• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kombinasi Ampas Singkong dan Tahu Sebagai Substrat Dalam Produksi Laru Tempe Dari Isolat Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) dan Aplikasinya Pada Fermentasi Kacang Kedelai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kombinasi Ampas Singkong dan Tahu Sebagai Substrat Dalam Produksi Laru Tempe Dari Isolat Daun Waru (Hibiscus tiliaceus) dan Aplikasinya Pada Fermentasi Kacang Kedelai"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tanaman Waru

Waru atau baru (Hibiscus tiliaceus merupakan

tumbuhan asli tropik pasifik. Tumbuhan ini cepat tumbuh sampai tinggi 5-15

meter, garis tengah batang 40-50 cm; bercabang dan berwarna coklat. Daun

merupakan daun tunggal, berangkai, berbentuk jantung, lingkaran lebar/bulat

telur, tidak berlekuk dengan diameter kurang dari 19 cm. Daun menjari,

sebagian dari tulang daun utama dengan kelenjar berbentuk celah pada sisi

bawah dan sisi pangkal. Sisi bawah daun berambut abu-abu rapat. (Azizah,

2007). Gambar tumbuhan Waru dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Tanaman Waru

Bunga waru merupakan bunga tunggal, bertaju 8-11. Panjang kelopak

2,5 cm beraturan bercangap 5. Daun mahkota berbentuk kipas, panjang 5-7

cm, berwarna kuning dengan noda ungu pada pangkal, bagian dalam oranye

dan akhirnya berubah menjadi kemerah-merahan. Tabung benang sari

keseluruhan ditempati oleh kepala sari kuning. Bakal buah beruang 5, tiap

rumah dibagi dua oleh sekat semu, dengan banya k bakal biji. Buah berbentuk

telur berparuh pendek, panjang 3 cm, beruang 5 tidak sempurna, membuka

(2)

2.1.1. Habitat dan Penyebaran

Waru banyak terdapat di Indonesia, di pantai yang tidak berawa, ditanah

datar, dan di pegunungan hingga ketinggian 1700 meter di atas permukaan

laut. Tumbuhan ini anyak ditanam di pinggir jalan dan di sudut pekarangan

sebagai tanda batas pagar. Pada tanah yang baik, batang tumbuhan ini lurus

dan daunnya kecil. Pada tanah yang kurang subur, batangnya bengkok dan

daunnya lebih lebar

2.1.2. Kandungan Kimia dan Kegunaan Waru

Dalam pengobatan tradisional, akar waru digunakan sebagai pendingin bagi

sakit demam, daun waru membantu pertumbuhan rambut, sebagai obat batuk,

obat diare berdarah/berlendir dan amandel. Bunga digunakan untuk obat

trakhoma dan masuk angin

Kandungan kimia daun dan akar waru adalah

samping itu, daun waru juga paling sedikit mengandung lima senyawa fenol,

sedang akar waru mengandung tanin

Kegunaan waru juga sedang diteliti sebagai anti-kanker (Chen, 2006).

2.1.3. Sumber Rhizopus sp.

Daun waru adalah tempat spora Rhizopus sp. terdapat, sehingga banyak orang

langsung menggunakannya sebagai laru. Secara alami, Rhizopus sp. tumbuh

dalam daun waru. Masyarakat tradisional menggunakan daun waru secara

langsung dalam membuat tempe (Azizah, 2007).

2.2.Laru Tempe

2.2.1. Kapang pada Laru Tempe

Laru sebenarnya adalah bibit dalam pembuatan tempe yang mengandung

spora-spora kapang (khususnya Rhizopus sp.) yang pada pertumbuhannya

mampu menghasilkan enzim-enzim hidrolitik yang mampu menguraikan

substratnya menjadi komponen yang lebih sederhana sehingga lebih mudah

(3)

Kapang yang berperan dalam pembuatan tempe merupakan kapang

yang berasal dari genus Rhizopus. Kemudian, dari genus tersebut, jenis yang

paling sering ditemukan adalah Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae

(Steinkraus, 1960).

Dwidjoseputro dan Wolf (1970) mengamati adanya beberapa

perbedaan kapang yang tumbuh pada tempe dari daerah yang berbeda pula.

Pada tempe Malang, kapang yang banyak ditemukan adalah jenis R. oryzae,

R. arrhizus, R. oligosporus, dan Mucor rouxii. Sedangkan pada tempe dari

daerah Solo, ditemukan R. stolonifer dan R. oryzae. Sedangkan pada tempe

yang terdapat di daerah Jakarta, ditemukan kapang Mucor javanicum dan

Trichosporus pullulans. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1979) terdapat 120

jenis spesies dan varietas kapang yang dapat menghasilkna tempe. Untuk

menghasilkan tempe yang baik, terdapat beberapa jenis spesies, yaitu; R.

oligosporus, R. arrhizus, R. stolonifer, R.chlamydosporus, R. chinensis, dan

R. cohnii. Namun, R. oligosporus merupakan kapang utama dalam

pembuatan tempe.

Kapang yang digunakan untuk pembuatan laru haruslah memenuhi

beberapa persyaratan, yaitu; (1) produktivitas spora tinggi, (2) viabilitas

spora yang dihasilkan seragam dan memiliki stabilitas genetik dalam waktu

beberapa bulan, (3) spora cepat terdispersi pada substrat, (4) spora mampu

bergerminasi dalam waktu singkat, dan (5) bebas dari organisme

kontaminan. Berikut ini adalah sifati-sifat dari beberapa jenis kapang yang

umum ditemukan pada ragi tempe (Syarief, 1999);

a. Rhizopus oligosporus

Rhizopus oligosporus merupakan kapang pemeran utama dalam

fermentasi tempe. Di dalam sistematika (Samson dan Hoekstra, 1988),

kapang ini memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

1) Koloni tampak pucat berwarna abu-abu kecoklatan.

2) Sporangiofora soliter atau dalam kelompok yang terdiri dari lebih 4

sporangiofora yang tumbuh ke arah udara dan tingginya mencapai 1

mm dan diameter 10-18 mm.

3) Sporangiofora muda berwarna transparan yang berangsur-angsur

(4)

4) Rhizoid bercabang pendek dan tumbuh berlawanan dengan

sporangiofora yaitu ke arah substrat dengan dinding sel halus atau

agak kasar.

5) Sporangiofora yang telah masak beebentuk bulat berwarna coklat

sampai hitam dengan diameter 100-180 mm, dan di dalam

sporangiofora terbentuk spora sebagai alat perkembangbiakan.

6) Kolumela berbentuk bulat sampai subglobus dengan apofisis

berbentuk cerobong.

7) Spora berupa sel-sel tunggal bentuk tidak beraturan antara bulat

sampai oval dengan diameter 7-10 mm, berwarna kecoklatan dengan

dinding sel halus.

8) Banyak terdapat khlamidospora baik tunggal maupun berangkau

dengan bentuk rantai pendek, tak berwarna, mengandung granula

berbentuk bulat sampai elips dengan ukuran 7-30 mm.

9) Khlamidospora terbentuk pada benang-benang hifa atau pada

sporangiofora.

10)Temperatur optimum 32-35ºC, minimun 12ºC dan maksimum 42ºC.

b. Rhizopus oryzae

Rhizopus oryzae adalah jenis kapang yang berpotensi pula dalam

fermentasi tempe, walaupun tingkat kecepatan fermentasinya lebih

lambat dibandingkan dengan R. oligosporus (Samson dan Hoekstra,

1988). Adapun sifat-sifatnya adalah sebagai berikut:

1) Koloni berwarna putih yang berangsur-angsur menjadi abu-abu

kecoklatan.

2) Stolon halus atau sedikit kasar dan tidak berwarna hingga kuning

kecoklatan.

3) Sporangiofora tumbuh dari stolon dan mengarah ke udara baik tunggal

maupun berkelompok (hingga 5 sporangiofora).

4) Rhizoid tumbuh berlawanan dan terletak di posisi yang sama dengan

(5)

5) Sporangia globus atau subglobus dengan dinding berspinulosa

(duri-duri pendek) yang berwarna coklat gelap sampai coklat hitam bila

telah masak.

6) Kolumela oval hingga bulat dengan dinding halus atau sedikit kasar.

7) Spora bulat, atau berbentuk oval.

8) Temperatur optimal untuk pertumbuhan adalah 35ºC, minimal pada

5-7ºC dan maksimal pada 44ºC.

c. Rhizopus Stolonifer

Kapang ini memiliki kemampuan fermentasi kedelai lebih rendah

daripada R.oryzae, karena kecepatan pertumbuhan yang lebih rendah

(Samson dan Hoekstra, 1988). Ciri-ciri morfologinya adalah:

1) Koloni putih yang berangsur-angsur menjadi abu-abu kecoklatan oleh

adanya perubahan pada sporangiofora dan sporangia.

2) Sporangiofora tunggal atau berkelompok (2-7), tidak berwarna hingga

coklat gelap.

3) Rhizoid tubuh bercabang-cabang dengan posisi berlawanan terhadap

arah pertumbuhan sporangiofora.

4) Sporangia yang telah dewasa berbentuk globos hingga subglobus

berwarna coklat gelap.

5) Bentuk kolumela mengikuti bentuk sporangia (globos, subglobus, atau

oval).

6) Spora tidak beraturan bentuknya dan poligonal, oval, globus dan elips.

Zygospora berbentuk globus dengan permukaan tidak merata dan

tidak simetris.

7) Temperatur optimal pertumbuhan adalah pada 25-26ºC, minimal pada

10ºC dan maksimal pada 35-37ºC.

Berdasarkan sifat-sifat ketiga jenis kapang tersebut, dapat

disimpulkan bahwa perbedaan pokok terutama terdapat pada

(6)

2.3.Pembuatan Laru Tempe

2.3.1. Laru Tempe Tradisional

Secara tradisional, terdapat beberapa jenis laru, diantaranya: daun jati, daun

waru, laru dari tempe, laru beras, dan laru singkong (Syarief, 1999).

a. Daun Jati dan Daun Waru

Daun jati dan daun waru yang langsung digunakan sebagai laru dalam

fermentasi kacang kedelai disebut usar. Usar sebenarnya adalah daun jati

atau daun waru yang permukaannya telah mengandung spora kapang. Cara

pembuatan usar dilakukan melalui beberapa tahap, diantaranya; persiapan

kedelai, persiapan daun, dan pemeraman (Suyanto, 1997).

Persiapan kedelai yang dilakukan sama halnya dengan persiapan

kedelai untuk pembuatan tempe, yaitu melalui tahap: pencucian kedelai,

perebusan, perendaman, pengupasan kulit, pengukusan, penirisan dan

pendinginan, serta pemberian laru (Suyanto, 1997).

Tahapan persiapan daun dilakukan dengan melayukan daun yang

akan digunakan, baik daun jati maupun daun waru. Kemudian pada bagian

permukaan bawah daun (bagian yang berbulu) ditaburi kedelai yang telah

dicampur laru. Selanjutnya daun tersebut disusun pada suatu wadah

dengan sistem lapis yaitu saling menutup antara satu daun dengan daun

yang lain. Bagian atasnya ditutup dengan kain saring atau plastik.

Pemeraman tahap pertama dilakukan dengan kondisi menutup bagian atas

rak selama 24-36 jam, kemudian diperam lagi. Pada pemeraman

selanjutnya daun dibiarkan masing-masing dan dibiarkan terbuka selama 3

hingga 7 hari. Tahap ini sekaligus juga merupakan tahap pengeringan.

Apabila kondisi cuaca basah, maka sesekali daun tersebut dikeringkan di

bawah sinar matahari agar tidak membusuk (Hermana dan Karmini, 1996).

Kelemahan penggunaan metode ini adalah waktu fermentasi yang

dihasilkan relatif lama dan kualitas tempe yang dihasilkan tidak optimal.

Menurut Azizah (2007), miselium yang terbentuk tidak seragam. Hal

disebabkan karena fermentasi dikontaminasi oleh banyak jenis kapang

(7)

b. Laru dari tempe

Cara membuat tempe ini relatif sederhana, yakni dengan cara mengiris

tipis-tipis tempe yang telah jadi. Irisan tempe tersebut kemudian

ditebarkan pada wadah (tampah), dijemur di bawah sinar matahari atau

dikeringkan menggunakan oven hingga kering. Irisan tempe yang telah

kering tersebut selanjutnya digiling hingga halus. Hasil gilingan kemudian

disaring hingga diperoleh bubuk yang halus. Bubuk halus ini dapat

dipergunakan untuk pembuatan tempe selanjutnya (Hermana dan Karmini,

1996).

Kelemahan penggunaan metode ini adalah waktu fermentasi yang

dihasilkan relatif lama dan kualitas tempe yang dihasilkan tidak optimal

(Azizah, 2007). Metode ini menghasilkan miselium tempe yang tidak

seragam disebabkan laru ini telah dikontaminasi oleh kapang jenis lain.

c. Laru beras

Laru jenis ini merupakan laru yang paling banyak digunakan di Indonesia,

seperti halnya laru yang diproduksi oleh LIPI atau KOPTI. Persiapan

bahan baku antara lain yaitu beras dan laru tempe pasar atau kultur kapang

(Azizah, 2007).

Tahap awal yang dilakukan adalah pencucian beras hingga bersih.

Setelah itu ditambahkan air dengan perbandingan 1:1 lalu dikukus hingga

matang. Setelah dingin, nasi tersebut kemudian dicampur dengan suspensi

kapang atau suspensi laru tempe pasar yang telah ada. Nasi tersebut

kemudian diperam 3-4 hari. Setelah diperam, nasi tersebut dikeringkan

dibawah sinar matahari atau menggunakan oven hingga kering selanjutnya

dilakukan penggilingan agar diperoleh laru berbentuk bubuk yang halus

(Hermana dan Karmini, 1996).

d. Laru singkong

Prinsip pembuatan laru ini menggunakan singkong sebagai substrat.

Singkong tersebut diiris terlebih dahulu dan dikeringkan (gaplek). Gaplek

tersebut kemudian ditepungkan. Selanjutnya tepung tersebut disangrai

untuk mencegah kontaminasi mikroba lain yang tidak diinginkan sekaligus

(8)

Tepung singkong yang telah disangrai dan didinginkan kemudian

ditebarkan di tampah untuk selanjutnya diperciki air lalu diaduk rata

sampai menjadi adonan yang tidak terlalu lembek. Selanjutnya

ditambahkan laru, ditutup dengan daun atau kertas saring, lalu diperam 2-3

hari. Setelah kering, tepung singkong tersebut digiling dan dikemas

(Azizah, 2007).

2.3.2. Substrat dalam Membuat Laru

Substrat merupakan media pertumbuhan mikroorganisme yang menyediakan

zat-zat penting seperti karbon, nitrogen, ion organik, energi serta air untuk

pertumbuhan mikroorganisme tersebut. Menurut Walker (1999), substrat

yang digunakan hendaknya dapat memenuhi kebutuhan minimum

pertumbuhan, kelangsungan hidup serta tidak terkontaminasi faktor

penghambat.

Selam proses fermentasi, mikroorganisme menggunakan

komponen-komponen kimia di dalam substrat. Namun, komponen-komponen tersebut terlebih

dahulu dipecah menjadi fraksi-fraksi sederhana yang mudah dicerna oleh

mikroorganisme tersebut. Aktivitas enzimatik mikroba mampu memecah

komponen tersebut menjadi fraksi yang sederhana (Frazier, 1956).

2.4.Ampas Singkong

Singkong (Manihot esculenta) Crantz adalah tanaman adalah semak

berkayu yang selalu hijau dengan akar dapat dimakan, yang tumbuh di daerah

tropis dan subtropis wilayah di dunia. Singkong merupakan salah satu

makanan pokok rakyat Indonesia, singkong dengan nama binomial Manihot

esculenta dari kerajaan plantae. Merupakan tumbuhan tropik dan subtropika

dari keluarga Euphorbiaceae.

Tepung tapioka adalah salah satu hasil olahan dari singkong. Tepung

singkong umumnya berbentuk butiran pati yang banyak terdapat dalam sel

umbi singkong (Fransiska, 2010). Tepung tapioka biasanya diolah dari

singkong varietas mangi. Kandungan kimia pada ampas singkong varietas

(9)

Tabel 2.1. Kandungan Kimia Ampas Singkong (kering)

Kandungan Nilai (%)

Kadar Pati (Karbohidrat) 37,70 Gula Pereduksi (Karbohidrat) 31,30

Serat 21,00

Kadar Air 9,04

Protein 0,96

Sumber: Fransiska, 2007

2.5.Ampas Tahu

Ampas tahu merupakan limbah padat yang diperoleh dari proses pembuatan

tahu dari kedelai. Tahu dibuat dari sari kedelai sedangkan ampas tahu

merupakan limbah hasil penyaringan sari tahu. Ditinjau dari komposisi

kimianya, ampas tahu dapat digunakan sebagai sumber protein. Komposisi

kimia pada ampas tahu dapat dilihat pada Tabel 2.2. berikut:

Tabel 2.2. Kandungan Kimia Ampas Tahu (basah dan kering)

No. Kandungan Ampas Tahu

2.6.Aplikasi Laru Tempe dalam Fermentasi Kacang Kedelai 2.6.1. Proses Ferementasi

Fermentasi berasal dari kata Latin ”fervere” yang berarti mendidih, yang

menunjukkan adanya aktivitas dari yeast pada ekstrak buah-buahan atau

biji-bijian. Kelihatan seperti mendidih disebabkan karena terbentuknya

gelembung-gelembung gas CO2 yang diakibatkan proses katabolisme atau

biodegradasi secara anaerobik dari gula yang ada dalam ekstrak (Steinkraus,

1960).

Secara umum, fermentasi adalah proses pemecahan senyawa

kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan bantuan enzim

mikro organisme. Proses ini dapat berlangsung dalam lingkungan aerob

(10)

Fermentasi ditinjau secara biokimia mempunyai perbedaan arti

dengan mikrobiologi industri. Secara biokimia, fermentasi diartikan sebagai

terbentuknya energi oleh proses katabolisme bahan organik, sedang dalam

mikrobiologi industri, fermentasi diartikan lebih luas yaitu sebagai suatu

proses untuk mengubah bahan baku menjadi suatu produk oleh massa sel

mikroba. Dalam hal ini, fermentasi berarti pula pembentukan komponen sel

secara aerob yang dikenal dengan proses anabolisme atau biosintesis

(Karmini, 2009).

Mikrobiologi industri adalah fermentasi dalam pengertian yang lebih

luas yang menguraikan macam-macam proses guna memperoleh hasil dalam

skala industri dengan mass culture atau mikroba. Secara komersial,

fermentasi dibagi menjadi 4 tipe (Steinkraus, 1960), yaitu :

1. Fermentasi yang menghasilkan sel mikroba atau biomassa.

2. Fermentasi yang menghasilkan enzim mikroba.

3. Fermentasi yang menghasilkan metabolit mikroba baik primer maupun

sekunder.

4. Fermentasi yang memodifikasi bahan yang disebut pula dengan proses

transformasi.

Fermentasi memanfaatkan kemampuan mikroba untuk menghasilkan

metabolit primer dan metabolit sekunder dalam suatu lingkungan yang

dikendalikan. Proses pertumbuhan mikroba merupakan tahap awal proses

fermentasi yang dikendalikan terutama dalam pengembangan inokulum agar

dapat diperoleh sel yang hidup. Pengendalian dilakukan dengan pengaturan

kondisi medium, komposisi medium, suplai O2 dan agitasi. Bahkan jumlah

mikroba dalam fermentor juga harus dikendalikan sehingga tidak terjadi

kompetisi dalam penggunaan nutrisi. Nutrisi dan produk fermentasi juga

perlu dikendalikan, sebab jika nutrisi berlebih dan produk metabolit hasil

fermentasi tersebut dapat menyebabkan inhibisi dan represi. Pengendalian

diperlukan karena pertumbuhan biomassa dalam suatu medium fermentasi

dipengaruhi banyak faktor baik ekstraseluler maupun faktor intraseluler

(11)

2.6.2. Kacang Kedelai

Kacang kedelai merupakan salah satu tanaman multiguna, karena dapat

digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri. Kedelai

adalah salah satu tanaman jenis polong-polongan yang memiliki kandungan

protein nabati. Protein dalam kacang kedelai menyuplai zat-zat yang

dibutuhkan tubuh dan manfaatnya bagi kesehatan. Kedelai menjadi bahan

dasar makanan seperti kecap, tahu dan tempe (Warisno dan Dahana, 2010).

Kedelai merupakan sumber gizi yang baik bagi manusia. Kedelai utuh

mengandung 35-38% protein tertinggi dari kacang-kacangan lainnya.

Sebagian besar kebutuhan protein nabati dapat dipenuhi dari kacang kedelai,

salah satu produk olahan kedelai adalah tempe (Warisno dan Dahana, 2010).

Kandungan kacang kedelai dapat dilihat apada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Kandungan Kacang Kedelai

No. Kandungan Kacang Kedelai

Jumlah Satuan

Sumber: Warisno dan Dahana (2010)

2.6.3. Fermentasi Kacang Kedelai

Fermentasi adalah suatu proses metabolisme yang menghasilkan

produk-produk pecahan baru dan substrat organik karena adanya aktivitas atau

kegiatan mikroba. Fermentasi kedelai menjadi tempe oleh Rhizopus

Oligosporus terjadi pada kondisi anaerob. Hasil fermentasi tergantung pada

fungsi bahan pangan atau substrat mikroba dan kondisi sekelilingnya yang

mempengaruhi pertumbuhannya. Fermentasi dapat menyebabkan beberapa

perubahan sifat kedelai tersebut. Senyawa yang dipecah dalam proses

(12)

Selain meningkatkan mutu gizi, fermentasi kedelai menjadi tempe

juga mengubah aroma kedelai yang berbau langu menjadi aroma khas tempe.

Tempe segar mempunyai aroma lembut seperti jamur yang berasal dari aroma

miselium kapang bercampur dengan aroma lezat dari asam amino bebas dan

aroma yang ditimbulkan karena penguraian lemak. Semakin lama fermentasi

berlangsung, aroma yang lembut berubah menjadi tajam karena terjadi

pelepasan amonia (Hermana dan Sutedja, 1970).

Dalam proses fermentasi kedelai, substrat yang digunakan adalah

keping-keping biji kedelai yang telah direbus, mikroorganismenya berupa

kapang tempe Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer

(dapat kombinasi dua spesies atau tiga-tiganya) dan lingkungan pendukung

yang terdiri dari suhu 30oC, pH awal 6,8 serta kelembaban nisbi 70-80%

(Yusuf, 2010).

Dengan adanya proses fermentasi itu kedelai yang dibuat tempe

rasanya menjadi enak dan nutrisinya lebih mudah dicerna tubuh dibandingkan

kedelai yang dimakan tanpa mengalami fermentasi. Keuntungan lain dengan

dibuat tempe adalah bau langu hilang serta cita rasa dan aroma kedelai

bertambah sedap (Nurita Puji Astuti, 2009).

2.6.4. Faktor yang Mempengaruhi Fermentasi Kacang Kedelai

Beberapa faktor yang mempengaruhi proses fermentasi kacang kedelai

(Wang, 1975) adalah sebagai berikut:

1. Oksigen

Oksigen dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang Rhizopus sp. Aliran udara

yang terlalu cepat menyebabkan proses metabolisme akan berjalan cepat

sehingga dihasilkan panas yang dapat merusak pertumbuhan kapang. Oleh

karena itu, apabila digunakan kantong plastik sebagai bahan pembungkus

maka sebaiknya pada kantong tersebut diberi lubang dengan jarak antara

(13)

2. Uap Air

Uap air yang berlebihan akan menghambat pertumbuhan kapang. Hal ini

disebabkan karena setiap jenis kapang mempunyai uap optimum untuk

pertumbuhannya.

3. Suhu

Kapang tempe dapat digolongkan kedalam mikroba yang bersifat

mesofilik, yaitu dapat tumbuh baik pada suhu ruang (25-27oC). Oleh

karena itu, maka pada waktu pemeraman, suhu ruangan tempat

pemeraman perlu diperhatikan.

4. Keaktifan Laru

Laru yang disimpan pada suatu periode tertentu akan berkurang

keaktifannya. Karena itu pada pembuatan tempe sebaiknya digunakan laru

yang belum terlalu lama disimpan agar dalam pembuatan tempe tidak

mengalami kegagalan.

2.6.5. Perubahan yang terjadi Selama Fermentasi

Selama proses fermentasi, kedelai akan mengalami perubahan fisik maupun

kimianya (Wang, 1975). Perubahan-perubahan tersebut diantaranya:

1. Peningkatan kadar nitrogen terlarut

Peningkatan ini disebabkan karena adanya aktivitas proteolitik kapang,

yang menguraikan protein kedelai menjadi asam-asam amino, sehingga

nitrogen terlarutnya akan mengalami peningkatan.

2. Peningkatan pH

Dengan adanya peningkatan nitrogen terlarut maka pH juga akan

mengalami peningkatan. Nilai pH untuk tempe yang baik berkisar antara

6,3-6,5.

3. Kedelai menjadi mudah dicerna

Kedelai yang telah difermentasi menjadi tempe akan lebih mudah dicerna.

Selama proses fermentasi karbohidrat dan protein akan dipecah oleh

kapang menjadi bagian-bagian yang lebih mudah larut, mudah dicerna dan

(14)

4. Perubahan kadar air pada kedelai

Kadar air kedelai pada saat sebelum fermentasi mempengaruhi

pertumbuhan kapang. Selama proses fermentasi akan terjadi perubahan

pada kadar air dimana setelah 24 jam fermentasi, kadar air kedelai akan

mengalami penurunan menjadi sekitar 61% dan setelah 40 jam fermentasi

akan meningkat lagi menjadi 64%.

5. Berkurangnya kandungan oligosakarida

Selama fermentasi tempe terjadi pengurangan kandungan oligosakarida

penyebab “flatulence”. Penurunan tersebut akan terus berlangsung sampai

fermentasi 72 jam.

6. Peningkatan kadar amino bebas

Selama fermentasi, asam amino bebas juga akan mengalami peningkatan

dan peningkatannya akan mengalami jumlah terbesar pada waktu

fermentasi 72 jam (Murata, 1967).

7. Peningkatan serat kasar dan vitamin

Kandungan serat kasar dan vitamin akan meningkat pula selama

fermentasi kecuali vitamin B1 atau yang lebih dikenal dengan thiamin

(Shurtleff dan Aoyagi, 1979).

8. Pengurangan disakarida

Pengurangan disakarida terjadi pada senyawa stakhiosa, rafinosa, dan

sukrosa. Penurunan tersebut lebih diakibatkan oleh perendaman dan

perebusan kedelai jika dibandingkan dengan fermentasi. Menurut

Kasmidjo (1989) perendaman dan perebusan menyebabkan penurunan

stakhiosa, rafinosa, dan sukrosa masing-masing menjadi 51%, 48%, dan

41% dari bahan awalnya, selanjutnya stakhiosa akan berkurang menjadi

7% saja setelah 72 jam fermentasi dan sukrosa akan berkurang menjadi

(15)

9. Penurunan lemak

Fermentasi tempe juga mengakibatkan penurunan lemak. Hasil penelitian

Kasmidjo (1989) menunjukkan bahwa setelah fermentasi 48 jam

menggunakan inokulum Rhizopus sp., 20% lemak akan terhidrolisis oleh

enzim lipase. Sedangkan komponen utama lemak kedelai, yaitu asam

linoleat akan habis termetabolisasikan pada fermentasi hari ketiga

(Kasmidjo, 1989)

2.6.6. Tempe Sebagai Produk Fermentasi

Tempe merupakan produk hasil fermentasi kedelai dalam kurun waktu 36-48

jam menggunakan kapang (Warisno dan Dahana, 2010). Selama proses

fermentasi untuk menghasilkan tempe, terdapat perubahan komposisi zat

gizi kedelai yang dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Komposisi zat gizi kedelai dan tempe (100 gram bahan bdd)

No. Zat Gizi Satuan

Komposisi Zat Gizi 100 g bdd

Kedelai Tempe

1. Energi Kal 381 201

2. Protein G 40,4 20,8

3. Lemak G 16,7 8.8

4. Hidrat Arang G 24,9 13,5

5. Serat G 3,2 1,4

6. Abu G 5,5 1,6

7. Kalsium Mg 222 155

8. Fosfor Mg 682 328

9. Besi Mg 10 4

10. Karotein Mkg 31 34

11. Vitamin A SI 0 0

12. Vitamin B1 Mg 0,52 0,19

13. Vitamin C Mg 0 0

14. Air G 12,7 55,3

bdd (berat yang dapat dimakan) % 100 100

(16)

2.6.7. Khasiat Tempe

Seiring dengan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap kesehatan yang

diwakili melonjaknya perhatian terhadap pangan fungsional, tempe pun mulai

banyak dilirik untuk diteliti lebih lanjut tentang khasiat yang dikandungnya.

Ketertarikan untuk meneliti ini tak lepas berangkat dari kepercayaan akan

khasiat tempe yang diceritakan turun-temurun dari generasi sebelumnya

(Warisno dan Dahana, 2010).

Sebagai bahan makanan, tempe memiliki beberapa sifat yang

menguntungkan bagi para konsumennya, diantaranya;

a. Mengandung protein tinggi serta mengandung 8 jenis asam amino esensial.

b. Memiliki kandungan vitamin B12 yang tinggi (Steinkraus, 1960).

c. Rendah kandungan lemak jenuh.

d. Memiliki tekstur seluler yang unik sehingga mudah dicerna dan diserap

oleh tubuh (Shurtleff dan Aoyagi, 1979).

e. Mempunyai kandungan zat berkhasiat antibiotok dan dapat menstimulasi

pertumbuhan (Wang, 1969).

Selain beberapa keuntungan tersebut di atas, sejak lama tempe telah

dipercaya dapat membantu mengatasi beberapa penyakit yang banyak,

diantaranya: anemia gizi besi, infeksi dan hiperkolesterol.

2.6.8. Kualitas Tempe a. Kadar Air

Air merupakan komponen penting dalam makanan karena air dapat

mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Air berperan

sebagai pembawa zat-zat makanan dan sisa-sisa metabolisme, sebagai

media reaksi yang menstabilkan pembentukan biopolimer, dan sebagainya.

Kadar air dalam bahan pangan sangat mempengaruhi kualitas dan daya

simpan dari bahan pangan tersebut . Oleh karena itu penentuan kadar air

dari suatu bahan pangan sangat penting agar dalam proses pengolahan

maupun pendisribusian mendapat penanganan yang tepat. Sesuai dengan

SNI Tempe, maka kadar maksimal air dalam tempe adalah 65% (Fardiaz,

(17)

b. Kadar Protein

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti “yang paling

utama”) adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang

merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino yang

dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. Dalam tempe, protein

merupakan komponen utama yang menyuplai gizi. Menurut SNI,

kandungan protein dalam tempa minimal 16% (Fardiaz, 1989).

Analisa kadar protein yang paling umum adalah metode Kjeldahl.

Prinsip kerja dari metode Kjeldahl adalah protein dan komponen organik

dalam sampel didestruksi dengan menggunakan asam sulfat dan katalis.

Hasil destruksi dinetralkan dengan menggunakan larutan alkali dan

melalui destilasi. Destilat ditampung dalam larutan asam borat.

Selanjutnya ion- ion borat yang terbentuk dititrasi dengan menggunakan

larutan HCl (Purnama, 2010).

Metode Kjeldahl merupakan metode yang sederhana untuk

penetapan nitrogen total pada asam amino, protein dan senyawa yang

mengandung nitrogen. Sampel didestruksi dengan asam sulfat dan

dikatalisis dengan katalisator yang sesuai sehingga akan menghasilkan

amonium sulfat. Setelah pembebasan dengan alkali kuat, amonia yang

terbentuk disuling uap secara kuantitatif ke dalam larutan penyerap dan

ditetapkan secara titrasi. Metode ini telah banyak mengalami modifikasi.

Metode ini cocok digunakan secara semimikro, sebab hanya memerlukan

jumlah sampel dan pereaksi yang sedikit dan waktu analisa yang pendek.

Analisa protein cara Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga

tahapan yaitu proses destruksi, proses destilasi dan tahap titrasi (Purnama,

2010).

1. Destruksi

Sampel di destruksi dengan memanaskan sampel dalam asam sulfat

pekat sehingga terjadi penguraian sampel menjadi unsur-unsurnya yaitu

unsur-unsur C, H, O, N, S, dan P. Unsur N dalam protein ini dipakai

untuk menentukan kandungan protein dalam suatu bahan. Hasil

(18)

ammonium bereaksi dengan ion sufat dari asam sulfat membentuk

ammonium sulfat. Reaksi di katalisis dengan adanya garam kjeldahl.

Garam kjeldahl berfungsi untuk mempercepat proses destruksi dengan

menaikkan titik didih asam sulfat saat dilakukan penambahan H2SO4

pekat, serta mempercepat kenaikan suhu asam sulfat, sehingga destruksi

berjalan lebih cepat dan lebih sempurna. Garam kjeldahl tersebut terdiri

dari campuran Na2SO4 anhidrad dan CuSO4. Ion logam Cu akan

menaikkan titik didih H2SO4 sedangkan Na2SO4 anhidrad akan menarik

air yang terdapat pada sampel. Karena titik didih menjadi lebih tinggi,

maka asam sulfat akan membutuhkan waktu yang lama untuk menguap.

Karena hal ini, kontak asam sulfat dengan sampel akan lebih lama

sehingga proses destruksi akan berjalan lebih efektif. Asam sulfat yang

bersifat oksidator kuat akan mendestruksi sampel menjadi

unsur-unsurnya. (Purnama, 2010). Selama proses destruksi, terjadi reaksi

berikut:

Cu2SO4 + 2H2SO4  2CuSO4 + 2 H2O + SO2

protein/(CHON) + On + H2SO4  CO2 + H2O + (NH4)2SO4

2. Destilasi

Pada dasarnya tujuan destilasi adalah memisahkan zat yang diinginkan,

yaitu dengan memecah amonium sulfat menjadi amonia (NH3) dengan

menambah beberapa mL NaOH hingga tepat basa, kemudian larutan

sampel ini dipanaskan. Prinsip destilasi adalah memisahkan cairan atau

larutan berdasarkan perbedaan titik didih. Fungsi penambahan NaOH

adalah untuk memberikan suasana basa karena reaksi tidak dapat

berlangsung dalam keadaan asam (Purnama, 2010).

Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi

ammonia (NH3) dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan

dipanaskan oleh pemanas dalam alat destilasi melalui steam. Selain itu

sifat NaOH yang apabila ditambah dengan aquadest menghasilkan

panas, meski energinya tidak terlalu besar jika dibandingkan pemanasan

dari alat destilasi, ikut memberikan masukan energi pada proses

(19)

reaksi antara NaOH dengan (NH4)2SO4 yang merupakan reaksi yang

sangat eksoterm sehingga energinya sangat tinggi. Ammonia yang

dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar. Asam

standar yang dipakai dalam percobaan ini adalah asam borat (Purnama,

2010).

Erlenmeyer yang berisi 100 ml asam borat 2 % + BCG-MR

(campuran brom cresol green dan methyl red) atau Tashiro ditempatkan

di bagian kanan bawah alat destilasi. Erlenmeyer ini digunakan untuk

menangkap amoniak hasil reaksi NaOH dengan (NH4)2SO4. BCG-MR,

Tashiro dan PP merupakan indikator yang bersifat amfoter, yaitu bisa

bereaksi dengan asam maupun basa. Indikator ini digunakan untuk

mengetahui asam dalam keadaan berlebih. Selain itu alasan pemilihan

indikator ini adalah karena memiliki trayek pH 6-8 (melalui suasana

asam dan basa / dapat bekerja pada suasana asam dan basa), yang

berarti memiliki rentang trayek kerjanya yang luas (meliputi

asam-netral-basa). Pada suasana asam, indikator akan berwarna merah muda,

sedang pada suasana basa akan berwarna hijau-biru. Setelah ditambah

BCG-MR, larutan akan berwarna merah muda karena berada dalam

kondisi asam(Purnama, 2010).

Asam borat (H3BO3) berfungsi sebagai penangkap NH3 sebagai

destilat berupa gas yang bersifat basa. Supaya ammonia dapat

ditangkap secara maksimal, maka sebaiknya ujung alat destilasi ini

tercelup semua ke dalam larutan asam standar sehingga dapat

ditentukan jumlah protein sesuai dengan kadar protein bahan (Purnama,

2010).

Selama proses destilasi lama-kelamaan larutan asam borat akan

berubah warna menjadi hijau kebiruan, hal ini karena larutan

menangkap adanya ammonia dalam bahan yang bersifat basa sehingga

mengubah warna merah muda menjadi biru.

Reaksi yang terjadi :

(NH4)2SO4 + NaOH  Na2SO4 + 2 NH4OH

2NH4OH  2NH3 + 2H2O

(20)

3. Titrasi

Langkah terakhir dalam proses analisis protein adalah titrasi. Titrasi

asam-basa digunakan untuk menentukan kadar protein dalam sampel.

Karena NH3 yang terbentuk adalah asam lemah, digunakan HCl baku

0,1N untuk menitrasi asam borat yang sudah menangkap ammonia hasil

destilasi, titik akhir di tandai dengan perubahan warna menjadi merah

muda karena adanya indikator Tashiro atau Phenolptalein pada kondisi

sedikit basa (mendekati netral). Reaksi yang terjadi:

4NH3 + 2H3BO3 2(NH4)2BO3 +H2 ……...…………...(1)

(NH4)2BO3 + 2HCl  2NH4Cl + H2BO3 ……..……...…...(2)

Reaksi 1 adalah reaksi penangkapan ammonia distilat oleh asam

borat, dan reaksi (2) adalah reaksi penetralan pada titrasi asam-basa.

Dari reaksi di (2) diatas, bahwa 1 mol HCl akan bereaksi dengan 1 mol

ammonia (dalam bentuk NH4Cl). Sehingga banyaknya protein dalam

sampel dapat dihitung dari konversi HCl yang digunakan dikali dengan

Gambar

Gambar 2.1. Tanaman Waru
Tabel 2.1. Kandungan Kimia Ampas Singkong (kering)
Tabel 2.3. Kandungan Kacang Kedelai
Tabel 2.4. Komposisi zat gizi kedelai dan tempe (100 gram bahan bdd)

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat-Nya yang berlimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan

11 Mesin Penghisap Debu (Vacum Cleaner)7. 12 Mesin

Penerapan metode pengukuran kinerja Human Resources Scorecard di Taman Lalu Lintas- Ade Irma Suryani Nasution Bandung, akan mengukur praktek-praktek manajemen

Contoh nyata dari lingkungan yang telah rusak adalah perkotaan, dimana sungai sebagai unsur air dan unsur kehidupan telah tercemar

menumbuhkan diversifik.Jsi usaha perekonomian rakyat s@kitarkawasanyangkompatibeldengan kondisi elc.oIogi kawasan doln pengembangan wilayah. memb<tngun, menegakkan, memelihara

jalur adalah sebesar 0,130 dengan nilai signifikan 0,064 > 0,05 atau diatas 5% yang ditunjukan nilai t- statistik 0,327 maka dapat disimpulkan dari nilai

Berdasarkan hasil penelitian tindakan ke- las yang telah dilaksanakan dalam dua siklus, dapat disimpulkan bahwa penerapan model POE berbasis media realia

a) Perangkat pembelajaran yang disusun guru sesuai dengan tingkat kompetensi inti dan dasar keterampilan sesuai jenjang pendidikan. b) Dokumen hasil tugas-tugas terstruktur