VALIDASI METODE SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL UNTUK PENETAPAN KADAR SEFADROKSIL MENGGUNAKAN PEREAKSI
ASETILASETON DAN FORMALIN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Bernadeta Mirmayanti NIM : 038114005
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2007
PERSETUJUAN PEMBIMBING
VALIDASI METODE SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL UNTUK PENETAPAN KADAR SEFADROKSIL MENGGUNAKAN PEREAKSI
ASETILASETON DAN FORMALIN
Yang diajukan oleh : Bernadeta Mirmayanti
NIM : 038114005
Telah disetujui oleh
Pembimbing
Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt. Tanggal :
HALAMAN PENGESAHAN
Pengesahan Skripsi Berjudul
VALIDASI METODE SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL UNTUK PENETAPAN KADAR SEFADROKSIL MENGGUNAKAN PEREAKSI
ASETILASETON DAN FORMALIN
Oleh :
Bernadeta Mirmayanti NIM : 038114005
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Pada tanggal:
26 Januari 2007
Mengetahui Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Dekan
(Rita Suhadi, M.Si., Apt.) Pembimbing :
Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt. ... Panitia Penguji :
1. Drs. Sulasmono, Apt. ... 2. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt. ... 3. Dra. A. Nora Iska Harnita, M.Si., Apt. ...
HALAMAN PERSEMBAHAN
Di sebuah kejatuhan ... kutemukan semangat untuk bangkit
Di sebuah kejujuran ... kutemukan serangkai kepercayaan
Di sebuah kemunafikan ... kutemukan segelintir kedewasaan
Di sebuah kekecewaan ... kutemukan sebayang maaf Di sebuah senyuman ... kutemukan suatu ketulusan Dan di sebuah perjalanan tuk terus melangkah ... kutemukan semua warna kehidupan
JESUS BLESS YOU
Kupersembahkan untuk ……..
“Pencerita Yang Agung”
“Sang Dewi”
Bapak, ibu, dan semua kakakku tercinta
My “cloud”
Sahabatku yang memberiku semangat dan senyuman
Almamaterku
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Bapa di Surga atas limpahan berkat, rahmat dan terang Roh Kudus-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Validasi Penetapan Kadar Sefadroksil secara Spektrofotometri Visibel dengan Pereaksi Asetilaseton dan Formalin.
Selama pelaksanan penelitian hingga penyusunan skripsi, penulis memperoleh banyak bantuan, dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tukusnya kepada:
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S.,Apt. selaku dosen pembimbing dan dosen penguji yang telah memberikan bantuan berupa saran, kritik, serta dorongan sehingga penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar. 3. Drs. Sulasmono, Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan
saran yang bermanfaat bagi skripsi ini.
4. Dra. A. Nora Iska Harnita, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang bermanfaat bagi skripsi ini.
5. Pak Bambang dan Bu Kis selaku laboran Laboratorium Analisis Obat dan Makanan, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian.
6. Semua laboran Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk kerjasamanya selama saya praktikum.
7. Bapak, Ibu, mba Rosi, mba Yani, mba Daru, mba Agnes, dan mba Lisa atas cinta, doa, dan dukungan. Tanpa semua itu aku tidak akan jadi seperti sekarang.
8. Teman-teman “seperjuanganku “ Arnie dan Marga, kita sudah melakukan hal yang luar biasa bukan ? Terimakasih sudah mau berbagi suka dan duka selama di laboratorium.
9. My “cloud”, untuk hitam dan putih yang sudah kau hadiahkan. Semua itu membuatku menjadi lebih tegar dan dewasa.
10.Kakakku “Bayu”, Mas Ardhyan, Torinus, mba Purba, mba Wanti, mba Lilik, mba Jeki, Arie, Prita, Koko, Ratih “B”, untuk telinga yang mendengarkanku dan bahu yang menopangku.
11.Anak- anak kost “Banana Home” Phyta, Ria, Tika, mba Sisil, Mumun, Beti, Deta, Wulan, Mekar, mba Adet, Ratih ”cempluk”, Didi untuk kegilaan, keceriaan, dan semangat yang kalian berikan.
12.Temen-temen KKNku Vino, Niké, Yessy, Vigor, Denok, Sari, Oncy, kak Mifta, dan mba Vita untuk sekelumit kisah indah bersama kalian.
13.Temen-temen kelas A, terutama kelompok A, Mitha, Nanda untuk canda, kebersaman, dan dukungannya selama ini.
14.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan pada skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya.
Yogyakarta,
Penulis
Bernadeta Mirmayanti
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta,
Penulis
Bernadeta Mirmayanti
INTISARI
Sefadroksil merupakan antibiotika golongan sefalosporin generasi pertama. Sefadroksil memiliki kemiripan struktur dengan sefaleksin yang juga merupakan antibiotika golongan sefalosporin. Oleh karena itu, penetapan kadar sefaleksin menggunakan metode spektrofotometri visebel dengan pereaksi asetilaseton dan formalin diharapkan dapat juga digunakan untuk penetapan kadar sefadroksil.
Penetapan kadar sefadroksil ini didasarkan pada terbentukknya warna sebagai hasil reaksi antara gugus amin primer sefadroksil dengan hasil kondensasi 2 mol asetilaseton dan 1 mol formalin yang intensitasnya kemudian diukur menggunakan spektrofotomeer visibel. Penelitian ini merupakan jenis penelitian noneksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Pada penelitian ini, dilakukan optimasi kondisi reaksi, analisis validitas metode, dan aplikasi metode untuk penetapan kadar sefadroksil pada sediaan kapsul.
Beradasarkan hasil optimasi kondisi reaksi diperoleh bahwa operating time berada pada menit ke-70, volume pereaksi optimum pereaksi adalah 6 ml, pH optimum pereaksi adalah 4, dan panjang gelombang serapan maksimum berada pada 401 nm. Untuk hasil analisis validitas dan aplikasi metode, didapatkan data sebagai berikut: nilai koefisien korelasi (r) adalah 0,9999, perolehan kembali sebesar 99,45-100,22%, dan rata-rata kadar sefadroksil dalam kapsul sebesar 490,637 mg/kapsul dengan CV= 1,37%. Dari analisis spesifisitas, diperoleh bahwa pengukuran serapan senyawa hasil reaksi tidak terganggu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode ini memiliki akurasi, presisi, spesifisitas, dan linearitas yang baik serta dapat diaplikasikan untuk penetapan kadar sefadroksil dalam sediaan kapsul.
Kata kunci : sefadroksil, asetilaseon, formalin, spektrofotometri visibel, validitas metode
ABSTRACT
Cefadroxil is first generation cephalosporin antibiotic. Cefadroxil is similar in structure to chepalexin wich is also one of cephalosporin antibiotic. For that reason, it is hoped that measurement of chepalexin with spectrophotometric visible using acetylacetone and formalin can also be used to cefadroxil measurement.
The measurement of cefadroxil in this research based on reaction of primary amino group from cefadroxil with two mol acetylacetone and one mol formalin which forms the color which its intensity is measured by using visible spectrophotometer. This research was non experimental study with descriptive research project. In this research, the researcher determined optimal reaction condition, validation method analised, and application method for measurement cefadroxil in pharmaceutical product.
The research result shows that the reaction begin to stable from 70th minutes, the optimal volume of the reactor is 7 ml, the optimal pH of reactor is 4, and maximum wavelength of reaction is 401 nm. For validation method analised was acquired r value is 0,9999, the recovery is 99,45-100,22%, and mean of cefadroxil value in capsules was obtained 490,637 mg/capsule with the coefficient variant is 1,37%. From specificity analised was obtained that determination of result reaction is don’t disturb. In conclusion, the use of spectrophotometric visible using acetylacetone and formalin to cefadroxil measurement has good accuracy, precision, specificity, and linearity to cefadroxil measurement in capsules.
Key words : cefadroxil, acetylacetone, formalin, spectrophotometric visible, validation.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PRAKATA... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii
INTISARI... ix
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Perumusan masalah ... 3
2. Keaslian penelitian ... 4
3. Manfaat penelitian ... 5
B. Tujuan Penelitian ... 5
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 6
A. Sefadroksil ... 6
B. Asetilaseton ... 9
C. Formaldehid, Formalin, dan Paraformaldehid ... 10
D. Spektrofotometri UV-Vis ... 11
1. Definisi spektrofotometri UV-Vis ... 11
2. Konsep dasar radiasi elektromagnetik ... 11
3. Tipe transisi elektron ... 12
4. Interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik ... 13
5. Analisis kuantitatif spektrofotometri UV-Vis... 15
6. Penyimpangan hukum Beer ... 17
7. Kesalahan fotometrik ... 18
8. Penggunaan spektrofotometri UV-Vis dalam metode analisis ... 19
E. Parameter Validitas dan Kategori Metode Analisis ... 20
1. Parameter validitas metode analisis ... 20
2. Kategori metode analisis ... 23
F. Landasan Teori ... 24
G. Hipotesis ... 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 26
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 26
B. Definisi Operasional ... 26
C. Alat-alat Penelitian ... 26
D. Bahan-bahan Penelitian ... 27
E. Tata Cara Penelitian ... 27
1. Pembuatan larutan uji ... 27
2. Optimasi penetapan kadar sefadroksil ... 28
3. Pembuatan kurva baku ... 30
4. Aplikasi metode untuk penetapan kadar sefadroksil pada kapsul X ... 31
5. Validasi metode untuk penetapan kadar sefadroksil... 32
F. Analisis Hasil ... 33
1. Akurasi... 33
2. Presisi... 34
3. Spesifisitas ... 34
4. Linearitas ... 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35
A. Optimasi Metode ... 35
1. Penentuan operating time ... 35
2. Penentuan pH pereaksi optimum ... 42
3. Penentuan volume pereaksi optimum ... 44
4. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum ... 45
5. Penentuan kurva baku ... 47
6. Penetapan kadar sefadroksil dalam sedían kapsul X ... 50
B. Analisis Hasil ... 52
1. Akurasi ... 52
2. Presisi ... 54
3. Spesifisitas ... 55
4. Linearitas ... 56
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 58
A. Kesimpulan ... 58
B. Saran ... 58
DAFTAR PUSTAKA ... 59 LAMPIRAN ... 62 BIOGRAFI ... 84
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I. Kriteria penerimaan akurasi pada konsentrasi analit yang berbeda ... 21
Tabel II. Kriteria penenrimaan presisi pada konsentrasi analit yang berbeda .... 22
Tabel III. Parameter analisis yang diperlukan untuk kesahihan pengukuran... 24
Tabel IV. Data penentuan operating time reaksi antara sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin... 40
Tabel V. Data penentuan pH optimum larutan pereaksi ... 43
Tabel VI. Data penentuan volume optimum larutan pereaksi... 44
Tabel VII. Data kurva baku dengan satuan konsentrasi sefadroksil mg/ml ... 48
Tabel VIII. Data kurva baku dengan satuan konsentrasi sefadroksil 5 mg/ml ... 49
Tabel IX. Data penetapan kadar sefadroksil dalam sediaan kapsul X ... 51
Tabel X. Data penentuan % perolehan kembali (recovery) baku ... 53
Tabel XI. Data penentuan % perolehan kembali (recovery) sampel... 53
Tabel XII. Data penentuan % CV... 54
Tabel XIII. Data penentuan linearitas ... 57
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur sefaleksin ... 2
Gambar 2. Struktur sefadroksil ... 2
Gambar 3. Reaksi antara sefaleksin dengan hasil kondensasi asetilaseton dan formalin ... 8
Gambar 4. Struktur asetilaseton ... 9
Gambar 5. Struktur formaldehid, formalin, dan paraformaldehid ... 10
Gambar 6. Diagram tingkat energi elektronik ... 13
Gambar 7. Contoh gugus kromofor ... 14
Gambar 8. Reaksi umum antara sefadroksil dengan hasil kondensasi asetilaseton dan formalin ... 36
Gambar 9. Mekanisme reaksi antara sefadroksil dengan hasil kondensasi asetilaseton dan formalin ... 39
Gambar 10. Senyawa usulan hasil reaksi antara sefadroksil dengan asil kondensasi asetilaseton dan formalin... 39
Gambar 11. Spektrum rentang waktu pengukuran serapan senyawa hasil reaksi ... 41
Gambar 12. Spektrum hasil scanning panjang gelombang serapan maksimum senyawa hasil reaksi ... 46
Gambar 13. Hubungan antara konsentrasi sefadroksil dengan serapan senyawa hasil reaksi... 49
Gambar 14. Spektrum hasil scanning baku sefadroksil dan scanning senyawa hasil reaksi ... 55
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data Penimbangan Baku dan Sampel Sefadroksil ... 62
Lampiran 2. Spektrum Rentang Waktu Pengukuran Serapan Setelah Operating Time... 63
Lampiran 3. Spektrum Hasil Scanning Larutan Baku Sefadroksil Konsentrasi 0,006 M ... 65
Lampiran 4. Spektrum Hasil Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum Senyawa Hasil Reaksi... 66
Lampiran 5. Cara Perhitungan Konsentrasi Kurva Baku Sefadroksil ... 68
Lampiran 6. Cara Perhitungan Konsentrasi Seri Kurva Baku Sefadroksil... 69
Lampiran 7. Data Kurva Baku... 70
Lampiran 8. Hubungan Antara Konsentrasi Sefadroksil dengan Serapan Senyawa Hasil Reaksi ... 71
Lampiran 9. Data Penimbangan Sefadroksil dalam Sediaan Kapsul X ... 73
Lampiran 10. Cara Perhitungan Kadar Sampel Sefadroksil dalam Sediaan Kapsul X ... 74
Lampiran 11. Perhitungan % Perolehan Kembali (Recovery) Baku ... 76
Lampiran 12. Perhitungan % Perolehan Kembali (Recovery) Sampel... 78
Lampiran 13. Perhitungan % Coefficient of Variation (CV)... 80
Lampiran 14. Perhitungan Nilai Koefisien Variasi Fungsi (Vx0)... 81
Lampiran 15. Laporan Analisa Baku Sefadroksil (PT. Hexpharm Jaya) ... 83
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh invasi mikroorganisme hingga
sekarang ini masih banyak dijumpai di Indonesia. Oleh karena itu, sarana pengobatan
untuk penyakit infeksi terus dikembangkan. Salah satu obat yang umum digunakan
untuk pengobatan infeksi adalah antibiotik. Antibiotik merupakan suatu produk
metabolik (zat kimia) yang dihasilkan oleh mikroorganisme tertentu, yang dalam
jumlah amat kecil bersifat merusak atau menghambat mikroorganisme lain (Pelczar
and Chan, 1988).
Menurut hasil penelitian Kusuma (2000) didapat bahwa antibiotika yang
paling banyak diresepkan untuk penyakit infeksi dibeberapa apotek wilayah
Kotamadya Yogyakarta adalah antibiotik golongan β-laktam. Menurut Chambers
(2004), kelompok antibiotik ini dibagi menjadi 4 golongan yaitu golongan: penisilin,
sefalosporin, karbapenem, dan monobaktam. Mekanisme kerja dari antibiotika
golongan β-laktam ini adalah dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri.
Sefadroksil merupakan salah satu antibiotik turunan sefalosporin generasi
pertama (Hardman et al., 2001). Seperti halnya obat-obat lain, produsen obat
sefadroksil harus melakukan pengawasan untuk menjamin keamanan dan keefektifan
produk tersebut. Hal tersebut dapat diperoleh apabila Cara Pembuatan Obat yang
Baik (CPOB) dan kontrol mutu obat telah terpenuhi. Cara pengawasan mutu obat
yang dapat dilakukan untuk antibiotik adalah dengan analisis kualitatif dan analisis
kuantitatif. Analisis kualitatif antibiotik dapat dilakukan melalui uji mikrobiologi
untuk melihat potensi antibiotik tersebut terhadap bakteri, sedangkan untuk analisis
kuantitatif dapat dilakukan dengan penetapan kadar untuk melihat jumlah zat aktif
yang terdapat pada sediaan.
Pemilihan metode penetapan kadar yang akan digunakan untuk analisis
kuantitatif adalah sangat penting, karena akan mempengaruhi validitas dari hasil
yang diperoleh. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan metode penetapan
kadar yang sudah ada untuk mendapatkan suatu metode alternatif dengan validitas
yang baik.
Menurut Anonim (2005) analisis kualitatif untuk sefadroksil dapat
dilakukan dengan Infrared Absorption dan kromatografi lapis tipis (KLT),
sedangkan untuk analisis kuantitatifnya dapat dilakukan dengan menggunakan
metode spektrofotometri ultraviolet (UV) dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCKT)
Patel et al. (1992) telah meneliti penetapan kadar sefaleksin (gambar 1)
secara spektrofotometri visibel berdasarkan reaksi antara gugus amin primernya
dengan hasil kondensasi 2 mol asetilaseton dan 1 mol formalin. Sefadroksil (gambar
2) yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai struktur yang mirip dengan
sefaleksin, yaitu sama-sama memiliki gugus amin primer dan gugus β-laktam..
C
gugusβ laktam gugusβ laktam
Gugus β-laktam merupakan gugus yang bertanggung jawab terhadap potensi
antimikroba dari sefaleksin dan sefadroksil, sedangkan gugus amin primer
merupakan gugus yang akan bereaksi dengan asetilaseton dan formalin. Dengan
adanya gugus amin primer pada sefadroksil, diharapkan bahwa sefadroksil dapat
ditetapkan kadarnya dengan menggunakan metode spektrofotometri visibel
menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin
Untuk melihat apakah metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini
memenuhi parameter kesahihan atau tidak, perlu dilakukan analisis validitas metode
analisis. Menurut Anonim (1995), penelitian yang menggunakan metode analisis
untuk mengukur secara kuantitatif sejumlah besar komponen dari serbuk obat atau
senyawa aktif termasuk dalam kategori pertama. Dengan demikian, parameter
kesahihan metode analisis yang diamati adalah akurasi, presisi, spesifisitas, dan
linearitas.
1. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan suatu
permasalahan sebagai berikut :
a. apakah metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar sefadroksil
menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin memenuhi parameter
validitas yang meliputi akurasi, presisi, spesifisitas, dan linearitas ?
b. apakah metode spektrofotometri visibel dengan pereaksi asetilaseton dan
formalin dapat digunakan untuk menetapkan kadar sefadroksil dalam sediaan
2. Keaslian penelitian
Sejauh penelusuran pustaka tentang sefadroksil, penelitian tentang validasi
metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar sefadroksil menggunakan
pereaksi asetilaseton dan formalin belum pernah dilakukan dan dipublikasikan.
Penelitian tentang sefadroksil yang pernah dilakukan dan dipublikasikan adalah
penetapan kadar sefadroksil dalam kapsul menggunakan metode spektrofotometri
UV dengan pereaksi etil asetoasetat dan asetaldehid (Rofie, 2005), penetapan
kadar sefadroksil dalam kapsul menggunakan metode spektrofotometri visibel
dengan pereaksi etil asetoasetat dan formalin (Rianti, 2005), penetapan kadar
sefalosporin dalam produk farmasi menggunakan metode spektrofotometri
visibel dengan pereaksi kromotrop 2B dan kromotrop 2R (Issa and Amin, 2006),
dan penetapan kadar sefadroksil secara sequential injection dengan menggunakan
spektrofotometer detektor (Machit et al., 2006).
Penelitian tentang metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi
asetilaseton dan formalin yang sudah pernah dilakukan dan dipublikasikan adalah
penggunaan metode spektrofotometri visibel dengan pereaksi asetilaseton dan
formalin untuk penetapan kadar sefaleksin dalam produk sediaan (Patel et al.,
1992), validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar
amoksisilin menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin (Sunarto, 2007),
serta validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar ampisilin
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi di dunia kefarmasian,
khususnya di bidang industri tentang metode spektofotometri visibel untuk
penetapan kadar sefadroksil yang memiliki akurasi, presisi, spesifisitas, dan
linearitas yang baik.
b. Manfaat metodologis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah mengenai
metode alternatif untuk penetapan kadar sefadroksil yaitu metode
spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. mengetahui akurasi, presisi, spesifisitas, dan linearitas dari metode
spektofotometri visibel untuk penetapan kadar sefadroksil menggunakan pereaksi
asetilaseton dan formalin.
2. mengetahui hasil aplikasi metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi
asetilaseton dan formalin untuk penetapan kadar sefadroksil pada sediaan kapsul
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Sefadroksil
Sefadroksil adalah antibiotika generasi pertama kelompok sefalosporin (Hardman et al., 2001), merupakan serbuk putih atau hampir putih, larut dalam air, sangat sedikit larut dalam alkohol, dan praktis tidak larut dalam eter. Nama kimianya adalah (6R, 7R)-7-[(R)-2-Amino-2-(p-hydroxyphenyl) acetamido]-3-methyl-8-ozo-5-thia-1-azabicyclo [4.2.0] oct-2-ene-2-carboxyclic acid monohydrate (Anonim, 2005).
Sebagai antibiotik, sefadroksil memiliki aktivitas terhadap bakteri Gram positif seperti Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Stertococcus pneumoniae serta bakteri Gram negatif seperti Klebsiella pneumoniae, Escherichia
coli, dan Proteus mirabilis (McEvoy, 2005). Sefadroksil digunakan untuk pengobatan
infeksi pada saluran pernafasan, saluran kencing, kulit, alat kelamin, dan sistem syaraf pusat. Efek samping dari penggunaan sefadroksil adalah mual, muntah, diare, kulit kemerahan, epigastria distress, genital pruritus, pseudo membranous colitis, dan genital moniliasis (Makchit et al., 2006). Mekanisme kerja sefadroksil sebagai anti
bakteri adalah menghambat pembentukan dinding sel bakteri dengan cara berikatan dengan penicillin binding proteins (PBPs) sehingga akan menghambat fase transpeptidase akhir dari sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri (Lacy et al., 2003).
Sefadroksil diadministrasikan secara oral, dan adanya makanan tidak mempengaruhi proses absorpsi dari sefadroksil. Oleh karena itu, sefadroksil dapat
diadministrasikan bersama dengan makanan. Dosis pemberian sefadroksil untuk
dewasa adalah 1 sampai 2 gram sehari, dan untuk anak-anak 30 mg/kg sehari. Bentuk
sedian sefadroksil yang biasanya beredar di pasaran adalah kapsul, tablet, dan
suspensi kering (McEvoy, 2005).
Kapsul sefadroksil mengandung tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari
120% dari jumlah sefadroksil (C16H17N3O5S) yang tertera dalam label (Anonim,
2005).
Menurut Anonim (2005) analisis kualitatif sefadroksil adalah dengan
Infrared Absorption serta KLT menggunakan lempeng yang dilapisi silika gel dan
chamber yang berisi campuran n-hexane dan tetradecane (95:5), sedangkan untuk
analisis kuantitatifnya dapat dilakukan dengan metode spektrofotometri UV dan
KCKT menggunakan kolom oktadesilsilan yang terikat pada silika berpori dengan
ukuran 4 mm x 250 mm, fase gerak bufer kalium fosfat-kalium hidroksida dan
asetonitril (960:40), flow rate 1,5 ml/menit, dan detektor 230 nm.
Issa and Amin. (2006), meneliti tentang penetapan kadar sefadroksil,
sefaleksin, dan sefradin dengan menggunakan metode spektrofotometri visibel.
Metode ini didasarkan pada pembentukan kompleks pasangan ion antara senyawa
yang dianalisis dengan kromotop 2B atau kromotrop 2R. Kompleks pasangan ion
yang tersebut akan menghasilkan warna yang kemudian diukur serapannya pada
panjang gelombang 542 nm untuk kromotrop 2B dan 564 nm untuk kromotrop 2R.
Patel et al. (1992) meneliti tentang penetapan kadar sefaleksin
menggunakan metode spektrofotometri visibel dengan pereaksi asetilaseton dan
dengan 2 mol asetilaseton dan 1 mol formalin. Reaksi secara singkat dapat dilihat
pada gambar 3 berikut.
H3COCCH2
Gambar 3. Reaksi antara gugus amin primer sefaleksin dengan 2 mol asetilaseton dan 1 mol formalin (Patel et al., 1992)
Hasil dari reaksi antara sefaleksin dengan asetilaseton dan formalin tersebut
adalah larutan berwarna kuning yang memiliki gugus kromofor, yang kemudian
diukur serapannya pada panjang gelombang serapan maksimum 400 nm. Pada
penelitian tersebut terlebih dahulu dilakukan optimasi kondisi reaksi yang meliputi
konsentrasi pereaksi, pH pereaksi, waktu reaksi, suhu reaksi, dan pelarut. Selain itu,
ditentukan juga selektivitas reaksi dengan cara mengamati pengaruh penambahan
berbagai macam eksipien ke dalam sefaleksin terhadap nilai % perolehan kembali.
Dengan adanya berbagai macam optimasi kondisi percobaan didapatkan
bahwa metode spektrofotometri visibel dengan pereaksi asetilaseton dan formalin
untuk penetapan kadar sefaleksin baik dalam bentuk murni (senyawa baku) maupun
dalam berbagai macam sediaan obat. Metode penetapan kadar sefaleksin inilah yang
kemudian dijadikan dasar untuk penetapan kadar sefadroksil dalam penelitian ini.
Dari beberapa metode analisis yang pernah dilakukan, Makchit et al. (2006)
mengemukakan bahwa metode yang paling banyak dilakukan adalah metode
spektrofotometri, karena metode ini sederhana, cepat, tidak bersifat merusak, dan
tidak terlalu mahal. Makchit et al. (2006) melakukan penelitian tentang penetapan
kadar sefadroksil secara sequential injection dengan menggunakan spektrofotometer
detektor. Metode tersebut didasarkan pada pembentukan warna merah sebagai hasil
reaksi antara sefadroksil dengan 4-aminoantipirin dalam suasana basa dengan adanya
kalium heksasianoferat (III) yang kemudian diukur serapannya pada panjang
gelombang 510 nm.
B. Asetilaseton
Asetilaseton atau CH3.CO.CH2.CO.CH3 merupakan cairan jernih tidak
berwarna atau berwarna kuning lemah, mudah terbakar dan berbau harum.
Asetilaseton larut dalam air; dapat campur dengan etanol 95% P, kloroform P,
aseton, eter P, dan asam asetat glasial. Asetilaseton memiliki bobot molekul (BM)
100,211 dan mengandung tidak kurang dari 98% C5H8O2 (Anonim, 1995).
H3C
C
C
H2
C
CH3
O O
C. Formaldehid, Formalin, dan Paraformaldehid
Formaldehid merupakan suatu reagensia yang berbentuk gas. Formaldehid
lebih mudah disimpan dalam bentuk larutan atau sebagai suatu polimer padat.
Formaldehid yang disimpan dalam bentuk larutan disebut formalin, sedangkan
formaldehid yang disimpan dalam bentuk polimer padat disebut paraformaldehid
(Fessenden dan Fessenden, 1994).
Dalam penelitian ini, reagensia yang akan digunakan adalah formalin yang
mengandung 38% formaldehid dan 7-15% metanol dalam air (Fessenden dan
Fessenden, 1994). Formalin merupakan cairan jernih, tidak berwarna atau hampir
tidak berwarna, dan memiliki bau menusuk. Jika disimpan di tempat dingin akan
berubah menjadi keruh. Larutan formalin dapat bercampur dengan air dan dengan
etanol 95% P. Sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari
cahaya, pada suhu di atas 20o. Formalin memiliki BM = 30,03 dan mengandung
CH2O tidak kurang dari 34,0% dan tidak lebih dari 38,0% (Anonim, 1979). Formalin
dapat digunakan sebagai reagensia, bahan penghilang bau, dan sebagai bahan
pengawet (Fessenden dan Fessenden, 1994).
Pada gambar 5 berikut dapat dilihat struktur kimia dari formaldehid,
formalin, dan paraformaldehid.
H C H
O
H C H
O
+ H
2O
CH2OCH2OCH2OCH2O
Formaldehid Formalin Paraformaldehid
D. Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel (UV-Vis) 1. Definisi spektrofotometri UV-Vis
Spektrofotometri serapan adalah pengukuran suatu interaksi antara radiasi
elektromagnetik dengan atom atau molekul dari suatu zat kimia. Pengukuran serapan
dapat dilakukan pada daerah ultraviolet (panjang gelombang 190-380 nm) dan pada
daerah cahaya tampak (panjang gelombang 380-780 nm) (Anonim, 1995).
Secara umum, spektrofotometri UV-Vis dibagi menjadi dua metode, yaitu
direct spectrophotometry UV-Vis dan indirect spectrophotometry UV-Vis. Pada
direct spectrophotometry, serapan didasarkan pada ikatan rangkap terkonjugasi yang
terdapat pada senyawa tersebut. Pada indirect spectrophotometry, pengukuran
serapan dapat dilakukan setelah senyawa mengalami reaksi kimiawi atau modifikasi
gugus kromofor (Schirmer, 1982).
2. Konsep dasar radiasi elektromagnetik
Panjang gelombang cahaya ultraviolet ataupun sinar tampak yang diserap
suatu senyawa bergantung pada mudahnya terjadi promosi elektron pada senyawa
tersebut. Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk promosi
elektron akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih pendek. Molekul yang
memerlukan energi yang lebih sedikit untuk promosi elektron akan menyerap pada
panjang gelombang yang lebih panjang (Fessenden dan Fessenden, 1994).
Menurut Mulja dan Suharman (1995), kuantitas energi yang diserap oleh
suatu senyawa berbanding terbalik dengan panjang gelombang radiasi. Rumusan
E = h . v = h .
c
λ
= h . c . v... (1)
Keterangan:
E = energi yang diserapan (J)
h = konsatanta Planck sebagai faktor pembanding = 6,63 x 10-27 erg.detik atau 6,63 x 10-34 Joule detik v = frekuensi radiasi (Hz)
c = kecepatan cahaya = 3 x 1010 cm/detik
λ = panjang gelombang (cm)
v = bilangan gelombang (cm-1)
3. Tipe transisi elektron
Serapan molekuler pada daerah UV-Vis tergantung dari struktur elektron
suatu molekul. Penyerapan radiasi di daerah UV-Vis dapat terjadi karena molekul
tersebut mempunyai elektron (baik berpasangan maupun sendiri), yang dapat
dieksitasikan ke tingkat energi yang lebih tinggi (Skoog, 1985).
Ada tiga macam transisi elektron yang dapat terjadi pada suatu molekul,
yaitu:
a. Transisi σ → σ*. Pada transisi tipe ini, suatu elektron di dalam orbital
molekul bonding akan dieksitasikan ke orbital antibonding sehingga molekul berada
dalam keadaan excited state (σ*). Untuk mengeksitasikan elektron yang berada pada
suatu ikatan kovalen tunggal terikat kuat (orbital σ) diperlukan radiasi berenergi
tinggi atau panjang gelombang pendek. Oleh karena itu, serapan maksimum yang
disebabkan oleh transisi ini tidak pernah teramati pada daerah ultraviolet. Dengan
demikian, tidak ada diskusi yang memberikan uraian yang jelas mengenai tipe
b. Transisi n → σ*. Senyawa-senyawa yang jenuh mengandung
atom-atom dengan elektron-elektron tak berpasangan (elektron nonbonding) mempunyai
kemampuan untuk mengadakan transisi n → σ*. Pasangan elektron bebas tersebut
akan dieksitasikan ke tingkat energi yang lebih tinggi karena elektron nonbonding
tidak terikat kuat seperti elektron bonding transisi σ → σ*, sehingga serapannya
terjadi pada panjang gelombang yang lebih besar. Oleh karena itu, transisi ini
memerlukan energi yang lebih kecil daripada transisi σ→σ* (Skoog, 1985).
c. Transisi n → π* dan π → π*. Umunya penggunaan spektroskopi pada
senyawa-senyawa organik didasarkan pada transisi n dan π ke excited state π*.
Energi yang dibutuhkan cukup rendah yaitu pada daerah sekitar 200-700 (Skoog,
1985).
Diagram tingkat energi elektronik dapat dilihat pada gambar 6 berikut:
σ*
Anti bonding
π*
Anti bonding
E
n Non bonding
π Bonding
σ Bonding
Gambar 6. Diagram tingkat energi elektronik (Mulja dan Suharman, 1995)
4. Interaksi molekul dengan radiasi elektomagnetik
Radiasi elektromagnetik dapat berinteraksi dengan molekul dalam berbagai
kepada molekul maka dinamakan serapan (Pecsok et al., 1976). Agar dapat
menyerap radiasi UV-Vis, suatu molekul membutuhkan gugus yang dinamakan
kromofor (Skoog, 1985). Gugus kromofor merupakan gugus dari suatu molekul yang
bertanggung jawab terhadap serapan radiasi UV-Vis. Suatu senyawa yang memiliki
gugus kromofor dinamakan kromogen (Christian, 2003). Pada gambar 7 berikut
dapat dilihat beberapa contoh gugus kromofor dan panjang gelombang serapan
maksimumnya.
Gambar 7. Contoh gugus kromofor (Christian, 2003)
Pada pengukuran serapan dengan menggunakan metode spektrofotometri
UV-Vis dibicarakan juga mengenai gugus auksokrom yang merupakan gugus
fungsional yang memiliki elektron valensi nonbonding yang memberikan intensitas
1976). Auksokrom tidak dapat menyerap radiasi sendiri dan biasanya gugus ini
terikat pada kromofor (Christian, 2003). Adanya gugus auksokrom yang terikat pada
gugus kromofor akan mengakibatkan pergeseran pita serapan ke arah panjang
gelombang yang lebih panjang (pergesaran batokromik) yang seringkali / tidak selalu
disertai adanya peningkatan intensitas (efek hiperkromik) (Mulja dan Suharman,
1995).
5. Analisis kuantitatif spektrofotometri UV-Vis
Besarnya serapan radiasi dari suatu sistem serapan dengan panjang
gelombang monokromatik dapat dijelaskan melalui hukum Lambert (Bouguer) dan
hukum Beer. Menurut hukum Lambert, intensitas cahaya yang ditransmisikan
menurun secara eksponensial sesuai dengan kenaikan tebal zat penyerap. Hukum
Beer menyatakan bahwa intensitas cahaya yang ditransmisikan menurun secara
eksponensial sesuai dengan kenaikan konsentrasi zat penyerap (Fell, 1986).
Kombinasi dari kedua hukum ini menghasilkan hukum Lambert-Beer yang
menyatakan hubungan antara logaritma intensitas sinar yang masuk dan sinar yang
keluar sebagai fungsi tebal dan konsentrasi zat penyerap, dirumuskan sebagai berikut
Log Io/I = A = a.c.b ...(2) Keterangan
Io = intensitas energi yang mencapai cuplikan
I = intensitas pancaran yang dikeluarkan dari cuplikan A = serapan
a = daya serap
c = konsentrasi larutan b = tebal kuvet
Menurut Watson (1999), nilai daya serap (a) dapat dinyatakan sebagai
, sehingga persamaan hukum Lambert-Beer dapat ditulis menjadi:
1% 1cm
A
A =A1%1cm.c.b ...(3)
Keterangan: A = serapan
1% 1cm
A = serapan jenis c = konsentrasi b = tebal kuvet
1% 1cm
A merupakan serapan dari larutan dengan konsentrasi 1% b/v pada kuvet setebal 1
cm.
Menurut Anonim (1995) analisis kualitatif zat tunggal secara
spektrofotometri dilakukan dengan pengukuran nilai serapan pada panjang
gelombang serapan maksimum atau dilakukan pengukuran % transmitan (T) pada
panjang gelombang serapan maksimum. Menurut Pecsok et al. (1976), pengukuran
serapan pada panjang gelombang serapan maksimum akan memberikan sensitivitas
dan akurasi yang baik. Selain itu, didapatkan juga serapan yang relatif konstan dan
memberikan kurva kalibrasi yang linear.
Ada empat cara pelaksanaan analisis kuantitatif zat tunggal menurut Mulja
dan Suharman (1995), yaitu:
a. Membandingkan serapan atau %T. Serapan atau %T zat yang dianalisis
dibandingkan dengan reference standard pada panjang gelombang serapan
maksimum. Persyaratannya adalah pembacaan nilai serapan sampel dan reference
standard tidak jauh berbeda.
Keterangan :
A(s) = serapan larutan sampel C(s) = konsentrasi larutan sampel
A(r.s) = serapan larutan reference standard
C(r.s) = konsentrasi reference standard
b. Kurva baku. Dengan menggunakan kurva baku dari larutan reference
standard dengan pelarut tertentu pada panjang gelombang serapan maksimum,
dibuat grafik sistem koordinat Cartesius dengan serapan sebagai ordinat dan
konsentrasi sebagai absis. Kemudian, nilai serapan sampel dimasukkan ke persamaan
kurva baku untuk mendapatkan konsentrasi sampel.
c. Menghitung nilai serapan larutan sampel. Nilai serapan larutan sampel
( ) pada pelarut dan dibandingkan dengan serapan zat yang dianalisis
tertera pada buku resmi.
maks 1%
1cm .λ
A
d. Menghitung daya serap molar. Perhitungan daya serap molar sama
dengan cara menghitung nilai serapan larutan sampel hanya saja pada perhitungan
daya serap molar lebih tepat karena melibatkan BM.
ε = A11%cm.BM.10−1 ...(5)
Keterangan:
ε = daya serap molar
1% 1cm
A = serapan jenis BM = bobot molekul
6. Penyimpangan hukum Beer
Penyimpangan hukum Beer menurut Willard et al.(1988), penyimpangan
a. Penyimpangan konsentrasi larutan. Hukum Beer hanya berlaku pada
larutan yang encer Apabila larutan yang digunakan terlalu pekat, maka daya serap
akan dipengaruhi oleh nilai indeks bias larutan. Hubungan antara daya serap dan nilai
indeks bias larutan dapat dirumuskan sebagai berikut:
a = asesungguhnya 2 2
) 2
(η +
η
………. (6)
Keterangan: a adalah daya serap dan η adalah indeks bias larutan.
Pada konsentrasi 0,001 M atau kurang, indeks bias larutan relatif konstan tetapi pada
konsentrasi tinggi indeks bias ternyata berubah dan mempengaruhi nilai daya serap.
b. Penyimpangan instrumen. Penyimpangan ini terjadi karena adanya
keterbatasan pada kemampuan filter atau monokromator dalam menghasilkan cahaya
yang benar-benar monokromatik.
c. Penyimpangan kimia. Penyimpangan kimia dari hukum Beer
disebabkan karena adanya perubahan kesetimbangan kimia atau fisis dari zat yang
dianalisis. Perubahan kesetimbangan ini dapat terjadi karena zat yang dianalisis
mengalami disosiasi atau reaksi dengan pelarut, sehingga dihasilkan produk dengan
spektrum serapan yang berbeda.
7. Kesalahan fotometrik
Ketidaktepatan dan ketidaktelitian pembacaan intensitas sinar yang sampai
pada detektor digambarkan sebagai nilai kesalahan fotometrik. Ketepatan fotometrik
berkurang pada nilai serapan rendah maupun pada nilai serapan tinggi. Pada serapan
yang rendah, intensitas sinar yang ditransmisikan baik ada maupun tidak ada sampel
karena ada keterbatasan kepekaan detektor. Pada serapan yang tinggi, intensitas sinar
yang sampai pada detektor sangat rendah sehingga tidak dapat diukur dengan tepat
(Pecsok et al., 1976).
Untuk pembacaan serapan (A) atau transmitan (T) pada daerah terbatas,
kesalahan penentuan kadar hasil analisis dinyatakan sebagai:
ΔT adalah nilai rentang skala transmitan terkecil dari alat yang masih dapat terbaca
pada analisis dengan metode spektrofotometri UV-Vis. Nilai ΔT untuk setiap
spektrofotometer UV-Vis biasanya bervariasi 0,2-1% dan selalu dicantumkan
sebagai spesifikasi instrumen. Dari rumus tersebut di atas dapat diperhitungkan
kesalahan pembacaan A atau T pada analisis dengan metode spektrofotometer
UV-Vis. Pembacaan A (0,2-0,8) atau %T (15-65%) akan memberikan prosentase
kesalahan analisis yang dapat diterima yaitu sebesar 0,5-1% untuk ΔT = 1 (Mulja
dan Suharman, 1995).
8. Penggunaan spektrofotometri UV-Vis dalam metode analisis
Spektrofotometri UV-Vis dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan
kuantitatif suatu senyawa. Menurut Mulja dan Suharman (1995), analisis kualitatif
dengan metode spektrofotometri UV-Vis hanya dipakai untuk data sekunder atau
data pendukung. Pada analisis kualitatif dengan metode spektofotometri UV-Vis
yang dapat ditentukan ada dua yaitu :
a. pemeriksaan kemurnian spektrum UV-Vis.
Menurut Mulja dan Suharman (1995), analisis kuantitatif dengan metode
spektrofotometri UV-Vis dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu:
a. analisis kuantitatif penetapan zat tunggal (analisis satu komponen).
b. analisis kuantitatif penetapan campuran dua macam zat (analisis dua komponen).
c. analisis kuantitatif penetapan campuran tiga macam zat atau lebih (analisis multi
komponen).
Penggunaan spektrofotometri serapan dalam perkembangannya dapat
diperluas dengan adanya zat berwarna baik yang terbentuk dari asalnya maupun
akibat bereaksi dengan zat lain. Menurut Fell (1986), reaksi warna akan menambah
selektivitas dan sensitivitas dari suatu senyawa bila dibandingkan pengukurannya
secara spektrofotometri UV. Reaksi tersebut umunya digunakan sebagai modifikasi
serapan molekul suatu senyawa sehingga dapat dideteksi pada daerah tampak.
Menurut Vogel (1987), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam reaksi warna
adalah kespesifisikan zat warna, kesebandingan antara warna dengan konsentrasi,
kestabilan warna yang dihasilkan, reprodusibilitas, kejernihan larutan yang
dihasilkan, dan kepekaan yang tinggi dari reaksi warna.
E. Parameter Validitas dan Kategori Metode Analisis 1. Parameter validitas metode analisis
Validasi metode analisis adalah suatu prosedur yang digunakan untuk
membuktikan apakah suatu metode analisis memenuhi persyaratan yang ditentukan
atau tidak (Anonim, 2005). Ada beberapa parameter analisis yang harus
a. akurasi suatu metode merupakan keterdekatan hasil pengukuran dengan
kadar analit yang sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali
(recovery) analit yang ditambahkan (Anonim, 2005). Berikut adalah kriteria
penerimaan akurasi berdasarkan kadar analit (Yuwono dan Indrayanto, 2005) :
Tabel I. Kriteria penerimaan akurasi pada konsentrasi analit yang berbeda
Kadar analit (%) Rata-rata % perolehan kembali (%)
100 98-102
≥ 10 98-102
≥ 1 97-103
≥ 0,1 95-105
0,01 90-107
Akurasi untuk kadar obat yang besar adalah 95-105 % sedangkan untuk bioanalisis
rentang 80-120% masih bisa diterima (Mulja dan Hanwar, 2003).
b. presisi adalah derajat kesesuaian antara hasil uji individual yang
diperoleh dari pengambilan sampel yang berulang dari suatu sampel yang homogen
dengan menggunakan suatu metode analisis. Presisi biasanya dinyatakan dengan
coefficient of variation (CV) atau relative standard deviation (RSD) (Anonim, 2005).
Menurut Anonim (2005), presisi terdiri dari 3 macam, yaitu:
1) Reproducibility adalah keseksamaan metode bila analisis dikerjakan di
laboratorium yang berbeda.
2) Intermediate precision adalah keseksamaan metode jika analisis dikerjakan di
laboratorium yang sama pada hari yang berbeda atau analis yang berbeda atau
peralatan yang berbeda.
3) Repeatability adalah keseksamaan metode jika analisis dilakukan oleh analis
Berikut adalah kriteria penerimaan presisi berdasarkan kadar analit (Yuwono dan
Indrayanto, 2005) :
Tabel II. Kriteria penerimaan presisi pada konsentrasi analit yang berbeda
Kadar analit (%) CV (%)
100 1,3
≥ 10 2,7
≥ 1 2,8
≥ 0,1 3,7
0,01 5,3
Unttuk bioanalisis nilai CV 15-20% masih dapat diterima (Mulja dan Hanwar, 2003).
c. spesifisitas merupakan kemampuan suatu metode untuk mengukur
dengan akurat respon analit diantara seluruh komponen sampel potensial yang ada
dalam matrik sampel. Spesifisitas metode analisis ditentukan dengan
membandingkan hasil analisis sampel yang mengandung cemaran, hasil degradasi,
senyawa sejenis, senyawa asing lainnya, atau pembawa placebo dengan hasil analisis
sampel tanpa penambahan bahan-bahan tersebut (Anonim, 2005).
d. detection limit adalah konmsentrasi terkecil analit dalam sampel yang
dapat dideteksi, tetapi tidak perlu untuk diukur. Menurut dokumen ICH, pendekatan
dilakukan dengan membandingkan respon pengukuran antara sampel dengan
blangko. Rasio signal-to-noise yang diterima adalah 2:1 atau 3:1 (Anonim, 2005).
e. quantitation limit adalah pengukuran secara kuantitatif untuk
konsentrasi terkecil yang diukur dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima di
bawah kondisi percobaan yang ditetapkan dengan metode tersebut. Menurut
dokumen ICH, pendekatan dilakukan dengan membandingkan respon pengukuran
antara sampel dengan blangko. Rasio signal-to-noise yang diterima adalah 10:1
f. linearitas adalah kemampuan metode analisis memberikan respon yang
secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik,
proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel dengan rentang yang ada.
Untuk memperoleh linearitas antara respon analit dengan konsentrasi, data penelitian
yang diperoleh harus dimasukkan ke dalam persamaan matematika, untuk
memperkirakan besarnya derajat linearitas (Anonim, 2005). Persyaratan data
linearitas yang dapat diterima adalah jika memenuhi nilai koefisien korelasi (r) >
0,999 atau nilai variasi fungsi (Vx0) ≤ 2 % (Mulja dan Hanwar, 2003).
g. range suatu metode analisis diartikan sebagai interval antara kadar
terendah sampai tertinggi analit yang dapat diukur secara kuantitatif menggunakan
metode analisis tertentu dan menghasilkan ketelitian dan ketepatan, dan linearitas
yang mencukupi (Anonim, 2005).
2. Kategori metode analisis
Parameter analisis yang diperlukan untuk validasi dapat bervariasi
tergantung pada kategori prosedur analisis. Menurut Anonim (2005) ada empat
macam kategori prosedur analitik, yaitu:
a. kategori I, meliputi metode analisis untuk kuantifikasi komponen mayor
substansi bahan baku obat atau bahan aktif (termasuk pengawet) dalam sedían obat
jadi.
b. kategori II, meliputi metode analisis untuk penentuan pengotor dalam
substansi bahan baku obat atau senyawa degradasi dalam sedían obat jadi, termasuk
c. kategori III, meliputi metode analisis untuk penentuan sifat-sifat fisik
lain obat seperti uji disolusi dan uji pelepasan.
d. kategori IV, meliputi metode analisis untuk uji identifikasi.
Untuk masing-masing kategori prosedur analisis diperlukan parameter
analisis yang berbeda. Parameter-parameter yang diperlukan untuk metode analisis
dapat dilihat pada tabel III berikut.
Tabel III. Parameter analisis yang diperlukan untuk kesahihan pengukuran (Anonim, 2005)
Kategori II Parameter analisis Kategori
I Kuantitatif Uji batas
Kategori III
Kategori IV
Accuracy ya Ya * * Tidak
Precision ya Ya Tidak Ya Tidak
Specificity ya Ya Ya * Ya
Detection limit tidak Tidak Ya * Tidak
Quantitation limit tidak Ya Tidak * Tidak
Linearity ya Ya Tidak * Tidak
Range ya Ya * * Tidak
* = mungkin diperlukan tergantung dari jenis uji
F. Landasan Teori
Dalam penelitian Patel et al. (1992), gugus amin primer pada sefaleksin
bereaksi dengan hasil kondensasi antara 2 mol asetilaseton dan 1 mol formalin yang
menghasilkan warna kuning. Intensitas warna inilah yang kemudian diukur
serapannya pada daerah panjang gelombang sinar tampak. Dengan dasar penelitian
tersebut, sefadroksil yang memiliki kemiripan struktur dengan sefaleksin diharapkan
dapat ditetapkan kadarnya dengan metode spektrofotometri visibel menggunakan
pereaksi asetilaseton dan formalin dengan prinsip reaksi yang sama dengan
Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah metode spektofotometri
visibel untuk penetapan kadar sefadroksil menggunakan pereaksi asetilaseton dan
formalin memenuhi parameter validasi yang baik. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini termasuk dalam kategori metode analisis yang pertama, sehingga
parameter-parameter yang akan diamati adalah akurasi, presisi, spesifisitas, dan
linearitas.
G. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori di atas dapat disusun hipotesis:
1. metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar sefadroksil menggunakan
pereaksi asetilaseton dan formalin memiliki akurasi, presisi, spesifisitas, dan
linearitas yang baik.
2. metode spektrofotometri visibel menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif, karena pada penelitian ini tidak dilakukan manipulasi terhadap subjek uji. Penelitian hanya mendeskripsikan keadaan yang ada.
B. Definisi Operasional
1. Metode analisis penelitian ini termasuk dalam kategori I, yaitu suatu metode yang digunakan untuk analisis kuantitatif komponen mayor zat aktif dalam suatu sediaan (Anonim, 1995).
2. Validasi metode analisis merupakan serangkaian prosedur untuk menentukan apakah metode analisis kategori I yang digunakan memenuhi parameter akurasi, presisi, spesifisitas, dan linearitas.
3. Sampel sefadroksil yang digunakan adalah kapsul sefadroksil merk “X” yang mengandung sefadroksil 500 mg.
4. Kadar obat dalam kapsul dinyatakan dalam satuan mg/kapsul.
C. Alat-alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spektrofotometer ultraviolet – visibel (Spectronic Genesys 5, MILTON ROY), pH meter ( Hanna
Instrument pH 209), neraca analitik (Precisa 125 A.SCS Swiss Quality), waterbath,
pipet mikro, termometer, kertas saring, dan alat-alat gelas yang lazim.
D. Bahan-bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kapsul sefadroksil 500
mg (buatan pabrik tertentu, dengan merk X); standar sefadroksil (kualitas farmasetis,
Acs dogfar, PT Hexparm Jaya); akuades (Laboratorium Analisis Obat dan Makanan
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada); serta asetilaseton, formalin, asam asetat
glasial, dan natrium asetat yang tidak dinyatakan lain adalah kualitas p.a, E. Merck.
E. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan larutan uji
a. Pembuatan larutan natrium asetat 0,2 M.
Sebanyak 16,4 g natrium asetat ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam
labu ukur 1 L kemudian dilarutkan dengan akuades sampai tanda.
b. Pembuatan larutan asam asetat 0,2 M.
Sebanyak 12,5 mL asam asetat 96 % dipipet, kemudian diencerkan dengan
akuades sampai volume 1,0 L.
c. Pembuatan larutan NaOH 1 M.
Ditimbang seksama 0,4 g NaOH kemudian dilarutkan dalam akuades bebas
d. Pembuatan larutan HCl encer P mengandung HCl 7,3 % b/v (lebih kurang 2
M).
Larutkan 20 g atau 17 mL HCl pekat pada 100 mL akuades.
e. Pembuatan larutan pereaksi campuran asetilaseton dan formalin .
Sebanyak 16,0 mL natrium asetat 0,2 M dan 34,0 mL asam asetat 0,2 M
dicampur dengan 7,8 mL asetilaseton dan 15,0 mL formalin. Panaskan 5
menit dengan suhu 800C, dinginkan, pH diatur dengan menggunakan pH
meter sampai pH yang dikehendaki, kemudian diencerkan dengan akuades
sampai 100,0 mL (Patel et al., 1992).
f. Pembuatan larutan baku sefadroksil.
Ditimbang seksama 228,8 mg baku sefadroksil (BM 381,40) kemudian
dilarutkan dengan akuades dan diencerkan dalam labu ukur 100 mL,
konsentrasi yang diperoleh adalah 0,006 M.
g. Pembuatan larutan blangko
Sebanyak 2,0 mL akuades dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL,
ditambahkan larutan pereaksi dengan volume dan pH yang sama dengan
volume dan pH yang digunakan untuk penetapan kadar sefadroksil.
Diencerkan dengan akuades sampai tanda (Patel et al., 1992).
2. Optimasi penetapan kadar sefadroksil
Suatu metode analisis apabila diaplikasikan pada dua senyawa atau lebih
yang memiliki gugus penanggung jawab reaksi yang sama belum tentu memberikan
karena itu untuk memperoleh hasil percobaan yang optimal,.maka perlu dilakukan
suatu proses optimasi.
Pada penelitian ini dilakukan optimasi berbagai kondisi percobaan meliputi
operating time, pH pereaksi, volume pereaksi, dan panjang gelombang serapan
maksimum hasil reaksi antara sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin.
a. Penentuan operating time.
Sebanyak 2,0 mL larutan baku sefadroksil 0,006 M dimasukkan ke dalam
labu ukur 25 mL, ditambahkan larutan pereaksi pH 4 dengan volume 4 mL.
Didiamkan selama rentang waktu tertentu pada suhu 350C. Diencerkan dengan
akuades sampai tanda. Diukur serapan larutan pada panjang gelombang 400
nm, sampai diperoleh serapan yang stabil pada rentang waktu tertentu
(operating time), dilakukan juga penetapan blangko (Patel et al., 1992).
b. Penentuan nilai pH yang menghasilkan serapan maksimum.
Nilai pH larutan pereaksi dibuat bervariasi, yaitu pH 3, 4, 5, 6, dan 7.
Untuk masing-masing nilai pH dipipet sebanyak 4 mL, dimasukkan ke dalam
labu ukur 25 mL, ditambahkan 2,0 mL larutan baku sefadroksil 0,006 M,
didiamkan selama operating time pada suhu 350C kemudian diencerkan dengan
akuades sampai tanda. Diukur serapan larutan pada panjang gelombang 400
nm, dilakukan juga penetapan blangko. Nilai pH optimum adalah pH larutan
pereaksi yang menghasilkan serapan maksimum dan stabil (Patel et al., 1992).
c. Penentuan volume larutan pereaksi yang menghasilkan serapan maksimum.
Dari larutan pereaksi dengan pH optimum dipipet masing-masing 1; 2; 3;
larutan baku sefadroksil 0,006 M, didiamkan selama operating time pada suhu
350C, dan diencerkan dengan akuades sampai tanda. Diukur serapan larutan
pada panjang gelombang 400 nm, dilakukan juga penetapan blangko. Volume
optimum adalah volume larutan pereaksi yang menghasilkan serapan
maksimum dan stabil (Patel et al., 1992).
d. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum.
Sebanyak 1,0; 1,4; dan 1,8 mL larutan baku sefadroksil 0,006 M
masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL, ditambahkan larutan pereaksi
dengan volume dan pH hasil optimasi. Diamkan selama operating time.
Diencerkan dengan akuades sampai tanda. Serapan kemudian dibaca pada
panjang gelombang 300-500 nm, dilakukan juga penetapan blangko. Panjang
gelombang serapan maksimum adalah panjang gelombang yang memberikan
serapan maksimum (Patel et al., 1992).
3. Pembuatan kurva baku
Larutan baku sefadroksil 0,006 M dipipet sebanyak 0,8; 1,0; 1,2; 1,4; dan
1,6 mL, masing- masing dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL, ditambahkan
pereaksi dengan pH dan volume hasil optimasi. Didiamkan selama operating time
pada suhu 350C, diencerkan dengan akuades sampai tanda. Diukur serapannya pada
panjang gelombang serapan maksimum, dilakukan juga penetapan blangko. Dibuat
kurva hubungan konsentrasi baku sefadroksil vs serapan yang dihasilkan dan
ditentukan persamaan regresi linier (y = bx + a) serta nilai koefisien korelasinya (r)
4. Aplikasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar sefadroksil menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin pada sediaan kapsul sefadroksil 500 mg (dengan merk X)
a. Pengambilan sampel.
Sampel yang digunakan terdiri dari 1 merk kapsul yang beredar di
pasaran (merk X) dan mengandung 500 mg sefadroksil. Kapsul sefadroksil
yang dipilih adalah kapsul dengan nomor batch yang sama.
b. Penentuan bobot rata-rata kapsul.
Ditimbang 20 kapsul satu per satu. Keluarkan isi kapsul, timbang
bagian cangkang kapsul, kemudian hitung bobot isi kapsul dan bobot
rata-rata kapsul.
c. Penetapan kadar sefadroksil dalam kapsul.
Ditimbang seksama sejumlah serbuk dari 20 kapsul yang sudah
dihomogenkan yang setara dengan 114,4 mg sefadroksil. Dimasukkan ke
dalam labu ukur 50 mL, kemudian dilarutkan dan diencerkan dengan
akuades sampai tanda. Dipipet 1,0 mL, dimasukkan ke dalam labu ukur 25
mL, ditambahkan pereaksi dengan pH dan volume hasil optimasi.
Didiamkan selama operating time pada suhu 350C, diencerkan dengan
akuades sampai tanda. Diukur serapannya pada panjang gelombang serapan
maksimum, dilakukan juga penetapan blangko Ditentukan besarnya kadar
sampel sefadroksil dengan memasukkan nilai serapan yang dihasilkan pada
5. Validasi metode spektrofotometri visibel untuk penetapan kadar sefadroksil menggunakan pereaksi asetilaseton dan formalin
a. Penentuan akurasi baku.
Dari persamaan linear kurva baku (y = bx + a), dapat ditentukan
besarnya konsentrasi baku sefadroksil terukur (x) dengan memasukkan nilai
serapan sebagai y. Membandingkan nilai konsentrasi baku sefadroksil
terukur tersebut dengan konsentasi baku sefadroksil teoritis untuk
mendapatkan nilai % recovery baku.
b. Penentuan akurasi sampel.
Ditimbang seksama sampel sefadroksil yang setara dengan 114,4 mg
baku sefadroksil, masukan ke dalam labu ukur 100 mL, tambahkan 114,4
mg baku sefadroksil. Kemudian dilarutkan dan diencerkan dengan akuades
sampai tanda. Dipipet 1,0 mL, dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL,
ditambahkan pereaksi dengan pH dan volume hasil optimasi. Didiamkan
selama operating time pada suhu 350 C, diencerkan dengan akuades sampai
tanda. Diukur serapannya pada panjang gelombang serapan maksimum,
dilakukan juga penetapan blangko. Ditentukan besarnya kadar terukur (x)
dengan memasukkan nilai serapan yang dihasilkan (y) pada persamaan
regresi linear kurva baku (y = bx + a). Membandingkan nilai kadar terukur
tersebut dengan kadar teoritis untuk mendapatkan nilai % recovery sampel.
c. Penentuan presisi.
Dari nilai kadar pada penetapan kadar sefadroksil pada sediaan kapsul
ditentukan nilai CV untuk masing-masing replikasi. Ditentukan nilai CV
d. Penentuan spesifisitas.
Dilakukan scanning panjang gelombang serapan maksimum baku
sefadroksil dan panjang gelombang serapan maksimum senyawa hasil
reaksi antara sefadroskil dengan asetilaseton dan formalin. Dilakukan
pengamatan terhadap spektrum yang dihasilkan, dan dibandingkan.
e. Penentuan linearitas
Linearitas dapat ditentukan melalui nilai r dan nilai koefisien variasi
fungsi (Vx0). Nilai r dapat diperoleh dengan memasukkan data konsentrasi
sefadroksil dan serapan dari data penentuan kurva baku ke dalam program
regresi linear pada kalkulator. Nilai r ini selanjutnya dibandingkan dengan
nilai r tabel pada taraf kepercayaan tertentu. Selain itu, dengan
menggunakan data penentuan kurva baku dapat ditentukan juga nilai
koefisien variasi fungsi (Vx0).
F. Analisis Hasil
1. Akurasi
Akurasi metode analisis dinyatakan dengan nilai % recovery yang dihitung
dari kadar terukur dibandingkan dengan kadar teoritis (kadar sebenarnya) dikalikan
100%.
Recovery = x100% t
kadar
terukur kadar
eoritis ...(8)
Dalam penelitian ini, akurasi ditentukan dari nilai % recovery baku dan sampel.
baku berada pada rentang 98-102%(Yuwono dan Indrayanto, 2005) dan % recovery
sampel sefadroksil berada pada rentang 95-105% (Mulja dan Hanwar, 2003).
2. Presisi
Presisi metode analisis dinilai berdasarkan CV yang dihitung dengan cara
sebagai berikut:
CV = x100%
x SD
...(9)
SD = Standard Deviation x = kadar rata-rata
CV = Coefficient of Variation
Dalam penelitian ini digunakan obat dengan obat dengan konsentrasi analit ≥ 10%,
sehingga nilai CV yang digunakan adalah kurang dari 2,7% (Yuwono and
Indrayanto, 2005).
3. Spesifisitas
Pada penelitian ini spesifisitas ditentukan dengan membandingkan
spektrum hasil scanning baku sefadroksil dengan spektrum senyawa hasil reaksi
antara sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin
4. Linearitas
Linearitas dapat dicapai melalui pembuatan kurva baku dengan nilai r
hitung lebih besar dari r tabel, pada taraf kepercayaan 99% dengan df 3 (df = degree
of freedom, yaitu jumlah sampel yang dianalisis dikurangi 2), dan melalui nilai
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Optimasi Metode 1. Penentuan operating time
Penentuan operating time merupakan tahap pertama yang harus dilakukan dalam optimasi metode spektrofotometri visibel. Penentuan operating time dilakukan untuk mengetahui rentang waktu ketika senyawa yang dianalisis memberikan serapan yang stabil. Dengan adanya serapan yang stabil, dapat diasumsikan bahwa reaksi pembentukan warna antara sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin telah berjalan sempurna sehingga serapan yang terbaca pada panjang gelombang 400 nm adalah serapan semua sefadroksil yang telah bereaksi dengan asetilaseton dan formalin.
Mekanisme pembentukan warna pada penelitian ini didasarkan pada reaksi antara sefadroksil dengan hasil kondensasi antara asetilaseton dan formalin. Dalam suasana asam, 1 mol asetilaseton akan berkondensasi dengan 1 mol formalin, kemudian satu mol asetilaseton yang masih tersedia dalam larutan akan mengadisi hasil kondensasi tersebut, sehingga terbentuk 3,5 diasetil-2,6-heptanadion. Reaksi yang terjadi selanjutnya adalah adisi 3,5 diasetil-2,6-heptanadion oleh gugus amin primer sefadroksil yang akan menghasilkan senyawa dengan ikatan rangkap terkonjugasi.
Reaksi antara 2 mol asetilaseton, 1 mol formalin, dan sefadroksil yang
dipostulasikan sesuai dengan reaksi antara sefaleksin dengan asetilaseton dan
formalin menurut Patel et al. (1992) dapat dilihat pada gambar 8 dan 9 berikut:
a. Reaksi umum antara sefadroksil dengan 2 mol asetilaseton dan 1 mol formalin
gugus amin primer pada sefadroksil
b. Mekanisme reaksi antara sefadroksil dengan 2 mol asetilaseton dan 1 mol formalin
1). Pembentukan enol asetilaseton.
H3C C
2). Pembentukan 3,5-diasetil-2,6-heptanadion.
O
karbonil tak jenuh α,β enol asetilaseton
3). Adisi amin primer sefadroksil pada 3,5-diasetil-2,6 heptanadion Gugus amin primer
-H2O
Gambar 9. Mekanisme reaksi antara sefadroksil dengan 2 mol asetilaseton dan 1 mol Formalin
Hasil akhir dari reaksi antara sefadroksil dengan 2 mol asetilaseton dan 1 mol
formalin di atas adalah larutan berwarna kuning yang kemudian dibaca serapannya
pada panjang gelombang serapan maksimum. Senyawa usulan reaksi dapat dilihat
pada gambar 10.
Reaksi pada gambar 9 dapat diperkirakan tidak hanya terjadi pada senyawa
yang memiliki gugus amin alifatik primer seperti sefadroksil, namun juga dapat
terjadi pada senyawa yang memiliki gugus amin aromatik primer yang rantai
sampingnya tidak mengandung gugus penarik elektron. Adanya gugus penarik
elektron akan menyebabkan amin aromatik primer tidak lagi nukleofilik, sehingga
tidak dapat mengadisi gugus karbonil pada senyawa hasil kondensasi antara
asetilaseton dan formalin.
Pada penelitian ini, pengukuran operating time dilakukan mulai menit
ke-20 setelah sefadroksil direaksikan dengan asetilaseton dan formalin. Pengukuran
operating time dilakukan pada panjang gelombang 400 nm selama 110 menit. Hasil
operating time sefadroksil dengan pereaksi asetilaseton dan formalin disajikan pada
tabel IVberikut.
Tabel IV. Data penentuan operating time reaksi antara sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin
Serapan* pada λ400 nm Waktu (menit)
I II III
20 0,603 0,621 0,618
25 0,663 0,680 0,655
30 0,696 0,718 0,694
35 0,749 0,762 0,717
40 0,772 0,791 0,767
45 0,785 0,803 0,784
50 0,827 0,829 0,821
55 0,841 0,845 0,847
60 0,835 0,858 0,850
65 0,855 0,856 0,861
70 0,864 0,885 0,876
75 0,863 0,889 0,878
80 0,863 0,890 0,879
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa serapan yang stabil dimulai dari menit
ke-70, dan pada rentang waktu menit ke-70 hingga 80 didapatkan data serapan
dengan selisih dan nilai CV yang relatif kecil. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa operating time reaksi sefadroksil dengan pereaksi asetilaseton dan formalin
berada pada menit ke-70 hingga 80.
Untuk melihat rentang waktu pengukuran yang masih memberikan serapan
yang stabil, larutan yang telah didiamkan selama 70 menit, diukur serapannya selama
30 menit dengan spektrofotometer. Hasil pengukuran tersebut dapat dilihat pada
gambar 11 berikut :
Gambar 11. Spektrum rentang waktu pengukuran serapan senyawa hasil reaksi antara sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin pada replikasi III
Dari spektrum di atas dapat dilihat bahwa dalam rentang waktu pengukuran
selama 30 menit setelah operating time masih didapatkan serapan yang stabil.
Dengan demikian, pengukuran serapan senyawa hasil reaksi antara sefadroksil
dengan asetilaseton dan formalin dapat dilakukan selama rentang waktu tersebut.
Untuk spektrum rentang waktu pengukuran serapan senyawa hasil reaksi antara
sefadroksil dengan asetilaseton dan formalin pada replikasi I dan II dapat dilihat pada