• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sastra Anak pada Cerita Burung Unta dalam Kitab Al-Qira'atu Ar Rasyidati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Sastra Anak pada Cerita Burung Unta dalam Kitab Al-Qira'atu Ar Rasyidati"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian sebelumnya yang sejalan dengan proposal ini adalah yang pernah dikaji oleh Devi Fajarwati, NIM. 070704005 dengan judul “Analisis Nilai Sastra

dalam Cerita anak نئ ل بئ ل /Al- żi’bu al-khāinu/ karya Iman Taha”. Skripsi tersebut membahas tentang pesan dan nilai sastra bagi pendidikan anak-anak dengan menggunakan teori Nurgiyantoro dalam bukunya Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak tahun 2005. Hasil dari penilitian ini adalah Cerita binatang ini mempunyai dua bentuk pesan yaitu pesan religius dan kritik sosial. Adapun tokoh utama dalam cerita ini adalah serigala dan rubah. Adapun nilai sastra yang terdapat pada cerita ini adalah dalam bentuk: Eksplorasi dan penemuan yaitu mengenai bentuk penyelesaian cerita, Perkembangan bahasa yaitu mengenai bentuk dan struktur kalimat dalam cerita tersebut, Pengembangan nilai keindahan yaitu mengenai jenis kata yang mempunyai bunyi yang indah karena mempunyai baris akhir yang indah, Wawasan multikultural yaitu mengenai asal negara dan kebudayaan masyarakat tersebut, Penanaman kebiasaan membaca yaitu mengenai cara memotivasi anak untuk rajin membaca dan memilih bacaan yang sesuai dengana anak-anak.

Judul “Nilai Ekstrinsik Dalam Cerita Anak لي ل ل/qunburatu wa

(2)

teori nilai ekstrinsik dari buku Dasar Dasar Psikosastra karya Henry Guntur Tarigan tahun 1995 dengan pendekatan teori nilai sastra dari buku Sastra Anak

karya Nurgiyantoro. Hasil dari penilitian ini adalah nilai sastra yang terdapat dalam cerita tersebut adalah dalam bentuk: Perkembangan Bahasa sebanyak 81, Perkembangan Kognitif sebanyak 4, Perkembangan Kepribadian sebanyak 5, Perkembangan Sosial sebanyak 10 dan Nilai Ekstrinsik yang Dominan adalah Perkembangan Bahasa.

Judul “Analisis Nilai Intrinsik dalam Fabel "م يغل ل " /qirdu wa

al-gailamu/ dalam kitab ‘Kalilah wa Dimnah’ Karya Ibnu Al-Muqaffa oleh Rimta Andalusia Br Bangun, NIM. 080704006. Skripsi ini membahas tentang nilai instrinsik dan pesan-pesan moral dengan menggunakan teori Nurgiyantoro dalam bukunya Teori Pengkajian Fiksi tahun 1994. Hasil penelitian ini bahwa cerita binatang tersebut merupakan cerita dengan tema nilai persahabatan, alurnya adalah alur maju, latar temaptnya 11 yaitu di air, di pohon, di dalam air, di pantai, sarang dan hutan, latar waktu sebanyak 4 waktu yaitu pada suatu hari jangka waktu lama, selamanya dan waktu yang diinginkan, gaya bahasa ceritanya adalah

al-adab pada al-mitsal, nilai moralnya adalah 2 yaitu “Bagi orang yang berakal

sebaiknya ia tidak melalaikan apa yang terlintas di dalam benak keluarganya. “Sesungguhnya semua itu menunjuk apa-apa yang di dalam hati”. “Barang siapa yang berhasil mendapatkan keinginannya namun tidak pandai menjaganya pasti akan tertimpa malapetaka”, nilai religiusnya adalah 2 yaitu “sesungguhnya ada yang mengatakan, setiap orang memiliki harta sebaiknya membelanjakan hartanya hanya tiga tujuan, untuk disedekahkan, untuk memenuhi segala keperluan dan untuk menafkahi istrinya”.

(3)

2.1 Pengertian Cerita

(Foster dalam Nurgiyantoro, 1995:91) mengartikan cerita sebagai sebuah

narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun berdasarkan waktu. Cerita sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam sebuah karya fiksi (Kenny dalam Nurgiyantoro, 1995:91).

Fabel (cerita binatang) termasuk kedalam prosa, dan prosa dalam istilah kesusastraan sering disebut pula dengan istilah fiksi, teks naratif atau wacana naratif. Istilah ini berarati bahwa fiksi berarti cerita kahyal atau cerita rekaan. Fiksi dapat diartikan cerita rekaan namun penyebutan karya fiksi lebih ditujukan terhadap karya yang berbentuk prosa yaitu novel dan cerita pendek (Nurgiyantoro, 1995:8).

Cerpen, sesuai dengan namanya, adalah cerita yang pendek. Akan tetapi, berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak ada satu kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli.

(Jassin dalam Nurgiyantoro, 1995:10) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam, suatu hal yang kiranya tak mungkin dalam dilakukan untuk sebuah novel.

(4)

sekaligus, secara bersamaan. Sebagai konsekuensinya, bagian-bagian awal dari sebuah cerpen harus lebih padat ketimbang novel (Stanton, 2007:75).

2.2 Pengertian Kontribusi

Kontribusi berasal dari bahasa Inggris yaitu contribute, contribution,

maknanya adalah keikutsertaan, keterlibatan, menilbatkan diri maupun sumbangan. Berarti dalam hal ini kontribusi dapat berupa materi dan tindakan. Sastra anak diyakini memiliki kontribusi yang besar bagi perkembangan kepribadian anak dalam proses menuju ke kedewasaan sebagai manusia yang mempunyai jati diri yang jelas.

Kontribusi sastra anak bagi anak yang sedang dalam taraf pertumbuhan dan perkembangan yang melibatkan berbagai aspek kedirian yang secara garis besar dikelompokkan ke dalam nilai personal dan nilai pendidikan (Nurgiyantoro, 2005:37-47).

1. Nilai Personal

A. Perkembangan Emosional

(5)

kepribadian anak tidak akan berlangsung secara wajar tanpa cinta dan kasih sayang oleh orang di sekelilingnya.

Pada perkembangan selanjutnya setelah anak dapat memahami cerita, baik diperoleh lewat pendengaran, misalnya diceritai atau dibacakan, maupun lewat kegiatan membaca sendiri, anak akan memperoleh demonstrasi kehidupan sebagaimana yang diperagakan oleh para tokoh cerita. Tokoh-tokoh cerita akan bertingkah laku baik secara verbal maupun nonverbal yang menunjukkan sikap emosionalnya, seperti ekspresi gembira, sedih, takut, terharu, simpati dan empati, benci dan dendam, memaafkan, dan lain-lain. Lewat bacaan cerita itu anak akan belajar bagaimana mengelola emosinya agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.

B.Perkembangan Intelektual

Lewat cerita, anak tidak hanya memperoleh “kehebatan” kisah yang menyenangkan dan memuaskan hatinya. Cerita menampilkan urutan kejadian yang mengandung logika pengurutan, logika pengaluran. Logika pengaluran memperlihatkan hubungan antarperistiwa yang diperani oleh tokoh baik protagonist maupun antagonis. Hubungan yang dibangun dalam pengembangan alur pada umumnya berupa sebab akibat. Artinya, suatu peristiwa terjadi akibat atau mengakibatkan peristiwa (-peristiwa) lainnya. Untuk dapat memahami cerita itu, anak harus mengikuti logika hubungan tersebut.

(6)

C.Perkembangan Imajinasi

Berhadapan dengan sastra, baik itu yang berwujud suara maupun tulisan, sebenarnya kita lebih berurusan dengan masalah imajinasi, sesuatu yang abstrak yang berada di dalam jiwa, sedang secara fisik sebenarnya tidak terlalu berarti. Sastra yang notabene adalah karya yang mengandalkan kekuatan imajinasi menawarkan petualangan imajinasi yang luar biasa kepada anak. Dengan membaca bacaan cerita sastra imajinasi anak dibawa berpetualang ke berbagai penjuru dunia melewati batas waktu dan tempat, tetapi tetap berada di tempat, dibawa untuk mengikuti kisah cerita yang dapat menarik seluruh kedirian anak. Ketika anak berhadapan dengan cerita seperti Bawang Merah Bawang Putih, Cinderella, atau Harry Potter, rasa-rasanya seperti diajak berpetualang meninggalkan pijakannya di bumi. Imajinasi anak ikut berkembang sejalan dengan larutnya seluruh kedirian pada cerita yang sedang dinikmati. Ia akan segera melihat dunia dengan sudut pandang baru. Membaca sastra akan membawa anak keluar dari kesadaran ruang dan waktu, keluar dari kesadaran diri sendiri, dan stelah selesai anak akan kembali ke kediriannya dengan pengalaman baru, sedikit perubahan akibat pengalaman yang diperolehnya. Orang mustahil dapat mengembangkan seluruh kediriannya tanpa peran serta imajinasi. Daya imajinasi berkorelasi secara signifikan dengan daya cipta. Berkat campur tangan imajinasi pula karya-karya besar, bahkan teori besar, bermunculan dihadapan kita.

Jadi, imajinasi akan memancing tumbuh dan berkembangnya daya kreativitas. Imajinasi dalam pengertian ini jangan sebagai khayalan atau daya khayal saja, tetapi lebih menunjuk pada makna creative thinking, pemikiran yang kreatif, jadi ia bersifat produktif.

D.Perkembangan Rasa Sosial

(7)

bersama, menghadapi kesulitan bersama, membantu mengatasi kesulitan orang lain, dan lain-lain yang berkisah tentang kehidupan bersama dalam masyarakat. Kesadaran untuk hidup bermasyarakat atau masuk dalam masyarakat kelompok pada diri anak semakin besar sejalan dengan perkembangan usia. Bahkan, pengaruh kelompok dan atau kehidupan bermasyarakat tersebut akan besar melebihi pengaruh lingkungan di keluarga, misalnya dalam penerimaan konsep baik dan buruk. Anak pada usia 10-12 tahun mempunyai citarasa keadilan dan peduli kepada orang lain yang lebih tinggi. Bacaan cerita sastra yang “mengeksploitasi” kehidupan bersosial secara baik dan mampu menjadikannya sebagai contoh bertingkah laku sosial kepada anak sebagaimana aturan sosial yang berlaku.

E.Pertumbuhan Rasa Etis dan Religius

Selain menunjang pertumbuhan dan perkembangan unsur emosional, intelektual, imajinasi, dan rasa sosial, bacaan cerita sastra juga berperan dalam pengembangan aspek personalitas yang lain, yaitu rasa etis dan religius. Nilai-nilai sosial, moral, etika, dan religius perlu ditanamkan kepada anak sejak dini secara efektif lewat sikap dan perilaku keseharian. Hal itu tidak saja dapat dicontohkan oleh dewasa di sekeliling anak, melainkan juga lewat bacaan cerita sastra yang juga menampilkan sikap dan perilaku tokoh.

Contoh sikap dan perilaku tokoh cerita yang diberikan kepada anak, lewat cerita ibu (pencerita) atau membaca sendiri jika sudah bisa, dapat dipandang sebagai salah satu cara penanaman nilai-nilai tersebut kepada anak. Pada umumnya anak akan mengidentifikasi diri dengan tokoh-tokoh yang baik itu, dan itu berarti tumbuhnya lesadaran untuk meneladani sikap dan perilaku tokoh tersebut.

2. Nilai Pendidikan

(8)

Ketika membaca cerita, pada hakikatnya anak dibawa untuk melakukan sebuah eksplorasi, sebuah penjelajahan, sebuah petualangan imajinatif, ke sebuah dunia relatif yang belum dikenalnya yang menawarkan berbagai kehidupan. Dalam penjelajahan secara imajinatif anak dibawa dan dikritiskan untuk mampu melakukan penemuan-penemuan dan atau prediksi bagaimana solusi yang ditawarkan.

Berhadapan dengan cerita, anak dapat dibiasakan mengkritisinya, misalnya ikut menebak sesuatu seperti dalam cerita detektif dan misterius, menemukan bukti-bukti, alasan bertindak, menemukan jalan keluar kesulitan yang dihadapi tokoh, dan lain-lain termasuk memprediksikan bagaimana penyelesaian kisahnya. Berpikir secara logis dan kritis yang demikian dapat dibiasakan dan atau dilatihkan lewat eksplorasi dan penemuan-penemuan dalam bacaan cerita sastra.

B.Perkembangan Bahasa

Sastra adalah sebuah karya seni yang bermediakan bahasa, maka aspek bahasa memegang peran penting di dalamnya. Sastra tidak lain adalah suatu bentuk permainan bahasa, dan bahkan dalam genre puisi unsur permainan tersebut cukup menonjol, misalnya yang berwujud permainan rima dan irama. Prasyarat untuk membaca atau mendengarkan dan memahami sastra adalah penguasaan bahasa yang bersangkutan. Bahasa yang dipergunakan untuk memahami dunia yang ditawarkan, tetapi sekaligus sastra juga berfungsi meningkatkan kemampuan berbahasa anak, baik menyimak, membaca, berbicara, maupun menulis.

(9)

C.Pengembangan Nilai Keindahan

Ketika anak berusia 1-2 tahun dininabobokkan dengan nyanyian , dengan kata-kata yang bersajak dan berirama indah (nursery rhymes, nusery songs), anak sebenarnya belum dapat memahami makna dibalik kata-kata itu, tetapi sudah dapat merasakan keindahannya. Hal itu dapat dilihat dari reaksi anak, misalnya yang berupa ekspresi wajah yang ceria dan tertawa-tawa, atau gerakkan anggota tubuh yang lain. Jika anak sudah dapat berdiri-berjalan, ekspresi tubuh itu dapat berupa gerakan lenggak-lenggok badan, kepala, tangan dan kaki.

Sebagai salah satu bentuk karya seni, sastra memliki aspek keindahan. Keindahan dalam genre fiksi antara lain dicapai lewat penyajian cerita yang menarik, bersuspense tinggi, dan diungkap lewat bahasa yang tepat. Artinya, aspek bahasa itu mampu mendukung hidupnya cerita, mendukung ekspresi sikap dan perilaku tokoh. Cerita menjadi indah karena isi kisahnya yang mengharukan dan dikemas dalam bahasa yang menyenangkan. Tertanamnya aspek keindahan dalam diri anak bersama dengan berbagai aspek yang lain akan membawa dampak positif bagi perkembangan personalitasnya.

D.Penanaman Wawasan Multikultural

Berhadapan dengan bacaan sastra, anak dapat bertemu dengan wawasan budaya berbagai kelompok sosial dari berbagai belahan dunia. Lewat sastra dapat dijumpai berbagai sikap dan perilaku hidup yang mencerminkan budaya suatu masyarakat yang berbeda dengan masyarakat yang lain.

Tingkah laku dan sikap seseorang itu sendiri dapat dibentuk dan diajarkan lewat pendidikan, lewat budaya saling memahami dan menghargai, atau secara umum lewat pembelajaran pemahaman antarbudaya (cross cultural understanding) (Nurgiyantoro, 2003:8), dan salah satunya lewat bacaan sastra.

(10)

selain diri sendiri, harus ditanamkan dalam diri anak sejak dini. Untuk maksud itu, kita juga perlu memilih buku bacaan cerita yang mendemonstrasikan adanya perbedaan budaya tersebut lewat sikap dan perilaku tokoh.

E.Penanaman Kebiasaan Membaca

Peran bacaan sastra selain ikut membentuk kepribadian anak, juga menumbuhkan dan mengembangkan rasa ingin dan mau membaca, yang akhirnya membaca tidak terbatas hanya pada bacaan sastra. Sastra dapat memotivasi anak untuk mau membaca.

Pentingnya budaya membaca telah ditegaskan Taufik Ismail (2003). Dalam tulisannya yang berjudul “Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca Tak Pincang Mengarang” Ẓ2003:9ẓ, ia mengatakan peradapan bangsa ditentukan oleh penanaman literasi buku di sekolah yang dimulai lewat buku sastra. Jadi, sastra diyakini mampu memotivasi anak untuk suka membaca, mampu mengembalikan anak kepada buku. Tentu saja hal itu harus diusahakan dan difasilitasi dengan baik. Misalnya, dengan penyediaan buku bacaan yang baik dan menarik di sekolah.

2.3 Pengertian Nilai Sastra Anak

Purwadarminta dalam Departemen Pendidikan (1998:245), mengartikan nilai sebagai kadar isi yang memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang penting dan berguna bagi kemanusiaan. Bertolak dari pengertian itu, maka dalam suatu karya sastra akan terkandung banyak nilai, yaitu nilai sastra yang estetis, juga terdapat nilai-nilai budaya, sosial, keagamaan dan nilai-nilai-nilai-nilai moral.

(11)

sekaligus mengandung nilai yang besar andilnya bagi perkembangan kejiwaan anak, misalnya nilai kasih sayang dan keindahan. (Nurgiyantoro, 2005:35-36).

2.4 Penilaian Sastra Anak

Huck dkk. (dalam Nurgiyantoro, 2005:66) menyatakan bahwa penilaian sastra anak haruslah dipahami dalam kaitannya dengan tujuan pemilihan bacaan bagi anak sesuai dengan perkembangan kediriannya. Setelah selesai membaca sebuah bacaan cerita, adakalanya anak menceritakan isi cerita dan menunjukkan sikap atau reaksinya terhadap cerita itu. Atau, jika anak tidak memberikan tanggapan, kitalah yang memancing atau meminta tanggapan atau komentar anak tentang cerita yang baru saja dibacanya. Komentar itu misalnya berupa kata-kata: menyenangkan, menyedihkan, kasihan tokoh cerita yang malang itu, tokoh jahat itu akhirnya ketahuan juga, untunglah ada orang lain yang dapat membantu, dan lain-lain. Hal itu menunjukkan bahwa tanggapan anak lebih bersifat emosional.

Penilaian buku bacaan sastra anak yang dikemukakan dibawah ditujukan untuk bacaan fiksi. Fiksi tampaknya merupakan genre sastra anak yang paling banyak dibaca anak yang didalamnya dapat mencakup sastra modern dan tradisional, dengan tokoh manusia atau binatang.

1. Alur cerita

Alur merupakan aspek pertama utama yang harus dipertimbangkan karena aspek inilah yang pertama-tama menentukan menarik tidaknya cerita dan memiliki kekuatan untuk mengajak anak secara total untuk mengikuti cerita (Saxby (dalam Nurgiyantoro, 2005:68).

(12)

Permasalahan yang diangkat ke dalam cerita anak dapat berkaitan dengan masalah konflik antara manusia dengan alam atau lingkungan, manusia dengan masyarakat, manusia dengan diri sendiri, dan manusia dengan Tuhan. Secara lebih konkret permasalahan itu misalnya, adalah konflik anak dengan teman dan lingkungannya sperti persahabtan, solidaritas kawan, percekcokan, penghianatan, dan lain-lain; konflik anak dengan diri sendiri seperti rasa tarik- menarik antara rajin dan malas, jujur dan pembohong, mau membantu orang lain atau tak peduli, rasa takut, dan lain-lain; konflik yang bersifat religius seperti rajin atau malas beribadah, ganjaran yang rajin dan hukuman bagi yang tidak mau beribadah, siksaan bagi orang yang tidak percaya kepada Tuhan, dan lain-lain.

2. Penokohan

Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro, 1995:165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang sesorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Istilah penokohan dapat menunjuk pada tokoh dan perwatakan tokoh. Tokoh adalah pelaku cerita lewat berbagai aksi yang dilakukan dan peristiwa serta aksi tokoh lain yang ditimpakan kepadanya. Dalam bacaan cerita anak tokoh dapat berupa manusia, binatang, atau makhluk dan objek yang lain seperti makhluk halus (peri, bantu) dan tetumbuhan. Tokoh-tokoh selain manusia itu biasanya dapat bertingkah laku dan berpikir sebagaimana halnya manusia. Mereka adalah personifikasi karakter manusia. Dalam pengembangan cerita, tokoh-tokoh tersebut dapat berdiri sendiri, dalam arti tidak melibatkan tokoh manusia, misalnya tokoh binatang dalam fable. Dalam cerita yang lain tokoh manusia dan binatang dapat berjalan bersama, artinya sama-sama menjadi tokoh cerita. Misalnya, dalam cerita “Bajing yang Cerdik” dikisahkan seorang tokoh manusia yang dapat berinteraksi dengan binatang dan tumbuhan. Tokoh binatang dan tumbuhan dalam cerita itu dapat berbicara dan berpikir layaknya manusia.

(13)

Menurut Stanton dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 1995:67), tema (theme)

adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu, maka masalahnya adalah: makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema itu.

Moral dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral (Kenny dalam Nurgiyantoro, 1995:321).

Secara umum dapat dikatakan bahwa tema selalu berkaitan dengan masalah-masalah kehidupan, dan itu bersifat universal. Tema akan selalu berkaitan dengan persoalan kemanusiaan seperti cinta, cinta kepada orang tua, anak, sesama, kekasih, atau bahkan binatang dan lingkungan, percaya diri, harga diri, rasa takut, maut, dan lain-lain. Tema mana atau apa yang dipilih oleh pengarang, bersifat subjektif, dan itu sering ada kaitannya dengan moral yang ingin disampaikan.

4. Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995:216). Menurut Stanton (1965) mengelompokan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.

Sebuah cerita memerlukan kejelasan kejadian mengenai dimana terjadi dan kapan waktu kejadiannya untuk memudahkan pengimajian dan pemahamannya. Hal itu berarti bahwa sebuah cerita memerlukan latar, latar tempat kejadian, latar waktu, dan latar sosoal budaya masyarakat tempat kisah terjadi. Jika latar yang dijadikan pijakan sudah dikenal pembaca, terutama latar tempat, hal itu akan semakin melibatkan anak ke dalam cerita karena merasa seoalah-olah dirinya merupakan bagian dari cerita.

(14)

Stile berkaitan dengan bahasa yang dipergunakana dalam sastra. Jadi, ia termasuk dalam kategori bentuk, yaitu bentuk atau sarana yang dipergunakan unsur mengekspresikan gagasan. Aspek stile menentukan mudah atau sulitnya cerita dipahami, menarik atau tidaknya cerita yang dikisahkan, dan karenanya juga mempengaruhi efek keindahan yang ingin dicapai. Dalam sastra anak stile menjadi lebih penting justru karena anak belum mampu memahami bahsa yang kompleks, sementara mereka memerlukan bacaan cerita sebagai salah satu sarana memperoleh hiburan.

Stile (style) itu sendiri dapat dipahami sebagai wujud penggunaan bahasa dalam tuturan, atau bagaimana cara sesorang mengungkapkan sesuatu yang akan diekspresikan. Jadi, stile mencakup keseluruhan aspek formal kebahasaan, bahkan juga lafal untuk bahasa lisan dan ejaan untuk bahasa tulis. Aspek formal kebahasaan itu berupa aspek bunyi, kosakata, gramatikal (morfologi dan sintaksis), retorika, kohesi dan konteks. Wujud stile akan berbeda tergantung siapa pengarang, siapa yang dituju sebagai pembaca, apa tujuan menulis, apa isi tulisan, dan lain-lain yang sering disebut sebagai faktor pragmatik. Berdasarkan faktor pragmatik tersebut dapat dimengerti bahwa stile untuk bacaan cerita anak tentunya berbeda dengan stile buku pelajaran yang juga untuk anak, juga berbeda dengan stile untuk cerita dewasa walau sama-sama bergenre fiksi.

6. Ilustrasi

Ilustrasi adalah gambar-gambar yang menyertai cerita dalam buku sastra anak. Hampir semua sastra anak dari berbagai genre pada umumnya disertai gambar-gambar ilustrasi yang menarik. Ilustrasi dalam sastra anak dapat berupa gambar, lukisan, foto. Reproduksi gambar, dan lain-lain yang kehadirannya sengaja dimaksudkan untuk memperkuat dan mengkonkretkan apa yang dikisahkan secara verbal.

(15)

pada (hampir) tiap halaman buku. Selain itu, gambar-gambar itu menampilkan tokoh anak, lucu, dan secara jelas melukiskan sesuatu.

7. Format

Format bacaan memegang peran penting untuk memotivasi anak untuk membaca sebuah buku bacaan cerita walau format itu sendiri bukan bagian dari cerita. Yang termasuk bagian format buku adalah bentuk, ukuran, desain sampul, desain halaman, ilustrasi, ukuran huruf, jumlah halaman, kualitas keras dan penjilidan.

Ketepatan sebuah format tidak hanya ditentukan oleh salah satu atau beberapa aspek saja, melainkan perpaduan dari keseluruhan aspek format dan bahkan juga dengan isi bacaan cerita. Desain sampul yang terdiri dari gambar dan tulisan harus kelihatan provokatif dan sekaligus haru berkaitan dengan adegan tertentu dalam cerita.

Ukuran huruf juga penting untuk bacaan anak. Ia akan turut mempengaruhi motivasi membaca. Bacaan untuk anak-anak kelas rendah atau bahkan prasekolah haruslah ditulis dengan huruf-huruf yang relatif besar.

Sastra anak mencakup pada aspek :

1. Bahasa yang digunakan dalam sastra anak bahasa yang mudah dipahami oleh anak yaitu bahasa yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan pemahaman anak.

2. Pesan yang disampaikan berupa nilai-nilai moral dan pendidikan yang sesuai pada tingkat perkembangan dan pemahaman anak

(16)

pengalaman yang dikisahkan atau yang diperlukan untuk memahami bukan pada hakikat kemanusiaan kehidupan yang dikisahkan (Nurgiyantoro, 2005:13).

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 SINOPSIS

Cerita ini bercerita tentang seorang anak yang bernama Hasan yang ingin mengetahui pengetahuan tentang burung yang diberikan oleh sang Ayah

Suatu hari pada bulan Januari, Hasan dan Ayah pergi ke tempat yang penuh keindahan dan kehijauan, mereka menaiki kereta api untuk menuju ke tempat tersebut, kemudian mereka sampai ke tanah lapang, mereka berjalan dan terus berjalan hingga sampailah mereka ke satu pintu masuk. Pintu masuk itu berisikan burung unta yang sangat banyak. Melihat burung unta yang banyak itu, perasaan Hasan sangat gembira dan sang Ayah bercerita tentang burung unta tersebut, bahwa bulu dari burung unta bisa dijual di pasar pasar dunia International dengan nilai yang tinggi untuk penggunanaan pada perhiasaan. Kemudian Hasan bertanya, Ya Ayah, ”Ini adalah jenis burung yang besar, apakah dia bisa terbang”?

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk mufradnya ialah /al- ‘ākhiru / yaitu ism mazid (ism yang bertambah dari tiga huruf dasar) huruf kedua pada ism tersebut berupa alif tambahan. Adapun proses

karya Adinda AS yang berupa unsur-unsur struktural yang meliputi fakta-fakta cerita (karakter, alur, latar), tema, dan sarana-sarana sastra (judul, sudut pandang, gaya

Tulisan yang berjudul “Sindrom Stockholm Tokoh Cerita dalam Roman Anak Perawan di Sarang Penyamun: Analisis Psikologi Sastra” ini diselesaikan sebagai salah satu

dari satu pengunaan latar waktu. Penggunaan latar waktu yang paling banyak terdapat pada cerita MBKE, yaitu sebelas bentuk latar waktu. Sedangkan yang paling sedikit terdapat

Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu bentuk-bentuk kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal cerita yang diberikan ada 5 yaitu menentukan penyelesaian semua

sumber data adalah perannya dalam pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan sastra Jawa modern. Adapun alasan pemilihan cerkak DPBLL sebagai objek penelitian adalah

Adapun persamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Reftika Apronita dengan penelitian yang akan peneliti sendiri lakukan yaitu, sama-sama ingin meneliti terkait perkembangan bahasa

Adapun Perencanaan pengembangan cerita rakyat Melayu Kabupaten Mempawah dalam bentuk e-book sebagai upaya meningkatkan literasi digital pada mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra