• Tidak ada hasil yang ditemukan

salah kaprah tentang pencurian ikan (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "salah kaprah tentang pencurian ikan (1)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Salah Kaprah Tentang Pencurian Ikan

Sumber : http://hukum.kompasiana.com/2014/12/03/salah-kaprah-tentang-pencurian-ikan-690172.html#

Bisa jadi karena bangsa ini sudah begitu lama memunggungi laut, seketika muncul isyu yang berkenaan dengan laut khususnya perikanan, sontak gagap dan kaget. Lebih khusus lagi isyu tentang pencurian ikan oleh nelayan asing, komentar dan tanggapan yang bermunculan begitu sumir. Penguasaan pengetahuan sangat ditentukan sampai seberapa jauh orientasi dan kesadaran ekologi yang dimiliki. Dari tanggapan dan komentar yang sumir itu, nampak drajat pengetahuan atas masalah-masalah perikanan. Satu diantaranya tanggapan atas pencurian ikan oleh nelayan asing dan ide menenggelamkan kapal. Masalah ini direduksi begitu sederhana, yang berujung pada solusi yang sederhana pula.

Seperti logika berpikir yang dirumuskan dalam pernyataan bahwa masalah pencurian ikan oleh nelayan asing karena lemahnya pengamanan dan pengawasan perairan Indonesia. Maka solusinya: tingkatkanlah pengamanan dan pengawasan agar tidak terjadi pencurian ikan. Inilah yang saya katakan tingkat drajat pengetahuan mempengaruhi cara berpikir. Padahal faktanya (bukan logika), masalah pencurian ikan oleh nelayan asing disebabkan oleh banyak faktor. Justru pengamanan dan pengawasan perairan kita sudah cukup baik. Atas fakta ini, tentu menjadi aneh, mengapa dengan pengamanan dan pengawasan yang sudah baik itu, malah pencurian ikan bertambah marak dalam sepuluh tahun terkahir. Itu artinya ada faktor lain yang determinan mempengaruhi.

Paling tidak ada empat faktor dominan: (1) lemahnya penegakan hukum ; (2) longgarnya aturan hukum; (3) mafia perikanan dan (4) imbas perkembangan global. Empat faktor inilah yang saling terkait mempengaruhi terjadinya kejahatan Illegal, Unregulated, and Unreported (IUU) fishing atau lazim disebut illegal fishing.

Tetapi yang mesti diluruskan terlebih dahulu tentang istilah “nelayan asing”. Dalam tindak pidana perikanan tentang illegal fishing,tak dikenal istilah “nelayan asing” sebagai subyek hukum. Hukum pidana perikanan yang bersifat khusus itu mengenal dua subyek hukum : kapal dan setiap orang. Setiap orang biasanya ditujukan pada nakhoda dan anak buah kapal serta korporasi. Hal yang khusus tentang kapal sebagai subyek hukum. Kapal perikanan dianggap sebagai representasi negara yang ditunjukan dengan bendera kebangsaan. Dengan kata lain, negara dianggap subyek hukum.

(2)

Kejahatan Illegal, Unregulated, and Unreported (IUU) fishing tak mengenal asing atau domestik. Kapal berbendera asing atau berbendera Indonesia. Bila melanggar terkena jerat aturan ini. Jadi tak bisa direduksi sekedar “kapal asing”. Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia sekalipun jika tak memiliki izin, tidak melaporkan hasil tangkapan atau tidak menangkap di

fishing ground yang ditetapkan dikatagorikan sebagai pencurian ikan. Justru kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang banyak melakukan pencurian ikan. Lho? Bukankah warga negara Indonesia berhak menangkap ikan di perairan negara sendiri. Inilah celah dan salah satu modus dari pencurian ikan.

Saat melakukan inspeksi mendadak, Menteri Susi menemukan kapal berbendera Indonesia dengan nama lambung kapal KM Natuna (nama Indonesia) tapi seluruh awak kapal dan pemilik kapal dari negara Thailand. Salah satu modus dari pencurian ikan dengan double flagging (penggunaan bendera kapal ganda) atau mengganti bendera kapal. Bagaimana mungkin pengawas perikanan memeriksa satu persatu dokumen perizinan di tengah laut dari ribuan kapal setiap harinya yang tengah menangkap ikan?. Sumber kesalahan utama berada di Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri yang mengeluarkan izin (SIPI dan SIKPI) tanpa melakukan uji fisik sebagai prosedur standard. Singkatnya, modus pencurian ikan disebabkan oleh illegal lisence yang dilakukan oleh mafia perikanan. Diantaranya melakukan manipulasi data dalam pendaftaran kapal eks asing (Delition Certificate dan Bill of Sale) dan membuat surat izin untuk beberapa kapal yang sengaja dibuat serupa.

Bila ingin menghancurkan pencurian ikan, harus dimulai dari hulu. Dari KKP sendiri, dengan memberantas mafia perikanan yang bisa mengeluarkan izin dengan uang sogokan. Apa yang dilakukan oleh Menteri Susi dengan moratorim perizinan hingga April 2015, sebagai langkah awal. Langkah kecil inipun sudah membuahkan hasil. Dari 933 kapal asing yang marak beroperasi di ZEEI kini hanya bersisa sekitar 164 kapal asing. Semuanya pada kabur atas kebijakan moratorium perizinan. Thailand dan Vietnam yang memohon-mohon pada Menteri Susi untuk segera mencabut moratorium itu.

Pencurian ikan juga disebabkan oleh imbas perkembangan global. Diantaranya Australia menutup 70% kawasan laut coral kemudian Filipina dan Oman juga melakukan pengetatan (jumlah tangkapan ikan). Sementara permintaan pasar internasional akan pasokan ikan begitu tinggi. Peristiwa ini mengingatkan kita kembali pada tingginya harga cengkeh dan lada di pasar Eropa pada abad ke 15, yang mengakibatkan Portugis, Spanyol, Inggris dan VOC menyerbu Nusantara. Akibat penutupan 70% kawasan coral di Australia dan adanya perketat penangkapan ikan di Afrika, India, pasar Hong Kong kekurangan pasokan. Luas perairan Indonesia yang terluas di dunia dengan ragam ikan tropis dan adanya kebijakan foreign fishing vessel

menjadikan perairan Indonesia jadi ladang pencurian ikan besar-besaran dalam sepuluh tahun terakhir.

(3)

setelah takut mencuri ikan di perairan Indonesia setelah ada ancaman menenggelamkan kapal dan ditangkapnya ratusan kapal Malaysia oleh TNI AL.

Maraknya pencurian ikan di perairan Indonesia juga disebabkan adanya celah hukum atau longgarnya aturan hukum. Indonesia masih memberi kelonggaran kapal asing untuk menangkap ikan di Indonesia dengan beberapa persyaratan (yang kemudian banyak dilanggar). Padahal negara-negara lain ada yang melarang atau memberi aturan yang sedemikian ketat. Seperti Australia, biaya izin untuk menangkap ikan ditentukan seharga US$ 1 juta. Itupun hanya berlaku untuk beberapa bulan dan jenis ikan tertentu. Ketika pemerintah hendak meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), justru ditentang oleh asosiasi perikanan yang

notebenenya pelaku usaha perikanan besar (korporasi). Sebaliknya nelayan-nelayan tradisional menyambut gembira. Sudah bisa ketebak perusahaan-perusahaan perikanan di Indonesia selama ini terlibat dalam mafia perikanan dan hanya jadi tameng dan perusahaan fiktif dari perusahaan asing.

Celah lainnya, aturan Indonesia masih membolehkan adanya transhipment di tengah laut. Kapal-kapal penangkap ikan yang memiliki izin memindahkan hasil tangkapan ke kapal

pengumpul yang sudah menunggu di batas luar ZEEI. Tentu saja proses bongkar muat hasil tangkapan tidak terjadi di pangkalan pendaratan ikan terdekat. Alasan sederhana, harga ikan di Indonesia terlampau murah jika harus di-eksport. Keuntungan besar tidak dapat diraih oleh perusahaan-perusahaan asing itu. Mending dibongkar di Malaysia atau Vietnam yang harga jualnya lebih tinggi. Tetapi, sekali lagi, saat Presiden Jokowi akan mengeluarkan Keputusan Presiden akan larangan transhipment, ditentang oleh asosiasi perikanan nasional, dengan alasan biaya operasional yang tak tertutupi. Termasuk aturan wajib untuk selalu menghidupkan Vesel Monitoring System ( VMS ) di kapal yang dapat memantau posisi dan kordinat setiap kapal. Modus yang berlangsung VMS dimatikan dan dipindahkan ke kapal lain.

Sementara itu ada pelbagai alasan-alasan klasik yang digunakan sebagai kedok. Seperti alasan tersesat dan menghindar dari badai atau mengangkut manusia perahu. Ada juga

melakukan lintas damai namun alat penangkap ikan tidak disimpan dalam palka dan kedapatan dalam kondisi basah. Hal ini banyak terjadi di lintas dari barat ke timur yang belum ditentukan lorong ALKI. Gagasan Jokowi ingin membangun tol laut lintas barat timur dapat juga diartikan sebagai “ALKI IV”. Untuk juga mengawasi kapal-kapal yang melintas damai sebagai kedok mencuri ikan.

(4)

sektoral lebih terasa dalam penegakan hukum laut. Belum selesai satu instansi memeriksa dokumen kapal, naik lagi instansi lain yang menanyakan hal serupa.

Makanya kapal-kapal penangkap ikan asing yang ditangkap mayoritas kapal kecil dibawah 100GT. Inipun belum selesai masalahnya. Kendala-kendala teknis di lapangan yang kerap ditemui seperti: tidak adanya dermaga khusus untuk tambat labuh kapal ikan asing yang ditangkap. Lalu ditumpuk begitu saja di pangkalan pendaratan ikan (PPI) yang pasti

mempengaruhi lalu lintas keluar masuk kapal-kapal nelayan. Belum lagi mengurus anak buah kapal asing non yustisia yang menunggu pelaksanaan deportasi. Dari soal tidak adanya tempat, sampai biaya makan selama penahanan di tempat terbuka itu. Karena masalah ini bukan ranah imigrasi maka beban diserahkan sepenuhnya kepada penyidik. Baik UU Perikanan maupun UNCLOS tidak membolehkan awak kapal asing dikenakan tahanan penjara atau ditahan dalam rumah tahanan.

Masalah selanjutnya pada status kapal yang dirampas oleh negara. Ketentuan hukum kita menyatakan kapal sitaan itu dapat dilelang atau dihibahkan. Tapi kedua alternatif pilihan ini punya konsekwensi yang tidak sederhana. Para mafia perikanan lebih setuju dengan lelang. Kira-kira modusnya seperti ini: Harga taksiran kapal sekitar Rp. 1,5 miliar. Para pemilik kapal asing bekerjasama dengan mafia di Indonesia dengan memberikan uang 50% atau sekitar Rp. 750 juta. Saat pelelangan, para perusahaan domestik sudah diatur dalam satu group. Sehingga tidak akan ada yang menawar di atas Rp 150 juta. Uang Rp 150 juta itulah masuk ke kas negara. Sedangkan Rp 600 juta dibagikan kepada pihak-pihak terutama pihak kejaksaan sebagai penuntut umum yang berwenang menyelenggarakan lelang. Dari banyak kasus ditemukan Harga kapal sitaan sekitar Rp 150 juta, paling tinggi masuk ke kas negara hanya Rp 40 juta. Sialnya, kapal hasil lelang itu, kembali lagi kepemilik aslinya di luar negeri. Dan beroperasi lagi sebagai kapal pencuri ikan. Ditangkap lagi, disita lagi, lelang, kembali ke pemilik dan beroperasi lagi.

Begitulah siklusnya. Padahal biaya operasi penangkapan, biaya adhoc kapal, penambatan kapal dan memberi makan ABK selama proses pengadilan tidak sepadan dengan hasil lelang yang masuk ke kas negara.

Pilihan kedua, dihibahkan. Karena proses persidangan memakan waktu yang lama, maka kapal sitaan jadi tidak terawat dan rusak. Kapal yang akan dihibahkan ke kelompok nelayan harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum dihibahkan. Beban biaya diserahkan kepada pemda dimana kelompok nelayan itu berada. Sudah bisa ketebak, Pemda akan berdalih APBD tidak mengalokasikan anggaran untuk itu. Kecuali Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Keuangan mengumpulkan semua Kepala Daerah untuk memberi solusi atas masalah ini.

Cara terakhir ya ditengelamkan menjadi rumpon. Bisa jadi tidak ada pemasukan untuk kas negara dari kapal sitaan tersebut. Tetapi upaya ini juga memutus mata rantai mafia perikanan yang begitu akut. Jadi seruan menenggelamkan kapal sesungguhnya juga sebagai pesan Jokowi kepada para mafia perikanan. Seruan ini sesungguhnya bukan ide baru. Pasal 69 ayat (4) UU Perikanan lahir atas keinginan Menteri Freddy Numberi dan keinginan DPR saat itu. Agar adanya efek jera, kapal ditenggelamkan saja. Kedua, UU perikanan Australia sudah lama

(5)

yang melontarkannya. Ketika Menteri Freddy Numberi atau Fadel Muhammad yang pernah melontarkannya, tanggapan tidak bergitu reaktif. Bahkan pada tahun 2003 dan 2004, kapal ikan berbendera Filipina dan Thailand sudah pernah ditenggelamkan oleh TNI AL.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel pengabdian pada profesi, keyakinan terhadap peraturan profesi, kemandirian, dan hubungan dengan sesama

Naviri Syafril mata kuliah Pembelajaran Sejarah Peradaban Islam yang telah memberikan tugas Makalah ini kepada kami sehingga dapat memicu motifasi kami untuk senantiasa belajar

Hasil asuhan kebidanan secara komprehensif yang penulis peroleh pada Ny “E” yaitu kehamilan normal dengan nyeri punggung, persalinan dengan persalinan fisiologis,

Berikut ini saran yang peneliti paparkan yaitu (1) Penggunaan model active learning dengan metode ccrossword puzzle mampu menarik perhatian serta semangat siswa

Demikian juga dalam pembudidayaannya, bahkan penyakit tersebut dapat menyerang ikan dalam jumlah besar dan dapat menyebabkan kematian ikan, sehingga kerugian yang

Analisis stilistik yang dapat diketengahkan daripada kata tersebut ialah terlihat gaya bahasa yang ringkas dan lembut kerana terdapat huruf ل. Penggunaan bahasa yang ringkas tidak

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa konsentrasi muatan padatan tersuspensi di Muara Sungai Banjir Kanal Barat Semarang tanggal 26 Mei 2014 saat

Abstrak : Dalam sebuah perencanaan pembelajaran sangat dibutuhkan kemampuan, keterampilan dan kejelian seorang desainer pembelajaran untuk menganalisis situasi dan