996).
Fenomena yang ditunjukkan oleh nyamuk Ae. aegypti dalam mempertahankan diri dan keturunan akibat cekaman insektisida organofosfat telah dilaporkan oleh Reyes-Villanueva et al. (1990 & 1992) dan Gunandini
(2002). Cekaman insektisida pada nyamuk ini mengakibatkan antara lain penurunan kesuburan (fecundity) dan menyebabkan jangka hidup (longevity) stadium pradewasa semakin panjang serta stadium dewasa semakin pendek.
2.3.1 Jangka Hidup Nyamuk Ae. aegypti
Pengaruh insektisida terhadap jangka hidup pradewasa nyamuk Ae. aegypti yang dipaparkan dengan temefos pada stadium larva instar 3 (L3)
mengakibatkan rata-rata jangka hidup larva menjadi lebih panjang, dari semula 32,1 hari (kontrol) menjadi 36,6 hari (0,016 ppm); 37,0 hari (0,020 ppm) dan 34,3
hari (0,025 ppm) (Reyes-Villanueva et al. (1992). Penelitian Gunandini (2002)
juga membuktikan bahwa masa pertumbuhan larva Ae. aegypti menjadi lebih lambat setelah diseleksi malation. Rata-rata jangka hidup larva 5,46 hari (F0)
menjadi 5,63 hari (F5); 6,06 hari (F10); 6,58 hari (F15) dan 6,64 hari (F20).
Fenomena yang sama juga dilaporkan oleh Sudjatmiko (2002), pemaparan
insektisida BPMC (golongan karbamat) pada larva Anopheles aconitus menunjukkan jangka hidup larva menjadi lebih panjang dari 3,147 hari (KL0)
menjadi 4,113 hari (KL30).
Di bawah cekaman insektisida nyamuk Ae. aegypti melakukan adaptasi
dengan memperpanjang periode pupanya. Reyes-Villanueva et al. (1992)
yang semula 25,9 hari (0 ppm) menjadi 28,7 hari (0,016 ppm); 32,4 hari (0,020
ppm) dan 30,93 hari (0,025 ppm. Larva Ae. aegypti yang telah diseleksi dengan malation juga menunjukkan jangka hidup pupa yang lebih lambat dari normal.
Jangka hidup pupa yang semula 2,10 hari (F0) menjadi 2,26 hari (F5); 2,33 hari
(F10); 2,34 hari (F15) dan 2,39 (F20) (Gunandini, 2002).
Malation mempengaruhi jangka hidup nyamuk Ae. aegypti jantan. Di bawah cekaman insektisida ini nyamuk Ae. aegypti jantan akan memperpendek
jangka hidupnya. Gunandini (2002) melaporkan bahwa jangka hidup nyamuk jantan dari awalnya 18,88 hari (F0) menjadi 17,53 hari (F5); 13,93 hari (F10);
13,67 hari (F15) dan 9,83 hari (F20). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Antonio
et al. (2009), insektisida spinosad 0,06 mg/l yang dicampur dengan dengan
sukrosa 10% diberikan secara ad-libitum selama 1x24 jam mengakibatkan
perubahan jangka hidup jantan yang lebih singkat yaitu semula 40,2 hari menjadi 38,1 hari.
Pengaruh insektisida terhadap jangka hidup nyamuk Ae. aegypti betina juga dilaporkan oleh Gunandini (2002). Seleksi malation menyebabkan jangka
hidup nyamuk Ae. aegypti betina semakin lambat, jangka hidup Ae. aegypti betina berubah dari 34,53 hari (F0) menjadi 30,42 hari (F5); 21,85 hari (F10); 19,20 hari
(F15) dan 14,35 hari (F20).
2.3.2 Berat Badan Nyamuk Ae. aegypti
Ae. aegypti yang terpapar dengan temefos akan memperkecil ukuran tubuhnya sehingga energi untuk kelangsungan hidupnya akan lebih kecil, hal ini
merupakan salah satu bentuk adaptasi yang diakibatkan oleh seleksi insektisida
(Yan et al. 1998). Reyes-Villanueva et al. (1992) melaporkan bahwa pemaparan temefos konsentrasi 0,016 ppm; 0,020 ppm dan 0,025 ppm mampu menurunkan berat badan larva Ae. aegypti sampai 10% dan berat pupa sampai 31-33% bila
dibandingkan dengan kontrol. Rata-rata berat larva Ae. aegypti adalah 2,82 mg
(kontrol) menjadi 2,30 mg (0,016 ppm); 2,52 mg (0,020 ppm) dan 2,55 mg (0,025
ppm), sedangkan berat pupa berubah dari 1,57 mg (kontrol) menjadi 1,53 mg (0,016 ppm); 1,40 mg (0,020 ppm) dan 1,09 mg (0,025 ppm). Kondisi lingkungan yang tidak stabil dapat mengakibatkan ukuran tubuh menjadi lebih kecil pada
organisme sebagai kompensasi dari mempertahankan hidup dan keturunannnya
(Schneider et al. 2011).
Peningkatan berat badan pada serangga ternyata bisa juga terjadi akibat
penggunaan insektisida. Sujatmiko (2002) melaporkan bahwa penggunaan insektisida BPMC konsentrasi 0,071 ppm (KL10); 0,0963 ppm (KL20) dan 0,113
ppm (KL30) pada larva instar 2 (L2) mengakibatkan peningkatan berat badan
nyamuk Anopheles aconitus. Berat basahnya semula 0,443 mg (0 ppm) menjadi
0,497 mg (KL10); 0,557 mg (KL20) dan 0,490 mg (KL30), sedangkan berat kering
semula 0,417 mg (kontrol) menjadi 0,460 mg (KL10); 0,503 mg (KL20) dan 0,477
mg (KL30). Pada nyamuk betina, berat basah semula 0,117 mg (kontrol) menjadi
0,130 mg (KL10); 0,143 mg (KL20) dan 0,140 mg (KL30), sedangkan berat kering
betina dari 0,130 mg (0 ppm) menjadi 0,153 mg (KL10); 0,163 mg (KL20); 0,147
mg (KL30).
2.3.3 Jumlah Telur dan Kelompok Telur Nyamuk Ae. aegypti
Setiap organisme berusaha untuk tetap hidup dan mempertahankan diri
dengan meneruskan keturunannya, walaupun hidup pada lingkungan yang tidak
optimal di bawah cekaman insektisida (Schneider et al. 2011).
Nyamuk Ae. aegypti betina yang dipaparkan malation menjadi lebih singkat hidupnya sehingga jumlah telur dan kelompok telur yang dihasilkan
selama hidup betina menjadi lebih sedikit. Peningkatan jumlah telur terjadi pada
tahap awal, kemudian pada tahap selanjutnya jumlah telur cenderung menurun. Nyamuk Ae. aegypti yang diseleksi oleh insektisida malation menghasilkan telur rata-rata 117,65 butir (F0) menjadi 139,05 butir (F5); 133,02 butir (F10); 89,88
butir (F15) dan 78,33 butir (F20). Rata-rata jumlah kelompok telur 6,83 batch (F0);
6,49 batch (F5); 4,85 batch (F10); 3,57 batch (F15) dan 2,04 batch (F20)
(Gunandini, 2002).
Nyamuk Ae. aegypti dalam menghadapi cekaman insektisida berusaha
untuk meningkatkan jumlah telur sampai batas maksimal yang mampu dicapai.
Adanan et al. (2005) membuktikan bahwa insektisida d-allethrin konsentrasi 36
mg/mat (d-allethrin) menyebabkan penurunan jumlah telur Ae. aegypti semula 117,35 butir (kontrol) menjadi 102,47 butir (36 mg/mat d-allethrin). Perez et al.
(2007) menggunakan insektisida nabati spinosad pada Ae. aegypti gravid. Rata-
rata jumlah telur yang dihasilkan adalah 274,4 butir (kontrol) menjadi 245,6 butir (5 ppm) dan 241,8 butir (20 ppm). Kumar et al. (2009) menyatakan bahwa Ae. aegypti menunjukkan penurunan jumlah telur, semula 99 butir (kontrol) menjadi 91 butir (F20) dan 64 butir (F40).
2.3.4 Penurunan Daya Tetas Telur Nyamuk Ae. aegypti
Efek pemberian insektisida deltamethrin terhadap nyamuk Ae. aegypti yang dipaparkan pada stadium larva dengan kosentrasi 0,004585 ppm (F20) dan
0,082965 ppm (F40) mengakibatkan penurunan daya tetas telur, rata-rata
persentase daya tetas telur semula adalah 82,5% (F0) menjadi 67,8% (F20) dan
57,2% (F40). Penurunan daya tetas telur pada nyamuk Ae. aegypti juga terjadi
akibat pemaparan insektisida nabati spinosad, rata-rata daya tetas telur semula 86,90% (kontrol) menjadi 58,20% (5 ppm) dan 62,40% (20 ppm) (Perez et al. 2007). Antonio et al. (2009) juga melaporkan bahwa konsentrasi 0,06 ppm spinosad menyebabkan perubahan daya tetas telur nyamuk Ae. aegypti dari
84,90% (kontrol) menjadi 72,60%.
Pemaparan insektisida BPMC (golongan karbamat) pada nyamuk Anopheles aconitus pada tahap larva mengakibatkan perubahan daya tetas telur, semula 59,69% (kontrol) menjadi 63,58% (KL10); 56,87% (KL20) dan 58,37%
(KL30). Hal ini menunjukkan bahwa sampai konsentrasi tertentu cekaman
insektisida dapat meningkatkan daya tetas telur sebelum selanjutnya kembali menurun (Sujadmiko, 2000).
2.3.5 Kemampuan Ekdisis dan Eklosi Nyamuk Ae. aegypti
Kemampuan ekdisis dan eklosi cenderung menurun akibat pemaparan
insektisida. Gunandini (2002) melaporkan bahwa nyamuk Ae. aegypti yang diseleksi malation menurunkan kemampuan ekdisis yang awalnya 91% (F0)
menjadi 82% (F5), 89% (F10), 89% (F15) dan 84% (F20). Adanan et al. (2005) menyatakan bahwa D-allethrin (36 mg/mat) dan Prallethrin (15 mg/mat)
menurunkan kemampuan ekdisis nyamuk Ae. aegypti dari 73,43% (kontrol) menjadi 68,06% (D-allethrin) dan 71,64% (Prallethrin).
Efek malation juga menurunkan kemampuan ekdisis Ischiodon scutellaris Fabr (Diptera : Syrphidae) semula 73,95% (kontrol) menjadi 55,38% (25 µg/ml); 66,86% (100 µg/ml); 47,77% (150 µg/ml)., 54,98% (200 µg/ml) dan 33,46%
(250 µg/ml) (Hoe et al. 1983). Perez et al. (2007) menyatakan bahwa penggunaan temefos (0,1 gr) pada Ae. aegypti yang sedang gravid menyebabkan penurunan kemampuan eklosi dari 41,20% (kontrol) menjadi 38,70%. Gunandini (2002) juga menyatakan bahwa larva Ae. aegypti yang diseleksi dengan malation
menghasilkan penurunan kemampuan eklosi, semula 93% (F0) menjadi 82%
(F5), 81% (F10), 86% (F15) dan 91% (F20).
Adanan et al. (2005) menyatakan D-allethrin (36 mg/mat) dan Prallethrin (15 mg/mat) mampu menurunkan kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti dari 99,91% (kontrol) menjadi 99,05% (Prallethrin) dan 97,29% (D-allethrin). Braga
et al. (2005) melaporkan bahwa pemakaian insektisida IGR metophren mempengaruhi kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti. Kemampuan eklosi menurun dari 96,20% (kontrol) menjadi 79,80% (5µ mg/l) dan 78,10 (10 mg/l).
2.3.6 Ratio Kelamin Jantan dan Betina Nyamuk Ae. aegypti
Perubahan pupa menjadi dewasa secara normal pada awalnya didominasi oleh jenis kelamin jantan (Christophers, 1960). Gunandini (2002) melaporkan bahwa nyamuk Ae. aegypti yang diseleksi dengan malation meningkatkan jenis
nyamuk berkelamin jantan, persentase ratio kelamin jantan dan betina semula 46 :
54 (F0) menjadi 49 : 51% (F5); 49 : 51 (F10), 50 : 50 (F15) dan 54 : 46 (F20).
Sudjatmiko (2000) menyatakan bahwa jenis nyamuk berkelamin jantan Anopheles aconitus meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi insektisida BMPC
(golongan karbamat). Ratio kelamin jantan dibandingkan dengan betina, semula