BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Telur itik adalah dari telur unggas yang gemar dikonsumsi oleh masyarakat. Telur itik adalah salah satu dari tiga jenis telur unggas yang umumnya dikonsumsi masyarakat, adapun tiga jenis telur unggas yang dikonsumsi oleh masyarakat yaitu berasal dari ayam, itik dan angsa. Telur itik memiliki keunggulan dibandingkan telur unggas lainnya yaitu telur itik mengandung vitamin A, vitamin E, vitamin B6, dan vitamin B12, niasin, tiamin dan asam pantotenat. Manfaat masing-masing komposisi yang terkandung dalam telur itik yaitu, vitamin A bermanfaat untuk kesehatan mata, vitamin E bermanfaat untuk regenerasi sel-sel saraf pada manusia, vitamin B6 bermanfaat untuk metabolisme tubuh dan lain-lain. Tetapi, disamping banyaknya manfaat dari telur itik, telur itik juga mempunyai lemak jenuh dengan kadar yang tinggi, sehingga dalam mengonsumsi telur itik harus sesuai porsinya sendiri, agar tidak menimbulkan penyakit tertentu, misalnya menimbunnya kolestrol dalam tubuh (Sudaryani, T:1996).
Selain memiliki kelebihan, telur itik juga memiliki kelemahan jika dibandingkan dengan telur ayam dalam keadaan segar. Adapun kelemahannya yaitu, telur itik akan lebih cepat mengalami penurunan kualitas, yaitu telur itik akan mudah membusuk apabila dibiarkan begitu saja. Namun, telur itik mempunyai kelebihan jika dibuat sebagai telur asin. Telur asin yang berasal dari telur itik lebih disukai dibandingkan yang berasal dari telur ayam (Dharmayudha:2013). Cara untuk memperkecil kerusakan dan memperbaiki gizi pada telur itik adalah dengan cara pengawetan. Pengawetan itu sendiri terdiri dari proses pendinginan, proses pembungkusan kering, pelapisan dengan minyak, dan pengasinan ( Hintono, A:1984).
memperpanjang masa simpan telur itik. Adapun usaha yang dilakukan untuk memperbaiki kualitas atau memperpanjang masa simpan telur asin, hal itu sesuai dengan perintah Allah swt yang tersirat di dalam Qur’an, surah Al-A’am ayat 135 yang berbunyi (Departemen Agama RI, 2005):
“Katakanlah: Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik di dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan mendapatkan keberuntungan.”
Melalui ayat di atas bisa diambil pelajaran bahwa, Allah telah menciptakan akal pada manusia, agar digunakan untuk berfikir, dan melalui proses berfikir tersebut manusia dapat menciptakan atau menemukan hal yang baru, seperti pembuatan telur asin, melalui hasil pemikiran manusia sebuah telur itik yang awalnya hanya memeiliki masa simpan yang sebentar atau cepat busuk, dapat berubah menjadi telur itik yang memiliki masa simpan yang lebih lama. Begitu juga dengan rasa pada telur itik yang awalnya hanya memiliki rasa biasa saja, bisa dirubah menjadi beraneka macam rasa. Melalui firman Allah di atas juga terdapat kandungan atau pelajaran bahwasanya setiap manusia yang mau berfikir Allah pasti akan memberi jalan kepadanya untuk mencapai sesuatu hal yang ingin dicapai. Sehingga, mampu menghasilkan hal-hal yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Adapun pengembangan rasa telur asin yang ingin dicoba dalam mini riset ini adalah telur dengan penambahan bumbu rawon dan bumbu bacem.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari mini riset yang berjudul “Uji Organoleptik pada Telur dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu Bacem” ini adalah sebagai berikut:
1. Manakah yang paling disukai oleh panelis diantara telur rawon dan telur bacem?
1.3 Tujuan
Tujuan dari mini riset yang berjudul “Uji Organoleptik pada Telur dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu Bacem” ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui telur manakah yang lebih disukai oleh panelis diantara telur rawon dan telur bacem.
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah adanya uji organoleptik penambahan bumbu rawon pada telur asin, dan bumbu bacem pada telur asin, terhadap warna, aroma, tekstur, dan rasa telur asin.
1.5 Manfaat Penelitian
1.6 Batasan Masalah
Batasan masalah dari mini riset yang berjudul “Uji Organoleptik terhadap Telur Asin dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Telur Manis dengan Penambahan Bumbu Bacem” ini adalah sebagai berikut:
1. Telur yang digunakan adalah telur itik (Anas platyhyncos) yang bermutu baik.
Tabel 1. Standart Mutu pada Telur Itik (Anjarsari,2010) Parameter Kelas
Kantung udara 1/8 inci 1/8-1/4 inci 1/4-3/8 inci Bergeser,
Kuning telur Batas jelas, ditengah,
Haugh Unit 72 60-70 31-60 31
Ciri-ciri telur yang mempunyai mutu yang baik adalah kulit telur bersih, tidak retak, bentuk normal, kedalaman kantung udara 0,3 cm atau kurang, putih telur pekat dan jernih, kuning telur terletak di pusat dengan baik, kuning telur jernih dan bebas dari noda dan cara yang paling mudah untuk megetahuinya yaitu masukkan telur itik ke dalam air, apabila telur itik tersebut tenggelam maka telur itik tersebut baik.
2. Parameter yang diamati adalah warna, aroma, tekstur dan rasa. Parameter diamati dengan cara angket.
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Telur Itik
Telur adalah produk ternak yang mudah sekali rusak oleh lingkungan, yaitu kelembapan, suhu dan lama penyimpanan. Kerusakan tersebut berupa perubahan-perubahan pada telur. Perubahan-perubahan yang dapat diketahui dari luar dan perubahan-perubahan dalam isi telur yang hanya dapat diketahui jika telur sudah dipecahkan (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Stuktur fisik telur itik secara keseluruhan hampir sama dengan telur ayam, terdiri dari tiga bagian yaitu kulit telur (8%-11%), putih telur (56%-61%) dan kuning telur (27%-31%) (Powrie, 1984). Bentuk telur itik yang normal umumnya sama dengan telur ayam, yaitu oval dengan salah satu bagian meruncing sedangkan ujung lainnya tumpul (Stewart dan Abbott, 1972). Adapun bagian-bagian dari telur, dintaranya sebagai berikut:
a. Kulit Telur
Kulit telur bersifat kuat, halus, dan berkapur. Kulit telur terdiri dari empat lapisan yaitu: (1) lapisan kutikula yang merupakan lapisan paling luar yang menyelubungi seluruh permukaan telur, (2) lapisan bunga karang yang terletak dibawah kutikula, (3) lapisan mamila yang merupakan lapisan ketiga dan sangat tipis, dan (4) lapisan membrane yang terletak paling dalam (Sarwono, 1994).
Gambar 1. Susunan Bagian Kerabang Telur (Stadelman dan Cotteril, 1973)
Pada telur segar, permukaan kulit dilapisi oleh lapisan tipis kutikula yang segera mongering setelah peneluran dan menutup pori-pori telur sehingga mengurangi hilangnya air dan gas-gas serta invasi oleh mikroorganisme. Lapisan kutikula mengandung 90 % protein yang kebanyakan terdiri dari tirosin, glisin, lisin dan sistein (Romanoff dan Romanoff, 1963).
b. Kuning Telur
Kuning telur merupakan emulsi lemak dalam air yang terdiri atas 1/3 protein dan 2/3 lemak. Kuning telur adalah suatu bagian yang penting dari telur. Bagian ini mengandung bahan-bahan makanan untuk perkembangan embrio. Berbeda dengan putih telur, kuning telur terdiri dari protein telur dan lemak yang berbentuk butiran-butiran dalam berbagai ukuran (Romanoff dan Romanoff, 1949; Winton, 1949).
telur memiliki semua vitamin kecuali vitamin B2 (Stadelman dan Cotterill,
1995). c. Putih Telur
Putih telur terdiri dari empat lapisan yang tersusun secara istimewa, yaitu: lapisan encer luar, lapisan kental luar, lapisan encer dalam dan lapisan khalazaferous. Masing-masing lapisan tersebut mempunyai kandungan air yang berbeda-beda (Romanoff, 1949). Bagian terbesar dari telur adalah putih telur, yaitu sebesar 56%-61% dari keseluruhan telur. Protein putih telur terdiri dari protein serabut dan protein globular (Powrie dan Nakia, 1985).
Jenis protein pada putih telur diantaranya adalah ovalbumin, konalbumin, ovamucit, lizozim, ovoglobulin, ovoinhibitor, dan ovidin. Ovomucin merupakan glikoprotein yaitu yang mengandung karbohidrat yang berbentuk serabut. Serabut-serabut ovomucin berbentuk jala yang dapat mengikat bagian cair dari putih telur sehingga ovomuein menentukan kekentalan putih telur(Powrie, 1973).
Putih telur juga mengandung karbohidrat. Karbohidrat yang terdapat dalam adalah karbohidrat yang berikatan dengan protein (± 0,5%) atau biasa disebut glikoprotein dan karbohidrat yang berdiri sendiri (± 0,4%-0,5%). Karbohidrat tersebut adalah glukosa (98%), manosa, galaktosa, arabinosa, xylosa, ribosa dan dioksiribosa. Putih telur selain mengandung air, protein dan karbohidrat juga mengandung lemak, vitamin dan mineral (Winarno dan Koswara, 2002). Di bawah ini adalah tabel dari kandungan telur itik:
Tabel 2. Komposisi Gizi Telur Itik (USDA, 2007 )
No. Komposisi Telur
Itik No. Komposisi
Telur Itik
1. Energi (kkal) 185,00 13. Fosfor/P (mg) 220,00
3. Total lemak (g) 13,77 15. Seng/Zn (mg) 1,41 4. Karbohidrat (g) 1,45 16. Tembaga/Cu (mg) 0,06 5. Kalsium/Ca (mg) 64,00 17. Mangan/Mn (mg) 0,04
6. Besi/Fe (mg) 3,85 18. Tiamin(mg) 0,16
7. Magnesium/Mg (mg) 17,00 19. Riboflavin(mg) 0,40 8. Niasin(mg) 0,20 20. Asam Panthothenat (mg) 1,86
9. Vitamin B6 (mg) 0,25 21. Vitamin E (mg) 1,34
10. Kolesterol (mg) 884,0 22. Vitamin B12 (mkg) 5,40 11. Selenium/Se (mkg) 36,40 23. Vitamin K (mkg) 0,40 12. Vitamin A (IU) 674,00
Selain kandungan telur itik secara keseluruhan, di bawah ini terdapat tabel yang menunjukkan informasi mengenai kandungan telur itik yang lebih spesifik yaitu kandungan saat telur iti masih utuh, kandungan putih telur itik, dan juga kandungan kuning telur itik.
Tabel 3. Komposisi Telur Itik Tiap 100 gram
komposisi Telur Itik
Telur Utuh Putih Telur Kuning Telur
Air (%) 70,60 88.00 47.00
Protein (g) 13,1 11.00 17.00
Lemak (g) 14,30 - 35.00
Karbohidrat (g) 0,80 0,80 0,80
Energi (kkal) 189,0 54,0 398,0
Pengasinan merupakan proses penetrasi garam ke dalam bahan yang diasin dengan cara difusi setelah garam mengion menjadi Na+ dan Cl-.
Penambahan garam dalam jumlah tertentu pada suatu bahan pangan dapat mengawetkan bahan pangan tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya kenaikan tekanan osmotik yang menyebabkan plasmolisis sel mikroba yaitu sel mengalami dehidrasi atau keluarnya cairan dari sel dan plasmolisis sel terhadap CO2. Penambahan garam juga akan mengurangi oksigen terlarut, menghambat
kerja enzim dan menurunkan aktivitas air. Proses pengasinan yang berhasil dengan baik ditentukan oleh karakteristik telur asin yang dihasilkan. Telur asin tersebut bersifat stabil, aroma dan rasa telurnya terasa nyata, penampakan putih dan kuning telurnya baik (Winarno dan Koswara, 2002).
Telur yang akan diawetkan harus mempunyai mutu awal yang baik. Ciri-ciri telur yang mempunyai mutu yang baik adalah kulit telur bersih, tidak retak, bentuk normal, kedalaman kantung udara 0,3 cm atau kurang, putih telur pekat dan jernih, kuning telur terletak di pusat dengan baik, kuning telur jernih dan bebas dari noda (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Pengasinan telur merupakan suatu upaya untuk pengawetan telur yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan merendam telur di dalam larutan garam ataupun dengan membungkus telur dalam adonan garam dan batu bata atau abu gosok. Pengasinan dengan cara perendaman di dalam larutan garam pada prinsipnya diawali dengan pembuatan larutan garam jenuh dan selanjutnya telur yang sudah dicuci direndam dalam larutan garam tersebut selama kurang lebih 2 minggu (Sudaryani, 1996). Tujuan dari proses pengasinan ini adalah untuk mencegah kerusakan dan kebusukan telur serta memberi cita rasa khas dari telur (Sirait, 1986; Harimurti, 1992).
lapisan-lapisan pada telur, sehingga pada telur yang diasinkan, garam akan masuk secara bertahap dari putih telur ke kuning telur.
Gambar 2. Struktur Telur (Stadelman dan Cotteril ,1973)
Selain itu juga pengasinan banyak menghasilkan keuntungan, antara lain mudah untuk dilakukan, biayanya murah, praktis, serta dapat meningkatkan kesukaan konsumen. Berdasarkan metode pengolahannya, ada dua metode yang digunakan yaitu perendaman dengan menggunakan larutan garam jenuh dan pembalutan dengan mencampur garam, serbuk bata merah atau abu gosok, dan kadang-kadang menggunakan kapur (Joedawinata, 1976).
Prinsip pengasinan telur adalah adanya proses difusi osmosis, yaitu proses pengurangan air dari bahan dengan cara membenamkan bahan dalam suatu larutan berkonsentrasi tinggi. Tekanan osmotik pada larutan garam atau adonan lebih tinggi daripada tekanan osmotik didalam telur, sehingga larutan garam yang memiliki tekanan osmosis lebih tinggi dapat masuk ke dalam telur melalui pori-pori telur (Kastaman dkk, 2005; Novia dkk, 2009). Pada proses tesebut, terjadi pertukaran cairan antara telur dengan media pengasinan, larutam garam masuk sedangkan air yang terkandung dalam telur keluar, sehingga rasa asin mendominasi cita rasa telur asin (Apriadjie, 2008).
telur. Garam akan diubah menjadi ion natrium (Na+) dan ion chlor (Cl-).
Larutan garam (NaCl) akan masuk ke dalam telur dengan cara menembus ke pori-pori kulit, menuju ke bagian putih, dan akhirnya ke kuning telur. Telur merupakan bahan makanan yang mudah mengalami kerusakan yaitu kerusakan fisik, kimia, maupun kerusakan oleh mikroba. Salah satu cara untuk memperkecil kerusakan dan memperbaiki gizi adalah dengan cara pengasinan menggunakan medium pengasin bubuk batu bata / abu gosok. Selain itu Garam sangat efektif digunakan sebagai media perbaikan gizi atau makanan. Garam juga berfungsi sebagai pencipta rasa yang khas sekaligus sebagai bahan pengawet. Salah satu bahan makanan yang diawetkan dengan garam adalah telur.
Stadelman dan Cotteril (1973), menyatakan, bahwa selama pengasinan terjadi perpindahan air dari kuning telur menuju putih telur, dehidrasi selama pengasinan ini akan meningkatkan keluarnya minyak. Sarwono (1994) menyatakan, besarnya minyak yang keluar seiring dengan pembentukan butiran-butiran berpasir pada kuning telur.
Bertambahnya umur simpan telur mengakibatkan tinggi lapisan kental putih telur menjadi turun. Hal ini terjadi karena perubahan struktur gelnya sehingga permukaan putih telur semakin meluas akibat pengenceran yang terjadi dalam putih telur karena perubahan pH dari asam menjadi basa dan penguapan CO2 . Kenaikan pH pada putih telur akibat hilangnya CO2 yang
lebih lanjut mengakibatkan serabut-serabut ovomucin berbentuk jala akan rusak dan pecah sehingga bagian cair dari putih telur menjadi encer dan tinggi putih telur menjadi berkurang. Kuning telur mempunyai nilai pH 6,0 pada telur yang baru ditelurkan. Selama penyimpanan pH kuning telur meningkat sampai nilai maksimal 6,4-6,9 tergantung dari temperatur dan lama penyimpanan ( Harimurti,1992).
yang memiliki skala Roche yaitu standar warna 1-15 dari warna pucat sampai warna pekat atau orange tua. Warna kuning telur sangat erat kaitannya dengan vitamin A yang terdapat di dalam pakan sehingga semakin besar karoten yang akan terdeposisi dalam kuning telur yang akhirnya akan memengaruhi warna kuning telur. Karotenoid berupa xantophyl akan memberi warna kuning telur semakin berwarna jingga kemerahan (Sirait, 1986).
1.3 Perubahan yang Terjadi Selama Proses Pengasinan a. Denaturasi protein
Denaturasi dapat diartikan sebagai suatu perubahan atau modifikasi struktur sekunder, tersier, dan kuartener molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen. Denaturasi protein dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu panas, pH, bahan kimia, gelombang suara, tekanan yang tinggi dan mekanik. Senyawa kimia seperti urea dan garam dapat memecah ikatan hidrogen yang akhirnya menyebabkan denaturasi protein (Winarno, 1997).
b. Koagulasi
Konsentrasi terbesar dalam lapisan putih telur adalah ovomucin. Mucin berperan dalam proses koagulasi. Kalaza mempunyai kandungan mucin yang tinggi dan mempunyai daya tahan terhadap penggumpalan. Sebaliknya, kuning telur mengandung komponen non protein yang merupakan subyek penggumpalan. Bila dalam suatu larutan protein ditambahkan garam, daya larut protein akan berkurang, akibatnya protein akan terpisah sebagai endapan. Peristiwa pemisahan protein ini disebut sebagai salting out. Bila garam netral yang ditambahkan berkonsentrasi tinggi, maka protein akan mengendap (Winarno, 1997).
c. Pembentukan gel
adalah pemerangkapan air, immobilisasi dan pembentukan struktur gel yang stabil (Fennema, 1985).
Pembentukan gel ada empat tahapan diantaranya adalah denaturasi, agregasi, koagulasi dan flokulasi (Pomeranz, 1985). Garam merupakan salah satu faktor yang menyebabkan denaturasi dan mempengaruhi pembentukan gel pada kuning telur. Hal tersebut terjadi karena adanya aktivitas kation dan anion dari garam yaitu Na+ dan C1- yang meningkat (Stadelman dan Cotterill,
1977).
d. Proses kemasiran telur
Kemasiran kuning telur dipengaruhi oleh garam yang masuk ke dalam kuning telur. Suatu emulsi dapat dipecahkan dengan pemanasan dan penambahan NaCl yaitu dengan merusak keseimbangan fase polar (protein) dan fase non polar (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Tekstur masir yang ditimbulkan dari kuning telur berhubungan erat dengan granula yang terdapat di dalam kuning telur (Wulandari, 2002).
Rasa asin telur asin yang dihasilkan sangat bergantung kepada lama penyimpanan. Bagi yang menyukai telur asin sebagai teman dari nasi, maka penyimpanan selama 15 hari cukup maksimal. Selain asinnya kental, kuning telurnya pun kuning tua dan berminyak, dan untuk sekedar sebagai camilan maka disimpan maksimal 10 hari sudah cukup (Sudaryani, 1996).
Hal ini sesuai dengan pendapat Stadelman dan Cotterill (1977) yang menyatakan bahwa kemasiran merupakan salah satu karakteristik kuning telur asin. Tekstur masir pada kuning telur akan mempengaruhi tingkat penerimaan konsumen. Ukuran granula diakibatkan oleh adanya air garam yang masuk ke dalam granula dan reaksi garam dengan low density lipoprotein (LDL). Menurut Chang, Powrie dan Fennema (1997) menambahkan garam yang masuk ke dalam kuning telur akan bereaksi dengan lipoprotein (yang sebagian besar dalam bentuk fraksi low densiw). Hal diatas akan membentuk tekstur masir pada kuning telur.
Menurut penelitian Indriani (2008) menyatakan bahwa hasil yang diperoleh dari sifat fisik, kimia dan organoleptik telur asin, tekanan konsentrasi larutan garam yang dapat digunakan untuk menghasilkan telur asin yang disukai adalah dengan menggunakan larutan garam 1:4. Pada konsentrasi larutan garam tersebut dihasilkan rasa asin putih telur yang tidak terlalu asin, tetapi kuning telurnya berada pada kisaran kuning telur masir. Sedangkan menurut penelitian Gumay (2009), menyatakan bahwa proses pembuatan telur asin menurunkan kadar air pada perlakuan hingga 45% lebih rendah. Penurunan kadar air dari telur itik segar disebabkan oleh proses pemanasan pada saat perebusan telur asin.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1Desain Penelitian
3.2Populasi dan Sampel
Mini riset ini mengambil telur itik sebagai bahan mini riset. Ada 2 sampel dalam pembuatan telur asin, yaitu telur asin rasa rawon dan telur manis rasa bacem.
3.3Waktu dan Tempat Penelitian
Pembuatan telur asin rasa rawon dan rasa bacem, mulai pembuatannya pada hari Jum’at, 22 April 2016 – hari Senin, 8 Mei 2016, yang bertempat di Laboratorium Biokimia, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
3.4 Alat dan Bahan
3.4.1 Alat
Alat yang digunakan dalam mini riset yang berjudul “Uji Organoleptik Terhadap Telur Asin dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Telur Manis dengan Penambahan Bumbu Bacem” ini adalah sebagai berikut:
1. Kompor 1 buah
2. Ember plastik 2 buah
3. Panci 1 buah
4. Neraca 1 buah
5. Pisau 1 buah
6. Cobek 1 buah
3.4.2 Bahan
Rawon dan Telur Manis dengan Penambahan Bumbu Bacem” ini adalah sebagai berikut:
1. Telur bebek 7 buah
2. Batu bata yang telah dihaluskan 1,5 kg
3. Abu gosok 1,5 kg
4. Air secukupnya
5. Bumbu rawon
Kluwak 1 buah
Bawang merah 14 buah
Bawang putih 6 buah
Kunyit 2 cm
Jahe 2 cm
Ketumbar 3 gram
Lada 1,5 gram
Garam secukunya
gula putih secukupnya
6. Bumbu bacem
Bawang putih 4 buah
Bawang merah 6 buah
Lengkuas 4 cm
Ketumbar 3 gram
Gula merah 0,25 kg
Garam secukupnya
3.5Sampel dan Perlakuan
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berupa telur asin rasa rawon dan telur manis rasa bacem.
terdiri dari campuran abu gosok sebanyak 1,5 kg, batu bata merah yang telah dihaluskan sebanyak 1.5 kg, dan air secukupnya, kemudian di aduk hingga berbentuk pasta. Setelah adonan menjadi pasta kemudian aonam tersebut dibagi menjadi dua bagian yang sama, setelah itu di tambahakan bumbu rawon pada adonan pertama dan bumbu bacem yang telah pada adonan yang kedua. Kemudian adonan tersebut di balutkan pada telur itik sampai merata setebal 10 cm, kemudian didiamkan selama 16 hari, di dalam ember plastik.
3.6 Prosedur Penelitian
Tahap-tahap pembuatan telur asin rasa rawon dan telur manis rasa bacem adalah pertama-tama menyiapkan telur itik sebanyak 8 butir, abu gosok 1,5 kg, batu bata merah yang telah dihaluskan 1,5 kg, air secukupnya, garam, bumbu rawon dan bumbu bacem secukupnya. Selanjutnya membersihkan telur itik sampai bersih hingga kulit telur terlihat putih bersih. Selanjutnya, tiriskan telur itik sampai kering dengan cara didiamkan diwadah yang telah disediakan. Selanjutnya dilakukan pembalutan telur itik sesuai dengan perlakuan. Selanjutnya dilakukan penyimpanan telur itik ke dalam ember plastik selama 16 hari. Setelah masa perendaman selesai, maka telur itik direbus sampai masak dengan ditandai warna kulit telur agak keputihan. Kemudian dilakukan pengujian organoleptik (warna, aroma, rasa, tekstur) telur asin pada masing-masing perlakuan.
Diagram alir pembuatan telur itik asin rasa rawon dan telur itik manis rasa bacem sebagai berikut :
17 Telur Itik
Pencucian
Ditiriskan
Dibalut dengan adonan sesuai dengan perlakuan
Disimpan di dalam ember plastik selama 16 hari
Direbus hingga masak (warna kulit telur agak putih)
Gambar 3. Diagram Alir Pembuatan Telur Rawon dan Telur Bacem
3.7 Parameter yang Diukur Uji organoleptik:
Warna Putih Telur a. Putih Bersih
b. Kecoklatan
c. Coklat
d. Sangat Coklat
Warna Kuning Telur
a. Kuning Cerah (Pucat)
b. Kuning Agak Kemerahan (agak orange)
d. Sangat Kemerahan (sangat orange)
Aroma Rawon Pada Telur Asin a. Aroma Rawon Tidak Tercium b. Aroma Rawon Kurang Tercium c. Aroma Rawon Cukup Tercium d. Aroma Rawon Sangat Tercium
Aroma Bacem Pada Telur Asin
a. Aroma Bacem Tidak Tercium
b. Aroma Bacem Kurang Tercium
c. Aroma Bacem Cukup Tercium
d. Aroma Bacem Sangat Tercium
Tekstur Putih Telur
a. Tidak Kenyal dan Padat
b. Kurang Kenyal dan Padat
c. Cukup Kenyal dan Padat
d. Sangat Kenyal dan Padat
Tekstur Kuning Telur
a. Tidak Masir (Seperti Pasir) b. Kurang Masir (Seperti Pasir) c. Cukup Masir (Seperti Pasir) d. Sangat Masir (Seperti Pasir
Rasa Asin pada Telur Rawon a. Tidak Terasa Asin b. Kurang Terasa Asin c. Cukup Terasa Asin d. Sangat Terasa Asin
d. Sangat Terasa Manis
3.8 Analisis Data
Cara pengambilan data yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan cara membagikan angket kepada 10 orang penelis. Adapun objek yang harus dinilai oleh seorang panelis meliputi warna, aroma, tekstur, dan rasa dari telur rasa rawon maupun telur rasa bacem. Kemudian peneliti menganalisis berapa banyak orang yang menyukai telur asin rasa rawon dan telur manis rasa bacem. Cara penganalisisan data yaitu dengan mengumpulkan semua data dari penelis kemudian menghitung manakah pilihan panelis terbanyak mengenai opsi penilaian mengenai warna, aroma, tekstur, dan rasa dari telur rawon juga telur bacem. Setelah diketahui pilihan panelis terbanyak, kemudian penyimpulan data mengenai warna, aroma, tekstur, dan rasa dari telur rawon juga telur bacem.
BAB IV
4.1 Uji Organoleptik Telur dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu Bacem terhadap Warna pada Putih dan Kuning Telur
Uji organoleptik terhadap warna bertujuan untuk mengetahui tingkat respon dari panelis mengenai kesukaannya terhadap formulasi telur rasa rawon dan telur rasa bacem. Menurut Soekarto (1990), warna merupakan salah satu komponen yang dapat menentukan mutu dari suatu bahan ataupun produk pangan. Warna dapat memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan seperti pencoklatan dan pengkaramelan. Warna merupakan salah satu tolak ukur ada atau tidak terjadinya penyimpangan pada produk pangan. Dibawah ini adalah tabel hasil survei peneliti mengenai penilaian para panelis terhadap warna telur rawon dan telur bacem.
Tabel 4. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna
Aspek penilaian Indikator penilaian
menunjukkan kualitas suatu makanan. Dilihat dari penilaian panelis, panelis menilai bahwa telur rawon kualitasnya lebih baik daripada telur bacem apabila ditinjau dari segi warna yang di timbulkan.
Kecerahan pada kuning telur merupakan indikator yang digunakan untuk menentukan kualitas telur. Penilaian warna kuning telur dapat dilakukan secara visual dengan membandingkan warna kuning telur dengan alat yolk color fan yang memiliki skala Roche yaitu standar warna 1-15 dari warna pucat sampai warna pekat atau orange tua. Warna kuning telur sangat erat kaitannya dengan vitamin A yang terdapat di dalam pakan sehingga semakin besar karoten yang akan terdeposisi dalam kuning telur yang akhirnya akan memengaruhi warna kuning telur. Karotenoid berupa xantophyl akan memberi warna kuning telur semakin berwarna jingga kemerahan (Sirait, 1986).
4.2 Uji Organoleptik Telur dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu Bacem terhadap Aroma
Uji organoleptik terhadap aroma bertujuan untuk mengetahui tingkat respon dari panelis mengenai kesukaannya terhadap formulasi telur rasa rawon dan telur rasa bacem. Hasil uji organoleptik terhadap aroma telur rasa rawon dan telur rasa bacem yang dihasilkan dapat dilihat pada tabel 4 berikut:
Tabel 5. Hasil Penilaian Panelis terhadap Aroma
perlakuan yang dilakukan pada telur itik tidak tercium bau rawon maupun bacemnya, berarti produk telah mengalami kerusakan, yaitu tercium bau busuk pada telur, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kartika pada uraian di atas. Kerusakan produk bisa disebabkan oleh salahnya cara penggabungan antara adonan, telur dan keadaan bumbu yang dicampurkan (sudah masak atau masih mentah) yang digunakan.
Selain karena salahnya cara penggabungan antara adonan dengan bumbu. Aroma bau khas kedua sampel yang diharapkan mampu tercium, ternyata tidak dihasilkan. Hal tersebut juga dapatm dikarenakan, salah dalam perlakuannya, perbandingan antara bumbu dan adonan tidak sesuai yang dengan literatur, dalam literatur (Indriani, 2008) disebutkan perbandingan antara adonan dengan bumbu 1:4, namun peneliti hanya menggunakan perbandingan 3:2. Sehingga, bau yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan (bau rawon dan bacem tidak tercium).
4.3 Uji Organoleptik Telur dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu Bacem terhadap Tekstur
Tekstur produk pangan merupakan salah satu komponen penting yang perlu dinilai dalam uji organoleptik telur rasa rawon dan telur rasa bacem. Uji organoleptik terhadap tekstur bertujuan untuk mengetahui tingkat respon dari panelis mengenai kesukaannya terhadap telur rasa rawon dan telur rasa bacem. Hasil pengujian organoleptik terhadap tekstur telur asin rasa rawon dan telur manis rasa bacem dapat dilihat pada tabel 5 berikut:
Tabel 6. Hasil Penilaian Panelis terhadap Tekstur
Aspek penilaian Indikator penilaian
Sangat kenyal dan padat 3
-Kuning telur
Tidak masir (seperti pasir) 8 6 Kurang masir (seperti
Menurut Faiz (2011), tekstur telur asin sangat erat kaitannya dengan kadar air, semakin tinggi kadar air telur asin maka tekstur telur asin tersebut lembek begitupun sebaliknya. Berkurangnya kadar air menyebabkan tekstur telur semakin keras. Adanya air dalam bahan makanan menyebabkan bahan tersebut mudah rusak dikarenakan air adalah media yang baik bagi perkembangbiakan mikroorganisme. Tekstur putih telur dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kadar protein, suhu pemanasan, kekuatan ion dan adanya interaksi dengan komponen lain. Penambahan garam pada suspensi protein menimbulkan penyatuan protein yang menghasilkan pembentukan jaringan pada kuning telur dan putih telur.
Tekstur adalah salah satu sifat bahan atau produk yang dapat dirasakan melalui sentuhan kulit ataupun pencicipan. Kemasiran kuning telur dipengaruhi oleh garam yang masuk ke dalam kuning telur. Suatu emulsi dapat dipecahkan dengan pemanasan dan penambahan NaCl yaitu dengan merusak keseimbangan fase polar (protein) dan fase non polar (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Tekstur masir yang ditimbulkan dari kuning telur berhubungan erat dengan granula yang terdapat di dalam kuning telur (Wulandari, 2002).
Menurut Kartika (1988), tekstur kuning telur pada telur rasa bacem tidak terjadi kemasiran, dan sedikit berair/lembek. Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya reaksi antara gula dengan kuning telur manis. Gula (sukrosa) mempunyai kemampuan untuk menurunkan aktifitas air dan mengikat air. Gula yang ditambahkan pada bahan pangan dengan konsentrasi yang sangat tinggi (< 40%) akan mengakibatkan jumlah air bebas yang ada dalam bahan pangan tersebut menjadi tidak tersedia bagi pertumbuhan mikroorganisme, sehingga proses pemadatan tidak maksimal.
Tabel di atas menjelaskan bahwa perbandingan tekstur pada putih telur, telur rawon dan telur bacem adalah 6:2, hal itu disebabkan karena adanya pengaruh garam pada telur rawon dan gula pada telur bacem. Menurut Faiz (2011), penambahan garam pada telur rawon membuat suspensi protein menimbulkan penyatuan protein yang menghasilkan pembentukan jaringan pada pada kuning telur dan putih telur sehingga terjadi pemadatan pada putih telur. Sedangkan, pada telur bacem adanya penambahan gula akan mengakibatkan jumlah air bebas yang ada dalam bahan pangan tersebut menjadi tidak tersedia bagi pertumbuhan mikroorganisme, sehingga proses pemadatan tidak maksimal, karena gula (sukrosa) mempunyai kemampuan untuk menurunkan aktifitas air dan mengikat air, menurut Kartika (1998). Seharusnya, prinsip tersebut juga berlaku pada kuning telur yang memiliki perbandingan telur rawon dan telur bacem, yaitu 2:4. Namun, data yang didapatkan berkata bahwa, telur bacem lebih masir daripada telur rawon, hal itu dapat terjadi mungkin dikarenakan kurangnya pemberian garam pada telur rawon, bisa juga kesalahan panelis dalam memberikan nilai. Karena minimnya pengetahuan panelis mengenai kemasiran telur itu seperti apa.
4.4 Uji Organoleptik Telur dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Bumbu Bacem terhadap Rasa
bacem yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan. Hasil uji organoleptik terhadap rasa telur rasa rawon dan telur rasa bacem yang dihasilkan pada tabel 6 sebagai berikut:
Tabel 7. Hasil Penilaian Panelis terhadap Rasa
Aspek penilaian Indikator penilaian
Jawaban dalam skala Telur
Rawon (Asin)
Telur Bacem (Manis)
Rasa
Tidak terasa 10 10
Kurang terasa -
-Cukup terasa -
-Sangat terasa -
-Sumber: Riset Peneliti Sendiri
Menurut deMan (1997), rasa umum disepakati bahwa hanya ada empat rasa dasar yaitu manis, pahit, masam dan asin. Kepekaan terhadap rasa terdapat pada kuncup rasa pada lidah. Hubungan antara struktur kimia suatu senyawa lebih mudah ditentukan dengan rasanya.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari mini riset berjudul “Uji Organoleptik pada Telur dengan Penambahan Bumbu Rawon dan Telur dengan Penambahan Bumbu Bacem”, antara lain:
1. Dari kedua sampel, telur rawon dan telur bacem yang paling disukai oleh panelis adalah telur asin rasa rawon.
Hasil dari penelitian ini adalah warna, aroma, tekstur, dan rasa pada telur rasa rawon maupun telur rasa bacem. Masih kurang yaitu, tidak didapatkan warna yang standart pada telur rasa pada dasarnya. Aroma yang didapatkan pada penelitian ini bukannya aroma rawon/bacem, tapi aroma busuk .Tekstur yang di dapatkan hampr mendekati standart telur yang telah diawetkan pada dasarnya. Sementara, untuk rasa juga tidak muncul rasa rawon/bacem pada telur. Hal itu disebabkan karena kurang tepatnya dalam menghitung perbandingan antara bumbu, adonan dan telur yang digunakan, serta metode yang digunakan untuk membuatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anjarsari, Bonita. 2010. Pangan Hewani Fisiologi Pasca Mortem dan Teknologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Chang, C. M, W. D. Powrie and Fennema. 1977. Microstructrure of Egg Yolk. J. Food Sci. 42 : 1193-1200.
deMan, M.J. 1997. Kimia Makanan. Penerjemah K. Padmawinata. Bandung : ITB Press.
Dharmayudha AAGO dan Agustina KK. 2013. Kandungan Antioksidan, Gizi dan Kualitas Telur Asin dengan Media Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.). Laporan Penelitian Dosen Muda. LPPM Universitas Udayana.Faiz, Hassan. 2010. Pengaruh penambahan sari temulawak (Curcuma xanthorrhiza) terhadap total fenol, kadar garam, kadar lemak dan tekstur telur asin. J. Ilmu-Ilmu Peternakan. 24(3):38 – 44.
Fennema, O. R. 1985. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker, Inc.
Gumay, T. R. 2009. Kandungan Beta Karoten dan Nilai Gizi Telur Asin dari itik yang Mendapatkan Limbah Udang. Program studi Teknologi Hasil Ternak. Fakutas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hardjosworo, P. S. 1995. Peluang Pemanfaatan Potensi Genetik dan Prospek.
Harimurti. 1992. Pengolahan Telur, PAU Pangan dan Gizi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Hintono, A. 1984. Prinsip Pengawetan Telur. Buletin Poultry Indonesia. No 2:15-16. Husein, Thoha. 2002. Al Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: CV Darus Sunah
Pengembangan Unggas Lokal. Prosiding Seminar Nasional dan Teknologi Peternakan. Balai Penelitian Ternak. Ciawi, Bogor.
Indriani, W. 2008. Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik Telur Asin melalui Penggaraman dengan Tekanan dan Konsentrasi Garam yang Berbeda. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Departemen Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kartika, B. Hastuti, Supartono, W. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. Yogyakarta : UGM.
Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pomeranz, Y. 1985. Functional Propoteis of Food Components. London: Academic Press, Inc.
Romanoff, A. L dan A. J. Romanoff. 1963. The Avian Eggs. John Willey and Sons, Inc., New York.
Samosir, D. J. 1983. Ilmu Ternak Itik. Jakarta: PT Gramedia.
Sarwono, B. 1994. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. Jakarta: Penebar Swadaya Setioko, A. R., Syamsudin, M. Rangkuti, H. Budiman dan A. Gunawan. 1994.
Budidaya Ternak Itik. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Sirait, C. H. 1986. Telur dan Pengolahanya. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Petenakan.
Soekarto, 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Bogor : IPB Press.
Stadelman, R. G and O. J. Catterill. 1995. Egg Science and Technology. 4th. ed. Food
Product Press. New York.
Stadelman, W. J. and O. J. Cotteril. 1973. Egg Science and Technology. The AVI Publishing, Inc. Westport. Connecticut.
Sudaryani, T. 1996. Kualitas Telur. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sudaryani, T. 1996. Telur dan Hasil Olahannya. Jakarta: Penerbit Swadaya
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Winarno, F.G. dan S. Koswara. 2002. Telur : Komposisi, Penanganan dan
Pengolahannya. Bogor: M-Brio Press.
Winton, A. L and K. B. Winton. 1949. Structure and Compositionof Foods. John Wiley and Sons, Inc., New York.