• Tidak ada hasil yang ditemukan

: Surini Ahlan Syarif, S.H., M.H. Abdul Salam, S.H., M.H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan ": Surini Ahlan Syarif, S.H., M.H. Abdul Salam, S.H., M.H"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Devi Melissa Silalahi NPM : 0906606210

Program Studi : Ilmu Hukum (Fakultas Hukum Universitas Indonesia) Judul : Tinjauan Yuridis Implikasi Perjanjian Perkawinan Terhadap Hak Mewaris Suami/Isteri Berdasarkan KUHPerdata Dan UU No. 1 Tahun 1974 (Analisis Putusan MA No. 804 PK/Pdt/2009 Dan 441 K/Pdt/2002) Pembimbing : Surini Ahlan Syarif, S.H., M.H

Abdul Salam, S.H., M.H  

     

ABSTRAK

Perkawinan merupakan hal dasar yang paling berpengaruh dalam penentuan status hukum seseorang, dimana membawa akibat yuridis salah satunya terhadap harta kekayaan. Menurut KUHPerdata, perkawinan menyebabkan terjadinya percampuran bulat harta kekayaan. Di sisi lain, dalam UU No. 1Tahun 1974 dipisahkan antara harta bawaan dan harta bersama. Pengaturan tersebut dapat disimpangi dengan adanya perjanjian perkawinan yang dibuat dengan tujuan memisahkan harta kekayaan dalam perkawinan serta melindungi suami atau isteri dari tindakan yang dapat merugikannya. Namun demikian, perjanjian perkawinan seringkali menimbulkan masalah terutama terkait dengan pewarisan, yaitu apakah perjanjian perkawinan dapat menghapus hak mewaris suami/isteri. Hasil penelitian penulis menyatakan bahwa dalam perjanjian perkawinan tidak dapat diperjanjikan mengenai pelepasan hak waris serta perjanjian perkawinan merupakan bidang hukum keluarga berbeda dengan perjanjian dalam asas berkontrak Pasal 1338 KUHPerdata yang merupakan bidang hukum perikatan. Dengan demikian, perjanjian perkawinan tidak menghapus hak mewaris suami/isteri. Adapun, metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif, yaitu menggunakan bahan hukum primer dan sekunder.

Kata Kunci:

Implikasi, Perjanjian Perkawinan, Hak Waris

ABSTRACT

Marriage underlies the determination of someone legal status, which followed by legal consequences mainly in material property. According to KUHPerdata, marriage causes a fully joint marital property. On the other hand, UU No. 1 Tahun 1974 divides innate property and joint marital property. That consequence could be neglected by doing marriage agreement with the purpose of separating material property between husband and wife in order to protect themselves from harm actions. However, marriage agreement often leads to a matter regarding inheritance, whether marriage agreement could abolish someone’s inheritance rights or not. The results of this research explain that husband and wife are not allowed to set a clause about obliteration of inheritance rights on marriage agreement due to the principle of family law, where in inverse proportion with clause of agreement in article 1338 KUHPerdata as part of contract law. Thus, marriage agreement doesn’t wipe off husband and wife’s inheritance rights. The research method used in writing this thesis is normative law, namely focused on primary and secondary legal materials.

Keywords:

(2)

Implications, Marriage Agreement, Inheritance Rights

Menurut kodrat alam, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan manusia lainnya, baik dengan manusia sesama jenis maupun yang berlainan jenis. Oleh karenanya, jelaslah bahwa manusia sejak dilahirkan selalu hidup bersama atau berkelompok dalam masyarakat, yang dikenal dengan istilah zoon politicon.1 Adapun, kegiatan manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya diatur oleh hukum, sebab hukum adalah gejala sosial dan tiada masyarakat tanpa hukum, istilah ini disebut ubi societas ibi ius.2 Dengan demikian, diketahui bahwa yang menjadi subjek hukum adalah manusia sehingga sebagai subjek hukum, manusia mengemban hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum termasuk didalamnya dalam bidang hukum perdata sebagai bagian dari keseluruhan hukum pada umumnya.

Dalam Hukum Perdata, penting untuk dilihat keadaan perdata seseorang yaitu kedudukan hukum seseorang terkait hubungannya dengan sesama anggota masyarakat. Kedudukan tersebut dapat ditentukan dari lima kejadian dalam hidup, yakni kelahiran, pengakuan (terhadap kelahiran), perkawinan, perceraian, dan kematian.3 Dari kelima hal tersebut perkawinan menjadi hal dasar yang paling berpengaruh dalam penentuan status hukum seseorang, sebab beranjak dari perkawinanlah tercipta suatu hubungan hukum antara suami isteri yang berlanjut pada kelahiran dan tentunya menimbulkan akibat hukum terhadap hubungan suami isteri, anak serta harta benda.

Disamping membawa akibat terhadap hubungan suami isteri, anak, dan harta benda, perkawinan juga mempengaruhi kedudukan seseorang dibidang hukum terutama dalam hal pewarisan, dimana pada prinsip pewarisan terjadi pengalihan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan. Hukum memberikan kedudukan istimewa kepada ahli waris yang sah untuk menikmati harta peninggalan pewaris. Bahkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHPerdata, seorang anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan pun harus dianggap telah dilahirkan bilamana kepentingan si anak menghendakinya, misalnya dalam penghitungan ahli waris yang sah.4 Hal demikian disebut                                                                                                                          

1 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, diterjemahkan oleh Moh. Saleh Djindang, Cetakan Kesepuluh, (Jakarta: PT Ichtiar Baru dan Sinar Harapan, 1983), hal. 2.

2 Ibid.    

3 Tim Pengajar Hukum Perorangan Perdata Barat, Seri Materi Bacaan: Hukum Perorangan Perdata Barat Buku B I, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), Titel II hal. 5.

4 Ibid., hal. 3.

(3)

sebagai fiktif hukum. Kekhususan yang diberikan undang-undang tersebut merupakan perwujudan pengakuan hukum atas hak-hak manusia. Disamping itu, undang-undang juga melindungi hak mutlak ahli waris yang sah agar tidak dilanggar bagiannya, dikenal dengan istilah legitieme portie yang berlaku bagi ahli waris dalam garis lurus ke atas atau ke bawah.5

Hal-hal mengenai kewarisan terutama terkait masalah pembagian seringkali diangkat ke ranah pengadilan, oleh karena ahli waris menuntut hak mereka dibagikan secara adil baik dari segi jumlah dan besaran yang patut diterima sesuai dengan porsinya. Terhadap masalah ini, penulis berhasil menemukan dua kasus mengenai hak mewaris suami/isteri terhadap harta peninggalan pasangannya, dimana sebelumnya terdapat perjanjian perkawinan berupa tidak adanya percampuran harta kekayaan apapun baik yang dibuat berdasarkan KUHPerdata maupun UU No.1 Tahun 1974.

Pengambilan ide penulisan ini berasal dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 804 PK/Pdt/2009 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 441 K/Pdt/2002, dimana penulis merasa tertarik untuk mempelajari lebih dalam mengenai implikasi sebuah perjanjian perkawinan apakah menghapus hak mewaris suami/isteri atau tidak, ditinjau dari segi KUHPerdata dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974.

Adapun, dengan dua pokok permasalahan yaitu :

1. Apakah perjanjian perkawinan termasuk dalam bidang hukum kekayaan dalam hal ini asas berkontrak Pasal 1338 KUHPerdata?

2. Berdasarkan analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 804 PK/Pdt/2009 dan No.

441 K/Pdt/2002, apakah Majelis Hakim sudah tepat dalam menerapkan hukum yang berkaitan dengan hak waris dari seorang suami/isteri yang perkawinannya didahului oleh perjanjian perkawinan?

1.1 Putusan Mahkamah Agung No. 804 PK/PDT/2009

1.1.1 Kasus Posisi

                                                                                                                         

5 Effendi Perangin, Hukum Waris, Edisi 6-7, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 83.

(4)

Kasus ini bermula dari timbulnya gugatan Penggugat terhadap Para Tergugat di Pengadilan Negeri Semarang. Adapun, Para Pihak adalah sebagai berikut :

Penggugat : Ir. Aifi Indrastuty Winoto

Para Tergugat : I. Drs. Antonius Sugiharsadi Winoto II. Anita Kusumawati

III. Fransiskus Hapsak Anugerah IV. Drs. Korina Widiasari

V. Elly Ninaningsih

Bahwa semasa hidupnya, Ibu Penggugat yaitu Alm. Ny. Dra. Oetami Komala telah menikah dengan Tergugat I pada tanggal 21 Juli 1964 dan sebelum dilangsungkannya perkawinan tersebut, Ibu Penggugat dan Tergugat I telah sepakat membuat Akta Perjanjian Kawin No. 31 tanggal 20 juli 1964 dihadapan Notaris Kahirman Gondodiwirjo, yang pada pokoknya berisi :

“antara para calon suami isteri tidak ada persekutun harta kekayaan, persekutuan untung rugi, maupun persekutuan hasil dan pendapatan; serta barang-barang yang dibawa oleh penghadap/temanten perempuan waktu dilakukan perkawinan dan akan didapat selama perkawinan dengan pihak kedua akan diminta kembali olehnya atau ahli warisnya pada waktu pembubaran perkawinan”.

Dari perkawinan tersebut lahir dua orang anak perempuan, yaitu Tergugat IV dan Penggugat. Selanjutnya tanggal 8 April 1975, Ibu Penggugat meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan berupa barang bergerak maupun barang-barang tidak bergerak seperti tanah dan rumah yang selanjutnya menjadi objek sengketa. Oleh Tergugat I, harta peninggalan tersebut didaftarkan dan dimasukkan pada Balai Harta Peninggalan Semarang tertanggal 9 Oktober 1975 mengingat Tergugat IV dan Penggugat masih belum dewasa. Tergugat I kemudian menikah lagi dengan seorang wanita, yaitu Tergugat II dan dari hasil perkawinan kedua tersebut lahir Tergugat III.

Pada tanggal 24 Agustus 1999, keluar Akta Keterangan Hak Waris No. 46/VIII/1999 yang dibuat Tergugat V, dimana menerangkan bahwa menurut hukum yang berhak atas harta peninggalan Ibu Penggugat adalah Tergugat I, Tergugat IV, dan Penggugat dengan perolehan masing-masing 1/3 bagian. Akta tersebut keluar atas keinginan Tergugat I sendiri, tidak ada

(5)

kesepakatan dengan Penggugat sebelumnya. Disamping itu, berdasarkan Surat Keterangan dari Departemen Kehakiman RI, Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan bagian Pusat Daftar Wasiat di Jakarta tanggal 5 Oktober 1999 No. 02-HT.05.02-2324, tidak pernah terdaftar surat wasiat atas nama Pewaris.

Pembuatan akta keterangan hak waris tersebut dianggap tidak sah dan cacat hukum oleh Penggugat, oleh karena dibuat oleh Tergugat I yang tidak mempunyai kualitas untuk membuatnya. Selain itu, Penggugat juga menilai bahwa Tergugat I tidak dapat menjadi ahli waris dari Ibu Penggugat karena masih terikat pada perjanjian perkawinan.

Bahwa tidak lama setelah keluarnya akta keterangan hak waris tersebut, Tergugat IV dan Tergugat II menyuruh Penggugat untuk menandatangani blangko kosong yang kemudian baru diketahui bernilai sebesar Rp 175.000.000 atas ganti rugi pelepasan hak waris terhadap rumah di Jl. Piere Tendean, Apotik Tetra Farma, Toko Okka Medica, serta barang bergerak lainnya; dimana seharusnya nilai objek sengketa tersebut ditaksir dengan harga umum sebesar Rp 1 Milyar sehingga dianggap merugikan Penggugat.

Selanjutnya menurut keterangan BPN Kota Semarang, objek sengketa telah dijual oleh Tergugat I kepada Tergugat III. Jual beli atas objek sengketa tersebut dinilai Penggugat telah dilakukan oleh orang yang bukan sebagai pemilik dan atau tidak mempunyai hak waris sehingga proses pengajuan balik nama atas nama pemilik baru Tergugat III adalah tidak sah dan batal demi hukum.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Penggugat memohon putusan kepada Majelis Hakim yang pada intinya menetapkan bahwa Penggugat dan Tergugat IV adalah ahli waris yang sah dari Alm. Ny. Oetami Komal dan berhak mewarisi harta peninggalan Pewaris berupa barang bergerak dan tidak bergerak; menyatakan bahwa berdasarkan Akta Perjanjian Perkawinan maka Tergugat I tidak mempunyai hak waris atas objek sengketa; perbuatan Para Tergugat adalah perbuatan melawan hukum yang telah merugikan Penggugat; serta Tergugat I, II, dan III tidak mempunyai hak atas objek sengketa yang merupakan harta peninggalan Alm.

Ny. Dra. Oetami Komala.

1.1.2 Pertimbangan Hukum Majelis Hakim

Intisari pertimbangan Majelis Hakim pada Putusan No. 184/Pdt.G/2004/PN.Smg adalah sebagai berikut :

(6)

a. Gugatan perbuatan melawan hukum haruslah memenuhi lima syarat, yaitu perbuatan tersebut melawan hukum, melanggar hak subjektif orang lain, ada kesalahan, kerugian, serta terdapat hubungan kausal antara kerugian dengan kesalahan;

b. Peralihan hak milik, pembagian harta warisan dan proses balik nama telah dilakukan sesuai dengan prosedur serta dilakukan tanpa adanya paksaan, kekhilafan, maupun penipuan sehingga pembagian dan balik nama harta warisan yang merupakan peninggalan Alm. Dra.

Oetami Komala menjadi atas nama Tergugat III adalah sah menurut hukum. Oleh karena itu, penguasaan objek sengketa oleh Tergugat I, II, dan III adalah berdasarkan hukum dan tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum.

Intisari pertimbangan Majelis Hakim pada Putusan No. 2347 K/Pdt/2006 jo 189/Pdt/2005/PT. Smg adalah sebagai berikut :

a. Adanya penyimpangan yang dilakukan oleh Tergugat I terhadap isi Akta Perjanjian Perkawinan No. 31, yaitu membuat Akta Keterangan Hak Waris No. 46/VIII/1999 dihadapan Notaris Elly Ninaningsih, dengan maksud agar harta peninggalan Alm. Dra.

Oetami Komala dibagi kepada Tergugat I, Tergugat IV, dan Penggugat dengan perolehan masing-masing 1/3 bagian;

b. Mengingat bunyi Pasal 1338 KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali selain sepakat kedua pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Oleh karenanya, perjanjian kawin tersebut masih berlaku terhadap mereka yang mengikat diri. Hal itu berarti, Tergugat I tidak berhak untuk mendapatkan barang peninggalan Alm. Dra. Oetami Komala walaupun Tergugat I telah membuat Akta Keterangan Hak Waris No. 46/VIII/1999 tertanggal 24 Agustus 1999;

c. Tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu membuat Akta Keterangan Hak Waris dimana dirinya tidak berkualitas untuk itu. Dengan adanya akta tersebut, telah menimbulkan kerugian bagi Penggugat yaitu hanya mendapat 1/3 bagian dari warisan yang ditinggalkan ibunya. Bagian Penggugat akan lebih besar apabila pembagian tersebut dilakukan sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian kawin.

(7)

Intisari pertimbangan Majelis Hakim pada Putusan No. 804 PK/PDT/2009 adalah sebagai berikut :

a. Judex Juris tidak salah menerapkan hukum dan tidak ternyata Judex Juris melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang nyata;

b. Alasan-alasan Pemohon Peninjauan Kembali/Para Tergugat hanya pengulangan tentang dalil-dalil di tingkat peradilan pertama.

1.1.3 Putusan

Secara garis besar, putusan Majelis Hakim pada Putusan No. 184/Pdt.G/2004/PN.Smg adalah menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya dan menolak gugatan Para Penggugat dalam Rekonpensi untuk seluruhnya.

Selanjutnya, Penggugat menolak putusan tersebut dan melakukan upaya hukum banding.

Oleh Pengadilan Tinggi Semarang, Putusan Pengadilan Negeri tersebut dibatalkan. Majelis Hakim pada Putusannya No.189/Pdt/2005/PT. Smg, telah memutus yang pada pokoknya mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; menyatakan menurut hukum bahwa Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat; menyatakan hukumya bahwa Penggugat dan Tergugat IV adalah ahli waris yang sah dari Alm. Ny. Oetami Komala dan berhak mewarisi harta peninggalan Pewaris berupa barang bergerak dan tidak bergerak; Tergugat I, II, dan III tidak mempunyai hak atas objek sengketa yang merupakan harta peninggalan Alm. Ny. Dra. Oetami Komala; menyatakan bahwa Akta Keterangan Hak Waris No. 46/VIII/1999 adalah tidak sah dan batal demi hukum; serta menyatakan bahwa jual beli objek sengketa yang dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat III serta proses balik nama adalah tidak sah dan batal demi hukum.

Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tersebut diperkuat oleh Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dan peninjauan kembali yang diajukan oleh Para Tergugat.

(8)

1.2 Putusan Mahkamah Agung No. 441 K/PDT/2002

1.2.1 Kasus Posisi

Kasus ini bermula dari timbulnya gugatan Penggugat terhadap Para Tergugat di Pengadilan Negeri Mataram. Adapun, Para Pihak adalah sebagai berikut :

Para Penggugat : I. Ny. Made Lifawati II. Ny. Welyani

III. Ny. Lifiana Rumintang Ong IV. Ny. Lantini, SE

Para Tergugat : I. Ny. Ang Kwat Mei II. Tuan Made Leang Sedana

Bahwa Para Penggugat dan Tergugat II adalah bersaudara kandung yang dilahirkan dari hasil perkawinan antara Made Rumintang dengan Ni Made Sulendri. Pada tanggal 10 Desember 1992, Ni Made Sulendri meninggal dunia sehingga sepeninggal Ibu Para Penggugat dan Tergugat II tersebut maka tidak lama kemudian tanggal 21 April 1993, Ayah Para Penggugat dan Tergugat II yaitu Made Rumintang melangsungkan perkawinan kedua kalinya dengan Tergugat I. Bahwa sebelum dilangsungkannya perkawinan tersebut, terlebih dahulu diantara mereka dibuat suatu Akta Perjanjian Kawin No.49 tanggal 20 April 1993 dihadapan Notaris I Made Arnaja, SH, yang pada pokoknya berisi pemisahan harta kekayaan, dimana seluruh harta kekayaan yang dibawa sebelum perkawinan keduanya dilaksanakan maupun seluruh harta yang didapat selama dalam perkawinan, sepanjang harta kekayaan tersebut atas nama masing-masing pihak, maka harta tersebut adalah harta milik pihak yang tersebut namanya dalam harta itu (Pasal 1 ayat 2 Akta Perkawinan No. 49 tanggal 20 April 1993).

Namun, akta perjanjian perkawinan tersebut tidak dicatatkan dalam Akta Perkawinan No.

2/B/1993.

Selama perkawinan kedua tersebut berlangsung, Made Rumintang telah memperoleh beberapa harta benda berupa tanah, deposito, maupun tabungan yang kemudian menjadi objek sengketa. Selanjutnya, pada tanggal 31 Desember 1999 Made Rumintang meninggal dunia.

Sepeninggalan tersebut, Tergugat I dan II dianggap telah melakukan persekongkolan dalam bentuk gugatan yang pada akhirnya menghasilkan suatu Akta Perdamaian No.

(9)

51/PDT.G/2000/PN.MTR dan Penetapan No. 38/PDT.P/2000/PN.MTR, masing-masing tertanggal 10 Juni 2000, dimana gugatan timbul karena keinginan kuat Tergugat I untuk memperoleh bagian paling banyak. Adapun, akta penetapan tersebut berupa izin untuk mencairkan objek sengketa dalam bentuk deposito dan tabungan. Dengan terbitnya akta perdamaian dan penetapan tersebut, Para Penggugat merasa telah dirugikan haknya. Para Penggugat menilai bahwa Tergugat I tidak dapat menjadi ahli waris dari mendiang ayah mereka karena masih terikat pada perjanjian perkawinan, hal ini berarti yang berhak sebagai ahli waris sah hanyalah para Penggugat dan Tergugat II.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Para Penggugat memohon putusan kepada Majelis Hakim yang pada intinya menetapkan bahwa Para Penggugat dan Tergugat II adalah ahli waris sah mendiang Made Rumintang yang berhak atas objek sengketa; menyatakan hukum bahwa Akta Perjanjian Perkawinan adalah sah sehingga Tergugat I tidak berhak atas objek sengketa peninggalan mendiang Made Rumintang; serta menyatakan hukum bahwa objek sengketa peninggalan mendiang Made Rumintang belum pernah dibagi waris antara Para Penggugat dengan Tergugat II. Disamping itu, Tergugat II memohon pembatalan Akta Perdamaian No. 51/PDT.G/2000/PN.MTR tanggal 10 Juni 2000 antara Tergugat I dengan Tergugat II karena Tergugat II dalam perdamaian itu tanpa adanya kuasa dari Para Penggugat yang juga sebagai ahli waris Made Rumintang.

1.2.2 Pertimbangan Hukum Majelis Hakim

Intisari pertimbangan Majelis Hakim pada Putusan No. 61/Pdt.G/2000/PN.MTR adalah sebagai berikut :

a. Akta Perjanjian Perkawinan No. 49 merupakan suatu bentuk pengikatan diri antara Made Rumintang dan Tergugat I untuk mengadakan pemisahan harta kekayaan sehingga konsekuensi yuridisnya adalah harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi hak masing-masing pihak. Dengan demikian, Tergugat I tidak berhak atas objek sengketa peninggalan mendiang Made Rumintang;

b. Tidak terdapat suatu kewajiban bagi Catatan Sipil untuk mencatat perjanjan perkawinan apalagi menanyakan ada tidaknya perjanjian perkawinan diantara calon suami isteri. Hal ini didasarkan bahwa perjanjian perkawinan merupakan hak otonomi sepenuhnya bagi calon suami isteri apakah ingin mengadakan perjanjian perkawinan atau tidak; dan ternyata

(10)

sebelum perkawinan berlangsung sesuai UU No. 1 Tahun 1974, Made Rumintang dan Tergugat I telah membuat akta perjanjian kawin dalam bentuk akta notaris sehingga menurut hukum akta perjanjian kawin tersebut adalah sah dan secara bewijs recht mempunyai kekuatan pembuktian;

c. Objek sengketa berasal dan atas nama Made Rumintang sehingga merupakan peninggalan Made Rumintang yang berhak diwarisi oleh Para Penggugat dan Tergugat II;

d. Akta perdamaian menyangkut boedel warisan mendiang Made Rumintang, dimana melekat tidak hanya hak waris Tergugat II melainkan juga Para Penggugat. Dengan demikian, akta tersebut patut dikesampingkan;

Intisari pertimbangan Majelis Hakim pada Putusan No. 50/PDT/2001/PT.MTR adalah sebagai berikut :

a. Akta Perdamaian No. 51/PDT.G/2000/PN.MTR dan Penetapan No.

38/PDT.P/2000/PN.MTR mempunyai kekuatan pasti menurut hukum;

b. Untuk dapat mengajukan gugatan terhadap objek sengketa, harus terlebih dahulu membatalkan akta perdamaian dan penetapan tersebut.

Intisari pertimbangan Majelis Hakim pada Putusan No. 804 PK/PDT/2009 adalah sebagai berikut :

a. Pengadilan Tinggi yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri telah salah menerapkan hukum sebab Akta Perdamaian No. 51/PDT.G/2000/PN.Mataram telah dibuat tanpa mengikutsertakan semua ahli waris lagipula di persidangan ternyata Tergugat II tidak keberatan apabila perjanjian perdamaian tersebut dibatalkan;

b. Berdasarkan alasan tersebut maka Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Tergugat I.

1.2.3 Putusan

Secara garis besar, putusan Majelis Hakim pada Putusan No. 61/Pdt.G/2000/PN.MTR adalah mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian; menetapkan bahwa Para Penggugat dan Tergugat II adalah ahli waris yang sah dari mendiang Made Rumintang yang berhak atas objek sengketa; menetapkan bahwa Tergugat I tidak berhak atas objek sengketa

(11)

peninggalan mendiang Made Rumintang; serta menyatakan hukum bahwa Akta Perjanjian Kawin No. 49 tanggal 20 April 1993 adalah sah menurut hukum.

Selanjutnya, Tergugat I menolak putusan tersebut dan melakukan upaya hukum banding.

Oleh Pengadilan Tinggi Mataram, Putusan Pengadilan Negeri tersebut dibatalkan. Majelis Hakim pada Putusannya No.50/PDT/2001/PT.MTR, telah memutus yang pada pokoknya menyatakan menerima eksepsi Tergugat I Pembanding; gugatan tidak dapat diterima; dan gugatan rekonvensi tidak dapat diterima.

Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tersebut ditolak oleh Tergugat I sehingga dilanjutkan dengan upaya hukum kasasi. Mahkamah Agung kemudian membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Mataram No. 50/PDT/2001/PT.MTR tanggal 20 Juni 2001 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Mataram No. 61/Pdt.G/2000/PN.MTR tanggal 16 Desember 2000. Adapun, putusan Majelis Hakim yang memeriksa pada tingkat kasasi pada intinya adalah mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian; menetapkan bahwa Para Penggugat dan Tergugat II adalah ahli waris sah mendiang Made Rumintang yang berhak atas objek sengketa; serta menyatakan hukum bahwa Akta Perjanjian Kawin No. 49 tanggal 20 April 1993 adalah sah menurut hukum.

1.3 Analisis

Dalam usaha mencari kepastian hukum atas implikasi perjanjian perkawinan terhadap hak mewaris suami/isteri, penulis mencoba mengkritisi dalam suatu bentuk analisis mengenai pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim yang telah dipaparkan sebelumnya, terkait hal sebagai berikut :

1. Perjanjian Perkawinan Ditinjau dari Pasal 1338 KUHPerdata

Secara prinsip, perjanjian perkawinan termasuk dalam lapangan hukum keluarga yang tunduk pada Buku I KUHPerdata. Namun demikian, ketentuan dasar Buku III KUHPerdata juga berlaku terhadap perjanjian perkawinan, dimana keabsahan suatu perjanjian perkawinan juga tunduk pada syarat sah

(12)

perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata bahwa perjanjian harus dibuat dengan memenuhi empat syarat, yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecapakan untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Calon suami dan isteri yang akan membuat perjanjian perkawinan haruslah mengadakan sepakat terlebih dahulu mengenai isi perjanjian yang akan dibuat. Kesepakatan tidak dapat dikatakan sah bila didasarkan pada adanya kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan sebab kesepakatan menjadi syarat pertama dan utama dalam mengadakan perjanjian perkawinan.

Berdasarkan KUHPerdata, ukuran kecakapan seseorang dalam membuat perjanjian adalah 21 tahun (Pasal 330 KUHPerdata), namun bagi yang belum dewasa dianggap cakap untuk membuat perjanjian perkawinan bilamana memenuhi persyaratan untuk melaksanakan perkawinan (Pasal 29 KUHPerdata) serta dibantu atau didampingi oleh orang tua atau wali yang izinnya diperlukan untuk kawin (Pasal 151 KUHPerdata). Disisi lain, ukuran kecakapan membuat suatu perjanjian adalah 18 tahun berdasarkan Pasal 47 jo 50 UU No. 1 Tahun 1974. Bilamana berlangsung sebelum seseorang berumur 18 tahun maka harus diwakili oleh orang tua atau wali dalam membuat perjanjian perkawinan.

Calon suami dan isteri bebas menentukan isi dari perjanjian perkawinan yang akan mereka buat sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Bahkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 diatur bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan agama.

Berangkat dari penjelasan tersebut, perjanjian pada umumnya maupun perjanjian perkawinan sama- sama mengikat secara hukum bilamana dibuat secara sah, dalam arti berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (asas pacta sunt servanda). Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum. Namun demikian, meskipun dalam perjanjian perkawinan terdapat kebebasan berkontrak hal ini bukan berarti perjanjian perkawinan dikategorikan sebagai perjanjian pada umumnya. Hal ini didasarkan atas:

a. Perjanjian merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan yang dirumuskan sebagai hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan, dimana terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi masing-masing pihak. Bilamana salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban kontraktualnya maka pihak tersebut berada dalam keadaan wanprestasi. Karakteristik tersebut berbeda dengan

(13)

karakteristik perjanjian perkawinan yang lebih bersifat pada hubungan pribadi karena berfondasikan pada asas kekeluargaan. Apabila dalam pelaksanaan perjanjian perkawinan terdapat pelanggaran yang dilakukan salah satu pihak maka pihak yang dirugikan tidak dapat melakukan gugatan atas dasar wanprestasi. Sanksi terhadap pelanggaran perjanjian perkawinan pada umumnya berupa sanksi moral atau dapat menjadi faktor untuk melakukan perceraian.

b. Bila dilihat dari pola pengaturan dalam KUHPerdata, perjanjian perkawinan diatur dalam Buku I yang sifatnya tertutup, artinya seluruh ketentuan di dalamnya tidak dapat disimpangi dan dilakukan perubahan terhadapnya. Di sisi lain, perjanjian pada umumnya diatur dalam Buku III yang sifatnya terbuka, artinya seluruh ketentuan didalamnya dapat disimpangi dan dilakukan perubahan sepanjang dipenuhinya asas konsensualisme diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian, perjanjian berdasarkan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata memberi kesempatan seluas-luasnya kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian diikuti dengan pelaksanaan dan persyaratannya serta menentukan bentuk perjanjian baik tertulis maupun lisan. Hal tersebut berbeda halnya dengan perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata, dimana subjek yang mengadakan perjanjian dan isinya ditentukan secara mutlak oleh undang-undang. Sejalan dengan hal tersebut, UU No. 1 Tahun 1974 walaupun tidak secara tegas mengatur mengenai isi perjanjian tetaplah memberikan batasan dalam perjanjian perkawinan yaitu sepanjang tidak mengatur mengenai tak’lik talak serta tidak bertentangan dengan prinsip kekal dan abadinya suatu perkawinan. Lebih lanjut, dalam perjanjian pada umumnya suatu perjanjian dapat diubah bahkan ditarik kembali atas dasar kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri didalamnya. Hal tersebut berbanding lurus dengan perjanjian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 bahwa dapat dilakukan perubahan atas kesepakatan suami isteri dengan batasan tidak merugikan pihak ketiga dan harus didaftarkan kembali untuk disahkan oleh pejabat pencatat perkawinan. Di sisi lain, KUHPerdata mengatur suatu perjanjian perkawinan hanya dapat diubah sebelum perkawinan dilangsungkan, artinya selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah sebab berlaku sampai berakhirnya perkawinan.

(14)

Oleh karena terdapat perbedaan karakteristik perjanjian perkawinan dengan perjanjian pada umumnya maka tidak sepatutnya Majelis Hakim memutus perkara dengan mengacu pada Pasal 1338 KUHPerdata.

2. Konsekuensi Yuridis Isi Perjanjian Perkawinan Terhadap Pewarisan

Berdasarkan KUHPerdata, perjanjian perkawinan tidak boleh melanggar kesusilaan dan ketertiban umum. Bahkan Pasal 1063 KUHPerdata secara tegas melarang isi perjanjian perkawinan yang melepaskan hak atas warisan seorang yang masih hidup termasuk menjual hak-hak yang dikemudian hari akan diperolehnya atas warisan tersebut. Asas tersebut mendapat penerapannya lagi dalam Pasal 1334 KUHPerdata bahwa tidak diperkenankan melepaskan warisan yang belum terbuka ataupun meminta diperjanjikan sesuatu hak mengenai hal itu, sekalipun dengan sepakat orang yang nantinya akan meninggalkan warisan. Misalnya, B, C, dan D adalah calon ahli waris dari A. Sewaktu A masih hidup, B melepaskan hak warisnya dengan imbalan uang dari C dan D. Hal tersebut dianggap tidak patut dalam hukum waris karena merupakan konsekuensi logis dari Pasal 830 KUHPerdata bahwa warisan tidak dapat dibicarakan bila pewaris masih hidup. Bilamana terdapat isi perjanjian perkawinan yang demikian maka perjanjian tersebut batal demi hukum karena melanggar undang-undang (Pasal 1337 KUHPerdata). Hal tersebut juga sejalan dengan syarat objektif dalam Pasal 1320 KUHPerdata bahwa pelanggaran terhadap klausula yang halal menjadi batal demi hukum.

Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974, isi perjanjian perkawinan tidak diatur secara rinci namun tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. UU No. 1 Tahun 1974 tidak menjelaskan sama sekali apa yang seharusnya menjadi perjanjian perkawinan. Akan tetapi, dalam penjelasan Pasal 29 dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan adalah yang tidak termasuk tak’lik talak. Dengan demikian, dimungkinkan suatu perjanjian perkawinan yang mengatur hal-hal lain, termasuk hak dan kewajiban suami isteri maupun harta benda perkawinan. Klausula perjanjian perkawinan yang mengatur hal selain harta perkawinan tidak boleh melanggar hak dan membatasi kewajiban suami dan isteri, misalnya dalam perjanjian perkawinan diatur bahwa suami tidak dapat menjadi kepala keluarga dan tidak berkewajiban menafkahi isteri. Klausula tersebut bertentangan dengan Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 34 UU No. 1 Tahun 1974, dimana melanggar hukum, kesusilaan, dan agama sehingga menjadi batal demi hukum.

(15)

Terhadap isi perjanjian perkawinan, Prof. Wahyono Darmabrata berpendapat ada dua kemungkinan. Pertama, bila perjanjian perkawinan boleh memuat hal-hal lain selain harta benda perkawinan maka hakimlah yang menilai batasan-batasan perjanjian perkawinan jika terjadi sengketa, tentunya dengan memperhatikan bahwa kesepakatan dalam perjanjian perkawinan berbeda dengan asas berkontrak Pasal 1338 KUHPerdata. Kedua, bila tidak ditentukan secara tegas dalam undang-undang bahkan tidak dapat ditafsirkan secara tersirat maupun tersurat maka lebih baik menafsirkan perjanjian perkawinan dalam bidang hukum harta benda perkawinan, dimana memberi kesempatan kepada calon suami isteri sebelum perkawinan untuk mengatur hak dan kewajiban mereka dibidang harta kekayaan perkawinan. Adapun, dasar pertimbangan terpenting atas hal tersebut adalah perkawinan merupakan perikatan dibidang hukum keluarga yang berdasarkan prinsip kekal dan abadi, artinya meskipun perkawinan didasarkan pada adanya kesepakatan, hak dan kewajiban suami isteri tetap diatur oleh undang-undang.

3. Peran Catatan Sipil Dalam Pencatatan Perjanjian Perkawinan

Pasal 147 KUHPerdata mengatur bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan dilangsungkan. Ketentuan yang tercantum dalam perjanjian perkawinan akan berlaku terhadap pihak ketiga bilamana perjanjian perkawinan tersebut telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat (Pasal 152 KUHPerdata). Di sisi lain, berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974, perjanjian perkawinan diwajibkan dicatatkan di depan pegawai pencatat perkawinan bila menyangkut pihak ketiga. Hal ini berarti, UU No. 1 Tahun 1974 memperbolehkan calon suami isteri untuk mengadakan perjanjian perkawinan dengan akta dibawah tangan jika tidak terdapat pihak lain di dalamnya. Adapun, maksud dari pencatatan perjanjian perkawinan adalah dilakukannya pengesahan akta perjanjian perkawinan dalam akta perkawinan. Akibat hukum bilamana perjanjian perkawinan tidak disahkan dan dicatatkan pada saat perkawinan berlangsung adalah perjanjian perkawinan tersebut hanya mengikat suami dan isteri, tidak mengikat pihak ketiga. Upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap perjanjian perkawinan yang belum dicatatkan adalah mengajukan permohonan pengesahan kepada Pengadilan Negeri untuk dicatatkan oleh Catatan Sipil.

Berdasarkan hal tersebut maka perjanjian perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 sebagaimana dijelaskan dalam kasus posisi pada Putusan Mahkamah Agung No. 441 K/PDT/2002 adalah sah bagi kedua pihak karena tidak menyangkut pihak ketiga.

(16)

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas maka ditemukan beberapa fakta bahwa:

a. Terdapat kebebasan berkontrak dalam perjanjian perkawinan. Namun demikian, karakteristik perjanjian perkawinan tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian pada umumnya terutama asas berkontrak sebagaimana diatur Pasal 1338 KUHPerdata;

b. KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974 melarang isi perjanjian perkawinan yang bertentangan dengan hukum, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum termasuk didalamnya pelepasan hak waris;

c. Dalam kedua kasus yang dibahas tidak terdapat isi perjanjian perkawinan mengenai pelepasan hak waris;

d. Berdasarkan Pasal 147 KUHPerdata, perjanjian perkawinan harus dilakukan dengan akta notaris, sedangkan dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perjanjian perkawinan dapat diadakan dengan perjanjian tertulis. Perjanjian tertulis disini dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda apakah harus dibuat dengan akta dibawah tangan atau harus dengan akta notaris. Atas hal tersebut, maka sebaiknya mengacu pada Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 bahwa hal-hal yang tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 maka sebaiknnya tetap mengacu pada KUHPerdata.

Berangkat dari fakta tersebut maka Majelis Hakim telah salah menerapkan hukum dalam memutus kedua perkara tersebut. Perjanjian perkawinan tidak menghapus hak mewaris suami maupun isteri.

Suami dan isteri merupakan golongan pertama ahli waris dan dilindungi bagiannya oleh undang- undang. Bahkan, penentuan ahli waris harus dilihat pada saat warisan jatuh meluang yaitu ketika pewaris meninggal dunia. Di samping itu, walaupun dalam kasus Putusan Mahkamah Agung No. 804 PK/PDT/2009 terdapat pemisahan harta mutlak yang terdiri dari pemisahan harta kekayaan, untung dan rugi, hasil dan pendapatan serta dalam kasus Putusan Mahkamah Agung No. 441 K/PDT/2002 terdapat pemisahan harta bawaan dan harta bersama; masih ditemui kesulitan untuk menentukan pemilik barang tertentu yang biasanya dipakai bersama-sama dalam kehidupan rumah tangga apalagi menentukan sejauh mana batasan-batasan kepemilikan tersebut. Untuk mewujudkan suatu perkawinan yang kekal, abadi, dan bahagia dibutuhkan tanggung jawab suami dan isteri dengan menyumbangkan harta kekayaan mereka untuk keperluan penyelenggaraan rumah tangga bersama, terlebih mengenai kesejahteraan dan pendidikan anak. Dengan demikian, penerapan hukum seharusnya adalah sebagai berikut :

(17)

1. Putusan Mahkamah Agung No. 804 PK/PDDT/2009

Pihak yang berhak menjadi ahli waris adalah Tergugat I selaku suami serta Tergugat IV dan Penggugat selaku anak, dimana masing-masing mendapatkan 1/3 bagian. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 852a KUHPerdata bahwa bagian seorang suami atau isteri yang hidup terlama atas harta peninggalan suami atau isterinya adalah dipersamakan dengan seorang anak sah.

2. Putusan Mahkamah Agung No. 441 K/PDT/2002

Harta bersama antara Pewaris dan Tergugat I harus dibagi dua terlebih dahulu, yaitu 50%

bagian Pewaris dan 50% bagian Tergugat I. Adapun, harta bawaan dan 50% bagian Pewaris dari harta bersamalah yang menjadi keseluruhan harta peninggalan Pewaris yang dapat dibagikan kepada ahli waris.

Pihak yang berhak menjadi ahli waris adalah Para Penggugat (empat orang) dan Tergugat II selaku anak serta Tergugat I sebagai isteri dari perkawinan kedua; dimana bagian anak dan isteri masing-masing mendapatkan 1/6 bagian. Dalam hal ini, Tergugat I tidak boleh menerima bagian lebih besar daripada bagian warisan terkecil yang diterima anak atau tidak boleh lebih dari seperempat harta peninggalan suami, sebagaimana diatur dalam Pasal 852a KUHPerdata.

Kesimpulan

Berdasarkan permasalahan dan uraian sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, maka dengan ini penulis menyampaikan kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengertian perkawinan dalam KUHPerdata yang hanya dipandang dari hubungan keperdataan diperbaiki oleh UU No. 1 Tahun 1974 yang menitikberatkan pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Dalam ketentuan KUHPerdata, perkawinan mengakibatkan terjadinya persatuan harta bulat. Sedangkan dalam ketentuan UU No. 1 Tahun 1974, harta benda dalam perkawinan dibedakan menjadi harta bawaan dan harta bersama. Terhadap pengaturan harta kekayaan, KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974 memberikan pengecualian untuk mengadakan

(18)

penyimpangan, yaitu melalui perjanjian perkawinan. Adapun, terdapat kebebasan berkontrak dalam perjanjian perkawinan, dimana perjanjian perkawinan tunduk pada syarat sah perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Namun demikian, hal ini bukan berarti perjanjian perkawinan dikategorikan sebagai perjanjian pada umumnya terutama asas berkontrak sebagaimana diatur Pasal 1338 KUHPerdata. Sebab, karakteristik perjanjian pada umumnya berbeda dengan karakteristik perjanjian perkawinan dimana berfondasikan pada hukum keluarga. Contoh perbedaan karakteristik diantaranya terdapat pada hal pihak yang mengadakan perjanjian, isi perjanjian, sanksi terhadap pelanggaran isi perjanjian, perubahan isi perjanjian, serta pencabutan perjanjian. Dengan demikian, perjanjian perkawinan tidak termasuk perjanjian pada umumnya dimana terkait dalam bidang hukum kekayaan dalam hal ini asas berkontrak Pasal 1338 KUHPerdata.

2. Perjanjian perkawinan dibuat dengan tujuan memisahkan harta kekayaan dalam perkawinan serta melindungi suami atau isteri dari tindakan yang dapat merugikannya. Perjanjian perkawinan berdasarkan Pasal 147 KUHPerdata harus dibuat dengan akta notaris sebelum dilangsungkannya perkawinan dan tidak dapat dilakukan perubahan sesudahnya. Perjanjian tersebut berlaku terhadap pihak ketiga bilamana didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Setempat (Pasal 152 KUHPerdata). Sedangkan, perjanjian perkawinan berdasarkan Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 dapat dibuat dengan akta dibawah tangan sebelum atau saat pelangsungan perkawinan dan dapat dilakukan perubahan sesudahnya atas sepakat suami isteri. Perjanjian perkawinan mulai berlaku terhadap pihak ketiga bilamana dicatatkan didepan pegawai pencatat perkawinan. Hal ini berarti, bila terdapat perjanjian perkawinan yang belum dicatatkan maka perjanjian perkawinan hanya sah bagi kedua pihak yang membuat. Agar perjanjian perkawinan yang belum dicatatkan dapat mengikat pihak ketiga maka suami dan isteri harus mengajukan permohonan pengesahan kepada Pengadilan Negeri untuk dicatatkan oleh Catatan Sipil. Di samping itu, perjanjian perkawinan dibuat tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum termasuk didalamnya mengatur mengenai pelepasan hak waris (Pasal 1063 jo Pasal 1334 KUHPerdata).

Bilamana dalam perjanjian perkawinan mengatur mengenai pelepasan hak waris maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Lebih lanjut, perjanjian perkawinan tidak menghapus hak mewaris suami isteri. Menurut Pasal 832 KUHPerdata, prinsip ahli waris adalah adanya hubungan darah dan hubungan semenda. Suami dan isteri adalah ahli waris dalam golongan pertama yang

(19)

mewaris berdasarkan ketentuan undang-undang. Dalam hal ini, bagian warisan suami atau isteri dari perkawinan pertama berbeda dengan perkawinan kedua atau selebihnya. Suami atau isteri yang hidup terlama bagian warisannya dipersamakan dengan bagian anak sah pewaris, sedangkan suami atau isteri dari perkawinan kedua atau selebihnya bagiannya adalah tidak lebih besar dari bagian warisan terkecil yang diterima anak pewaris atau tidak boleh lebih dari seperempat harta peninggalan pewaris (Pasal 852a KUHPerdata). Dengan demikian, maka Majelis Hakim telah salah dalam menerapkan hukum pada kedua kasus tersebut. Penerapan hukum yang seharusnya pada Putusan Mahkamah Agung No. 804 PK/PDDT/2009 adalah Tergugat I selaku suami serta Tergugat IV dan Penggugat selaku anak adalah ahli waris sah dari Pewaris, dimana masing-masing bagian mereka adalah 1/3. Sedangkan, penerapan hukum yang seharusnya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 441 K/PDT/2002 adalah harta bersama antara Pewaris dan Tergugat I harus dibagi dua terlebih dahulu, yaitu 50% bagian Pewaris dan 50% bagian Tergugat I. Dengan demikian, harta bawaan dan 50% bagian Pewaris dari harta bersamalah yang menjadi keseluruhan harta peninggalan Pewaris yang dapat dibagikan kepada ahli waris. Adapun, yang berhak menjadi ahli waris adalah Para Penggugat dan Tergugat II selaku anak serta Tergugat I sebagai isteri dari perkawinan kedua; dimana bagian anak dan isteri masing-masing mendapatkan 1/6 bagian. Dalam hal ini, Tergugat I tidak boleh menerima bagian lebih besar daripada bagian warisan terkecil yang diterima anak atau tidak boleh lebih dari seperempat harta peninggalan suami, sebagaimana diatur dalam Pasal 852a KUHPerdata.

Saran

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan dalam skripsi ini, maka dalam kesempatan ini penulis memberikan saran-saran sebagai berikut :

1. Dalam penyelesaian perkara ini seharusnya Majelis Hakim menilai bahwa secara prinsipil karakteristik perjanjian perkawinan berbeda dengan karakteristik perjanjian pada umumnya terutama asas berkontrak Pasal 1338 KUHPerdata;

(20)

2. Hendaknya Majelis Hakim memperhitungkan hak suami dan isteri untuk dapat mewaris bersama ahli waris lainnya, dimana sifat dasar ahli waris adalah adanya hubungan semenda disamping adanya hubungan darah;

3. Perihal terjadinya perkara waris yang didahului adanya perjanjian perkawinan seperti ini, diharapkan di masa mendatang Hakim dapat lebih bijak dalam mempertimbangkan perkara yang serupa dengan tetap berpedoman kepada dua hal esensial dalam unsur perkawinan dan pewarisan, yaitu KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974 dalam upaya mencapai kepastian hukum serta tetap memperhatikan asas sosial dalam rangka tercapainya keadilan.

Referensi

Dokumen terkait

Putusan Hakim pengadilan Agama Jakarta selatan terhadap kasus tersebut, yakni mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan menetapkan perkawinan penggugat dan

Melihat pada kasus, Majelis Hakim mengabulkan permohonan Penggugat dengan sebagian yang menyatakan bahwa Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III telah melakukan perbuatan

Dalam petitum, Penggugat pada pokoknya memohon agar Majelis Hakim menetapkan tanah sebagaimana diuraikan di atas sebagai harta tirkah (harta peninggalan) Alm dan menyatakan akta

Menimbang, bahwa terhadap bantahan Terbanding II semula Tergugat II yang menyatakan gugatan Pembanding semula Penggugat adalah orror in persona, Majelis Hakim Tingkat

Jadi kami (tergugat) mencurigai bahwa Surat Perjanjian Tukar Guling Tanah tersebut adalah REKAYASA;--- Majelis Hakim Yang Mulia,--- Kami Tergugat memohon kepada

Oleh karena pembagian warisan dengan cara perdamaian tidak melibatkan salah seorang ahli waris, maka karena itu para Penggugat meminta kepada Majelis Hakim Pengadilan Agama Medan

Hakim mempertimbangkan bahwa yang menjadi dasar/ alasan Penggugat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Para Tergugat adalah masalah tindak pidana

Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil- adilnya;--- Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan Penggugat dan Tergugat hadir di