• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perwujudan janji perkawinan pada pasangan suami-istri dengan usia perkawinan 5-15 tahun demi menjaga keutuhan perkawinan di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perwujudan janji perkawinan pada pasangan suami-istri dengan usia perkawinan 5-15 tahun demi menjaga keutuhan perkawinan di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta."

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

viii

Judul skripsi ini adalah PERWUJUDAN JANJI PERKAWINAN PADA

PASANGAN SUAMI ISTRI DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Janji perkawinan belum begitu dihidupi oleh pasutri dengan

usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Bertolak dari kenyataan itulah maka skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para keluarga madya untuk bisa mewujudkan janji perkawinan yang merangkum seluruh proses hidup perkawinan. Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah belum dihidupinya janji perkawinan oleh keluarga madya. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah penelitian yang bisa mengungkapkan fakta mengenai sejauh mana janji perkawinan pada pasutri tersebut sudah dihidupi. Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pasutri melihat sejauh mana janji perkawinan dihidupi oleh keluarga madya tersebut melalui penelitian, untuk tindak lanjutnya akan dipilih program pendampingan yang sesuai dengan kondisi pasutri.

Perkawinan merupakan sebuah ikatan yang luhur antara laki-laki dan perempuan dengan melibatkan Tuhan. Pelaksanaan perkawinan di Indonesia mengikuti tata cara agama yang dianut oleh masing-masing orang sehingga tata pelaksanaannya pun beragam. Dalam perkawinan Katolik, perkawinan identik dengan diucapkannya janji perkawinan. Janji perkawinan memuat 3 pokok janji yakni yang pertama setia dalam suka dan duka, untung dan malang serta sehat maupun sakit, yang kedua mencintai dan menghormati pasangan seumur hidup dan yang ketiga mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan secara Katolik. Tuhan sendirilah yang memeteraikan janji tersebut sehingga dalam perkawinan Katolik tidak ada perceraian sebab yang dipersatukan oleh Tuhan tidak bisa diceraikan manusia. Oleh sebab itu, suami ataupun istri memiliki perannya sendiri-sendiri untuk saling melengkapi satu sama lain.

Hasil akhir menunjukkan bahwa pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran masih kurang baik dalam mewujudkan janji perkawinannya. Walaupun hasil akhir menunjukkan bahwa secara umum mereka lebih banyak yang berusaha mewujudkan, namun kebanyakan persentasenya masih kurang dari 50%. Hasil ini berarti harus dijawab dengan sebuah program pendampingan pasutri yang sesuai dengan keadaan yang mereka alami. Sebenarnya paroki sudah mengusahakan sebuah pendampingan keluarga yakni dengan rekoleksi, namun pendampingan tersebut kurang tepat melihat jumlah pasutri tersebut terlalu banyak dan kesibukan mereka yang beragam.

(2)

ix

This thesis entitles THE REALIZATION OF MARRIAGE VOWS FOR MARRIAGE COUPLES IN THEIR 5-15 YEAR OF MARRIAGE FOR BUILDING THEIR MARRIAGE UNITY AT SACRED HEART OF JESUS’ PARISH, GANJURAN, YOGYAKARTA. For the newly married couple, marriage vows are still in the process of growing and maturing. Based on this situation, this thesis aims to help the newly married couple to strengthen their marriage vows. The core problem addressed in this thesis is the fact that the marriage vows among the newly marriage couples are not fully realized and actualized in their daily life. Therefore, there is a need for a thorough research which can enclose the facts on this problem. The research conducted in this thesis is meant for achieving the data of the newly married couples’ perspective on the marriage vow that they have professed during the holy matrimony. Further, this thesis also proposes an appropriate model for them.

Marriage is a holy union between a man and a women in God’s present. Marriage in Indonesia follows the religious rites of the couples. In Catholic marriage, marriage is identically related to the profession of marriage vows. Marriage vows have three promises. First, to promise to be a faithful couple in in good times and in bad, in sickness and in health. Second, to love and honor the bride all the days of my life. Third, to raise the children entrusted by God Himself in a Catholic way.

The final result of the research shows that married couple in their 5-15 year of marriage are still struggling to realize their marriage vows in the daily life. Those who are successfully realizing their marriage vows are less than 50 percent. It means that a supportive program is undeniably needed to help them. The parish have been working on this problem by giving accompaniment through recollection. However, this program does not give a satisfying result due to the lack of people who attend this program. Not many couples interest in this program as well.

(3)

DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS

GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Florentina Puji Hastriyani

NIM: 101124060

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

i

DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS

GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Florentina Puji Hastriyani

NIM: 101124060

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(5)
(6)
(7)

iv

(8)

v

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya”

(9)
(10)
(11)

viii

Judul skripsi ini adalah PERWUJUDAN JANJI PERKAWINAN PADA

PASANGAN SUAMI ISTRI DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Janji perkawinan belum begitu dihidupi oleh pasutri dengan

usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Bertolak dari kenyataan itulah maka skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para keluarga madya untuk bisa mewujudkan janji perkawinan yang merangkum seluruh proses hidup perkawinan. Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah belum dihidupinya janji perkawinan oleh keluarga madya. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah penelitian yang bisa mengungkapkan fakta mengenai sejauh mana janji perkawinan pada pasutri tersebut sudah dihidupi. Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pasutri melihat sejauh mana janji perkawinan dihidupi oleh keluarga madya tersebut melalui penelitian, untuk tindak lanjutnya akan dipilih program pendampingan yang sesuai dengan kondisi pasutri.

Perkawinan merupakan sebuah ikatan yang luhur antara laki-laki dan perempuan dengan melibatkan Tuhan. Pelaksanaan perkawinan di Indonesia mengikuti tata cara agama yang dianut oleh masing-masing orang sehingga tata pelaksanaannya pun beragam. Dalam perkawinan Katolik, perkawinan identik dengan diucapkannya janji perkawinan. Janji perkawinan memuat 3 pokok janji yakni yang pertama setia dalam suka dan duka, untung dan malang serta sehat maupun sakit, yang kedua mencintai dan menghormati pasangan seumur hidup dan yang ketiga mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan secara Katolik. Tuhan sendirilah yang memeteraikan janji tersebut sehingga dalam perkawinan Katolik tidak ada perceraian sebab yang dipersatukan oleh Tuhan tidak bisa diceraikan manusia. Oleh sebab itu, suami ataupun istri memiliki perannya sendiri-sendiri untuk saling melengkapi satu sama lain.

Hasil akhir menunjukkan bahwa pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran masih kurang baik dalam mewujudkan janji perkawinannya. Walaupun hasil akhir menunjukkan bahwa secara umum mereka lebih banyak yang berusaha mewujudkan, namun kebanyakan persentasenya masih kurang dari 50%. Hasil ini berarti harus dijawab dengan sebuah program pendampingan pasutri yang sesuai dengan keadaan yang mereka alami. Sebenarnya paroki sudah mengusahakan sebuah pendampingan keluarga yakni dengan rekoleksi, namun pendampingan tersebut kurang tepat melihat jumlah pasutri tersebut terlalu banyak dan kesibukan mereka yang beragam.

(12)

ix

This thesis entitles THE REALIZATION OF MARRIAGE VOWS FOR MARRIAGE COUPLES IN THEIR 5-15 YEAR OF MARRIAGE FOR BUILDING THEIR MARRIAGE UNITY AT SACRED HEART OF JESUS’ PARISH, GANJURAN, YOGYAKARTA. For the newly married couple, marriage vows are still in the process of growing and maturing. Based on this situation, this thesis aims to help the newly married couple to strengthen their marriage vows. The core problem addressed in this thesis is the fact that the marriage vows among the newly marriage couples are not fully realized and actualized in their daily life. Therefore, there is a need for a thorough research which can enclose the facts on this problem. The research conducted in this thesis is meant for achieving the data of the newly married couples’ perspective on the marriage vow that they have professed during the holy matrimony. Further, this thesis also proposes an appropriate model for them.

Marriage is a holy union between a man and a women in God’s present. Marriage in Indonesia follows the religious rites of the couples. In Catholic marriage, marriage is identically related to the profession of marriage vows. Marriage vows have three promises. First, to promise to be a faithful couple in in good times and in bad, in sickness and in health. Second, to love and honor the bride all the days of my life. Third, to raise the children entrusted by God Himself in a Catholic way.

The final result of the research shows that married couple in their 5-15 year of marriage are still struggling to realize their marriage vows in the daily life. Those who are successfully realizing their marriage vows are less than 50 percent. It means that a supportive program is undeniably needed to help them. The parish have been working on this problem by giving accompaniment through recollection. However, this program does not give a satisfying result due to the lack of people who attend this program. Not many couples interest in this program as well.

(13)

x

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

PERWUJUDAN JANJI PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI

DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA

KEUTUHAN PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS

GANJURAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

Penyusunan skripsi ini berawal dari keprihatinan penulis akan perwujudan janji perkawinan pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Bertolak dari keprihatinan tersebut, penulis menyusun skripsi ini dengan maksud agar tingkat perwujudan janji perkawinan pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus dapat diketahui dan penulis dapat merekomendasikan jenis pendampingan yang sesuai berdasarkan situasi konkrit pasutri.

Penulis sungguh berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pasutri terutama pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran demi menjaga keutuhan perkawinan melalui perwujudan janji perkawinan dalam kehidupan perkawinannya.

(14)

xi

bantuan yang telah diterima penulis dalam bentuk apapun, penulis menyampaikan ucapan terimakasih. Ucapan terimakasih ini khususnya penulis sampaikan kepada: 1. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, S.J., M.Ed. selaku Kaprodi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan kemudahan dan dukungan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

2. Dr. C.B. Kusmaryanto, S.C.J. selaku dosen pembimbing skripsi yang sungguh sabar, selalu memberikan semangat serta memberikan sumbangan pemikiran yang sangat berguna bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi.

3. Drs. Sumarno Ds., S.J., M.A. selaku dosen pembimbing akademik dan dosen penguji kedua yang telah dengan senang hati memberikan banyak masukan yang membangun dan sangat bermanfaat.

4. P. Banyu Dewa H.S., S.Ag., M.Si. selaku dosen penguji yang ketiga yang berkenan memberikan motivasi dalam penulisan skripsi.

5. Segenap staf dosen dan karyawan prodi IPPAK yang telah memberikan semangat kepada penulis sehingga penulisan skripsi dapat berjalan lancar. 6. Ibuku tercinta yang dengan sabar menemaniku, mendoakanku, memberikan

semangat dan menjadi tempat mencurahkan segala suka maupun dukaku. 7. Romo Herman Yoseph Singgih Sutoro, Pr selaku Romo Paroki Hati Kudus

(15)
(16)

xiii

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAM PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penulisan ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 8

1. Manfaat Teoritis ... 8

2. Manfaat Prakris ... 9

E. Metode Penulisan ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II. JANJI PERKAWINAN PASUTRI ... 13

A. Perkawinan ... 13

1. Perkawinan Secara Umum ... 13

2. Perkawinan Katolik ... 14

3. Tujuan Perkawinan ... 16

4. Ciri-ciri Hakiki Perkawinan... 18

(17)

xiv

a. Perkawinan sakramen ... 22

b. Perkawinan non sakramen ... 23

B. Janji Perkawinan ... 24

1. Rumusan Janji Perkawinan ... 24

2. Makna Janji Perkawinan ... 27

a. Setia dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihan ... 27

b. Selalu mencintai dan menghormati sepanjang Hidup ... 30

c. Bersedia menjadi Bapak/Ibu yang baik serta mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan secara Katolik ... 32

C. Perwujudan Janji Perkawinan ... 33

1. Arti Perwujudan Janji Perkawinan ... 34

2. Arah Perwujudan Janji Perkawinan ... 35

a. Menyadari, menghayati serta menghidupi peran sebagai seorang suami ataupun istri ... 35

b. Membangun komunikasi yang baik antara suami-istri ... 39

c. Menjadi anugerah bagi pasangan ... 40

3. Tujuan Perwujudan Janji Perkawinan ... 43

4. Pentingnya Usaha Perwujudan Janji Perkawinan ... 45

a. Faktor intern ... 45

b. Faktor ekstern ... 46

5. Manfaat Perwujudan Janji Perkawinan ... 47

D. Keutuhan Keluarga ... 48

1. Pengertian Utuh ... 48

2. Pengertian Keutuhan Keluarga ... 49

BAB III. PASANGAN SUAMI ISTRI DENGAN USIA PERKAWINAN 5-15 TAHUN DIPAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN ... 50

(18)

xv

2. Letak Geografis Paroki ... 57

3. Situasi Umum Umat Paroki ... 58

a. Situasi sosial ... 58

b. Situasi relasional ... 58

c. Situasi ekonomi ... 59

4. Pembagian Wilayah dan Lingkungan ... 60

5. Gambaran Umum mengenai keluarga dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun ... 62

B. Metodologi Penelitian ... 63

1. Penelitian ... 63

2. Latar Belakang Penelitian ... 64

3. Tujuan Penelitian ... 64

4. Jenis Penelitian ... 65

5. Metode Penelitian ... 65

6. Instrumen Penelitian ... 66

7. Responden Penelitian... 67

8. Tempat dan Waktu Penelitian ... 68

9. Variabel ... 68

C. Hasil Penelitian ... 69

1. Janji Perkawinan ... 70

2. Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 75

3. Keutuhan Perkawinan ... 79

D. Kesimpulan Hasil Penelitian... 81

1. Perwujudan Janji Perkawinan ... 80

2. Pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 85

3. Keutuhan Perkawinan ... 88

(19)

xvi

a. Kebebasan Memilih Pasangan dan Rasa Cinta

terhadap Pasangan ... 90

b. Kesetiaan dalam Untung dan, Suka dan Duka, Sehat Maupun Sakit ... 92

c. Kesatuan antara Suami-istri ... 94

d. Perwujudan Cinta dan Menghormati Pasangan ... 95

e. Menjadi Orangtua yang Baik ... 97

2. Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 tahun di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 99

a. Kebiasaan Pasutri di rumah ... 99

b. Kebiasaan Pasutri di Lingkungan ... 102

c. Kebiasaan Pasutri di Paroki ... 102

F. Keutuhan Perkawinan ... 103

1. Hubungan antar Keluarga ... 103

2. Perhatian untuk Mengutamakan Keluarga... 104

BAB. IV USULAN PROGRAM PENDAMPINGAN KELUARGA KATOLIK PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN ... 106

A. Latar Belakang Penyusunan Program ... 106

B. Katekese ... 107

C. Usulan Program ... 108

D. Rumusan Tema dan Tujuan ... 110

E. Penjabaran Program ... 111

F. Contoh Pelaksanaan Program Pendampingan Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki HKTY Ganjuran Bantul ... 114

1. Identitas... 114

2. Pemikiran dasar ... 115

3. Pengembangan langkah-langkah ... 116

BAB. V PENUTUP ... 128

A. Kesimpulan ... 128

(20)

xvii

2. Bagi para Pendamping Keluarga di Paroki Hati Kudus

Tuhan Yesus Ganjuran ... 131

a. Keterlibatan secara umum ... 132

b. Keterlibatan secara khusus ... 132

3. Bagi Romo Paroki... 133

a. Keterlibatan secara umum ... 133

b. Keterlibatan secara khusus ... 133

4. Bagi Para Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun .. 134

DAFTAR PUSTAKA ... 135

LAMPIRAN ... 137

Lampiran 1: Surat Permohonan Ijin Penelitian pada Romo Paroki ... (1)

Lampiran 2: Surat Permohonan Ijin Penelitian pada Ketua Lingkungan ... (2)

Lampiran 3: Surat Bukti Melaksanakan Penelitian ... (3)

Lampiran 4: Pedoman Wawancara dengan Ketua Dewan Paroki ... (4)

Lampiran 5: Rangkuman Hasil Wawancara dengan Ketua Dewan Paroki ... (5)

Lampiran 6: Contoh Kuesioner untuk Penelitian ... (7)

Lampiran 7: Contoh Hasil Kuesioner ... (10)

Lampiran 8: Kumpulan Lagu... (13)

(21)

xviii

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia dan Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal. 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes

Paulus II kepada uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979.

FC : Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik Paus Yohanes

Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman seluruh Gereja Katolik tentang peranan Keluarga Kristen dalam dunia modern, 22 November 1981.

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II

tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, 7 Desember 1965.

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan

oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 7 Desember 1983.

(22)

xix

Youcat : Youcat Indonesia-Katekismus Populer, disahkan oleh Paus

Benedictus XVI, tahun 2010. Dokumen asli diteritkan tahun 2010, R.D. Yohanes Dwi Harsanto, dkk. (Penerjemah).

C. Singkatan Lain

Art : Artikel

CB : Carolus Boromeus

CU : Credit Union

Dll : Dan lain-lain

DPA : Dosen Pembimbing Akademik

Dr : Doktor

Hal : Halaman

HKTY : Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran

Ir : Insinyur

Kan : Kanon

KAS : Keuskupan Agung Semarang

KB : Keluarga Berencana

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia

KK : Kepala Keluarga

Km : Kilo meter

(23)

xx Pasutri : Pasangan suami-istri

PHK : Pemutusan Hubungan Kerja

PNS : Pegawai Negri Sipil

POLRI : Kepolisian Republik Indonesia

PPK : Pedoman Pastoral Keluarga

Rm : Romo

SD : Sekolah Dasar

SJ : Serikat Jesus

SMA : Sekolah Menengah Atas

Sr : Suster

St : Santo/Santa

TNI : Tentara Nasional Indonesia

(24)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Perkawinan dapat dilihat secara umum maupun secara khusus, secara umum KWI (2011, 6) mengatakan “Perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, melahirkan anak, membangun hidup kekerabatan yang bahagia dan sejahtera”. Perkawinan juga dapat dilihat secara khusus melalui

(25)

suka dan duka, untung dan malang, sehat maupun sakit serta menerima kekurangan dan kelebihan pasangan; mencintai dan menghormati seumur hidup; menjadi ayah/ibu yang baik untuk anak-anak yang dipercayakan oleh Tuhan dengan mendidik anak secara Katolik.

Janji perkawinan bersifat mengikat seumur hidup sehingga tidak selesai begitu saja ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan mengucapkannya saat saling menerimakan sakramen perkawinan ataupun saat pemberkatan perkawinan. Janji ini terus melekat pada suami-istri sampai selama-lamanya. Karena janji ini terus melekat, maka harus selalu dihidupi dalam penyelenggaraan hidup perkawinan sepasang suami-istri. Untuk menghidupi janji perkawinan inilah yang tidak mudah, karena jika sebuah perkawinan diibaratkan seperti sebuah bahtera pasti akan ada banyak badai dan gelombang yang melandanya. Oleh sebab itulah, maka perkawinan merupakan sebuah komitmen yang sangat penting (Smalley, 2008: 11).

(26)

tangga yang dapat terlihat, antara lain: semua hal dalam rumah tangga dikerjakan secara bersama-sama, hal buruk/sifat buruk yang dimiliki sebisa mungkin tidak ditampakkan, semua masalah dapat diselesaikan dengan cepat, setiap hari bercinta dan bermesraan, berusaha menjadikan pasangan sesuai dengan yang diinginkan, selalu saling memahami kekurangan apapun yang dimiliki pasangan. Berbeda dengan pasutri yang usia perkawinannya berada pada tahun ke-6 hingga ke-25, pada masa ini pasutri biasanya masuk pada fase kekecewaan hingga kebosanan. Pasutri dengan usia perkawinan 6-25 tahun harus benar-benar merefleksikan segala yang dialami dan selalu berpedoman pada janji perkawinan yang mereka ucapkan karena ketika tidak bisa bersikap bijaksana sebagai seorang suami maupun istri, bahtera rumah tangga yang telah dibangun bisa hancur menabrak karang dan karam. Sedangkan pasutri yang berada pada usia perkawinan di atas 25 tahun biasanya sudah masuk dalam masa berhasil mengatasi situasi yang kurang baik (KWI, 2011: 77-78).

(27)

rela hati merupakan salah satu upaya terhindar dari konflik (Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” KAS, 2007: 75).

Janji perkawinan diibaratkan seperti kerangka dalam menulis sebuah karangan dan kerangka dalam membangun sebuah bangunan. Ketika seorang penulis menulis di luar kerangka yang telah dibuat, maka tulisan tersebut tidak akan menjadi indah. Sama halnya seorang tukang bangunan yang hendak membangun sebuah rumah, ketika ia membangun rumah itu di luar kerangkanya, maka rumah itu tidak akan kokoh. Dalam sebuah perkawinan, janji adalah kerangka yang menjadi gambaran dalam menjalani sebuah perkawinan. Perubahan zaman yang sangat cepat mengakibatkan pola hidup juga berubah. Di zaman yang serba modern dan cepat ini mengakibatkan gaya hidup instan menjadi gaya hidup yang “ngetren” dan banyak dianut oleh masyarakat modern. Zaman yang semakin

canggih ini membawa berbagai macam tantangan zaman dan mempengaruhi tingkah laku banyak orang termasuk di dalamnya pasutri yang membina biduk perkawinan. Hal ini selaras dengan yang ada dalam FC, art.4 yang berbunyi:

Perlu ditambahkan refleksi lebih lanjut yang secara khas penting bagi masa kini. Tidak jarang berbagai ide dan pemecahan soal yang menarik sekali, tetapi dengan kadar yang berbeda-beda mengeruhkan kebenaran tentang pribadi manusia serta martabatnya, disajikan kepada pria maupun wanita zaman sekarang, sementara mereka secara tulus dan mendalam mencari jawaban soal-soal harian yang penting berkenaan dengan hidup pernikahan dan keluarga mereka. Kerap kali pandangan-pandangan itu didukung oleh koordinasi media komunikasi sosial yang besar dampak-pengaruhnya dan cukup “meyakinkan”, tetapi secara halus membahayakan kebebasan dan kemampuan menilai secara obyektif.

(28)

kelihatannya benar. Ketika seseorang tidak dapat mengendalikan diri dan hanyut dalam tantangan-tantangan zaman tersebut maka akan menyebabkan kehidupan seseorang tidak akan mendalam lagi dan akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya, termasuk kehidupan perkawinannya.

(29)

bahwa “Semua orang beriman Kristiani sesuai dengan kedudukan khasnya, harus mengerahkan tenaganya untuk menjalani hidup yang kudus dan memajukan perkembangan Gereja serta pengudusannya yang berkesinambungan”. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa setiap orang beriman Kristiani pada dasarnya memiliki tanggung jawab yang tidak mudah untuk selalu menjalani hidup yang kudus dan memajukan perkembangan Gereja serta pengudusannya. Ini berarti kekhasan kedudukan setiap orang beriman Kristiani apapun itu harus dihidupi dan dibawa serta diarahkan untuk perkembangan Gereja. Kekhasan kedudukan setiap umat beriman Kristiani ini menyangkut segala profesi yang dijalani termasuk sebagai seorang katekis maupun calon seorang katekis. Sebagai calon seorang katekis berarti harus mampu menghayati dan menghidupi panggilannya. Cara untuk menghidupi panggilan ini bermacam-macam salah satunya dengan terlibat dalam perkembangan Gereja. Hal yang mendesak berdasarkan pengamatan yang dilakukan adalah adanya gejala-gejala perilaku pasutri (5-15 tahun) yang perlu mendapatkan perhatian khusus.

(30)

dilakukan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY yang selama ini sudah terjadi sehingga perhatian pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun bisa segera diwujudkan atau bisa lebih ditingkatkan dan disesuaikan dengan kebutuhan mereka sehingga keutuhan perkawinan akan tercapai. Keutuhan perkawinan inilah yang membawa kebahagiaan dalam hidup berkeluarga. Oleh karena itu penulis mengangkat judul skripsi PERWUJUDAN JANJI

PERKAWINAN PADA PASANGAN SUAMI-ISTRI DENGAN USIA

PERKAWINAN 5-15 TAHUN DEMI MENJAGA KEUTUHAN

PERKAWINAN DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN,

BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam hal ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan janji perkawinan?

2. Bagaimana kehidupan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran?

3. Bagaimana usaha pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran dalam mewujudkan janji perkawinan?

(31)

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini berdasarkan judulnya “Perwujudan Janji Perkawinan pada Pasangan Suami-Istri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun Demi Menjaga Keutuhan Perkawinan di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta” yaitu:

1. Mendalami maksud janji perkawinan

2. Menggambarkan bagaimana kehidupan pasutri dengan usia 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran.

3. Menggambarkan sejauh mana perwujudan janji perkawinan serta mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi pada pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran.

4. Memberikan usulan program yang berupa kegiatan pendampingan pada pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran agar pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun (keluarga madya) semakin mampu mewujudkan janji perkawinan mereka.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoristis

(32)

mengenai penghayatan janji perkawinan pada pasutri, khususnya pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun.

2. Manfaat Praktis

a. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis tentang pentingnya perwujudan janji perkawinan dalam hidup berumah tangga.

b. Membantu pasutri (khususnya pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun) yang berada dalam Paroki HKTY Ganjuran untuk menyadari pentingnya mewujudkan janji perkawinan dalam hidup berumah tangga.

c. Memberikan sumbangan pada Paroki HKTY Ganjuran agar para penggembala umat di sana dapat memiliki gambaran mengenai program yang sesuai untuk pendampingan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun.

E. Metode Penulisan

(33)

yang menjawab kebutuhan pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki HKTY Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan keadaan dan kesibukannya.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai skripsi yang hendak ditulis, maka penulis membagi pokok-pokok tulisan sebagai berikut:

Bab I berisi Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

Bab II menguraikan tentang Janji Perkawinan yang di dalamnya terdiri dari lima bagian yaitu yang pertama adalah Perkawinan, diuraikan lagi menjadi Perkawinan secara Umum, Perkawinan Katolik, Tujuan Perkawinan, Ciri-ciri Hakiki Perkawinan, Hakikat Perkawinan, Perkawinan yang Sakramen dan Non Sakramen. Kedua adalah Janji Perkawinan, diuraikan lagi menjadi Rumusan Janji Perkawinan, Makna Janji Perkawinan. Ketiga adalah Perwujudan Janji Perkawinan, diuraikan lagi menjadi Arti Perwujudan Janji Perkawinan, Arah Perwujudan Janji Perkawinan, Tujuan Perwujudan Janji Perkawinan, Pentingnya Usaha Mewujudkan Janji Perkawinan, Manfaat Mewujudkan Janji Perkawinan. Keempat adalah Keutuhan Keluarga, diuraikan lagi menjadi Keutuhan, Keutuhan Keluarga.

(34)

dari lima bagian, yang pertama adalah Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Yogyakarta, diuraikan lagi menjadi Sejarah Paroki, Letak Geografis Paroki, Situasi Umum Umat Paroki, Pembagian Wilayah dan Lingkungan, Gambaran Umum mengenai Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun. Kedua adalah Hasil Penelitian, diuraikan lagi menjadi Penelitian, Latar Belakang Penelitian, Tujuan Penelitian, Jenis Penelitian, Metode Penelitian, Instrument Penelitian, Responden Penelitian, Tempat dan Waktu Pelaksanaan, Variabel. Ketiga adalah Hasil Penelitian, diuraikan lagi menjadi Janji Perkawinan, Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, dan Keutuhan Perkawinan. Keempat adalah Kesimpulan Hasil Penelitian, diuraikan lagi menjadi Janji Perkawinan, Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, dan Keutuhan Perkawinan. Kelima adalah Refleksi Kritis Perwujudan Janji Perkawinan Pada Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Janji Perkawinan, diuraikan lagi menjadi Perwujudan Janji Perkawinan, Pasutri dengan Usia Perkawinan 5-15 Tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran dan Keutuhan Perkawinan.

(35)

Pendampingan Pasutri dengan usia perkawinan 5-15 tahun di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Bantul Yogyakarta.

(36)

BAB II

JANJI PERKAWINAN PASUTRI

A. Perkawinan

1. Perkawinan secara Umum

Secara umum perkawinan bertujuan menyatukan dua pribadi untuk membentuk sebuah keluarga baru yang bahagia dan juga sejahtera. Hal senada dengan UU NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN yang berbunyi

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini berarti

(37)

2. Perkawinan Katolik

Sejak kapankah perkawinan itu ada di dalam Gereja Katolik? Pertanyaan ini memiliki jawaban yang tidak sederhana karena kita harus melihat kembali kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian Kitab Suci Perjanjian Lama. Dari kisah penciptaan Kej 2:21-22 ditulis:

Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.

(38)

Perkawinan merupakan sebuah kesepakatan, hal ini selaras dengan KHK, kan. 1057 § 2 “Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali”.

Jadi jelaslah bahwa perkawinan merupakan sebuah kesepakatan yang di dalamnya terdapat penyerahan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta sikap terbuka untuk saling menerima kehadiran pasangan seluruhnya tanpa syarat dalam hidup perkawinan dengan perjanjian yang tidak dapat dibatalkan lagi/ditarik lagi. Perjanjian ini tidak dapat ditarik kembali sebab menyangkut 3 pihak yakni seorang laki-laki, seorang perempuan dan Allah sendiri yang menjadi pengikat perjanjian tersebut. Karena alasan ini pula perkawinan Katolik merupakan sebuah proses yang panjang mulai dari masa persiapan, pelaksanaan hingga pasca perkawinan. Hal ini juga senada dengan yang ada dalam GS, art. 48 yang berbunyi:

Allah sendirilah penyelenggara perkawinan yang dilengkapi dengan

berbagai nilai dan tujuan …. Cinta kasih suami istri yang sejati diangkat

sebagai sakramen dalam cinta kasih ilahi dan dipimpin serta diperkaya oleh daya penyelamat Kristus dan karya keselamatan Gereja, agar suami istri diantar kepada Allah untuk mendapatkan kasih karunia dan kekuatan dalam tugas luhur sebagai ayah dan ibu.

(39)

jawaban yang luhur manusia terhadap panggilan Allah. Dari sejak dahulu perkawinan merupakan sebuah hal yang sakral dan harus selalu dihayati dan dihidupi. Banyak perikop di dalam Kitab Suci yang berbicara mengenai perkawinan. Dalam Injil Yoh 15:9-12, ada sebuah pesan inti yang sangat baik yakni “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu”. Kasih sangat dekat dengan hubungan suami-istri dalam perkawinan. Kasih pulalah yang menjadi dasar bagi kehidupan orang Kristiani. Selain Injil Yohanes masih ada banyak perikop lain yang berbicara mengenai perkawinan.

Perkawinan Katolik memiliki kekhasan yang menyebabkannya berbeda dengan perkawinan pada umumnya. Kekhasan ini adalah perkawinan Katolik diteguhkan dalam tata-peneguhan kanonik (forma canonica) dan perkawinan Katolik merupakan sebuah sakramen.

3. Tujuan Perkawinan

Sebuah hal dilakukan pasti memiliki sebuah tujuan tertentu. Misalnya saja sebuah organisasi dibangun dengan merumuskan tujuan organisasi yang hendak dicapainya dan yang menjadi alasan mengapa organisasi tersebut ada. Hal ini tidak berbeda dengan sebuah perkawinan. Perkawinan diselenggarakan karena ada tujuan tertentu yang hendak dicapai. KHK, kan. 1055 mengatakan bahwa:

(40)
(41)

akan dibagikannya pada setiap pergaulannya. Hal tersebut juga berlaku untuk sikap-sikap negatif yang mungkin dibentuk oleh keluarga pada seorang anak.

4. Ciri-ciri Hakiki Perkawinan

(42)

Hubungan suami-istri juga harus berpolakan sama seperti hubungan Kristus dengan Gereja-Nya. Hal ini senada dengan perikop Kitab Suci dalam Ef 5:22-23 yang berbunyi:

Hai isteri, tunduklahkepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya..

Suami diibaratkan seperti Kristus yang harus terus menerus mengasihi jemaat. Istri diibaratkan sebagai jemaat yang harus menghormati suaminya seperti jemaat yang harus menghormati Kristus yang terlebih dahulu mencintainya. Hubungan Kristus dengan jemaat yakni hubungan yang didasarkan pada cinta kasih yang terus menerus tanpa terputus hingga maut memisahkan sehingga dalam perkawinan Katolik tidak mengenal kata cerai. Perkawinan merupakan salah satu panggilan luhur terhadap tugas menjaga kelangsungan hidup. Suami-istri dipanggil oleh Allah untuk saling bekerjasama menciptakan kehidupan baru yang membawa harapan bagi kelangsungan dunia. Alasan ini pulalah yang menyebabkan Gereja Katolik dengan keras menolak aborsi, sebab kehidupan baru mestinya dipelihara. Ciri-ciri perkawinan ini menunjuk pada semua jenis perkawinan sakramen ataupun bukan sakramen.

5. Hakikat Perkawinan

(43)

kebahagiaan serta kesejahteraan bersama. I Ketut Adi Hardana dalam Persiapan Kursus Perkawinan (2010: 10) menuliskan beberapa inti/hakikat dalam perkawinan, yaitu:

 Perkawinan adalah sebuah perjanjian. Istilah perjanjian atau kesepakatan mau membarui istilah hukum: “kontrak”. Kata “Perjanjian” dipilih karena lebih bernuansa rohani yang mengingatkan akan perjanjian antara Allah dan manusia yang bernuansa cinta kasih.

 Bentuk perkawinan: perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup antara pria dan wanita. Persekutuan seluruh hidup ini menyangkut: kesatuan hati dan perasaan walaupun mereka adalah dua pribadi yang berbeda; tempat tinggal, artinya tinggal di rumah yang sama; kesatuan ekonomi atau keuangan, artinya penghasilan dan pendapatan antara suami-istri disatukan dan dikelola secara bersama demi kesejahteraan seluruh keluarga; kesatuan badan yang diungkapkan dalam hubungan seks antara suami-istri.

 Subyek yang mengadakan perkawinan itu adalah seorang pria dan seorang wanita yang sungguh-sungguh; artinya pria dan wanita yang normal, baik secara fisik maupun psikis. Karena itu, Gereja Katolik menolak mengakui keabsahan perkawinan antara dua orang yang sesama jenis atau antara orang yang melakukan pergantian kelamin.

 Dasar dari sebuah perkawinan adalah cinta kasih yang tampak dalam persetujuan bebas dari kedua calon mempelai. Secara yuridis, persetujuan bebas itu menjadi prasyarat dari sebuah perjanjian perkawinan yang sah.

 Tujuan dari sebuah perkawinan: kebahagiaan bersama suami-istri dan keluarga dalam seluruh aspek hidupnya serta kelahiran dan pendidikan anak.

 Dalam Gereja Katolik, hakikat perkawinan dipahami secara lebih mendalam sebagai Sakramen yaitu ikatan cinta mesra dalam hidup bersama antara suami dan istri yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dilindungi dengan hukum-hukum-Nya yang menampakkan cinta kasih Allah kepada umat-Nya (GS, 48).

(44)

Lama maupun Perjanjian Baru sehingga kita dapat dengan baik mengistilahkan kata janji tersebut dalam perkawinan terlebih janji dalam perkawinan tidak jauh berbeda dengan istilah janji dalam Alkitab yang melibatkan Allah sebagai pengikat janji. Perkawinan merupakan sebuah bentuk persekutuan seluruh hidup dan seumur hidup. Dalam perkawinan segala sisi yang ada pada seorang laki-laki maupun seorang perempuan tidak terkecuali melebur menjadi satu dan membentuk persekutuan hidup bersama yang hanya dapat dipisahkan oleh Allah dengan adanya maut. Gereja Katolik tidak mendiskriminasi pribadi yang memiliki kelainan seksual seperti homoseksual melainkan justru menerima dan memberikannya tempat. Sikap mau menerima pribadi yang memiliki kelainan homoseksual bukan berarti setuju serta menerima perkawinan sesama jenis ataupun perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang laki-laki dan perempuan namun salah satunya sudah melakukan operasi pergantian kelamin. Gereja Katolik menolak karena sudah melanggar keluhuran ciptaan Tuhan dan kodrat sebagai seorang laki-laki maupun seorang perempuan. Ada berbagai ketentuan yang mengawali sebuah perkawinan, salah satu yang mutlak adanya unsur kebebasan yang dimiliki masing-masing pribadi sebelum melangsungkan perkawinan. Keterpaksaan menjadikan perkawinan yang dilangsungkan secara Katolik menjadi tidak sah (Rubiyatmoko, 2011: 80).

(45)

Sakramen jika dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang telah dibabtis secara Katolik atau dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang salah satunya dibabtis secara Katolik dengan orang yang pembabtisannya diterima secara Katolik atau dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang pembabtisannya diterima secara Katolik, sehingga dalam perkawinan Katolik ada 2 (dua) jenis perkawinan, yakni perkawinan yang sakramen dan yang non sakramen (KWI, 2011: 8-10).

6. Perkawinan yang Sakramen dan Non Sakramen

Perkawinan dalam Gereja Katolik dibedakan menjadi dua, yakni perkawinan yang sakramen dan yang bukan sakramen (non sakramen).

a. Perkawinan sakramen

(46)

lainnya. Sakramen Perkawinan bukan diterima dari Imam atau dari pelayan Gereja serta siapapun itu, namun Sakramen Perkawinan saling diterimakan oleh pasangan melalui janji perkawinan yang mereka ucapkan. Janji perkawinan juga merupakan janji yang diucapkan kepada Allah dan juga Injil Suci.

b. Perkawinana non sakramen

(47)

B. Janji perkawinan

1. Rumusan Janji Perkawinan

Janji perkawinan memiliki rumusan yang di dalamnya memperlihatkan kesediaan untuk menjadi satu bukan hanya satu daging namun satu roh hal ini selaras dengan rumusan yang direkomendasikan oleh Komisi Liturgi Keuskupan Se-Regio Jawa Plus Tanjungkarang (2009: 17) yang berbunyi:

MP: Di hadapan imam, para saksi dan seluruh umat yang hadir di sini,

saya … MP memilih engkau … MW menjadi istri saya.

Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormatimu sepanjang hidup saya.

MW: Di hadapan imam, para saksi dan seluruh umat yang hadir di sini

saya, … MW memilih engkau MP menjadi suami saya.

Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormatimu sepanjang hidup saya.

(48)

merumuskan akar kata dalam janji perkawinan dengan membandingkannya dengan Kitab Hos 2:18-19 dalam sebuah tabel:

Janji Perkawinan (sekarang)

Janji Allah-Israel (Hosea 2:18-19) di hadapan imam, para

saksi dan saudara-saudari yang hadir,

Aku akan mengikat perjanjian

bagimu… Aku akan menjadikan

saya (nama) menyatakan dengan tulus ikhlas bahwa engkau (nama) mulai sekarang menjadi suami/istri saya

engkau isteriKu untuk selama-lamanya

Saya berjanji akan setia kepadamu baik dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat maupun sakit

dan Aku akan menjadikan engkau IsteriKu dalam keadilan dan kebenaran, dalam kasih setia dan kasih sayang.

Aku akan menjadikan engkau istri-Ku dalam kesetiaan

Saya berjanji akan menjadi ayah/ibu yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya, dan saya akan mendidiknya menjadi orang katolik yang setia

Sehingga engkau akan mengenal TUHAN

Dari tabel tersebut dapat kita ketahui bahwa rumusan kata dalam janji perkawinan berakar dari Kitab Hos 2:18-19. Janji tersebut merupakan janji yang diucapkan oleh Allah sendiri untuk orang Israel. Hal tersebut berarti bahwa tidaklah mengada-ada bila perkawinan disebut sebagai sebuah sakramen karena berasal dari Allah sehingga janji perkawinan memuat kesakralan yang mengikat seumur hidup sebab Allah adalah Allah yang setia terhadap janji-Nya. Ketika janji perkawinan sudah diucapkan maka membawa dampak kesetiaan pula dalam pemenuhannya. Dari kitab Hosea ini, terlebih ketika dilihat dalam ayat sebelumnya yakni Hos 2:17, nampak Allah memang telah mengikat perjanjian kepada Israel dan menjadikannya istri-Nya. Allah telah menjanjikan

(49)

macam hal untuk mensejahterakan istri-Nya dan untuk melindungi serta membahagiakan istri-Nya. Perjanjian yang dilakukan oleh Allah ini juga memiliki saksi yakni bintang-bintang di padang, burung-burung di udara serta binatang-binatang melata di bumi. Dalam ikatan perjanjian ini juga ada sebuah komunikasi yang baik yang diibaratkan Allah dengan Aku akan mendengarkan langit dan langit akan mendengarkan bumi. Rumusan perjanjian dalam Kitab Suci Perjanjian Lama juga akan banyak ditemukan dalam Kitab-Kitab lain, misalnya dalam Yeh 16:60,62; Yes 54:6-8; dan lain-lain.

(50)

2. Makna Janji Perkawinan

Kesatuan antara perkawinan bukan hanya soal “kontrak” atau janji saja (Iman Katolik, 1996: 436). Perkawinan melebihi makna kata kontrak ataupun janji namun dalam Gereja Katolik sekarang menggunakan istilah janji yang lebih mendalam tafsirannya daripada kontrak.

a. Setia dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihan

(51)

dekatnya dengan turut berbela rasa, waktu, tenaga serta pikiran. Hal ini juga berlaku dalam keadaan sehat maupun sakit serta berlaku dalam setia terhadap kelebihan maupun kekurangan. Kelebihan seseorang yang kita cintai secara khusus akan terasa lebih luar biasa dari pada kelebihan seseorang yang tidak kita cintai secara khusus. Begitu pula dengan kekurangan orang yang kita cintai secara khusus akan tampak jauh lebih sederhana daripada seseorang yang tidak kita cintai secara khusus. Pandangan inilah yang harus selalu dipertahankan.

(52)

Surat Paulus kepada Jemaat di Korintus dalam 1 Kor 7:14 dikatakan bahwa seorang suami yang tidak beriman akan dikuduskan istrinya yang beriman dan seorang istri yang tidak beriman akan dikuduskan suami yang beriman. Suami-istri harus mau menjadi sakramen bagi yang lainnya melalui seluruh hidup perkawinannya sehingga seluruh kehidupannya bisa berkenan bagi Allah.

Setia berarti tidak hanya setia terhadap pasangan saja, hal inilah yang sering dilupakan oleh banyak pasangan. Setia itu berarti setia pula terhadap Pribadi yang telah memeteraikan cinta antara sepasang pria dan wanita sehingga menjadi satu tubuh dalam ikatan perkawinan. Janji memberikan harapan dan rasa aman, terlebih janji yang diikat pada Pribadi yang menjadi sumber cinta kasih. Hal ini selaras dengan Smalley (2008: 28) yang mengatakan “Berjanji kepada Allah akan memberikan rasa aman bagi pasangan Anda. Hal itu memberikan rasa aman bagi pasangan Anda. Hal itu memberikan landasan yang mantap pada pernikahan Anda dengan menyediakan sumber otoritas tertinggi, di mana Anda

berdua hidup di bawah naungannya”. Janji merupakan sebuah pemberian harapan

(53)

b. Selalu mencintai dan menghormati sepanjang hidup

Mencintai dan menghormati mudah dilakukan bila sesekali, lalu bagaimana jika harus selalu dilakukan? Apakah akan menjadi mudah? Pertanyaan ini memang sederhana namun ketika kita dihadapkan pada pertanyaan seperti ini kita akan memilih untuk berhenti sejenak dan berfikir. Berfikir untuk sebuah cinta itu kurang tepat karena cinta sesungguhnya lebih melibatkan rasa. Cinta itu tidak pernah memperhitungkan untung dan rugi, cinta itu akan merasakan rugi sebagai sebuah keuntungan. Hal ini terjadi bukan karena tidak realistis namun memang cinta itu sabar dan murah hati. Di dalam cinta terdapat kasih yang luar biasa besar. Kasih itu memiliki banyak alasan untuk membuat orang yang dikasihi bahagia. Hal ini selaras dengan perikop dalam 1 Kor 13:1-8 yang berbunyi:

Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku. Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.

(54)

sendiri dan memberikan segala cinta kasih yang dimiliki untuk orang lain dan khususnya dalam konteks ini untuk pasangan. Di saat kita belum memberikan seluruh cinta dan belum membagikan seluruh kasih yang kita miliki sampai sehabis-habisnya hingga merasa terluka maka belum bisa disebut cinta, hanya seperti gong yang berkumandang dan canang yang bergemerincing. Itu berarti cinta bisa disebut sebagai pemberian.

Kasih yang paling sempurna adalah kasih seseorang yang bersedia menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya (Yoh 15:13). Cinta kasih itu luhur dan tinggi, mencintai kelebihan seorang itu sangat mudah namun mencintai segala kekurangan seorang itu yang sulit dan bahkan ketika kita bertahan untuk mencintai seseorang yang akan kita rasakan adalah luka dalam hati. Hal ini sama seperti ketika kita memberikan jawaban “ya” untuk kebahagiaan yang hendak kita

dapatkan namun ketika kita harus berkorban bahkan hingga nyawa kita harus

dikorbankan bagi orang lain, apakah jawaban “ya” akan mudah keluar dari bibir

(55)

menghargai orang lain sebagai pribadi yang sangat penting dan bernilai”. Menghormati seluruh jiwa dan raga pasangan seumur hidup, itulah yang harus dilakukan dalam sebuah ikatan perkawinan karena ketika cinta kepada pasangan dan hormat kepada pasangan itu tidak diwujudkan maka artinya menodai janji perkawinan yang diucapkan di hadapan Allah. Mencintai serta menghormati itu artinya bisa menjadi anugerah bagi pasangannya.

c. Bersedia menjadi Bapak/Ibu yang baik serta mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan secara Katolik

Menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak yang dipercayakan Tuhan pada kita berarti mau menghormati anak dan mendidiknya secara Katolik dan bukan sekedar menyekolahkan anak yang dipercayakan Tuhan di sekolak Katolik saja. Hal ini selaras dengan Ef 6:4 “Dan kamu bapa-bapa, jangan bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan

nasihat Tuhan”. Dari ketiga janji perkawinan yang ada, janji yang terakhir ini

yang banyak dilanggar. Yohanes Paulus II dalam buku Keluarga Kristiani dalam Dunia Modern (1994: 25) mengatakan:

(56)

Kutipan tersebut jelas bahwa yang bertugas mencari nafkah dalam kehidupan berkeluarga adalah ayah atau suami. Selain bertugas mencari nafkah, suami juga bertugas mendidik anaknya bersama dengan istrinya dan membawa anak dan istrinya ke dalam pengalaman hidup Kristiani. Kenyataan istri yang juga bekerja dan terkadang penghasilannya melebihi suami itu tidak salah, namun jangan pernah melupakan kewajiban utama sebagai seorang istri yakni sebagai patner suami dalam mendidik anak. Dalam kehidupan dunia dewasa ini dapat kita saksikan pelanggaran terhadap tugas utama dan terutama sebagai orang tua. Orang tua masa kini cenderung sibuk dengan urusan pekerjaan dan dunia mereka sendiri sehingga mempercayakan pengasuhan anak pada pembantu maupun baby sister. Jika anak diasuh oleh pembantu maupun baby sister maka pendidikan iman anak akan sangat dikesampingkan. Pendidikan iman anak akan lebih parah lagi ketika sang pembantu maupun baby sister bukan seorang Katolik karena kecenderungan anak akan meniru kebiasaan orang yang ada di dekatnya. Tugas mendidik anak yang paling utama merupakan tugas orang tua (Ul 6:7). Orang tua harus bisa mengarahkan, menuntun serta memberikan pengertian dan pemahaman yang benar tentang kaidah-kaidah iman Kristiani (Hello, 2004: 19).

(57)

C. Perwujudan Janji Perkawinan

1. Arti Perwujudan Janji Perkawinan

Mewujudkan itu artinya menjadikan sesuatu yang belum ada ataupun belum terjadi menjadi ada ataupun terjadi. Janji perkawinan dalam sebuah upacara penerimaan Sakramen Perkawinan atau pemberkatan perkawinan berbentuk pengucapan janji minimal di depan seorang pejabat gereja dan dua orang saksi (KHK, kan.1108). Janji perkawinan yang telah diucapkan saat penerimaan Sakramen Perkawinan/pemberkatan perkawinan belum memiliki bentuk ketika belum diwujudnyatakan dalam seluruh hidup perkawinan.

Usaha untuk mewujudkan janji perkawinan berarti usaha yang mencakup seluruh proses yang panjang mulai dari pengucapan hingga kematian memisahkan suami-istri. Hal ini selaras dengan yang dikatakan oleh Burtchaell (1990: 32) “Perkawinan Kristen merupakan bentuk pelayanan serta janji yang menuntut

banyak dari manusia untuk melayani: dalam untung dan malang, seumur hidup!” Sepanjang waktu itulah janji perkawinan harus diwujudkan dengan bertolok ukur dari visi bersama yang telah dibentuk menjadi misi yang siap dikerjakan dan dituntaskan bersama sehingga seluruh kehidupan perkawinan semakin membawa bahtera perkawinan lebih dekat dengan pelabuhan yang selama ini hendak dituju.

(58)

tiba-tiba berubah halauan memiliki tujuan yang lain. Suami-istri dengan menghidupi janji tersebut maka akan menuju pada usaha menyenangkan pasangan dan membahagiakannya (1 Kor 7:33-34).

Usaha perwujudan janji perkawinan ini ditandai dengan kesetiaan yang terus menerus diusahakan, selalu menghormati pasangan, menerima pasangan apa adanya dan mau senantiasa memaafkan kesalahan pasangan. Usaha perwujudan ini juga harus lebih luas diwujudkan dalam menyayangi anak, mendidik anak, menghormati hak pasangan serta anak, menghormati dan menyayangi keluarga besar pasangan dan lain sebagainya. Artinya, perwujudan janji perkawinan selain menyangkut dua pribadi, perwujudannya juga menyangkut relasi yang lebih luas lagi yakni yang berhubungan dengan anak, keluarga, Tuhan dan masyarakat juga (Purwo Hadiwardoyo, 2007: 9-13).

2. Arah Perwujudan Janji Perkawinan

Janji perkawinan harus diwujudkan. Dalam mewujudkan janji perkawinan, pasutri harus memiliki arah yang jelas dan juga konkret demi mencapai tujuan perkawinan. Beberapa hal yang harus diusahakan dalam menentukan arah perwujudan janji perkawinan yakni:

a. Menyadari, menghayati serta menghidupi peran sebagai seorang suami ataupun seorang istri

(59)

menghormati pasangan serta akan mendidik anak-anak yang dipercayakan Tuhan padanya. Dalam Kitab Kej 2:23 seorang pria dan wanita akan meninggalkan ayah-ibunya dan keduanya menjadi satu daging semenjak menikah. Dari kedua hal ini jelaslah bahwa ada cita-cita yang tersirat. Cita-cita yang tersirat dalam dua hal tersebut dapat diwujudkan oleh suami-istri dengan menyadari perannya sebagai suami ataupun istri, kemudian menghayati perannya sebagai suami ataupun istri, dan yang terakhir harus menghidupi peranannya sebagai suami ataupun sebagai istri serta sebagai sahabat juga sebagai kekasih (Didik Bagiyowinadi 2006: 31). Antara suami-istri memang memiliki kedudukan yang sama namun peran mereka masing-masinglah yang berbeda dan khas. Kekhasan inilah yanng menjadikan suami-istri memiliki perbedaan satu dengan lainnya. Perbedaan inilah yang bisa menjadi celah untuk saling melengkapi. Hal ini perlu disadari dengan sepenuh hati, namun jangan sampai hal ini hanya berhenti pada kesadaran saja. Kesadaran ini juga harus bisa disertai dengan penghayatan. Kesadaran dan penghayatan ini belum konkrit jika belum dihidupi lewat perwujudan peran sebagai seorang suami maupun sebagai seorang istri dalam kehidupan berumahtangga. Cara menghidupi peran sebagai suami/istri ini didasarkan pada kekahsannya.

Suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hubungannya dengan hal-hal yang menyangkut persekutuan perkawinan. Hal ini selaras dengan KHK, kan. 1135 yang berbunyi “Kedua suami-istri memiliki kewajiban dan hak sama mengenai hal-hal yang menyangkut persekutuan hidup

perkawinan”. Kanon tersebut jelas menunjukkan tidak ada yang lebih tinggi

(60)

peran antara suami istri menjadi berbeda. Laki-laki diciptakan dengan keperkasaannya dan memang dirancang oleh Tuhan untuk bekerja dan menghidupi keluarganya. Hal serupa juga ada pada perempuan, perempuan diciptakan Tuhan dengan unsur keibuannya dan perempuan diciptakan lengkap dengan kandungan dan air susu yang artinya Tuhan menciptakan perempuan sebagai seorang ibu dari kehidupan baru. Tugas dan peran kodrati ini memang khas namun tidak berarti seorang laki-laki ataupun seorang perempuan harus menanggung tugas ini seorang diri. Dalam Kitab Kej 2:18, Tuhan menciptakan Hawa sebagai penolong yang sepadan untuk Adam yang berarti seorang laki-laki dan seorang perempuan memang dipersatukan untuk saling menolong atas landasan cinta kasih yang ada di antara keduanya dengan peran yang berbeda antara satu dan lainnya.

Menyadari, menghayati serta menghidupi peran sebagai suami ataupun sebagai istri tidak hanya berhenti pada hal kodrati yang ada namun masih banyak lagi yang perlu disadari, dihayati serta dihidupi. Selain sebagai seorang suami ataupun sebagai seorang istri, masing-masing suami ataupun istri juga berperan sebagai sahabat bagi pasangannya. Sebagai sahabat artinya bersedia menjadi tempat bercerita, tempat sharing, tempat „curhat‟ segala persoalan, perasaan

(61)

Mengapa kemauan untuk mendengarkan sudah cukup? Hal ini disebabkan karena dengan mendengarkan maka seseorang yang kita dengarkan akan merasa dihargai dan tidak sendirian.

Menjadi sahabat terkadang harus keluar sejenak dari fungsinya sebagai seorang suami ataupun istri sebab seorang suami ataupun istri terkadang mendengarkan dengan latar belakang rasa memiliki sehingga kemungkinan kesalahan suami-istri yang disampaikan belum tentu dapat serta merta diterima. Hal ini berbeda ketika suami atau istri memposisikan diri sebagai seorang sahabat, seorang sahabat yang baik akan selalu mendengarkan sahabatnya dan membantunya dalam mencari jalan keluar terbaik (Didik Bagiyowinadi, 2006: 34-36).

(62)

sebagai ratu di hatinya yang artinya selalu mengistimewakan pasangannya. Hal ini yang sering tidak ditemui dalam hubungan suami-istri. Hubungan kekasih layaknya sedang berpacaran harus dihidupi dalam kehidupan suami-istri terlebih dalam hal selalu mengistimewakan pasangan (Didik Bagiyowinadi, 2006: 36-38).

b. Membangun komunikasi yang baik antara suami-istri

(63)

Komunikasi yang ideal dibutuhkan pemahaman karakter yang baik dari masing-masing pihak terhadap lawan bicaranya. Ketika suami yang selalu berfikir secara realistis dan suka diam mencari solusi selalu menerapkan caranya untuk berbicara pada perempuan yang selalu menggunaan perasaan serta selalu memberikan masukan untuk didengarkan maka komunikasi tersebut akan menjadi tidak „nyambung‟. Hal yang sama juga akan terjadi bila wanita menerapkan sikap dasarnya dalam berkomunikasi tanpa melihat karakter laki-laki yang sedang dia ajak bicara. Kekayaan karakter yang dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan harusnya memperkaya satu sama lainnya bukan malah mengahambat komunikasi di antara keduanya (I Ketut Adi Hardana, 2010: 46-47).

Komunikasi harus dibangun di atas asas demokrasi dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Komunikasi perlu dilakukan setiap saat, bahkan dalam hal sekecil apapun perlu dikomunikasikan untuk menghidupi janji perkawinan yang sedang dibangun.

c. Menjadi anugerah bagi pasangan

(64)

yang sama yakni cinta yang berarti adalah pemberian hadiah kepada seseorang. Hadiah ini sama artinya juga adalah sebuah anugerah.

Cinta itu kasih dan kasih diwujudkan dalam tindakan pemberian diri yang ikhlas yang tidak menuntut balasan. Cinta itu hanya perkara memberi dan memberi. Refleksi Bunda Teresa Kalkuta seperti dikutip oleh Agung Prihartana dalam buku yang berjudul Menjadi Anugerah Bagi Pasangan (2009: 58) yakni:

Cinta itu menyakitkan. Aku harus rela memberikan apapun

bukan untuk merugikan orang lain tetapi untuk melakukan kebaikan bagi mereka.

hal itu menuntutku untuk terus memberi tanpa mengharap balasan sampai terasa menyakitkan,

Kalau tidak, tidak ada cinta sejati dalam diriku…

Cinta yang dilukiskan oleh Ibu Teresa Kalkuta ini adalah cinta yang sejati, cinta yang total yakni kesedian dengan ikhlas hati memberikan diri dengan sehabis-habisnya untuk orang yang dicintai. Mencintai seseorang dengan memberikan dirinya tidak selalu menyenangkan, namun justru yang sering kita rasakan adalah perasaan terluka terlebih dalam situasi setia dalam duka, sakit dan di waktu malang. Cinta yang diberikan dengan setotal-totalnya akan melukai hati dan akan membutuhkan banyak kebesaran hati.

(65)

suami, menunjukkan rasa cintanya serta bisa membuat suaminya istimewa karena diperhatikan. Hal ini juga berlaku untuk suami. Suami yang baik tidak hanya cukup memberikan nafkah kepada istrinya, suami yang baik harus bersedia mendengarkan istrinya, menyediakan waktu utuk berkumpul bersama istri dan anak-anaknya. Sikap melayani ini akan menjadikan suami ataupun istri dinomorsatukan dan merasa berharga hidup bersama suami atau istrinya. Hal ini sama dengan yang diungkapkan oleh Agung Prihartana (2009: 66) yakni:

Suami istri ini memahami dan menghayati perkawinan sebagai sebuah pelayanan. Mereka mengartikan dan menghayati pemberian diri kepada pasangan hidupnya bukan dengan menggunakan kata „anugerah‟ atau „hadiah‟, tetapi dengan kata „melayani‟.

Sikap melayani akan menjadi sebuah pelayanan yang utuh bila disertai dengan mencintai pasangan apa adanya. Kata mencintai apa adanya menunjukkan adanya celah dari pasangan yang butuh digenapi dan pada celah itulah pelayanan menjadi berarti.

(66)

kita sudah mematok pasangan sesuai dengan harapan kita sehingga ketika harapan tersebut tidak terwujud, kekecewaanlah yang terjadi dan dialami oleh pasangan. Motivasi awal mencintai karena alasan yang baik-baik harus segera dimurnikan dengan mencintai apa adanya sehingga bukan hanya kelebihan dari pasangan yang dicintai namun seluruh kelebihan dan kekurangan pasangan harus dicintai. Jika bisa mencintai segala kekurangan yang dimiliki pasangan artinya kita mencintai pasangan dengan kepribadian yang dewasa (Agung Prihartana, 2009: 68-70). Dengan mencintai pasangan dengan dewasa, maka kita tidak akan merasa kecewa namun akan semakin diteguhkan dalam kehidupan berumah tangga serta suami bisa merasakan istri sebagai anugerah dan sebaliknya.

3. Tujuan Perwujudan Janji Perkawinan

(67)

sudah ditentukan semenjak awal. Intisari dari seluruh janji perkawinan sebenarnya adalah penerimaan pribadi pasangan. Dalam pengucapan janji, mempelai secara sadar, di hadapan publik dan nyata berjanji sepanjang hidupnya akan memenuhi dan menghidupi janji perkawinan (Agung Prihartana, 2009: 94-96).

(68)

sebagai istri. Bila suami-istri berpegang teguh pada janji yang telah diucapkan maka suami-istri tersebut bisa diandalkan (Didik Bagiyowinadi, 2006: 112-113).

4. Pentingnya Usaha Perwujudan Janji Perkawinan

Janji perkawinan adalah sebuah senjata yang ampuh dan bekal yang baik dalam mengarungi kehidupan perkawinan. Janji perkawinan sangat penting untuk diwujudnyatakan dalam seluruh kehidupan perkawinan sebab janji perkawinan adalah kerangka dalam menuliskan sebuah karangan dan pondasi dalam membangun sebuah rumah. Dalam kehidupan perkawinan, sepasang suami-istri akan dihadapkan pada berbagai tantangan/persoalan yang bisa muncul dari dirinya sendiri/intern dan dari luar dirinya/ekstern (Agung Prihartana, 2009: 29).

a. Faktor intern

(69)

yang kita mau. Bila hal ini terjadi artinya suami/istri tidak bisa melihat sifat „negatif‟ pasangannya sebagai keunikan yang seharusnya diterima dan diatasi

bersama-sama. Persoalan juga sering muncul karena persatuan yang seharunya melekat pada pasangan suami-istri sering dibatasi dalam hal-hal tertentu. Dalam hal mengurus anak bersama-sama namun dalam hal keuangan sendiri-sendiri karena masing-masing merasa ikut ambil bagian dalam mencari nafkah dan demi kenyamanan bersama dalam memenuhi kebutuhan masing-masing maka keuangan terpisah. Hal-hal seperti inilah yang bisa memicu permasalahan dalam berumah tangga (Agung Prihartana, 2009: 29-47).

b. Faktor ekstern

(70)

5. Manfaat Perwujudan Janji Perkawinan

Janji perkawinan bukanlah tujuan namun jalan untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya. Seperti sebuah film, sutradara hendak menyuguhkan ending film yang paling baik menurut kehendaknya. Dalam penyuguhannya, tidak mungkin sang sutradara langsung menyuguhkan cerita langsung pada ending-nya. Sutradara pasti akan menggambarkan proses/dinamika pemainnya dalam mencapai ending yang diinginkan oleh sutradaranya. Proses inilah yang diibaratkan sebagai seluruh perjalanan perkawinan suami-istri, sedangkan ending dari film yang hendak disampaikan itulah tujuan yang hendak dicapai oleh suami-istri dalam perkawinan dan kerangka cerita

Referensi

Dokumen terkait

527 Belanja Barang untuk Diserahkan kepada Kode Akun dan Uraian Mantan Presiden danjatau Mantan Wakil Akun

Lebih daripada itu, dalam Renstra ini telah termuat visi, misi, sasaran, kebijakan, program dan kegiatan dalam bidang perpustakaan dan kearsipan yang nantinya akan

Kepada para orang tua dan para guru, khususnya guru agama SD diharapkan untuk meningkatkan peranannya dalam memberikan pendidikan seks, terutama tentang tanda-tanda

Dari beberapa penelitian diatas di perguruan tinggi Agama Hindu belum ada pembahasan mengenai Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi (TIK) Dalam Meningkatan Mutu

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali

Tabel 1 skala mual sebelum diberikan roti gandum Vari abel N Me an SD M in M ax Skala Mual 2 0 5,8 5 0,7 45 5 7 Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa dari 20

Dari pengertian atau batasan istilah-istilah di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dalam judul skripsi diatas adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui secara

Pada buah yang tidak disarung apabila kondisi lingkungan mendukung perkembangan spora, akan memberi peluang yang lebih besar untuk diserang penyakit busuk buah