commit to user
ii
PENGARUH SUPLEMENTASI DAUN WARU (
Hibiscus tiliaceus
L.)
TERHADAP KARAKTERISTIK FERMENTASI DAN POPULASI
PROTOZOA RUMEN SECARA
IN VITRO
Skripsi
Untuk memenuhi sebagai persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Sains
Disusun oleh :
DIGDYAS TIRTA BIMASMARA PUTRA
NIM. M0406024
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
SKRIPSI
Pengaruh Suplementasi Daun Waru (
Hibiscus tiliaceus
L.) Terhadap
Karakteristik Fermentasi dan Populasi Protozoa Rumen secara
In Vitro
Oleh
Digdyas Tirta Bimasmara Putra
NIM M0406024
Telah disetujui oleh pembimbing
Menyetujui tanda tangan
Pembimbing I
:
Tjahjadi Purwoko, M.Si
...
NIP.
197011302000031002
Pembimbing II
:
Hendra Herdian, S.Pt. MSc
...
NIP.
196812211998031007
Surakarta, Desember 2010
Mengetahui
Ketua Jurusan Biologi
Dra. Endang Aggarwulan, M.Si
commit to user
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penelitian saya sendiri
dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari dapat ditemukan adanya unsur penjiplakan maka gelar
kesarjanaan yang telah diperoleh dapat ditinjau dan/atau dicabut.
Surakarta, ...
Digdyas Tirta Bimasmara Putra
NIM. M0406024
commit to user
v
PENGARUH SUPLEMENTASI DAUN WARU (
Hibiscus tiliaceus
L.)
TERHADAP KARAKTERISTIK FERMENTASI DAN POPULASI
PROTOZOA RUMEN SECARA
IN VITRO
DIGDYAS TIRTA BIMASMARA PUTRA
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh pemberian
daun waru (
Hibiscus tiliaceus
L.) terhadap karakteristik fermentasi rumen yang
meliputi produksi gas, asam lemak volatil (VFA), konsentrasi amonia (NH
3), dan
pH serta populasi protozoa rumen secara
in vitro
gas test.
Percobaan disusun dengan desain eksperimen model rancangan acak
lengkap yang terdiri atas kontrol negatif (
P. purpureum
200 mg bahan kering) ,
kontrol positif (
P. purpureum
200 mg bahan kering + 0,2 % monensin) dan 4
perlakuan berturut-turut adalah
P. purpureum
200 mg bahan kering + daun
Hibiscus tiliaceus
L. 5%,10%, 15% dan 20% bahan kering. Tiap perlakuan
dilakukan perulangan 3 kali . Data hasil penelitian diuji dengan Anova (
Analysis
of Varians
), apabila ada pengaruh perbedaan dilanjutkan dengan uji jarak
berganda Duncan.
Suplementasi daun waru tidak signifikan (P>0.05) mempengaruhi nilai
NH3 dan pH dibandingkan kontrol. Konsentrasi VFA total naik pada
suplementasi daun waru 5% dan 10%, kemudian turun pada level 15% dan 20%.
Suplementasi daun waru pada semua perlakuan signifikan (P<0.05) menurunkan
populasi protozoa dan produksi gas total. Nisbah A/P dan NGR turun pada level
5,10,dan 15% kemudian naik pada level 20%. Penurunan nisbah A/P dan NGR ini
berkorelasi terhadap penurunan gas metana. Disimpulkan bahwa level optimum
suplementasi daun waru dalam penelitian ini adalah 10%. Pada level ini telah
dapat memodifikasi karakteristik fermentasi rumen mengarah ke sintesis
propionat, menurunkan populasi protozoa 43,08% dan produksi gas 11,02%,
menaikkan total VFA dan tidak berpengaruh terhadap nilai pH maupun NH3.
Suplementasi daun waru (H
ibiscus tiliaceus
L.) dapat meningkatkan proporsi
propionat yang merupakan sumber energi utama bagi sapi pedaging.
commit to user
vi
The Effect of
Supplementation Waru Leaves (
Hibiscus tiliaceus
L.)
on Fermentation Characteristicand Rumen Population Protozoa In Vitro
DIGDYAS TIRTA BIMASMARA PUTRA
Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta.
Abstract
The purpose of this study was to examine the effect of waru leaves
(
Hibiscus tiliaceus
L.) on rumen fermentation characteristics that include gas
production, VFA, NH
3, pH and rumen population protozoa by in vitro gas test.
The experiment was designed with completely randomized experimental
design model consisted of negative control (
P. purpureum
200 mg DM), positive
control (
P. purpureum
200 mg DM + 0.2% monensin) and 4 treatments,
consecutive is
P. purpureum
200 mg leaf DM +
Hibiscus tiliaceus
L. leaves 5%,
10%, 15% and 20% DM. Each treatment was replicated 3 times. Data were tested
by ANOVA (Analysis of Variance), if there are differences influence will be
followed by Duncan multiple range test.
Supplementation of waru leaves
was not significant (P>0.05) affected the
value of NH3
and pH than the control. Total VFA concentration increased on
supplementation of waru leaves 5% and 10%, then decreased at the level of 15%
and 20%. Supplementation of waru leaves in all treatments significantly (P<0.05)
decreasing protozoa population and total gas production. A / P ratio and NGR
decreased at the level of 5,10, and 15% but then increased in level of 20%. The
decrease of A / P ratio and NGR is correlated to the decrease of methane gas. It
was concluded that the optimum level of supplementation waru leaves in this
study is 10%. At this level, it can modify rumen fermentation characteristics leads
to the synthesis of propionate, reduced protozoa population 43,08% and gas
production 11,02%, increasing total VFA and has no effect on the value of pH and
NH3. Supplementation of waru leaves (
Hibiscus tiliaceus
L.) can increase the
proportion of propionate which is the main energy source for beef cattle.
commit to user
vii
HALAMAN MOTTO
“
Wujudkan impianmu dengan ketekunan, kerja keras, dan kesabaran. Walaupun
itu terasa berat tetapi tetap kerjakanlah.“
“Pergunakan kesempatan yang ada sebaik-baiknya dan berdoalah Kepada Dzat
Yang Maha Kuasa
”
“Do a good something for a Brighter future”
commit to user
viii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
Keluargaku, Almarhum Bapak Asmoro dan Ibu
Yuli Hastuti serta Kakak-kakakku tercinta atas
doa dan kasih sayang yang tak terhingga
Bapak Tjahjadi dan Bapak Hendra atas
semangat dan nasihat yang berharga bagi
penulis
Sahabat-sahabatku di Biologi dan UPT.BPPTK
LIPI Yogyakarta serta teman-teman kost yang
telah membantu dan semangatnya selama ini
Almamater tercinta
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan segala
rahmat dan hidayah-Nya yang tidak terhingga sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul : “PENGARUH
SUPLEMENTASI DAUN WARU (
Hibiscus tiliaceus
L.) TERHADAP
KARAKTERISTIK FERMENTASI DAN POPULASI PROTOZOA RUMEN
SECARA
IN VITRO
”. Penyusunan skripsi ini merupakan suatu syarat untuk
memperoleh gelar kesarjanaan strata 1 (S1) pada Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam melakukan penelitian maupun penyusunan skripsi ini penulis telah
mendapatkan banyak masukan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak yang
sangat berguna dan bermanfaat secara langsung maupun tidak langsung. Oleh
karena itu pada kesempatan yang baik ini dengan kerendahan hati penulis ingin
menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:
Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., PhD., selaku dekan FMIPA Universitas Sebelas
Maret Surakarta atas ijin penelitian untuk keperluan skripsi.
Dra. Endang Anggarwulan, M.Si selaku Ketua Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dan saran dalam
penelitian sampai selesainya penyusunan skripsi.
Dr.Ir.Suharwaji, M.App.Sc, selaku Kepala Unit Pelayanan Teknis Balai
Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (UPT BPPTK LIPI) Yogyakarta yang telah memberikan ijin untuk
keperluan penelitian dan saran, sampai selesainya penyusunan skripsi.
commit to user
x
Hendra Herdian,S.Pt.MSc, selaku dosen pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian sampai selesainya
penyusunan skripsi.
Dr.Artini Pangastuti,M.Si, selaku dosen penelaah I yang telah memberikan
banyak saran dan ide pemikiran baru selama penelitian sampai selesainya
penyusunan skripsi.
Dr.Agung Budiharjo,SSi,M.Si selaku dosen penelaah II yang telah
memberikan banyak saran dan ide pemikiran baru selama penelitian sampai
selesainya penyusunan skripsi.
Estu Retnaningtyas N., M. Si, selaku dosen pembimbing akademik dan
seluruh dosen di jurusan Biologi yang telah memberikan bimbingan, dukungan,
dan petunjuk selama masa perkuliahan.
Sahabatku di Biologi, Sutikno, Rosid, Ari, Budi, Andri, Risna, Vector,
Sari, Ana, Santi, Dian, Septi, Sasti, Ria, Kiki, Fina. Segenap teman penelitian di
LIPI Sigit, Devi, Anton, terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama
penelitian. Teman-teman di almamater Biologi FMIPA UNS dan Kos terimakasih
atas semangat dan dukungannya. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi kita
semua dan pihak-pihak yang terkait.
Surakarta, Januari 2011
commit to user
xiDAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………...
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………
HALAMAN PENGESAHAN……….
HALAMAN PERNYATAAN………
ABSTRAK………
ABSTRACT………
HALAMAN MOTTO……….
HALAMAN PERSEMBAHAN……….
KATA PENGANTAR………
DAFTAR ISI………...
DAFTAR TABEL……….………..…
DAFTAR GAMBAR………..………
DAFTAR LAMPIRAN………..……….
DAFTAR SINGKATAN………
BAB I. PENDAHULUAN ...
A.
Latar Belakang...
B.
Rumusan Masalah...
C.
Tujuan Penelitian ...
D.
Manfaat Penelitian ...
BAB II. LANDASAN TEORI ...
commit to user
xii
1.
Sistem Pencernakan Ruminansia ...
2.
Gas Metana Dalam Peternakan ...
3.
Gas Metana ...
a.
Deskripsi Gas Metana ...
b.
Sumber Gas Metana ...
c.
Akibat Gas Metana ...
1)
Pemanasan Global...
2)
Kepunahan Spesies ...
3)
Penurunan Kualitas Kesehatan Lingkungan ...
4.
Reduksi Metana Melalui Penurunan Protozoa...
5.
Penurunan Protozoa dengan Saponin...
6.
Tumbuhan Waru (
Hibiscus tiliaceus
L.) sebagai Agen Penurunan
Protozoa ...
B.
Kerangka Pemikiran ...
C.
Hipotesis ...
BAB III. METODE PENELITIAN ...
A.
Waktu dan Tempat...
B.
Alat dan Bahan ...
C.
Cara Kerja / Prosedur Penelitian ...
1.
Preparasi Sampel
Pennisetum purpureum
dan
Hibiscus tiliaceus
L. ...
2.
Analisis Proksimat Bahan ...
commit to user
xiii
a.
Tahap Ekstraksi Daun ...
b.
Tahap pembuatan Kurva Standar ...
c.
Tahap Penghitungan Kadar Saponin...
4.
Preparasi Cairan Rumen dari Ternak Donor ...
5.
Desain Perlakuan ...
6.
Fermentasi secara In Vitro ...
7.
Pengukuran Produksi Gas, VFA, Konsentrasi N-NH3,
dan pH serta Penghitungan Jumlah Protozoa ...
D.
Analisis Data...
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN…...………
A.
Komposisi Kimia Bahan Penelitian………
B.
Pebahasan Umum ………..
BAB V. PENUTUP……….
A.
Kesimpulan……….
B.
Saran………
DAFTAR PUSTAKA……….
RIWAYAT HIDUP PENULIS………...………
27
28
28
28
29
29
31
32
33
33
34
50
50
50
51
commit to user
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel
1.
Komposisi Kimia Daun Waru (
Hibiscus tiliaceus
L.) dan
Rumput Kolonjono (
Pennisetum purpureum
)………
33
Tabel 2.
Jumlah Protozoa dan Karakteristik Fermentasi Cairan Rumen
dengan Suplementasi Daun Waru (
Hibiscus tiliaceus
L.),
Monensin serta Kontrol. ………
34
Tabel 3.
Konsentrasi Asam Asetat, Propionat, dan Butirat cairan rumen
yang mendapat perlakuan suplementasi daun waru pada taraf
yang berbeda, dan kontrol serta monensin.…………..…………..
43
Tabel 4.
Nisbah Perbandingan Asetat dan Propionat serta Nilai NGR
Cairan Rumen yang Mendapat Perlakuan Suplementasi Daun
Waru pada Taraf yang Berbeda, dan Kontrol serta
Monensin………...………
45
commit to user
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Simbiosis Protozoa dengan Metanogen ………
17
Gambar 2.
Hibiscus tiliaceus
L.………...………
21
Gambar 3.
Bagan/skema Kerangka Pemikiran...
25
Gambar 4.
Diagram Jumlah Protozoa, pH, Konsentrasi NH3, VFA Total,
dan Produksi Gas Cairan Rumen dengan Suplementasi Daun
Waru (
Hibiscus tiliaceus
L.), Monensin serta Kontrol…...………
50
Gambar 5.
Hibiscus tiliaceus
L. dan
Pennisetum purpureum
yang digunakan
dalam penelitian ………...………..
58
Gambar 6.
Pengambilan Cairan Rumen dari Sapi yang Telah
Difistula ....………...
58
Gambar 7.
Percobaan
in vitro
gas test ……….
58
Gambar 8.
Pengamatan Protozoa ………...……..
59
commit to user
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Analisis Komposisi Kimia Daun
Hibiscus tiliaceus
L. dari
Lab. Chem-mix Pratama, Yogyakarta.……… ………
60
Lampiran 2.
Hasil Analisis VFA dari PAU UGM……...……...………
61
Lampiran 3.
Data Hasil Penelitian...
63
Lampiran 4.
Penentuan Kadar Amonia
……… ………..
64
commit to user
xviiDAFTAR SINGKATAN
Singkatan Kepanjangan
Anova
ATP
BK
CH4
CO2
FAO
g
GRK
µl
ml
mg
pH
PK
VFA
mM
NH
3NaCl
NGR
Analysis of Varians
Adenosine Triphosphate
Bahan kering
Metana
Karbondioksida
Food Agricultural Organitations
gram
Gas Rumah Kaca
mikroliter
mililiter
miligram
puissance Hidrogen
Protein Kasar
Volatile Fatty Acids
mili Mol
Amonia
Natrium klorida
commit to user
1BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan bahan pangan hewani semakin hari semakin meningkat. Hal ini
seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, tingkat pendapatan, kesadaran
gizi dan kualitas hidup masyarakat. Jumlah penduduk Indonesia saat ini
diperkirakan mencapai 220 juta jiwa, dan ini merupakan jumlah penduduk
terbesar keempat di dunia. Jumlah penduduk yang besar tersebut merupakan
pangsa pasar yang luar biasa besar untuk produk ternak, karena kebutuhan bahan
pangan asal hewan (daging, susu dan telur) merupakan kebutuhan primer yang
harus dipenuhi (Rusfidra, 2005).
Protein hewani asal ternak sangat diperlukan untuk pertumbuhan,
kecerdasan dan kesehatan tubuh manusia. Sampai saat ini tingkat konsumsi
protein hewani masyarakat Indonesia masih sangat rendah, sekitar 6
gram/kapita/hari. Sementara rata-rata konsumsi penduduk dunia mencapai 26
gram/kapita/tahun (Han, 1999). Jika dibandingkan dengan tingkat konsumsi
protein hewani penduduk Malaysia, Thailand dan Fhilipina, konsumsi protein
hewani penduduk Indonesia tergolong rendah. Apalagi konsumsi protein hewani
negara-negara industri maju, seperti Inggris, AS, Jepang dan Prancis berkisar
50-80 gram/kapita/hari (Rusfidra, 2005).
Ternak sapi merupakan hewan ternak terpenting dari jenis hewan ternak
commit to user
2
lahan. Selain itu, sapi juga berperan sebagai sumber pendapatan, tabungan hidup
(bioinvestasi), aset kultural dan religius, sumber gas bio dan pupuk kandang
(Rusfidra, 2005).
Di sisi lain peternakan telah dihadapkan pada permasalahan yang cukup
serius yakni berbagai dampak yang diakibatkan dari industri peternakan itu
sendiri. Selain limbah feses dan urine, gas metana (CH4) yang cukup tinggi juga
dihasilkan dari industri peternakan ini (Suryahadi et al., 2002).
Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan
yang diterbitkan pada tahun 2006 mengungkapkan bahwa, sektor peternakan
adalah salah satu penyumbang terbesar bagi krisis lingkungan yang paling serius
dalam setiap skala, mulai dari lokal hingga global. Memelihara ternak untuk
konsumsi telah menjadi salah satu penghasil gas karbondioksida (CO2) terbesar
serta menjadi satu-satunya sumber emisi gas metana (CH4) dan nitrooksida (NO)
terbesar. Sektor peternakan telah menyumbang 9% karbondioksida, 65%
nitrooksida, dan 37% gas metana. Gas metana menghasilkan gas rumah kaca 23
kali lebih besar dan nitrooksida 296 kali lebih banyak jauh di atas karbondioksida
(Badunglahne, 2010).
Di samping berdampak buruk bagi atmosfer, pembentukan metana juga
berpengaruh negatif terhadap hewan ruminansia itu sendiri, yaitu dapat
menyebabkan kehilangan energi hingga 15% dari total energi kimia yang tercerna.
Fermentasi dari pencernaan ternak (enteric fermentation) menyumbang sebagian besar emisi gas metana yang dihasilkan peternakan. Pembentukan gas metana di
commit to user
3
pembentukan gas metana di dalam rumen terjadi melalui reduksi CO2 oleh H2
yang dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroba metanogenik (Thalib,
2008). Perlu dilakukan langkah pengurangan produksi metana dari ternak
ruminansia.
Populasi protozoa di dalam rumen diketahui berbanding lurus dengan
produksi gas metana, artinya produksi gas metana berkurang bila populasi
protozoa rumen menurun (Thalib, 2008). Populasi protozoa di dalam rumen dapat
dikurangi dengan memberikan agen defaunasi protozoa seperti saponin. Hal lain
yang mempengaruhi produksi gas metana adalah karakteristik fermentasi rumen.
Karakteristik fermentasi (pola fermentasi) pada rumen yang mengarah kepada
sintesis asam propionat lebih menguntungkan. Asam propionat tersebut cenderung
menurunkan produksi energi yang terbuang dalam bentuk metana (CH4).
Umumnya yang sering digunakan sebagai pakan sapi adalah rumput
kolonjono (Pennisetum purpureum) karena mudah didapatkan. Sayangnya, kadar serat kasar rumput kolonjono cukup tinggi sehingga memicu produksi metana
yang lebih besar. Dalam penelitian ini digunakan daun waru sebagai suplementasi.
Daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) diketahui mengandung senyawa saponin. Kandungan saponin dalam daun waru diharapkan dapat digunakan sebagai agen
defaunasi protozoa dan dapat mempengaruhi karakteristik fermentasi rumen, yang
pada akhirnya diharapkan dapat mereduksi gas metana dari proses peternakan,
commit to user
4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaruh pemberian daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) terhadap karakteristik fermentasi yang meliputi produksi gas, VFA,
konsentrasi NH3, dan pH serta populasi protozoa rumen secara in vitro? 2. Pada level berapa pemberian daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) paling
optimum dapat memperbaiki karakteristik fermentasi dan menurunkan
populasi protozoa rumen secara in vitro di penelitian ini?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh pemberian daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) terhadap karakteristik fermentasi (produksi gas, VFA, konsentrasi NH3, pH) dan
populasi protozoa rumen secara in vitro.
2. Mengetahui level pemberian daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) yang optimum dapat memperbaiki karakteristik fermentasi (produksi gas, VFA, konsentrasi
commit to user
5
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
tentang penggunaan daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) untuk memperbaiki karakteristik fermentasi rumen yang meliputi produksi gas, VFA, konsentrasi
NH3, dan pH serta mengetahui pengaruh pemberian daun waru dalam
menurunkan populasi protozoa rumen secara in vitro.
2. Memberikan gambaran pada level berapakah daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) optimum dapat memperbaiki karakteristik fermentasi dan menurunkan
commit to user
6BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Sistem Pencernakan Ruminansia
Pencernaan adalah rangkaian proses perubahan fisik dan kimia yang
dialami bahan makanan selama berada di dalam alat pencernaan. Proses
pencernaan makanan pada ternak ruminansia relatif lebih komplek dibandingkan
proses pencernaan pada jenis ternak lainnya (Ecoshopy, 2006).
Perut ternak ruminansia dibagi menjadi 4 bagian, yaitu retikulum (perut
jala), rumen (perut beludru), omasum (perut buku), dan abomasum (perut sejati)
Dalam studi fisiologi ternak ruminasia, rumen dan retikulum sering dipandang
sebagai organ tunggal dengan sebutan retikulorumen. Omasum disebut sebagai
perut buku karena tersusun dari lipatan sebanyak sekitar 100 lembar. Fungsi
omasum belum terungkap dengan jelas, tetapi pada organ tersebut terjadi
penyerapan air, amonia, asam lemak terbang dan elektrolit. Pada organ ini
dilaporkan juga menghasilkan amonia dan mungkin asam lemak terbang (Frances
dan Siddon, 1993). Termasuk organ pencernaan bagian belakang lambung adalah
sekum, kolon, dan rektum. Pada pencernaan bagian belakang tersebut juga terjadi
aktivitas fermentasi. Namun, belum banyak informasi yang terungkap tentang
peranan fermentasi pada organ tersebut. Proses pencernaan pada ternak
ruminansia dapat terjadi secara mekanis di mulut, fermentatif oleh mikroba rumen
commit to user
7
Pada sistem pencernaan ruminasia terdapat suatu proses yang disebut
memamah biak (ruminasi). Pakan berserat (hijauan) yang dimakan ditahan untuk
sementara di dalam rumen. Pada saat hewan beristirahat, pakan yang telah berada
dalam rumen dikembalikan ke mulut (proses regurgitasi), untuk dikunyah kembali
(proses remastikasi), kemudian pakan ditelan kembali (proses redeglutasi).
Selanjutnya, pakan tersebut dicerna lagi oleh enzim-enzim mikroba rumen.
Kontraksi retikulorumen yang terkoordinasi dalam rangkaian proses tersebut
bermanfaat untuk pengadukan digesta inokulasi dan penyerapan nutrien. Selain itu
kontraksi retikulorumen juga bermanfaat untuk pergerakan digesta meninggalkan
retikulorumen melalui retikulo-omasal orifice ( Tilman et al., 1986).
Lambung rumen sapi sangat besar, diperkirakan sekitar 3/4 dari isi rongga
perut. Lambung rumen mempunyai peranan penting untuk menyimpan makanan
sementara yang akan dimamah kembali (kedua kali). Selain itu, pada rumen juga
terjadi proses pembusukan dan peragian (Sulistyowati, 2009). Isi seluruh perut
pada sapi dewasa sekitar 90 – 208 liter. Rumen merupakan bagian perut terbesar
yang berukuran sekitar 80 % dari seluruh perut, omasum 8%, abomasum 7%, dan
retikulum 5% (Akoso, 1996).
Proses pencernaan ruminansia dimulai di ruang mulut. Di dalam ruang
mulut, ransum yang masih berbentuk kasar dipecah menjadi partikel-partikel kecil
dengan cara pengunyahan dan pembasahan dengan saliva. Dari mulut ransum
masuk kedalam rumen melalui esofagus. Di dalam rumen, proses penghancuran
partikel-partikel ransum berlanjut terus. Komponen atau bagian ransum yang
commit to user
8
dalam bentuk bolus-bolus. Oleh karena itu, setelah merumput, ternak ruminansia
biasanya berbaring dan mengunyah-ngunyah rumput ataupun hijauan lain yang
dikeluarkan kembali dalam bentuk bolus-bolus dari rumen ke mulut (Siregar,
1994).
Ransum yang sudah terproses halus di dalam rumen akan segera
mengalami proses fermentasi. Dalam proses ini berjuta-juta bakteri dan
mikroorganisme lainnya bekerja mengolah protein dan juga non-protein nitrogen
yang terdapat di dalam ransum menjadi asam-asam amino esensial (Siregar,
1994).
Adanya rumen dan kegiatan-kegiatan mikroorganisme didalamnya
menyebabkan ternak ruminansia mampu mencerna sejumlah besar hijauan
maupun pakan kasar lainnya. Bahkan, hijauan merupakan ransum pokok ternak
ruminansia. Di dalam rumen, senyawa-senyawa non-protein nitrogen dapat diubah
menjadi protein mikrobial. Oleh karena itu, kandungan protein ransum ternak
ruminansia tidak perlu setinggi dan selengkap kandungan protein ternak
non-ruminansia seperti unggas dan babi (Siregar, 1994).
Mikroba rumen membantu ternak ruminansia dalam mencerna pakan yang
mengandung serat tinggi menjadi asam lemak volatil (Volatile Fatty Acids / VFA) yaitu asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat serta asam isobutirat
dan asam isovalerat. VFA diserap melalui dinding rumen dan dimanfaatkan
sebagai sumber energi oleh ternak. Produk metabolisme yang tidak dimanfaatkan
oleh ternak yang pada umumnya berupa gas akan dikeluarkan dari rumen melalui
commit to user
9
rumen itu sendiri, karena biomasa mikroba yang meninggalkan rumen merupakan
pasokan protein bagi ternak ruminansia. Sauvant, et al. (1995) menyebutkan bahwa 2/3 – 3/4 bagian dari protein yang diabsorbsi oleh ternak ruminansia
berasal dari protein mikroba.
VFA terdiri atas asam-asam organik yang mudah menguap/atsiri, mulai
dari rantai karbon satu sampai dengan rantai karbon lima, yaitu asam asetat,
propionat, butirat, dan valerat. VFA dihasilkan oleh bakteri tertentu dan
jumlahnya tergantung pada jumlah bakteri dalam rumen. Asam asetat adalah yang
paling banyak diproduksi oleh hampir semua jenis bakteri, diikuti asam propionat,
butirat, dan valerat. Komponen utama VFA adalah asam asetat, propionat, dan
butirat (Jouany, 1991; Hungate, 1966). Asam asetat yang terbentuk dalam rumen
sekitar 63% molar, asam propionat 22% molar, dan asam lainnya 15% molar
(Hungate, 1988).
Ternak ruminansia memperoleh protein untuk pertumbuhan dari pakan
yang dikonsumsi dan mikroba dalam rumen. Salah satu cara untuk
mengefisienkan protein adalah dengan meningkatkan protein mikroba melalui
peningkatan pertumbuhan mikroba rumen (Hungate, 1966). Meningkatnya jumlah
mikroba rumen mengakibatkan sintesis protein yang semakin tinggi yang diikuti
dengan pembentukan senyawa asam lemak volatil (volatile fatty acid, VFA) yang merupakan hasil fermentasi mikroba rumen (Askar dan Abdurachman, 2002).
Degradasi dan fermentasi komponen serat pakan oleh mikroba rumen,
selain menghasilkan asam lemak mudah terbang, juga membentuk gas metana
commit to user
10
energi yang dikonsumsi ternak dan merupakan komponen energi yang tidak dapat
dimanfaatkan ternak (Haryanto, 2009).
Fermentasi dari pencernaan ternak (enteric fermentation) menyumbang sebagian besar emisi gas metana yang dihasilkan peternakan. Pembentukan gas
metana di dalam rumen merupakan hasil akhir dari fermentasi pakan. Pada
prinsipnya, pembentukan gas metana di dalam rumen terjadi melalui reduksi CO2
oleh H2 yang dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan oleh mikrobia metanogenik.
Pembentukan gas metana di dalam rumen berpengaruh terhadap pembentukan
produk akhir fermentasi di dalam rumen, terutama jumlah mol ATP, yang
akhirnya mempengaruhi efisiensi produksi mikrobial rumen (Badunglahne, 2010).
2. Gas Metana Dalam Peternakan
Menurut Johnson dan Johnson (1995), Pelchen dan Peters (1998), gas CH4
yang dikeluarkan dari rumen mengindikasikan energi yang hilang dari tubuh
ternak ruminansia dengan variasi 7% – 12% dari energi yang terkonsumsi. Moss
(2000) menyatakan bahwa populasi ruminansia mempunyai kontribusi sebesar
12% – 15% dari pencemaran CH4 di atmosfer.
Seperti dilaporkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2006,
dari industri peternakan tercatat emisi gas penyebab efek rumah kaca paling
dominan adalah metana (37%), sedangkan karbondioksida (CO2) hanya 9%.
Masih menurut FAO, dalam lingkup global pun industri peternakan penyumbang
emisi gas rumah kaca (GRK) tertinggi, yaitu 18%, bahkan melebihi emisi gas
commit to user
11
Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan
yang diterbitkan pada tahun 2006 mengungkapkan bahwa, sektor peternakan
adalah satu dari dua atau tiga penyumbang terbesar bagi krisis lingkungan yang
paling serius dalam setiap skala, mulai dari lokal hingga global. Memelihara
ternak untuk konsumsi telah menjadi salah satu penghasil gas karbondioksida
terbesar serta menjadi satu-satunya sumber emisi gas metana dan nitrooksida
terbesar. Sektor peternakan telah menyumbang 9% racun karbondioksida, 65%
nitrooksida, dan 37% gas metana (Badunglahne, 2010).
Di Indonesia, emisi metana (CH4) per unit pakan atau laju konversi metana
lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin tinggi
jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metana
(Suryahadiet al., 2002). Susetyo ( 1969 ) menyatakan, rendahnya kualitas hijauan di Indonesia disebabkan antara lain oleh sifat pertumbuhan yang cepat sehingga
cepat berbunga dan berbiji yang mengakibatkan kandungan serat kasar tinggi.
Menurut Haryanto (2009) degradasi dan fermentasi komponen serat pakan
oleh mikroba rumen, selain menghasilkan asam lemak volatil, juga membentuk
gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Gas metana yang terbentuk berkisar
8-15% dari energi yang dikonsumsi ternak dan merupakan komponen energi yang
tidak dapat dimanfaatkan ternak. Gas ini mempunyai efek rumah kaca, yang oleh
pengamat lingkungan dinilai ikut berkontribusi terhadap berkurangnya lapisan
ozon di atmosfer bumi, sehingga meningkatkan intensitas masuknya sinar
ultraviolet dari matahari dan suhu global. Oleh karena itu, upaya untuk
mengurangi pembentukan gas metana dari proses pencernaan pakan ruminansia
commit to user
12
3. Gas Metana
a. Deskripsi Gas Metana
Metana adalah senyawa kimia dengan rumus kimia CH4. Ini adalah alkana
sederhana, dan komponen utama gas alam (David dan Kenneth, 2003). Metana
adalah gas dengan emisi rumah kaca 23 kali lebih ganas dari karbondioksida
(CO2), yang berarti gas ini merupakan kontributor yang sangat buruk bagi
pemanasan global yang sedang berlangsung (Nicky, 2010).
Gas metana (CH4) merupakan hasil fermentasi anaerob karbohidrat
struktural maupun non struktural oleh metanogen (mikrobia penghasil metana) di
dalam rumen ternak ruminansia, dan selanjutnya dikeluarkan ke atmosfer melalui
proses eruktasi (Santoso dan Hariadi, 2007).
b. Sumber Gas Metana
Menurut Ensiklopedia Britanica, gas metana dapat terkumpul pada
cekungan batubara. Gas metana juga dapat terbentuk akibat dekomposisi dari
tanaman yang dimakan oleh mikroba metanogen. Selain itu gas metana ada di
dalam rumen, atau hancuran tumbuhan yang sedang dicerna dalam perut sapi
(Witarto, 2008).
Sumber gas metana atau CH4 ada di mana-mana, bukan hanya dari rawa
atau lahan basah. Gas metana juga bisa muncul akibat aktivitas manusia, mulai
dari toilet di rumah tangga, lahan pertanian, dan peternakan, hingga tempat
pembuangan sampah. Namun, penghasil metana paling menonjol adalah sektor
commit to user
13
c. Akibat Gas Metana
1. Pemanasan Global
Gas metana menghasilkan gas rumah kaca 23 kali lebih besar dan
nitrooksida 296 kali lebih banyak jauh di atas karbondioksida. Pemanasan global
(global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2),
karbonmonoksida (CO), gas metana (CH4), dinitrooksida (N2O),
chloroflourocarbon (CFC), yang terdiri dari haloflouricarbon (HFC) dan
perflourocarbon (PFC) serta sulfur hexaflouride (SF6) sehingga energi matahari
terperangkap dalam atmosfer bumi. Panas matahari masuk ke bumi, sebagian akan
diserap bumi dan sisanya akan dipantulkan kembali ke angkasa sebagai
gelombang panjang. Namun, panas yang seharusnya dapat dipantulkan kembali ke
angkasa, terperangkap di dalam bumi akibat meningkatnya konsentrasi gas
tersebut menyelimuti atmosfer bumi. Maka, panas matahari yang tidak dapat
dipantulkan ke angkasa akan meningkat pula yang berakibat bumi jadi semakin
panas (Badunglahne, 2010).
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi
lingkungan biogeofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut,
perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya
flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit). Dampak bagi aktivitas
sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan
commit to user
14
jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman
penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko
kanker dan wabah penyakit). Pemanasan global juga membawa satu potensi
bencana besar, yaitu mencairnya metana hydrates yakni metana beku yang
tersimpan dalam bentuk es. Jumlahnya sebanyak 3.000 kali dari metana yang ada
di atmosfer. Planet bumi menyimpan metana beku dalam jumlah yang sangat
besar yang disebut dengan metana hydrates atau metana clathrates. Metana
hydrates banyak ditemukan di kutub utara dan kutub selatan, dimana suhu
permukaan air kurang dari 00C, atau dasar laut pada kedalaman lebih dari 300
meter, dimana temperatur air ada di kisaran -200C (Badunglahne, 2010).
Pemanasan global akan membuat suhu es di kutub utara dan kutub selatan
menjadi semakin panas, sehingga metana beku yang tersimpan dalam lapisan es di
kedua kutub tersebut juga ikut terlepas ke atmosfer. Para ilmuwan memperkirakan
bahwa Antartika menyimpan kurang lebih 400 miliar ton metana beku, dan gas ini
dilepaskan sedikit demi sedikit ke atmosfer seiring dengan semakin banyaknya
bagian-bagian es di antartika yang runtuh (Badunglahne, 2010).
Pemanasan global akibat akumulasi gas-gas di atmosfer, di antaranya
metana, menimbulkan efek lanjutan, yaitu perubahan iklim dan kondisi
lingkungan bumi yang memburuk. Selama ini perhatian banyak dipusatkan untuk
menekan gas karbon. Padahal, metana-lah yang menjadi penyebab terbesar
pemanasan global. Maka, belakangan sasaran mulai diarahkan pada gas yang satu
commit to user
15
b. Kepunahan Spesies
Penghitungan jumlah rata-rata metana dalam 20 tahun terakhir meningkat
72 kali lebih besar dibandingkan dengan CO2. Bila itu terjadi, ancaman
kepunahan spesies di muka bumi akan membayang, seperti yang pernah terjadi
pada masa Paleocene-Eocene Thermal Maximum (PETM) 55 juta tahun lalu dan
pada akhir periode Permian sekitar 251 juta tahun lalu. Lepasnya gas metana
dalam jumlah besar mengakibatkan turunnya kandungan oksigen di muka bumi
ini hingga mengakibatkan punahnya lebih dari 94 persen spesies di muka bumi
(Ikawati, 2010).
c. Penurunan Kualitas Kesehatan Lingkungan
Saat ini dunia memfokuskan strategi pada pengurangan emisi CO tetapi
sedikit yang berkonsentrasi pada pengurangan emisi metana. Padahal, metana
tergolong gas berbahaya, bukan hanya menimbulkan efek GRK yang nyata,
melainkan juga membantu terbentuknya lapisan ozon di permukaan tanah yang
membahayakan bagi kesehatan manusia (Ikawati, 2010).
Kandungan metana yang tinggi akan mengurangi konsentrasi oksigen di
atmosfer. Jika kandungan oksigen di udara hingga di bawah 19,5 persen, akan
mengakibatkan aspiksi atau hilangnya kesadaran makhluk hidup karena
kekurangan asupan oksigen dalam tubuh. Meningkatnya metana juga
meningkatkan risiko mudah terbakar dan meledak di udara. Reaksi metana dan
oksigen akan menimbulkan CO2 dan air (Ikawati, 2010).
4. Reduksi Metana Melalui Penurunan Protozoa
Berbagai teknik telah dilakukan untuk menekan produksi gas metana yang
commit to user
16
monensin (Van Nevel dan Demeyer, 1977); a-asam bromoethanesulfonat (Balch
dan Wolfe, 1979); nitrat/nitrit (Takahashi dan Young, 1991). Namun demikian,
penggunaan bahan kimia dengan konsentrasi yang tinggi dan dalam jangka waktu
yang lama dapat menyebabkan residu dalam produk ternak serta efek toksik
terhadap ternak, sehingga penggunaan bahan aditif tersebut tidak
direkomendasikan untuk digunakan dalam mengontrol produksi gas metana
(McAllisteret al., 1996).
Gas metana dalam tubuh ternak dihasilkan oleh mikroba metanogen.
Mikroorganisme penghasil gas metana ini hanya bekerja dalam kondisi anaerob
dan dikenal dengan nama metanogen. Salah satu mikroorganisme penting dalam
kelompok metanogen ini adalah mikroorganisme yang mampu memanfaatkan
hidrogen dan asam asetat. Rumen sapi merupakan tempat yang cocok bagi
perkembangan metanogen. Gas metana dalam konsentrasi tertentu dihasilkan di
dalam rumen sapi tersebut (Shiddieqy, 2009). Mikroba metanogen dapat berperan
merubah asam asetat dan etanol menjadi metana (CH4) dan karbondioksida (CO2).
Mikroba metanogen pembentuk metana antara lain : Metanococcus, Metanobacterium, dan Metanosarcina(Rahayu, 2010).
Dewasa ini penggunaan bahan pakan aditif yang bersifat alami sebagai
pengganti bahan pakan aditif yang bersifat kimiawi termasuk antibiotik dan
ionofor sebagai manipulator fermentasi dalam rumen semakin populer. Beberapa
commit to user
17
bersifat toksik terhadap protozoa dan bakteri dalam rumen, sementara sekitar 9%
– 25% dari metanogen bersimbiosis dengan cara menempel pada permukaan
protozoa (Stumm et al., 1982).
Hampir semua protozoa rumen adalah ciliata yang bersifat predator terhadap
bakteri pencerna serat, dan mikroba ini juga berperan sebagai habitat mikrobia
metanogen penghasil gas metana (Thalib, 2008). Lebih lanjut dinyatakan bahwa
populasi protozoa di dalam rumen berbanding langsung dengan produksi gas
metana, artinya produksi gas metana dapat berkurang bila populasi protozoa
rumen menurun. Dengan demikian, emisi gas metana dapat dikurangi dengan
memberikan zat defaunator protozoa seperti saponin (Thalib, 2008). Hubungan
simbiosis antara prptozoa dengan metanogen dapat dilihat pada Gambar 1.
[image:33.612.133.508.217.565.2]Scaning mikroskop elektron metanogen yang menempel pada permukaan protozoa ciliata rumen. Eremoplastron bovis (kiri), Diplodinium dentatum (kanan).
Gambar 1. Simbiosis Protozoa dengan Metanogen (Vogels et al.,1980) Eliminasi protozoa rumen meningkatkan jumlah bakteri selulolitik, karena
commit to user
18
berkurangnya populasi protozoa maka aktivitas bakteri selulolitik di dalam rumen
meningkat, sehingga menghasilkan lebih banyak asam propionat dan lebih sedikit
gas metana. Pola fermentasi pada rumen yang mengarah kepada sintesis asam
propionat akan menguntungkan dari segi efisiensi penggunaan energi pakan.
Secara alami dengan peningkatan produksi asam propionat tersebut cenderung
menurunkan produksi energi yang terbuang dalam bentuk CH4 (Orskov dan Ryle,
1990 ; Tilman et al., 1986). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dengan semakin tingginya asam propionat, maka prekusor pembentuk glikogen semakin banyak,
sehingga dapat meningkatkan laju pertumbuhan ternak. Pada reaksi stoikiometri
sintesis asam propionat banyak menggunakan gas H2 sedangkan sebaliknya pada
sintesis asam asetat banyak dihasilkan gas H2. Gas hidrogen (H2) bersama-sama
dengan gas CO2 merupakan prekursuor untuk sintesis CH4.
Newbold et al. (1995) melaporkan bahwa metanogen berasosiasi dengan protozoa ciliata dan bertanggung-jawab atas 9–25% dari metanogenesis pada
cairan rumen. Pada satu observasi, defaunasi dari rumen mengakibatkan
penyusutan penghasilan metana (Ushida et al., 1997). Pada satu studi perbandingan dari jenis individu protozoa terhadap pemancaran/emisi metana,
disimpulkan bahwa penyingkiran/elimninasi dari Entodinium caudatum dapat mengurangi pemancaran metana dari rumen tanpa berpengaruh kurang baik
terhadap degradasi pakan (Ranilla et al., 2007). Guo et al. (2008) meyakinkan bahwa suplementasi dari saponin secara tidak langsung menghalangi produksi
commit to user
19
5. Penurunan Protozoa dengan Saponin
Saponin adalah glikosida terpen atau steroid yang terdistribusi luas dalam
tumbuhan, dan telah dilaporkan lebih dari 500 jenis tumbuhan mengandung
saponin (Fitroh,1997). Saponin dapat diekstraksi dengan pelarut metanol
menggunakan cara maserasi, kemudian dilanjutan pemisahan dan pemurnian
dengan kromatografi kolom vakum dan kromatografi kolom (Fitroh,1997).
Saponin mempunyai pengaruh yang lebih menguntungkan pada
ruminansia dibandingkan pada non ruminansia. Saponin dapat meningkatkan
sintesis protein mikroba rumen dan menurunkan degradabilitas protein dalam
rumen. Sumber utama protein bagi ternak ruminansia adalah protein pakan yang
lolos dari degradasi di dalam rumen (UDP) dan protein mikroba rumen.
Peningkatan sintesis protein mikroba rumen dan protein by-pass berarti meningkatkan pasokan nutrien ke dalam intestin. Penurunan degradasi protein
dalam rumen dapat terjadi karena terbentuknya kompleks protein-saponin yang
sedikit tercerna dan terkait dengan kemampuan saponin sebagai agen defaunasi
yang menyebabkan penurunan total populasi protozoa rumen. Penurunan populasi
protozoa dapat meningkatkan aliran N bakteri rumen ke duodenum, karena
pemangsaan protozoa terhadap bakteri menurun tajam ( Suparjo, 2009).
Saponin adalah glikosida yang berinteraksi dengan kolesterol yang ada di
membran dari sel protozoa dan menyebabkan lysis sel (Hess et al. 2003). Keberadaan kolesterol pada membran sel eukariotik (termasuk protozoa), tetapi
tidak terdapat pada sel bakteri prokariotik, memungkinkan protozoa rumen lebih
commit to user
20
kolesterol. Populasi bakteri rumen tidak mengalami gangguan karena disamping
bakteri tidak mempunyai sterol yang dapat berikatan dengan saponin, bakteri
mempunyai kemampuan untuk memetabolisme faktor antiprotozoa tersebut
dengan menghilangkan rantai karbohidrat ( Suparjo, 2009).
6. Tumbuhan Waru (Hibiscus tiliaceus L.) sebagai Agen Penurun Protozoa
Waru termasuk suku malvaceae. Banyak terdapat di Indonesia, di pantai
yang tidak berawa, di tanah datar, dan di pegunungan hingga ketinggian 1700
meter diatas permukaan laut. Banyak ditanam di pinggir jalan dan di sudut
pekarangan sebagai tanda batas pagar. Pada tanah yang baik, tumbuhan itu
batangnya lurus dan daunnya kecil. Pada tanah yang kurang subur, batangnya
bengkok dan daunnya lebih lebar (Syamsuhidayat et.al, 1991).
Tumbuhan waru asli dari daerah tropika di Pasifik barat namun sekarang
tersebar luas di seluruh wilayah Pasifik dan dikenal dengan berbagai nama: hau (bahasa Hawaii), purau (bahasa Tahiti), beach Hibiscus, Tewalpin, Sea Hibiscus, atau Coastal cottonwood dalam bahasa Inggris. Kemampuan bertahannya tinggi karena toleran terhadap kondisi masin dan kering, juga terhadap kondisi
tergenang. Tumbuhan ini tumbuh baik di daerah panas dengan curah hujan 800
sampai 2000mm (Wikipedia, 2010).
Pohon ini cepat tumbuh sampai tinggi 5-15 meter, garis tengah batang
40-50 cm; bercabang dan berwarna coklat. Daun merupakan daun tunggal, berangkai,
berbentuk jantung, lingkaran lebar/bulat telur, tidak berlekuk dengan diameter
kurang dari 19 cm. Daun menjari, sebagian dari tulang daun utama dengan
commit to user
21
berambut abu-abu rapat. Daun penumpu bulat telur memanjang, panjang 2.5 cm,
meninggalkan tanda bekas berbentuk cincin. Bunga waru merupakan bunga
tunggal, bertaju 8-11. Panjang kelopak 2.5 cm beraturan bercangap 5. Daun
mahkota berbentuk kipas, panjang 5-7 cm, berwarna kuning dengan noda ungu
pada pangkal, bagian dalam oranye dan akhirnya berubah menjadi
kemerah-merahan. Tabung benang sari keseluruhan ditempati oleh kepala sari kuning.
Bakal buah beruang 5, tiap rumah dibagi dua oleh sekat semu, dengan banyak
bakal biji. Buah berbentuk telur berparuh pendek, panjang 3 cm, beruang 5 tidak
sempurna, membuka dengan 5 katup (Syamsuhidayat et.al, 1991).
Secara umum pengklasifikasian tanaman waru (Hibiscus tiliaceus L.) adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dikotyledonae
Bangsa : Malvales
Suku : Malvaceae
Marga : Hibiscus
[image:37.612.132.505.217.633.2]Jenis : Hibiscus tiliaceus L. (Syamsuhidayat et.al, 1991)
commit to user
22
Dalam pengobatan tradisional, akar waru digunakan sebagai pendingin
bagi sakit demam, daun waru membantu pertumbuhan rambut, sebagai obat batuk,
obat diare berdarah/berlendir, amandel. Bunga digunakan untuk obat trakhoma
dan masuk angin (Martodisiswojo dan Kolonjonokwangun, 1995). Kandungan
kimia daun dan akar waru adalah saponin dan flavonoid. Disamping itu, daun
waru juga paling sedikit mengandung lima senyawa fenol, sedang akar waru
mengandung tanin (Aishah, 1994; Syamsuhidayat et al, 1991). Chen et al telah mengisolasi beberapa senyawa dari kulit batang waru, yaitu : skopoletin,
hibiscusin, hibiscusamide, vanilic acid, hydroxybenzoic acid, syringic acid,
P-hidroxybenzaldehyde, scopoletin, N-TRANS- feruloytyramine, N-CIS-
feruloytyramine, campuran beta-sitosterol dan stigmasterol, campuran sitostenone
dan stigmasta-4,22-dien-3-one. Dari uji sitotoksik senyawa-senyawa tersebut,
terdapat tiga senyawa yang mempunyai aktivitas antikanker sangat baik terhadap
sel P-388 dan sel HT-29 secara invitro dengan nilai IC 50 < 4 mug/ml.
Daun dan akar Hibiscus tiliaceus mengandung saponin dan flavonoida, di samping itu daun juga mengandung polifenol dan akar mengandung tanin
(anonim, 2006). Daun Hibiscus tiliaceus mengandung alkaloid, asam-asam amino, karbohidrat, asam organik, asam lemak, saponin, sesquiterpene dan
sesquiterpenoid quinon, steroid, triterpene (Bandaranayake, 2002). Berdasarkan
skrining fltokimia tangkai dan tulang daun waru mengandung senyawa fenol,
commit to user
23
Satu pohon waru dapat menghasilkan kurang lebih 50 kg daun basah atau
sekitar 8,5 kg DM pertahun. Dengan kandungan kimia protein 18,09%, serat
19,97 %, daya cerna 61 %, energi bruto 4,45 % dan bahan kering 28,24 %, daun
waru sangat cocok digunakan sebagai pakan ternak. Sapi dan kambing sangat
menyenangi daun atau cabang muda waru. Saponin yang terkandung dalam daun
waru akan memperlancar kecernaan dan sekaligus membunuh protozoa pemakan
commit to user
24
B. Kerangka Pemikiran
Ternak ruminansia menghasilkan gas metana (CH4) sebagai bentuk dari
proses metabolisme dalam tubuhnya. Gas ini dianggap sebagai salah satu bentuk
hilangnya energi dari ternak.
Gas metana merupakan salah satu penyebab efek rumah kaca dan
pemanasan global yang sangat tinggi. Hal ini merupakan ancaman bagi kelestarian lingkungan, karena memiliki dampak yang sangat buruk dalam
berbagai segi kehidupan
Eliminasi gas metana di ternak dapat melalui proses defaunasi protozoa
dengan saponin, hal ini dilakukan karena sebagian mikrobia metanogen di dalam
rumen hidup bersimbiosis dengan protozoa.
Dalam daun tanaman waru (Hibiscus tiliaceus L.) diketahui mengandung senyawa saponin yang cukup, sehingga hal ini dapat digunakan sebagai agen
commit to user
25
Secara bagan/skematis dapat digambarkan dengan bagan di bawah ini :
Gambar 3. Bagan/skema Kerangka Pemikiran
C. Hipotesis
Daun Hibiscus tiliaceus L. dapat mempengaruhi karakteristik fermentasi rumen dan menurunkan populasi protozoa rumen secara in vitro
Peternakan sapi penting
tetapi
Peternakan sapi hasilkan gas Metana (CH4)
Metanogen bersimbiosis dengan
Protozoa Rumen
Gas Metana (CH4) di sapi dihasilkan oleh metanogen
Hibiscus tiliaceus L.
Saponin Gas Metana
(CH4)
Pemanasan Global
Efek rumah kaca Bahan Kering
Defaunasi Protozoa
commit to user
26BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus
2010. Tempat penelitian adalah di Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium
Kimia Analisis, dan Laboratorium Pakan Unit Pelaksana Teknis Balai
Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia – Yogyakarta (UPT. BPPTK LIPI Yogyakarta), Desa Gading, Kec.
Playen, Kab. Gunungkidul, D.I. Yogyakarta. Analisa VFA dilakukan di Pusat
Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Analisa proksimat
komponen bahan dilakukan di Lab. Chem-mix Pratama, Yogyakarta.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : hemositometer,
mikroskop, mikropipet, pipet tetes, alat tulis, spatula, gelas arloji, tabung reaksi,
gelas ukur, corong, hitter, blender, timbangan analitik, syiringe 100 ml, klem,
spektrofotometer, saringan, kain, termos, dispenser, sarung tangan, kalkulator,
thermometer, pH meter, jam arloji, oven, water bath, sentrifus,dan freezer.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: cairan rumen sapi,
larutan buffer, aquades, saponin, etanol 70 %, konsentrat, rumput kolonjono
(Pennisetum purpureum) dan daun waru (Hibiscus tiliaceus L.), kertas Whatman no.42, gas CO2 , larutan asam metafosforat 25%, formalin, NaCl, monensin
commit to user
27
C. Cara Kerja / Prosedur Penelitian
1. Preparasi Sampel Pennisetum purpureum dan Hibiscus tiliaceus L.
Sampel rumput kolonjono (Pennisetum purpureum) dipotong dari Kebun Koleksi Hijauan, BPPTK LIPI Yogyakarta pada umur + 60 hari setelah
penanaman, kemudian dicacah dengan ukuran 3–5 cm. Sampel daun Hibiscus tiliaceus L. dikoleksi dari beberapa pohon Hibiscus tiliaceus L. yang tumbuh di Kec. Playen, Kab. Gunungkidul, D.I. Yogyakarta yang sebelumnya telah
diidentifikasi sebagai Hibiscus tiliaceus L. Sampel daun Hibiscus tiliaceus L. dipisahkan dari batangnya, kemudian dicacah dengan ukuran 3–5 cm juga,
kemudian bersama-sama dengan sampel rumput kolonjono dikeringkan dalam
oven 55 – 60º C selama 72 jam. Setelah sampel kering dan beratnya konstan,
selanjutnya digiling menggunakan blender kemudian disaring dengan saringan 1
mm. Kemudian, dilakukan analisa proksimat komponen bahan dan kadar saponin.
Sampel selanjutnya dipergunakan untuk percobaan in vitro.
2. Analisis Proksimat Bahan
Analisa proksimat komposisi kimia bahan mencakup kadar air, kadar abu,
kadar protein, lemak, serat kasar, dan karbohidrat dianalisakan di Lab. Chem-mix
Pratama, Yogyakarta.
3. Analisis Kandungan Saponin pada Daun Hibiscus tiliaceus L.
a. Tahap Ekstraksi Daun
Simplisia daun waru digerus dengan mortar hingga menjadi serbuk,
kemudian 0,1 gram serbuk yang telah halus diekstraksi dengan 10 mL etanol 70%
commit to user
28
saring , filtrat didinginkan selanjutnya diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 425 nm dengan larutan pembanding saponin (Sigma) (Stahl, 1985)
b.Tahap pembuatan Kurva Standar
Dibuat larutan standar saponin (Sigma) dengan 4 variasi konsentrasi yaitu
20 mg, 40 mg, 80 mg, 100 mg saponin yang masing –masing dilarutkan dalam 10
mL etanol 70%. Kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometer UV-vis uv fis Dynamica RB-10 pada panjang gelombang 425
nm (Stahl, 1985), sehingga diperoleh kurva larutan standar saponin.
c. Tahap Penghitungan kadar Saponin
Hasil ekstraksi daun dihitung kadarnya dengan menggunakan
spektrofotometer UV-vis berdasarkan kurva larutan standar (Sigma). Kemudian
kadar yang diperoleh dikonversi ke dalam bentuk mg/gr berat kering daun dengan
rumus :
S = kadar saponin sampel x volume pengenceran
Berat sampel daun (Hary, 1998)
4. Preparasi Cairan Rumen dari Ternak Donor
Cairan rumen diproses dari donor 2 ekor sapi betina Peranakan Ongole
milik UPT. BPPTK LIPI Yogyakarta yang difistula bagian rumennya dengan
rata-rata bobot badan 337 ± 52 kg. Ternak diberi pakan pada jam 08.00 dan 15.00
WIB setiap hari dengan pakan basal yang terdiri atas rumput kolonjono (P. purpureum) dan konsentrat (70 : 30) sesuai dengan kebutuhan hidup pokok. Cairan rumennya diambil menggunakan aspirator dan dimasukkan dalam termos
agar suhunya konstan. Cairan rumen disaring dengan kain blacu 2 lapis untuk
menghilangkan partikel pengotor, kemudian digunakan sebagai donor cairan
commit to user
29
5. Desain Perlakuan
Percobaan ini disusun dengan desain eksperimen model rancangan acak
lengkap yang terdiri atas 1 kontrol, 5 perlakuan dan tiap perlakuan dilakukan
perulangan 3 kali, sebagai berikut :
Kontrol :P.purpureum(200 mg)
Perlakuan I :P.purpureum (200 mg) + daun Hibiscus tiliaceus (5% BK) Perlakuan II :P. purpureum (200 mg) + daun Hibiscus tiliaceus (10% BK) Perlakuan III :P.purpureum (200 mg) + daun Hibiscus tiliaceus (15% BK) Perlakuan IV :P.purpureum (200 mg) + daun Hibiscus tiliaceus (20%BK) Perlakuan V :P.purpureum (200 mg) + monensin (0,2% BK)
Keterangan : BK adalah berdasarkan berat kering P.purpureum 200 mg.
Dalam percoban ini digunakan rumput kolonjono (P. purpureum). sebagai substrat pokok. Kontrol negatif P. purpureum tanpa penambahan bahan, kontrol positif (Perlakuan V) dengan penambahan monensin 0,2%. Monensin digunakan
karena penggunaan zat ini telah dapat mengurangi produksi gas dan memanipulasi
fermentasi rumen.
6. Fermentasi secara In Vitro
Untuk fermentasi secara invitro menggunakan metode Menke & Steingass (1988). Metode ini dimulai dengan penimbangan substrat sebanyak yang telah
ditentukan sesuai dengan perlakuan. Substrat dimasukkan dalam syringe
berukuran 100 ml (Model Fortuna, Häberle Labortechnik, Germany). Disiapkan
larutan bufer yang terdiri dari main element solution, trace element solution,
commit to user
30
sebagai berikut: Main Element Solution terdiri dari Disodium Hidrogen Phosphat, Potassium dihidrogen Phosphat, Magnesium sulphat 7H2O dan Aquades. Trace Element Solution terdiri dari Calcium chloride, Manganese chloride, Cobalt chloride dan Aquades. Buffer terdiri dari Amonium Hidrogen Carbonat, Sodium Hidrogen Carbonat dan Aquades. Resazurin Solution terdiri dari Resazurin dan Aquades.Reduction Solution terdiri dari NaOH 1N, Na2S.7H2O dan Aquades.
Tiga puluh mililiter campuran larutan buffer dan cairan rumen (2 : 1)
diinjeksikan ke dalam setiap syringeyang telah berisi substrat sampel didalamnya melalui selang silikon dengan dispenser yang telah diatur volumenya. Sebelum
dimasukkan ke dalam syringe, piston terlebih dahulu dilumuri dengan vaselin. Hal ini dilakukan agar gas tidak bocor keluar. Gelembung gas yang terdapat di dalam
syringedikeluarkan, lalu selang silikon ditutup dengan klem, posisi piston dibaca dan dicatat pada jam ke nol (V0). Proses inkubasi kemudian dilakukan pada suhu
39oC dalam water bath incubator.
Produksi gas yang dihasilkan diamati pada selang waktu inkubasi 3, 6, 9,
12, 24 dan 48 jam. Jika posisi piston di atas 60 ml, nilai ini dicatat lalu klem
dibuka dan piston dikembalikan pada posisi 30 ml, kemudian jumlah gas
sebelumnya dicatat. Pembacaan dilakukan dengan cepat agar tidak terjadi
commit to user
31
7. Pengukuran Produksi Gas, VFA, Konsentrasi N-NH3, dan pH serta
Penghitungan Jumlah Protozoa
Produksi gas dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
(V48– V0 – Gb0)
B
Keterangan :
PG = produksi gas
V48 =volume gas (ml) 48 jam
V0 = volume gas (ml) awal inkubasi
Gb0 = produksi gas rata-rata blanko pada inkubasi 48 jam
B = berat sampel uji dalam mg bahan kering pada suhu 39 0C.
BK = bahan kering dalam standar 200 mg
Setelah inkubasi 48 jam, 10 ml sub sampel cairan rumen diambil dari
masing-masing tabung dan diukur pH-nya menggunakan pH meter digital (Hanna
Hi 8520), untuk diketahui pH setelah proses fermentasi.
Sebanyak 0,4 ml sub sampel cairan rumen ditambahkan 2 ml larutan asam
metafosforat 25%, kemudian disentrifugasi pada 9000 g selama 10 menit
kemudian diambil supernatannya dan dimasukkan ke dalam freezer –20°C
sampai dengan analisis volatile fatty acids (VFA) yang meliputi asam asetat, asam propionat dan asam butirat menggunakan kromatografi gas. Nilai konsentrasi
asam asetat (A), asam propionat (P) dan asam butirat (B) digunakan untuk
menghitung Nisbah A/P dan NGR dengan Rumus : Nisbah A/P = A/P
NGR = (A+2B+V) / (P+V)
(Orskov, 1975)
commit to user
32
Penghitungan Nisbah A/P dan NGR disini digunakan untuk
menggambarkan produksi gas metana. Nisbah A/P rendah menyebabkan NGR
juga rendah. NGR adalah perbandingan antara asam lemak terbang yang bersifat
non-glukogenik dan glukogenik. Nilai NGR berhubungan erat dengan produksi
gas metana. NGR dan metana mempunyai korelasi positif, yang berarti semakin
rendah nilai NGR semakin rendah pula produksi metana.
Sebanyak 2 ml sub sampel dipreparasi (disentrifugasi pada 15000 g selama
15 menit) dan dianalisis konsentrasi NH3 menggunakan metode Chaney dan
Marbach (1962).
Untuk keperluan penghitungan protozoa, 1 ml sub sampel cairan rumen
lainnya ditambahkan 0,8 ml larutan formaldehid salina yang terdiri atas 37% (v/v)
formalin dan 0,9% (w/v) NaCl dengan perbandingan 1 : 9 (Ogimoto dan Imai,
1981), kemudian ditambahkan metylen green sebagai pewarna protozoa.
Selanjutnya populasi protozoa dihitung menggunakan hemositometer di bawah
mikroskop.
D. Analisis Data
commit to user
33BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Komposisi Kimia Bahan Penelitian
[image:49.612.135.503.213.475.2]Komposisi kimia dari daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) dan rumput kolonjono (Pennisetum purpureum) yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Daun Waru (Hibiscus tiliaceus L.) dan Rumput Kolonjono (Pennisetum purpureum)
P. purpureum H. tiliaceus L. Abu (% BK) 15,90 10,79
Protein (%BK) 11,50 17,08
Lemak (%BK) 3,20 3,45
Serat kasar (% BK) 29,30 22,77
Karbohidrat (% BK) 40,10 45,91
Saponin (mg/gr BK) 7,55 8,93
Total tanin (%BK) 8,01 12,90
Kandungan protein kasar (PK) dari Pennisetum purpureum dan Hibiscus tiliaceus L. lebih tinggi dari konsentrasi minimum PK (7%) yang dibutuhkan aktivitas mikroba (Crowder dan Chheda, 1982). Kandungan protein yang cukup
tinggi ini baik untuk kebutuhan protein ternak. Kandungan serat kasar daun waru
lebih rendah dari rumput kolonjono, hal ini sesuai untuk mengurangi produksi gas
metana. Berdasarkan teori, gas metana akan lebih besar dihasilkan jika kandungan
serat kasar juga lebih besar. Kandungan karbohidrat daun waru yang tinggi
commit to user
34
waru yang digunakan dalam penelitian ini 8,93 mg/g BK, masih lebih rendah dari
kandungan saponin Acacia mangium Willd 16,7 mg/g BK yang digunakan dalam penelitian Santoso dan Hariadi (2007).
B. Pembahasan Umum
[image:50.612.128.514.200.645.2]Pengaruh suplementasi daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) terhadap karakteristik fermentasi dan populasi protozoa rumen secara in vitro disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Protozoa dan Karakteristik Fermentasi Cairan Rumen dengan Suplementasi Daun Waru (Hibiscus tiliaceus L.), Monensin serta Kontrol.
Variabel Suplementasi Hibiscus tiliaceus L. monensin
0% 5% 10% 15% 20%
pH 7.06a 7.07a 7.05a 7.03a 7.11a 7.15a
Konsentrasi NH3
(mg/100ml) 35.63 a
36.72a 37.96a 38.13a 34.88a 33.99a
Jumlah Protozoa
(x 104/ml) 16,25 d
14,50c 9,25b 9,00b 6,75a 7,25a
% Penurunan
terhadap kontrol 0,00 10,77 43,08 44,62 58,46 55,38
VFA Total
(mMol) 137.39
ab
152.93b 165.81b 127.15ab 129.54ab 106.67a Produksi gas
(ml/200mg ) 47.17 e
44.2d 41.97c 40.43c 38.47b 18.48a
% Penurunan
terhadap kontrol 0,00 6,11 11,02 14,29 18,44 60,82
Keterangan : Angka yang diikuti superskrip a,b,c,d yang berbeda ke arah kolom, menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
commit to user
35
Dari berbagai data yang terurai tersebut diatas dapat dibuat dalam bentuk
[image:51.612.134.508.155.607.2]diagram seperti di bawah ini .
Gambar 4 . Diagram Jumlah Protozoa, pH, Konsentrasi NH3, VFA Total, dan Produksi Gas Cairan Rumen dengan Suplementasi Daun Waru (Hibiscus tiliaceusL.), Monensin serta Kontrol.
Jum
lah P
ro
toz
o
a
x
10
4 se
l/m
l
P
roduk
si G
a
s (m
l)
V
T
A
T
otal
(mMol
)
Konsentrasi NH
3
(mg/100 ml)
commit to user
36
Secara umum terlihat bahwa suplementasi daun waru mampu menurunkan
populasi protozoa maupun produksi gas. Penurunan jumlah protozoa dan
penuruan produksi gas pada level 5% paling kecil. Penurunan jumlah protozoa
dan penuruan produksi gas pada level 10% dan 15% tidak menunjukkan
perbedaan nyata.
Pada level suplementasi daun waru 20% menghasilkan penurunan jumlah
protozoa yang sangat tinggi (58,46%) dan penurunan produksi gas sebesar
18,44%, tetapi pada level ini nampaknya mikroorganisme rumen terganggu. Hal
ini dapat dilihat dari produksi VFA yang lebih rendah jika dibandingkan pada
suplementasi 5% maupun 10%, lebih rendahnya produksi VFA ini mengurangi
pasokan energi untuk ternak.
Pada semua perlakuan tidak memberikan perbedaan nyata pada
konsentrasi NH3 maupun nilai pH. Dapat dikatakan bahwa suplementasi daun
waru yang optimum dan telah dapat memperbaiki karakteristik fermentasi dan
menurunkan populasi protozoa rumen adalah pada level 10%. Untuk lebih
jelasnya dari masing-masing variabel diuraikan dengan pembahasan di bawah ini.
Derajat Kesamaan (pH) Cairan Rumen
Tinggi rendahnya pH cairan rumen merupakan salah satu faktor penentu
baik tidaknya kondisi rumen untuk berlangsungnya proses fermentasi. Putra dan
Puger (1995) menyatakan bahwa aktivitas mikroba rumen membutuhkan kondisi
pH tertentu yang berhubungan dengan kondisi lingkungan rumen yang sedang
commit to user
37
6,0-7,0, pada kisaran pH ini, pertumbuhan mikroba rumen maksimal dan aktivitas
fisiologisnya meningkat, terutama yang berhubungan dengan fermentasi rumen.
Van Soest (1994) menyatakan aktivitas bakteri selulolitik terhambat
apabila pH cairan rumen dibawah 6,2 dan aktivitas akan optimal di dalam rumen
pada pH 6,7 + 0,5 point. Losodu et al (1979) menyatakan bahwa pH cairan rumen pada sapi yang mendapat pakan urea dengan larut 7 % rata-rata mencapai 7,5.
Nilai pH cairan rumen kontrol dalam penelitian ini adalah 7,06. Derajat
kesamaan (pH) cairan rumen yang mendapat perlakuan suplementasi daun waru
5%, 10%, 15%, 20% dan monensin 0,2% masing-masing adalah 7,07; 7,05; 7,03,
7,11 dan 7,15. Dibandingkan dengan nilai pH kontrol 7,06, terlihat adanya
kenaikan nilai pH pada perlakuan monensin 0,2% dan suplementasi daun waru
20%, masing-masing 7,11 dan 7,15. Sedangkan, nilai pH cairan rumen pada
perlakuan suplementasi daun waru 5%,10% dan 15% masing-masing 7,07; 7,05;
dan 7,03, relatif tidak berbeda dengan kontrol 7,06. Hasil analisis menyatakan
bahwa pH cairan rumen suplementasi daun waru maupun monensin tidak berbeda
dengan kontrol (P>0,05).
Kisaran pH antara 7,03-7,15 yang didapat dalam penelitian ini, masih
berada pada kisaran pH normal sebesar 5,5 – 7,2 sesuai Owens dan Goestsch
(1988) dan mengimplikasikan berlangsungnya aktivitas bakteri selulolitik yang
optimal (6,7 + 0,5 point) sesuai Van Soest (1994). Sehingga dapat disimpulkan
bahwa penambahan daun waru sampai pada level tertinggi penelitian ini (20%)
tidak berpengaruh terhadap kondisi pH cairan rumen yang normal, sehingga
commit to user
38
Derajat keasaman (pH) antara 7,03-7,15 yang didapat dalam penelitian ini
juga mengindikasikan terjadinya proses deaminasi yang baik. Menurut
Widyobroto et al. (1994) deaminasi berlangsung pada pH 6 sampai 7, sedang pada pH lebih dari 7,2 atau kurang dari 4,2 deaminasi tidak berlangsung. Deaminasi
menghasilkan NH3, CO2, dan VFA, sedang pada tahap dekarboksilasi
menghasilkan amine dan CO2 akibat aktivitas dekarboksilase. pH rendah akan
menyebabkan kondisi rumen menjadi asam dan menurunkan populasi mikroba
sehingga proses proteolisis akan dihambat dan sebagai akibatnya degradasi
pakan akan turun (Madigan et al., 2003).
Konsentrasi Amonia (NH3)
Dalam penelitian ini dilakukan