• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak kekerasan seksual pada penyandang disabilitas (studi kasus pada seorang tunagrahita) - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Dampak kekerasan seksual pada penyandang disabilitas (studi kasus pada seorang tunagrahita) - USD Repository"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KEKERASAN SEKSUAL PADA PENYANDANG DISABILITAS

(Studi Kasus pada Seorang Tunagrahita)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

M.A.Trisuci Paskalia 151114012

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i

DAMPAK KEKERASAN SEKSUAL PADA PENYANDANG DISABILITAS

(Studi Kasus pada Seorang Tunagrahita)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

M.A.Trisuci Paskalia 151114012

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv

HALAMAN MOTTO

“Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun Tuhan menyambut aku”

(Mzm 27:10)

“Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaanNya dalam Kristus Yesus”

(Flp 4:19)

“Dum Vita Est, Spes Est”

(6)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ilmiah ini ku persembahkan kepada :

Tuhan Yesus,

Yang senantiasa memberikan kelimpahan rahmat dan cinta yang tiada henti.

Orangtua,

Alm. Bapak Leonardus Hendriyanti dan Alm. Mami Christiana Ningsih dan Kakakku Yohanes Bara Wahyu Riyadi yang sudah memberi bekal kehidupan dan

cinta yang berlimpah.

Pembimbing Rohani,

Romo John Gowhere SJ yang tak pernah lelah mendoakan, memberi dukungan, dan menjadi perpanjangan cinta Tuhan serta membantu saya mengolah sejarah

hidup serta

Orangtua asuhku,

kedua orangtua asuhku yang memberikanku kesempatan untuk melanjutkan pendidikan.

Sahabat terkasih

Aloysia Arghia Prastiyaningtyas yang selalu ada dalam suka dan duka.

CIQAL,

yang memberikan kesempatan untuk belajar dan bersedia mendampingi selama penelitian.

Dosen Pembimbingku Juster Donal Sinaga,

Yang sudah mendukung, mendoakan, membimbing dan memberi semangat selama proses masa studi hingga penyelesaian masa studi.

Seluruh penyandang disabilitas yang mengalami ketidakadilan, Teman-teman BK’15, dan

(7)
(8)
(9)

viii ABSTRAK

DAMPAK KEKERASAN SEKSUAL PADA PENYANDANG

DISABILITAS

(Studi Kasus pada Seorang Tunagrahita)

M.A.Trisuci Paskalia Universitas Sanata Dharma

2019

Penelitan ini bertujuan untuk 1) mendeskripsikan apa saja bentuk kekerasan seksual yang dialami penyandang tunagrahita, 2) menjelaskan dampak-dampak yang dialami penyandang tunagrahita yang mengalami kekerasan seksual, 3) mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perlawanan penyandang tunagrahita yang mengalami kekerasan seksual, dan 4) menjelaskan bagaimana penyandang tunagrahita mengelola pengalaman kekerasan seksual agar sehat secara psikologis.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dalam bentuk studi kasus. Tempat penelitian adalah salah satu lokasi di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sumber data penelitian ini adalah seorang penyandang disabilitas (Tunagrahita ringan) yang mengalami perkosaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara. Teknik analisa data kualitatif yang digunakan adalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa dampak kekerasan seksual khususnya perkosaan bagi penyandang tunagrahita yaitu dampak psikologis yakni trauma bila bertemu atau melihat pria yang berbadan besar, takut gelap, takut sendiri, merasa rendah diri, memiliki keinginan untuk bunuh diri dan perubahan suasana hati yang cepat. Dampak fisik yang dialami ialah robeknya selaput dara dan tidak lagi perawan. Sedangkan dampak sosial yang dialami yakni menjadi takut untuk bersosialisasi dan bertemu dengan orang baru. Responden juga menjaga jarak bila bertemu dengan orang baru. Bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan ketika kejadian berlangsung adalah melawan saat kejadian perkara dan setelah kejadian perkara dengan mengikuti prosedur hukum. Upaya penyandang tunagrahita agar sehat secara psikologis ialah menangis, berjuang menyelesaikan kasus di kantor polisi, menerima keadaan, patuh terhadap orangtua, ikhlas, dan fokus ke masa depan. Selain itu, dukungan dari berbagai pihak diantaranya dukungan keluarga, dukungan penyedia layanan, peraturan perundang-undangan, pemerintah dan juga kepolisian sangat dibutuhkan oleh tunagrahita.

(10)

ix ABSTRACT

THE IMPACTS OF SEXUAL VIOLENCE TO DISABILITIES

(A Case Study on Mental Disability)

M.A.Trisuci Paskalia

Sanata Dharma University

2019

This study was aimed to 1) describe what kind of sexual violence that experienced by persons with mental disability, 2) explain the impacts that experienced by mental disabled persons who experience sexual violence, 3) know the forms of resistance of mental disabled persons who experience sexual violence, and 4) explain how people with mental disability manage their experiences of sexual violence to be psychologically healthy.

The type of this research was qualitative research in the form of case studies. The research site was in Bantul Regency, Special Region of Yogyakarta. The data source of this study was a person with a disability (mild intellectual retardation) who had experience as raping victim. Data collection techniques used were observation and interviews. Qualitative data analysis

The study results showed that the impact of sexual violence, especially rape for persons with mental disability was psychological of the trauma when meeting or seeing large-bodied men, afraid of the dark, afraid of themselves, feeling inferior, having suicidal thoughts and rapid mood swings. The physical impact experienced was the tear of the hymen and no longer a virgin. While the social impact experienced was being afraid to socialize and meet new people. Respondent also maintain a distance when meeting new people. Forms of resistance carried out were fight back during the incident took place and the legal procedures after the incident. The effort conducted by people with mental disability in order to be psychologically healthy was crying, fighting to solve cases in the police station, accept the situation, obey parents, sincerity, and focus on the future. In addition, support from various parties including family support, support from social service providers, legislation, government and also the police is greatly needed by mental disability person.

(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan rahmat yang dilimpahkan kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di FKIP Universitas Sanata Dharma. Proses penulisan karya ilmiah ini memberikan pengalaman dan wawasan baru bagi peneliti dalam mengaplikasikan ilmu yang telah didapat selama masa studi.

Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan karya ilmiah ini tidak akan selesai dan berjalan dengan lancar tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak yang telah mendukung dan mendampingi selama proses penyusunan. Oleh karena itu secara khusus peneliti mengucapkan banyak terimakasih kepada :

1. Dr. Gendon Barus, M.Si. selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling, Universitas Sanata Dharma.

2. Juster Donal Sinaga, M.Pd. selaku Wakil Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling, Universitas Sanata Dharma dan selaku dosen pembimbing yang selalu bersedia membantu, mendampingi, dan menyemangati peneliti dari awal hingga penyelesaian karya ilmiah ini.

3. Para dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma yang telah berkenan membimbing dan telah memberi pengetahuan kepada penulis selama awal perkuliahan hingga penyelesaian masa studi.

4. Alm. Kedua orangtuaku terkasih yang telah memberikan bekal kehidupan 5. Kakak tercintaku Yohanes Bara Wahyu Riyadi yang tetap tegar menjadi

ayah sekaligus ibu untukku.

6. Romo Yohanes Nugroho SJ a.k.a Romo John Gowhere SJ yang selalu mendukung, memotivasi, mendoakan dan memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensi peneliti.

(12)

xi

8. Teman seperjuanganku, Aloysia Arghia Prastiyaningtyas yang selalu mendukung, mendoakan, memotivasi dan menemani dalam suka dan duka. 9. Penyemangatku Alfredo Oliver B, Damaris Imelda, Tiberia Dian, Teofilus

Bayu, Ignatius Riki Dwi .K. , F4 , dan tim nonton hokya.

10.Teman-teman BK angkatan 2015 yang telah memberikan semangat, masukan dan doa dari awal penulisan karya ilmiah hingga terselesaikannya karya ilmiah ini.

11.AE, selaku responden penelitian karya ilmiah ini.

12.CIQAL, selaku pendamping dan pembimbing selama proses pengerjaan karya ilmiah ini.

13.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu, memotivasi, memberikan dukungan dan doa.

Peneliti menyadari bahwa penelitian karya ilmiah ini masih terdapat banyak kekurangan. Namun demikian peneliti berharap karya ilmiah ini bermanfaat sekaligus memberikan referensi bagi siapa saja yang membaca dan membutuhkannya.

(13)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSERTUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Fokus Peneltian ... 9

D. Rumusan Masalah ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Manfaat Penelitian ... 11

G. Batasan Istilah ... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 13

A. Hakikat Kekerasan Seksual ... 13

1. Pengertian kekerasan Seksual ... 13

2. Bentuk-Bentuk kekerasan Seksual ... 15

3. Faktor Penyebab Terjadinya kekerasan Seksual ... 18

4. Dampak kekerasan Seksual ... 21

(14)

xiii

1. Pengertian Disabilitas ... 22

2. Jenis Disabilitas ... 25

3. Derajat Disabilitas ... 28

C. Hakikat Penyandang Tunagrahita ... 29

1. Karakteristik Tunagrahita ... 30

2. Derajat Tunagrahita ... 31

3. Tunagrahita Berdasar IQ ... 32

D. Hakikat Perkembangan Seksual Remaja Disabilitas ... 33

1. Perkembangan ... 33

2. Perkembangan Seksual ... 33

3. Perkembangan Seksual Penyandang Tunagrahita ... 36

4. Remaja ... 37

E. Hakikat Persoalan Pelecehan Seksual Pada Penyandang Disabilitas ... 39

F. Kajian Penelitian yang Relevan ... 41

BAB III METODE PENELITIAN ... 44

A. Jenis Penelitian ... 45

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 45

C. Responden Penelitian ... 45

D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 46

E. Keabsahan Data ... 49

F. Teknik Analisis Data ... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Deskripsi Data ... 52

1. Tempat dan Jadwal Penelitian ... 52

2. Deskripsi Umum Responden ... 53

3. Hasil Penelitian ... 53

B. Pembahasan ... 66

1. Bentuk Pelecehan Seksual ... 67

2. Dampak-Dampak Pelecehan Seksual ... 68

3. Bentuk Perlawanan ... 71

(15)

xiv

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

A. Kesimpulan ... 76

B. Keterbatasan Penelitian ... 76

C. Saran ... 78

(16)

xv

DAFTAR TABEL

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Hasil Observasi ... 81

Lampiran 2 : Lembar verbatim wawancara ... 84

Lampiran 3 : Lembar Koding Wawancara ... 93

Lampiran 4 : Lembar Kategorisasi Wawancara ... 100

(18)

1 BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab ini disajikan latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan batasan istilah.

A. Latar Belakang Masalah

Di era modern ini, seksualitas bukanlah hal yang tabu untuk diperbincangkan selama berada pada tempat dan pada waktu yang seharusnya. Akan tetapi perilaku seksual yang dilakukan dengan unsur keterpaksaan mengakibatkan fenomena lain yakni kasus kekerasan ataupun pelecehan seksual. Pemerkosaan yang semakin marak terjadi di tengah masyarakat ini merupakan salah satu bentuk kekerasan yang seringkali terjadi dan bukan hal baru lagi di negara Indonesia.

(19)

tahunnya terdapat 1278 kasus kekerasan yang menimpa perempuan disabilitas yang jika dipresentasekan hampir setiap harinya terjadi sekitar 3-4 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas.

Penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang beragam, diantaranya penyandang disabilitas yang mengalami disabilitas fisik, disabilitas mental maupun gabungan dari disabilitas fisik dan mental. Kondisi penyandang disabilitas tersebut mungkin hanya sedikit berpengaruh kepada kemampuan mempertahankan hidupnya atau bahkan berdampak besar bagi kehidupannya sehingga ketidakberdayaannya dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang ingin mengambil keuntungan.

Selain itu, Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan (2017) menyatakan diskriminasi dan kekerasan seksual pada penyandang disabilitas perempuan semakin muncul ke permukaan karena mulai menggeliatnya upaya untuk memasukkan layanan disabilitas pada lembaga-lembaga layanan. Kekerasan seksual pada perempuan dengan disabilitas terjadi karena asumsi bahwa penyandang disabilitas adalah makhluk aseksual atau menstigma bahwa disabilitas terutama disabilitas intelektual memiliki kebutuhan seksual yang berlebih, sehingga melanggengkan praktek kekerasan seksual yang terjadi pada penyandang disabilitas.

(20)

3

namun juga oleh anak-anak khususnya bagi penyandang tunarungu dan tunagrahita. Sebab penyandang tunarungu tidak bisa berteriak dan otomatis akan sangat ketakutan ketika diancam untuk tetap diam oleh pelaku. Sedangkan penyandang tunagrahita secara mental dan intelektual sulit membedakan antara pelecehan seksual dan kasih sayang. Keterbatasan penyandang disabilitas ini seringkali dimanfaatkan oleh pelaku yang ingin memuasakan hawa nafsunya dengan harapan bisa lolos dari kejahatan yang dilakukan karena minimnya pembuktian. Bentuk-bentuk pelecehan seksual yang berujung kekerasan seksual ini semakin bervariasi karena tak hanya dilakukan oleh satu orang pelaku saja namun juga berkelompok yang disertai pembunuhan.

Dalam Kedaulatan Rakyat diberitakan bahwa pelecehan seksual pada penyandang disabilitas meningkat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.

(21)

Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan yang seringkali dialami oleh penyandang disabilitas ialah penipuan, pelecehan oleh guru, kekerasan fisik oleh guru, kekerasan seksual oleh kakak ipar, kekerasan seksual oleh tetangga, kekerasan dalam pacaran atau rumah tangga, perkosaan, pencabulan oleh teman, perkosaan dalam komunitas, pencabulan komunitas, perdagangan orang dan masih banyak lagi. Berbagai macam kasus kekerasan seksual yang terlampir dalam Catatan tahunan Komnas Perempuan ini mayoritas dilakukan oleh orang-orang terdekat seperti tetangga, guru, bahkan anggota keluarga sendiri.

Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas yang menggantikan undang-undang nomor 4 tahun 1997 memberikan landasan hukum yang tegas mengenai kedudukan dan hak penyandang disabilitas. Pada UU tersebut semakin ditegaskan bahwa "Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara Indonesia dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan masyarakat Indonesia merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan

bermartabat”.

(22)

5

penyandang disabilitas dari segala bentuk kekerasan. Namun, kenyataannya masih banyak korban kekerasan seksual penyandang disabilitas belum terlindungi. Hal ini disebabkan oleh penyelesaian kasus mengenai kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas jarang sekali ditangani secara tuntas baik dari segi hukum maupun psikologis.

Faktor yang menyebabkan kasus ini jarang terselesaikan sampai tuntas karena korban kekerasan seksual yang merupakan penyandang disabilitas enggan melaporkan masalahnya kepada pihak berwajib dikarenakan keterbatasan yang dimiliki, pelaku masih anggota keluarga, pihak keluarga berupaya menutupi kejadian tersebut dengan alasan menutupi aib serta masyarakat yang belum paham hak penyandang disabilitas.

Pada workshop 16 Hari Tanpa Kekerasan Terhadap Perempuan di Pendopo Rumah Dinas Bupati Sleman, Ibnu Sukoco selaku koordinator program advokasi disabilitas Ciqal mengatakan bahwa pendampingan penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual juga cukup sulit karena kecenderungan pihak keluarga yang tidak mau terbuka. Sebagian besar keluarga korban menilai masalah tersebut merupakan aib yang harus ditutup.

(23)

bersikap apatis bahkan mendiskriminasi dan juga korban dianggap bersalah karena tidak mampu untuk menjaga diri.

Kerentanan pada penyandang disabilitas untuk mendapatkan kekerasan seksual bukan saja karena kondisi fisik maupun keterbatasan penyandang disabilitas tersebut, tetapi juga karena lingkungan sosial tidak mampu menyediakan jaminan perlindungan yang memadai. Tak hanya kondisi fisik, psikologis, dan lingkungan sosial saja yang menyebabkan penyandang disabilitas rentan mengalami kekerasan seksual namun juga pendidikan seks dan pemahaman masyarakat yang minim mengenai kondisi seksual penyandang disabilitas.

Sugiasih (Aziz, 2015) mengungkapkan bahwa sebagian masyarakat kita masih menganggap bahwa pendidikan seks sebagai sesuatu yang tidak layak dibicarakan. Hal itu dikarenakan adanya anggapan bahwa pembicaraan mengenai seks merupakan sesuatu yang masih dianggap tabu, porno serta sifatnya sangat pribadi sehingga tidak layak untuk diperbincangkan.

(24)

7

Maslow (Boeree, 2007) menyatakan bahwa setiap manusia memiliki empat kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta, harga diri dan bila keempat kebutuhan ini tidak dapat terpenuhi misalnya karena persoalan berat seperti pelecehan seksual maka orang tersebut akan cenderung mengalami hambatan dan akan akan merasa depresi, penderitaam, kekecewaan, kecurigaan serta sinisme.

Kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan dasar yang disebabkan oleh keterbatasannya inilah yang kemudian dimanfaatkan pelaku untuk melakukan kekerasan seksual. Pelaku menganggap penyandang disabilitas lemah baik dari segi jasmani maupun rohani, sehingga tidak dapat terbantahkan tindakan kekerasan seksual terhadap korban penyandang disabilitas dapat berdampak negatif pada keadaan psikis dan fisik korban.

Center for Improving Qualified Activities in Life of People with

Disabilities atau disingkat CIQAL (2017) mengatakan secara fisik tentunya korban mengalami luka pada bagian tertentu yang dimanfaatkan pelaku sebagai pemuas nafsunya, sedangkan dari segi psikologis adanya tekanan secara psikologis (trauma) yang dialami korban berdampak pada penurunan

Self esteem atau menurunnya penghargaan diri pada korban karena disebabkan oleh rasa malu yang menjadikan korban sulit untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga korban pun berpeluang untuk mendapatkan tindak diskriminasi dari lingkungannya.

(25)

kehilangan rasa aman, hilangnya kepercayaan, rasa malu, rasa rendah diri, respon emosional yang kuat, dan menunjukkan tingkah laku seksual. Akibat dari kekerasan seksual secara sosial menurut Aziz (2015) ialah sikap sinis dari masyarakat yang menyebabkan penyandang disabilitas enggan membuka diri kembali untuk bisa bergaul dengan masyarakat disekitarnya. Berdasarkan pada hal tersebut peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian ini, guna mengetahui keadaan lebih mendalam mengenai dampak-dampak fisik, psikologis, dan juga sosial pada penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan seksual.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang di kemukakan penulis dan hasil observasi, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah yang akan dijadikan dasar untuk mengetahui lebih jauh keadaan lebih mendalam penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan seksual :

1. Penyandang disabilitas dianggap sebagai makhluk aseksual.

2. Penyandang disabilitas mendapatkan dampak dua kali lipat dari orang non-disabilitas yang juga mengalami kekerasan seksual.

3. Kasus kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas masih tinggi. 4. Penegakan hukum jarang sekali ditangani secara tuntas.

5. Pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat korban. 6. Kebutuhan dasar penyandang disabilitas sulit terpenuhi.

(26)

9

8. Pemahaman orang tua, pendidik dan masyarakat mengenai pendidikan seks bagi penyandang disabilitas masih minim.

9. Pendidikan seks dianggap sebagai suatu hal yang tabu. 10. Pendidikan seks untuk penyandang disabilitas masih minim. C. Fokus Penelitian

Berdasarlam identifikasi masalah dan keterbatasan peneliti, maka fokus penelitain ini disusun dengan mengaitkan tema yang sesuai, yakni

“Kekerasan Seksual Pada Penyandang Disabilitas” dengan responden yang

merupakan disabilitas tunagrahita. Berikut ini adalah fokus penelitian: 1. Menggali bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dialami satu remaja

penyandang tunagrahita

2. Menggali dampak-dampak yang dialami satu remaja penyandang tunagrahita yang mengalami kekerasan seksual

3. Menggali bentuk-bentuk perlawanan satu remaja penyandang tunagrahita yang mengalami kekerasan seksual.

4. Menggali satu remaja penyandang tunagrahita mengelola pengalaman kekerasan seksual agar sehat secara psikologis

D. Rumusan Masalah

Berdasarlam fokus penelitian di atas, disusunlah rumusan masalah sebagai berikut:

(27)

2. Bagaimana dampak-dampak yang dialami satu remaja penyandang tunagrahita yang mengalami kekerasan seksual?

3. Bagaimana bentuk-bentuk perlawanan satu remaja penyandang tunagrahita yang mengalami kekerasan seksual?

4. Bagaimana satu remaja penyandang tunagrahita mengelola pengalaman kekerasan seksual agar sehat secara psikologis

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan utama yang akan dibahas adalah dampak-dampak yang muncul pada penyandang tunagrahita yang menjadi korban kekerasan seksual. Rumusan masalah tersebut dirinci dalam tujuan-tujuan yang lebih khusus sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan apa saja bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dialami satu remaja penyandang tunagrahita.

2. Menjelaskan dampak-dampak yang dialami satu remaja penyandang tunagrahita yang mengalami mengalami kekerasan seksual.

3. Mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perlawanan satu remaja penyandang tunagrahita yang mengalami kekerasan seksual.

(28)

11

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan informasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang bimbingan dan konseling khususnya mengenai dampak-dampak kekerasan seksual pada penyandang disabilitas.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Pengelola Lembaga

Menambah informasi kepada pengelola sehingga dapat bekerja sama dengan pihak-pihak terkait (pemerintah, keluarga, dan masyarakat) dalam mengatasi berbagai dampak yang muncul. b. Bagi Orang tua

Orang tua yang mempunyai anak penyandang disabilitas dapat mengetahui dampak kekerasan seksual sehingga mengetahui apa yang harus dilakukan dalam mendampingi dan menangani anak penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan seksual. Selain itu orang tua dapat menggunakan hasil penelitian sebagai sumber informasi dalam melakukan pencegahan kekerasan seksual.

c. Bagi Mahasiswa

(29)

d. Bagi Penulis

Sebagai calon konselor, penulis mendapatkan pengalaman baru dan keterampilan baru untuk semakin peka dalam mengkaji permasalahan konkret yang sedang terjadi di masyarakat khususnya pada penyandang disabilitas.

G. Batasan Istilah

1. Kekerasan seksual merupakan suatu perbuatan memaksa atau dengan cara apapun diluar kehendak seseorang untuk melakukan persetubuhan dengan disertai kekerasan ataupun ancaman.

2. Seks adalah perbedaan laki-laki dan perempuan yang dibedakan melalui jenis kelamin.

3. Penyandang disabilitas adalah seseorang yang biasanya mengalami hambatan fisik dan/mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.

(30)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab kajian pustaka ini, dipaparkan pembahasan mengenai landasan teori yang dijadikan dasar untuk membangun kerangka konsepsual. Berdasarkan judul penelitian, maka pada bab ini peneliti akan mengemukakan beberapa konsep yang berkaitan dengan variabel penelitian, yaitu : Kekerasan seksual, penyandang disabilitas, penyandang tunagrahita,perkembangan seksual remaja disabilitas, persoalan kekerasan seksual pada penyandang disabilitas dan kajian penelitian yang relevan.

A. Hakikat Kekerasan Seksual

1. Pengertian Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual khususnya perkoasaan menurut Komisi Nasional Perempuan merupakan hubungan seksual dengan memakai penis ke arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan.

(31)

persetujuan secara utuh, misalnya terhadap anak atau seseorang dibawah 18 tahun.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada bab XIV pasal 285 dikatakan bahwa tindak pidana perkosaan ialah barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan seksual seringkali muncul dengan pemaksaan kehendak yang mengarah pada tindakan kekerasan seksual demi menyalurkan kebutuhan seksualnya dan tentu saja hal ini melanggar batas norma dan hukum di masyarakat. Hal ini diperkuat oleh pendapat Freud mengenai libido.

(32)

15

semua manusia memilikinya tidak terkecuali yang belum terikat oleh tali perkawinan.

2. Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual juga merupakan suatu bentuk tindakan yang dilakukan perseorangan atau kelompok yang tidak hanya mengakibatkan luka atau penderitaan fisik namun juga penderitaan psikologis. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (Aziz, 2015:41) mengatakan bahwa tindakan pelecehan seksual berupa perkosaan merupakan satu bentuk pelecehan seksual yang paling berat. Rentang pelecehan seksual ini sangat luas, yakni meliputi : main mata, siulan nakal, komentar berkonotasi seks atau gender, humor porno, cubitan, colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual, ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan melakukan hubungan seksual hingga perkosaan.

(33)

Welsh (Kurnianto, 2016) menyatakan dalam sudut pandang undang-undang, pelecehan seksual dibagi ke dalam dua bentuk perilaku:

a. “Quid Pro Quo” Harrasment, termasuk perilaku seksual yang diperoleh dengan mengancam atau menyuap, sehingga korban patuh atau menerima perlakuan seksual tersebut dengan pertimbangan terkait pekerjaan mereka.

b. Hostile Environment Harrasment, termasuk perilaku bercanda, berkomentar, sentuhan yang mengandung unsur seksual dan bertentangan dengan keinginan orang yang menerima perlakuan tersebut, atau bersifat mengintimidasi seseorang, sehingga menyebabkan adanya permusuhan.

Selain itu, Better Work Indonesia (Kurnianto,2016) memamparkan juga bentuk pelecehan seksual secara umum yang dibagi ke dalam lima bentuk perilaku:

a. Pelecehan seksual secara fisik : termasuk sentuhan yang tidak diinginkan dengan kecenderungan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, mencolek, dan memegang dengan penuh hawa nafsu.

(34)

17

c. Pelecehan seksual dengan bahasa tubuh: termasuk gerak-gerik yang menjurus pada sesuatu yang berunsur seksual, seperti: kedipan mata berulang-ulang, gerakan bibir, dan jari-jemari. d. Pelecehan seksual bersifat tertulis atau grafis: termasuk

pemaparan barang-barang pornografi, gambar-gambar eksplisit yang bersifat seksual, gambar cover komputer dan pelecehan seksual melalui pesan singkat dan sarana komunikasi lainnya. e. Pelecehan sesual psikologis/emosional: termasuk diantaranya

permintaan yang terus-menerus dan tidak diinginkan, undangan yang tidak diinginkan untuk pergi berkencan, hinaan, ejekan dan sindiran yang berkonotasi seksual.

(35)

Berdasarkan definisi yang telah diuraikan tersebut di atas, peneliti menarik kesimpulan tentang definisi kekerasan seksual, yaitu suatu bentuk perilaku peremehan, peghinaan, atau mempermainkan keadaan fisik dan psikis laki-laki atau perempuan yang mengganggu dan dilakukan demi mencari keuntungan sendiri.

3. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual

Collier (1992) mengidentifikasikan lima faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual.

a. Faktor biologis

Hal ini dapat dijelaskan bahwa melihat kecenderungan biologisnya, bahwa lelaki itu berperilaku sebagai seks yang aktif ofensif. Aktif ofensif disini berarti dalam fungsi reproduktifnya untuk mencari dan membuahi lewat suatu aktivitas yang relatif cuma sesaat. Sementara perempuan adalah pelaku seks yang pasif defensif yang berarti fungsi reproduktifnya untuk menunggu, dan selanjutnya menumbuh kembangkan kehidupan baru didalam rahim dan dipangkuannya lewat suatu aktivitas dan proses yang berjangka panjang.

(36)

19

dalam menahan keinginan dan dorongan-dorongan seksualnya sendiri diungkapkan melalui kekerasan seksual.

b. Faktor sosial budaya

Pola kehidupan sosial budaya yang dijalani seseorang semenjak kecil dalam keluarganya, tanpa disadari sedikit banyak berpengaruh terhadap pola tingkah laku seseorang kemudian dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya realita bahwa fisik lelaki lebih kuat daripada perempuan khususnya penyandang disabilitas telah turut mempengaruhi perlakuan seksualitas yang memungkinkan kekerasan seksual terjadi.

c. Faktor pendidikan

Pendidikan dalam hal ini juga berpengaruh terhadap kekerasan seksual. Hal ini, khususnya di Indonesia, penyandang disabilitas belum memiliki banyak kesempatan untuk menikmati jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga belum mampu menolak perlakuan, sikap dan anggapan yang diskriminatif terhadap dirinya. Kejadian ini terjadi, biasanya dengan keberadaan penyandang disabilitas yang dianggap lemah dan lebih rendah.

d. Faktor ekonomi

(37)

dasarnya. Faktor ekonomi ini mendorong budaya kekerasan sebagai jalan keluarnya dan sasaran paling mudah adalah penyandang disabilitas. Hal ini dilakukan dengan anggapan sebagai pelarian yang paling mudah mengingat adanya anggapan bahwa secara fisik penyandang disabilitas lebih lemah dan lebih rendah. Apalagi adanya budaya kekerasan yang mendominasi realitas kehidupan sehari-hari, hingga kekuatan fisik atau jasmani, kekuatan kelompok merupakan simbol status sosial dalam masyarakat yang berdampak pada pandangan, anggapan serta sikap dalam mengartikan kehadiran penyandang disabilitas di suatu lingkungan.

e. Faktor pembelajaran sosial dan motivasi

(38)

21

budaya dalam lingkungan tersebut. Maka kecenderungan tingkah laku ini akan terus berulang.

4. Dampak Kekerasan Seksual

Beberapa dampak atas kasus kekerasan seksual menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (2009) yaitu:

a. Dampak psikologis

Secara psikologis bahwa korban kekerasan seksual merasa menurunnya harga diri, menurunnya kepercayaan diri, depresi, kecemasan, ketakutan terhadap perkosaan serta meningkatnya ketakutan terhadap tindakan-tindakan kriminal lainnya. Didapatkan pula sindrom pelecehan seksual yang berhubungan dengan gejala psikologi, mencakup depresi, rasa tidak berdaya, merasa terasing, mudah marah, takut, dan kecemasan.

b. Dampak fisik

(39)

c. Dampak sosial

Dampak sosial seperti yang terjadi di lingkungan antara lain: menurunnya produktifitas kerja, merusak hubungan antara teman, menururnnya kepercayaan diri, semakin mengisoalsi diri dan menurunnya motivasi.

B. Hakikat Penyandang Disabilitas

1. Pengertian Disabilitas

Penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang beragam diantaranya penyandang disabilitas yang memiliki disabilitas fisik, disabilitas mental maupun gabungan dari disabilitas fisik dan mental. Berdasarkan definisi yang ditetapkan oleh World Health Organization disabilitas merupakan kondisi yang menyebabkan gangguan pada hubungan seseorang dengan lingkungan. Penyandang disabilitas merupakan kelompok minoritas tersebar di dunia, 80 % dari jumlah penyandang disabilitas di dunia berada di kalangan negara-negara berkembang.

(40)

23

Penyandang disabilitas biasanya mengalami hambatan fisik dan/mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar. Seseorang dengan disabilitas tertentu cenderung mengalami hambatan dalam penyesuaian diri, sulit berkomunikasi, terkena penyakit, terbatas dalam proses belajar, kurang percaya diri, dan mengalami kecelakaan dalam berakitivitas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penyandang diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability yang berarti cacat atau ketidakmampuan.

(41)

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik dan mental.

Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya. Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas, mencakup orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan.

(42)

25

keluarga. Pada umumnya mereka belum memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya.

2. Jenis Disabilitas

Soleh (2016) mengemukakan bahwa penyandang disabilitas merupakan istilah untuk merujuk kepada mereka yang memiliki kelainan fisik atau non fisik. Ini berarti bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki defenisi masing yang mana masing-masing jenis penyandang disabilitas memerlukan bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik. Penyandang disabilitas memiliki tiga jenis, yaitu kelompok kelainan secara fisik, kelompok kelainan secara non fisik dan kelompok kelainan ganda atau campuran kelainan fisik dan non fisik.

a. Kelompok kelainan secara fisik 1) Tunanetra

Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam pengelihatan, dan dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu buta total dan kemampuan melihat amat rendah.

2) Tunadaksa

(43)

Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir. 3) Tunarungu

Tunarungu adalah suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya. Tunarungu dibedakan menjadi dua kategori: tuli dan kurang dengar. Tuli adalah seseorang yang pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga tidak berfungsi. Sedangkan kurang dengar adalah seseorang yang indera pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar. b. Kelompok kelainan secara non-fisik

Aziz (2015) mengemukakan kelompok kedua adalah seseorang yang memiliki kelainan secara non-fisik.

1) Tunagrahita

Tunagrahita adalah sebutan bagi mereka yang mengalami keterbalakangan mental, feeble mindedness

(lemah pikiran), mental subnormality, cacat mental, defisit mental, bodoh, dungu, imbecile (pandir), moron (tolol),

(44)

27

bentuk keterbatasan substansial dalam memfungsikan diri. Keterbatasan ini ditandai dengan terbatasnya kemampuan fungsi mental yang terletak dibawah rata-rata (IQ 70 atau kurang) dan ditandai dengan terbatasnya kemampuan tingkah laku.

2) Autis

Autis merupakan sebuah kondisi seseorang yang ditandai dengan gangguan berat karena mengalami perkembangan otak yang tidak normal atau adanya gangguan syaraf yang mempengaruhi fungsi normal otak sehingga lemah dalam interaksi sosial, perilaku serta tidak mampu berkomunikasi secara baik atau dapat dikatakan pula bahwa anak autis adalah mereka yang tidak mampu atau lemah dalam persepsi, imajiansi, memperhatikan, perasaan serta tidak mampu melakukan penalaran secara sistematis.

3) Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)

(45)

4) Tunalaras

Tunalaras merupakan suatu kondisi seseorang yang memilki kelainan perlaku. Individu yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku sehingga mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dalam hal ini akan mengganggu situasi belajarnya.

c. Kelompok kelainan ganda

Seseorang dengan lebih dari satu kelainan. Contohnya seseorang yang mengalami tunarungu wicara. Tunarungu wicara ialah seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar dengan baik dan kesulitan berbicara.

3. Derajat Disabilitas

Menurut Info Data dan Informasi (Infodatin) Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2014) disabilitas memiliki derajat atau tingkatannya masing-masing yaitu :

a. Cacat tubuh ringan

(46)

29

b. Cacat tubuh sedang

Seseorang yang mengalami cacat tubuh sedang perlu melatih kebutuhan aktifitas hidup sehari-hari, sehingga untuk seterusnya dapat dilakukan tanpa pertolongan. Termasuk golongan ini adalah cerebal palcy sedang, amputasi dua tangan atau siku, muscle destrophy sedang, scoliosis dan sebagainya. c. Cacat tubuh berat.

Seseorang dengan cacat tubuh berat, kebutuhan aktifitas hidup sehari-hari selalu memerlukan pertolongan orang lain antara lain : Amputasi dua kaki atas lutut dan dua tangan atas siku, cerebal palcy berat, layuh dua kaki dan dua tangan, paraplegia berat dan sebagainya.

(47)

C. Hakikat Penyandang Tunagrahita

Dalam hal ini peneliti khusus meneliti penyandang disabilitas jenis tunagrahita yang mengalami kekerasan seksual. American Association of Mental Deficiency (Suwandi,2017) memberikan pengertian bahwa tunagrahita ialah seorang keterbelakangan mental yang menunjukkan fungsi intelektual dibawah rata-rata secara jelas dengan disertai ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan terjadi pada masa pekembangan.

1. Karakteristik Tunagrahita

Secara fisik anak tunagrahita ringan tidak berbeda dengan anak normal pada umumnya tetapi secara psikis berbeda. Menurut Mumpuniarti (Suwandi, 2017) membagi ciri-ciri atau karakteristik anak tunagrahita menjadi tiga bagian yakni karakteristik secara fisik, psikis dan sosial yang diuraikan sebagai berikut:

a. Karakteristik fisik nampak seperti anak normal, hanya sedikit mengalami kelambatan dalam kemampuan sensomotorik.

b. Karakteristik psikis sukar berfikir abstrak dan logis. Kurang memiliki kemampuan analisa, asosiasi lemah, kurang mampu mengendalikan perasaan, mudah dipengaruhi, kepribadian kurang harmonis karena tidak mampu menilai baik dan buruk. c. Karakteristik sosial mereka mampu bergaul, menyesuaikan di

(48)

31

pekerjaan yang sederhana dan melakukannya secara penuh sebagai orang dewasa. Kemampuan daiam bidang pendidikan termasuk mampu didik.

2. Derajat Tunagrahita

Berikut karakteristik penyandang tunagrahita berdasarkan berat ringannya ketunagrahitaan yang dialami menurut Desiningrum (2016): a. Mampu didik

Mampu didik merupakan istilah pendidikan yang digunakan untuk mengelompokkan tunagrahita ringan. Mereka masih mempunyai kemampuan untuk dididik dalam bidang akademik yang sederhana (dasar) yaitu membaca, menulis, dan berhitung. Anak mampudidik kemampuan maksimalnya setara dengan anak usia 12 tahun atau kelas 6 sekolah dasar, apabila mendapatkan layanan dan bimbingan belajar yang sesuai maka anak mampu didik dapat lulus sekolah dasar.

b. Mampu Latih

(49)

mengikuti pelajaran walaupun secara sederhana seperti membaca, menulis, dan berhitung.

c. Perlu rawat

Anak perlu rawat adalah klasifikasi anak tunagrahita yang paling berat, jika pada istilah kedokteran disebut dengan idiot. Anak perlu rawat memiliki kapasitas intelegensi dibawah 25 dan sudah tidak mampu dilatih keterampilan apapun.

3.

Tunagrahita Berdasar IQ

(50)

33

Tingkat kecerdasan tunagrahita dikelompokkan ke dalam tingkatan sebagai berikut:

a. Tunagrahita ringan memiliki IQ 70-55 b. Tunagrahita sedang memiliki IQ 55-40 c. Tunagrahita berat memiliki IQ 40-25 d. Tunagrahita sangat berat memiliki IQ <25 D. Hakikat Perkembangan Seksual Remaja Disabilitas

1. Perkembangan

Hurlock (Sumanto,2014:3) menjelaskan perkembangan sebagai seri perubahan yang progresif yang terjadi sebagai hasil dari kematangan dan pengalaman dengan tujuan memampukan individu untuk beradaptasi dengan lingkungan. Mussen cs (Sumanto,2014:3) mengungkapkan bahwa perkembangan adalah perubahan yang terjadi pada fisik, struktur neurologis, perilaku, ciri sifat, yang terjadi secara teratur dan masuk akal, dan menghasilkan yang baru, yang lebih baik, lebih sehat, lebih terorganisir, lebih stabil, lebih kompleks, lebih kompetens, dan lebih efisien.

(51)

manusia ditentukan oleh proses-proses biologis, kognitif, dan sosio-emosional.

a. Proses biologis (bioligical process)

Proses biologis melibatkan perubahan fisik dalam tubuh individu. Gen-gen yang diwariskan dari orang tua, perkembangan otak, tinggi, berat tubuh, perubahan dalam keterampilan motorik, dan perubahan hormonal di masa pubertas.

b. Proses kognitif (cognitive process)

Proses kognitif melibatkan perubahan pemikiran dan inteligensi individu. Proses ini melibatkan perubahan pemikiran, kecerdasan, dan bahasa dalam diri seseorang.

c. Proses sosio-emosional (socioemotional process)

Melibatkan perubahan dalam hal emosi, kepribadian, relasi, dengan orang lain, dan konteks sosial. apabila seseorang tidak mampu menjalani proses ini dengan baik maka akan membuat seseorang mengalami kehidupan yang terasing, rendah diri, pesimis, apatis, merasa cemas atau takut.

(52)

35

2. Perkembangan Seksual

Perkembangan seksual remaja disabilitas tidak jauh berbeda dengan remaja non disabilitas pada umumnya. Adair (Santrock,2007:83) mengatakan bahwa kemunculan pubertas telah diprogram dalam gen setiap manusia. Santrock (2007:83) mengatakan bahwa pubertas merupakan sebuah periode dimana kematangan fisik berlangsung pesat, yang melibatkan perubahan hormonal dan tubuh, yang terutama berlangsung di masa remaja awal. Hormon dalam hal perkembangan seksual ini merupakan zat kimiawi yang kuat yang diciptakan oleh kelenjar endokrin dan dibawa ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Perkembangan seksual akan tetap terjadi pada penyandang disabilitas selama tidak terjadi hambatan pada hormon yang diproduksi oleh tubuh.

Perkembangan seksual menurut Freud (Boeree, 2016:50) terdiri atas lima tahap, yaitu tahap oral (oral stage), tahap anal (anal stage), tahap phallus (phallic stage), tahap laten (latency stage) dan genital

(genital stage). a. Tahap oral

(53)

b. Tahap anal

Berlangsung dari usia 18 bulan sampai usia 3-4 tahun. Titik kenikmatan terletak pada anus. Memegang dan melepaskan sesuatu adalah aktivitas yang paling dinikmati. c. Tahap phallus

Berlangsung antara usia 3 sampai 5, 6 atau 7 tahun. Fase ini anak mengerti bahwa kelamin yang dimilikinya memiliki perbedaan dengan kakak, adiknya atau teman-temannya. Titik kenikmatan di tahap ini adalah alat kelamin, sementara aktivitas paling nikmatnya adalah masturbasi.

d. Tahap laten

Berlangsung dari usia 5, 6 atau 7 sampai usia pubertas (sekitar usia 11-12 tahun). Pada kisaran umur tersebut tingkah laku seksual seorang anak seolah-olah terpendam dan ditekan sedemikan rupa demi proses belajar.

e. Tahap genital

(54)

37

kita anggap “biasa” saat ini, tidak dianggap Freud sebagai

seksualitas yang normal.

3. Perkembangan Seksual Penyandang Tunagrahita

Praptiningrum (2006) mengatakan bahwa kondisi mental tunagrahita di bawah normal, namun secara fisik berkembang seperti anak normal pada umumnya, terutama yang berhubungan dengan seksualnya. Mereka tidak mempunyai pengetahuan cukup untuk mengerti soal seks, sehingga mereka sangat memerlukan bimbingan dan pelayanan tentang pendidikan seksual. Perilaku seksual yang ada pada anak tunagrahita sangat dipengaruhi oleh tingkat kemampuan mentalnya, reaksinya semakin terbuka, langsung dan spontan.

Taufan (2018) mengungkapkan bahwa remaja tunagrahita merupakan individu yang memiliki karakteristik yang sedemikian rupa, yang memiliki kecerdasan atau intelegensi dibawah rata-rata, kurang dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan, terjadi pada masa perkembangan. Walaupun kondisi mental dibawah normal, namun organ-organ seksualnya berkembang secara normal.

(55)

besar kecilnya hambatan yang dialami oleh penyandang tunagrahita tergantung dari tingkat tunagrahita yang diderita.

4. Remaja

Dalam periode perkembangan manusia secara umum dijabarkan dalam beberapa periode yaitu masa kanak-kanak, masa remaja dan masa dewasa. Dalam bagian ini peniliti hanya menjabarkan masa remaja secara spesifik. Masa remaja (adolescence) menurut Santrock (2007:20) ialah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Adapun kurun waktu masa remaja berada pada usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada sekitar usia 18 hingga 22 tahun. Perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional yang dialami remaja dapat berkisar mulai dari perkembangan fungsi seksual hingga proses berpikir abstrak hingga kemandirian.

(56)

39

identitas seringkali lebih menonjol dimasa remaja akhir dibandingkan dimasa remaja awal.

Pandangan dalam uraian ini cenderung berdasar pada proses biologis (termasuk seksual), kognitif dan sosio-emosional. Penentuan usia pada remaja ini sebenarnya bukanlah hal terpokok namun dapat digunakan sebagai acuan. Pengaruh gizi, pengalaman, kesempatan, kesehatan dan lain sebagainya mampu mempercepat atau memperlambat seseorang dalam melaksanakan tahap perkembangannya.

Tercapainya perkembangan yang ideal dapat terpenuhi bila ada keselarasan antara kedewasaan biologis (termasuk seks), kognitif dan sosio-emosional. Dalam kenyataannya penyandang disabilitas seringkali melewati tahap perkembangan ini tidak dengan tempo perkembangan yang harmonis. Hal ini terjadi karena sejak kehidupan manusia dipengaruhi oleh hormon. Hormon, jenis disabilitas dan tingkat disabilitas pun turut mempengaruhi tahap perkembangan seksual ini.

E. Hakikat Persoalan Kekerasan Seksual Pada Penyandang

Disabilitas

(57)

tak akan mampu memberikan perlawanan apabila mengalami kekerasan seksual. Kasus-kasus pelecehan seksual dan atau kekerasan seksual yang dialami penyandang disabilitas ini seringkali dianggap sebagai suatu kewajaran. Penyandang disabilitas tiga sampai empat kali lebih besar kemungkinannya untuk menjadi korban kekerasan.

Tim peneliti di John Moores University Liverpool dan World Organization telah melakukan sebuah tinjauan yang sistematis dan meta-analisis dari kajian-kajian yang ada mengenai kekerasan terhadap penyandang disabilitas. Tinjauan itu membicarakan 17 kajian dari negara-negara berpenghasilan rendah, karena tidak ada kajian berkualitas tinggi dari negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, perkiraan risiko menunjukkan bahwa anak penyandang disabilitas secara signifikan berisiko lebih tinggi untuk mengalami kekerasan dibandingkan dengan rekan-rekan mereka tanpa disabilitas: 3,7 kali lebih besar untuk berbagai macam bentuk kekerasan, 3,6 kali lebih besar untuk kekerasan fisik, dan 2.9 kali lebih besar untuk kekerasan seksual.

(58)

41

penyalahgunaan. Kedua, sejumlah anak penyandang disabilitas masih ditempatkan di pengasuhan rumah, yang merupakan faktor risiko utama untuk penyalahgunaan seksual dan fisik. Terakhir, kecacatan yang mempengaruhi komunikasi membuat beberapa anak jadi sangat rentan, karena mereka mungkin tidak akan bisa mengungkapkan tentang pengalaman yang abusif.

(59)

F. Kajian Penelitian yang Relevan

Terdapat beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yaitu:

Suwandi (2017) dalam penelitiannya yang berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Tunagrahita Sebagai Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam Sistem Peradilan Pidana menjelaskan bahwa penyandang disabilitas merupakan pihak yang rentan menjadi korban kejahatan termasuk kejahatan seksual. Bahkan walaupun sudah ada peraturan daerah yang mengatur tentang perlindungan terhadap disabilitas. Namun, kenyataannya masih banyak korban kekerasan seksual penyandang disabilitas belum terlindungi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa korban yang menyandang tunagrahita diperlukan penanganan yang berbeda karena walaupun korban memiliki usia kalender dewasa namun ia memiliki usia mental dibawah umur dan juga korban memutuhkan ahli psikologi untuk memahami kondisi mental korban.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Suwandi ini masih relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, karena tema penelitian masih seputar tunagrahita yang mengalami kekerasan seksual. Meski memiliki tema yang sama, masing-masing penelitian ini dibedakan oleh fokus penelitian dan tujuan penelitian.

(60)

43

berjudul tinjauan viktimologis kejahatan dan penghinaan terhadap penyandang cacat (studi kasus di kota Makasar). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peranan korban terhadap terjadinya kekerasan atau penghinaan terhadap penyandang cacat di kota Makassar antara lain karena kecacatannya dan potensi untuk membela diri kurang. Selain itu, upaya penanggulangan kejahatan kekerasan atau penginaan terhadap penyandang cacat di kota Makassar dititikberatkan pada upaya preemtif.

Relevansi antara penelitian milik Andi Eka Yustika dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti ialah topik pembahasan penelitian yang sama yakni mengenai kasus kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas. Penelitian yang dilakukan oleh Andi Eka Yustika lebih berfokus pada tinjauan viktimologis terhadap penyandang disabilitas yang mengalami kejahatan kekerasan dan penghinaan sedangkan peneliti lebih berfokus pada dampak-dampak yang muncul setelah penyandang disabilitas mengalami kasus kekerasan seksual.

(61)

44 BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini memuat beberapa hal yang berkaitan dengan metodologi penelitian, antara lain jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, subjek penelitian, teknik dan instrumen pengumpulan data, keabsahan data, dan teknik analisis data.

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan metode studi kasus. Denzin dan Lincoln (Moleong, 2017) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Moleong (2011:8) menyatakan bahwa studi kasus adalah pengujian intensif menggunakan berbagai sumber bukti terhadap suatu entitas tunggal yang dibatasi oleh ruang dan waktu sedangkan pendekatan kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari pengaruh sosial yang tidak dapat dijelaskan, diukur atau digambarkan melalui pendekatan kualitatif.

Creswell (2013) menyatakan bahwa penelitian studi kasus adalah penelitian yang dilakukan terhadap suatu objek, yang disebut sebagai kasus, dilakukan secara seutuhnya, menyeluruh, dan mendalam dengan menggunakan berbagai macam sumber data.

(62)

45

dialami oleh penyandang disabilitas khususnya penyandang disabilitas tunagrahita ringan.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian ini dilaksanakan pada yayasan yang mengatasi berbagai kasus terkait penyandang disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta. Waktu penelitian yang sudah ditentukan yaitu pra-penelitian pada Oktober 2018 sampai November 2018 dan penelitian pada januari 2019.

C. Responden Penelitian

(63)

D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi. Teknik wawancara yang digunakan peneliti adalah wawancara baku terbuka. Moleong (2008) mengungkapkan bahwa wawancara baku terbuka adalah wawancara yang menggunakan seperangkat pertanyaan baku. Urutan pertanyaan, kata-katanya, dan cara penyajiannya pun sama untuk setiap responden. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Hasil wawancara akan dirubah dalam bentuk verbatim dengan menuliskan setiap percakapan dalam wawancara. Panduan wawancara dalam tabel 1.

Selain wawancara, peneliti juga melakukan teknik observasi. Observasi yang digunakan ialah observasi partisipasi di mana observer turut mengambil bagian secara langsung di dalam situasi kehidupan dan situasi dari individu yang diobservasi. Observasi partisipasi ini, maka data yang diperoleh aka lebih lengkap, tajam, dan samapi mengetahui pada tingkat mana dari setiap perilaku dan proses kerja responden sebagai sumber data.

(64)

47

1. Teknik Wawancara

Pedoman wawancara berisikan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada responden. Wawancara dilakukan untuk mengetahui bentuk kekerasan seksual yang dialami responden, dampak-dampak kekerasan seksual, bentuk perlawanan yang dilakukan responden dan bagaimana responden mengelola pengalaman kekerasan seksual agar sehat secara psikologis. Selama proses wawancara peneliti menggunakan bahasa yang lebih sederhana agar mudah dipahami oleh AE. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menggunakan bahasa yang lebih sederhana namun tetap sesuai dengan pedoman wawancara. Alasan menggunakan bahasa yang lebih sederhana karena AE merupakan penyandang tunagrahita yang kurang memahami kalimat-kalimat baku.

Tabel 1

Panduan Pertanyaan Wawancara

Aspek Pertanyaan

Bentuk kekerasan seksual 1. Apa bentuk kekerasan seksual yang adek alami?

2. Bagaimana adek mengalami kekerasan tersebut?

Dampak-dampak kekerasan seksual

1. Apa saja dampak-dampak kekerasan seksual yang adek alami?

2. Dampak psikologis seperti apa yang muncul?

3. Dampak fisik seperti apa yang muncul? 4. Dampak sosial apa saja yang muncul? 5. Dampak pribadi dan sosial seperti apa

(65)

Bentuk perlawanan 1. Perlawanan apa saja yang adek lakukan saat mengalami kekerasan seksual? 2. Bentuk perlawanan yang seperti apa

yang keluarga adek lakukan? 3. Bagaimana cara adek melawan? Cara menghadapi

tantangan

1. Bagaimana adek berjuang menghadapi kesulitan pasca kekerasan seksual? 2. Bagaimana adek mengelola pengalaman

tersebut agar sehar secara psikologis? 3. Apa saja kesulitan yang adek alami

selama mengelola pengalaman tersebut? 4. Apa dukungan yang adek harapkan agar dapat mengelola pengalaman tersebut? 5. Apa yang adek rasakan saat berhasil

mengelola pengalaman tersebut?

2. Teknik Observasi

Observasi yang peneliti gunakan adalah observasi partisipasi. Observasi partisipasi berarti peneliti terlibat langsung dalam aktivitas, peneliti tidak hanya sebagai pengamat. Peneliti melakukan observasi terhadap responden ketika pertama kali melakukan pendekatan dan selama pengumpulan data. Observasi dilakukan ketika responden di rumah dan di taman saat responden berinteraksi dengan orang lain dan saat responden sendirian.

Tabel 2

Lembar Panduan Observasi

No. Hari/tanggal Pukul Deskripsi

1.

(66)

49

E. Keabsahan Data

Agar penelitian ini valid, maka data yang diperoleh perlu keabsahannya. Metode pengujian keabsahan data yang digunakan adalah Triangulasi Sumber.Sugiyono (2017) menyatakan bahwa triangulasi sumber untuk menguji kredebilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Patton (Moleong, 2017) mengungkapkan bahwa triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Peneliti membandingkan data hasil observasi dengan hasil wawancara.

F. Teknik Analisis Data

Moleong (2017) mengungkapkan bahwa analisis data yang terdapat dalam penelitian kualitatif dimulai sejak awal pengumpulan data. Bogdan (Sugiyono, 2017) menyatakan bahwa analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan verbatim dari hasil wawancara, melakukan sistem pengkoden

(67)

1. Data Reduction (Reduksi Data)

Reduksi data merupkan proses berpikir sensitif yang memerlukan kecerdasan dan keluasan dan kedalaman wawasan yang tinggi. Mereduksi data berarti merangkum, memilah, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, yang baru, dicari makna, tema dan polanya. Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

2. Data Display (Penyajian Data)

Melalui penyajian data, maka data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami. Penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk: narasi, uraian s ingkat, bagan, hubungan antar kategori, flowcart dan sejenisnya. Teks yang bersifat naratif merupakan penyajian data yang sering digunakan. 3. Conclusion drawing/verifiction (Penarikan kesimpulan/verifikasi)

(68)

51

(69)

52 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi deskripsi data dan pembahasan berupa informasi-informasi yang sudah diperoleh sebagai hasil penelitian. Untuk menjaga responden, maka nama dan beberapa informasi lainnya disamarkan.

A. Deskripsi Data

Penelitian ini menggunakan metode wawancara dan observasi. Penelitian ini dimulai dengan observasi dan melakukan pendekatan dengan responden. Selanjutnya peneliti menanyakan kesediaan responden untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Setelah menyatakan kesediaan menjadi responden, langkah selanjutnya menentukan waktu dan tempat yang tepat bertemu dengan responden untuk wawancara mendalam. Waktu dan tempat pelaksanaan wawancara disesuaikan dengan waktu luang, situasi dan kondisi responden. Observasi dilakukan sebanyak dua kali dalam hari yang sama.

Tabel

Agenda Pelaksanaan Wawancara dan Observasi

Inisial Responden

Waktu Tempat Keterangan

(70)

53

2019

12.56- 13.20 WIB

Yogyakarta

1. Deskripsi Umum Responden :

Nama : AE

Alamat : Bantul

Usia : 20 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Jenis Disabilitas : Tunagrahita ringan Anak ke : 2 dari 2 bersaudara

Penampilan :Berperawakan sedang, berkerudung, bentuk wajah lonjong, hidung sedang, berpakaian rapi dan sopan.

Riwayat pendidikan : SLB Negeri Surakarta kemudian riwayat pendidikan terakhir di SMK N yogyakarta Ciri-ciri keperibadian : Ramah, terbuka, perhatian, mudah bergaul.

2. Hasil Penelitian

(71)

a. Bentuk Kekerasan

Bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh responden ialah kasus pemerkosaan. Hal ini dapat dlihat dari kutipan wawancara dengan responden.

“Pemerkosaan dan penipuan mbak” (DA121/DPS-w/003)

Hal ini juga senada dengan apa yang disampaikan oleh informan dan dapat dilihat dari kutipan wawancara dengan informan.

“Jadi AE itu hanya mengalami kasus perkosaan tidak mengalami bentuk kekerasan seksual non verbal yang

lain.” (DI241/DPS-w/003-004)

Selain itu kekerasan seksual yang dialami oleh responden ialah pelecehan seksual verbal melalui media sosial dengan pesan yang bernada mesum. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh informan yakni :

“Pelaku dan AE itu cuma wa- wa-nan berapa kali. Di WA-nya aja nada-nadaWA-nya pelaku udah mesum kok.” (DI241/DPS-w/014-016)

Pelaku menipu responden dengan mengajak responden pergi ke pantai namun ternyata pergi ke losmen dan niat pelaku tidak diketahui oleh responden. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara dari responden yang terdapat dalam kutipan sebagai berikut:

(72)

55

Pelaku juga melakukan penipuan kepada pihak losmen dengan memakaikan jaket pelaku kepada responden. Kutipan wawancara sebagai berikut

“Dan pas udah di losmen, pihak losmennya ngelarang kami masuk mbak, aku masih pake baju sekolah. Habis itu aku diajak keliling-keliling sebentar terus balik ke losmen itu lagi tapi pake jaketnya."(DA121/DPS-w/010-013)

Informan juga menyampaikan hal yang sama mengenai penipuan yang dialami responden dengan hasil wawancara yang lebih rinci. Berikut kutipan informan:

“Taunya ya diajak main ke pantai main gitu aja. Yang lainnya gak tau, dibawa ke losmen itu juga gak rencana, gak tau si AE.” (DI241/DPS-w/018-019).

b. Dampak-dampak yang dialami oleh Responden

Setelah mengalami kasus pemerkosaan dampak-dampak yang dialami oleh responden meliputi dampak psikologis, dampak fisik, dan dampak sosial. Kutipan wawancara sebagai berikut:

“Ya banyak mbak, dampaknya ke perasaanku, pikiranku, badanku, keluargaku dan juga ngaruh kelingkunganku

mbak.” (DA121/DPS-w/018-020)

(73)

baru. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan hasil wawancara sebagai berikut:

“Aku jadi takut mbak. Apalagi gelap, karna waktu kejadian di losmen itu gelap. Aku jadi trauma tiap mau ketemu laki-laki baru dan takut ke sekolah.” (DA121/DPS-w/024-027)

Selain itu dampak psikologis yang dialami oleh responden ialah takut sendirian, tidak fokus dan sedih berkepanjangan. Hal ini terungkap pada hasil wawancara:

“Karena masalah itu aku jadi trauma kemana-mana, kalau pergi mesti ada temennya dan waktu itu jadinya gak masuk sekolah beberapa minggu, padahal bulan-bulan itu aku lagi persiapan UN. Ganggu pelajaran juga mbak. Aku gak fokus. Sedih terus.” (DA121/DPS-w/048-052)

Tak hanya takut sendirian, tidak fokus, dan sedih berkepanjangan, responden juga mengalami kecederungan bunuh diri karena merasa dirinya sudah tidak berharga lagi dan merasa minder. Hal ini terungkap pada hasil wawancara:

“Pingin bunuh diri mbak. Aku ngerasa gak berharga lagi. Pikirku ahh nggo ngopo urip ki. Hahaa.. kadang aku juga minder karna udah ndak perawan lagi dan kalau udah gitu ya aku nangis lagi” (DA121/DPS-w/054-057)

Responden AE mengalami penurunan harga diri atau rendah diri. Hal ini terungkap secara implisit didalam hasil wawancara.

Gambar

Tabel 2: Lembar Panduan Observasi ....................................................................
Tabel 1 Panduan Pertanyaan Wawancara
Tabel 2 Lembar Panduan Observasi
Tabel  Agenda Pelaksanaan Wawancara dan Observasi

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisis dapat disimpulkan bahwa terdapat dampak pada perkembangan anak korban kekerasan seksual baik pada perkembangan

korban kekerasan seksual, Yayasan KAKAK tidak terlepas

tindak pidana kekerasan atau kejahatan seksual dimana anak sebagai korban. secara

Penyandang disabilitas intelektual sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Ponorogo memiliki hak yang sama untuk memperoleh perlindungan hukum dari

Hasil penelitian menunjukkan informan korban mengalami kekerasan seksual dengan sentuhan melibatkan kontak fisik dengan pelaku, memaksa menyentuh dan memasukkan alat organ

(P) Bagaimana kronologis peristiwa pelaporan kasus kekerasan seksual pada anak. (FS) kejadian tindak pencabulan di Dusun III Desa Tumpatan Nibung

Monitoring data anak korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia tahun 2011 menunjukkan dari 110 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum korban penyandang cacat yang mengalami kejahatan kekerasan. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat perlindungan hukum