MANAJEMEN PEMERINTAHAN PUSAT
(PENGANGGARAN DAN REALISASI ANGGARAN)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENGAWASAN
BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
Dikeluarkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP
dalam rangka Diklat Fungsional Auditor – Diklat Pembentukan Auditor Terampil dan Ahli
Pusdiklatwas BPKP
Jl. Beringin II, Pandansari, Ciawi, Bogor 16720
Telp. (0251) 8249001 ‐ 8249003 Fax. (0251) 8248986 ‐ 8248987 Email : pusdiklat@bpkp.go.id
Website : http://pusdiklatwas.bpkp.go.id e‐Learning : http://lms.bpkp.go.id
Dilarang keras mengutip, menjiplak, atau menggandakan sebagian atau
Kata Pengantar
Peran dan fungsi aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dalam rangka membantu
manajemen untuk mencapai tujuan organisasi dilaksanakan melalui pemberian jaminan
(assurance activities) dan layanan konsultansi (consulting activities) sesuai standar, sehingga
memberikan perbaikan efisiensi dan efektivitas atas tata kelola, manajemen risiko, dan
pengendalian intern organisasi. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah mengatur bahwa pelaksanaan audit intern di
lingkungan instansi pemerintah dilaksanakan oleh pejabat yang mempunyai tugas
melaksanakan pengawasan yang telah memenuhi syarat kompetensi keahlian sebagai auditor.
Hal tersebut selaras dengan komitmen pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang
transparan dan akuntabel serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme pada berbagai aspek
pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan yang dituangkan dalam Undang‐
Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Untuk menjaga tingkat profesionalisme aparat pengawasan, salah satu medianya adalah
pendidikan dan pelatihan (diklat) sertifikasi auditor yang bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan perubahan sikap/perilaku auditor pada tingkat kompetensi
tertentu sesuai dengan perannya sesuai dengan keputusan bersama Kepala Pusat Pembinaan
Jabatan Fungsional Auditor dan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor KEP‐82/JF/1/2014 dan Nomor KEP‐
168/DL/2/2014 tentang Kurikulum Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Auditor.
Guna mencapai tujuan di atas, sarana diklat berupa modul dan bahan ajar perlu disajikan
dengan sebaik mungkin. Evaluasi terhadap modul perlu dilakukan secara terus menerus untuk
menilai relevansi substansi modul terhadap perubahan lingkungan yang terjadi. Modul ini
ditujukan untuk memutakhirkan substansi modul agar sesuai dengan perkembangan profesi
auditor, dan dapat menjadi referensi yang lebih berguna bagi para peserta diklat sertifikasi
auditor.
Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
kontribusi atas terwujudnya modul ini.
Ciawi, 30 April 2014
Kepala Pusdiklat Pengawasan BPKP
Nurdin, Ak., M.B.A.
Daftar Isi
B. Konsepsi Good Governance dan Akuntabilitas ... 12
C. Konsepsi Keuangan Negara dan Pengelolaannya ... 21
B. Pengorganisasian Pengelolaan Keuangan ... 77
C. Pengorganisasian Waktu Kegiatan ... 80
Bab V PELAKSANAAN APBN ... 83
A. Persiapan ... 84
B. Mekanisme Pelaksanaan Pendapatan ... 98
C. Mekanisme Pelaksanaan Belanja ... 118
D. Mekanisme Pemotongan/Pemungutan Pajak‐Pajak Negara oleh Bendahara ... 168
E. Proses Pembiayaan ... 186
F. Pengelolaan Aset dan Utang ... 199
G. Ketentuan Pidana, Sanksi Administrasi, dan Ganti Rugi ... 209
Bab VI PELAPORAN PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN NEGARA ... 217
A. Pelaporan Kinerja ... 217
B. Pelaporan Keuangan ... 226
C. Pelaporan Lainnya ... 247
Bab VII AUDIT INTERNAL ...249
A. Konsepsi Audit Internal ... 249
B. Dampak dari Audit Internal Terhadap Tata Kelola Sektor Publik ... 252
Bab VIII PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA ..255
A. Lingkup Pemeriksaan ... 255
B. Pelaksanaan Pemeriksaan ... 259
C. Hasil Pemeriksaan Dan Tindak Lanjut ... 261
Daftar Pustaka...263
Daftar Gambar
Gambar 1.1 Keterkaitan Indikator Keberhasilan dan Sistematika Modul ... 4
Gambar 2.1 Sistem Administrasi Keuangan Negara ... 11
Gambar 2.2 Penguasaan dan Penyerahan Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara ... 30
Gambar 3.1 Siklus APBN ... 41
Gambar 3.2 Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran ... 51
Gambar 3.3 Proses Penyusunan APBN ... 55
Gambar 3.4 Kerangka Waktu Siklus APBN ... 59
Gambar 4.1 Struktur Kelembagaan Negara ... 65
Gambar 4.2 Hubungan Lembaga Kepresidenan, DPR, dan BPK dalam Pengelolaan Keuangan Negara ... 77
Gambar 4.3 Lingkup Kewenangan Kemneterian Teknis dan Kementerian Keuangan ... 78
Gambar 4.4 Struktur Organisasi Pengelola Keuangan Negara ... 79
Gambar 5.1 Siklus Pengelolaan Keuangan Negara Tingkat K/L ... 83
Gambar 5.2 Mekanisme Pembayaran ... 119
Gambar 5.3 Mekanisme Penyelesaian Tagihan/Pengeluaran Negara ... 120
Daftar Tabel
Tabel 2.1 Mekanisme Akuntabilitas Pemerintah... 19
Tabel 3.1 Cakupan SPPN ... 43
Tabel 3.2 APBN Tahun 2014 ... 58
Tabel 4.1 Variasi Pejabat yang Bisa Ditetapkan Sebagai Pejabat Pengelolan Keuangan ... 80
Tabel 4.2 Format Jadwal Kegiatan ... 81
Tabel 5.1 Kewenangan Penyelesaian Piutang Bermasalah/ Penghapusan Piutang ... 202
Tabel 5.2 Kewenangan Penghapusan/Pemindahtanganan BMN ... 208
Tabel 6.1 Formulir Pengukuran Kinerja Tingkat Kementerian/Lembaga ... 222
Tabel 6.2 Formulir Pengukuran Kinerja Tingkat Unit Organisasi Eselon I / Satker K/l ... 223
Tabel 6.3 Output Laporan Keuangan SAPP ... 241
Tabel 6.4 Formulir Laporan Pelaksanaan Program Prioritas Pembangunan Nasional – K/L/I ... 247
Tabel 6.5 Form Lap Realisasi Renaksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi – K/L/I .... 248
Tabel 7.1 Perbandingan Jasa Assurance dan Jasa Pemastian ... 249
Tabel 8.1 Ketentuan Pidana Terkait Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara ... 260
Bab
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam sejarah, pembentukan negara senantiasa akan disertai dengan penetapan tujuan
bernegara tidak terkecuali NKRI. Undang‐undang Dasar 1945 dengan jelas telah
mengamanatkan tujuan negara RepubIik Indonesia, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian dan keadilan sosial. Tujuan bernegara tersebut menjadi acuan bagi penyelenggara
negara/pemerintah dalam menjalanakan tugas dan fungsinya dalam pembangunan.
Sebagai suatu proses, pelaksanaan tugas dan fungsi pembangunan oleh pemerintah tidak
terlepas dari aspek manajemen yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
penggerakan (actuating), dan pengawasan (controlling). Aspek manajemen tersebut dijabarkan
dalam berbagai peraturan perundangan dalam sistem administrasi untuk mendukung
pencapaian tujuan bernegara di atas.
Dalam manajemen pemerintahan, pelaksanaan suatu tugas dan fungsi senantiasa diikuti dengan
pendanaannya atau dikenal dengan prinsip money follows function, di mana pengalokasian
anggaran untuk mendanai suatu kegiatan didasarkan pada tugas dan fungsi dari masing‐masing
unit organisasi sesuai dengan amanat undang‐undang. Dengan demikian pemahaman terhadap
proses manajemen pemerintahan selalu akan beriringan antara aspek kinerja yang menjadi
sasaran pembangunan dengan aspek keuangan sebagai pendukungnya.
Sebagai bagian dari organisasi pemerintahan, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
berperan mengawal pelaksanaan manajemen pemerintahan agar memenuhi karakteristik good
governance, yaitu transparan, akuntabel, adil, wajar, demokratis, partisipatif, dan responsif.
Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut, APIP di lingkungan pemerintah pusat harus memiliki
kompetensi yang memadai tentang manajemen pemerintahan. Dengan kompetensi tersebut
diharapkan APIP dapat melaksanakan tugas dengan lebih baik dan hasil pengawasannya bisa
lebih terarah serta dapat memberi manfaat bagi manajemen dalam rangka meningkatkan
Modul Manajemen Pemerintahan II ini diberikan pada Diklat Sertifikasi JFA tingkat
Pembentukan Auditor Ahli selama 50 jam pelatihan.
B. KOMPETENSI DASAR
Setelah mempelajari modul ini peserta diklat diharapkan mampu mengidentifikasi titik‐titik
kritis pada pelaksanaan tata kelola sektor publik sesuai ketentuan yang berlaku.
C. INDIKATOR KEBERHASILAN
Setelah mengikuti proses pembelajaran modul ini, peserta diklat diharapkan:
1. Memiliki pengetahuan mengenai prinsip‐prinsip akuntabilitas sektor publik (1.16)
2. Memiliki pengetahuan mengenai prinsip‐prinsip pengukuran kinerja (1.17)
3. Memiliki pengetahuan mengenai sistem akuntansi keuangan pemerintah pusat (6.5)
4. Memiliki pengetahuan mengenai kerangka kerja keuangan pemerintah pusat, seperti
proses penganggaran, proses pengeluaran, proses reviu keuangan, manajemen kas, strategi
investasi, dll. (6.3)
5. Memiliki pengetahuan mengenai prinsip‐prinsip pembiayaan, pengelolaan keuangan
organisasi dan pelaporannya (1.18)
6. Memiliki pengetahuan mengenai dampak audit internal terhadap tata kelola sektor publik
(1.6)
7. Mampu mengidentifikasi secara kritis elemen‐elemen tata kelola organisasi (1.19)
D. SISTEMATIKA MODUL
Modul ini menguraikan manajemen pemerintahan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi
pembangunan untuk mewujudkan tujuan bernegara. Pembahasan dalam modul ini mengikuti
fungsi manajemen yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan
(actuating), dan pengawasan (controlling). Pada setiap fungsi manajemen yang dibahas
dikaitkan mekanisme perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban pada aspek kinerja
maupun keuangannya. Topik yang dibahas mencakup perencanaan dan penganggaran,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian, dan pertanggungjawaban, serta pemeriksaan
Materi dalam modul ini terdiri dari delapan bab, yaitu:
Bab l Pendahuluan
Bab ini menguraikan latar belakang manajemen pemerintah pusat, kompetensi
dasar, indikator keberhasilan, sistematika modul, dan metode pembelajaran.
Bab II Konsepsi Good Governance dan Pengelolaan Keuangan Negara
Bab ini menguraikan konsepsi manajemen pemerintahan pusat, good governance
dan akuntabiltas, serta keuangan negara dan pengelolaannya.
Bab lll Perencanaan dan Penganggaran
Bab ini menguraikan mekanisme perencanaan dan penganggaran.
Bab IV Pengorganisasian
Bab ini akan menguraikan pengorganisasian pelaksanaan tugas dan fungsi, pengelolaan
keuangan, dan waktu kegiatan.
Bab V Pelaksanaan APBN
Bab ini menguraikan pelaksanaan APBN yang meliputi persiapan, mekanisme
pelaksanaan pendapatan, belanja, dan pembiayaan, serta pengelolaan aset dan
utang, serta ketentuan mengenai pidana, sanksi administrasi, dan ganti rugi.
Bab VI Pelaporan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara
Bab ini menguraikan pelaporan kinerja, pelaporan keuangan, dan pelaporan lainnya.
Bab VII Audit Internal
Bab ini menguraikan konsepsi audit internal sebagai bentuk pengendalian serta
dampaknya terhadap tata kelola sektor publik.
Bab VIII Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Bab ini akan menguraikan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara yang mencakup lingkup pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan,
Gambar 1.1 Keterkaitan Indikator Keberhasilan dan Sistematika Modul
E. METODE PEMBELAJARAN
Metode pemelajaran yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran adalah:
1. Ceramah
Widyaiswara/instruktur menjelaskan materi manajemen pemerintahan pusat secara
deskriptif. Modul ini tidak membahas mengenai bagaimana cara mengimplementasikan
konsep‐konsep dalam manajemen pemerintahan pusat. Alasannya, uraian mengenai
bagaimana cara mempraktikkan konsep‐konsep dalam manajemen pemerintahan pusat
dibahas pada tingkatan diklat yang lebih tinggi. Modul ini berisikan hal‐hal mendasar
mengenai manajemen pemerintahan pusat yang diuraikan secara lengkap dan
menyeluruh.
2. Tanya jawab dan diskusi
Widyaiswara dan peserta bertanya jawab untuk mendalami permasalahan/kondisi yang
terkait dengan permasalahan dalam manajemen pemerintahan pusat.
3. Latihan
Peserta berlatih menyelesaikan kasus‐kasus yang terkait dengan manajemen
pemerintahan pusat.
Bab
II
KONSEPSI
GOOD
GOVERNANCE
DAN
PENGELOLAAN
KEUANGAN
NEGARA
Indikator Keberhasilan
Setelah mempelajari bab ini, peserta diklat diharapkan memiliki pengetahuan mengenai prinsipprinsip akuntabilitas sektor publik.
A. KONSEPSI MANAJEMEN PEMERINTAHAN PUSAT
1. Tujuan Bernegara dan Penyelenggaraan Negara
Undang‐Undang Dasar 1945 dalam pembukaannya menegaskan tujuan bernegara
Indonesia yaitu:
a. melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
b. memajukan kesejahteraan umum,
c. mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
d. ikut serta mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
Dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara dibentuk pemerintahan yang menjalankan
amanah tersebut. Untuk mewujudkan amanah tersebut, pemerintah diberi kewenangan‐
kewenangan berdasarkan peraturan perundangan, diantaranya PP Nomor 25 Tahun 2000
yang menyebutkan kewenangan pemerintah pusat dalam enam bidang yaitu dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain meliputi kebijakan tentang
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara,
pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam
Sejalan dengan kewenangan yang diberikan tersebut, pemerintah juga diberi “rambu‐
rambu” melalui berbagai peraturan perundangan agar amanah mewujudkan tujuan
bernegara dapat dijalankan dengan baik. Namun demikian, dalam perjalanannya
pelaksanaan pemerintahan tidak selalu berjalan baik. Puncaknya pada tahun 1998, melalui
gerakan reformasi, masyarakat menuntut pergantian rezim pemerintahan saat itu yang
dianggap telah banyak melanggar “rambu‐rambu” dalam mewujudkan tujuan bernegara.
Gerakan reformasi tersebut mendorong Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai
lembaga tertinggi saat itu (berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen) menegaskan
perlunya penyelenggaraan negara yang baik melalui ketetapan Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Ketetapan tersebut selanjutnya menjadi tonggak penyelenggaraan negara yang mampu
menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh‐sungguh dan penuh tanggung jawab.
Sebagai turunan ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, disusun Undang‐Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme yang mengetengahkan asas‐asas umum penyelenggaraan negara
sebagai berikut.
a. Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang‐undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan Penyelenggara Negara.
b. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan
negara.
c. Asas Kepentingan Umum adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan
cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
d. Asas Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan dan rahasia negara.
e. Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak
f. Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan peraturan perundang‐undangan yang berlaku.
g. Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan yang berlaku.
Dengan memperhatikan dan melaksanakan asas‐asas penyelenggaraan negara ini
diharapkan para penyelenggara negara mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara
sungguh‐sungguh dan penuh tanggung jawab.
2. Manajemen Pemerintahan
Dalam rangka memahami pengertian manajemen pemerintahan, digunakan pengertian
administrasi negara. Administrasi negara adalah administrasi mengenai negara dalam
keseluruhan arti, unsur, dimensi, dan dinamikanya (LAN, 2003). Administrasi negara
berperan memberikan dukungan dan mengembangkan tugas penyelenggaraan negara,
mengemban misi perjuangan bangsa dalam bernegara, memberikan perhatian dan
pelayanan sebaik‐baiknya kepada masyarakat, dan membuka peluang kepada masyarakat
untuk berkarya dalam upaya mencapai tujuan bersama dalam bernegara, ataupun untuk
melakukan peran tertentu dalam pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik yang secara
tradisional dilakukan oleh aparatur negara.
Dalam pengertian administrasi negara terkandung konsep‐konsep: tata nilai, organisasi
dan manajemen pemerintahan negara, sistem penyelenggaraan kebijakan negara, sumber
daya aparatur negara, lingkungan administrasi negara, posisi dan peran warga negara, dan
dimensi hukum. Organisasi dan manajemen pemerintahan negara merupakan fenomena
substansial dari disiplin dan sistem organisasi negara. Organisasi pemerintahan negara
berkenaan dengan tatanan organisasi pemerintahan negara meliputi lembaga eksekutif
(pemerintah), dan legislatif (badan perwakilan rakyat), yang eksis pada setiap satuan
wilayah pemerintahan, yudikatif (badan peradilan) dan lembaga negara lainnya yang
diperlukan dalam penyelenggaraan negara, serta tata hubungan fungsional di antara
lembaga‐lembaga tersebut. Sedangkan manajemen pemerintahan negara berkenaan
dengan kegiatan pengelolaan tugas pemerintahan negara, meliputi tugas pemerintahan
Salah satu lingkup administrasi negara di atas adalah manajemen pemerintahan negara
yang meliputi kegiatan pengelolaan pelaksanaan tugas pemerintahan umum dan
pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan dan wilayah pemerintahan, yang
merupakan pelaksanaan fungsi‐fungsi manajemen pemerintahan pada umumnya, seperti
pengelolaan kebijakan, perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan, pengendalian, pelayanan,
pengawasan, dan pertanggungjawaban hasilnya dari setiap atau keseluruhan organisasi
pemerintahan negara.
Cakupan manajemen pemerintahan tersebut memperlihatkan empat fungsi pokok
manajemen, yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan
pelaksanaan (actuating), dan pengendalian (controlling) (G.R. Terry, 2000). Perwujudan
konsep manajemen tersebut apabila diterapkan dalam penyelenggaraan negara
mencakup Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan Sistem Adminsitrasi
Keuangan Negara (SAKN) sebagai berikut.
a. SPPN mewakili fungsi perencanaan, yang merupakan satu kesatuan tata cara
perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana‐rencana pembangunan
dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur
penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Ketentuan
mengenai SPPN diatur dalam Undang‐Undang Nomor 25 Tahun 2004.
b. Sistem Adminsitrasi Keuangan Negara (SAKN) mencakup pengorganisasian,
penggerakan pelaksanan, dan pengendalian sebagai berikut.
1) Pengorganisasian, diwujudkan dalam penetapan lingkup dan ketentuan
mengenai keuangan negara sebagaimana diatur dalam Undang‐undang Nomor
17 Tahun 2003;
1) Penggerakan pelaksanaan, diwujudkan dalam ketentuan mengenai
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana diatur
dalam Undang‐undang Nomor 1 Tahun 2004;
2) Pengendalian, diwujudkan dalam ketentuan mengenai pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana diatur dalam
Undang‐undang Nomor 15 Tahun 2004.
Gambar 2.1 Sistem Administrasi Keuangan Negara
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik pengertian manajemen pemerintahan sebagai
proses pengelolaan penyelenggaraan pemerintahan yang mencakup perencanaan
pemerintahan, pengorganisasian atau kelembagaan pemerintahan dan penggunaan
sumber‐sumber daya dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Aspek‐aspek
dalam manajemen pemerintahan secara umum mencakup:
a. perencanaan pemerintahan,
b. pengorganisasian kelembagaan pemerintahan,
c. penggunaan sumber‐sumber daya pemerintahan untuk pelayanan berikut
pertanggungjawabannya, dan
d. pengawasan penyelenggaraan pemerintahan.
B. KONSEPSI
GOOD
GOVERNANCE
DAN AKUNTABILITAS
1. Revolusi Manajemen Sektor Publik
Seiring dengan meningkatnya peran swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan, manajemen sektor publik telah mengalami perubahan yang cukup
signifikan. Hal ini antara lain dipicu oleh pemikiran Osborne dan Gaebler dalam bukunya
Reinventing Government (1992) atau pemerintahan wirausaha. Perubahan tersebut pada
dasarnya diarahkan pada penciptaan manajemen publik yang handal dan mempertajam
serta meningkatkan kualitas penyelenggaraan administrasi publik. Konsep dan sistem
administrasi publik yang kaku, struktural/hirarkis, dan birokratis telah ditinggalkan dan
sebagai gantinya telah dikembangkan suatu konsep manajemen publik yang fleksibel dan
berorientasi kepada pasar. Dalam paradigma manajemen sektor publik yang baru,
birokrasi pemerintah dibuat seefisien dan seefektif mungkin sehingga mereka dapat
bergerak fleksibel dalam mengikuti tuntutan masyarakat dan perubahan lingkungan.
Paradigma baru ini dianggap sebagai solusi atas berbagai label negatif yang melekat pada
sektor publik yaitu dengan mengacu pada kaidah‐kaidah terhadap new public
management (NPM).
Perubahan ini bukan perubahan sederhana dalam “management style” administrasi
publik. Akan tetapi, perubahan ini merupakan perubahan peranan pemerintah dalam
masyarakat dan hubungan antara pemerintah dengan masyarakatnya. Paradigma baru ini
merupakan tantangan langsung atas berbagai fungsi prinsip administrasi publik yang telah
diyakini sebagai paradigma terpenting selama hampir 20 abad. Dalam paradigma baru,
birokrat dan pemerintah bukanlah satu‐satunya provider barang dan jasa masyarakat.
Perspektif ini menempatkan organisasi swasta sebagai mitra pemerintah untuk
menyediakan berbagai kebutuhan publik. Pemerintah berperan dalam memfasilitasi
kebutuhan masyarakatnya melalui subsidi, pengaturan perundang‐undangan dan
pengaturan kontrak. Keterbukaan pemerintah juga ditekankan dalam paradigma baru ini,
yang ditunjukkan dengan diadopsinya berbagai prinsip dan sistem manajemen sektor
swasta ke dalam sektor publik untuk memperbaiki kinerja birokrasi.
Dalam mekanisme dan pola hubungan ini akuntabilitas yang ada tidak hanya mengalir dari
bawah ke atas, dalam arti pegawai secara hirarkis mempertanggungjawabkan kegiatan
kepada pihak luar organisasi publik, dalam hal ini masyarakat ataupun kepada sektor
swasta.
2. Pergeseran Paradigma New Public Management (NPM) ke Governance
Orientasi “privatisasi” yang terdapat pada NPM tidak berarti bahwa peran pemerintah
berkurang, namun tetap terwujud dengan munculnya peranan pengaturan (regulations)
terhadap keterlibatan sektor swasta dan juga dengan mengelola respon yang efektif
terhadap tuntuntan sosial dan ekonomi masyarakat. World Bank (1997) menyebutkan
bahwa meskipun terjadi kecenderungan “privatisasi” terhadap berbagai kegiatan
pemerintah, hal ini tidak berarti bahwa peran pemerintah menjadi berkurang. Peran
pemerintah masih sangat penting/dominan dalam manajemen pembangunan. Peran
pemerintah mungkin akan berkurang dalam memberikan arahan dan petunjuk dari pusat
pemerintahan. Akan tetapi, pemerintah masih tetap bertanggung jawab terhadap
perancangan dan pelaksanaan kebijakan publik, terutama yang berkaitan dengan
transformasi ekonomi, pengurangan kemiskinan, peningkatan kinerja sektor pertanian,
ketenagakerjaan, fasilitas sosial dan umum, serta pengelolaan lingkungan hidup.
Hal lain yang mendukung bahwa peran pemerintah masih sangat dibutuhkan dalam
pelayanan publik adalah kenyataan bahwa prinsip ekonomi dan efisiensi tidak selalu dapat
diterapkan pada semua aktivitas pemerintah (misalnya fasilitas sosial dan fasilitas umum).
Pemerintahan yang modern tidak hanya mencakup efisiensi dan peningkatan
keekonomisan, tetapi juga merupakan hubungan akuntabilitas antara negara dengan
warga negara, di mana warga negara tidak diberlakukan hanya sebagai konsumen tapi
juga sebagai warga negara yang memiliki hak untuk mendapatkan jaminan atas kebutuhan
dasar dan menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab atas berbagai kebijakan yang
dilakukan. Hal ini merupakan perubahan pandangan dalam manajemen publik dari
penekanan pada hubungan antara negara dengan pasar ke hubungan antara negara
dengan warga negaranya. Pandangan ini dikenal dengan governance (kepemerintahan)
yang diartikan oleh UNDP sebagai:
“… the exercise of political, economic and administrative authority in the
management of a country’s affairs at all level…comprises the complex mechanisms, processes and institutions through which citizens and groups articulate their interests, mediate their differences and exercise legal rights and obligations” (UNDP,
Dengan kata lain, governance meliputi berbagai kewenangan baik yang menyangkut
kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi berinteraksi satu dengan lainnya.
Hubungan ini mencakup hubungan yang komplek antar berbagai kewenangan dalam
semua level pemerintahan dalam bentuk mekanisme, proses dan pembentukan institusi di
mana masyarakat dan kelompok masyarakat dapat menyampaikan keinginan, mengatur
berbagai perbedaan, dan juga mendapatkan jaminan hukum, termasuk pengaturannya.
Konsep ini lebih luas dari fungsi dan kapasitas sektor publik, akan tetapi konsep ini
berkaitan dengan manajemen proses pembangunan yang melibatkan pemerintah, swasta,
dan masyarakat. Hubungan semua pihak ini bukan merupakan kerangka kegiatan yang
terpisah melainkan dalam kerangka keterpaduan dan kerja sama yang harmonis untuk
pencapaian tujuan dan kepentingan bersama. Tujuan interaksi sosial‐politik‐ekonomi
dalam pengertian ini adalah tercapainya suatu keseimbangan dan sinergi dalam
pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masing‐masing institusi dalam satu keselarasan
dan keseimbangan.
3. Karakteristik Good Governance (GG)
Dalam rangka mengembangkan strategi yang lebih implementatif, terdapat banyak
karakteristik dan prinsip tentang GG. Salah satu yang menjadi tonggak penting adalah
karakteristik GG yang dirumuskan pada deklarasi Manila, yaitu transparan, akuntabel, adil,
wajar, demokratis, partisipatif, dan responsif.
Masing‐masing karakteristik dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.
a. Transparan, mengindikasikan adanya adanya kebebasan dan kemudahan didalam
memperoleh informasi yang akurat dan memadai bagi mereka yang memerlukan.
Informatif, mutakhir, dapat diandalkan, mudah diperoleh dan dimengerti adalah
beberapa parameter yang digunakan untuk mengecek keberhasilan tranparansi.
b. Akuntabel, di mana semua pihak (baik pemerintah, swasta dan masyarakat) harus
mampu memberikan pertanggungjawaban atas mandat yang diberikan kepadanya
untuk para stakeholders. Secara umum organisasi atau institusi harus akuntabel
kepada mereka yang terpengaruh dengan keputusan atau aktivitas yang mereka
c. Adil, yaitu terdapat jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dan
kesempatan yang sama dalam menjalankan kehidupannya. Sifat adil ini diperoleh
dari aspek ekonomi, sosial dan politik. Adil ini juga berarti terdapat jaminan akan
kesejahteraan masyarakat dimana semua masyarakat merasa bahwa mereka
memiliki hak dan tidak merasa diasingkan dari kehidupan masyarakat.
d. Wajar, yaitu jaminan pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat (standar). Hal ini mensyaratkan bahwa semua kelompok, terutama
kelompok yang lemah, memiliki kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Untuk alasan ini, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat pemerintah
harus menyediakan standar pelayanan untuk menjamin kesamaan (fair) dan
konsistensi pelayanan.
e. Demokratis, yaitu terdapat jaminan kebebasan bagi setiap individu untuk
berpendapat/mengeluarkan pendapat serta ikut dalam kegiatan pemilihan umum
yang bebas, langsung, dan jujur.
f. Partisipatif, yaitu terdapat jaminan kesamaan hak bagi setiap individu dalam
pengambilan keputusan (baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan).
Dalam kaitannya dengan partisipasi ini, terdapat tuntutan agar pemerintah
meningkatkan fungsi kontrol terhadap manajemen pemerintah dan pembangunan
dengan melibatkan organisasi non‐pemerintah. Peran organisasi non‐pemerintah
sangat penting dalam konteks ini karena diyakini organisasi ini memiliki kontak yang
lebih baik dengan masyarakat miskin, memiliki hubungan yang baik dengan daerah
pedalaman dan pedesaan, mampu menyediakan metode alternatif pelayanan publik
dengan harga yang murah dan sebagai mediator dalam menyampaikan berbagai
pandangan dan kebutuhan masyarakat.
g. Tanggap/peka/responsif, yang berarti bahwa dalam melaksanakan kepemerintahan
semua institusi dan proses yang dilaksanakan pemerintah harus melayani semua
stakeholders secara tepat, baik dan dalam waktu yang tepat (tanggap terhadap
kemauan masyarakat).
Berdasarkan konsep di atas, dapat dilihat bahwa good governance mempunyai tujuan
yang lebih besar dari sekedar manajemen yang efisien dan penggunaan sumber daya yang
kuat, dan juga untuk membuat pemerintah/publik sektor semakin terbuka, responsif,
akuntable dan demokratis. Di samping itu, konsep good governance jika dikembangkan
akan menciptakan modern governance (nasional maupun lokal) yang handal yang tidak
hanya menekankan aktivitasnya dalam kerangka efisiensi tetapi juga akuntabilitasnya di
mata publik. Penerapan good governance juga sangat berperan dalam pencegahan dan
pemberantasan praktik‐praktik KKN yang dapat menghindarkan penyalahgunaan fasilitas
publik untuk kepentingan pribadi semaksimal mungkin.
4. Konsep Akuntabilitas
Good governance tidak hanya terkait dengan efisiensi dan ekonomis, tapi juga berkaitan
dengan akuntabilitas berbagai penyelenggaraan kepentingan publik kepada
stakeholder‐nya. Ide dasar dari akuntabilitas adalah kemampuan seseorang atau
organisasi atau penerima amanat untuk memberikan jawaban kepada pihak yang
memberikan amanat atau mandat tersebut. Semua unit organisasi, apakah dipilih atau
ditunjuk, dikatakan akuntabel ketika mereka mampu menjelaskan dan
mempertanggungjawabkan semua tindakan/kegiatan yang mereka lakukan, dan
menerima sanksi untuk tindakan yang tidak layak atau tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Konsep dan aplikasi akuntabilitas sebenarnya sudah ada namun seiring dengan perubahan
lingkungan tuntutan akuntabilitas menjadi semakin besar. Secara garis besar terdapat
empat model akuntabilitas yang perkembangannya lebih banyak dipengaruhi karena
perubahan tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
a. Model Tradisional Westminster
Model ini menyebutkan bahwa garis pertanggungjawaban akuntabilitas adalah dari
bawah ke atas (hierakhis), dan garis kewenangan (otoritas) dari atas ke bawah atau
akuntabilitas ministerial.
Model akuntabilitas ini sesuai dengan konsep birokrasi yang diterapkan oleh Max
Weber sehingga disebut juga sebagai administrative accountability. Dalam konsep
ini, setiap individu memberikan pertanggungjawaban terhadap suatu tugas spesifik
yang diterima kepada atasannya secara hirarkis. Hal ini dilakukan sebagai bentuk
Model tradisional Westminster memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
1) ide pertanggungjawaban yang menekankan pada penjelasan dan pembenaran
atas suatu tindakan dianggap tidak cukup digunakan untuk melihat kinerja
suatu tindakan;
2) hubungan dalam pertanggungjawaban yang bersifat interpersonal;
3) kontrol yang bersifat top‐down.
b. Model Tradisional yang Dikembangkan (upward, inward dan outward)
Model ini merupakan jawaban terhadap adanya beberapa kelemahan dalam model
tradisional Westminster. Dengan berbagai kelemahan tersebut dan tuntutan global
terhadap transparansi dan kejujuran organisasi pemerintah, maka dikembangkan
konsep pertanggungjawaban akuntabilitas yang tidak hanya dari bawah ke atas,
tetapi juga bersifat ke dalam (perorangan) dan ke luar (masyarakat). Untuk
mendukung akuntabilitas internal dan eksternal ini, pendukung konsep ini
menyarankan diciptakannya berbagai mekanisme dan sistem akuntabilitas seperti
pengembangan jaminan kebebasan mendapatkan informasi dan pembentukan
berbagai lembaga independen yang bertujuan untuk mengontrol kinerja sektor
publik seperti ombudsman dan lembaga peradilan yang kuat.
c. Model Stone
Dalam model ini pertanggungjawaban/akuntabilitas dibagi dalam lima kategori,
yaitu:
1) kontrol dari parlemen (DPR),
2) managerialism,
3) pengadilan/lembaga semi peradilan,
4) perwakilan masyarakat,
5) pasar (konsumen‐pengusaha).
d. Model Jaringan Kerja (Jaringan yang Kompleks)
Para pihak yang terkait satu dengan yang lain membentuk suatu jaringan kerja yang
pada pola hubungan yang terjalin dalam suatu kerja sama. Dalam suatu sistem kerja
sama, semua pihak yang terkait saling melakukan komunikasi, pemberian informasi
dan hubungan kerja yang saling melengkapi untuk mencapai tujuan dari jaringan
kerja yang dibuat.
Selain model akuntabilitas yang menekankan pada cara dan institusi pendukung
dalam pelaksanaan akuntabilitas, terdapat faktor lain yang penting, yaitu
mekanisme akuntabilitas. Pengembangan mekanisme akuntabilitas diarahkan untuk
meningkatkan:
a. kejelasan tugas dan peran,
b. hasil akhir yang spesifik,
c. proses yang transparan,
d. ukuran keberhasilan kinerja, dan
e. konsultasi dan inspeksi publik.
Mekanisme akuntabilitas juga meliputi beberapa aspek, yaitu siapa yang harus melakukan
akuntabilitas, kepada siapa akuntabilitas ini dilakukan, untuk apa akuntabilitas dilakukan,
dan bagaimana proses akuntabilitas dilaksanakan. Mekanisme akuntabilitas ini sangat
bervariasi dan sangat ditentukan oleh keputusan atau aktivitas yang dilakukan suatu
organisasi mengikat organisasi secara internal atau mengikat secara eksternal.
Kepada siapa kita harus bertanggung jawab, tergantung pada siapa yang memberi kita
mandat dan seberapa besar berbagai tindakan yang kita lakukan mempengaruhi orang
lain. Pertanggungjawaban dapat diberikan kepada masyarakat (pelanggan), pemerintah
pusat dan daerah (termasuk dalam hal ini presiden, menteri, bupati/walikota, gubernur,
pejabat struktural dalam birokrasi pemerintah), organisasi kemasyarakatan/NGOs,
organisasi pemerintah lainnya misalnya BUMN, dan lembaga penilai organisasi publik yang
diatur dalam undang‐undang.
Mulgan, Richard (2003) dalam bukunya “Holding Power to Account”, membuat matriks
mekanisme akuntabilitas pemerintah. Contoh dari matriks yang dikembangkan adalah
sebagaimana Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Mekanisme Akuntabilitas Pemerintah
Mekanisme Siapa Kepada Siapa Untuk Apa Bagaimana Prosesnya
Bagaimana
Media Pemerintah
Birokrasi
Catatan: FOI = freedom of information
5. Kebijakan Akuntabilitas di Indonesia
Pengembangan kebijakan akuntabilitas di Indonesia dipicu oleh dua hal penting, yaitu:
pertama, adanya tuntutan internal (masyarakat Indonesia) antara lain agar sektor publik
semakin transparan dan mampu mempertanggungjawabkan atas berbagai kebijakan dan
tindakan yang dilakukan yang ditujukan untuk menyelesaikan dan memenuhi tuntutan
publik. Kedua, adalah tuntutan perubahan dalam lingkungan global dalam hal manajemen
sektor publik misalnya tuntutan Good Governance dan Performance Management.
Kebijakan akuntabilitas di Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya TAP MPR RI Nomor
XI/MPR/1998 dan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari KKN. Dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 disebutkan salah satu asas
penyelenggaraan kepemerintahan yang baik yaitu asas akuntabilitas. Asas akuntabilitas di
sini diartikan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai dengan ketentuan perundang‐undangan yang berlaku.
Dalam tataran praktis, terdapat Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Indonesia. Inpres ini mendefinisikan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP)
sebagai pertanggungjawaban keberhasilan atau kegagalan misi dan visi instansi
pemerintah dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui
seperangkat indikator kinerja. Dalam konteks AKIP ini, instansi pemerintah diharapkan
dapat menyediakan informasi kinerja yang dapat dipahami dan digunakan sebagai alat
ukur keberhasilan ataupun kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran tersebut. Inpres
Nomor 7 Tahun 1999 dijabarkan lebih lanjut dalam Keputusan Kepala Lembaga
Administrasi Negara Nomor 589/IX/6/Y/99 tentang Pedoman Pelaporan Akuntabilitas
Instansi pemerintah, yang telah diperbaiki dengan Keputusan Kepala LAN Nomor
239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah.
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi pemerintah (SAKIP) merupakan instrumen yang
digunakan instansi pemerintah dalam memenuhi kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi (LAN,
2004, hal. 63). Sebagai suatu sistem, SAKIP terdiri dari komponen‐komponen yang
merupakan satu kesatuan, yakni perencanaan kinerja, pengukuran dan evaluasi kinerja,
serta pelaporan kinerja. Komponen dalam SAKIP ini menceminkan semua proses yang ada
dalam manajemen kinerja.
PP Nomor 8 Tahun 2006 Pasal 2 ‐ 3 telah menegaskan kewajiban penyusunan dan
penyajian laporan keuangan maupun laporan kinerja dalam rangka pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN/ APBD bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, kementerian
negara/lembaga, dan Bendahara Umum Negara.
Selanjutnya berdasarkan Inpres Nomor 4 Tahun 2011 tentang Percepatan Peningkatan
Kualitas Akuntabilitas Keuangan Negara ditetapkan peran BPKP untuk melaksanakan (1)
asistensi kepada kementerian/lembaga/pemerintah daerah untuk meningkatkan
pemahaman bagi pejabat pemerintah pusat/daerah dalam pengelolaan keuangan negara/
daerah, meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang‐undangan, dan
meningkatkan kualitas laporan keuangan dan tata kelola, (2) evaluasi terhadap
penyerapan anggaran kementerian/ lembaga/pemerintah daerah, dan memberikan
rekomendasi langkah‐langkah strategis percepatan penyerapan anggaran, dan (3) audit
publik dan menjadi isu terkini, dan (4) rencana aksi yang jelas, tepat, dan terjadwal dalam
mendorong penyelenggaraan SPIP pada setiap kementerian/lembaga/pemerintah daerah.
C. KONSEPSI KEUANGAN NEGARA DAN PENGELOLAANNYA
1. Keuangan Negara
a. Pengertian
Undang‐undang Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) mendefenisikan keuangan
negara sebagai “semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
Pengertian tersebut mengandung tiga pokok penting unsur keuangan negara
sebagai berikut.
1) Hakikat keuangan negara, yaitu hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang. Pembentukan pemerintahan negara menimbulkan hak dan
kewajiban negara (yang dapat dinilai dengan uang) antara negara dengan
rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang meliputi:
a) hak negara, yang meliputi hak memungut pajak, mengeluarkan dan
mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b) kewajiban negara, yang meliputi kewajiban untuk menyelenggarakan
tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak
ketiga.
2) Keuangan negara dapat berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan
milik negara. Keuangan negara dapat berupa penerimaan dan pengeluaran
uang negara/daerah maupun segala bentuk kekayaan yang berbentuk barang
(aset) yang dapat dijadikan milik negara.
3) Keuangan negara berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam
rangka pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara, sebagaimana tercantum
b. Pendekatan Perumusan Keuangan Negara
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi
objek, subjek, proses, dan tujuan.
1) Dari sisi objek
Keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter,
dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik
berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara.
2) Dari sisi subjek
Keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang
dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat/Daerah, Perusahaan
Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
3) Dari sisi proses
Keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang terkait dengan
pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas, mulai dari perumusan
kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.
4) Dari sisi tujuan
Keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan hukum
yang terkait dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana
tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
c. Ruang Lingkup Keuangan Negara
Sesuai Pasal 2 Undang‐undang Nomor 17 Tahun 2003, keuangan negara meliputi:
1) hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,
dan melakukan pinjaman;
2) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
3) penerimaan/pengeluaran negara/daerah;
4) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak‐hak lain yang dapat
dinilai dengan uang. Termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/ perusahaan daerah;
5) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; dan
6) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
2. Pengelolaan Keuangan Negara
a. Ruang Lingkup
Pengaturan mengenai pengelolaan keuangan negara mencakup seluruh kegiatan
perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban
keuangan negara, yang meliputi:
1) pengertian dan ruang lingkup keuangan negara,
2) asas‐asas umum pengelolaan keuangan negara,
3) kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
negara,
4) pendelegasian kekuasaan presiden kepada Menteri Keuangan dan
menteri/pimpinan lembaga,
5) susunan APBN dan APBD,
6) ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD,
7) pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral,
8) pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan
negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan badan pengelola
dana masyarakat, dan
9) penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.
b. Bidang Pengelolaan Keuangan Negara
Bidang pengelolaan keuangan negara dapat dikelompokkan dalam tiga sub bidang
pengelolaan, yaitu subbidang pengelolaan fiskal, subbidang pengelolaan moneter,
dan subbidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
1) Subbidang pengelolaan fiskal, meliputi fungsi‐fungsi pengelolaan kebijakan
fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan,
administrasi kepabeanan, perbendaharaan, serta pengawasan keuangan.
2) Subbidang pengelolaan moneter, berkaitan dengan kebijakan serta
pelaksanaan kegiatan sektor perbankan dan lalu lintas moneter, baik dalam
maupun luar negeri. Serangkaian kebijakan di bidang moneter tersebut
dilakukan oleh pemerintah agar ada keseimbangan yang dinamis antara
jumlah uang yang beredar dengan barang dan jasa yang tersedia di
masyarakat.
3) Subbidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, berkaitan dengan
kebijakan dan pelaksanaan kegiatan di sektor Badan Usaha Milik
Negara/Daerah (BUMN/BUMD) yang berorientasi mencari keuntungan (profit
motive).
c. Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Lembaga‐Lembaga Infra/Supranasional
Karena kegiatan pengelolaan keuangan negara bersifat kompleks, UU Nomor 17
tahun 2003 mengatur ketentuan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dan lembaga‐lembaga infra/supranasional, yang sebagai berikut.
1) Bank Sentral (Pasal 21).
Pemerintah pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan
pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter.
2) Pemerintah Daerah (Pasal 22)
• Pemerintah pusat berkewajiban mengalokasikan dana perimbangan
kepada pemerintah daerah berdasarkan undang‐undang perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
• Pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada
pemerintah daerah atau sebaliknya setelah mendapatkan persetujuan
dengan DPR.
3) Pemerintah Asing dan Badan/Lembaga Asing (Pasal 23)
• Pemerintah pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau
menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan
persetujuan DPR.
• Pinjaman dan/atau hibah yang diterima pemerintah pusat tersebut
dapat diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah/Perusahaan Negara/
Perusahaan Daerah.
4) Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta, dan Badan
Pengelola Dana Masyarakat (Pasal 24)
• Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal
kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah
setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.
• Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada
perusahaan negara.
• Pemerintah pusat dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi
• Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan
kepada perusahaan daerah.
• Pemerintah daerah dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi
perusahaan daerah setelah mendapat persetujuan DPRD.
• Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional,
pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan
penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat
persetujuan DPR.
d. Asas Pengelolaan Keuangan Negara
Kewajiban pengelolaan keuangan negara dinyatakan dalam UU Nomor 17 Tahun
2003 pasal 3 ayat (1), bahwa setiap penyelenggara negara wajib mengelola
keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang‐undangan, efisien,
ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan.
Asas pokok tersebut dijabarkan ke dalam asas‐asas umum, baik asas‐asas yang telah
lama dikenal (seperti, asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas
spesialitas) maupun asas‐asas baru sebagai pencerminan penerapan kaidah‐kaidah
yang baik (best practices) dalam pengelolaan keuangan negara. Asas‐asas tersebut
adalah sebagai berikut:
1) asas tahunan, mensyaratkan bahwa anggaran negara dibuat secara tahunan
dan harus mendapat persetujuan dari badan legislatif (DPR);
2) asas universalitas (kelengkapan), memberikan batasan bahwa tidak
diperkenankan terjadinya percampuran antara penerimaan dengan
pengeluaran negara;
3) asas kesatuan, mempertahankan hak budget dari dewan secara lengkap,
dalam arti semua pengeluaran harus tercantum dalam anggaran. Dengan
4) asas spesialitas, mensyaratkan bahwa jenis pengeluaran dimuat dalam mata
anggaran tertentu/tersendiri dan diselenggarakan secara konsisten, baik
secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kuantitatif artinya jumlah yang
telah ditetapkan dalam mata anggaran tertentu merupakan batas tertinggi dan
tidak boleh dilampaui. Secara kualitatif berarti penggunaan anggaran hanya
dibenarkan untuk mata anggaran yang telah ditentukan;
5) asas akuntabilitas, berorientasi pada hasil, bahwa setiap pengguna anggaran
wajib menjawab dan menerangkan kinerja organisasi atas keberhasilan atau
kegagalan suatu program yang menjadi tanggung jawabnya;
6) asas profesionalitas, mengharuskan pengelolaan keuangan negara ditangani
oleh tenaga yang professional;
7) asas proporsionalitas, pengalokasian anggaran dilaksanakan secara
proporsional pada fungsi‐fungsi kementerian/lembaga sesuai dengan tingkat
prioritas dan tujuan yang ingin dicapai;
8) asas keterbukaan, dalam pengelolaan keuangan negara diwajibkan adanya
keterbukaan dalam pembahasan, penetapan, dan perhitungan anggaran serta
atas hasil pengawasan oleh lembaga audit yang independen;
9) asas pemeriksaan keuangan, dilakukan oleh badan pemeriksa yang bebas dan
mandiri, dengan memberi kewenangan yang lebih besar pada Badan
Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan
keuangan negara secara aktif dan independen.
Asas‐asas umum tersebut juga diperlukan guna menjamin terselenggaranya
prinsip‐prinsip pemerintahan. Dengan dianutnya asas‐asas umum tersebut,
pelaksanaan undang‐undang keuangan negara, selain menjadi acuan dalam
reformasi manajemen keuangan negara, dimaksudkan untuk memperkokoh
landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
3. Kekuasaan dan Kewenangan Pengelolaan Keuangan Negara
a. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara
Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 6 ayat 1 Presiden selaku kepala
pemerintahan memegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan negara, sebagai
bagian dari kekuasaan pemerintahan. Penyelenggaraan kekuasaan tersebut
dilaksanakan sebagai berikut.
1) Sebagian kekuasaan “dikuasakan kepada menteri keuangan”, selaku pengelola
fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang
dipisahkan. Menteri Keuangan sebagai pembantu presiden dalam bidang
keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO), yaitu sebagai
seorang manajer keuangan negara pemerintah Republik Indonesia.
2) Sebagian kekuasaan “dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga negara
dan lembaga pemerintah non kementerian”, selaku pengguna
anggaran/pengguna barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
dan setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief
Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan.
3) Dalam rangka penyelenggaraan asas desentralisasi, sebagian kekuasaan
pengelolaan keuangan “diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota” selaku
kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili
pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Kekuasaan presiden tersebut tidak termasuk kewenangan di bidang moneter, antara
lain mengeluarkan dan mengedarkan uang yang pelaksanaannya diatur dengan
undang‐undang. Untuk mencapai kestabilan nilai rupiah, tugas menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran dilakukan oleh bank sentral.
Prinsip penyelenggaraan kekuasaan dan pelimpahan kewenangan di atas perlu
dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dan kepastian dalam
balance, serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam
penyelenggaraan tugas pemerintahan.
b. Kewenangan Pengelolaan Keuangan Negara
Kekuasaan pengelolaan keuangan negara yang dimiliki presiden meliputi
kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus.
1) Kewenangan yang bersifat umum, meliputi kewenangan untuk:
a) menetapkan Arah dan Kebijakan Umum (AKU);
b) menetapkan strategi dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain:
• pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN,
• pedoman penyusunan rencana kerja kementerian negara/
lembaga,
• gaji dan tunjangan,
• pedoman pengelolaan penerimaan negara.
2) Kewenangan yang bersifat khusus, meliputi kewenangan membuat keputusan/
kebijakan teknis terkait pengelolaan APBN, antara lain menetapkan:
a) keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan APBN,
b) keputusan rincian APBN,
c) keputusan dana perimbangan, dan
d) penghapusan aset dan piutang negara.
Gambar 2.2 Penguasaan dan Penyerahan Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara
c. Pelimpahan Kewenangan Pengelolaan Keuangan Negara
Kewenangan presiden terhadap pengelolaan keuangan negara yang dilimpahkan
kepada pejabat negara, yaitu sebagian kewenangan yang bersifat umum dikuasakan
kepada menteri/pimpinan lembaga negara dan lembaga pemerintahan non
kementerian negara, selaku pengguna anggaran atau Chief Operational Officer
(COO); sementara sebagian kewenangan yang bersifat khusus dikuasakan kepada
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) atau Chief Financial
Officer (CFO).
1) Tugas Menteri/Pimpinan Lembaga
Dalam melaksanakan kewenangan umum tersebut, menteri/pimpinan
lembaga selaku pengguna anggaran mempunyai tugas untuk:
a) menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang
b) menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c) melaksanakan anggaran kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya;
d) melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan
menyetorkannya ke kas negara;
e) mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
f) mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
g) menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian negara/
lembaga yang dipimpinnya; dan
h) melaksanakan tugas‐tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya
berdasarkan ketentuan undang‐undang.
2) Tugas Menteri Keuangan
Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri
Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut:
a) menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
b) menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
c) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
d) melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;
e) melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan
dengan undang‐undang;
f) melaksanakan fungsi bendahara umum negara;
g) menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN;
h) melaksanakan tugas‐tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan
d. Penyerahan Kekuasaan Pengelolaan Keuangan
Dalam rangka penyelenggaraan asas desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan
di daerah (otonomi daerah), sebagian kekuasaan presiden diserahkan kepada
gubernur/walikota/bupati selaku Kepala daerah. Berdasarkan pasal 2 UU Nomor 17
Tahun 2003, keuangan negara yang diserahkan tersebut meliputi:
1) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
2) penerimaan daerah;
3) pengeluaran daerah;
4) kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat
berharga, piutang, barang, serta hak‐hak lain yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah.
Penyerahan kekuasaan tersebut dilaksanakan dengan pengalokasian sebagian dana
APBN kepada daerah dalam bentuk dana perimbangan, sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam undang‐undang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dengan daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Dana perimbangan tersebut terdiri atas:
1) Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (selanjutnya disebut DAU) adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antar‐daerah untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang‐kurangnya 26% dari
pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN.
Jumlah alokasi DAU untuk suatu daerah didasarkan atas dasar celah fiskal dan
• Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal
daerah.
• Alokasi dasar berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.
• Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah
untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum, yang diukur
berdasarkan secara berturut‐turut dengan jumlah penduduk, luas
wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto
per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia.
• Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang
berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil.
Dana Alokasi Khusus (selanjutnya disebut DAK) adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan
tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan
daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, sesuai dengan fungsi yang telah
ditetapkan dalam APBN.
Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria
khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan
mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD, kriteria
khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang‐undangan
dan karakteristik daerah, dan kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian