• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STATUS HUKUM OBJEK JAMINAN HAK TANGGUNGAN YANG DISITA OLEH PENGADILAN KARENA BERKAITAN DENGAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI A. Prinsip-Prinsip Umum Hak Tanggungan - Tinjauan Yuridis Kedudukan Benda Jaminan Hak Tanggungan Kepada Bank yang Terkait Kasu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II STATUS HUKUM OBJEK JAMINAN HAK TANGGUNGAN YANG DISITA OLEH PENGADILAN KARENA BERKAITAN DENGAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI A. Prinsip-Prinsip Umum Hak Tanggungan - Tinjauan Yuridis Kedudukan Benda Jaminan Hak Tanggungan Kepada Bank yang Terkait Kasu"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

STATUS HUKUM OBJEK JAMINAN HAK TANGGUNGAN YANG DISITA OLEH PENGADILAN KARENA BERKAITAN DENGAN

KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Prinsip-Prinsip Umum Hak Tanggungan

Pengertian Hak Tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 1

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah adalah :

“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya”

Dari rumusan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang,

Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu Hak Tanggungan adalah suatu benda

jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu, dengan objek jaminannya berupa

Hak-Hak Atas Tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria.53

Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah yang kuat danmampu

memberikan kepastian hukum bagi para pihak, mempunyai denganciri-ciri sebagai

berikut :

(2)

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya

(kreditur tertentu).

Dari definisi mengenai Hak Tanggungan sebagaimana dikemukakan di atas,

diketahui bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yangdiutamakan kepada

kreditur terhadap kreditur-kreditur lain. Yang dimaksud dengan “kedudukan yang

diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain”, dapat dijumpai

dalam Penjelasan Umum angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan DenganTanah, yaitu

:“…. Bahwa jika debitur cidera janji, maka kreditur pemegang Hak Tanggungan

berhak menjual tanah yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum, menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu

daripada kreditur-kreditur lain….”Ciri ini dalam ilmu hukum dikenal dengan istilah

droit de preference.

2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan di tangan siapapun objek itu berada.

Ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah menyatakan bahwa

Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut

berada, sehingga Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek Hak

Tanggungan itu beralih ke pihak lain oleh sebab apa pun juga. Asas yang disebut

droit de suite memberikan kepastian kepada kreditur mengenai haknya untuk

memperoleh pelunasan dari hasil penjualan atas tanah penguasaan fisik atau Hak Atas

(3)

wanprestasi, sekalipun tanah atau hak atas tanahyang menjadi objek Hak Tanggungan

itu dijual oleh pemiliknya atau pemberi Hak Tanggungan kepada pihak ketiga

3. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas, sehingga dapat mengikat pihak

ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan.

Asas spesialitas diaplikasikan dengan cara pembuatan Akta Pemberian Hak

Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sedangkan asas publisitas diterapkan

pada saat pendaftaran pemberian Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan. Pendaftaran

tersebut merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan

mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga.54

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Keistimewaan lain dari Hak Tanggungan yaitu bahwa Hak Tanggungan

merupakan hak jaminan atas tanah yang mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Apabila debitur wanprestasi tidak perlu ditempuh cara gugatan perdata biasa yang

memakan waktu dan biaya. Bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan disediakan

cara-cara khusus, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda

Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Menurut Arie S. Hutagalung dengan ciri-ciri tersebut diatas, maka diharapkan

sektor perbankan yang mempunyai pangsa kredit yang paling besar dapat terlindungi

dalam menyalurkan dana kepada masyarakat dan secara tidak langsung dapat

(4)

menciptakan iklim yang kondusif dan lebih sehat dalam pertumbuhan dan

perkembangan perekonomian.55

Disamping memiliki empat ciri di atas Hak Tanggungan juga mempunyai

beberapa sifat, seperti :

a. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi

Maksud dari Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, yaitu Hak Tanggungan

membebani secara utuh objeknya dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian

utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian objek dari beban Hak Tanggungan.

Hak Tanggungan yang bersangkutan tetap membebani seluruh objek untuk sisa utang

yang belum dilunasi.

Akan tetapi seiring berkembangnya kebutuhan akan perumahan, ketentuan

tersebut ternyata menimbulkan permasalahan yaitu dalam halsuatu proyek perumahan

atau rumah susun ingin diadakan pemisahan. Apabila tanahnya dibebankan Hak

Tanggungan, ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan

Tanah akan menyulitkan penjualan rumah atau satuan rumah susun yang telah

dibangun tersebut. Oleh karenanya untuk mengatasi permasalahan, maka ketentuan

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan DenganTanah membuka

kesempatan untuk menyimpangi sifat tersebut, jika Hak Tanggungan dibebankan

(5)

pada beberapa Hak Atas Tanah dan pelunasan utang yang dijamin dilakukan dengan

angsuran sebesar nilai masing-masing Hak Atas Tanah yang merupakan bagian dari

objek Hak Tanggungan yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut. Dengan

demikian Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa objekuntuk sisa hutang yang

belum dilunasi. Agar hal ini dapat berlaku, makaharus diperjanjikan dalam Akta

Pemberian Hak Tanggungan.

b. Hak Tanggungan merupakan perjanjianaccesoir.

Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin pelunasan hutang debitur kepada

kreditur, oleh karena itu Hak Tanggungan merupakan perjanjianaccesoir pada suatu

perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang sebagai perjanjian

pokok. Kelahiran, eksistensi, peralihan, eksekusi, berakhir dan hapusnya Hak

Tanggungan dengan sendirinya ditentukan oleh peralihan dan hapusnya piutang yang

dijamin pelunasannya. Tanpa ada suatu piutang tertentu yang secara tegas dijamin

pelunasannya, maka menurut hukum tidak akan ada Hak Tanggungan.56

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak TanggunganAtas

Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, menyebutkan bahwa

yang menjadi Objek Hak Tanggungan adalah :

1. Hak milik;

2. Hak guna usaha;

3. Hak guna bangunan;

(6)

4. Hak pakai atas tanah negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib

didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani

dengan Hak Tanggungan.

Walaupun tidak disebutkan secara tegas, tetapi mengingat Hak Tanggungan

merupakan bagian dari pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (vide Pasal 51 juncto Pasal 57

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria), maka

kiranya bisa kita simpulkan, bahwa hak-hak atas tanah yang menjadi objek Hak

Tanggungan, sebagaimana yang disebut di atas, adalah hak-hak atas tanah menurut

Undang-Undang Nomor 5Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Disampingitu, menurut Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan

Dengan Tanah berbunyi:“Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas

tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada dan yang akan ada

yang merupakan satu kesatuan dengan tanahnya, dan yang merupakanmilik

pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam

akta pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.”

Jadi selain tanah, bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu

kesatuan dengan tanahnya dapat dijadikan objek Hak Tanggungan. Perhatikan

baik-baik syarat “merupakan satu-kesatuan” dengan tanahnya. Namun, perlu diperhatikan

dengan baik bahwa penyebutannya adalah: “juga dapat dibebankan “pada hak atas

(7)

karya itu hanya bisa menjadi objek Hak Tanggungan kalau tanah di atas mana

bangunan itu berdiri, tanaman itu tumbuh dan hasil karya itu berada juga dijaminkan

dengan Hak Tanggungan. Benda-benda di luar tanah, yang disebutkan dalam Pasal 4

ayat(4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah tidak bisa dijaminkan dengan

Hak Tanggungan terlepas dari tanahnya.

Penyebutan “yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah tersebut”

mengingatkan kepada syarat “dipersatukan secara permanen atau nagelvast” dan

“dengan akar tertancap dalam tanah atau wortelvast” pada hipotik. Jadi, walaupun

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

menganut asas hukum adat dan karenanya menganut asas pemisahan horisontal,

namun di sini disyaratkan harus merupakan satu-kesatuan dengan tanahnya.

Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

ternyata meliputi juga bangunan yang ada di permukaan tanah, seperti basement. Jadi,

yang ada dibawah tanah hanya meliputi bangunan, atau bagian dari bangunan, yang

ada dibawah tanah, dan ada hubungannya dengan tanah yang ada diatasnya.

Karenanya, tambang dan mineral tidak termasuk didalamnya.

Subjek Hak Tanggungan adalah:

1. Pemberi Hak Tanggungan

Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang

(8)

Tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum

terhadap objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada

pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.

Penyebutan “orang perseroangan” atau “badan hukum” adalah berlebihan,

karena dalam pemberian Hak Tanggungan objek yang dijaminkan pada pokoknya

adalah tanah, dan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria,yang bisa mempunyai hak atas tanah adalah baik orang

perserorangan maupun badan hukum -vide Pasal 21, Pasal 30, Pasal 36, dan Pasal 45

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria. Untuk masing-masing hak atas tanah, sudah tentu pemberi Hak Tanggungan

sebagai pemilik hak atas tanah harus memenuhi syarat pemilikan tanahnya, seperti

ditentukan sendiri-sendiri dalam undang-undang.57

Selanjutnya syarat, bahwa pemberi Hak Tanggungan harus mempunyai

kewenangan untuk mengambil tindakan hukum atas objekyang dijaminkan adalah

kurang lengkap, karena yang namanya tindakan hukum bisa meliputi, baik tindakan

pengurusan atau beschikkingsdaden, padahal tindakan menjaminkan merupakan

tindakan pemilikan bukan pengurusan, yang tercakup oleh tindakan pengurusan. Jadi,

lebih baik disebutkan, bahwa syaratnya adalah pemberi Hak Tanggungan harus

mempunyai kewenangan tindakan pemilikan atas benda jaminan.

Kewenangan tindakan pemilikan itu baru disyaratkan pada saat pendaftaran

(9)

Hak Tanggungan menurut Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan

Tanah. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, bahwa orang menjanjikan Hak Tanggungan

pada saat benda yang akan dijaminkan belum menjadi miliknya, asal nanti padasaat

pendaftaran Hak Tanggungan, benda jaminan telah menjadi milik pemberi Hak

Tanggungan. Ini merupakan upaya pembuat undang-undang untuk menampung

kebutuhan praktik, dimana orang bisa menjaminkan persil, yang masih akan dibeli

dengan uang kredit dari kreditur.58

Pada praktek pelaksanaanya, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah banyak Kantor Pertanahan yang ragu-ragu atau menolak pendaftaran hipotik jika kreditur merupakan orang perorangan. Hal ini rupanya diantisipasi oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, sehingga kini orang perorangan dimungkinkan secara tegas sebagai penerima Hak Tanggungan. Walaupun demikian sejauh mungkin harus dicegah adanya praktik rentenir, yang menyalahgunakan peraturan Hak Tanggungan ini.59

2. Pemegang Hak Tanggungan

Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Penerima Hak Tanggungan, yang sesudah pemasangan Hak Tanggungan akan menjadi pemegang Hak Tanggungan, yang adalah juga kreditur dalam perikatan pokok, juga bisa orang perseorangan maupun badan hukum. Di sini tidak ada kaitannya dengan syarat pemilikan tanah, karena pemegang Hak Tanggungan memegang jaminan pada asasnya tidak dengan maksud untuk nantinya, kalau debitur wanprestasi, memiliki persil jaminan.60

58

Elli Erawaty,Beberapa Pemikiran Tentang Hak Tanggungan, Eressco, Bandung, 2008, hal. 77

59 H. M. Ridhwan Indra, Mengenal Undang-Undang Hak Tanggungan, Cetakan Pertama, Penerbit Cv Trisula, Jakarta, 1997, hal. 22.

(10)

Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan DenganTanah

disebutkan bahwa yang dapat bertindak sebagai pemegang Hak Tanggungan adalah

orang perseorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai kreditur.

Menentukan siapa yang bisa menjadipemegang Hak Tanggungan tidak sesulit

menentukan siapa yang bisabertindak sebagai pemberi Hak Tanggungan. Karena

seorang pemegang Hak Tanggungan tidak berkaitan dengan pemilikan tanah dan

padaasasnya bukan orang yang bermaksud untuk memiliki objek Hak Tanggungan

bahkan memperjanjikan. Bahwa objek Hak Tanggungan akanmenjadi milik

pemegang Hak Tanggungan, kalau debitur wanprestasi adalah batal demi hukum

sesuai Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda-BendaYang Berkaitan Dengan Tanah.

Dari penegasan bahwa yang bisa bertindak sebagai pemegang Hak

Tanggungan adalah “orang-perseorangan” atau “badan hukum”, kita bisa

menyimpulkan bahwa yang bisa menjadi pemegang Hak Tanggungan adalah orang

alamiah ataupun badan hukum. Yang namanya badan hukum bisa Perseroan Terbatas,

Koperasi, dan Perkumpulan yang telah memperoleh status sebagai badan hukum

ataupun yayasan. Diatas tidak disebutkan Perseroan Komanditer atau commanditer

venootschap. Inimembawa persoalan lain, yaitu apakah Perseroan Komanditer

bisabertindak sebagai pemegang Hak Tanggungan, mengingat bahwa Perseroan

Komanditer di Indonesia belum secara resmi diakui sebagai badan hukum, sekalipun

(11)

resmi dari anggota masyarakat, seakan-akan Perseroan Komanditer bisa mempunyai

hak dan kewajiban sendiri?61

Pembebanan Hak Tanggungan merupakan suatu proses yang terdiri atasdua

tahap, yaitu diawali dengan tahap pemberian Hak Tanggungan dan akan diakhiri

dengan tahap pendaftaran. Dimana tata cara pembebanan Hak Tanggungan ini wajib

memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang

Berkaitan Dengan Tanah. Tahap pemberian Hak Tanggungan dilakukan dihadapan

Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang, dengan pembuatan Akta Pemberian

Hak Tanggungan, untuk memenuhi syarat spesialitas. Sedangkan tahap pendaftaran

Hak Tanggungan dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten

setempat, dengan pembuatan buku tanah Hak Tanggungan dan Sertipikat Hak

Tanggungan, untuk memenuhi syarat publisitas. Proses pembebanan Hak

Tanggungan akan diuraikan sebagai berikut:62

1. Tahap pemberian Hak Tanggungan

Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji akan memberikan Hak

Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu. Janji tersebut wajib

dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian

utang-piutang yang bersangkutan atauperjanjian lainnya menimbulkan utang.

Pemberian Hak Tanggungan ini dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian

61 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku Satu, Cetakan Pertama, Penerbit PT Citra aditya Bakti, Jakarta, 1997, hal. 268.

62

(12)

Hak Tanggungan yang bersifat autentik. Akta Pemberian Hak Tanggungan ini dibuat

oleh dan/atau dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang. Bentuk dan

isi Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut telah ditetapkan dalam Peraturan

Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997

tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah. Formulir Akta Pemberian Hak Tanggungan berupa blanko yang

diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasioanal.

Akta Pemberian Hak Tanggungan ini dibuat dua rangkap asli atau inoriginali

yang masing-masing ditandatangani oleh pemberi Hak Tanggungan atau debitur atau

penjamin, pemegang Hak Tanggungan atau kreditur, dua orang saksi dan Pejabat

Pembuat Akta Tanah. Lembar pertama disimpan di kantor Pejabat Pembuat Akta

Tanah dan lembar kedua diserahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk

keperluan pendaftaran Hak Tanggungan. Sedangkan para pihak hanya diberikan

salinan dari Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut.63

Surat-surat yang wajib diserahkan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk

keperluan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, yaitu :64

a. Surat-surat mengenai tanah berupa sertipikat Hak Atas Tanah atau Hak Milik

atas Satuan Rumah Susun yang ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan;

b. Surat-surat mengenai orang, berupa identitas pemberi dan pemegang Hak

Tanggungan;

63Kartini Muldjadi dan Gunawan Widjaja,Hak Tanggungan, Prenada Media, Jakarta, 2006, hal. 25

(13)

c. Surat-surat mengenai prosedur tanda bukti pembayaran biaya pendaftaran Hak

Tanggungan;

d. Surat mengenai perjanjian, berupa salinan akta atau surat pemberian kredit.

Dalam rangka memenuhi syarat spesialitas pada Akta Pemberian Hak

Tanggungan wajib dicantumkan :65

1) Nama dan identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;

2) Domisili pihak-pihak tersebut, jika salah satu pihak berdomisili diluar

negeri, harus dicantumkan domisili pilihan di Indonesia, jika tidak kantor

Pejabat Pembuat Akta Tanah dianggap sebagai domisili pilihannya;

3) Penunjukan secara jelas utang-utang yang dijamin, yang meliputi juga

nama dan identitas debitur, kalau pemberi Hak Tanggungan bukan

debitur;

4) Nilai Hak Tanggungan;

5) Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.

Ketentuan tersebut menetapkan isi yang bersifat wajib danmerupakan syarat

sah pemberian Hak Tanggungan. Bila tidak dicantumkan secara lengkap, maka

mengakibatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan batal demi

hukum.

Akta Pemberian Hak Tanggungan didalamnya dapat pula dicantumkan

janji-janji yang bersifat fakultatif, dimana janji-janji-janji-janji tersebut tidak wajib, dapat

diperjanjikan atau tidak, sesuai dengan kesepakatan diantara para pihak, janji-janji

(14)

yang dapat dicantumkanAkta Pemberian Hak Tanggungan, antara lain:

a) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.

b) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk dan tata susunan objek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.

c) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan, apabila debitur cidera janji.

d) Janji untuk memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi dan untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhinya atau dilanggarnya ketentuan undang-undang.

e) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan, apabila debitur cidera janji.

f) Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan.

g) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.

h) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum. i) Janji bahwa pemegang Hak Tanggunganakan memperoleh seluruh atau

sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan.

j) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.

k) Janji bahwa sertipikat Hak atas Tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan diserahkan kepada kreditur.66

(15)

Janji-janji sebagaimana tersebut diatas tidak hanya memperhatikan

kepentingan pemegang Hak Tanggungan saja, tetapi juga kepentingan pemberi Hak

Tanggungan. Janji-janji tersebut akan mengikat pihak ketiga setelah Hak Tanggungan

tersebut lahir, yaitu pada saat pendaftaran Hak Tanggungan. Pembuatan Akta

Pemberian Hak Tanggungan terdapat janji yang dilarang untuk diperjanjikan dalam

Akta Pemberian Hak Tanggungan,yaitu janji yang memberi wewenang kepada

pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan secara serta

merta, apabila debitur cidera janji. Larangan tersebut merupakan suatu pembatasan

yang diadakan dalam rangka melindungi kepentingan pemberi Hak Tanggungan, jika

tetap diperjanjikan maka akan batal demi hukum.67

Berdasarkan asasnya pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri

oleh pemberi Hak Tanggungan sebagai pihak yang berwenang melakukan perbuatan

hukum untuk membebankan Hak Tanggungan atas objek yang dijadikan jaminan

utang. Namun apabila pemberi Hak Tanggungan benar-benar berhalangan hadir,

dalam hal ini pemberi Hak Tanggungan wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya,

dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Penunjukan tersebut harus

dilakukan dengan akta autentik yang dibuat oleh notaris.68

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan harus diberikan langsung oleh

pemberi Hak Tanggungan dan isinya harus memenuhi syarat sebagai berikut:

67 Gunawan Salim, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pengikatan Jaminan Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 30

(16)

(1)Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum selain dari membebankan Hak Tanggungan;

(2)Tidak memuat kuasa subtitusi;

(3)Mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang, nama serta identitas kreditur dan debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan.69

Tidak terpenuhinya syarat tersebut diatas, mengakibatkan Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan yang bersangkutan batal demi hukum. Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir

oleh sebab apapun juga, kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena

telah habis jangka waktunya.

Batas waktu penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yaitu

untuk tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian

Hak Tanggungan selambat-lambatnya satubulan sejak dibuatnya Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan dan bagi tanah yang belum terdaftar atau sudah

terdaftar tetapi belum atas nama pemberi Hak Tanggungan wajib dibuat Akta

Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya tiga bulan sejak dibuatnya Surat

Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, jika tidak diikuti dengan pembuatan Akta

Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan yang bersangkutan batal demi hukum.

Setelah Akta Pemberian Hak Tanggungan selesai ditandatangani,

selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari kerja, Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib

mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan ke Kantor Pertanahan setempat

(17)

beserta warkah-warkah lainnya yang diperlukan untuk pendaftaran.

Keterlambatan pengiriman tidak mengakibatkan batalnya Akta Pemberian

Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan tetap wajib memproses pendaftaran Hak

Tanggungannya, akan tetapi Pejabat Pembuat Akta Tanah bertanggung jawab

terhadap akibat yang ditimbulkan karena keterlambatan tersebut.

2. Tahap pendaftaran Hak Tanggungan

Dengan dilakukan pemberian Hak Tanggungan dalam Akta Pemberian Hak

Tanggungan, Hak Tanggungan ini baru memenuhi syarat spesialitas, sampai pada

tahap tersebut Hak Tanggungan yang bersangkutan belum lahir dan kreditur

pemegangnya belum memperoleh kedudukan yang diutamakan. Kelahiran dari Hak

Tanggungan harus memenuhi syarat publisitas yang merupakan syarat mutlak dengan

mendaftarkan padaKantor Pertanahan setempat.

Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan

Kota/Kabupaten tempat objek Hak Tanggungan tesebut berada, dengan pembuatan

buku tanah Hak Tanggungan atas dasar data yang terdapat pada Akta Pemberian Hak

Tanggungan yang dikirimkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bersangkutan,

setelah itu dicatat pada buku tanah dan disalin pada sertipikat objek Hak Tanggungan.

Hak Tanggungan dinyatakan lahir pada tanggal dibuatkan buku tanah Hak

Tanggungan, yaitu hari kerja ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat

yang diperlukan bagi pendaftarannya. Selanjutnya Kantor Pertanahan menerbitkan

(18)

dalam waktu tujuh hari setelah dibuatkan buku tanah Hak Tanggungan.70

Sertipikat Hak Tanggungan terdiri atas salinan buku tanah Hak Tanggungan

dan salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, yang

ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten setempat, dijilid

menjadi satu dalam sampul sertipikat Hak Tanggungan, yang memuat irah-irah “

DEMI KEADILAN BERDASARKANKETUHANAN YANG MAHA ESA”,

sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan

yang berkekuatan hukum tetap. Sertipikat Hak Tanggungan diserahkan kepada

pemegang Hak Tanggungan, sedangkan sertipikat objek Hak Tanggungan yangtelah

dibubuhi catatan adanya beban Hak Tanggungan dikembalikan kepada pemiliknya,

kecuali apabila diperjanjikan lain.

3. Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah Hak Milik

Pembebanan Hak Tanggungan atas tanah dengan status tanah Hak Milik dapat

ditemukan dalam rumusan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menyatakan secara tegas bahwa

tanah dengan status Hak Milik dapat dijaminkan dengan membebani hak atas tanah

tersebut dengan Hak Tanggungan. Selanjutnya ketentuan tersebut dipertegas dengan

ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dari rumusan Pasal

4 tersebut diketahui bahwa ternyataselain bidang tanahnya, bangunan, tanaman, dan

(19)

hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan bidang

tanah tersebut, baik yang merupakan milik pemegang hak atas tanah, dan sepanjang

tindakan tersebut dilakukan oleh pemiliknya dan pembebanannya dengan tegas

dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Berkenaan dengan pemberian Hak Tanggungan tersebut, dalam ketentuan

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah bahwa pemberian Hak

Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Secara tegas ternyata bahwa

saat pendaftaran pembebanan Hak Tanggungan adalah saat lahirnya Hak Tanggungan

tersebut. Sebelum pendaftaran dilakukan, maka Hak Tanggungan tidak pernah ada.

Hak Tanggungan lahir dengan dilaksanakannya pendaftaran pemberian Hak

Tanggungan.71

Pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah atau Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun, pembebanan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan hak sewa

untuk bangunan atas Hak Milik, dan pembebanan lain pada hak atas tanah atau Hak

Milik Atas Satuan Rumah Susun yang ditentukan dengan peraturan

perundang-undangan, dapat didaftar jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah yang berwenang menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

(20)

B. Prosedur dan Tata Cara Eksekusi Hak Tanggungan

Eksekusi Hak Tanggungan merupakan suatu upaya bagi pemegang Hak

Tanggungan untuk memperoleh kembali piutangnya, manakala debitur wanprestasi.

Untuk itu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah memberikan kemudahan

dan kepastian dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan.

Apabila debitur wanprestasi, kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat

menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum menurut cara yang

ditentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berhak mengambil

pelunasan piutangnya yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut, dengan hak

mendahului dari pada kreditur-kreditur yang lain.

Kemudahan yang disediakan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan dalam

rangka eksekusi atas objek Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan tiga cara,

yaitu:72

1. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak

Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

2. Titel Eksekutorial yang terdapat dalam Sertipikat Hak Tanggungan,

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Nomor

(21)

4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda

Yang Berkaitan Dengan Tanah.

3. Penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan.

Penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan

jikadiperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Demikian

ditentukan oleh Pasal 20 Ayat (2) UUHT. Yang dimaksud dengan penjualan

dibawah tangan adalah penjualan atas tanah yang dijadikan sebagai jaminan

dan dibebani dengan Hak Tanggungan oleh kreditur sendiri secara langsung

kepada orang atau pihak lain yang berminat, tetapi dibantu juga oleh pemilik

tanah dan bangunan dimaksud.73 Oleh karena penjualan dibawah tangan dari

obyek Hak Tanggungan hanya dapat dilaksanakan bila ada kesepakatan antara

pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, maka bank tidak mungkin

melakukan penjualan dibawah tangan terhadap obyek Hak Tanggungan atau

agunan kredit apabila debitur tidak menyetujuinya.

Dalam praktek apabila terjadi kredit macet, debitur tidak kooperatif sehingga

bank sulit untuk mendapatkan atau memperoleh persetujuan dari nasabah debitur.

Syarat untuk dapat dilakukan penjualan dibawah tangan obyek Hak Tanggungan

adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan pemegang Hak

Tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Dalam

keadaan-keadaan tertentu justru menurut pertimbangan bank lebih baik agunan dijual

(22)

dibawah tangan daripada dijual melalui pelelangan umum, apabila menurut

pertimbangan bank hasil penjulan di bawah tangan lebih tinggi dibandingkan melalui

pelelangan umum. Bank sendiri berkepentingan agar hasil penjualan agunan tersebut

cukup jumlahnya untuk membayar seluruh jumlah kredit yang terutang.74

Pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus didahului dengan

pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar

yang terbit di daerah tempat lokasi tanah dan bangunan atau obyek Hak Tanggungan

berada. Hal ini dilakukan minimal 1 (satu) bulan sebelum penjualan dilakukan serta

tidak ada Pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus didahului dengan

pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar

yang terbit di daerah tempat lokasi tanah dan bangunan atau obyek Hak Tanggungan

berada. Hal ini dilakukan minimal 1 (satu) bulan sebelum penjualan dilakukan serta

tidak adasanggahan dari pihak manapun. Apabila tidak dilakukan, penjualan dapat

dikatakan batal demi hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 20

UUHT.

Syarat untuk dapat dilakukan penjualan di bawah tangan obyek Hak

Tanggungan adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan

pemegang Hak Tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan

semua pihak. Kesulitan untuk memperoleh persetujuan dari nasabah debitur dapat

(23)

terjadi karena:75

a. Nasabah debitur dan atau pemilik agunan tidak mempunyai iktikad baik

sehingga sulit ditemui atau tidak kooperatif;

b. Nasabah debitur dan atau pemilik agunan tidak diketahui keberadaannya.

Agar bank kelak dikemudian hari setelah kredit yang diberikan tidak

mengalami kesulitan yang demikian, pada waktu kredit diberikan bank mensyaratkan

agar di dalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk

dapat menjual sendiri agunan tersebut secara dibawah tangan atau meminta kepada

debitur untuk memberikan surat kuasa khusus yang memberikan kekuasaan kepada

bank untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan.76 Bank

melakukan tindakan seperti itu dengan alasan “jaga-jaga” yang tidak akan

dipergunakan jika debitur membayar utangnya dengan lancar.77

Alasan lainnya yang biasa disampaikan oleh bank adalah sebagai tindakan

shock therapy” bagi debitur, agar tidak melakukan tindakan wanprestasi. Yang

dimaksud dengan surat kuasa menjual yaitu: pemberian kuasa kepada pihak lain oleh

atau penerima kuasa untuk melakukan perbuatan hukum yaitu menjual suatu obyek

tertentu. Pada prinsipnya sebenarnya kuasa untuk menjual diberikan oleh karena

pihak penjual ( pemilik tanah) tidak dapat hadir sendiri pada saat pembuatan akta jual

beli karena alasan-alasan tertentu. Namun dalam praktek alasan pemberian kuasa

75Ibid, hal. 63

76 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan: Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah-Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Airlangga University Press, Surabaya, 1996, hal. 121

(24)

berkembang sesuai kebutuhan praktek.

Surat kuasa menjual, tunduk pada pengaturan surat kuasa dalam Pasal 1792

KUHPerdata, berbunyi sebagai berikut : Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan

dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang

menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Dari pasal

tersebut kita dapat melihat bahwa unsur-unsur dari pemberian kuasa adalah :

a. persetujuan;

b. memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan; dan

c. atas nama pemberi kuasa78

Pertama-tama, haruslah unsur-unsur dan syarat-syarat untuk sahnya suatu

persetujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi, yaitu:

a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. kecakapan untuk membuat suatau perikatan;

c. suatu hal tertentu; dan

d. suatu sebab yang halal.

Unsur kedua dari pemberian kuasa, yaitu mengenai memberikan kekuasaan

untuk menyelenggarakan suatu urusan adalah sesuai dengan yang telah disetujui oleh

para pihak, baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata

yang tegas.

(25)

Unsur ketiga di mana penerima kuasa melakukan tindakan hukum tersebut

untuk dan atas nama pemberi kuasa. Penerima kuasa diberi wewenang untuk

mewakili pemberi kuasa. Akibatnya, tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima

kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa. Apakah penerima kuasa dalam

melakukan sesuatu tindakan hukum tersebut selalu untuk kepentingan pemberi kuasa

semata-mata, disamping melakukannya atas nama pemberi kuasa? Ada kemungkinan

pemberian kuasa tersebut dilakukan atas nama pemberi kuasa, tetapi untuk

kepentingan penerima kuasa sehingga dalam hal-hal tertentu justru kepentingan

penerima kuasa tersebut merupakan tujuan dari pemberian kuasa tersebut, misalnya:

1. Suatu utang-piutang di mana kepada bank diberikan sebagai jaminan hak atas

tagihan dari debitur, yang untuk keperluan mana debitur memberi kuasa

kepada bank untuk menagih piutang tersebut dan hasilnya diperhitungkan

dengan utang debitur;

2. Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa pemegang hipotik

pertama diberi kuasa mutlak oleh pemberi hipotik untuk menjual persil yang

dihipotikkan apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya.

Untuk lebih jelasnya, kami kutip Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata tersebut:

Namun demikian, diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotik pertama untuk,

pada waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa jika uang

tidak dilunasi semestinya atau jika bunga pokok tidak dilunasi semestinya atau jika

bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil

(26)

Adapun dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4

tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang

berkaitan dengan Tanah (UUHT), maka ketentuan Pasal 1178 KUHPerdata tersebut

tidak berlaku untuk jaminan berupa hak atas tanah dan bangunan.

Pasal 6 UUHT menyebutkan senada dengan ketentuan Pasal 1178 Ayat (2)

KUHPerdata bahwa: Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan

pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan

sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil

penjualan tersebut.

Suatu perjanjian pendahuluan di mana para pihak berjanji dan mengikatkan

diri akan melakukan suatu perjanjian lainnya (kemungkinan menunggu syarat tertentu

telah dipenuhi). Umpamanya, dalam hal jual-beli sebidang tanah, di mana bakal

penjual dan bakal pembeli bersetuju untuk melakukan jual-beli di hadapan Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT), tetapi syarat-syarat yang diperlukan untuk

pelaksanaan jual-beli tersebut belum dipenuhi (sertipikat tanah hak atas nama penjual

belum selesai, harga jual-beli belum lunas dan sebagainya). Dalam hal demikian, para

pihak mengadakan perjanjianpendahuluan (perjanjian pengikatan jual-beli). Dalam

perjanjian tersebut penjual memberikuasa kepada pembeli apabila syarat-syarat

tersebut telah terpenuhi (sertipikat tanah hak telah selesai tertulis atas nama penjual,

(27)

tersebut guna melaksanakan jual beli di hadapan PPAT.79

Dari contoh tersebut di atas dapat kita lihat bahwa penerima kuasa tidak saja

mempunyai kekuasaan mewakili, (vertegenwoordigingsmacht), tetapi juga hak

mewakili (vertegenwwoordigingsrecht). Di sini kepentingan penerima kuasa perlu

diperhatikan mengingat berakhirnya suatu kuasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal

1813 KUHPerdata, di antaranya, karena ditariknya kembali kuasanya oleh pemberi

kuasa. Hal tersebut diatur pula dalam Pasal 1814 KUHPerdata yang menyebutkan

bahwa si pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu

dikehendakinya. Jika terjadi demikian, akan mengakibatkan hak-hak dari penerima

kuasa (kreditur atau bakal pembeli dalam contoh di atas) sangat dirugikan. Pemberian

kuasa yang diberikan dalam rangka suatu perjanjian, dimana pemberian kuasa

tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian tersebut

(integrerend deel), karena tanpa adanya kuasa tersebut kepentingan penerima kuasa

akan sangat dirugikan, perlulah pemberian kuasa tersebut diberikan syarat bahwa

kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali atau yang sekarang dikenal atau

disalahartikan dengan “kuasa mutlak”.

Larangan kuasa mutlak yang dimaksud disini adalah larangan terhadap kuasa

sebagaimana diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982

tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai pemindahan Hak Atas Tanah

yang sekarang telah dimuat di dalam Pasal 39 huruf d peraturan Pemerintah Nomor

(28)

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Kuasa mutlak tersebut pada hakikatnya

merupakan pemindahan hak atas tanah, dengan ciri-ciri yang disebutkan dalam

Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut, yaitu :

Kuasa mutlak yang dimaksud dalam diktum pertama adalah kuasa yang di

dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa; Kuasa

mutlak yang pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah kuasa

mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk

menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum

yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya.”

Pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut kembali oleh pemberi kuasa adalah

sah apabila perjanjian yang menjadi dasar dari pemberian kuasa tersebut mempunyai

alas (titel) hukum yang sah. Menurut putusan HR 12 Januari 1984 6458, ketentuan

Pasal 1814 KUHPerdata tidak bersifat memaksa juga bukan merupakan ketentuan

yang untuk menyimpangi dari ketentuan tersebut, sepanjang penyimpangan tersebut

tidak bertentangan dengan kepentingan umum (van openbare orde) dan kesusilaan.

Seperti diketahui, ketentuan undang-undang mengenai perjanjian menganut

system terbuka atau asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata), berarti

kita diperbolehkan membuat perjanjian mengenai apa saja dengan siapa saja, dan hal

tersebut akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang.

Undang-undang yang akan mengaturnya apabila para pihak sudah tidak mengaturnya dalam

perjanjian yang telah dibuatnya karena ketentuan undang-undang mengenai

(29)

(dwingend recht).

Apabila dipastikan debitur wanprestasi, berdasarkan ketentuan Pasal 20 Ayat

(2) dan (3) UUHT :

1. Dibuat kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan untuk

menjual di bawah tangan untuk memperoleh harga tertinggi dan

menguntungkan semua pihak;

2. Penjualan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak dilakukan

pemberitahuan oleh pemberi/ pemegang Hak Tanggungan kepada pihak yang

berkepentingan;

3. Diumumkan paling sedikit dalam 2 surat kabar di daerah yang bersangkutan;

4. Tidak ada yang berkeberatan dengan penjualan tersebut.80

Bank dapat menjual obyek Hak Tanggungan tanpa melalui prosedur lelang

dan juga tidak diperlukan kuasa untuk menjual. Dalam praktek perbankan penjualan

di bawah tangan atas obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dengan beberapa

cara dilihat dari itikad baik dari debitur atau pemberi Hak Tanggungan yaitu, debitur

kooperatif, penjualan di bawah tangan dapat dilakukan melalui mekanisme :81

a. Jual-beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu pemberi Hak Tanggungan

bertindak selaku penjual dengan calon pembeli dan langsung menanda tangani

akta jual-beli atas tanah yang berkenaan dan disaksikan pihak bank selaku

pemegang Hak Tanggungan. Dalam keadaan demikian biasanya debitur sendiri

80 Habib Adjie,Menjalin Pemikiran – Pendapat Tentang Kenotariatan (Kumpulan Tulisan), PT. CitraAditya Bakti, 2013, Bandung, hal. 16

(30)

yang mencari pembeli untuk mendapatkan harga tertinggi.

b. Debitur atau pemberi Hak Tanggungan menandatangani surat pernyataan

penyerahan agunan secara sukarela sekaligus surat kuasa menjual kepada orang

yang ditunjuk oleh bank selaku pemegang Hak Tanggungan dan apabila

sewaktu-waktu bank mendapatkan pembeli atas agunan tersebut, jual-beli dapat

dilakukan berdasarkan alas hak surat kuasa menjual tersebut.

Permasalahan yang terjadi dalam praktek perbankan yaitu pemberian kuasa

oleh debitur kepada kreditur untuk menjual agunan yang dituangkan dalam surat

kuasa menjual yang dibuat pada saat atau bersamaan waktunya dengan

penandatanganan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dan Akta Pemberian Hak

Tanggungan (disingkat APHT) sebagai pengikatan jaminan atauaccesoir yang berisi

janji-janji sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 Ayat (2) UUHT.

Surat Kuasa Menjual ini bertujuan untuk memberi kuasa kepada kreditur

untuk menjual atau mengalihkan kepemilikan hak atas tanahnya apabila debitur

wanprestasi, dan apabila kelak debitur wanprestasi maka pelaksanaan jual-beli

berdasarkan surat kuasa menjual tersebut sebagai alas haknya dan sebagai

pembelinya adalah bank itu sendiri dengan menunjuk karyawan, pemegang saham

atau pihak lain sebagai atas nama untuk ” kepentingan” bank.

Menurut pertimbangan bank penjualan di bawah tangan berdasarkan surat

kuasa menjual lebih efektif, artinya penjualan obyek hak tanggungan tersebut tidak

memerlukanwaktu yang lama dan proses yang panjang dibandingkan melalui

(31)

membutuhkan biaya lebih besar terkait dengan prosedur lelang.82

C. Status Hukum Objek Jaminan Hak Tanggungan Yang Disita Oleh Pengadilan Karena Berkaitan Dengan Kasus Tindak Pidana Korupsi

Pengertian penyitaan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang berbunyi, “Penyitaan adalah serangkaian

tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah

penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud,

untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan”.

Dari pengertian penyitaan di atas, secara hukum acara pidana dapat dikatakan

bahwa penyitaan menurut KUHAP adalah upaya paksa yang dilakukan penyidik

untuk :

1. Mengambil atau katakan saja “merampas” sesuatu barang tertentu dari

seorang tersangka, pemegang atau penyimpan. Tapi perampasan yang

dilakukan dibenarkan hukum dan dilaksanakan menurut aturan

undang-undang. Bukan perampasan liar dengan cara yang melawan hukum

(wederrechtelijk).

2. Setelah barangnya diambil atau dirampas oleh penyidik, ditaruh atau disimpan

di bawah kekuasaannya.

Tujuan penyitaan agak berbeda dengan penggeledahan. Seperti yang sudah

dijelaskan, tujuan penggeledahan dimaksudkan untuk kepentingan penyelidikan atau

untuk kepentingan pemeriksaan penyidikan. Lain halnya dengan penyitaan. Tujuan

(32)

penyitaan, untuk kepentingan “pembuktian”, terutama ditujukan sebagai barang bukti

di muka sidang peradilan. Kemungkinan besar tanpa barang bukti, perkara tidak dapat

diajukan ke sidang pengadilan. Oleh karena itu, agar perkara tadi lengkap dengan

barang bukti, penyidik melakukan penyitaan untuk dipergunakan sebagai bukti dalam

penyidikan, dalam penuntutan dan pemeriksaan persidangan pengadilan.83

Kadang-kadang barang yang disita, bukan milik tersangka. Adakalanya

barang orang lain yang dikuasainya secara melawan hukum, seperti dalam perkara

pidana pencurian. Atau memang barang tersangka, tapi yang diperolehnya dengan

jalan melanggar ketentuan undang-undang atau diperoleh tanpa izin yang sah

menurut perundang-undangan, seperti dalam tindak pidana ekonomi atau tindak

pidana korupsi.

Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP

menyebutkan bahwa, “Penyitaan dapat dilakukan dalam setiap tingkat proses

pemeriksaan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang

pengadilan”. Penyitaan dalam proses perkara pidana menjangkau :

1. Penyitaan barang yang telah di Conservatoir Beslag (di sita) dalam sitaan

perkara perdata.

2. Penyitaan barang yang berada dalam sita pailit (budel pailit)agar penyitaan

dalam konteks proses perkara pidana yang menjangkau penyitaan barang

dalam perkara perdata dapat benar-benar berjalan objektif, pengadilan harus

(33)

benar-benar mempertimbangkan faktor relevansi dan urgensi yang digariskan

Pasal 39 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP secara utuh.

Segi relevansi menunjuk kepada persyaratan barang yang boleh di sita

menurut Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

KUHAP yaitu hanya terbatas pada :

a. Benda atau tagihan tersangka / terdakwa (seluruh atau sebagian), yang

diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana

b. Benda yang digunakan baik secara langsung melakukan tindak pidana

maupun mempersiapkan tindak pidana.

c. Benda yang digunakan menghalangi penyidikan

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana

yang dilakukan

Dari segi urgensi, telah ditegaskan dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yaitu, “Penyitaan dilakukan untuk

melakukan pemeriksaan.”

Tindak pidana korupsi pada dasarnya telah diatur dalam KUH Pidana yang

termuat pada Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan

434 KUHPidana. Namun ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana

korupsi dalam pasal-pasal KUHPidana sebagaimana tersebut di atas dirasakan kurang

efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak korupsi

(34)

membentuk suatu peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur tentang

tindak pidana korupsi dengan sanksi yang diperberat. Undang-undang khusus diluar

KUHPidana yang pidana mengatur tentang tindak pidana korupsi adalah

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

disahkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1999. Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tersebut kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang

disahkan di Jakarta pada tanggal 21 November 2001.

Sebagaimana yang diketahui tindak pidana korupsi merupakan suatu extra

ordinary crime (kejahatan luar biasa) yang diatur dalam Undang-Undang No. 31

Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Didalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

disebutkan bahwa, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling

sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000

(satu miliar rupiah)”. Selanjutnya Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

menyebutkan bahwa, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau

(35)

keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur

hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua

puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)

dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”. Pasal ini merupakan pasal

yang menjelaskan tentang perbuatan korupsi yang dilakukan secara bersama-sama

(deelneming), artinya bahwa perbuatan korupsi tersebut tidak dilakukan sendiri

namun juga melibatkan pihak lain secara bersama-sama menikmati korupsi tersebut

karena penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki jabatan

tersebut. Dalam kasus pemberian jaminan hak tanggungan oleh pemberi hak

tanggungan yaitu SHANTI CHAERUDDIN kepada bank PT. Bank Mega, Tbk dapat

saja terjadi persengkokolan antaraAccount Officer(AO) PT. Bank Mega, Tbk dengan

pihak pemberi Hak Tanggungan dengan tujuan untuk menyelamatkan aset dari

pemberi Hak Tanggungan yang juga merupakan tersangka dalam kasus korupsi

tersebut. Namun dalam pelaksanaan pengikatan jaminan Hak Tanggungan antara

pemberi Hak Tanggungan yaitu SHANTI CHAERUDDIN dengan PT. Bank Mega,

Tbk tidak didapati bukti yang cukup terhadap persengkokolan tersebut. Oleh karena

itu pengikatan jaminan Hak Tanggungan antara SHANTI CHAERUDDIN dengan

PT. Bank Mega, Tbk harus dipandang sebagai suatu itikad baik dari pihak PT. Bank

Mega, Tbk sebagai jaminan hutang pemberi Hak Tanggungan atas pemberian fasilitas

kredit yang telah diberikan oleh penerima Hak Tanggungan dalam hal ini adalah

PT.Bank Mega, Tbk. Oleh karena itu maka hak-hak istimewa (droit de preference)

(36)

pengadilan dengan tidak melakukan penyitaan terhadap objek jaminan Hak

Tanggungan tersebut.

Ketentuan Pasal 3Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang

No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak saja berlaku

bagi pegawai negeri sipil atau pegawai negara yang menyalahgunakan

kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya atau orang lain.

Tindak pidana korupsi dapat pula dilakukan oleh orang/perusahaan swasta yang

melaksanakan proyek pemerintah dimana anggarannya merupakan anggaran APBN

atau APBD yang merupakan keuangan negara baik ditingkat pusat maupun di daerah.

Pelaksanaan proyek pemerintah yang tidak berdasarkan rencana pengerjaan proyek

yang telah ditetapkan dapat pula digolongkan sebagai tindak pidana korupsi, karena

telah menyalahgunakan keuangan negara yang seharusnya digunakan untuk

pelaksanaan proyek tersebut.

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa,

“Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) yaitu, sebagai pidana tambahan adalah :

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau

barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak

pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana

korupsi dilakukan,begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang

(37)

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama

dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)

tahun

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh

atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh

pemerintah kepada terpidana.

2. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita

oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

3. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk

membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka

dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum

dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan

lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Dari rumusan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tersebut di atas dimungkinkan oleh

undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tersebut untuk

melakukan penyitaan terhadap barang-barang tidak bergerak termasuk barang tidak

bergerak yang telah diikat melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan berdasarkan

(38)

kepada penerima Hak Tanggungan. Apabila terjadi perampasan / penyitaan barang

tidak bergerak yang telah menjadi objek Hak Tanggungan, maka akibatnya adalah

menimbulkan kerugian bagi penerima Hak Tanggungan, karena objek jaminan Hak

Tanggungan yang menjadi jaminan hutang dari debitur selaku pemberi Hak

Tanggungan dirampas/disita oleh negara melalui putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap(incracht van gewijsde)yang mengakibatkan objek jaminan

Hak Tanggungan itu tidak dapat lagi dieksekusi apabila debitur sebagai pemberi Hak

Tanggungan melakukan wanprestasi atau tidak mampu melakukan pelunasan

terhadap hutang-hutangnya.

Pasal 57 RBg (Rechtsreglement Butengewesten) menyebutkan bahwa,

“pengadilan atau pejabat dan orang-orang teristimewa yang mewajibkan mengusut

kejahatan dan pelanggaran selanjutnya harus mencari dan merampas barang-barang

yang dipakai”. Dengan demikian, Benda Sitaan sebagai Pidana Tambahan (Pasal 10

KUHP) bisa terjadi peralihan kepemilikan dari personal ke negara. Penyitaan

terhadap benda merupakan bagian dari pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana

diantaranya adalah dengan perampasan barang-barang tertentu, hal ini sangat jelas

sekali diatur dalam Pasal 10 KUHP.

UUHT telah memberikan dasar pengaturan hukum terhadap perlindungan

kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan, tetapi yang menjadi permasalahan

apabila barang jaminan yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut disita oleh

negara dalam kasus tindak pidana korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi

(39)

bertujuan dapat mengembalikan kerugian negara, sehingga diharapkan dapat

dipergunakan untuk membangun perekonomian negara yang lebih baik. Disamping

itu dengan mengoptimalkan hukuman terhadap pelaku korupsi dapat memberikan

rasa takut pada yang lain untuk melakukan korupsi. Untuk mengembalikan kerugian

keuangan dan perekonomian negara tersebut kemudian undang-undang memberikan

sarana berupa pidana tambahan.84

Pada prinsipnya pemberian Hak Tanggungan dalam pemberian kredit pada

lembaga keuangan baik bank maupun non bank bertujuan untuk melindungi kreditur

dalam rangka pelunasan piutangnya, apabila debitur wanprestasi tetapi dalam

kenyataannya kreditur sangat sulit mendapatkan pelunasan terhadap piutangnya

apabila debitur yang bersangkutan tersangkut dalam suatu tindak pidana korupsi dan

telah dijatuhi sanksi seperti yang disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Problematika hukum muncul ketika debitur

dalam perkara pidana korupsi tersebut telah dijatuhkan putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan debitur tersebut berada dalam

ketidakmampuan membayar atau debitur tersebut wanprestasi otomatis terjadi kredit

macet. Apabila dalam putusan pengadilan tersebut dijatuhkan sanksi pidana dengan

melakukan perampasan terhadap barang-barang yang terkait dengan tindak pidana

korupsi yang dilakukan oleh debitur tidak terkecuali atas benda yang menjadi objek

jaminan pada pihak ketiga, untuk selanjutnya barang rampasan tersebut dilakukan

(40)

eksekusi.

Dalam hal penyitaan objek Hak Tanggungan terkait dengan tindak pidana korupsi maka pihak pengadilan meskipun telah mengeluarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap tidak serta merta melakukan penyitaan terhadap objek Hak Tanggungan yang dimiliki oleh terdakwa tersebut. Apabila barang-barang tersebut diduga terkait atau merupakan hasil dari tindak pidana korupsi maka penyitaan itu dapat saja dilakukan dengan memperhitungkan jumlah kerugian negara akibat dari perbuatan terdakwa. Pemberian jaminan barang-barang milik terdakwa yang terkait atau diperoleh dari hasil perbuatan tindak pidana korupsi dengan menggunakan lembaga jaminan Hak Tanggungan sering kali merupakan

modus operandi dari terdakwa untuk menyembunyikan dan mengamankan hasil korupsinya dengan pertimbangan bahwa barang yang telah dijaminkan dengan menggunakan Hak Tanggungan tersebut tidak mungkin disita oleh negara karena sudah menjadi objek jaminan Hak Tanggungan kepada pihak bank.85

Eksekusi objek Hak Tanggungan oleh pihak bank juga tidak serta merta

dilakukan karena pihak bank selaku kreditur masih memberi kesempatan berulang

kali kepada debitur secara baik-baik untuk bisa membayar hutang-hutangnya.

Eksekusi jaminan Hak Tanggungan oleh kreditur baru dilakukan apabila upaya-upaya

pendekatan dan somasi yang dilakukan pihak kreditur tidak ditanggapi dengan itikad

baik oleh debitur. Dengan demikian dapat dikatakan eksekusi objek jaminan Hak

Tanggungan oleh kreditur merupakan ultimum remedium atau sarana terakhir yang

dilakukan oleh kreditur dalam rangka melakukan pengambilan pelunasan piutangnya.

Penyitaan objek Hak Tanggungan oleh pengadilan memberikan konsekuensi

yuridis yang merugikan penerima Hak Tanggungan karena objek Hak Tanggungan

tersebut telah beralih status menjadi milik negara bukan lagi menjadi milik Hak

Tanggungan. Oleh karena itu pemegang Hak Tanggungan (kreditur/bank) tidak dapat

lagi melakukan eksekusi terhadap objek jaminan Hak Tanggungan karena objek

(41)

jaminan Hak Tanggungan tersebut telah disita oleh negara melalui suatu putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan terjadinya penyitaan

terhadap objek jaminan Hak Tanggungan yang terkait dengan kasus tindak pidana

korupsi maka pihak bank selaku kreditur yang hak-haknya dijamin oleh UUHT

Nomor 4 Tahun 1996 selaku kreditur preference (kreditur yang diutamakan dalam

pengambilan pelunasan piutangnya) menjadi terabaikan hak-haknya.

UUHT Nomor 4 Tahun 1996 tidak mengatur tentang perlindungan hukum

terhadap pemegang Hak Tanggungan apabila objek jaminan Hak Tanggungan disita

oleh negara. UUHT Nomor 4 Tahun 1996 hanya memberikan perlindungan hukum

terhadap pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur preference apabila

diperhadapkan dengan kreditur-kreditur lainnya sebagai pihak swasta. Sifat istimewa

dari kreditur pemegang Hak Tanggungan(droit de preference) menjadi terbaikan

karena kreditur preference tersebut dihadapkan dengan kewajiban kepada negara.

Kewajiban kepada negara tersebut diantaranya adalah hutang pajak yang harus

didahulukan dan pembayaran biaya lelang kepada negara. Kedua kewajiban tersebut

wajib didahulukan oleh setiap warga negara kepada negara.

Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang

No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan

bahwa, Pihak ketiga yang merasa dirugikan atas putusan pengadilan yang melakukan

penyitaan terhadap objek Hak Tanggungan tersebut dapat mengajukan keberatan bila

eksekusi belum dilaksanakan”. Apabila eksekusi telah dilaksanakan maka pihak

(42)

perdata tersebut ke pengadilan negeri yang telah mengeluarkan putusan penyitaan

terhadap objek Hak Tanggungan tersebut. Apabila dalam gugatan perlawanan yang

diajukan oleh pihak ketiga tersebut ditolak atau tidak dapat diterima oleh pengadilan

negeri tempat keluarnya putusan penyitaan tersebut, maka pihak ketiga dapat

mengajukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi hingga mengajukan kasasi ke

Mahkamah Agung dalam melakukan perlawanan terhadap putusan pengadilan

tersebut.86

Penyitaan objek Hak Tanggungan oleh negara melalui putusan pengadilan

yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap mengakibatkan terjadinya kerugian

terhadap kreditr/bank selaku pemegang Hak Tanggungan karena status hukum objek

Hak Tanggungan tersebut telah beralih kepemilikannya untuk sementara kepada

negara. Oleh karena itu, kreditur / bank selaku pemegang Hak Tanggungan untuk

sementara waktu tidak dapat lagi melakukan eksekusi terhadap objek Hak

Tanggungan tersebut hingga perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum

yang tetap. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditur (bank) adalah

melakukan gugatan perdata (melalui jalur litigasi) terhadap putusan pengadilan yang

telah melakukan penyitaan terhadap objek jaminan Hak Tanggungan tersebut.87

Upaya hukum lain adalah mengajukan gugatan perdata terhadap debitur

pemberi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata dimana pasal tersebut

86Mardianto Rustandi,Gugatan Pihak Ketiga Terhadap Penyitaan Objek Hak Tanggungan Milik Debitur yang Terkait Kasus Korupsi, Media Ilmu, Surabaya, 2009, hal. 58

(43)

menyebutkan bahwa, “Semua kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun

yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian

hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Pasal 1131

KUHPerdata tersebut di atas mengisyaratkan tentang jaminan umum bagi kreditur

terhadap hutang dari debitur. Dengan tidak dapat dieksekusinya objek jaminan Hak

Tanggungan yang telah diperjanjikan karena status hukum objek jaminan Hak

Tanggungan tersebut telah disita oleh negara sehingga telah beralih kepemilikan dari

pemberi Hak Tanggungan kepada negara karena objek jaminan Hak Tanggungan

tersebut terkait dengan perbuatan tindak pidana korupsi dalam memperolehnya. Oleh

karena itu, kreditur/bank sebagai penerima Hak Tanggungan yang berstatus sebagai

krediturpreferencetidak dapat lagi melakukan eksekusi terhadap objek jaminan Hak

Tanggungan tersebut untuk sementara waktu dalam pengambilan pelunasan

piutangnya. Oleh karena itu upaya hukum kepada debitur pemberi Hak Tanggungan

yang dapat dilakukannya oleh kreditur/bank adalah dengan mengajukan gugatan

perdata terhadap harta kekayaan lainnya milik debitur agar dapat dilakukan penyitaan

oleh pengadilan untuk mengambil pelunasan dari piutang kreditur.88

Berdasarkan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP

menyebutkan bahwa, Benda sitaan dalam proses penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan sidang pengadilan disimpan dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan

Negara (Rupbasan). Rupbasan adalah satu-satunya tempat penyimpanan segala jenis

(44)

benda sitaan. Dalam hal sitaan terhadap benda-benda tidak bergerak (tanah dan

bangunan) yang dapat diikat dengan jaminan Hak Tanggungan maka penyitaan

dilakukan dengan melakukan pemblokiran terhadap sertipikat hak kepemilikan atas

tanah dan bangunan dengan mengajukan permohonan pemblokiran terhadap instansi

terkait dalam hal ini adalah kantor pertanahan tempat dimana tanah dan bangunan

tersebut berada. Pada umumnya untuk penyitaan terhadap tanah dan bangunan maka

di atas tanah dan bangunan tersebut akan didirikan papan pemberitahuan yang

memberitahukan kepada publik bahwa tanah dan bangunan tersebut telah disita oleh

negara untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang

pengadilan.

Benda sitaan yang dirampas untuk negara atau dimusnahkan tata cara

pengeluarannya dari Rumah Penyimpanan Barang Sitaan (Rupbasan) diatur dalam

Pasal 11 Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.05-UM.01.06/1983 yang berbunyi,

“Sehubungan dengan pengeluaran benda sitaan yang akan di rampas untuk negara

atau untuk dimusnahkan atau dirusakkan sehingga tidak terpakai lagi, hanya dapat

dilakukan Kepala Rupbasan berdasarkan putusan pengadilan.”

Penyitaan objek Hak Tanggungan oleh negara melalui suatu putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap mengakibatkan objek Hak

Tanggungan berupa tanah dan bangunan tersebut menjadi beralih kepemilikannya

dari pemberi Hak Tanggungan (debitur) kepada negara karena adanya keterkaitan

dengan kasus tindak pidana korupsi. Dengan beralihnya kepemilikan objek Hak

(45)

kerugian yang dideritanya atas perbuatan debitur yang telah merugikan keuangan

negara dengan melakukan tindak pidana korupsi dan mengalihkannya dengan

melakukan pembelian terhadap tanah dan bangunan yang menjadi objek Hak

Tanggungan tersebut dengan menggunakan uang negara. Oleh karena itu, negara

memiliki kewenangan dengan terjadinya kepemilikan objek Hak Tanggungan

tersebut untuk melakukan lelang yang diatur di dalam Pasal 12 Pasal 11 Peraturan

Menteri Kehakiman Nomor M.05-UM.01.06/1983 yang berbunyi, “Apabila berdasar

perintah atau penetapan instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas benda

sitaan hendak menjual lelang benda tersebut maupun atas dasar putusan pengadilan,

petugas Rupbasan melaksanakan pengeluaran benda sitaan tersebut.”

Penjualan lelang terhadap barang sitaan melalui putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang yang

berlaku, dan disaksikan oleh petugas Rupbasan. Uang hasil lelang dari objek jaminan

Hak Tanggungan yang telah disita oleh negara melalui putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tersebut dimasukkan ke kas Negara untuk dan atas nama jaksa

dengan nomor perkara B/270/S.2/Fd/06/2009 sesuai dengan ketentuan Pasal 273 ayat

(3) KUHAP yang berbunyi, “Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang

bukti dirampas untuk Negara, selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal

46, jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang Negara dan dalam waktu

3 (tiga) bulan untuk dijual lelang yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan

atas nama jaksa.”

Referensi

Dokumen terkait

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2003, hlm.181.. Kreditor pemegang SKMHT ini haruslah kreditor yang semula pemegang Hak Tanggungan, sebab

Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUHPerdata menjadi dasar dari perjanjian kredit, yang di dalamnya diatur ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian pinjam meminjam

Pada Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT, dinyatakan bahwa apabila dibitor cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak

Kreditur sebagai pemegang hak tanggungan yang kehilangan Sertipikat Hak Tanggungan dapat melakukan upaya hukum dengan cara mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk

Rivai, Sudjana, Analisis Yuridis Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 Dalam Kaitannya Dengan Praktek Pemberian Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Perbankan ,

Undangundang ini memberikan hak kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan Pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri apabila debitor cidera janji

Menurut Pasal 1 ayat (1) UUHT disebutkan pengertian Hak Tanggungan, yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang

Kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan terhadap debitur yang pailit diatur oleh dua undang-undang yang berbeda yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas