ّنُهوُمُتْيَتاَء اّمِم اوُذُخْأَت ْنَأ ْمُكَل ّلِحَي َل َو ۗ ٍن ٰس ْحِإِب ٌۢحي ِرْسَت ْوَأ ٍفوُرْعَمِب ٌۢكاَسْمِإَف ۖ ِناَتّرَم ُقٰلّطلا
اَميِف اَمِهْيَلَع َحاَنُج َلَف ِ ّا َدوُدُح اَميِقُي ّلَأ ْمُتْفِخ ْنِإَف ۖ ِ ّا َدوُدُح اَميِقُي ّلَأ اَفاَخَي ْنَأ ّلِإ ائئْيَش
َنوُمِل ّٰظلا ُمُه َكِئٰٓلوُأَف ِ ّا َدوُدُح ّدَعَتَي ْنَم َو ۚ اَهوُدَت ْعَت َلَف ِ ّا ُدوُدُح َكْلِت ۗ ۦِهِب ْتَدَتْفا
Artinya: "Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim."
Talaq 3
ۥُه َرْيَغ ا ئج ْو َز َحِكْنَت ى ّٰت َح ُد ْعَب ۢنِم ۥُهَل ّلِحَت َلَف اَهَقّلَط ْنِإَف ْنَأ اَمِهْيَلَع َحاَنُج َلَف اَهَقّلَط ْنِإَف ۗ
ِ ّا َدوُدُح اَميِقُي ْنَأ اّنَظ ْنِإ اَعَجاَرَتَي
َنوُمَل ْعَي ٍم ْوَقِل اَهُنّيَبُي ِ ّا ُدوُدُح َكْلِت َو ۗ
Artinya: "Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya,
maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama
dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang
diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan."
بتعأام ،سيق نب تباث ،ا لوسراي :تلاقف ملسو هيلع ا ىلص يبنلا تتا سيق نب تب اث ةأرما نا س ابع نبا نع ؟ةقيدح هيلع ني درتأ:ملسو هيلع ا ىلص ا لوسر لاقف ،م لسلا ىف رفكلا هركأ ينكلو ،نيد لو قلخ ىف هيلع ئاسنلا هاور ) "ةقيلطت اهقلطو ةقيدحلا لبقا":ملسو هيلع ا ىلص ا لوسر تلاق ،معن ).
Ibnu Abbas menceritakan bahwa istri tsabit bin qais menemui nabi saw lalu berkata, ya Rasulullah! Aku tidak mencela Tsabit bin Qais itu
mengenai akhlak dan cara beragamanya, tetapi aku takut kafir dalam Islam. Rasulullah SAW menjawab, apakah engkau mau mengembalikan kebun kormanya (yang jadi maskawinnya dahulu) kepadanya? “ dia menjawab: ya, kemudian rasul memanggil Tsabit bin Qais dan
menyarankan kepadanya. Terimalah kembali kebunmu dan talaklah istrimu itu satu kali!” (H.R. Bukhari).
1. Pembatalan Pernikahan
Untuk menjawab pertanyaan Anda mengenai apakah pernikahan kakak Anda dengan suaminya bisa dibatalkan, perlu diketahui apa saja alasan yang dapat digunakan untuk membatalkan perkawinan. Pasal 27 ayat (1) UU Perkawinan dan Pasal 71 KHI telah mengatur alasan-alasan suatu pembatalan perkawinan sebagai berikut:
1. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;
2. Perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri;
3. Suami melakukan poligami tanpa izin dari pengadilan agama;
4. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang
mafqud;
5. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;
6. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 7 UU Perkawinan;
7. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
dan
8. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Merujuk pada ketentuan di atas dan mendasarkan kepada informasi terkait dengan kondisi rumah tangga antara kakak Anda dan suami, maka kami berkesimpulan pembatalan perkawinan tidak dapat dilakukan.
2. Surat Cerai Tanpa Ikrar Talak
Kemudian mengenai ikrar talak, atas permohonan cerai yang suami kakak Anda lakukan dan penolakannya untuk membacakan ikrar talak, undang-undang telah memberikan jangka waktu yaitu 6 (enam) bulan terhitung sejak pemberian izin ikrar talak yang telah diberikan oleh Pengadilan Agama. Apabila dalam jangka waktu tersebut suami masih tidak
mengucapkan ikrar talaknya, maka dengan itu hak sang suami untuk mengikrarkan talak adalah gugur dan akibat hukumnya adalah perkawinan antara suami istri yang bersangkutan akan dianggap tetap utuh, sebagaimana diatur dalam Pasal 131 ayat (4) KHI sebagai berikut:
“Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.”
3. Sanksi Pidana Kepada Suami Yang Menelantarkan Istri
Kewajiban seorang suami adalah memberikan nafkah bagi istri dan anak-anaknya.
sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan jo. Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) KHI jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU Penghapusan KDRT”), sebagai berikut:
Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan:
“Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.”
Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) KHI:
(1) ….
(2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3) ….
(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri.
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.
c. biaya pendidikan bagi anak.”
Pasal 9 UU Penghapusan KDRT:
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.”