• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGEMBANGAN 1} KURIKULUM PRODI PADA PERGURUAN TIN^

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II PENGEMBANGAN 1} KURIKULUM PRODI PADA PERGURUAN TIN^"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ï '

'i

(3)

PENGEMBANGAN 1}

KURIKULUM PRODI PADA PERGURUAN TIN^

BAB II

A . K O N S E P K U R I K U L U M

1. Pengertian Kurikulum

Dalam Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1, ayat 19 Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan kata lain, kurikulum dapat diartikan sebagai program pengajaran suatu jenjang pendidikan. Zais (1976: 7) mendefinisikan bahwa "curriculum is a racecourse of subject matters to be mastered". Pengertian kurikulum yang serupa dengan pengertian kurikulum tersebut dikemukakan pula oleh Beauchamp (1972), Seiler dan Miller (1985), dan Oliva (1992), yang semuanya menyebutkan cakupan kurikulum dalam lingkup yang luas.

Kurikulum juga dapat diberi pengertian secara sempit, seperti silabus, program pengajaran suatu mata pelajaran, atau Satuan Acara Perkuliahan (SAP).

Colombo Plan Staff College for Technician Education (1982: 9), misalnya, mengemukakan bahwa "curriculum is the product of curriculum planning- It is a written document intended to be used by teachers for developing teaching strategies for specific groups of student". Berdasarkan hal tersebut, yang dimaksud dengan kurikulum adalah produk dari perencanaan kurikulum. Kurikulum tersebut

(4)

merupakan suatu dokumen tertulis yang dimaksudkan untuk digunakan oleh para guru dalam rangka mengembangkan strategi-strategi pengajaran yang ditujukan untuk kelompok siswa tertentu. Yang dimaksud dengan kelompok siswa tertentu adalah pada siswa-siswa yang ada pada sekolah dan tingkatan tertentu.

Kedua cakupan pengertian kurikulum di atas, baik yang luas maupun yang sempit, pada dasarnya menyiratkan hal yang sama, yaitu bahwa setiap kurikulum membentuk suatu desain yang menggambarkan pola organisasi dari komponen- komponen kurikulum yang terdiri dari: 1) tujuan, 2) isi atau materi, 3) proses atau sistem penyampaian materi, dan 4) evaluasi. Keempat komponen kurikulum tersebut merupakan suatu sistem yang saling berkait erat dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Keberadaan empat komponen ini, secara operasional, ditegaskan oleh Tyler (1949: 1) ke dalam pertanyaan-pertanyaan berikut:

a. What educational purposes should the school seek to attain?

b. What educational experiences can be provided that are likely to attain these purposes?

c. How can these educational experiences be effectively organized?

d. How can we determine whether theses purposes are being attained?

Sependapat dengan Colombo Plan mengenai pentingnya bukti tertulis, dokumen, atau aspek fisik dari kurikulum, Hasan (2004: 1) menyatakan bahwa kurikulum dapat diartikan sebagai suatu jawaban para perencana pendidikan dalam menjawab tantangan yang diberikan masyarakat mengenai kualitas manusia terdidik yang akan dihasilkan suatu lembaga pendidikan. Jawaban tersebut dituangkan dalam bentuk suatu dokumen atau rencana tertulis, dan dengan demikian kurikulum haruslah berupa satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Isi dari dokumen atau rencana tertulis tersebut (kurikulum) adalah pernyataan mengenai kualitas

(5)

pengalaman belajar dalam pengimplementasian kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini, menurut Hasan (2004: 2) adalah bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil dari proses pengimplementasian kurikulum, kualitas output peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus diikuti atau dipelajari oleh mahasiswa, kualitas proses pendidikan yang harus dialami oleh mahasiswa. Kurikulum dalam bentuk dokumen ini merupakan fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide (pemikiran) para pengambil keputusan dan dasar bagi pengembangan dan penyempurnaan kurikulum selanjutnya.

Realisasi dari kurikulum berbentuk dokumen tertulis ini adalah pengimplementasiannya pada suatu lembaga pendidikan berupa pengalaman belajar yang dialami mahasiswa seperti yang direncanakan secara tertulis oleh dosen/guru baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Pengalaman belajar siswa/mahasiswa tersebut adalah konsekuensi langsung dari dokumen tertulis yang dikembangkan oleh dosen/guru dalam bentuk silabus dan Satuan Acara Perkuliahan (SAP). Menurut Hasan (2004: 2), pengalaman belajar ini harus memberikan dampak langsung terhadap hasil belajar mahasiswa. Jika pengalaman belajar ini menyimpang dari rencana tertulis, maka hasil belajar yang diperoleh mahasiswa tidak dapat dikatakan sebagai hasil dari kurikulum.

Kurikulum harus dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran mendalam serta melalui kajian dan penelitian yang maksimal tentang kualitas pendidikan yang ideal.

Proses pengembangan kurikulum haruslah didasarkan atas suatu ide atau pemikiran tertentu mengenai pendidikan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen maupun sebagai

(6)

pengalaman belajar. Oleh karena itu, Oliva (1992:12) mengatakan bahwa

"curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely complex ide or set of ideas". Permasalahan yang sering terjadi adalah 1) ide atau pokok pikiran itu tidak dirumuskan secara jelas; 2) para pengembang dokumen adalah orang yang berbeda dari penemu ide tersebut, maka apa yang diinginkan tidak dapat dipahami dengan baik oleh para pengembang dokumen; 3) konsekuensinya, pengembangan pengalaman belajar dapat berbeda dari apa yang dikehendaki rencana tertulis (Hasan, 2004: 2).

2. Model Kurikulum

Sukmadinata (2002: 81-101) menyebutkan bahwa terdapat banyak konsep kurikulum di dalam khasanah ilmu kurikulum. Namun demikian, secara konseptual, model kurikulum dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu 1) model kurikulum subyek akademik (KSA), sebagai pendidikan klasik yang dipengaruhi oleh filsafat pendidikan Perenialisme dan Esensialisme; 2) model kurikulum humanistik, yang banyak dipengaruhi oleh filsafat pendidikan Progresivisme dan Romantisisme; 3) model kurikulum rekonstruksi sosial, yang banyak dipengaruhi oleh filsafat pendidikan Interaksionalisme; dan 4) model kurikulum teknologis atau berbasis kompetensi (KBK).

Tabel di bawah ini menunjukkan politomi dari sebagian teori pendidikan dan model kurikulum yang berkembang dalam khazanah ilmu kurikulum.

(7)

Tabel 2.1

Teori Pendidikan dan Model-Model Kurikulum

No Teori Pendidikan Model Kurikulum

1 Pendidikan Klasik a. Perenial isme b. Esensial isme

Kurikulum Subyek akademis 2 Pendidikan Pribadi

a. Pendidikan Progresif b. Pendidikan Romantik

Kurikulum Human i stik 3 Pendidikan Interaksional Kurikulum Rekonstruksi sosial 4 Teknologi Pendidikan Kurikulum Teknologis (Kurikulum Berbasis

Kompetensi (Sumber: Sukmadinata, 2003)

a. Kurikulum Subjek Akademis (KSA)

Model kurikulum subyek akademis (KSA) disebut juga kurikulum berbasis ilmu (KBI). Model kurikulum ini menekankan isi kurikulum berupa materi ilmu dan pengetahuan yang berasal atau diambil dari disiplin-disiplin ilmu. Kurikulum ini diperkirakan paling tua yang perintisnya dimulai sejak zaman Yunani kuno.

Kurikulum ini dipakai secara luas di berbagai negara. Model konsep kurikulum ini dilandasi oleh paham filsafat pendidikan Perenialisme (philosopia perenis; Latin) dan Esensialisme. Perenialisme, yang digagas oleh Aristoteles (384-322 SM) dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas (abad ke-13), merupakan gerakan pendidikan yang memprotes gerakan Progresivisme yang mengingkari supernatural.

Esensialisme, yang juga bertolakbelakang dengan paham Progresivisme, berakar dari aliran Idealisme dan Realisme dan muncul pada zaman Renaissance (sekitar 1450-

1600). Kedua paham filsafat pendidikan tersebut dengan kuat mendukung eksistensi kurikulum subjek akademis.

Perenialisme berpendapat bahwa nilai-nilai universal itu ada dan pendidikan hendaknya merupakan suatu pencarian dan penanaman kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai tersebut. Tujuan pendidikan Perenialisme adalah mewujudkan

(8)

siswa/mahasiswa agar dapat hidup bahagia demi kebaikan hidupnya sendiri. Dengan pikiran yang dikembangkannya, peserta didik dapat mempertinggi kemampuan akal pikirannya. Prinsip ini telah berpengaruh pada pendidikan modern seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi, dan pendidikan orang dewasa.

Esensialisme memiliki pandangan bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang memiliki tata atur yang jelas. Bagi kaum Esensialis, pendidikan adalah termasuk mempelajari keterampilan-keterampilan dasar, seni, dan sains yang telah dikembangkan pada masa lalu. Peserta didik dipersiapkan untuk menghadapi masyarakat yang beradab dengan menguasai keterampilan-keterampilan dan juga materi-materi mata pelajaran. Di dalam pendidikannya peserta didik harus belajar untuk memiliki tingkah laku disiplin dan kerja keras. Hanya setelah menguasai disiplin-disiplin dasar, peserta didik diharapkan dapat menggunakannya untuk memecahkan masalah-masalah pribadi, sosial, dan warga negara. Sedangkan pendidik dituntut memiliki keterampilan professional dalam materi mata pelajaran dan mengajar yang harus dipersiapkan sebaik mungkin sebelum mengajar.

Esensialisme, yang didasari oleh idealisme, berpandangan bahwa kurikulum hendaknya berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang kuat, sedangkan realisme, yang juga mendasari esensialisme, berpendapat bahwa kurikulum ibarat balok-balok yang disusun dengan teratur satu sama lain, yaitu disusun dari yang sederhana sampai dengan yang paling rumit (kompleks). Susunan tersebut bagaikan susunan alam, yang sederhana merupakan dasar dari susunan yang kompleks.

(9)

Sehingga jika kurikulum disusun atas dasar yang demikian, maka akan memunculkan sifat keharmonisan.

Kurikulum ini seringkali diimplementasikan dengan memisah-misahkan mala peiajaran-mata pelajaran. Oleh karena itu, kurikulum ini seringkali disebut sebagai separated subject curriculum, dan sering pula disebut pula sebagai subject-centered curriculum, karena menjadikan mata pelajaran sebagai porosnya (Nasution, 1988:

143). Sesuai dengan sumbernya, nama-nama mata pelajaran atau mata kuliah dalam model kurikulum ini adalah nama-nama disiplin ilmu, seperti Matematika, Biologi, Fisika, Kimia, dan Bahasa Indonesia (Sukmadinata, 2004: 2). Secara umum, karakteristik pendidikan dan karakteristik kurikulum subyek akademis (KSA) tergambar dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.2

Model Kurikulum Subyek Akademis

No Karakter Pendidikan

(Pendidikan Klasik) Karakteristik Kurikulum 1 Berorientasi ke masa lalu Kurikulum menekankan isi/materi

ajaran 2 Ilmu-teknologi, nilai-nilai dan budaya

telah ditemukan pada ahli tempo dulu telah tersusun sistematis dan solid

Isi kurikulum bersumber dari disiplin ilmu (terstruktur dan sistematis 3 Fungsi pendidikan: Memelihara dan

mewariskan ilmu-teknologi, nilai, dan budaya pada generasi muda

Guru harus menguasai materi ajaran dengan baik

4

Isi pendidikan lebih menekankan segi inetelektual

• Pereniaiisme: Teoritis

• Esensialisme: praktis

Fungsi guru sebagai penyampai ilmu- teknologi, nilai, dan budaya pada generasi muda.

Fungsi siswa sebagai penerima ilmu- teknologi, nilai bekerja keras, menguasai bahan

5 Guru adalah ekspert dan model Proses pengajaran: ekspositori (Sumber : Sukmadinata, 2003)

(10)

b. Kurikulum Humanistik

Model kurikulum ini dikembangkan berpijak pada filsafat Humanisme yang muncul sekitar abad ke-14 dan ke-16 dan menjadi salah satu aliran filsafat dominan pada masa Renaissance. Secara spesifik, kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik, terutama didasarkan pada konsep aliran pendidikan pribadi (personalized éducation) dari John Dewey (Progressive Education) dan J.J.

Rousseau (Romantic Education) (Sukmadinata, 2002: 86).

Aliran filsafat Humanistik muncul sebagai arus utama filsafat di Itali, kemudian menyebar ke segenap penjuru Eropa, dengan tujuan untuk membangun manusia Barat abad pertengahan (the dark middle age), dari kungkungan dogma- dogma Gereja yang tidak memberikan otonomi, kreativitas, dan kemerdekaan berpikir individual.

Humanisme yang merupakan derivasi dari humanitas (Latin) berarti pendidikan manusia yang berpandangan bahwa manusia memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk menentukan dirinya sendiri meskipun bukan kebebasan absolut.

Kebebasan yang diperjuangkan adalah kebebasan yang humanis, natural, historis, dan civilized. Sistem pendidikan humanis menjungjung tinggi tata nilai, martabat, dan kebebasan manusia disertai dengan kesadaran bahwa mereka tidak mungkin untuk menolak dan menyangkal keluhuran dan kekuasaan Tuhan. Namun, keyakinan akan kemahakuasaan Tuhan ini disertai keyakinan bahwa manusia mempunyai free will and free act, peluang untuk menentukan jalan hidupnya, mengembangkan potensi dan memilih masa depannya.

(11)

Humanisme juga berkehendak untuk menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, serta menjadikan manusia sebagai ukuran dari segenap penilaian, event, dan fenomena di dunia ini. Manusia dijadikan sebagai pusat atau titik sentral dari realitas, sehingga segala sesuatu yang terdapat dalam realitas harus dikembalikan lagi pada manusia. Dengan semangat filsafat Humanisme itulah pendidikan humanistik lahir sebagai "anak kandungnya".

Model kurikulum humanistik menekankan pengembangan kepribadian siswa secara utuh dan seimbang, antara perkembangan segi intelektual, afektif, dan psikomotor. Pembelajaran humanistik berpusat pada peserta didik {student centered atau student based teaching) dengan penekanan terhadap pengembangan potensi dan kemampuan siswa serta memperhatikan minat dan kebutuhan siswa/mahasiswa (Sukmadinata, 2004: 2).

Di dalam perkembangannya, sekitar tahun 1970 kurikulum humanistik memiliki dua bentuk, yaitu confluent dan conciousness. Hakikat confluent adalah pengintegrasian ranah afektif (emosi, sikap, nilai) dengan ranah kognitif (intelektual dan kemampuan). Dimensi-dimensi emosi ditambahkan ke dalam mata pelajaran konvensional sehingga terdapat arti dan tujuan subjektif dalam mempelajari mata pelajaran tesebut. Kurikulum ini tidak mengajarkan tentang perasaan atau sikap yang dimiliki peserta didik, melainkan memberikan pilihan-pilihan bersikap dan berperasaan kepada peserta didik serta memberikan pertimbangan yang dapat dipilih dalam hidupnya sendiri.

Ciri-ciri kurikulum confluent adalah Î) partisipasi, yakni kurikulum ini menekankan partisipasi peserta didik untuk menggali, mengembangkan, dan mematangkan potensi peserta didik dalam proses belajar. Bentuk kegiatan belajarnya

(12)

berupa belajar bersama (kelompok), yang memberikan ruang yang luas bagi peserta didik dalam melaksanakan perundingan, persetujuan, pertukaran kemampuan, serta bertanggung jawab bersama; 2) integrasi, hal ini karena di dalam belajar kelompok terjadi interaksi, interpretasi, dan intergrasi pemikiran, perasaan, dan tindakan; 3) relevansi, artinya isi mata pelajaran bertalian dengan kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik karena diambil dari dunia mereka oleh mereka sendiri. Hal ini lebih berarti bagi peserta didik, secara intelektual dan emosional; 4) holistik, pribadi peserta didik diberi tempat utama dalam pendidikan yang dikembangkan dengan potensinya secara utuh (holistik); 5) tujuan, yakni mengembangkan pribadi yang utuh dan serasi, baik di dalam dirinya maupun dengan lingkungan secara menyeluruh (Sukmadinata, 2002:88).

Kurikulum consciousness atau transcendency, yakni kurikulum yang menekankan aspek consciousness (kesadaran). Oleh karena itu, kurikulum ini tidak hanya memfokuskan pada ragam kognitif dari kesadaran, tetapi juga ragam intuitive receptive (pembimbingan fantasi dan aneka ragam bentuk meditasi), misalnya transcendental meditation (TM) yang berurusan dengan keadaaan, kontrol sukarela dari keadaan inner, dan pertumbuhan di luar ego. Konsep religius transcendental meditation (TM) ini memiliki implikasi di dalam kurikulum karena menyarankan kepada peserta didik bagaimana suatu ragam khusus lainnya. Suatu kesadaran transenden juga membantu mereka menerima ketidaklengkapan semua materi mata pelajaran. Belajar bahwa tidak ada ilmu yang memberikan pernyataan penuh dan akhir dari alam dan benda-benda membantu peserta didik mengenali kemungkinan- kemungkinan baru, arah baru, dan pertanyaan-pertanyaan baru. Kurikulum

(13)

transenden memelihara suatu semangat bahasan terhadap praktek-pr

dan mendorong potensi yang belum berkembang dan berharap m e m p e r t t n g ^ a ^ ^ ^ Secara umum, karakteristik pendidikan dan karakteristik Model Kurikulum Humanistik tergambar dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.3

Model Kurikulum Humanistik

No K a r a k t e r Pendidikan

(Pendidikan Pribadi) K a r a k t e r i s t i k K u r i k u l u m i Berorientasi ke masa sekarang Berpusat pada siswa. Siswa sebagai subjek

pelaku belajar 2 Siswa punya potensi: intelektual, sosial,

efektif, fisik-motorik, dan berkembang sendiri

Isi/bahan ajaran sesuai kebutuhan, bakat, dan minat siswa

3 Pendidikan ibarat bertani: Menyediakan fasilitas, menumbuhkan potensi, dan menghindari gangguan

Siswa turut "menyusun" kurikulum

4 Pendidikan menekankan keutuhan perkembangan pribadi siswa

• Pendidikan progresif: belajar sambil berbuat

• Pendidikan Romantik: belajar alami- individual

Tidak ada kurkulum standar, hanya ada kurikulum minimal

5 Pendidik adalah psikolog, bidan, motivator, dan fasilitator

Proses belajar-mengajar inkuiri-diskovery- pemecahan masalah

(Sumber : Sukmadinata, 2003)

c. Kurikulum Rekonstruksi Sosial

Model kurikulum rekonstruksi sosial menganut paham pendidikan interaksional yang menekankan pemecahan masalah-masalah sosial kemasyarakatan dengan pembelajaran yang bersifat kooperatif. Pandangan rekonstruksi sosial di dalam kurikulum dimulai sekitar tahun 1920-an. Harold Rug, seperti dikutip Sukmadinata (2002: 91) melihat dan menyadari adanya kesenjangan antara kurikulum dengan kebutuhan masyarakat. Ia menginginkan agar para siswa, dengan pengetahuan dan konsep baru yang dipelajarinya, mampu mengidentifikasi dan

(14)

memecahkan masalah-masalah sosial, bahkan diharapkan mampu menciptakan masyarakat baru yang lebih stabil (Sukmadinata, 2002:91).

Adapun ciri-ciri kurikulum ini adalah 1) peserta didik dihadapkan pada masalah-masalah masyarakat yang bersifat universal; 2) kegiatan belajar dipusatkan kepada masalah-masalah urgen, 3) kurikulum disusun seperti roda, dengan menempatkan tema utama masalah yang dikaji secara pleno. Kemudian tema utama tersebut dijabarkan ke dalam sejumlah topik yang dikaji di dalam diskusi kelompok.

Secara umum, karakteristik pendidikan dan karakteristik model kurikulum rekonstruksi sosial tergambar dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.4

Model Kurikulum Rekonstruksi Sosial

No K a r a k t e r Pendidikan

(Pendidikan Interaksional) K a r a k t e r i s t i k K u r i k u l u m 1 Berorientasi ke masa lalu dan yang akan

datang

Menekankan pemecahan masalah sosial yang dihadapi saat ini

2 Manusia sebagai makhluk sosial, selalu hidup bersama dan bekerja sama

Kurikulum menekankan isi dan proses, disusun melibatkan siswa

3 Pendidikan memperbaiki yang lebih baik

Isi kurikulum adalah masalah yang hangat dan penting bagi yang akan datang 4 Pendidikan adalah kehidupan

masyarakat, sekolah sebagai pintu masuk ke masyarakat

Proses pengajaran adalah kooperatif dalam kelompok

5 Pendidikan adalah kerjasama

menyiapkan siswa sebagai masyarakat yang aktif

Siswa dan guru belajar bersama, siswa belajar dari berbagai sumber

Penilaian proses, hasil belajar, dan hasil karya kelompok

(Sumber : Sukmadinata, 2003)

d. Kurikulum Teknologis atau Berbasis Kompetensi

Kurikulum ini dikembangkan dari konsep teknologi pendidikan yang memiliki kesamaan dengan pendidikan klasik yang menekankan pada isi kurikulum, tetapi diarahkan pada penguasaan kompetensi (Sukmadinata, 2002: 96). Model

(15)

kurikulum teknologis atau kurikulum berbasis kompetensi juga menekankan isi kurikulum tetapi berupa kompetensi atau kecakapan dan keterampilan kerja, oleh karena itu disebut berbasis kompetensi. Jika disimak lebih lanjut, ciri-ciri kurikulum berbasis kompetensi ini adalah:

1) tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang dirumuskan dalam bentuk perilaku;

2) metode merupakan kegiatan pembelajaran sering dipandang sebagai proses mereaksi terhadap perangsang-perangsang yang diberikan dan apabila terjadi tanggapan yang diharapkan maka tanggapan tersebut diperkuat. Pengajaran bersifat perorangan, dan maju sesuai dengan kecepatan masing-masing hingga menguasai secara tuntas;

3) bahan ajar atau isi kurikulum banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa sehingga mendukung penguasaan suatu kompetensi;

4) evaluasi dilakukan setiap saat, pada akhir suatu pelajaran, suatu unit atau semester yang terdiri dari evaluasi formatif dan sumatif yang umumnya berbetuk tes objektif (Sukmadinata, 2002: 97-98).

Secara umum, karakteristik pendidikan dan karakteristik model kurikulum teknologis tergambar dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.5

Model Kurikulum Teknologi

No Karakter Pendidikan

(Teknologi Pendidikan) Karakteristik Kurikulum 1 Berorientasi ke masa sekarang dan yang

akan datang

Menekankan isi berupa kompetensi, kecakapan hidup

2 Pendidikan adalah ilmu, bukan seni;

pendidikan bersifat ilmiah.

Kompetensi dirinsi menjadi performasi, sasaran belajar yang dapat diukur 3 Manusia tidak berbeda hakiki dengan

binatang, hanya lebih kompleks dan kemampuan lebih tinggi

Desain kurikulum-pembelajaran disusun secara sistemik (sistem instruksional) 4 Pendidikan adalah transmisi ilmu-

teknologi dalam bentuk kompetensi

Bahan ajar dan pelejarannya disusun dalam media cetak & elektronik, belajar secara individual

5 Peranan guru tidak dominant dibantu/diganti alat teknologi, guru

sebagai pengelola pembelajaran

Desain pembelajaran berbentuk SAP/satpel oleh guru, letapi program media oleh tim ahli

(Sumber : Sukmadinata, 2003)

(16)

B . K E B I J A K A N P E N E R A P A N K U R I K U L U M B E R B A S I S K O M P E T E N S I ( K B K ) D I P E R G U R U A N T I N G G I ( P T )

1. Kebijakan Penerapan KBK di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAl) Pemberlakuan KBK di PTAI, termasuk UIN Sunan Gunung Djati Bandung, didasarkan kepada Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia (Kepmenag RI) nomor 353 tanggai 6 Juli 2004. Dasar pemikirannya adalah 1) beragamnya potensi peserta didik yang harus di-manage secara beragam, tepat, dan komprehensif; 2) kondisi pendidikan di Indonesia menghasilkan mutu pendidikan rendah serta mengabaikan aspek moral, akhlak, budi pekerti, seni dan olah raga, serta life skill; 3) output PTAI harus kompeten dalam keilmuan agama Islam serta bidang keahliannya, terutama dalam menghadapi pasar bebas ASEAN (AFTA), Asia Fasifik (APEC), dan dunia/global (GAT); 4) kompetensi sumber daya manusia (SDM), dan 5) Persaingan lembaga pendidikan (Depdiknas, 2003:1).

KBK yang dimaksud oleh SK Menag RI tersebut mengadopsi Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 45/U/2002, yakni adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab, yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu (Kepmendiknas No. 45/U/2002). Dalam konteks pendidikan, Depdiknas (2003:2) menyebutkan bahwa Pendidikan Berbasis Kompetensi dimaksudkan sebagai "bentuk pendidikan yang diselenggarakan untuk menyiapkan lulusannya menguasai seperangkat kompetensi yang bermanfaat bagi kehidupan kelak".

Penerapan KBK pada dasarnya merupakan efek dari reformasi pendidikan yang digulirkan secara meluas di seluruh Indonesia sejak tahun 1994. Reformasi

(17)

pendidikan ini merupakan perubahan besar dalam paradigma pendidikan dari pandangan supply-driven menunju pandangan demand driven (Sidi, 2000:7).

Perubahan pandangan dan orientasi kurikulum ini semula diujicobakan pada sekolah menengah kejuruan (SMK) dan pendidikan tinggi vokasional, kemudian diujicobakan secara luas di sekolah-sekolah menengah umum (SMU), dan kemudian menyusul di lembaga-lembaga pendidikan tinggi non-vokasional.

Dengan demikian, dari segi waktu, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dianggap sebagai kurikulum yang baru dikembangkan dan diterapkan di Perguruan Tinggi, termasuk Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) atau Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS). Namun demikian, pada dasarnya, KBK merupakan perkembangan dari kurikulum sebelumnya yang dalam kurun waktu hampir tiga puluh enam tahun telah mengalami beberapa pembaharuaan dan pernyempurnaan. Tentunya, penyempurnaan dan perubahan kuantitatif dan kualitatif dari kurikulum tersebut disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan disesuaikan dengan tuntutan, aspirasi, serta kebutuhan peserta didik, masyarakat, dan dunia kerja.

Berdasarkan hasil studi Bank Dunia {World Bank) pada tahun 1999, salah satu komponen pendidikan yang turut menentukan baik buruknya sistem pendidikan adalah kualitas kurikulum yang diberlakukan. Sedangkan Menurut Badan Moneter dunia {International Monetary Fund), sistem pendidikan sebuah negara dapat baik jika 1) kurikulum nasional memenuhi sejumlah kompetensi untuk menjawab tuntutan

dan tantangan arus globalisasi, 2) kurikulum yang dibuat bersifat lentur dan adaptif terhadap perubahan, dan 3) kurikulum yang disusun harus berkorelasi dengan pembangunan sosial dan kesejahteraan masyarakat.

(18)

Akan tetapi perubahan dan perbaikan kurikulum yang dilakukan harus memiliki landasan dan pijakan yang jelas dan kokoh. Perubahan dan perbaikan kurikulum yang tidak berpijak pada landasan yang kokoh akan menjadi kurikulum yang bias, tidak terarah, sehingga tujuan yang telah ditetapkan tidak akan tercapai.

Landasan pengembangan kurikulum di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan oleh pemerintah bersama-sama para pembuat kebijakan di tingkat pusat. Sepanjang kurun waktu tiga puluh empat tahun, kurikulum di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan dan perbaikan.

Kurikulum 1975 dikembangkan untuk memperbaharui kurikulum 1968, kurikulum 1984 dikembangkan untuk memperbaiki kurikulum 1975, kurikulum 1994 dikembangkan untuk memperbaiki kurikulum 1984, dan kurikulum 2004 dikembangkan untuk memperbaiki dan memperbaharui kurikulum 1994. Kurikulum 2004 inilah yang kemudian banyak disebut-sebut sebagai KBK. Jika dikaji dari segi waktu, perubahan dan perbaikan kurikulum sepanjang waktu tersebut (rata-rata satu dasawarsa), dapat dianggap wajar. Namun demikian, perubahan dan perbaikan kurikulum tersebut tidak berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan. Oleh karena itu perancangan atau pengembangan kurikulum harus melihat dinamika perubahan yang terjadi dalam bidang sains, teknologi, budaya, dan seni dengan melihat juga kebutuhan pembelajar berkenaan dengan kebutuhan lapangan pekerjaan.

Hal yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana kurikulum dikembangkan atau direvisi atau bahkan diganti harus melibatkan berbagai unsur/khalayak yang berkepentingan (stakeholder), para alumni, para dosen, pengelola prodi, para ahli dan tentu saja mereka yang mempunyai kebijakan. Mereka idealnya harus terlibat dam pendisainan atau pengembangan kurikulum agar nantinya kurikulum yang digunakan

(19)

betul-betul dinamis karena mempertimbangkan dinamika perkembangan masyarakat dan perkembangan ilmu dan teknologi.

2. Kebijakan Penerapan KBK di Perguruan Tinggi Umum (PTU)

Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi diatur dalam kepmendiknas Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar, dan Kepmendiknas Nomor 045/U/2002 tentang kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Kedua Kepmendiknas tersebut diarahkan sebagai upaya penjabaran terhadap isi Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi. Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional digariskan antara lain. Pertama, perlunya ditetapkan standar nasional pendidikan (termasuk standar isi, proses, dan kompetensi lulusan) dalam kerangka penjaminan mutu pendidikan (Pasal 35 ayat 1);

dan kedua, kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh Perguruan Tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi (pasal 38 ayat 3).

Menurut Ibrahim (2005: 1), kedua butir pokok yang terkandung dalam UU Sisdiknas tersebut mengisyaratkan perlunya dilakukan upaya pengembangan standar kompetensi lulusan dan kurikulum bagi setiap jenis dan jenjang pendidikan, termasuk Perguruan Tinggi. Selain itu, dari Kepmendiknas 32/U/2000 dan 045/U/2002 dapat diangkat tiga karakteristik pokok kurikulum Pendidikan Tinggi, yaitu:

a. Berbasis kompetensi

b. Mengandung kurikulum inti yang diberlakukan nasional, dan

(20)

c. Dikembangkan bersama-sama dengan pihak-pihak yang berkepentingan {stakehorlders)

Berkenaan dengan upaya pengembangan pendidikan tinggi ini pula, dalam Higher Education Long Terms strategi- (HELTS 2003-2010) digariskan tiga kebijakan dasar yang mencerminkan paradigma baru dalam pengembangan dan pengelolaan pendidikan tinggi, yaitu peningkatan a) daya kompetetif bangsa, yang menekankan perlunya penguasaan ilmu dan teknologi informasi mutakhir sebagai mesin pertumbuhan dan perkembangan; b) otonomi, yang mengindikasikan pluralisme dalam perencanaan dan pengelolaan pendidikan tinggi sesuai dengan kapasitas/ kemampuan yang dimiliki masing-masing lembaga; dan c) kesehatan organisasi, sebagai kondisi paripurna yang memungkinkan sebuah organisasi berfungsi mengejawantahkan visi dan misinya.

Dari beberapa arahan dan kebijakan Undang-Undang Sisdiknas maupun HELTS tersebut menempatkan KBK sebagai salah satu pendekatan dalam pengembangam kurikulum Pendidikan Tinggi di Indonesia (Ibrahim, 2005:2).

Penerapan KBK juga sejalan dengan diberlakukannya sistem desentralisasi melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom yang membawa implikasi terhadap pelaksanaan otonomi dan demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan. UU RI Nomor 22 tahun 1999 dan PP 25 tahun 2000 tersebut menuntut perubahan dalam pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik ke desentralistik, yang ditujukan sebagai upaya pemberdayaan daerah dan sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan, terarah, dan menyeluruh

(21)

(Puskurnas, 2002:2). Dalam konteks Perguruan Tinggi, setiap program studi yang ada di pendidikan tinggi diberikan keleluasaan untuk dapat mengembangkan dan memutuskan kurikulum yang akan digunakannya secara bertanggung jawab. Hal ini sejalan dengan GBHN 1999-2003 (TAP MPR Nomor IV/MPR/1999, Bab [V E),

"melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keragaman peserta didik, yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan professional." Pengejewantahan GBHN tersebut terdapat dalam UU RI Nomor 20 tahun 2003 pasal 36 ayat 2, yang menyatakan bahwa "kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik."

Kewenangan Pemerintah dalam bidang pendidikan adalah sebagai berikut:

1) penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar;

2) pengaturan kurikulum nasional;

3) penilaian hasil belajar secara nasional;

4) penyusunan pedoman pelaksanaan; dan

5) penetapan standar materi pelajaran pokok, penetapan kalender pendidikan, dan jumlah belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah, dan luar

sekolah. 1

(22)

Konteks Pendidikan

• Otonomi daerah, Pembangunan Daerah, Pembangunan Berkelanjutan, kompetensi standar, kehidupan demokratis

• Globalisasi, perkembangan ilmu & teknologi informasi, ekonomi Berbasis Pengetahuan, HAU.

Landasan Filosofis

Rekonseptualisa si Kurikulum

Kurikulum Berbasis Kompetensi

<

Q -

Kompetensi Hasil Belajar

Penilaian Berbasi Keias

Kegiatan Belajar Mengajar

Pemantauan Kurikulum

Gambar 2.1

Wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Pendidikan (Sumber: Puskurnas, 2002:2)

Salah satu upaya peningkatan mutu pendidikan tersebut adalah melalui penyempurnaan kurikulum yang ditunjukkan dengan adanya perubahan pada pola kegiatan belajar-mengajar, memilih media pendidikan, menentukan pola penilaian, dan pengelolaan kurikulum yang menentukan hasil pendidikan. Pembaharuan kurikulum akan bermakna bila diikuti oleh perubahan pengelolaan kurikulum yang dengan sendirinya akan mengubah praktek-praktek pembelajaran di kelas. Selama ini sumber daya manusia yang ada di daerah dan sekolah kurang diberdayakan dalam pengelolaan kurikulum. Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah diarahkan untuk memberdayakan sumber daya yang ada di daerah dan sekolah dalam mengelola KBK.

LU

Pengemban gan Silabus

Seleksi Materi (diversifikasi)

Implementasi Kurikulum

(23)

t per.-*.

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dari segi penyajianff ^ ^ r u ^ S ^ f i h j j ^ ; pengembangan dan perbaikan dari kurikulum 1994. KBK berisi Vn. —

kemampuan dasar yang harus dicapai peserta didik melalui materi R o j d ^ ^ | a n t > ^j indikator pencapaian hasil belajar yang telah ditetapkan. Kurikulum ini dikembangkan berdasarkan pemikiran selektif yang mengadopsi dan mengkompromikan unsur-unsur, nilai-nilai, dan praktek-praktek dari berbagai pendekatan. KBK berorientasikan pada perluasan wawasan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya, sebagai salah satu usaha untuk mempertahankan integritas bangsa melalui pembentukan-pembentukan individu yang cerdas, religius, toleran, mandiri, dan berdisiplin serta menjungjung tinggi moral dalam pergaulan antar sesama. KBK difokuskan pada peningkatan mutu hasil belajar dan peningkatan mutu lulusan.

Puskurnas (2002: 1) mendefiniskan KBK sebagai seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. KBK berorientasi pada 1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan 2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya. Dalam rumusan yang lain, KBK diasumsikan sebagai suatu model kurikulum yang memfokuskan tujuannya pada penguasaan kemampuan atau kompetensi-kompetensi khusus. KBK pada dasarnya diperuntukkan untuk menginventarisir kompetensi esensial untuk suatu pekerjaan, jabatan, atau karir tertentu. Secara spesifik KBK dapat diartikan sebagai kurikulum yang menitikberatkan pada penguasaan suatu pengetahuan, sikap, dan keterampilan

(24)

tertentu, serta penerapannya di lapangan kerja. Pengetahuan, sikap, dan keterampilan tersebut harus dapat didemontsrasikan dengan standar industri yang ada, bukan standard relatif yang ditentukan oleh keberhasilan sesorang di dalam suatu kelompok.

Secara konseptual, Oliva (1992: 512) mengemukakan bahwa kurikulum berdasarkan kompetensi masuk dalam kelompok yang dinamakan "outcomes-based curriculum". Dalam bentuknya yang masih awal, Oliva (1992: 512) mengemukakan bahwa perkembangan ide kurikulum berbasis "outcomes-based" dapat ditelusuri hingga pertengahan abad ke-19 oleh pendidik terkenal Herbert Spencer. Di Amerika Serikat, perkembangan ide kurkulum berbasis "outcomes" dapat dikatakan pada awal abad ke-19 yaitu tahun 1918 atau Menurut Tuxworth (dalam Burke, 1995: 10) pada tahun 1920-an. Pemikiran itu kemudian diikuti oleh Tyler tahun 1950 ketika yang bersangkutan mengembangkan proyek kurikulum yang bertarap nasional kemudian menjadi lebih terkenal dengan nama Mastery Learning and Competency-Based oleh Benjamin Bloom. Pada tahun 1970-an, tokoh Elam (1971) memperkenalkan Performance-Based untuk pendidikan guru sehingga dinamakan Performance-Based Teacher Education (PBTE) berdasarkan pandangan behaviorisme. Gerakan dalam pendidikan guru ini kemudian diperbaiki dengan nama Competency-Based Teacher Education (Hasan, 2004: 4).

Konsep-konsep dalam pendekatan competence-based ini didasarkan pada dua filosofi, yakni; 1) gagasan bahwa human competence merupakan kemampunan yang benar-benar terlihat dan terukur; pengetahuan, tingkah laku, dan usaha dianggap sebagai sesuatu yang tidak berharga, apabila tidak ada hasil ril; 2) mastery learning menyebutkan bahwa hampir semua dapat mempelajari semua pengetahuan dengan

(25)

baik, apabila mendapatkan pengajaran yang berkualitas serta waktu mencukupi.

Pemyatan ini berkesuaian dengan pendapat Blank (1982: vi):

Two basic philosophies underlie the concepts presented here. First is the notion that "human competence ", is the ability to actually perform.

Knowledge, attitude, and effort are of little value without results. The second philosophy "mastering learning" holds that most anyone can learn most

anything well if given quality instruction and sufficient time.

Pendekatan dengan competency-based merupakan pendekatan pendidikan yang sistematis, yakni setiap komponen dalam program pengajaran dirancang, diawasi, dan disesuaikan antara ide dan hasil. Dalam pembelajaran konvensional pengajaran seringkah dimulai dan diakhiri hanya berdasarkan pada waktu dan kalender pendidikan dengan sedikit perhatian terhadap seberapa banyak pengajaran yang dibutuhkan oleh peserta didik. "Conventional training programs, instruction is often turned on and turned off based solely on the clock or the calendar with little regard for how much instruction each student really needs" (Blank, 1982: 6).

Pengajaran mungkin disampaikan dalam waktu lima puluh menit, tiga jam pelajaran, atau enam belas minggu dalam satu semester tanpa memperhatikan seberapa banyak pembelajaran yang dibutuhkan oleh setiap siswa untuk dapat menguasai sepenuhnya setiap program pengajaran. Hal tersebut sesuai dengan pendapat McAshan (1981:

94) yakni, "the instructional delivery system refers to all of the human, material, and other resources, activities, and strategies designed to help students acquire mastery of the competencies to wich they are designed. "

FCBK diterapkan untuk mencetak lulusan yang kompeten dan cerdas dalam membangun integritas nasional, identitas budaya dan bangsa Indonesia. Penerapan KBK dimaksudkan agar pendidikan nasional dapat merespon secara proaktif

(26)

berbagai perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan tuntutan desentralisasi. Dalam hal ini, KBK memiliki kefleksibelan sesuai dengan Undang- Undang nomor 22 tahun 1999 tentang kewenangan untuk mengatur sendiri pengelolaan pendidikan sesuai dengan aspirasi masyarakat, sekalipun hal tersebut memberikan ruang bagi keragaman pemahaman dan interpretasi terhadap standar nasional, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pencapaian standar nasional kompetensi dasar yang telah ditetapkan.

Dalam konteks desentralisasi pendidikan ini, menurut Ariantoni (2002), KBK 1) dapat dijadikan acuan secara nasional dalam mengembangkan mata pelajaran yang dibutuhkan masing-masing daerah; 2) memudahkan daerah untuk mengembangkan mata pelajaran sesuai dengan lingkungannya; 3) memberi peluang kepada lembaga pendidikan (sekolah) untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensinya; 4) memudahkan pendidik dalam menentukan materi pembelajaran, 5) meningkatkan kreativitas pendidik dalam proses belajar; dan 6) memudahkan sistem evaluasi.

Melalui pendekatan ini setiap lembaga pendidikan tidak akan kekurangan relevansi program pembelajarannya untuk memenuhi kepentingan daerah tersebut.

KBK memberikan dasar-dasar pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman belajar sesuai dengan minat dan bakat peserta didik; hal ini karena KBK diharapkan dapat mengakomodasi berbagai perbedaan, kesiapan, potensi akademik, minat siswa, lokalitas, lingkungan, dan budaya Indonesia. Keragaman tersebut digunakan untuk memaksimalkan pencapaian hasil belajar, guna mencapai keunggulan di berbagai bidang dalam menghadapi persaingan global. Selain itu, KBK diterapkan untuk

(27)

memudahkan para pengelola pendidikan dalam menciptakan pengalaman belajar yang sejalan dengan prinsip belajar sepanjang hayat (Jong life education).

Dalam beberapa hal, beberapa langkah (usaha) competency-based merupakan suatu cara kembali pada pendekatan personalized, individualized untuk menyampaikan keterampilan dari seorang ahli pada seseorang yang sedang belajar.

Terdapat dua perkembangan terbaru yang telah membuat metode pengajaran ini tidak efektif bagi sebagian besar peserta didik. Dua perkembangan itu adalah 1) jumlah peserta diklat secara signifikan dan 2) semakin kompleksnya materi/keahlian yang harus dikuasai. Tidaklah heran jika metode pengajaran yang sempurna untuk menghadapi beberapa siswa, tidak berhasil baik untuk jumlah siswa yang besar dan bermacam-macam program keterampilan seperti saat ini. Pengajaran klasikal yang tidak dapat dihindarkan saat ini, bagaimana pun tingkat efektifitasnya akan lebih rendah ketimbang pengajaran individual.

Tingkat kesulitan dari substansi yang harus dipelajari oleh peserta didik saat ini, juga menyebabkan masalah dalam pembelajaran. Perkembangan teknologi saat ini mengharuskan seorang peserta didik tidak hanya menguasai satu keterampilan saja, tetapi keterampilan yang kompleks yang melibatkan peralatan, instrument, perlengkapan, proses yang sangat mahal, dan rumit. Selain itu pula sebagian besar pekerjaan menuntut kemampuan yang terus meningkat, dalam hal ini ilmu pengetahuan, teknologi, seni, serta kemampuan yang telah dikembangkan pada masa lalu, tidak lagi dapat diharapkan untuk memenuhi kebutuhan proses belajar saat ini dan masa yang akan datang.

(28)

3. KBK pada Program Pendidikan Akademis dan Vokasional

Menurut Mulyasa (2003: 5) KBK lebih tepat dan lebih cocok diterapkan di perguruan tinggi, karena perguruan tinggi merupakan suatu lembaga yang mempersiapkan mahasiswa untuk bekerja, menciptakan lapangan kerja, hidup bermasyarakat, dan mengembangkan diri sesuai dengan konsep pendidikan seumur hidup (H/e long education). Dengan demikian, menurut Mulyasa (2003: 5), kompetensi yang harus ditanamkan kepada mahasiswa selama mereka berada dalam proses pendidikan di kampus menjadi jelas.

Program pendidikan di Perguruan Tinggi dibedakan antara Program Pendidikan Akademik (PPA) dan Program Pendidikan Profesi (P3) atau Program Pendidikan vokasi (PPV). Dalam kenyataannya di Indonesia, program pendidikan yang murni akademis atau murni program pendidikan profesi hanya terdapat sedikit jumlahnya. Mayoritas program-program studi tersebut merupakan campuran dari PPA dan PPV. Jika suatu institusi pendidikan lebih dominan muatan akademisnya, maka diklasifikasikan sebagai Program Pendidikan Akademik (PPA), sedangkan kalau muatan profesinya lebih dominan, maka institusi pendidikan tersebut diklasifikasikan sebagai Program Pendidikan Vokasi (PPV).

PPA mempersiapkan lulusannya dalam penguasaan ilmu dan atau dalam tugas- tugas penelitian dan pengembangan ilmu, sedangkan PPV lebih diarahkan pada penyiapan tenaga profesional pada berbagai bidang pekerjaan. PPA lebih menekankan segi ilmu, teori, konsep-konsep, sedang PPV lebih menekankan segi aplikasi dan praktek kerja. PPV lebih banyak memberikan segi praktis, sekalipun tetap memberikan segi teoretis tetapi porsinya kecil. Berdasarkan pada orientasi dan dominasi muatan tersebut, model kurikulum yang paling banyak dan cocok

(29)

diterapkan dalam program-program pendidikan profesi (PPV) di perguruan tinggi adalah kurikulum berbasis kompetensi (competence based curriculum; atau KBK).

Apabila masih diperlukan pemberian materi yang bersifat teoretis terpisah dari kompetensi maka dapat digunakan model Kurikulum Berbasis Ilmu (KBI; science based curriculum) atau disebut pula Kurikulum Subyek Akademis (KSA; subject academic curriculum). Proposi penggunaan model KBI/KSA dalam program pendidikan profesi lebih sedikit dibandingkan dengan model KBK.

Dalam perkembangan pemikiran mengenai kompetensi, pendekatan ini lebih banyak digunakan untuk Kurikulum vokasional. Perkembangan dunia industri telah menyebabkan adanya tuntutan akan tenaga kerja yang mampu melakukan pekerjaan ketika yang bersangkutan diterima di tempat kerja (Tuxworth, 1995:11; Loon, 2001:2; Cinterfor, 2001:1). Menurut Sukmadinata (2004:3), terdapat beberapa pertimbangan yang mendasari mengapa KBK lebih tepat digunakan untuk program pendidikan profesi, yaitu:

a. Pendidikan profesi diarahkan pada penguasaan kemampuan, kecakapan, atau keterampilan kerja dalam bidang profesinya,

b. suatu bidang profesi memiliki beberapa job atau fungsi pekerjaan, dan dalam suatu job ada beberapa tugas atau peran. Keberhasilan pelaksanaan sesuatu tugas atau peran didukung oleh penguasaan kompetensi yang terkait dengan tugas tersebut,

c. KBK lebih menjamin penyiapan tenaga yang sesuai dengan tuntutan bidang pekerjaan.

Pada saat sekarang, pendidikan profesi (PPV) yang berkaitan dengan dunia teknologi dan kedokteran sangat menonjol dalam memanfaatkan pendekatan kompetensi ini. Profesi lain seperti penerjemahan, sejarah, hukum, dan lainnya mulai pula memanfaatkan pendekatan ini. Hal ini wajar, karena pengertian kompetensi sangat luas mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Selain itu, perlu

(30)

diingat bahwa dalam banyak bidang selalu terdapat unsur kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik.

Kompetensi yang dikembangkan dalam PPV dapat berupa kompetensi teknis, vokasional, atau kompetensi professional. Kompetensi teknis-vokasional disediakan bagi penyiapan tenaga staf, teknis-operasinal, sedangkan kompetenesi professional disediakan bagi tenaga professional. Kompetensi teknis-vokasional dan kompetensi professional memiliki aspek-aspek yang sama, yaitu: perilaku atau performansi, pengetahuan, keterampilan, proses, penyesuaian diri, sikap, dan nilai. Perbedaannya terletak pada kompleksitas dan tingkat kesukarannya. Kompetensi teknis terkait dengan tugas atau pekerjaan yang lebih sederhana, bersifat mekanistis, relatif lebih mudah, sedangkan kompetensi professional berhubungan dengan tugas yang lebih kompleks, lebih problematis dan sukar, melibatkan kemampuan berpikir taraf tinggi dalam proses menganalisis, menilai, menarik keputusan, memecahkan masalah, dan menciptakan hal baru.

Jika KBK lebih memungkinkan diterapkan pada pendidikan vokasional, maka bagaimanakah kemungkinan penerapan KBK pada pendidikan akademik? Menurut Syaodih (2004:9), penerapan KBK pada pendidikan akademik sangat dimungkinkan, namun konsep dan rumusannya berbeda dengan KBK pada program pendidikan profesi. Program pendidikan profesi diarahkan pada penguasaan kecakapan, keterampilan kerja, atau performansi kerja. Performansi ini memiliki standar dan kriteria penguasaan sesuai dengan tuntutan dalam bidang pekerjaan atau profesi tertentu. Program Pendidikan Akademik diarahkan pada penguasaan pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi konsep-konsep dan teori berkenaan dengan bidang akademik yang dipelajarinya. Pengaplikasian konsep dan teori tersebut masih

(31)

bersifat terbuka, dapat dalam bidang-bidang pekerjaan, profesi atau vokasi, dalam bidang penelitian dan pengembangan ilmu dan kehidupan masyarakat.

4. Standar Kompetensi

Inti dari KBK adalah "kompetensi" yang merefleksikan kemampuan mengerjakan sesuatu. Istilah kompetensi diungkapkan dalam Kepmendiknas Nomor 045/U/2002 pasal 1, adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Puskurnas (2002:1) mendefinisikan kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.

Kompetensi itu sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan melaksanakan tugas yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan. Becker (1977) dan Gordon (1988) mengemukakan bahwa kompetensi meliputi pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap, dan minat. Kompetensi dikembangkan untuk memberikan dasar keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakmenentuan, ketidakpastian, dan kerumitan dalam kehidupan. Dalam pengertian konseptual yang hampir sama, McAsham (1981) merumuskan

"Competency is knowledge, skills, and abilities that a person can learn and develop, which become parts of his or her being to the extent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor behavior".

(32)

Pengertian di atas dapat dikatakan sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Woif (1995), Debling (1995), Kupper dan Palthe. Wolf (1995:40) mengatakan bahwa esensi dari pengertian kompetensi "is the ablity to perform". Dalam buku yang sama, Debling (1995:80), mengatakan "competence pertains to the ability to perform the activities within a function or an occupational area to the level of performance expected in employment". Kupper dan Palthe mengatakan "competencies as the ability of a student/worker enabling him to accomplish tasks adequately, to find solutions and to realize them in work situation. Lebih lanjut Kupper dan Palthe mengatakan "these qualifications should be expressed in terms of knowledge, skills, and attitude ".

Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum, Menurut Puskumas (2002:1) adalah sebagai berikut:

a) kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks;

b) kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten;

c) kompeten merupakan hasil belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran;

d) kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefiniskan secara jelas dan luas dalam suatu stsndar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.

Standar kompetensi merupakan core dalam menentukan langkah-langkah selanjutnya ketika mendesain kurikulum program studi. Struktur kurikulum dan sebaran mata kuliah merupakan penjabaran dan dibuat berdasarkan standar kompetensi ini. Dengan kata lain, standar kompetensi merupana bench mark (acuan utama) untuk mengembangkan struktur kurikulum. Standar kompetensi dibuat berdasarkan analisis kebutuhan.

(33)

Menurut Sukmadinata (2002), kompetensi memiliki cakupan lebiti IsJIa pada keterampilan, karena meliputi a) performansi/kebiasaan, yaitu mempraKK&ggi sesuatu atau melakukan tugas/pekerjaan, b) mengelola berbagai hal dalam suatu kegiatan, atau berbagai tugas dalam suatu pekerjaan, c) menganalisis dan memecahkan masalah yang dihadapi, dan c) melaksanakan tanggung jawab dan tuntutan kerja. Lebih jauh dia mengatakan bahwa kompetensi dapat dimaknai sebagai performansi (kecakapan dan kebiasaan) yang mengarah pada penguasaan tuntas a) pengetahuan dasar dan aplikasinya (kompetensi dasar & umum), b) konsep, prinsip dan teori, serta aplikasi dan pengembangannya (kompetensi akademis); c) standar kerja seperti dituntut oleh pekerjaan/profesi (kompetensi vokasional/professional).

Performansi sendiri dimaknai sebagai perilaku yang terarah dan bertujuan, yang mencakup proses berpikir, menganalisis, menilai, dan membuat keputusan, sehingga lebih dari apa yang dapat diamati. Dengan demikian, kompetensi, menurut Nana Syaodih, memiliki enam komponen, yakni 1) performansi, 2) pengetahuan, 3) keterampilan, 4) proses, 5) penyesuaian diri, 6) sikap, dan 7) nilai. Ketujuh aspek kompetensi tersebut dapat digambarkan dalam sebuah piramida

Sikap

P e r i l a k u (Performansi)

g

O ,

nilai

Gambar 2.2

Piramida Aspek-aspek Kompetensi (Sumber: Sukmadinata, 2004:4)

(34)

Menurut Sukmadinata (2004:4), perilaku atau performansi menempati puncak piramida, karena menunjukkan aspek yang paling nampak (overt) dan dapat diamati atau diukur. Aspek pengetahuan, keterampilan, proses, dan penyesuaian diri berada di bawah perilaku (performansi). Pengetahuan merupakan aspek yang tidak nampak (covert), tetapi aktualiasinya terwujud pada perilaku.

Keterampilan memiliki dua sisi, yaitu yang nampak (overt) dan tidak yang nampak (covert); keterampilan yang nampak berupa keterampilan motorik dan keterampilan sosial tertentu, sedangkan keterampilan yang tidak nampak terutama berupa keterampilan intelektual dan keterampilan sosial lainnya. Perwujudan dari keterampilan-keterampilan tersebut dalam perilaku umumnya dapat diamati atau diukur.

Sebagaimana keterampilan, penyesuaian diri juga memiliki yang tersembunyi dan juga sisi yang nampak. Sikap dan nilai merupakan aspek kompetensi yang hampir seluruhnya tidak nampak, keduanya mendasari aspek-aspek lainnya, berintegrasi dengan aspek-aspek tersebut bisa nampak dalam perilaku.

Kompetensi dan performansi bidang akademik merupakan aplikasi dari konsep dan teori. Penguasaan konsep dan teori lebih banyak menyangkut bidang kognitif, bidang intelektual atau kemampuan berpikir. Oleh karena itu, standar dan kriteria kompetensi dan performansinya juga lebih mengarah kepada aspek-aspek bidang kognitif, intelektual atau berpikir. Bidang afektif dan psikomotor juga termasuk di dalamnya, tetapi porsinya relative lebih kecil.

Aplikasi suatu konsep atau teori dalam kenyataan (pekerjaan atau kehidupan) akan terlihat dalam bentuk performansi berupa rangkaian keterampilan sosial dan atau motorik melakukan sesuatu. Dengan demikian akan nampak aspek

(35)

psikomotornya. Performansi (sebagai aplikasi dari konsep atau teori) yang berbentuk rangkaian katerampilan sosial dan motorik apakah dikerjakan dengan penuh kesungguhan, ketekunan dan ketelitian atau tidak, hal ini terkait dengan bidang afektif, terutama sikap, minat, dan nilai. Dengan demikian, bidang afektif juga terkait di dalam aplikasi konsep dan teori.

Aplikasi konsep dan teori dalam pelaksanaan kurikulum di Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Sejak digunakannya kurikulum 1975, kurikulum tersebut sebenarnya sudah diarahkan pada pemaduan teori dan konsep. Dalam penerapannya tidak maksimal karena menghadapi banyak kendala. Dalam kurikulum tersebut, rumusan tujuan, yang seharusnya juga diikuti dengan model pembelajarannya, telah menggunakan tahapan-tahapan berpikir yang mengacu pada taksonomi Bloom dkk, yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Tahap-tahap berpikir Bloom ini telah disempurnakan oleh Anderson dan Krathwohl (2001), menjadi pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis (sintesis), evaluasi, dan kreativitas.

Penerapan KBK dalam program pendidikan akademik, lebih diarahkan kepada menegaskan kembali hal-hal yang diabaikan dalam penerapan kurikulum 1975 tersebut, yaitu aplikasi, analisis, sistensis, evaluasi, dan kreativitas. Kurikulum dan pembelajaran diarahkan kepada penguasaan kompetensi atau kemampuan berpikir tahap tinggi. Proses pembelajaran tidak berhenti pada penguasaan pengetahuan (ingatan) dan pengertian (pemahaman), tetapi dilanjutkan kepada tahapan yang lebih tinggi, yaitu aplikasi, analisis, sistensis, evaluasi, dan kreativitas.

(36)

C. KARAKTERISTIK DAN PRINSIP-PRINSIP KBK 1. Karakteristik KBK

Puskurnas (2002:3) menyebutkan bahwa KBK merupakan kerangka inti yang memiliki empat komponen, yaitu 1) kurikulum dan hasil belajar, yang memuat perencanaan pengembangan kompetensi peserta didik yang perlu dicapai secara keseluruhan; 2) penilaian berbasis kelas, yang memuat prinsip, sasaran, dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik melalui idetifikasi kompetensi/hasil belajar yang telah dicapai, penyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai serta peta kemampuan belajar siswa dan pelaporan; 3) kegiatan belajar mengajar, yang memuat gagasan pokok tentang pembelajaran dan pengajaran untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan serta gagasan-gagasan pedagogis dan andragogis yang mengelola pembelajaran agar tidak mekanistik; dan 4) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah, yang memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya lain untuk meningkatkan mutu hasil belajar. Pola ini dilengkapi pula dengan gagasan pembentukan jaringan kurikulum (curriculum council), pengembangan perangkat kurikulum (a.l. silabus), pembinaan profesional tenaga kependidikan, dan pengembangan sistem informasi kurikulum.

Puskurnas (2002:1) menyebutkan perihal ciri-ciri dari KBK, yaitu 1) menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal; 2) berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman; 3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; 4) sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber lainnya yang

(37)

memenuhi unsur edukatif; dan 5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

Gambar 2.3

Komponen Kurikulum Berbasis Kompetensi (Sumber: Puskurnas, 2004:3)

Susilana (2004:11) menyebutkan bahwa secara umum KBK memiliki karakteristik sebagai berikut; 1) menitikberatkan pada pencapaian target kompetensi (attainment targets) daripada penguasaan materi; 2) mengakomodasi keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidian yang tersedia; 3) memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pelaksana pendidikan di lapangan untuk mengambangkan dan melaksanakan program-program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan.

Dari rumusan KBK dan karakteristik KBK di atas, maka dapat dikatakan bahwa KBK ini memiliki empat karakteristik, yakni:

(38)

a. KBK didasarkan hanya pada satu hasil pendidikan dan pelatihan yang spesifik, diungkapkan dengan jelas dalam bentuk kompetensi yang telah dimodifikasi dari pekerjaan yang harus dikerjakan oleh pekerja, dan dilatihkan kepada peserta didik. Kompetensi ini dibuat dalam berbagai dalam bidang pekerjaan dan merupakan rumusan yang jelas berupa kemampuan apa yang akan dimiliki siswa setelah menyelesaikan program pendidikan dan pelatihan;

b. KBK menyediakan kegiatan belajar, materi dan media pendidikan yang berkualitas tinggi, dirancang dengan cermat, pengajaran berpusat pada siswa yang dirancang untuk membantu para siswa untuk menguasai setiap unit pengajaran. Materinya disusun agar setiap siswa dapat menyelesaikan program pengajaran sesuai dengan kecepatan belajarnya masing-masing dan dapat mengulang apabila dibutuhkan untuk belajar secara efektif. Bagian tak terpisahkan dari pengajaran ini adalah feedback secara periodik di seluruh program pengajaran dengan memberi kesempatan bagi siswa untuk mengoreksi penampilan mereka ketika proses sedang berjalan.

c. KBK menyediakan waktu yang cukup bagi siswa untuk sepenuhnya menguasai suatu unit pelajaran, sebelum diijinkan untuk melanjutkan pada unit pelajaran berikutnya.

d. KBK menuntut setiap siswa untuk mempraktikan penguasaan materi atau kemampuannya untuk setiap unit pelajaran di dalam situasi lingkungan kerja, sebelum mendapatkan nilai atas pencapaian unit pelajaran itu dan penampilan kerjanya dibandingkan dengan standar tertentu yang telah ditetapkan.

(39)

which must be considered essensial in order for a program to be competency- based are (!) the selection of appropriate competencies, 2) the specification of appropriate evaluation indicators to instructional delivery system ".

2. Prinsip-Prinsip KBK

Blank (1982: 12-16) menjelaskan mengenai berbagai prinsip yang melekat dalam kurikulum dengan competency based, yaitu:

Prinsip pertama, "any student in a training program can master the tasks at a high level of mastery (95 to 100% proficiency) if provided with high quality instruction and sufficient time" [setiap siswa dalam suatu program pelatihan dapat menguasai sebagian besar pelajaran pada penguasaan yang tinggi, apabila disediakan pengajaran yang berkualitas tinggi dan waktu yang mencukupi] (Blank, 1982:12).

Prinsip ini merupakan dasar filosofi competency based dan berlaku umum untuk semua mata kuliah.

Prinsip kedua, "A student's ability for learning a task need not predict how well the student learns (he task" [kemampuan seorang siswa dalam mempelajari suatu pelajaran, tidaklah merupakan perkiraan seberapa baik siswa dapat mempelajari pelajaran yang akan dihadapinya] (Blank, 1982:12). Dengan prinsip ini, variasi kemampuan siswa tidak akan menjadi faktor penghambat bagi penguasaan kompetensi tertentu secara merata. Siswa dengan kemampuan belajar yang rendah dapat mencapai tingkat penguasaan/hasil belajar yang sama dengan siswa yang berkemampuan tinggi. Faktor pembedanya adalah faktor waktu yang diperlukan dan intensitas bantuan untuk belajarnya. Kemampuan siswa hanya berpengaruh pada

(40)

berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk belajar, bukan seberapa banyak yang dapat dipelajari.

Prinsip ketiga, "Individual student differences in levels of mastery of a task are caused primaly by errors in the training environment, not by characteristics of the students" (Blank, 1982:14). Prinsip ini menyatakan bahwa perbedaan dalam banyaknya materi yang dipelajari oleh siswa, tidak disebabkan oleh kualitas bawaan yang dimiliki oleh siswa, akan tetapi disebabkan dalam sistem pendidikan. Semakin

"ideal" suatu sistem pendidikan, semakin sedikit perbedaan yang timbul dalam pengajaran, dan sebaliknya.

Prinsip keempat, "Rather than being fast or slow learners, or good or poor learners, most students become very similar to one another in learning ability, rate of learning, and motivation for further learning when provided with favorable learning conditions" (Blank, 1982:14). Prinsip ini lebih mengutamakan kesamaan siswa yang cepat dan siswa yang lambat atau siswa yang baik atau siswa yang buruk.

Di dalam pendekatan competency based, sangat diharapkan agar setiap siswa tidak hanya dapat melakukan suatu pekerjaan akan tetapi juga dapat menjadi unggul.

Prinsip kelima, "We should focus more on differences in learning and less on differences in learners" (Blank, 1982:15). Seringkah' dalam pembelajaran, para siswa dibedakan, dikelompokkan, atau dikategorikan berdasarkan karakteristik siswa, dan kurang perhatian pada seberapa baik mereka belajar. Pada saat seorang siswa berhasil dan lainnya gagal, pendidik secara tergesa dan simplistis melihat perbedaan siswa itu dilihat dari perbedaan umurnya, perbedaan motivasi, dan perbedaan status sosial. Sangat jarang, pengamatan kritis diarahkan pada proses pengajaran sebagai sebab dari perbedaan hasil belajar itu, dan mencoba untuk

(41)

mengoreksinya secara sistematis. Pendekatan competency-based tidak terlalu memusatkan perhatiannya pada karakteristik siswa, dan lebih menyesuaikan proses belajar untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari setiap siswa.

Prinsip keenam, "What is worth ieaching is worth learning" (Blank, 1982:15).

Dengan prinsip ini, pemikiran competency based menyatakan bahwa kegagalan seorang siswa dalam mencapai penguasaan itu merupakan masalah bagi lembaga pendidikan (sekolah) dan guru. Pada saat siswa gagal dalam belajar, semua yang terlibat dalam proses pembelajaran merasa prihatin, dan segera melakukan semaksimal mungkin memperbaiki kondisi tersebut.

Prinsip ketujuh, "The most important élément in the teaching-learningprocess is the kind and quality of instruction experienced by student" (Blank, 1982:16).

Dalam prinsip ini tersirat bahwa pengajaran yang diberikan pada siswa dalam pendekatan competency-based, dipandang sebagai sesuatu yang luar biasa pentingnya dalam proses belajar mengajar. Rancangan pengajaran dikembangkan dengan cermat, diujicoba, dan secara berkelanjutan direvisi berdasarkan hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Unit pengajaran dirancang secara sistematis, dengan memperhatikan elemen-elemen penting meliputi, 1) siswa disajikan sejenis petunjuk, baik berupa audio dan atau visual; 2) siswa mempraktekan, menerapkan, merespon, atau melakukan sesuatu sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan; 3) pada saat siswa berpartisipasi, secara periodik siswa didorong untuk memastikan bahwa hal yang benar akan terus berlanjut dan hal yang tidak benar tidak akan dilanjutkan.

Akhirnya feedback dan koreksi akan membantu siswa untuk mengetahui seberapa baik apa yang mereka lakukan dan apa yang perlu dikembangkan untuk mencapai tingkat penguasaan.

(42)

Puskurnas (2002:2) menyebutkan bahwa penerapan dan pengembangan KBK di Indonesia mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

Pertama, keimanan, nilai, dan budi pekerti luhur. Keyakinan dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat berpengaruh pada sikap dan arti kehidupannya.

Keimanan, nilai-nilai, dan budi pekerti luhur perlu digali, dipahami, dan diamalkan oleh siswa

Kedua, penguatan integritas nasional. Penguatan integritas nasional dicapai melalui pendidikan yang memberikan pemahaman tentang masyarakat Indonesia yang majemuk dan kemajuan peradaban bangsa Indonesia dalam tatanan peradaban dunia yang multikuftur dan multibahasa.

Ketiga, keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika. Keseimbangan pengalaman belajar siswa yang meliputi etika, logika, estetika, dan kinestetika sangat diperhitungkan dalam penyusunan kurikulum dan hasil belajar.

Keempat, kesamaan memperoleh kesempatan. Penyediaan tempat yang memberdayakan semua siswa untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap sangat diutamakan. Seluaruh siswa dari berbagai kelompok seperti kelompok kurang beruntung secara ekonomi dan sosial yang memerlukan bantuan khusus, berbakat, dan unggul berhak menerima pendidikan yang tepat sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya.

Kelima, abad pengetahuan dan teknologi informasi. Kemampuan berpikir dan belajar dengan mengakses, memilih, dan menilai pengetahuan untuk mengatasi situasi yang cepat berubah dan penuh ketidakpastian merupakan kompetensi penting dalam menghadapi abad ilmu pengetahuan dan teknologi informasi.

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan netrofil atau makrofag dalam sinovial yang meradang akan mengakibatkan pembentukan oksidan dan radikal bebas yang kemudian dapat menimbulkan radang

Pada kenyataannya (kebiasaannya), kebanyakan neural system harus diajari (training) terlebih dahulu. Mereka akan mempelajari asosiasi, patterns , dan fungsi yang

Membaca Kontra Memori Banding, yang diajukan oleh Kuasa Hukum para Terggugat/ Terbanding tanggal 27 September 2011, yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan

Asumsi peneliti, dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dapat dilihat tidak ada hubungan yang signifikan antara lama pemakaian kontrasepsi suntik 3 bulan dengan gangguan

Pertama, grafik keanggotan kurva linear naik, yaitu kenaikan himpunan fuzzy dimulai pada nilai domain yang memiliki derajat keanggotaan nol [0] bergerak ke kanan menuju ke

REFOLIS ISKANDAR Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Menurut Trochim (2002), penilaian sumatif terdiri daripada lima jenis iaitu: (1) penilaian hasil yang bertujuan untuk menilai sama ada hasil sesuatu program adalah seperti

12 Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara secara langsung kepada Juru Pelindung Pengembangan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Gapura Masjid Wali