• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN KEBIJAKAN EKONOMI BATIG SLOT POLITIEK KOLONIAL BELANDA DAN DAMPAKNYA BAGI MASYARAKAT JAWA TAHUN 1864-1867 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PELAKSANAAN KEBIJAKAN EKONOMI BATIG SLOT POLITIEK KOLONIAL BELANDA DAN DAMPAKNYA BAGI MASYARAKAT JAWA TAHUN 1864-1867 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN KEBIJAKAN EKONOMIBATIG SLOT POLITIEK KOLONIAL BELANDA DAN DAMPAKNYA BAGI MASYARAKAT

JAWA TAHUN 1864-1867

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh :

Fransisca Krisna Adyanti Sanjaya NIM: 074314008

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

HALAMAN MOTTO

Great is the art of beginning, but greater is the art of ending..

(7)

vii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk :

Allah Bapa,yang begitu sayang padaku

Bpk.Heribertus Puryadi dan Ibu Anastasia Susani,kedua

orangtuaku yang sangat,sangat luarbiasa...Pak,Buk...maturnuwun

atas segala cinta, kesabaran, dan pengorbanan yang tulus untukku

Keluarga Besarku di Desa Kelor tercinta...terimakasih atas

segala nasehat dan semangatnya...aku berjanji tidak akan

mengecewakan kalian

Sahabat-sahabatku tercinta: mb endah, mb ning, Titin (anak-anak kos mbah Harjo community),mb wahyu

purple,winda...terimakasih sahabat, karena kalianlah hidupku jadi

sangat berwarna

Mb wahyu purple,terimakasih mb udah mau menemani ku dan

berbagi kasih lebih dari 4 tahun ini...sahabat yang luarbiasa

dihari=hari yang semakin sulit ini

Konco-konco Ilmu Sejarah 07 : gia, mb wahyu, audi, andri, adi, tian, bene,irawan,aryo..merasa sangat luarbiasa bisa berjuang

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah Bapa di surga yang begitu luarbiasa mencurahkan kasih dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tidak lupa juga penulis mengucapkan banyak terimakasih yang tidak terhingga kepada berbagai pihak yang telah membantu selama proses penyelesaian skripsi ini, yaitu :

1. Allah Bapa di surga atas segala kasih dan karunia-Nya yang luar biasa kepada penulis.

2. Bapak Heribertus Puryadi dan Ibu Anastasia Susani, kedua orangtua penulis yang telah berpeluh keringat memberikan kasih sayang, cinta, nasehat, semangat, ketulusan, pengorbanan, dan kesabaran yang luar biasa bagi penulis terutama di masa-masa sulit.

3. Drs. Silverio R.L Aji Sampurno, M.Hum selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah sekaligus pembimbing yang telah memberikan masukan-masukan, bimbingan-bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Drs. Hb.Hery Santosa, M.Hum atas segala nasihat, dorongan, serta semangat yang sangat mengena bagi penulis sehingga memicu semangat penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

(9)

ix

6. Seluruh staff pengajar Ilmu Sejarah yang selama 4 tahun telah dengan sabar dan kehebatannya membagikan ilmunya yang sangat bermanfaat bagi penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan 4 tahun masa studi ini.

7. Teman-teman Ilmu Sejarah 2007 : Gia, Wahyu, Andri, Audi, Adi, Tian,Bene, Irawan, Aryo, luarbiasa memiliki teman seperjuangan seperti kalian dengan segala kekompakan, kesolidan dan keakraban kita..miss u all guys.

8. Sahabat-sahabatku : mb Endah, Mb ning, Titin ( anak-anak kos Mbah Harjo community), mb wahyu, winda. Terimakasih sahabat, kalian memberikan arti persaudaraan, kebersamaan dan kebahagiaan yang luarbiasa bagi penulis.

9. Mbak wahyu “purple”, terimakasih mbak untuk berjuang bersamaku

selama 4 tahun ini dan terimakasih atas segala semangat, nasihat, kasih, serta persahabatan yang tulus untukku. Semoga kita dapat meraih semua mimpi kita mbak!

10. Serta semua teman-teman, keluarga besarku, serta seluruh pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas segala bantuan, dorongan, serta semangat bagi penulis.

(10)

x

bagi perkembangan studi Ilmu Sejarah selanjutnya serta bermanfaat sebagai tambahan ilmu pengetahuan bagi masyarakat luas.

Yogyakarta, 26 Agustus 2011

(11)

xi

ABSTRAK

Skripsi ini ditulis oleh FRANSISCA KRISNA ADYANTI SANJAYA, yang berjudul PELAKSANAAN KEBIJAKAN EKONOMI BATIG SLOT

POLITIEK KOLONIAL BELANDA DAN DAMPAKNYA BAGI

MASYARAKAT JAWA TAHUN 1864-1867

Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi Batig Slot Politiek Kolonial Belanda Dan Dampaknya Bagi Masyarakat Jawa Tahun

1864-1867” ini, bertujuan untuk mengkaji tiga permasalahan pokok, yaitu latar belakang munculnya kebijakan ekonomi Batig Slot Politiek di Jawa, proses jalannya pelaksanaan kebijakan ekonomi ini, serta untuk mengkaji dampak yang ditimbulkan dari munculnya kebijakan ekonomi Batig Slot Politiek selama periode 1864-1867.

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis dengan menggunakan teori dan metode sejarah. Metode ini melalui beberapa tahap atau langkah-langkah pengumpulan sumber dan data. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini dengan melakukan studi pustaka sumber-sumber sekunder seperti buku-buku, dokumen-dokumen tertulis, atau referensi-referensi lain yang berkaitan dengan topik penelitian atau yang disebut dengan istilah prosesheuristik.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa selama proses pelaksanaan kebijakan ekonomi Batig Slot Politiek selama periode 1864-1867, pelaksanaan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda, pada kenyataannya banyak terjadi ketidak sesuaian dengan janji yang diberikan oleh pemerintah kolonial. Begitupun juga pada masa pemberlakukan sistem kesatuan ekonomi kolonial Belanda yang dikuatkan dengan munculnya Comtabiliteits wet 1864. Keluarnya sistem kesatuan ekonomi ini pada dasarnya berusaha untuk memperbaiki sistem atau kebijakan pemerintah kolonial sebelumnya yang bagi beberapa golongan dirasa sangat mengeksploitasi rakyat.

(12)

xii ABSTRACT

This thesis is written byFRANSISCA KRISNA ADYANTI SANJAYA, titled PELAKSANAAN KEBIJAKAN EKONOMI BATIG SLOT POLITIEK KOLONIAL BELANDA DAN DAMPAKNYA BAGI MASYARAKAT JAWA TAHUN 1864-1867.

Thesis titled “Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi Batig Slot Politiek

Kolonial Belanda Dan Dampaknya Bagi Masyarakat Jawa Tahun 1864-1867”, intends to analyze three main problems, being the background of the Batig Slot

economic policy in Java, the implementation of the policy and the effect of the policy implementation between 1864-1867.

This research is a descriptive-analytic research using historical methods and theories. This method comprises of several steps in collecting sources and data. The steps conducted in this research involves literary studies of secondary sources including books, written documents and other references considered relevant to the research topic, the process is known as heuristic process.

The result of this research shows that during the implementation of Batig Slot policy between 1864-1867, many inconsistencies occur in terms of the result promised by the colonial government. The same goes to the implementation of the Dutch colonial economic unitary system regulated and enforced by the issuing of

Compabiliteits Wetin 1864. The issuing of this economic unitary system basically intended to fix the preceding colonial government system and policy which was considered very exploitative to the people.

This system is then narrowed even further with the Batig Slot Politiek

(13)

xiii A. Intensifikasi Sistem Tanam Paksa dan Menguatnya Liberalisme di Jawa... 28

(14)

xiv

BAB III BATIG SLOT POLITIEK 1864DAN USAHA-USAHA PEMULIHAN CITRA

KOLONIAL BELANDA

A. Comptabiliteits Wet 1864 dan Penetapan Sistem Kesatuan Ekonomi

Kolonial Belanda... 58

B. Pemberlakuan Kebijakan Ekonomi Batig Slot Politiekdi Tanah Jawa dan Usaha-Usaha Pemulihan Citra Kolonial... 73

BAB IV KAPITALISASI KOLONIAL DAN DAMPAKBATIG SLOT POLITIEK BAGI MASYARAKAT JAWA A. Liberalisasi dan Eksploitasi Ekonomi Kapitalisme Kolonial... 78

B. Comptabiliteits Wet 1867 dan Pembubaran Sistem Kesatuan Ekonomi Kolonial Belanda... 87

C. Dampak KebijakanBatig Slot PolitiekBagi Masyarakat Jawa... 95

BAB V PENUTUP... 105

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kolonialisme Belanda selama tahun 1800-an sampai tahun 1942, disadari atau tidak, telah memberikan beberapa perubahan penting dalam dinamika sejarah Indonesia.1 Tahun-tahun pemerintahan kolonial Belanda, pada dasarnya menerapkan sistem pemerintahan yang cenderung sentralistik. Pemerintah kolonial berupaya untuk menguasai segala struktur pemerintahan yang sudah ada di wilayah jajahan, di bawah pemerintahan atau pengawasannya langsung, termasuk struktur pemerintahan pribumi seperti para bupati. Pemerintah kolonial ini berusaha untuk dapat memasuki semua bidang kehidupan, khususnya politik dan ekonomi. Pemerintah kolonial berupaya keras agar segala bidang tersebut dapat dimonopoli sepenuhnya dengan tujuan mendapatkan legitimasi kekuasaan politik dan ekonomi.

Berbicara mengenai masa kolonialisme Belanda, masalah yang seringkali menjadi pembahasan pokok dalam setiap kajian sejarah adalah masalah ekonomi. Khusus kolonialisme di Jawa, kolonialisme ekonomi pemerintah kolonial Belanda lebih menekankan pada masalah pertanian. Pada masalah ini, pemerintah kolonial membidik tanah Jawa sebagai lahan yang subur bagi usaha-usahanya dalam

1

(16)

memperoleh legitimasi ekonomi. Seperti diketahui bahwa pemerintah kolonial Belanda telah melihat bahwa tanah jajahan di Jawa memiliki potensi ekonomi yang luar biasa menguntungkan, dalam artian bahwa Jawa memiliki sumber daya alam khususnya tanah yang melimpah dan luas sekaligus sumber daya manusianya yang dapat dimanfaatkan.

Seperti yang telah diketahui, sejak kongsi dagang Belanda yaitu VOC, menancapkan kekuasaanya di Nusantara tahun 1602, arah dan tujuan Belanda telah nampak jelas di Nusantara yaitu mencari keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. Bahkan ketika kongsi ini harus dibubarkan pada tahun 1798 dan diambil alih oleh pemerintah Belanda sendiri, tujuan penjajahan tetap berlanjut.2 Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan ekonomi telah menjadi suatu pola penjajahan utama bagi setiap periode penjajahan di berbagai belahan dunia. Penjajahan yang berbasis pada monopoli ekonomi terutama yang berlangsung selama bertahun-tahun, akan memberikan dampak tersendiri bagi wilayah yang dijajahnya entah berdampak secara positif maupun negatif yang meluas di masyarakat, dalam artian memberikan dampak positif dalam bidang penemuan-penemuan baru dalam sistem pertanian masyarakat. Sedangkan dampak negatif akan lebih mudah dilihat selama proses kolonialisme berlangsung di Indonesia. Apabila dilihat konteks historisnya, kecenderungan keuntungan sepihak tetap dimiliki oleh pihak penjajah, sedangkan yang menjadi korban sekali lagi adalah masyarakat pribumi.

Bagi Indonesia sendiri, masa kolonialisme dapat dikatakan sebagai masa tersulit. Salah satu periode terpenting sekaligus dapat dikatakan juga sebagai masa

2

(17)

tersulit dalam sejarah pendudukan kolonial di Indonesia adalah masa pelaksanaan kebijakan Tanam Paksa (1830-1870). Tentunya telah banyak tulisan-tulisan dalam historiografi Indonesia yang mengangkat tema utama Tanam Paksa sebagai kajian pokok penelitiannya. Namun di sisi lain, belum banyak juga pembahasan mengenai berbagai macam kebijakan khusus yang muncul selama pelaksanaan Tanam Paksa tersebut. Kebijakan-kebijakan tersebut seringkali menjadi penentu dari arah atau tujuan kolonialisme di Indonesia, bahkan dapat dijadikan gambaran bagaimana kondisi sosial, ekonomi, dan politik masa kolonial tersebut. Namun sayangnya belum banyak yang mengangkat kebijakan-kebijakan tersebut sebagai kajian penelitian yang penting.

Kondisi sosial, ekonomi, bahkan politik pada masa 1800-an, mengalami ketidakstabilan yang cukup hebat akibat adanya sistem pemerintahan kolonial yang cenderung memaksa. Kehidupan agraris masyarakat pribumi yang sebagian besar menerapkan sistem ekonomi subsisten3, dipaksa untuk memenuhi tuntutan dari pemerintah kolonial yaitu menghasilkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya yang pada akhirnya justru hanya dapat dirasakan oleh pemerintah kolonial sendiri. Oleh karena kepentingan sepihak dari pihak kolonial tersebut, kondisi masyarakat Jawa tidak semakin baik tetapi semakin miskin dan mengalami pembodohan yang dilakukan oleh pemerintah demi mencapai keuntungan ekonomi tesebut. Secara garis besar, kondisi masyarakat Jawa tidak

3

(18)

mengalami perkembangan ataupun kemajuan yang signifikan bahkan tidak memiliki modal untuk dapat meningkatkan perekonomian mereka, salah satunya modal tanah yang mereka miliki. Masyarakat Jawa hanya sekedar dimanfaatkan sebagai sumber penyedia tenaga kerja yang murah serta memiliki tanah yang sangat potensial. Inilah yang kemudian berusaha dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial dengan melihat kondisi sosial masyarakat Jawa yang sederhana tersebut demi mencapai tujuannya. Itulah mengapa rakyat Jawa dapat dikatakan mengalami pembodohan secara terstruktur.

Garis besar sistem ekonomi Belanda di negeri jajahan, dapat dibagi ke dalam beberapa periode, yaitu tahun 1800an awal merupakan suatu periode percobaan, contohnya adalah bagaimana usaha untuk menerapkan pajak tanah yang seragam, tetapi pada akhirnya gagal. Ini terjadi ketika berakhirnya masa pemerintahan peralihan Inggris. 4 Periode kedua yaitu sekitar tahun 1830 sampai tahun 1870 termasuk dalam periode Tanam Paksa, menjadi suatu periode pemerasan tenaga secara sistematis. 5 Masa Tanam Paksa mulai diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 dan berpusat di Jawa yang dinilai potensial secara sumber daya alam maupun manusianya dalam memberikan surplus keuntungan ekonomi pemerintah kolonial. Pada masa ini, pemerintah kolonial memaksakan adanya penanaman tanaman yang memiliki nilai jual tinggi di pasaran Eropa yang akan dimanfaatkan untuk mengisi kas negara. Selain itu, pada awalnya sistem ini bertujuan untuk menggantikan sistem

4

Anne Booth, William J.O’Malley, Anna Weidemann. 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta : LP3ES. Hal. 290-291

5

(19)

Sewa Tanah yang dianggap tidak sesuai untuk rakyat karena menghendaki rakyat menyerahkan pajak dalam bentuk uang yang sangat dirasa berat untuk rakyat. Sistem Tanam Paksa pada awalnya berangkat dari prinsip membebaskan rakyat untuk menanam tanaman sesuai keinginan mereka.

Tujuan utama dari Sistem Tanam Paksa ini sebenarnya adalah menghasilkan surplus sebesar mungkin yang akan digunakan di negeri induk Belanda melalui intensifikasi Tanam Paksa. Namun kebijakan surplus ini justru pada prakteknya sangat merugikan rakyat. Selain rakyat dipaksa tenaganya untuk menanam tanaman yang secara sepihak hanya menguntungkan pihak kolonial, mereka juga harus merasakan minimnya fasilitas umum bagi mereka.6

Melihat berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial, sangat sulit untuk mengukur seberapa besar presentase keuntungan yang didapatkan oleh rakyat. Kesengsaraan ditengah kondisi kehidupan mereka yang pada dasarnya sangat sederhana bahkan cenderung miskin, semakin diperparah dengan berbagai kebijakan-kebijakan yang menekan tersebut. Kondisi-kondisi semacam inilah yang pernah dirasakan oleh rakyat Indonesia semasa pemerintahan kolonial Belanda. Kondisi ini juga terjadi ketika munculnya suatu kebijakan ekonomi yang disebut sebagai kebijakan ekonomi Batig Slot Politiek (1864-1867).7 Kebijakan ini yang menjadi salah satu dari kebijakan-kebijakan

6

Kerugian yang dirasakan oleh rakyat terutama dalam bidang pendidikan dan administrasi pengadilan yang pengeluarannya ditekan habis untuk menutupi biaya administrasi ekspor hasil-hasil tanaman paksa.

7

(20)

ekonomi yang belum banyak diangkat dalam historiografi Indonesia yang dalam prosesnya menjadi bagian penting dalam periode pelaksanaan Tanam Paksa.

Politik praktis Belanda untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya, tercermin dalam pelaksanaan Batig Slot Politiek yaitu kebijakan keuntungan bersih Belanda yang didapat dari surplus pajak di negeri jajahan dalam hal ini adalah surplus dari pajak Tanam Paksa. Sistem dari kebijakan ini dijalankan melalui sistem bagi hasil dari surplus yang didapat dari intensifikasi Tanam Paksa. Sistem bagi hasil ini dibagi untuk wilayah jajahan khususnya Jawa dan negeri induk Belanda. Kebijakan ini juga merupakan bagian dari sistem kesatuan ekonomi keuangan pemerintah kolonial Belanda yang disahkan melalui suatu peraturan pemerintah yang bertujuan untuk semakin mengintensifkan Tanam Paksa untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya melalui beberapa peraturan-peraturan yang ada di dalamnya. Namun tujuan semula dari kebijakan ini adalah untuk memperbaiki citra dari kolonial melalui sistem pembagian surplus dari Tanam Paksa untuk tanah Jawa maupun negeri induk Belanda. Sehingga dengan adanya sistem bagi hasil tersebut, pemerintah kolonial dapat

(21)

yang didapat pada prakteknya justru lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan negara induk.

Munculnya pemikir-pemikir liberal yang mencoba menekan eksploitasi pemerintah kolonial, juga tidak berdampak lebih baik bagi kehidupan rakyat. Inisiatif swasta untuk menekan ekploitasi pemerintah justru menjadi bibit tumbuhnya sistem penjajahan baru, yaitu kapitalisasi swasta.Namun di sisi lain, banyak juga para pemikir-pemikir kritis yang dengan tajam mengkritisi kebijakan pemerintah ini yang dianggap mengabaikan kepentingan-kepentingan masyarakat pribumi ini. Sayangnya, kritik-kritik ini pun hanya berhenti pada tataran teori saja, sedangkan pada prakteknya, tidak memberikan hasil yang berarti.

Sistem kesatuan ekonomi ini mulai dilaksanakan pada tahun 1864 ketika diterimanya Comtabiliteits wet (peraturan pemerintah) yang menekankan bahwa anggaran belanja pemerintah kolonial di daerah jajahan ditentukan oleh Undang-Undang negeri induk sehingga ada suatu bentuk pengawasan dari negeri badan legislatif di Belanda. 8Keluarnya peraturan ini, menjadi acuan pokok pemerintah kolonial Belanda untuk semakin melegitimasi kekuasaannya atas kekayaan ekonomi dari negeri jajahannya. Hal ini menjadi pembenaran atas politik eksploitasi ekonomi Belanda karena berdasarkan pendapat umum, daerah-daerah jajahan memang seharusnya memberikan keuntungan bagi negeri induk.9 Namun adanya peraturan ini juga sebagai pengatur untuk pelaksanaan sistem bagi hasil

8

Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto,op.cit ,hal. 11 9

(22)

antara wilayah jajahan dengan negeri induk. Sistem bagi hasil surplus ini mengacu pada sistem kesatuan ekonomi kolonial Belanda dengan tanah Jawa yang telah dikeluarkan.

Pada masa intensifikasi Tanam Paksa yang ditujukan guna memenuhi neraca pendapatan dalamBatig Slot Politiek, banyak terjadi perluasan tanah-tanah komunal dengan tujuan peningkatan hasil produksi. Pemerintah membebankan penyediaan tanah dan tenaga kerja ke desa dengan alasan untuk memudahkan penanganannya. Inipun dengan menambah lagi luas tanah yang digunakan untuk Tanam Paksa dari 1/5 tanah meluas sampai ½ bahkan seluruh desa.10 Pemerintah kolonial juga mulai menerapkan semacam dualisme sistem ekonomi di sini yang mana mereka kembali menerapkan sistem sewa tanah melalui usaha peningkatan jumlah penduduk yang memiliki tanah sendiri.11 Hal ini dilakukan sebagai upaya dari pemerintah kolonial untuk meningkatkan penyediaan tanah untuk penanaman tanaman ekspor, penyediaan tenaga kerja wajib, sekaligus tetap mendapatkan pajak sewa tanah dari tanah individu tersebut yang tidak digunakan untuk penanaman tanaman ekspor guna meningkatkan pemasukan.12 Hal ini dilakukan

10

(23)

guna meningkatkan surplus produksi tanaman ekspor demi memenuhi neraca pendapatanBatig Slot Politiek.

Kondisi ini menjadikan rakyat semakin tidak berdaya. Mereka pada

akhirnya justru menjadi “buruh paksaan” di atas tanah mereka sendiri.

Memanfaatkan pola hidup masyarakat yang subsisten dan dikelilingi oleh tanah-tanah yang sangat potensial serta tenaga kerja yang murah, pemerintah kolonial dengan mudah dapat menerapkan berbagai kebijakan yang mengarah pada keuntungan ekonomi sepihak yang pada akhirnya menghasilkan kekuatan ekonomi yang tidak berimbang meskipun dijanjikan adanya sistem bagi hasil untuk wilayah jajahan.

Keluarnya kebijakan ini pada dasarnya tetap mengacu pada sistem Tanam Paksa. Akan tetapi kebijakan ini lebih difokuskan pada cara memberikan keuntungan maksimal bagi negeri induk yang akan dipergunakan untuk membiayai hutang-hutang pasca perang hegemoni perdagangan dan juga membagi hasil tersebut untuk wilayah jajahan, salah satunya melalui pembangunan sarana-sarana infrastruktur seperti jalur kereta api, irigasi, dan sebagainya. Garis besar pelaksanaan kebijakan Batig Slot Politiek ini adalah mengambil surplus pajak hasil produksi intensifikasi Tanam Paksa untuk disalurkan ke kas negeri induk, yaitu di negeri Belanda dan wilayah jajahan khususnya Jawa. Pada prosesnya nanti, kebijakan-kebijakan ini akan memperlihatkan beberapa dampak bagi masyarakat Jawa.

(24)

yang kemudian menjadi kajian pokok penulisan ini adalah pembahasan mengenai apa sebenarnya Batig Slot Politiekitu dan bagaimana jalannya kebijakan tersebut dilaksanakan yang mana belum banyak ditulis atau dibahas. Penulisan ini menetapkan periode waktu dari tahun1864-1867 karena pada masa tersebut menjadi masa-masa yang dipenuhi dengan berbagai gejolak sosial, ekonomi, bahkan politik di dalam wilayah pemerintahan kolonial Belanda khususnya Jawa. Selain karena semakin kuatnya tekanan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap kehidupan masyarakat pribumi dengan menjadikannya sebagai tenaga kerja paksa dan pemaksaan terstruktur penyerahan hasil bumi yang berlebih ke pemerintah kolonial, tekanan sebaliknya juga di dapatkan oleh pemerintah kolonial sendiri. Berbagai tekanan dan kecaman dari berbagai pihak baik dari dalam pemerintahan itu sendiri ataupun dari pihak luar, nyatanya akan memberikan dampak tersendiri berkaitan dengan kebijakan ini.

(25)

setiap keuntungan yang dihasilkan negeri jajahan, akan menjadi penghasilan atau pemasukan bagi negeri Belanda.13 Namun juga dengan tetap memperhatikan kepentingan wilayah jajahan di Jawa melalui pembagian surplus pendapatan. Oleh karena itulah, maka kebijakan ini dimunculkan.

Sedangkan tahun 1867 merupakan tahun dimana Peraturan Pemerintah dikeluarkan lagi dengan isi yang menyatakan bahwa sistem kesatuan ekonomi kolonial Belanda dengan tanah Jawa harus dipisah. Hal ini dikarenakan pada prakteknya, sistem bagi hasil ini justru lebih menguntungkan pihak kolonial seperti untuk pembiayaan hutang-hutang yang terlalu besar. Selain itu juga munculnya banyak tuntutan dan kritikan dari kaum liberal yang menyatakan bahwa penghasilan negeri Belanda yang didapat dari negeri jajahan merupakan

suatu “hutang kehormatan”.14Adanya desakan dan tuntutan ini, pemerintah mulai melakukan pembenahan atas politik eksploitasi mereka. Maka pada tahun 1867, mereka mengeluarkan kembaliComptabiliteitswet 1867 yang menyatakan adanya pemisahan resmi kesatuan ekonomi keuangan kolonial Belanda dengan wilayah jajahan, Jawa dan pemerintah kolonial juga harus mengembalikan penghasilan negeri jajahan sejumlah yang telah diambil pemerintah kolonial. Setelah masa ini, akan dimulai suatu periode baru sistem kolonialisme yaitu periode Politik Etis

atau politik balas jasa.

Tahun ini dapat dipandang sebagai masa-masa berakhirnya pengaruh kebijakan Batig Slot Politiek, jika tidak dapat dikatakan sebagai akhir dari

13

Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto,op.cit,hal. 13 14

(26)

kebijakan tersebut karena pada sejarahnya, praktek eksploitasi kolonial tetap berlangsung dan berlanjut sampai pada akhir abad 19. Lebih jauh lagi, dengan melihat perkembangan yang dimulai dari latar belakang munculnya kebijakan

Batig Slot Politiek sampai pada pelaksanaannya, akan dilihat pula dampak-dampak yang ditimbulkan dari penerapan kebijakan tersebut bagi masyarakat Jawa pada khususnya.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian dan latarbelakang masalah di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan pokok penulisan mengenai Pelaksanaan Kebijakan Batig Slot Politiek di Jawa pada periode 1864-1867, adapun permasalahan yang akan dicoba dikaji dalam penulisan ini antara lain:

1. Bagaimanakah latar belakang munculnya kebijakan ekonomiBatig Slot Politiekdi Jawa?

2. Bagaimanakah jalannya pelaksanaan kebijakan ekonomi Batig Slot Politiekdi Jawa?

3. Bagaimanakah dampak pelaksanaan kebijakan ekonomiBatig Slot Politiek

ini pada masyarakat Jawa selama periode 1864-1867?

C. Tujuan Penelitian

(27)

1. Tujuan Akademis

Secara akademis penelitian ini bertujuan untuk dapat menjadi salah satu dari sumber referensi sejarah bagi penelitian-penelitian sejarah serupa dan dapat melengkapi kekayaan historiografi sejarah Indonesia untuk dipergunakan sebagai salah satu acuan dalam pembelajaran sejarah terutama dalam mempelajari sejarah Indonesia abad ke 19. Selain itu, penulisan ini menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sastra.

2. Tujuan Praktis

Secara praktis yang hendak dicapai melalui tulisan ini adalah mengembangkan kemampuan mendeskripsi, menganalisa, dan

merekonstruksi suatu peristiwa masa lampau yang dirangkai berdasarkan

fakta-fakta terpilih untuk kemudian dijadikan dalam bentuk tulisan sejarah

atau historiografi yang diharapkan dapat bermanfaat dalam pembelajaran

sejarah nasional Indonesia, sehingga dengan demikian pemahaman akan

sejarah nasional Indonesia dapat semakin mendalam.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis diharapkan penelitian ini dapat memberikan pengenalan, latar belakang, serta dampak dari salah satu kebijakan yang diterapkan dalam sistem Tanam Paksa, yaitu kebijakan ekonomi Batig Slot Politiek

(28)

Dengan demikian, dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat membantu pihak-pihak yang berkepentingan dalam membuat suatu kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi dan latar belakang masyarakat, sehingga kebijakan yang dibuat akan tepat dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

2. Manfaat Praktis

(29)

E. Tinjauan Pustaka

Pembahasan kebijakan ekonomi masa pemerintahan kolonial Belanda

Batig Slot Politiek yang dimunculkan pada periode waktu 1864-1867, memang belum banyak dibahas atau ditulis secara khusus. Sebagian besar pembahasan masih berkisar pada sejarah Tanam Paksa (1830-1870) dengan menempatkan berbagai kebijakan yang ada di dalamnya, hanya sebagai bagian dari sistem tersebut yang tidak terlalu mendapatkan porsi pembahasan yang banyak. Skripsi berjudul Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi Batig Slot Politiek Kolonial Belanda Dan Dampaknya Bagi Masyarakat Jawa Tahun 1864-1867 mencoba untuk membahas perspektif lain dari Tanam Paksa yang juga menjadi bagian penting dari sejarah Tanam Paksa tersebut. Skripsi ini secara khusus akan mengkaji mengenai salah satu kebijakan yang terdapat dalam Tanam paksa yaitu kebijakan ekonomiBatig Slot Politiek.

Oleh karena belum banyaknya sumber-sumber terutama sumber sekunder yang membahas secara khusus mengenai Batig Slot Politiek, maka penulisan skripsi ini menggunakan sumber utama buku-buku tentang Tanam Paksa yang secara implisit membahas tentang kebijakan ini meski dalam porsi yang sedikit. Buku-buku yang dijadikan sebagai acuan penulisan terdiri dari beberapa sumber yang berbahasa Indonesia ataupun yang berbahasa asing seperti bahasa Inggris.

(30)

Tanam Paksa. Buku ini menyajikan antara lain permasalahan tentang hubungan antara sistem Sewa Tanah dengan Sistem Tanam Paksa, kebijakan pemerintah sipil di Jawa pada masa-masa awal Tanam Paksa. Tema ini membahas lebih pada struktur pemerintah sipil yang terlibat dalam proses Tanam Paksa dan juga hubungannya dengan pemerintah pusat. Selain itu juga membahas mengenai tenaga kerja yang digunakan dalam sistem Tanam Paksa berkaitan dengan jumlah serta penyelidikan tentang kompensasi yang diterima oleh tenaga kerja tersebut.

Keunggulan dari buku ini adalah membahas Tanam Paksa mulai dari tahap perencanaan sampai pelaksanaannya sehingga buku ini dapat dijadikan acuan untuk memahami proses Tanam Paksa sebelum masuk ke kebijakan Batig Slot Politiek. Namun sayangnya buku ini juga tidak membahas secara eksplisit mengenai kebijakan-kebijakan khusus dalam Tanam Paksa sehingga tidak dapat diketahui komponen-komponen penting yang turut menjadi bagian substansial dalam Tanam Paksa. Selain itu juga tidak dideskripsikan secara rinci mengenai dampak-dampak yang diakibatkan sistem Tanam Paksa terhadap masyarakat Jawa.

(31)

belakang singkat mengenai kemunculannya. Inilah yang menjadi keunggulannya. Namun sayangnya buku ini masih belum terlalu spesifik dalam membahas Batig Slot Politiek, hanya berupa gambaran besarnya saja dan terkesan loncat-loncat dalam memberikan penjelasan mengenai tema tertentu. Buku inipun hanya mendeskripsikan dampak umum dari Tanam Paksa bukan dampak dari kebijakan

Batig Slot Politiekitu sendiri.

Buku ketiga yang juga dijadikan sebagai acuan dari penulisan ini adalah

Sejarah Ekonomi Indonesia yang disunting oleh Anne Booth, William

J.O’Malley, dan Anna Weidemann. Buku ini diterapkan oleh LP3ES (Lembaga

Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) tahun 1988. Buku ini merupakan kumpulan dari berbagai artikel yang sebagian besar pernah disajikan dalam sebuah konferensi dengan tema Sejarah Ekonomi Indonesia di Masa Penjajahan Belanda yang diadakan di Australian National University pada bulan Desember 1983.15

Dalam atikel-artikel yang disajikan dalam buku ini, mencoba untuk memaparkan berbagai sudut pandang mengenai sistem ekonomi masa kolonial Belanda di berbagai wilayah kekuasaannya. Beberapa pembahasan yang akan sering ditemui dalam buku ini adalah pembahasan mengenai perkebunan dan pertanian karena membahas kolonialisme ekonomi Belanda, tidak dapat dilepaskan dari dua bidang perekonomian tersebut. Namun apabila dicermati, sebagian besar penulis artikel-artikel tersebut cenderung membahas sistem ekonomi yang ada di Jawa. Hal ini sangatlah wajar mengingat sejak semula

15

(32)

pemerintah kolonial telah membidik Jawa sebagai ladang ekonomi yang sangat menjanjikan sehingga tidak mengherankan apabila Jawa selalu mendapatkan fokus yang agak lebih besar dari pemerintah kolonial. Begitu juga dengan dampak-dampak dari pemberlakuan sistem ekonomi pemerintah kolonial Belanda, Jawa cenderung memperlihatkan dampak secara lebih jelas dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain.

Namun sayangnya, buku ini cenderung hanya menyajikan data-data yang bersifat kuantitatif, artinya sebagian besar hanya menyajikan data-data statistik ekonomi saja. Dapat dikatakan bahwa pembahasan secara deskriptif-analitis mengenai sejarah ekonomi kolonial Belanda ini masih kurang. Namun terlepas dari itu semua, buku ini cukup membantu dalam memberikan keterangan-keterangan mengenai perkembangan ekonomi masa pemerintahan kolonial Belanda secara kuantitatif.

F. Landasan Pemikiran

(33)

Budiardjo, teori merupakan suatu generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena.16 Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa dalam menyusun suatu jawaban umum atau generalisasi dari sebuah permasalahan, teori selalu berangkat dari konsep-konsep. Konsep-konsep itu sendiri lahir atau muncul dari dalam pikiran manusia sehingga bersifat abstrak. Namun demikian, dari sesuatu yang abstrak tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah batu loncatan dalam menjawab sebuah permasalahan yang dikaji dalam suatu penelitian.

Dalam penulisan skripsi berjudul Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi Batig Slot Politiek Kolonial Belanda Dan Dampaknya Bagi Masyarakat Jawa Tahun 1864-1867 ini, akan nampak sekali bagaimanakah pemerintah kolonial Belanda mencoba untuk memaksakan otoritas kekuasaannya di tanah Jawa melalui kebijakan-kebijakan yang diciptakan. Melalui pemerintahan tradisional yang ada, kekuasaan kolonial dalam bentuk kebijakan-kebijakan disosialisasikan kepada rakyat yang berdampak pada kepatuhan rakyat terhadap pada pemegang otoritas tersebut. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, skripsi ini akan mencoba melihat sejauh mana otoritas pemerintah kolonial mampu mempengaruhi masyarakat terutama dalam kaitannya dengan kemunculan kebijakan ekonomi Batig Slot Politiek.

Dalam menjawab permasalahan di atas, kembali akan mengacu pada Teori Kekuasaan yang ditekankan oleh Miriam Budiardjo. Kekuasaan merupakan suatu kemampuan dari suatu individu atau kelompok untuk dapat mempengaruhi orang lain terutama dalam tingkah lakunya, sehingga dengan demikian orang yang

16

(34)

dipengaruhi tersebut akan mencapai atau menuruti apa yang diinginkan oleh sang pemilik kekuasaan.17Salah satu bentuk kekuasaan yang penting adalah kekuasaan politik yang seringkali digunakan dalam suatu pemerintahan tertentu. Pengertiannya sendiri adalah sebagai berikut :

Kekuasaan Politik adalah “kemampuan untuk mempengaruhi

kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri”18

Kekuasaan politik cenderung terfokus pada bagaimanakah cara memperoleh kekuasaan secara penuh melalui negara sebagai suatu lembaga yang mampu mengendalikan tingkah-laku sosial masyarakat. Singkatnya adalah bagaimana suatu kekuasaan individu atau kelompok mencoba memanfaatkan pemerintahan yang ada untuk dapat mempengaruhi masyarakatnya, dengan demikian akan mempermudah mereka dalam memenuhi apa yang menjadi tujuan mereka. Pemanfaatan tersebut dilakukan melalui sebuah kebijakan yang dibentuk atau telah dibentuk sebelumnya dengan mengatasnamakan negara atau pemerintah. Melalui kebijakan tersebut, akan semakin mudah untuk memasuki ranah masyarakat yang cenderung untuk mengikuti segala kebijakan yang telah ditentukan oleh pemerintah mereka.

Pada masa kolonial sendiri, tujuan kedatangan mereka di tanah Jawa, pada dasarnya adalah untuk memonopoli sektor ekonomi. Melihat begitu melimpahnya kekayaan alam yang ada di tanah Jawa, menjadikan pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk mendapatkan pengaruh politik di wilayah tersebut. Terlebih ketika pemerintah kolonial melihat bahwa sistem hidup di hampir seluruh tanah Jawa

17

Ibid,hal. 35 18

(35)

masih sangat tradisional. Salah satunya ditandai dengan masih kuatnya sistem feodal yaitu sistem dimana hak penguasaan tanah diserahkan kepada perantara yaitu para bupati yang akan menerima hasil pertanian yang diolah atau dihasilkan petani untuk kemudian diserahkan ke pusat, sedangkan para bupati tersebut akan mendapatkan setengah dari hasil tersebut.

Ikatan tradisional yang diwujudkan dalam sistem feodal, menjadi pintu bagi saluran penyediaan jasa terutama tenaga kerja yang lebih besar. Hasil yang didapat pun sangat besar dan menguntungkan terutama bagi pemerintah, karena sistem kehidupan masyarakatnya yang sederhana dan tidak mengenal adanya modernisasi dalam hal ekonomi atau komersialisasi atas hasil pertaniannya tetapi hanya berupa prinsip pertukaran. Sehingga oleh pemerintah dimanfaatkan untuk meningkatkan penyediaan jasa yang lebih besar dari masyarakat yang justru menjadi beban berat bagi masyarakat sendiri.

Hal ini yang menjadi semacam pemicu bagi kolonial untuk dapat menguasai baik secara politik ataupun ekonomi, tanah Jawa. Mereka menguasai jalannya pemerintahan lokal dengan semakin memperkuat feodalisme di tanah Jawa melalui pemerintahan tidak langsung dimana kekuasaan para bupati semakin dikuatkan. Selain itu, kolonial juga menjadikan alasan keunggulan dalam

teknologi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki, sebagai “alat penawaran” untuk

(36)

Demikianlah yang terjadi pada masa kolonial terutama pada masa Tanam Paksa , bagaimana pemerintah kolonial pada masa itu mencoba memaksakan keinginan ekonomi mereka dengan menggunakan kekuasaan mereka dan memanfaatkan pemerintahan tradisional yang ada dengan membentuk suatu kebijakan yang diharapkan mendapat kepatuhan dari masyarakatnya. Dalam konteks ini yang akan dikaji adalah bagaimanakah kekuasaan pemerintah kolonial melalui kebijakan ekonomi Batig Slot Politieknya dapat mempengaruhi dan berdampak pada masyarakat Jawa.

Selain teori kekuasaan di atas, penelitian ini juga akan menggunakanTeori Politik Revolusioner (Karl Marx). Dalam teori ini menyatakan bahwa perkembangan kapitalisme berjalan dengan cara memproduksi komoditas dengan nilai dan harga yang cukup untuk mendapatkan tenaga kerja dan kapital yang sama seperti semula sekaligus menghasilkan tenaga kerja dan kapital yang lebih, inilah yang dinamakan dengan surplus.19 Surplus inilah yang dapat dipergunakan untuk berbagai kepentingan meningkatkan investasi yang bermuara pada akumulasi modal. Teori ini akan mencoba menjelaskan bagaimanakah kapitalisasi swasta dapat berkembang pesat di Jawa, sehingga memunculkan istilah kapitalisasi kolonial.

G. Metode Penelitian

Metode sejarah pada hakekatnya merupakan hal yang sangat penting dilakukan dalam suatu penelitian sejarah. Metode sejarah akan sangat membantu

19

(37)

dalam menemukan dan menganalisis berbagai macam bahan sumber dan data-data yang penting dalam memperoleh jawaban dari permasalahan yang menjadi kajian pokok penelitian. Metode sejarah merupakan suatu proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman-rekaman dan peninggalan masa lampau.20 Metode ini merupakan suatu proses untuk merekonstruksi segala peristiwa yang terjadi di masa lampu untuk disusun kembali dalam sebuah historiografi yang dapat bermanfaat di masa depan terutama dalam pembelajaran sejarah.

Penulisan skripsi Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi Batig Slot Politiek

Kolonial Belanda Dan Dampaknya Bagi Masyarakat Jawa Tahun 1864-1867 ini akan menggunakan metode deskriptif-analitis melalui beberapa tahap atau langkah-langkah pengumpulan sumber dan data. Sumber-sumber atau data-data tersebut kemudian akan diolah dan dianalisis.

Langkah-langkah atau metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi pustaka sumber-sumber sekunder yaitu mencari buku-buku, dokumen-dokumen tertulis atau referensi-referensi yang berkaitan dengan topik penelitian atau yang disebut dengan istilah proses heuristik. Dari sumber-sumber bacaan tersebut kemudian akan dilakukan pembacaan awal atau

pre elementary readingyaitu pembacaan seputar topik penelitian. Selanjutnya dari pembacaan awal tersebut, akan dilakukan kritik sumber yaitu penyeleksian sumber-sumber penelitian yang benar-benar relevan dengan topik penelitian.

20

(38)

Selanjutnya adalah interpretasi dari beberapa metode penelitian yang telah dilakukan di atas. Interpretasi ini mencoba untuk mengurai data-data dan fakta yang ditemukan selama tahap pengumpulan sumber di atas. Interpretasi ini yang akan dijadikan pegangan atau arah yang akan menentukan tujuan dari penelitian ini, akan dicari kebenarannya melalui analisis-analisis selama penelitian. Selanjutnya adalah analisis data yaitu mengolah data-data yang didapat dari sumber-sumber yang ditemukan. Dari analisis ini kemudian akan dicari pembuktian-pembuktian yang akan mengarah pada interpretasi yang telah ada sebelumnya atau justru mematahkannya. Setelah pembuktian-pembuktian tersebut, kemudian dibuatlah kesimpulan akhir dari penelitian tersebut. Kesimpulan akhir dari penelitian ini berupa historiografi atau penulisan sejarah yaitu proses rekonstruksi peristiwa-peristiwa masa lampau yang berdasarkan pada pengujian dan analisis data-data yang telah diperoleh.

(39)

dijelaskan dampak secara menyeluruh bagi masyarakat setelah diberlakukannya kebijakanBatig Slot Politiektersebut.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi yang mengkaji mengenai Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi Batig Slot Politiek Kolonial Belanda Dan Dampaknya Bagi Masyarakat Jawa Tahun 1864-1867 ini akan dibagi menjadi 5 bab, dengan pembagian seperti berikut:

Bab I Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, landasan pemikiran, dan sistematika penulisan.

Bab II pembahasan mengenai latar belakang munculnya Batig Slot Politiek pada tahun 1864-1867. Pembahasan ini akan dimulai dengan mendeskripsikan kondisi atau situasi-situasi yang terjadi di negeri induk Belanda. Selain itu juga akan di bahas juga mengenai kondisi di tanah Jawa sendiri pada masa itu serta berbagai kebijakan yang pernah diterapkan di sana seperti Sistem Sewa Tanah Raffles (1811-1816) yang akan berkaitan kemudian hari dengan sistem Tanam Paksa van de Bosch yang diperkenalkan pada tahun 1830 yang kemudian mengarah pada munculnya kebijakan ekonomiBatig Slot Politiek 1864-1867.21

Bab III pembahasan mengenai jalannya pelaksanaan kebijakan ekonomi

Batig Slot Politiektahun 1864-1867 di Jawa. Pembahasan ini akan diawali dengan

21

(40)

diterimanyaComptabiliteitswetatau Peraturan Pemerintah dari negeri induk tahun 1864 yang mengisyaratkan adanya sistem kesatuan ekonomi kolonial Belanda dengan daerah jajahan dalam hal ini kesatuan dengan negeri induk. Selain itu selama pelaksanaan kebijakan tersebut, di Eropa sendiri sedang berkembang gagasan-gagasan liberalisme sejak tahun 1830an. Oleh karena itu, dalam bab ini juga akan dilihat, bagaimanakah kebijakan ini dijalankan bersamaan dengan berkembangnya gagasan liberalisme dan apakah perkembangan tersebut memiliki implikasi terhadap kebijakan itu sendiri.

Bab IV pembahasan mengenai pemisahan sistem kesatuan ekonomi kolonial Belanda melalui Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan pada tahun 1867 yang juga merupakan tahun berakhirnya Batig Slot Politiek. Selama tiga tahun masa pelaksanaan kebijakan tersebut yaitu dari tahun 1864-1867, akan dilihat seperti apakah dinamika yang terjadi di masyarakat Jawa. Selain itu juga akan menganalisis serta membahas dampak-dampak yang ditimbulkan akibat munculnya kebijakan ekonomi Batig Slot Politiek bagi masyarakat Jawa secara keseluruhan dalam berbagai segi kehidupannya selama tiga tahun masa pelaksanaan kebijakan tersebut.

(41)

27 BAB II

DUALISME POLITIK TANAM PAKSA DAN MUNCULNYA KEBIJAKANBATIG SLOT POLITIEKDI JAWA

Sejak awal Abad ke-19, tanah Jawa telah menjadi salah satu sentra produksi pertanian yang sangat menjanjikan tepatnya sejak awal masa kolonial. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan tanah Jawa sebagai daerah agraris yang sangat subur. Kenyataan ini yang berhasil dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk memperoleh sumber ekonomi yang besar dengan memanfaatkan pemerintahan lokal yang ada. Sistem feodal yang telah ada sebelumya, pada prakteknya tetap berjalan dan cenderung menguat meskipun berusaha ditutupi dengan kampanye-kampanye ide liberalisme. Definisi kebebasan yang tertuang dalam ide liberalisme hanyalah definisi menurut pemerintah semata, sedangkan pada prakteknya, rakyat tetap saja tidak mendapatkan kebebasan yang sesungguhnya atau yang diharapkannya.

(42)

A. Intensifikasi Sistem Tanam Paksa dan Menguatnya Liberalisme di Jawa Tahun 1830 merupakan suatu periode penting dalam sejarah kolonialisme di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Pada masa tersebut ide-ide baru mengenai pola sistem kolonialisme di daerah jajahan Belanda mengalami sedikit perubahan. Periode tersebut diwarnai dengan berkembangnya ide-ide liberalisme seiring semakin menguatnya liberalisme di daratan Eropa yang menyebar sampai ke Asia Tenggara khususnya Indonesia.22 Liberalisme dalam konteks ekonomi, melarang adanya campur tangan dari pemerintah. Hal ini dikarenakan permasalahan ekonomi menyangkut mengenai derajat kemakmuran dari masing-masing individu yang bebas ditentukan sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Seiring dengan hal tersebut, tuntutan kemajuan teknologi, ekonomi, perdagangan atupun industri menjadi semacam suatu keharusan dengan berlandaskan pada kebebasan bagi setiap individu untuk berkembang tanpa campur tangan berlebih dari pihak manapun khususnya pemerintah.

Demikian juga, pada awal tahun 1830an atau yang kemudian lebih dikenal dengan periodeSistem Tanam Paksa, dimulailah masa-masa panjang kolonialisme yang memiliki sedikit corak berbeda dengan sistem kolonial terdahulu yaitu diawali dengan munculnya banyak tokoh-tokoh liberal progresif yang cukup berpengaruh dalam menciptakan kebijakan-kebijakan baru dalam proses

22

(43)

kolonialisme di daerah jajahan khususya Jawa, serta lahirnya berbagai macam kebijakan-kebijakan yang cukup berpengaruh. Namun masa Sistem Tanam Paksa tersebut juga menjadi masa pemerasan tenaga kerja secara intensif dan terstruktur. Wilayah yang menjadi sorotan utama sekaligus yang memiliki dampak cukup besar adalah Pulau Jawa. Dipilihnya Pulau Jawa sebagai wilayah utama pelaksanaan Sistem Tanam Paksa ini disebabkan karena pemerintah kolonial dengan cermatnya berhasil melihat berbagai potensi alam maupun potensi sumber daya manusianya yang sangat melimpah.

Seperti diketahui bahwa sejak tahun 1750, wilayah kekuasan Barat yang terdiri dari Inggris dan Belanda, semakin meluas di kepulauan Nusantara yang terbagi dalam tiga wilayah. Wilayah pertama terdiri dari Pulau Sumatra dan Kalimantan. Wilayah ini kekuasaan Barat tidak terlalu berpengaruh pada kehidupan pribumi. Wilayah kedua adalah kepulauan bagian Timur dimana kekuasaan Barat lebih kuat tetapi hanya sebatas bersifat menindas dan bukan memberikan perubahan ataupun kemajuan yang berarti. Wilayah ketiga atau wilayah terakhir adalah Pulau Jawa. Pulau Jawa inilah yang kemudian menjadi sentra kekuasaan kolonial yang sangat kuat karena wilayah ini dipandang sebagai wilayah yang sangat menjanjikan terutama dari segi geografis, sumber daya alam, dan sumber daya manusianya.

(44)

penindasan juga sangat besar di wilayah ini. Selain itu, wilayah ini memiliki sejarah panjang kolonialisme yang sangat berpengaruh. Politik kolonial Belanda pada prinsipnya menekankan pada keinginan untuk terus mendapatkan keuntungan dari apa yang dihasilkan oleh negeri jajahan. Akan tetapi seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman yang semakin maju, maka pemerintah kolonial juga menghendaki adanya perubahan-perubahan yang lebih progresif dalam sistem kolonial mereka. Ada semacam keinginan yang menghendaki adanya perubahan dalam birokrasi pemerintahan yang lebih modern. Artinya bahwa pemerintahan harus dapat menciptakan susunan masyarakat yang lebih birokratis, terorganisir dan terpolakan dengan rapi serta ada kekuatan berimbang di dalamnya yang berbasis kerakyatan.23 Apa yang terjadi kemudian tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Sifat alami kolonial yang ingin selalu menguasai, pada akhirnya menyebabkan rencana-rencana ini tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Kekuatan yang berimbang yang diharapkan terwujud di dalam masyarakat, pada kenyataanya tidak terjadi. Sebaliknya, keterlambatan dalam kemajuan terutama dalam hal intelektualitas lah yang terjadi.

Tidak terbantahkan jika seiring dengan perkembangan zaman dan modernitas, maka sistem kolonial yang diterapkan di negeri jajahan pun berubah dan cenderung semakin intensif. Sedangkan kondisi masyarakat negeri jajahan

23

(45)

sendiri tidak mengalami perubahan yang signifikan, dalam artian perubahan ke arah yang lebih baik dan maju. Kecenderungan yang terjadi adalah kenyataan bahwa masyarakat masih hidup di bawah tekanan kekuasaan kolonial yang semakin kuat. Hal ini dilakukan demi memenuhi apa yang menjadi tujuan dari kolonialisme itu sendiri yaitu menjadikan negara jajahan sebagai sumber penghasilan bagi negara induk terutama karena negara jajahan tersebut memiliki sumber daya-sumber daya yang sangat potensial.

Apa yang terjadi kemudian adalah keterlambatan dalam perkembangan kehidupan masyarakat, baik secara materi maupun pendidikan mereka. Masyarakat sengaja dibuat untuk lebih banyak menghabiskan tenaga serta waktu mereka untuk bekerja bagi kolonial. Ini mengakibatkan masyarakat tidak memiliki waktu atau sengaja tidak diberikan kesempatan memiliki waktu untuk mengembangkan diri mereka dalam bidang lain, terutama dalam hal ekonomi ataupun intelektualitasnya.24 Akibatnya mereka terlambat menuju arah modernisasi, terutama sistem yang digunakan kolonial justru semakin menguatkan sistem feodal dengan memanfaatkan sistem atau tradisi lokal yang ada.25 Kelemahan-kelemahan masyarakat inilah yang dimanfaatkan oleh penguasa kolonial untuk semakin menguatkan tujuan mereka di negeri jajahan khususnya Hindia-Belanda.

24

Hal ini berkaitan dengan masalah pendidikan. Pendidikan bagi kaum pribumi sangat dibatasi oleh pemerintah kolonial khususnya bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.

25

(46)

Masyarakat Jawa pada masa tahun 1800an masih menerapkan sistem hidup yang sangat sederhana atau yang sering disebut dengan sistem hidup yang

subsisten. Artinya bahwa masyarakat melakukan aktifitas ekonominya seperti bertani yang merupakan mata pencaharian utamanya, hanya untuk mencukupi apa yang menjadi kebutuhan hidupnya sehari-hari tanpa ada tujuan komersialisasi di dalamnya. Sistem hidup ini berbasis pada sifat komunal dan gotong-royong antar anggota masyarakat. Hampir tidak nampak adanya sifat komersial yang berlebihan dari kehidupan ekonomi masyarakat Jawa tersebut terlepas dari adanya kekuasaan kolonial di dalamnya. Kekuasaan kolonial yang semakin memaksa demi keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya bagi kolonial, menjadikan serta menempatkan masyarakat sebagai objek yang menguntungkan bagi politik eksploitasi kolonial Belanda.

(47)

signifikan.26 Hasil yang melimpah ini sangat menguntungkan dalam ekspornya. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila pemerintah kolonial semakin mengintensifkan kekuasaan mereka di Jawa.

Namun berbagai keuntungan alam yang dihasilkan ini, tidak hanya didukung pada baiknya sumber daya alamnya saja, tetapi yang juga menjadi faktor penting di sini adalah ketersediaan sumber daya manusianya yang sangat potensial. Seperti diketahui bahwa faktor fisik atau tenaga merupakan salah satu faktor produksi yang substansial bagi kolonial. Untuk menghasilkan jumlah produksi yang besar sekaligus menguntungkan, maka faktor tenaga kerja merupakan peran mutlak yang akan sangat menentukan dan mutlak harus ada.

Dalam lingkungan desa terutama masyarakat agraris Jawa, tanah dan tenaga merupakan modal pokok bagi produksi pertanian. Pada masa tahun 1800, struktur agraris masyarakat pedesaan mencerminkan pengaruh yang sangat kuat dari kekuasaan feodal dimana untuk mendapatkan hasil maksimal produksi pertanian, para penguasa seperti raja, pemegang apanagenya27, para bupati, dan pembantu-pembantunya, melakukan penekanan yang lebih intensif kepada petani.28Hal ini ditambah dengan kenyataan yang menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat pedesaan masih sangat tradisional, dimana sistem ekonominya masih menerapkan sistem ekonomi subsisten. Kehidupan masyarakat menekankan pada hubungan komunal dan solidaritasnya masih didasarkan pada “perasaan”,

26

Anne Booth,William J.O’Maley,Anna Weidemann,op.cit, hal. 165 27

Apanage merupakan tanah lungguh yang diberikan oleh raja kepada pangreh raja sebagai gaji atau upah mereka.

28

(48)

sehingga kehidupan gotong-royong di sana masih sangat kuat dan bukan ditekankan pada masalah materi, padahal ikatan seperti inilah yang akan menjadi sumber kesengsaraan mereka di bawah penguasaan kolonial . Berdasarkan ikatan ini, maka banyak usaha atau produksi yang tidak menekankan pada masalah uang atau upah tetapi diganti dengan bantuan jasa tenaga kerja sebagai prinsip pertukaran.

Secara kuantitatif jumlah penduduk di Jawa terhitung sangat banyak apabila dibandingkan dengan wilayah lain. Pada tahun 1815, Raffles mencatat jumlah pertambahan penduduk di Jawa khususnya Jawa-Madura mencapai 4.499.250 jiwa. Jumlah ini terus bertambah di tahun-tahun sesudahnya. Pada tahun 1860 terjadi peningkatan yang sangat tajam yaitu sekitar 2,4 % per tahun atau dalam kisaran angka sekitar 12.514.262 jiwa. Tahun 1880, jumlah penduduk Jawa meningkat menjadi 22 juta jiwa dengan presentasi kenaikan rata-rata 2,6 % per tahun. Peningkatan juga terjadi pada tahun 1890 yang mencapai 23.609.312 jiwa, sedangkan jumlah penduduk di luar pulau Jawa hanya sekitar 10 juta jiwa saja.29Dari data-data ini menunjukkan bagaimanakah laju pertumbuhan penduduk Jawa yang cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Adanya peningkatan yang terus-menerus ini, memberikan beberapa keuntungan bagi pemerintah kolonial yaitu tersedianya sumber tenaga kerja yang banyak dan murah sehingga tidak terlalu diperlukan lagi untuk mencari tenaga kerja dari

29

Parakitri Tahi Simbolon, “Menjadi Indonesia,”

http://books.google.com/books?id=Ii4_gLKFsMYC&pg=PA177&lpg=PA177&d q=jumlah+penduduk+Jawa+pada+tahun+1800an&source=bl&ots=WBZJnpDZdb

(49)

tempat lain. Meskipun demikian, pada akhirnya nanti ledakan jumlah penduduk ini juga menyebabkan masalah lain bagi kolonial yang akhirnya mendorong mereka untuk membuat suatu kebijakan yang cukup berpengaruh pada masa itu.

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial pada masa awal 1830an, mulai menampakkan pengaruh ide liberalisme di dalamnya. Hal ini tidak terlepas dari semakin menguatnya liberalisasi di Eropa, khususnya pada masa Revolusi Industri.30Beberapa tokoh dari negeri Belanda sendiri, telah mulai terpengaruh oleh gagasan ini. Mereka mengusulkan politik kolonial baru yang didasarkan pada prinsip kebebasan dan kesejahteraan umum bagi masyarakat. Beberapa diantara mereka adalah Dirk van Hogendrop. Dirk van Hogendorp (1799-1808) salah seorang anggota komisi untuk urusan di daerah jajahan, memandang bahwa sistem feodal telah mematikan kesempatan bagi rakyat untuk dapat berusaha sendiri dan telah menjadi penyebab keterbelakangan ekonomi rakyat. Disini ia mengusulkan agar pemilikan serta penguasaan tanah sebagai sumber pemerasan untuk dicabut dan rakyat diberikan tanahnya sendiri untuk dapat ditanami dengan tanaman yang dikehendaki. Sebagai ganti dari penyerahan wajib, diadakannya pajak yang berupa hasil bumi atau uang. Menurut pemikirannya dengan rakyat diberikan kebebasannya sendiri dalam berusaha, maka hal ini justru akan mendorong mereka untuk menghasilkan lebih banyak

30

Yayuk Endang Irawati, “Perkembangan Ekonomi Kolonial dan Pekerja

(50)

lagi dan juga akan berdampak pada peningkatan produksi ekspor yang akan menguntungkan bagi pemerintah kolonial sendiri.31

Berbagai kebijakan bagi negeri jajahan mulai diberlakukan di tanah Jawa. Kebijakan-kebijakan ini lebih difokuskan pada permasalahan ekonomi karena sesuai dengan tujuan semula mereka yaitu untuk mendapatkan sumber-sumber ekonomi yang besar untuk menutupi pembiayaan pasca perang. Akan tetapi, apa yang disebut kebijakan oleh pemerintah kolonial tidaklah memiliki substansi suatu kebijakan yang seharusnya. Hal ini dikarenakan, kebijakan-kebijakan yang mereka terapkan justru hanya untuk kepentingan kolonial semata, sementara kepentingan masyarakat pribumi yang menjadi sesungguhnya menjadi tanggungjawab mereka, seolah-olah dikesampingkan. Mereka sesungguhnya menghendaki adanya suatu administrasi pemerintah yang terorganisir sehingga dapat menjamin adanya surplus sebesar-besarnya.

Kebijakan yang mencerminkan adanya semangat liberalisme serta kebebasan, diawali pada masa Sistem Sewa Tanah yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816) yang menggantikan kepemimpinan Daendels. Di bawah kepemimpinannya, ia menerapkan tiga azas yang menjadi landasan Sistem Sewa Tanah, yaitu:

1. Menghapus segala bentuk penyerahan paksa hasil bumi dengan harga yang tidak pantas, serta penghapusan segala bentuk kerja paksa dan membebaskan rakyat dalam proses penanaman serta perdagangan.

31

(51)

2. Pengawasan akan dilakukan langsung oleh pemerintah atas tanah dengan menarik pendapatan dan biaya sewa tanpa melalui perantara (bupati). 3. Menyewakan tanah yang diawasi oleh pemerintah kepada rakyat dalam

jumlah besar atau kecil dan dalam batas waktu tertentu32

Tiga azas tersebut dilandasi oleh tema besar semangat liberal pada masa itu hendak mewujudkan kebebasan dan kepastian hukum. Kebebasan yang hendak dicapai disini adalah kebebasan dalam menanam dan berdagang bagi rakyat serta kebebasan produksi untuk ekspor yang selama ini tidak penah didapat. Hal ini dilandasi juga oleh perkembangan kapitalisme di Eropa dengan permintaan akan bahan mentah yang melonjak naik33.

Dalam sistem ini, Raffles hendak menerapkan sistem kolonial seperti yang dijalankan di India34. Ia mencoba untuk memajukan tanah Jawa khususnya dalam perekonomiannya melalui peningkatan produktivitasnya tetapi sekaligus juga menguntungkan bagi pihak tenaga kerja. Landrent-system dimana dalam sistem ini pemerintah atau gubermen, menjadi pemilik tanah yang menyewakan tanah kepada rakyat untuk dikelola dengan bebas, secara konseptual, kebijakan ini memang memihak pada kesejahteraan rakyat dengan memberikan kebebasan

32

Prajudi Atmosudirdjo. 1984. Sejarah Ekonomi Indonesia, Dari Segi Sosiologi Sampai Akhir Abad XIX(Disadur dari buku karya D.H Burger).Jakarta : Pradnya Paramita. Hal. 143

33

Soediono M.P Tjondronegoro,Gunawan Wiradi. 2008. Dua Abad Penguasaan Tanah,Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa.Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Hal. 38

34

(52)

mengelola tanah dan jenis tanamannya dengan posisi sebagai penyewa. Raffles juga menghapus sistem kontingenten (upeti atau penyerahan wajib) bagi pembesar-pembesar pribumi. Namun bagaimanapun juga, sistem ini tetap menguntungkan pihak pemerintah sendiri yaitu semakin beragamnya hasil ekspor yang meningkat dan pendapatan yang semakin besar yang di dapat dari pajak tanah atau tanah sewaan tersebut.

Namun Sistem Sewa Tanah yang mencirikan ide kebebasan sekaligus modernisasi tersebut, harus berakhir. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang salah satunya dipengaruhi oleh kultur masyarakat Jawa itu sendiri yang masih terikat kuat dengan sistem tradisional dan masih menggantungkan hidup mereka dari apa yang dihasilkan tanah mereka, artinya kehidupan agraris masih menjadi suatu pola utama kehidupan mereka sehingga sulit untuk dapat menerima perubahan-perubahan baru. Beberapa diantaranya adalah sistem uang yang diperkenalkan Raffles serta kemajuan-kemajuan dalam industri.

(53)

pemerintahan lokal ini, maka arus barang dan jasa yang didapat dari rakyat akan tetap mudah diperoleh dalam bentuk tenaga kerja serta penyerahan wajib.35

Namun pada akhirnya semuanya dikembalikan lagi pada kondisi ekonomi negeri induk dan terutama pada kondisi sosial-ekonomi masyarakat Jawa itu sendiri. Berdasarkan kondisi ekonomi yang semakin memburuk, maka tidak ada jalan lain lagi selain tetap menjalankan politik konservatisme yaitu sistem dagang sekaligus menjalankan sistem pajak. Negeri induk membutuhkan suatu jumlah pemasukan yang besar untuk dapat menutupi segala beban ekonominya melalui kolonialisme mereka di negeri jajahan, termasuk dengan menghasilkan surplus sebesar-besarnya. Selain itu, sistem tradisional ini dianggap sistem yang paling sesuai terutama melihat kondisi masyarakat Jawa pada masa itu yang telah terbiasa dengan sistem feodal dan kesulitan yang akan dialami ketika masyarakat yang cenderung masih tradisional, menerima perubahan-perubahan yang lebih modern.

Melihat kondisi negeri Belanda yang lemah dalam industri dan perkapalan, maka satu-satunya cara yang dapat dilakukan guna untuk tetap mendapatkan keuntungan-keuntungan ekonomi, hanyalah dari bidang agraris. Oleh karena itu, maka yang diperlukan adalah mengerahkan tenaga rakyat untuk menanam tanaman ekspor yang menguntungkan untuk dipasarkan di pasaran Eropa tentunya setelah diolah dan disesuaikan dengan yang dikehendaki pasaran Eropa. Hanya saja mengingat bahwa liberalisasi yang semakin kuat dan adanya semacam

35

(54)

keinginan untuk memperbaiki citra pemerintahan sendiri, maka sistem tersebut melalui beberapa kebijakan yang dikeluarkan, dibuat lebih longgar. Artinya bahwa dalam sistem ini rakyat diberikan kebebasannya dalam berproduksi sendiri. Sehingga di sini, ide-ide liberalisme mulai dimunculkan.

Beberapa contoh kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial adalah kebijakan Tanam Paksa atau Cultuurstelsel (1830-1870). Kebijakan ini dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch. Pada dasarnya kebijakan ini lebih menekankan pada peningkatan produksi. Van den Bosch sendiri lebih menekankan pada prinsip kebebasan bagi rakyat untuk menanam tanaman yang mereka kehendaki meski dengan catatan bahwa hasil tanaman tersebut besar nilai jualnya harus sesuai dengan besarnya nilai pajak yang dibebankan kepada mereka dan apabila ada surplus dari hasil tanaman tersebut, harus dikembalikan lagi kepada rakyat. Van den Bosch menghendaki

agar citra pemerintah dapat lebih “humanis”, terlebih pada masa itu liberalisme

sedang berkembang dan muncul banyak tokoh-tokoh yang kritis terhadap sistem kolonial yang konvensional.

(55)

dan ada dalam pengawasan langsung pemerintah Belanda.36Perusahaan ini dapat dikatakan sebagai pengganti dari VOC, meskipun pengaruhnya tidak sebesar apa yang telah ditinggalkan oleh VOC.

Hasil bumi yang dipasarkan ini nantinya akan dijual dan diolah oleh perusahaan-perusahaan swasta Eropa, sehingga semakin banyak jumlah produksi berkualitas baik yang dijual maka hal ini akan semakin menguntungkan bagi pemerintah induk Belanda yang hasil penjualannya dapat digunakan untuk membiayai segala beban hutangnya. Van den Bosch sendiri pernah menjanjikan kepada negeri induk bahwa ia akan menemukan cara agar produksi tanaman ekspor dapat mengalami peningkatan bahkan dapat mencapai kisaran angka 20 juta gulden setahun.37

Secara teknis, kebijakan ini mewajibkan setiap desa memberikan sebagian tanahnya, yaitu 1/5 atau 20 % tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor seperti kopi, tebu, dan nila. Hasil tanaman tersebut kemudian dijual ke pemerintah kolonial dengan harga yang telah disepakati, meskipun harga yang didapat oleh rakyat jauh dari kata layak.38 Harga hasil tanaman tersebut disesuaikan dengan besarnya pajak yang terdahulu ketika masih dalam masa Sewa Tanah, hanya saja dalam sistem penyerahan ini,oleh pemerintah dikatakan bahwa rakyat akan diberi sedikit kelonggaran atau kebebasan dalam hal penanaman.

36

M.C Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta : PT.Serambi Ilmu Semesta. Hal. 261

37

Bernard H.M Vlekke. 2008. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG. Hal. 324

38

(56)

Penyerahan dalam bentuk hasil panenan ini dapat dikatakan sebagai ganti pajak uang yang diterapkan masa kepemimpinan Raffles. Pertimbangan untuk mengganti pajak berupa uang dengan natura atau tenaga kerja di dasarkan pada kondisi masyarakat Jawa itu sendiri yang masih tradisional dan kecenderungan

memiliki kebiasaan untuk lebih mudah “memberikan” tenaga daripada uang. Apabila hasil panen tersebut berlebih, pemerintah kolonial menegaskan bahwa hasil berlebih tersebut akan diberikan kembali ke desa. Pada masa ini, tokoh-tokoh pemerintah kolonial yang turut mencetuskan sistem ini, hanya ingin agar

pemerintah kolonial dapat dipandang sebagai penguasa yang lebih “ humanis” .

Pada masa ini, jenis komoditi unggulan yang memiliki nilai jual tinggi adalah gula, kopi, dan nila. Ketiga macam jenis produk Tanam Paksa ini memang merupakan komoditas yang mengalami peningkatan yang tinggi sejak tahun 1815. Kemudian oleh Van den Bosch, ia memperluas lahan untuk tanaman nila di daerah-daerah yang sebelumnya tidak ditanami. Hal ini dilakukan karena nilai jual nila yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk menutup pembayaran sewa tanah yang kurang.39 Sementara itu, tanaman kopi sesungguhnya merupakan hasil dari monopoli produk tambahan dari Van den Bosch. Hal ini disebabkan karena pada awalnya tanaman kopi ditanam di lahan di luar sawah penduduk, padahal pemerintah sendiri menekankan tanah yang dijadikan lahan Tanam Paksa adalah tanah desa yang merupakan tanah milik penduduk karena dari sanalah pemerintah dapat menarik pajak.40 Oleh karena hasil atau keuntungan yang didapat dari kopi

39

Robert van Niel,op.cit, hal. 24 40

(57)

sangat besar, maka dijadikannyalah tanaman kopi sebagai salah satu komoditi utama perdagangan kolonial bahan kemudian menjadi salah satu sumber terbesar pemasukan pemerintah.

Tanam Paksa dilaksanakan dengan maksud meningkatkan produktivitas hasil tanaman guna mengurangi defisit kas negara induk yang digunakan untuk pembiayaan segala hutang-hutang Belanda. Oleh karena itu Tanam Paksa dilaksanakan dengan melibatkan berbagai macam pihak, yaitu orang-orang Eropa yang berperan dalam proses produksi atau proses pengolahan bahan mentah yang disediakan oleh pemerintah. Orang-orang Eropa ini lebih tepatnya merupakan perusahaan-perusahaan swasta Eropa. Pada masa ini mulai diperlihatkan bagaimanakah kapitalisme memasuki kehidupan agraris masyarakat Jawa.41 Keterlibatan perusahaan-perusahaan swasta asing ini, mengarahkan pada warna baru politik eksploitasi kolonial yang didasarkan pada semangat liberalisme yang menguat dan dominasi perusahaan-perusahaan swasta asing. Inilah yang menjadi awal dari politik kapitalisasi swasta.42

Selain pihak-pihak Eropa, Tanam Paksa memiliki komponen penting dalam pelaksanaanya, yaitu organisasi desa. Memanfaatkan struktur organisasi desa yang telah ada seperti kepala pemerintah desa serta rakyat sebagai sumber tenaga kerjanya. Tanam Paksa awalnya hanya menghendaki luas lahan yang

41

Kapitalisme berasal dari kata capital (bahasa Inggris) yang berarti modal. Dalam pengertian umumnya, kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang mengarah pada pengumpulan atau akumulasi modal sebesar-besarnya yang dilakukan oleh individu atau sekumpulan individu dengan tujuan keuntungan sebesar-besarnya tanpa campur tangan dari pemerintah.

42

(58)

digunakan hanya 1/5 dari luas tanah desa. Memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki oleh kepala pribumi dan kepatuhan tradisional rakyat terhadap kepala pribumi tersebut, pemerintah kolonial berhasil mendapatkan luas lahan yang dimaksud. Pemerintah kolonial juga melakukan upaya persuasif terhadap rakyat melalui penegasan bahwa setiap kelebihan yang dihasilkan oleh tanah yang ditanami tanaman dagang, akan menjadi hak milik rakyat dan juga akan dibebaskan dari beban sewa tanah. Selain itu mereka juga bebas menanam tanaman tetapi dengan catatan bahwa setiap hasil bumi yang diserahkan kepada pemerintah kolonial, harus sama nilainya dengan jumlah sewa tanah.

Namun melihat kondisi ekonomi negeri induk Belanda yang semakin parah, akhirnya tanam paksa ini diarahkan secara lebih intensif untuk membiayai sejumlah pengeluaran termasuk pembayaran hutang-hutang. Prinsip kebebasan bagi rakyat dan janji untuk memberikan setiap nilai surplus yang dihasilkan , pada kenyataannya justru hanya bersifat sementara. Peningkatan jumlah tanaman yang harus diproduksi, serta perluasan tanah yang sebelumnya hanya sekitar 1/5 bagian, bisa menjadi 1/3 bahkan ½ luas tanah tersebut. Inilah yang dimaksudkan dengan intensifikasi sistem Tanam Paksa.

Referensi

Dokumen terkait

Penyesuaian diri terhadap hilangnya pasangan hidup pada lansia pria lebih tinggi dibanding lansia wanita yang ditunjukkan dengan mean empirik pria > mean empirik wanita =

Skripsi yang berjudul “Sutan Sjahrir, Sosialisme, dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia” ini bertujuan untuk mendeskripsikan riwayat hidup Sutan Sjahrir serta menganalisa

Paguyuban Wayah Kaki yang hidup dalam konteks budaya Jawa dan memiliki tradisi ritual meditasi kerap kali dikunjungi orang-orang yang ingin meminta petunjuk atau nasehat untuk

yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Kajian Nilai Nasionalisme Pada Cerita Film

Penelitian skripsi yang berjudul “Pengaruh Pola kepemimpinan demokratis Kyai Terhadap Kemandirian Santri Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Desa Pilangwetan Kecamatan

Square berdasarkan faktor interaksi antara pasien dengan tenaga kesehatan/keluarga, diperoleh nilai p-value = 0,049 (p < 0,05) yang artinya ada hubungan antara

Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana latar sosial budaya pengarang novel Cinta di Dalam Gelas, struktur

Program pelatihan konvensional yang diadakan oleh perusahaan pada umumnya memerlukan waktu yang panjang, semakin banyak tenaga pemasar yang dimiliki suatu perusahaan maka