BAB II
STATUS HUKUM OBJEK JAMINAN HAK TANGGUNGAN YANG DISITA OLEH PENGADILAN KARENA BERKAITAN DENGAN
KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Prinsip-Prinsip Umum Hak Tanggungan
Pengertian Hak Tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 1
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah adalah :
“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya”
Dari rumusan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang,
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu Hak Tanggungan adalah suatu benda
jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu, dengan objek jaminannya berupa
Hak-Hak Atas Tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria.53
Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah yang kuat danmampu
memberikan kepastian hukum bagi para pihak, mempunyai denganciri-ciri sebagai
berikut :
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya
(kreditur tertentu).
Dari definisi mengenai Hak Tanggungan sebagaimana dikemukakan di atas,
diketahui bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yangdiutamakan kepada
kreditur terhadap kreditur-kreditur lain. Yang dimaksud dengan “kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain”, dapat dijumpai
dalam Penjelasan Umum angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan DenganTanah, yaitu
:“…. Bahwa jika debitur cidera janji, maka kreditur pemegang Hak Tanggungan
berhak menjual tanah yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum, menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu
daripada kreditur-kreditur lain….”Ciri ini dalam ilmu hukum dikenal dengan istilah
droit de preference.
2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan di tangan siapapun objek itu berada.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah menyatakan bahwa
Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut
berada, sehingga Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek Hak
Tanggungan itu beralih ke pihak lain oleh sebab apa pun juga. Asas yang disebut
droit de suite memberikan kepastian kepada kreditur mengenai haknya untuk
memperoleh pelunasan dari hasil penjualan atas tanah penguasaan fisik atau Hak Atas
wanprestasi, sekalipun tanah atau hak atas tanahyang menjadi objek Hak Tanggungan
itu dijual oleh pemiliknya atau pemberi Hak Tanggungan kepada pihak ketiga
3. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas, sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan.
Asas spesialitas diaplikasikan dengan cara pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sedangkan asas publisitas diterapkan
pada saat pendaftaran pemberian Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan. Pendaftaran
tersebut merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan
mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga.54
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Keistimewaan lain dari Hak Tanggungan yaitu bahwa Hak Tanggungan
merupakan hak jaminan atas tanah yang mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Apabila debitur wanprestasi tidak perlu ditempuh cara gugatan perdata biasa yang
memakan waktu dan biaya. Bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan disediakan
cara-cara khusus, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Menurut Arie S. Hutagalung dengan ciri-ciri tersebut diatas, maka diharapkan
sektor perbankan yang mempunyai pangsa kredit yang paling besar dapat terlindungi
dalam menyalurkan dana kepada masyarakat dan secara tidak langsung dapat
menciptakan iklim yang kondusif dan lebih sehat dalam pertumbuhan dan
perkembangan perekonomian.55
Disamping memiliki empat ciri di atas Hak Tanggungan juga mempunyai
beberapa sifat, seperti :
a. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi
Maksud dari Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, yaitu Hak Tanggungan
membebani secara utuh objeknya dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian
utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian objek dari beban Hak Tanggungan.
Hak Tanggungan yang bersangkutan tetap membebani seluruh objek untuk sisa utang
yang belum dilunasi.
Akan tetapi seiring berkembangnya kebutuhan akan perumahan, ketentuan
tersebut ternyata menimbulkan permasalahan yaitu dalam halsuatu proyek perumahan
atau rumah susun ingin diadakan pemisahan. Apabila tanahnya dibebankan Hak
Tanggungan, ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah akan menyulitkan penjualan rumah atau satuan rumah susun yang telah
dibangun tersebut. Oleh karenanya untuk mengatasi permasalahan, maka ketentuan
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan DenganTanah membuka
kesempatan untuk menyimpangi sifat tersebut, jika Hak Tanggungan dibebankan
pada beberapa Hak Atas Tanah dan pelunasan utang yang dijamin dilakukan dengan
angsuran sebesar nilai masing-masing Hak Atas Tanah yang merupakan bagian dari
objek Hak Tanggungan yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut. Dengan
demikian Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa objekuntuk sisa hutang yang
belum dilunasi. Agar hal ini dapat berlaku, makaharus diperjanjikan dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan.
b. Hak Tanggungan merupakan perjanjianaccesoir.
Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin pelunasan hutang debitur kepada
kreditur, oleh karena itu Hak Tanggungan merupakan perjanjianaccesoir pada suatu
perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang sebagai perjanjian
pokok. Kelahiran, eksistensi, peralihan, eksekusi, berakhir dan hapusnya Hak
Tanggungan dengan sendirinya ditentukan oleh peralihan dan hapusnya piutang yang
dijamin pelunasannya. Tanpa ada suatu piutang tertentu yang secara tegas dijamin
pelunasannya, maka menurut hukum tidak akan ada Hak Tanggungan.56
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak TanggunganAtas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, menyebutkan bahwa
yang menjadi Objek Hak Tanggungan adalah :
1. Hak milik;
2. Hak guna usaha;
3. Hak guna bangunan;
4. Hak pakai atas tanah negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib
didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani
dengan Hak Tanggungan.
Walaupun tidak disebutkan secara tegas, tetapi mengingat Hak Tanggungan
merupakan bagian dari pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (vide Pasal 51 juncto Pasal 57
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria), maka
kiranya bisa kita simpulkan, bahwa hak-hak atas tanah yang menjadi objek Hak
Tanggungan, sebagaimana yang disebut di atas, adalah hak-hak atas tanah menurut
Undang-Undang Nomor 5Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Disampingitu, menurut Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah berbunyi:“Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas
tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada dan yang akan ada
yang merupakan satu kesatuan dengan tanahnya, dan yang merupakanmilik
pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam
akta pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.”
Jadi selain tanah, bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu
kesatuan dengan tanahnya dapat dijadikan objek Hak Tanggungan. Perhatikan
baik-baik syarat “merupakan satu-kesatuan” dengan tanahnya. Namun, perlu diperhatikan
dengan baik bahwa penyebutannya adalah: “juga dapat dibebankan “pada hak atas
karya itu hanya bisa menjadi objek Hak Tanggungan kalau tanah di atas mana
bangunan itu berdiri, tanaman itu tumbuh dan hasil karya itu berada juga dijaminkan
dengan Hak Tanggungan. Benda-benda di luar tanah, yang disebutkan dalam Pasal 4
ayat(4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah tidak bisa dijaminkan dengan
Hak Tanggungan terlepas dari tanahnya.
Penyebutan “yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah tersebut”
mengingatkan kepada syarat “dipersatukan secara permanen atau nagelvast” dan
“dengan akar tertancap dalam tanah atau wortelvast” pada hipotik. Jadi, walaupun
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
menganut asas hukum adat dan karenanya menganut asas pemisahan horisontal,
namun di sini disyaratkan harus merupakan satu-kesatuan dengan tanahnya.
Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
ternyata meliputi juga bangunan yang ada di permukaan tanah, seperti basement. Jadi,
yang ada dibawah tanah hanya meliputi bangunan, atau bagian dari bangunan, yang
ada dibawah tanah, dan ada hubungannya dengan tanah yang ada diatasnya.
Karenanya, tambang dan mineral tidak termasuk didalamnya.
Subjek Hak Tanggungan adalah:
1. Pemberi Hak Tanggungan
Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang
Tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada
pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.
Penyebutan “orang perseroangan” atau “badan hukum” adalah berlebihan,
karena dalam pemberian Hak Tanggungan objek yang dijaminkan pada pokoknya
adalah tanah, dan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria,yang bisa mempunyai hak atas tanah adalah baik orang
perserorangan maupun badan hukum -vide Pasal 21, Pasal 30, Pasal 36, dan Pasal 45
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria. Untuk masing-masing hak atas tanah, sudah tentu pemberi Hak Tanggungan
sebagai pemilik hak atas tanah harus memenuhi syarat pemilikan tanahnya, seperti
ditentukan sendiri-sendiri dalam undang-undang.57
Selanjutnya syarat, bahwa pemberi Hak Tanggungan harus mempunyai
kewenangan untuk mengambil tindakan hukum atas objekyang dijaminkan adalah
kurang lengkap, karena yang namanya tindakan hukum bisa meliputi, baik tindakan
pengurusan atau beschikkingsdaden, padahal tindakan menjaminkan merupakan
tindakan pemilikan bukan pengurusan, yang tercakup oleh tindakan pengurusan. Jadi,
lebih baik disebutkan, bahwa syaratnya adalah pemberi Hak Tanggungan harus
mempunyai kewenangan tindakan pemilikan atas benda jaminan.
Kewenangan tindakan pemilikan itu baru disyaratkan pada saat pendaftaran
Hak Tanggungan menurut Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, bahwa orang menjanjikan Hak Tanggungan
pada saat benda yang akan dijaminkan belum menjadi miliknya, asal nanti padasaat
pendaftaran Hak Tanggungan, benda jaminan telah menjadi milik pemberi Hak
Tanggungan. Ini merupakan upaya pembuat undang-undang untuk menampung
kebutuhan praktik, dimana orang bisa menjaminkan persil, yang masih akan dibeli
dengan uang kredit dari kreditur.58
Pada praktek pelaksanaanya, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah banyak Kantor Pertanahan yang ragu-ragu atau menolak pendaftaran hipotik jika kreditur merupakan orang perorangan. Hal ini rupanya diantisipasi oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, sehingga kini orang perorangan dimungkinkan secara tegas sebagai penerima Hak Tanggungan. Walaupun demikian sejauh mungkin harus dicegah adanya praktik rentenir, yang menyalahgunakan peraturan Hak Tanggungan ini.59
2. Pemegang Hak Tanggungan
Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Penerima Hak Tanggungan, yang sesudah pemasangan Hak Tanggungan akan menjadi pemegang Hak Tanggungan, yang adalah juga kreditur dalam perikatan pokok, juga bisa orang perseorangan maupun badan hukum. Di sini tidak ada kaitannya dengan syarat pemilikan tanah, karena pemegang Hak Tanggungan memegang jaminan pada asasnya tidak dengan maksud untuk nantinya, kalau debitur wanprestasi, memiliki persil jaminan.60
58
Elli Erawaty,Beberapa Pemikiran Tentang Hak Tanggungan, Eressco, Bandung, 2008, hal. 77
59 H. M. Ridhwan Indra, Mengenal Undang-Undang Hak Tanggungan, Cetakan Pertama, Penerbit Cv Trisula, Jakarta, 1997, hal. 22.
Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan DenganTanah
disebutkan bahwa yang dapat bertindak sebagai pemegang Hak Tanggungan adalah
orang perseorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai kreditur.
Menentukan siapa yang bisa menjadipemegang Hak Tanggungan tidak sesulit
menentukan siapa yang bisabertindak sebagai pemberi Hak Tanggungan. Karena
seorang pemegang Hak Tanggungan tidak berkaitan dengan pemilikan tanah dan
padaasasnya bukan orang yang bermaksud untuk memiliki objek Hak Tanggungan
bahkan memperjanjikan. Bahwa objek Hak Tanggungan akanmenjadi milik
pemegang Hak Tanggungan, kalau debitur wanprestasi adalah batal demi hukum
sesuai Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-BendaYang Berkaitan Dengan Tanah.
Dari penegasan bahwa yang bisa bertindak sebagai pemegang Hak
Tanggungan adalah “orang-perseorangan” atau “badan hukum”, kita bisa
menyimpulkan bahwa yang bisa menjadi pemegang Hak Tanggungan adalah orang
alamiah ataupun badan hukum. Yang namanya badan hukum bisa Perseroan Terbatas,
Koperasi, dan Perkumpulan yang telah memperoleh status sebagai badan hukum
ataupun yayasan. Diatas tidak disebutkan Perseroan Komanditer atau commanditer
venootschap. Inimembawa persoalan lain, yaitu apakah Perseroan Komanditer
bisabertindak sebagai pemegang Hak Tanggungan, mengingat bahwa Perseroan
Komanditer di Indonesia belum secara resmi diakui sebagai badan hukum, sekalipun
resmi dari anggota masyarakat, seakan-akan Perseroan Komanditer bisa mempunyai
hak dan kewajiban sendiri?61
Pembebanan Hak Tanggungan merupakan suatu proses yang terdiri atasdua
tahap, yaitu diawali dengan tahap pemberian Hak Tanggungan dan akan diakhiri
dengan tahap pendaftaran. Dimana tata cara pembebanan Hak Tanggungan ini wajib
memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah. Tahap pemberian Hak Tanggungan dilakukan dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang, dengan pembuatan Akta Pemberian
Hak Tanggungan, untuk memenuhi syarat spesialitas. Sedangkan tahap pendaftaran
Hak Tanggungan dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten
setempat, dengan pembuatan buku tanah Hak Tanggungan dan Sertipikat Hak
Tanggungan, untuk memenuhi syarat publisitas. Proses pembebanan Hak
Tanggungan akan diuraikan sebagai berikut:62
1. Tahap pemberian Hak Tanggungan
Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji akan memberikan Hak
Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu. Janji tersebut wajib
dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian
utang-piutang yang bersangkutan atauperjanjian lainnya menimbulkan utang.
Pemberian Hak Tanggungan ini dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian
61 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku Satu, Cetakan Pertama, Penerbit PT Citra aditya Bakti, Jakarta, 1997, hal. 268.
62
Hak Tanggungan yang bersifat autentik. Akta Pemberian Hak Tanggungan ini dibuat
oleh dan/atau dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang. Bentuk dan
isi Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut telah ditetapkan dalam Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Formulir Akta Pemberian Hak Tanggungan berupa blanko yang
diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasioanal.
Akta Pemberian Hak Tanggungan ini dibuat dua rangkap asli atau inoriginali
yang masing-masing ditandatangani oleh pemberi Hak Tanggungan atau debitur atau
penjamin, pemegang Hak Tanggungan atau kreditur, dua orang saksi dan Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Lembar pertama disimpan di kantor Pejabat Pembuat Akta
Tanah dan lembar kedua diserahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk
keperluan pendaftaran Hak Tanggungan. Sedangkan para pihak hanya diberikan
salinan dari Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut.63
Surat-surat yang wajib diserahkan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk
keperluan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, yaitu :64
a. Surat-surat mengenai tanah berupa sertipikat Hak Atas Tanah atau Hak Milik
atas Satuan Rumah Susun yang ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan;
b. Surat-surat mengenai orang, berupa identitas pemberi dan pemegang Hak
Tanggungan;
63Kartini Muldjadi dan Gunawan Widjaja,Hak Tanggungan, Prenada Media, Jakarta, 2006, hal. 25
c. Surat-surat mengenai prosedur tanda bukti pembayaran biaya pendaftaran Hak
Tanggungan;
d. Surat mengenai perjanjian, berupa salinan akta atau surat pemberian kredit.
Dalam rangka memenuhi syarat spesialitas pada Akta Pemberian Hak
Tanggungan wajib dicantumkan :65
1) Nama dan identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;
2) Domisili pihak-pihak tersebut, jika salah satu pihak berdomisili diluar
negeri, harus dicantumkan domisili pilihan di Indonesia, jika tidak kantor
Pejabat Pembuat Akta Tanah dianggap sebagai domisili pilihannya;
3) Penunjukan secara jelas utang-utang yang dijamin, yang meliputi juga
nama dan identitas debitur, kalau pemberi Hak Tanggungan bukan
debitur;
4) Nilai Hak Tanggungan;
5) Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.
Ketentuan tersebut menetapkan isi yang bersifat wajib danmerupakan syarat
sah pemberian Hak Tanggungan. Bila tidak dicantumkan secara lengkap, maka
mengakibatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan batal demi
hukum.
Akta Pemberian Hak Tanggungan didalamnya dapat pula dicantumkan
janji-janji yang bersifat fakultatif, dimana janji-janji-janji-janji tersebut tidak wajib, dapat
diperjanjikan atau tidak, sesuai dengan kesepakatan diantara para pihak, janji-janji
yang dapat dicantumkanAkta Pemberian Hak Tanggungan, antara lain:
a) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.
b) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk dan tata susunan objek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.
c) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan, apabila debitur cidera janji.
d) Janji untuk memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi dan untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhinya atau dilanggarnya ketentuan undang-undang.
e) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan, apabila debitur cidera janji.
f) Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan.
g) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.
h) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum. i) Janji bahwa pemegang Hak Tanggunganakan memperoleh seluruh atau
sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan.
j) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.
k) Janji bahwa sertipikat Hak atas Tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan diserahkan kepada kreditur.66
Janji-janji sebagaimana tersebut diatas tidak hanya memperhatikan
kepentingan pemegang Hak Tanggungan saja, tetapi juga kepentingan pemberi Hak
Tanggungan. Janji-janji tersebut akan mengikat pihak ketiga setelah Hak Tanggungan
tersebut lahir, yaitu pada saat pendaftaran Hak Tanggungan. Pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan terdapat janji yang dilarang untuk diperjanjikan dalam
Akta Pemberian Hak Tanggungan,yaitu janji yang memberi wewenang kepada
pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan secara serta
merta, apabila debitur cidera janji. Larangan tersebut merupakan suatu pembatasan
yang diadakan dalam rangka melindungi kepentingan pemberi Hak Tanggungan, jika
tetap diperjanjikan maka akan batal demi hukum.67
Berdasarkan asasnya pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri
oleh pemberi Hak Tanggungan sebagai pihak yang berwenang melakukan perbuatan
hukum untuk membebankan Hak Tanggungan atas objek yang dijadikan jaminan
utang. Namun apabila pemberi Hak Tanggungan benar-benar berhalangan hadir,
dalam hal ini pemberi Hak Tanggungan wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya,
dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Penunjukan tersebut harus
dilakukan dengan akta autentik yang dibuat oleh notaris.68
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan harus diberikan langsung oleh
pemberi Hak Tanggungan dan isinya harus memenuhi syarat sebagai berikut:
67 Gunawan Salim, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pengikatan Jaminan Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 30
(1)Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum selain dari membebankan Hak Tanggungan;
(2)Tidak memuat kuasa subtitusi;
(3)Mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang, nama serta identitas kreditur dan debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan.69
Tidak terpenuhinya syarat tersebut diatas, mengakibatkan Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan yang bersangkutan batal demi hukum. Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir
oleh sebab apapun juga, kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena
telah habis jangka waktunya.
Batas waktu penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yaitu
untuk tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian
Hak Tanggungan selambat-lambatnya satubulan sejak dibuatnya Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan dan bagi tanah yang belum terdaftar atau sudah
terdaftar tetapi belum atas nama pemberi Hak Tanggungan wajib dibuat Akta
Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya tiga bulan sejak dibuatnya Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, jika tidak diikuti dengan pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan yang bersangkutan batal demi hukum.
Setelah Akta Pemberian Hak Tanggungan selesai ditandatangani,
selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari kerja, Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib
mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan ke Kantor Pertanahan setempat
beserta warkah-warkah lainnya yang diperlukan untuk pendaftaran.
Keterlambatan pengiriman tidak mengakibatkan batalnya Akta Pemberian
Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan tetap wajib memproses pendaftaran Hak
Tanggungannya, akan tetapi Pejabat Pembuat Akta Tanah bertanggung jawab
terhadap akibat yang ditimbulkan karena keterlambatan tersebut.
2. Tahap pendaftaran Hak Tanggungan
Dengan dilakukan pemberian Hak Tanggungan dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan, Hak Tanggungan ini baru memenuhi syarat spesialitas, sampai pada
tahap tersebut Hak Tanggungan yang bersangkutan belum lahir dan kreditur
pemegangnya belum memperoleh kedudukan yang diutamakan. Kelahiran dari Hak
Tanggungan harus memenuhi syarat publisitas yang merupakan syarat mutlak dengan
mendaftarkan padaKantor Pertanahan setempat.
Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kota/Kabupaten tempat objek Hak Tanggungan tesebut berada, dengan pembuatan
buku tanah Hak Tanggungan atas dasar data yang terdapat pada Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang dikirimkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bersangkutan,
setelah itu dicatat pada buku tanah dan disalin pada sertipikat objek Hak Tanggungan.
Hak Tanggungan dinyatakan lahir pada tanggal dibuatkan buku tanah Hak
Tanggungan, yaitu hari kerja ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat
yang diperlukan bagi pendaftarannya. Selanjutnya Kantor Pertanahan menerbitkan
dalam waktu tujuh hari setelah dibuatkan buku tanah Hak Tanggungan.70
Sertipikat Hak Tanggungan terdiri atas salinan buku tanah Hak Tanggungan
dan salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, yang
ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten setempat, dijilid
menjadi satu dalam sampul sertipikat Hak Tanggungan, yang memuat irah-irah “
DEMI KEADILAN BERDASARKANKETUHANAN YANG MAHA ESA”,
sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap. Sertipikat Hak Tanggungan diserahkan kepada
pemegang Hak Tanggungan, sedangkan sertipikat objek Hak Tanggungan yangtelah
dibubuhi catatan adanya beban Hak Tanggungan dikembalikan kepada pemiliknya,
kecuali apabila diperjanjikan lain.
3. Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah Hak Milik
Pembebanan Hak Tanggungan atas tanah dengan status tanah Hak Milik dapat
ditemukan dalam rumusan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menyatakan secara tegas bahwa
tanah dengan status Hak Milik dapat dijaminkan dengan membebani hak atas tanah
tersebut dengan Hak Tanggungan. Selanjutnya ketentuan tersebut dipertegas dengan
ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dari rumusan Pasal
4 tersebut diketahui bahwa ternyataselain bidang tanahnya, bangunan, tanaman, dan
hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan bidang
tanah tersebut, baik yang merupakan milik pemegang hak atas tanah, dan sepanjang
tindakan tersebut dilakukan oleh pemiliknya dan pembebanannya dengan tegas
dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Berkenaan dengan pemberian Hak Tanggungan tersebut, dalam ketentuan
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah bahwa pemberian Hak
Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Secara tegas ternyata bahwa
saat pendaftaran pembebanan Hak Tanggungan adalah saat lahirnya Hak Tanggungan
tersebut. Sebelum pendaftaran dilakukan, maka Hak Tanggungan tidak pernah ada.
Hak Tanggungan lahir dengan dilaksanakannya pendaftaran pemberian Hak
Tanggungan.71
Pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun, pembebanan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan hak sewa
untuk bangunan atas Hak Milik, dan pembebanan lain pada hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun yang ditentukan dengan peraturan
perundang-undangan, dapat didaftar jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
B. Prosedur dan Tata Cara Eksekusi Hak Tanggungan
Eksekusi Hak Tanggungan merupakan suatu upaya bagi pemegang Hak
Tanggungan untuk memperoleh kembali piutangnya, manakala debitur wanprestasi.
Untuk itu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah memberikan kemudahan
dan kepastian dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan.
Apabila debitur wanprestasi, kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat
menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum menurut cara yang
ditentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berhak mengambil
pelunasan piutangnya yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut, dengan hak
mendahului dari pada kreditur-kreditur yang lain.
Kemudahan yang disediakan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan dalam
rangka eksekusi atas objek Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan tiga cara,
yaitu:72
1. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak
Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
2. Titel Eksekutorial yang terdapat dalam Sertipikat Hak Tanggungan,
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah.
3. Penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan.
Penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan
jikadiperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Demikian
ditentukan oleh Pasal 20 Ayat (2) UUHT. Yang dimaksud dengan penjualan
dibawah tangan adalah penjualan atas tanah yang dijadikan sebagai jaminan
dan dibebani dengan Hak Tanggungan oleh kreditur sendiri secara langsung
kepada orang atau pihak lain yang berminat, tetapi dibantu juga oleh pemilik
tanah dan bangunan dimaksud.73 Oleh karena penjualan dibawah tangan dari
obyek Hak Tanggungan hanya dapat dilaksanakan bila ada kesepakatan antara
pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, maka bank tidak mungkin
melakukan penjualan dibawah tangan terhadap obyek Hak Tanggungan atau
agunan kredit apabila debitur tidak menyetujuinya.
Dalam praktek apabila terjadi kredit macet, debitur tidak kooperatif sehingga
bank sulit untuk mendapatkan atau memperoleh persetujuan dari nasabah debitur.
Syarat untuk dapat dilakukan penjualan dibawah tangan obyek Hak Tanggungan
adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan pemegang Hak
Tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Dalam
keadaan-keadaan tertentu justru menurut pertimbangan bank lebih baik agunan dijual
dibawah tangan daripada dijual melalui pelelangan umum, apabila menurut
pertimbangan bank hasil penjulan di bawah tangan lebih tinggi dibandingkan melalui
pelelangan umum. Bank sendiri berkepentingan agar hasil penjualan agunan tersebut
cukup jumlahnya untuk membayar seluruh jumlah kredit yang terutang.74
Pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus didahului dengan
pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar
yang terbit di daerah tempat lokasi tanah dan bangunan atau obyek Hak Tanggungan
berada. Hal ini dilakukan minimal 1 (satu) bulan sebelum penjualan dilakukan serta
tidak ada Pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus didahului dengan
pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar
yang terbit di daerah tempat lokasi tanah dan bangunan atau obyek Hak Tanggungan
berada. Hal ini dilakukan minimal 1 (satu) bulan sebelum penjualan dilakukan serta
tidak adasanggahan dari pihak manapun. Apabila tidak dilakukan, penjualan dapat
dikatakan batal demi hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 20
UUHT.
Syarat untuk dapat dilakukan penjualan di bawah tangan obyek Hak
Tanggungan adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan
pemegang Hak Tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan
semua pihak. Kesulitan untuk memperoleh persetujuan dari nasabah debitur dapat
terjadi karena:75
a. Nasabah debitur dan atau pemilik agunan tidak mempunyai iktikad baik
sehingga sulit ditemui atau tidak kooperatif;
b. Nasabah debitur dan atau pemilik agunan tidak diketahui keberadaannya.
Agar bank kelak dikemudian hari setelah kredit yang diberikan tidak
mengalami kesulitan yang demikian, pada waktu kredit diberikan bank mensyaratkan
agar di dalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk
dapat menjual sendiri agunan tersebut secara dibawah tangan atau meminta kepada
debitur untuk memberikan surat kuasa khusus yang memberikan kekuasaan kepada
bank untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan.76 Bank
melakukan tindakan seperti itu dengan alasan “jaga-jaga” yang tidak akan
dipergunakan jika debitur membayar utangnya dengan lancar.77
Alasan lainnya yang biasa disampaikan oleh bank adalah sebagai tindakan
“shock therapy” bagi debitur, agar tidak melakukan tindakan wanprestasi. Yang
dimaksud dengan surat kuasa menjual yaitu: pemberian kuasa kepada pihak lain oleh
atau penerima kuasa untuk melakukan perbuatan hukum yaitu menjual suatu obyek
tertentu. Pada prinsipnya sebenarnya kuasa untuk menjual diberikan oleh karena
pihak penjual ( pemilik tanah) tidak dapat hadir sendiri pada saat pembuatan akta jual
beli karena alasan-alasan tertentu. Namun dalam praktek alasan pemberian kuasa
75Ibid, hal. 63
76 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan: Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah-Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Airlangga University Press, Surabaya, 1996, hal. 121
berkembang sesuai kebutuhan praktek.
Surat kuasa menjual, tunduk pada pengaturan surat kuasa dalam Pasal 1792
KUHPerdata, berbunyi sebagai berikut : Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan
dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang
menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Dari pasal
tersebut kita dapat melihat bahwa unsur-unsur dari pemberian kuasa adalah :
a. persetujuan;
b. memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan; dan
c. atas nama pemberi kuasa78
Pertama-tama, haruslah unsur-unsur dan syarat-syarat untuk sahnya suatu
persetujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi, yaitu:
a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. kecakapan untuk membuat suatau perikatan;
c. suatu hal tertentu; dan
d. suatu sebab yang halal.
Unsur kedua dari pemberian kuasa, yaitu mengenai memberikan kekuasaan
untuk menyelenggarakan suatu urusan adalah sesuai dengan yang telah disetujui oleh
para pihak, baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata
yang tegas.
Unsur ketiga di mana penerima kuasa melakukan tindakan hukum tersebut
untuk dan atas nama pemberi kuasa. Penerima kuasa diberi wewenang untuk
mewakili pemberi kuasa. Akibatnya, tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima
kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa. Apakah penerima kuasa dalam
melakukan sesuatu tindakan hukum tersebut selalu untuk kepentingan pemberi kuasa
semata-mata, disamping melakukannya atas nama pemberi kuasa? Ada kemungkinan
pemberian kuasa tersebut dilakukan atas nama pemberi kuasa, tetapi untuk
kepentingan penerima kuasa sehingga dalam hal-hal tertentu justru kepentingan
penerima kuasa tersebut merupakan tujuan dari pemberian kuasa tersebut, misalnya:
1. Suatu utang-piutang di mana kepada bank diberikan sebagai jaminan hak atas
tagihan dari debitur, yang untuk keperluan mana debitur memberi kuasa
kepada bank untuk menagih piutang tersebut dan hasilnya diperhitungkan
dengan utang debitur;
2. Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa pemegang hipotik
pertama diberi kuasa mutlak oleh pemberi hipotik untuk menjual persil yang
dihipotikkan apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya.
Untuk lebih jelasnya, kami kutip Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata tersebut:
Namun demikian, diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotik pertama untuk,
pada waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa jika uang
tidak dilunasi semestinya atau jika bunga pokok tidak dilunasi semestinya atau jika
bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil
Adapun dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
berkaitan dengan Tanah (UUHT), maka ketentuan Pasal 1178 KUHPerdata tersebut
tidak berlaku untuk jaminan berupa hak atas tanah dan bangunan.
Pasal 6 UUHT menyebutkan senada dengan ketentuan Pasal 1178 Ayat (2)
KUHPerdata bahwa: Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut.
Suatu perjanjian pendahuluan di mana para pihak berjanji dan mengikatkan
diri akan melakukan suatu perjanjian lainnya (kemungkinan menunggu syarat tertentu
telah dipenuhi). Umpamanya, dalam hal jual-beli sebidang tanah, di mana bakal
penjual dan bakal pembeli bersetuju untuk melakukan jual-beli di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT), tetapi syarat-syarat yang diperlukan untuk
pelaksanaan jual-beli tersebut belum dipenuhi (sertipikat tanah hak atas nama penjual
belum selesai, harga jual-beli belum lunas dan sebagainya). Dalam hal demikian, para
pihak mengadakan perjanjianpendahuluan (perjanjian pengikatan jual-beli). Dalam
perjanjian tersebut penjual memberikuasa kepada pembeli apabila syarat-syarat
tersebut telah terpenuhi (sertipikat tanah hak telah selesai tertulis atas nama penjual,
tersebut guna melaksanakan jual beli di hadapan PPAT.79
Dari contoh tersebut di atas dapat kita lihat bahwa penerima kuasa tidak saja
mempunyai kekuasaan mewakili, (vertegenwoordigingsmacht), tetapi juga hak
mewakili (vertegenwwoordigingsrecht). Di sini kepentingan penerima kuasa perlu
diperhatikan mengingat berakhirnya suatu kuasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal
1813 KUHPerdata, di antaranya, karena ditariknya kembali kuasanya oleh pemberi
kuasa. Hal tersebut diatur pula dalam Pasal 1814 KUHPerdata yang menyebutkan
bahwa si pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu
dikehendakinya. Jika terjadi demikian, akan mengakibatkan hak-hak dari penerima
kuasa (kreditur atau bakal pembeli dalam contoh di atas) sangat dirugikan. Pemberian
kuasa yang diberikan dalam rangka suatu perjanjian, dimana pemberian kuasa
tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian tersebut
(integrerend deel), karena tanpa adanya kuasa tersebut kepentingan penerima kuasa
akan sangat dirugikan, perlulah pemberian kuasa tersebut diberikan syarat bahwa
kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali atau yang sekarang dikenal atau
disalahartikan dengan “kuasa mutlak”.
Larangan kuasa mutlak yang dimaksud disini adalah larangan terhadap kuasa
sebagaimana diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982
tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai pemindahan Hak Atas Tanah
yang sekarang telah dimuat di dalam Pasal 39 huruf d peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Kuasa mutlak tersebut pada hakikatnya
merupakan pemindahan hak atas tanah, dengan ciri-ciri yang disebutkan dalam
Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut, yaitu :
Kuasa mutlak yang dimaksud dalam diktum pertama adalah kuasa yang di
dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa; Kuasa
mutlak yang pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah kuasa
mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk
menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum
yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya.”
Pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut kembali oleh pemberi kuasa adalah
sah apabila perjanjian yang menjadi dasar dari pemberian kuasa tersebut mempunyai
alas (titel) hukum yang sah. Menurut putusan HR 12 Januari 1984 6458, ketentuan
Pasal 1814 KUHPerdata tidak bersifat memaksa juga bukan merupakan ketentuan
yang untuk menyimpangi dari ketentuan tersebut, sepanjang penyimpangan tersebut
tidak bertentangan dengan kepentingan umum (van openbare orde) dan kesusilaan.
Seperti diketahui, ketentuan undang-undang mengenai perjanjian menganut
system terbuka atau asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata), berarti
kita diperbolehkan membuat perjanjian mengenai apa saja dengan siapa saja, dan hal
tersebut akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang.
Undang-undang yang akan mengaturnya apabila para pihak sudah tidak mengaturnya dalam
perjanjian yang telah dibuatnya karena ketentuan undang-undang mengenai
(dwingend recht).
Apabila dipastikan debitur wanprestasi, berdasarkan ketentuan Pasal 20 Ayat
(2) dan (3) UUHT :
1. Dibuat kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan untuk
menjual di bawah tangan untuk memperoleh harga tertinggi dan
menguntungkan semua pihak;
2. Penjualan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak dilakukan
pemberitahuan oleh pemberi/ pemegang Hak Tanggungan kepada pihak yang
berkepentingan;
3. Diumumkan paling sedikit dalam 2 surat kabar di daerah yang bersangkutan;
4. Tidak ada yang berkeberatan dengan penjualan tersebut.80
Bank dapat menjual obyek Hak Tanggungan tanpa melalui prosedur lelang
dan juga tidak diperlukan kuasa untuk menjual. Dalam praktek perbankan penjualan
di bawah tangan atas obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dengan beberapa
cara dilihat dari itikad baik dari debitur atau pemberi Hak Tanggungan yaitu, debitur
kooperatif, penjualan di bawah tangan dapat dilakukan melalui mekanisme :81
a. Jual-beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu pemberi Hak Tanggungan
bertindak selaku penjual dengan calon pembeli dan langsung menanda tangani
akta jual-beli atas tanah yang berkenaan dan disaksikan pihak bank selaku
pemegang Hak Tanggungan. Dalam keadaan demikian biasanya debitur sendiri
80 Habib Adjie,Menjalin Pemikiran – Pendapat Tentang Kenotariatan (Kumpulan Tulisan), PT. CitraAditya Bakti, 2013, Bandung, hal. 16
yang mencari pembeli untuk mendapatkan harga tertinggi.
b. Debitur atau pemberi Hak Tanggungan menandatangani surat pernyataan
penyerahan agunan secara sukarela sekaligus surat kuasa menjual kepada orang
yang ditunjuk oleh bank selaku pemegang Hak Tanggungan dan apabila
sewaktu-waktu bank mendapatkan pembeli atas agunan tersebut, jual-beli dapat
dilakukan berdasarkan alas hak surat kuasa menjual tersebut.
Permasalahan yang terjadi dalam praktek perbankan yaitu pemberian kuasa
oleh debitur kepada kreditur untuk menjual agunan yang dituangkan dalam surat
kuasa menjual yang dibuat pada saat atau bersamaan waktunya dengan
penandatanganan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dan Akta Pemberian Hak
Tanggungan (disingkat APHT) sebagai pengikatan jaminan atauaccesoir yang berisi
janji-janji sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 Ayat (2) UUHT.
Surat Kuasa Menjual ini bertujuan untuk memberi kuasa kepada kreditur
untuk menjual atau mengalihkan kepemilikan hak atas tanahnya apabila debitur
wanprestasi, dan apabila kelak debitur wanprestasi maka pelaksanaan jual-beli
berdasarkan surat kuasa menjual tersebut sebagai alas haknya dan sebagai
pembelinya adalah bank itu sendiri dengan menunjuk karyawan, pemegang saham
atau pihak lain sebagai atas nama untuk ” kepentingan” bank.
Menurut pertimbangan bank penjualan di bawah tangan berdasarkan surat
kuasa menjual lebih efektif, artinya penjualan obyek hak tanggungan tersebut tidak
memerlukanwaktu yang lama dan proses yang panjang dibandingkan melalui
membutuhkan biaya lebih besar terkait dengan prosedur lelang.82
C. Status Hukum Objek Jaminan Hak Tanggungan Yang Disita Oleh Pengadilan Karena Berkaitan Dengan Kasus Tindak Pidana Korupsi
Pengertian penyitaan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang berbunyi, “Penyitaan adalah serangkaian
tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud,
untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan”.
Dari pengertian penyitaan di atas, secara hukum acara pidana dapat dikatakan
bahwa penyitaan menurut KUHAP adalah upaya paksa yang dilakukan penyidik
untuk :
1. Mengambil atau katakan saja “merampas” sesuatu barang tertentu dari
seorang tersangka, pemegang atau penyimpan. Tapi perampasan yang
dilakukan dibenarkan hukum dan dilaksanakan menurut aturan
undang-undang. Bukan perampasan liar dengan cara yang melawan hukum
(wederrechtelijk).
2. Setelah barangnya diambil atau dirampas oleh penyidik, ditaruh atau disimpan
di bawah kekuasaannya.
Tujuan penyitaan agak berbeda dengan penggeledahan. Seperti yang sudah
dijelaskan, tujuan penggeledahan dimaksudkan untuk kepentingan penyelidikan atau
untuk kepentingan pemeriksaan penyidikan. Lain halnya dengan penyitaan. Tujuan
penyitaan, untuk kepentingan “pembuktian”, terutama ditujukan sebagai barang bukti
di muka sidang peradilan. Kemungkinan besar tanpa barang bukti, perkara tidak dapat
diajukan ke sidang pengadilan. Oleh karena itu, agar perkara tadi lengkap dengan
barang bukti, penyidik melakukan penyitaan untuk dipergunakan sebagai bukti dalam
penyidikan, dalam penuntutan dan pemeriksaan persidangan pengadilan.83
Kadang-kadang barang yang disita, bukan milik tersangka. Adakalanya
barang orang lain yang dikuasainya secara melawan hukum, seperti dalam perkara
pidana pencurian. Atau memang barang tersangka, tapi yang diperolehnya dengan
jalan melanggar ketentuan undang-undang atau diperoleh tanpa izin yang sah
menurut perundang-undangan, seperti dalam tindak pidana ekonomi atau tindak
pidana korupsi.
Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
menyebutkan bahwa, “Penyitaan dapat dilakukan dalam setiap tingkat proses
pemeriksaan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang
pengadilan”. Penyitaan dalam proses perkara pidana menjangkau :
1. Penyitaan barang yang telah di Conservatoir Beslag (di sita) dalam sitaan
perkara perdata.
2. Penyitaan barang yang berada dalam sita pailit (budel pailit)agar penyitaan
dalam konteks proses perkara pidana yang menjangkau penyitaan barang
dalam perkara perdata dapat benar-benar berjalan objektif, pengadilan harus
benar-benar mempertimbangkan faktor relevansi dan urgensi yang digariskan
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP secara utuh.
Segi relevansi menunjuk kepada persyaratan barang yang boleh di sita
menurut Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP yaitu hanya terbatas pada :
a. Benda atau tagihan tersangka / terdakwa (seluruh atau sebagian), yang
diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana
b. Benda yang digunakan baik secara langsung melakukan tindak pidana
maupun mempersiapkan tindak pidana.
c. Benda yang digunakan menghalangi penyidikan
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan
Dari segi urgensi, telah ditegaskan dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yaitu, “Penyitaan dilakukan untuk
melakukan pemeriksaan.”
Tindak pidana korupsi pada dasarnya telah diatur dalam KUH Pidana yang
termuat pada Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan
434 KUHPidana. Namun ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana
korupsi dalam pasal-pasal KUHPidana sebagaimana tersebut di atas dirasakan kurang
efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak korupsi
membentuk suatu peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur tentang
tindak pidana korupsi dengan sanksi yang diperberat. Undang-undang khusus diluar
KUHPidana yang pidana mengatur tentang tindak pidana korupsi adalah
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
disahkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1999. Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tersebut kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang
disahkan di Jakarta pada tanggal 21 November 2001.
Sebagaimana yang diketahui tindak pidana korupsi merupakan suatu extra
ordinary crime (kejahatan luar biasa) yang diatur dalam Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Didalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
disebutkan bahwa, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000
(satu miliar rupiah)”. Selanjutnya Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menyebutkan bahwa, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”. Pasal ini merupakan pasal
yang menjelaskan tentang perbuatan korupsi yang dilakukan secara bersama-sama
(deelneming), artinya bahwa perbuatan korupsi tersebut tidak dilakukan sendiri
namun juga melibatkan pihak lain secara bersama-sama menikmati korupsi tersebut
karena penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki jabatan
tersebut. Dalam kasus pemberian jaminan hak tanggungan oleh pemberi hak
tanggungan yaitu SHANTI CHAERUDDIN kepada bank PT. Bank Mega, Tbk dapat
saja terjadi persengkokolan antaraAccount Officer(AO) PT. Bank Mega, Tbk dengan
pihak pemberi Hak Tanggungan dengan tujuan untuk menyelamatkan aset dari
pemberi Hak Tanggungan yang juga merupakan tersangka dalam kasus korupsi
tersebut. Namun dalam pelaksanaan pengikatan jaminan Hak Tanggungan antara
pemberi Hak Tanggungan yaitu SHANTI CHAERUDDIN dengan PT. Bank Mega,
Tbk tidak didapati bukti yang cukup terhadap persengkokolan tersebut. Oleh karena
itu pengikatan jaminan Hak Tanggungan antara SHANTI CHAERUDDIN dengan
PT. Bank Mega, Tbk harus dipandang sebagai suatu itikad baik dari pihak PT. Bank
Mega, Tbk sebagai jaminan hutang pemberi Hak Tanggungan atas pemberian fasilitas
kredit yang telah diberikan oleh penerima Hak Tanggungan dalam hal ini adalah
PT.Bank Mega, Tbk. Oleh karena itu maka hak-hak istimewa (droit de preference)
pengadilan dengan tidak melakukan penyitaan terhadap objek jaminan Hak
Tanggungan tersebut.
Ketentuan Pasal 3Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak saja berlaku
bagi pegawai negeri sipil atau pegawai negara yang menyalahgunakan
kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya atau orang lain.
Tindak pidana korupsi dapat pula dilakukan oleh orang/perusahaan swasta yang
melaksanakan proyek pemerintah dimana anggarannya merupakan anggaran APBN
atau APBD yang merupakan keuangan negara baik ditingkat pusat maupun di daerah.
Pelaksanaan proyek pemerintah yang tidak berdasarkan rencana pengerjaan proyek
yang telah ditetapkan dapat pula digolongkan sebagai tindak pidana korupsi, karena
telah menyalahgunakan keuangan negara yang seharusnya digunakan untuk
pelaksanaan proyek tersebut.
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa,
“Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yaitu, sebagai pidana tambahan adalah :
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana
korupsi dilakukan,begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintah kepada terpidana.
2. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita
oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
3. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka
dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum
dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan
lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Dari rumusan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tersebut di atas dimungkinkan oleh
undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tersebut untuk
melakukan penyitaan terhadap barang-barang tidak bergerak termasuk barang tidak
bergerak yang telah diikat melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan berdasarkan
kepada penerima Hak Tanggungan. Apabila terjadi perampasan / penyitaan barang
tidak bergerak yang telah menjadi objek Hak Tanggungan, maka akibatnya adalah
menimbulkan kerugian bagi penerima Hak Tanggungan, karena objek jaminan Hak
Tanggungan yang menjadi jaminan hutang dari debitur selaku pemberi Hak
Tanggungan dirampas/disita oleh negara melalui putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap(incracht van gewijsde)yang mengakibatkan objek jaminan
Hak Tanggungan itu tidak dapat lagi dieksekusi apabila debitur sebagai pemberi Hak
Tanggungan melakukan wanprestasi atau tidak mampu melakukan pelunasan
terhadap hutang-hutangnya.
Pasal 57 RBg (Rechtsreglement Butengewesten) menyebutkan bahwa,
“pengadilan atau pejabat dan orang-orang teristimewa yang mewajibkan mengusut
kejahatan dan pelanggaran selanjutnya harus mencari dan merampas barang-barang
yang dipakai”. Dengan demikian, Benda Sitaan sebagai Pidana Tambahan (Pasal 10
KUHP) bisa terjadi peralihan kepemilikan dari personal ke negara. Penyitaan
terhadap benda merupakan bagian dari pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana
diantaranya adalah dengan perampasan barang-barang tertentu, hal ini sangat jelas
sekali diatur dalam Pasal 10 KUHP.
UUHT telah memberikan dasar pengaturan hukum terhadap perlindungan
kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan, tetapi yang menjadi permasalahan
apabila barang jaminan yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut disita oleh
negara dalam kasus tindak pidana korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi
bertujuan dapat mengembalikan kerugian negara, sehingga diharapkan dapat
dipergunakan untuk membangun perekonomian negara yang lebih baik. Disamping
itu dengan mengoptimalkan hukuman terhadap pelaku korupsi dapat memberikan
rasa takut pada yang lain untuk melakukan korupsi. Untuk mengembalikan kerugian
keuangan dan perekonomian negara tersebut kemudian undang-undang memberikan
sarana berupa pidana tambahan.84
Pada prinsipnya pemberian Hak Tanggungan dalam pemberian kredit pada
lembaga keuangan baik bank maupun non bank bertujuan untuk melindungi kreditur
dalam rangka pelunasan piutangnya, apabila debitur wanprestasi tetapi dalam
kenyataannya kreditur sangat sulit mendapatkan pelunasan terhadap piutangnya
apabila debitur yang bersangkutan tersangkut dalam suatu tindak pidana korupsi dan
telah dijatuhi sanksi seperti yang disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Problematika hukum muncul ketika debitur
dalam perkara pidana korupsi tersebut telah dijatuhkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan debitur tersebut berada dalam
ketidakmampuan membayar atau debitur tersebut wanprestasi otomatis terjadi kredit
macet. Apabila dalam putusan pengadilan tersebut dijatuhkan sanksi pidana dengan
melakukan perampasan terhadap barang-barang yang terkait dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh debitur tidak terkecuali atas benda yang menjadi objek
jaminan pada pihak ketiga, untuk selanjutnya barang rampasan tersebut dilakukan
eksekusi.
Dalam hal penyitaan objek Hak Tanggungan terkait dengan tindak pidana korupsi maka pihak pengadilan meskipun telah mengeluarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap tidak serta merta melakukan penyitaan terhadap objek Hak Tanggungan yang dimiliki oleh terdakwa tersebut. Apabila barang-barang tersebut diduga terkait atau merupakan hasil dari tindak pidana korupsi maka penyitaan itu dapat saja dilakukan dengan memperhitungkan jumlah kerugian negara akibat dari perbuatan terdakwa. Pemberian jaminan barang-barang milik terdakwa yang terkait atau diperoleh dari hasil perbuatan tindak pidana korupsi dengan menggunakan lembaga jaminan Hak Tanggungan sering kali merupakan
modus operandi dari terdakwa untuk menyembunyikan dan mengamankan hasil korupsinya dengan pertimbangan bahwa barang yang telah dijaminkan dengan menggunakan Hak Tanggungan tersebut tidak mungkin disita oleh negara karena sudah menjadi objek jaminan Hak Tanggungan kepada pihak bank.85
Eksekusi objek Hak Tanggungan oleh pihak bank juga tidak serta merta
dilakukan karena pihak bank selaku kreditur masih memberi kesempatan berulang
kali kepada debitur secara baik-baik untuk bisa membayar hutang-hutangnya.
Eksekusi jaminan Hak Tanggungan oleh kreditur baru dilakukan apabila upaya-upaya
pendekatan dan somasi yang dilakukan pihak kreditur tidak ditanggapi dengan itikad
baik oleh debitur. Dengan demikian dapat dikatakan eksekusi objek jaminan Hak
Tanggungan oleh kreditur merupakan ultimum remedium atau sarana terakhir yang
dilakukan oleh kreditur dalam rangka melakukan pengambilan pelunasan piutangnya.
Penyitaan objek Hak Tanggungan oleh pengadilan memberikan konsekuensi
yuridis yang merugikan penerima Hak Tanggungan karena objek Hak Tanggungan
tersebut telah beralih status menjadi milik negara bukan lagi menjadi milik Hak
Tanggungan. Oleh karena itu pemegang Hak Tanggungan (kreditur/bank) tidak dapat
lagi melakukan eksekusi terhadap objek jaminan Hak Tanggungan karena objek
jaminan Hak Tanggungan tersebut telah disita oleh negara melalui suatu putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan terjadinya penyitaan
terhadap objek jaminan Hak Tanggungan yang terkait dengan kasus tindak pidana
korupsi maka pihak bank selaku kreditur yang hak-haknya dijamin oleh UUHT
Nomor 4 Tahun 1996 selaku kreditur preference (kreditur yang diutamakan dalam
pengambilan pelunasan piutangnya) menjadi terabaikan hak-haknya.
UUHT Nomor 4 Tahun 1996 tidak mengatur tentang perlindungan hukum
terhadap pemegang Hak Tanggungan apabila objek jaminan Hak Tanggungan disita
oleh negara. UUHT Nomor 4 Tahun 1996 hanya memberikan perlindungan hukum
terhadap pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur preference apabila
diperhadapkan dengan kreditur-kreditur lainnya sebagai pihak swasta. Sifat istimewa
dari kreditur pemegang Hak Tanggungan(droit de preference) menjadi terbaikan
karena kreditur preference tersebut dihadapkan dengan kewajiban kepada negara.
Kewajiban kepada negara tersebut diantaranya adalah hutang pajak yang harus
didahulukan dan pembayaran biaya lelang kepada negara. Kedua kewajiban tersebut
wajib didahulukan oleh setiap warga negara kepada negara.
Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan
bahwa, Pihak ketiga yang merasa dirugikan atas putusan pengadilan yang melakukan
penyitaan terhadap objek Hak Tanggungan tersebut dapat mengajukan keberatan bila
eksekusi belum dilaksanakan”. Apabila eksekusi telah dilaksanakan maka pihak
perdata tersebut ke pengadilan negeri yang telah mengeluarkan putusan penyitaan
terhadap objek Hak Tanggungan tersebut. Apabila dalam gugatan perlawanan yang
diajukan oleh pihak ketiga tersebut ditolak atau tidak dapat diterima oleh pengadilan
negeri tempat keluarnya putusan penyitaan tersebut, maka pihak ketiga dapat
mengajukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi hingga mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung dalam melakukan perlawanan terhadap putusan pengadilan
tersebut.86
Penyitaan objek Hak Tanggungan oleh negara melalui putusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap mengakibatkan terjadinya kerugian
terhadap kreditr/bank selaku pemegang Hak Tanggungan karena status hukum objek
Hak Tanggungan tersebut telah beralih kepemilikannya untuk sementara kepada
negara. Oleh karena itu, kreditur / bank selaku pemegang Hak Tanggungan untuk
sementara waktu tidak dapat lagi melakukan eksekusi terhadap objek Hak
Tanggungan tersebut hingga perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditur (bank) adalah
melakukan gugatan perdata (melalui jalur litigasi) terhadap putusan pengadilan yang
telah melakukan penyitaan terhadap objek jaminan Hak Tanggungan tersebut.87
Upaya hukum lain adalah mengajukan gugatan perdata terhadap debitur
pemberi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata dimana pasal tersebut
86Mardianto Rustandi,Gugatan Pihak Ketiga Terhadap Penyitaan Objek Hak Tanggungan Milik Debitur yang Terkait Kasus Korupsi, Media Ilmu, Surabaya, 2009, hal. 58
menyebutkan bahwa, “Semua kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian
hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Pasal 1131
KUHPerdata tersebut di atas mengisyaratkan tentang jaminan umum bagi kreditur
terhadap hutang dari debitur. Dengan tidak dapat dieksekusinya objek jaminan Hak
Tanggungan yang telah diperjanjikan karena status hukum objek jaminan Hak
Tanggungan tersebut telah disita oleh negara sehingga telah beralih kepemilikan dari
pemberi Hak Tanggungan kepada negara karena objek jaminan Hak Tanggungan
tersebut terkait dengan perbuatan tindak pidana korupsi dalam memperolehnya. Oleh
karena itu, kreditur/bank sebagai penerima Hak Tanggungan yang berstatus sebagai
krediturpreferencetidak dapat lagi melakukan eksekusi terhadap objek jaminan Hak
Tanggungan tersebut untuk sementara waktu dalam pengambilan pelunasan
piutangnya. Oleh karena itu upaya hukum kepada debitur pemberi Hak Tanggungan
yang dapat dilakukannya oleh kreditur/bank adalah dengan mengajukan gugatan
perdata terhadap harta kekayaan lainnya milik debitur agar dapat dilakukan penyitaan
oleh pengadilan untuk mengambil pelunasan dari piutang kreditur.88
Berdasarkan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
menyebutkan bahwa, Benda sitaan dalam proses penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan sidang pengadilan disimpan dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan
Negara (Rupbasan). Rupbasan adalah satu-satunya tempat penyimpanan segala jenis
benda sitaan. Dalam hal sitaan terhadap benda-benda tidak bergerak (tanah dan
bangunan) yang dapat diikat dengan jaminan Hak Tanggungan maka penyitaan
dilakukan dengan melakukan pemblokiran terhadap sertipikat hak kepemilikan atas
tanah dan bangunan dengan mengajukan permohonan pemblokiran terhadap instansi
terkait dalam hal ini adalah kantor pertanahan tempat dimana tanah dan bangunan
tersebut berada. Pada umumnya untuk penyitaan terhadap tanah dan bangunan maka
di atas tanah dan bangunan tersebut akan didirikan papan pemberitahuan yang
memberitahukan kepada publik bahwa tanah dan bangunan tersebut telah disita oleh
negara untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang
pengadilan.
Benda sitaan yang dirampas untuk negara atau dimusnahkan tata cara
pengeluarannya dari Rumah Penyimpanan Barang Sitaan (Rupbasan) diatur dalam
Pasal 11 Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.05-UM.01.06/1983 yang berbunyi,
“Sehubungan dengan pengeluaran benda sitaan yang akan di rampas untuk negara
atau untuk dimusnahkan atau dirusakkan sehingga tidak terpakai lagi, hanya dapat
dilakukan Kepala Rupbasan berdasarkan putusan pengadilan.”
Penyitaan objek Hak Tanggungan oleh negara melalui suatu putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap mengakibatkan objek Hak
Tanggungan berupa tanah dan bangunan tersebut menjadi beralih kepemilikannya
dari pemberi Hak Tanggungan (debitur) kepada negara karena adanya keterkaitan
dengan kasus tindak pidana korupsi. Dengan beralihnya kepemilikan objek Hak
kerugian yang dideritanya atas perbuatan debitur yang telah merugikan keuangan
negara dengan melakukan tindak pidana korupsi dan mengalihkannya dengan
melakukan pembelian terhadap tanah dan bangunan yang menjadi objek Hak
Tanggungan tersebut dengan menggunakan uang negara. Oleh karena itu, negara
memiliki kewenangan dengan terjadinya kepemilikan objek Hak Tanggungan
tersebut untuk melakukan lelang yang diatur di dalam Pasal 12 Pasal 11 Peraturan
Menteri Kehakiman Nomor M.05-UM.01.06/1983 yang berbunyi, “Apabila berdasar
perintah atau penetapan instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas benda
sitaan hendak menjual lelang benda tersebut maupun atas dasar putusan pengadilan,
petugas Rupbasan melaksanakan pengeluaran benda sitaan tersebut.”
Penjualan lelang terhadap barang sitaan melalui putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang yang
berlaku, dan disaksikan oleh petugas Rupbasan. Uang hasil lelang dari objek jaminan
Hak Tanggungan yang telah disita oleh negara melalui putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tersebut dimasukkan ke kas Negara untuk dan atas nama jaksa
dengan nomor perkara B/270/S.2/Fd/06/2009 sesuai dengan ketentuan Pasal 273 ayat
(3) KUHAP yang berbunyi, “Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang
bukti dirampas untuk Negara, selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal
46, jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang Negara dan dalam waktu
3 (tiga) bulan untuk dijual lelang yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan
atas nama jaksa.”