• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zona Fisika | Blogger Lampung Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Zona Fisika | Blogger Lampung Tengah"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

Perhitungan Lattice QCD pada Energi Ikat

Hadronik ¯

Λ

Nowo Riveli

0300020499

Universitas Indonesia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Jurusan Fisika

(2)

Perhitungan Lattice QCD pada Energi Ikat

Hadronik ¯

Λ

Skripsi

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains

Nowo Riveli

0300020499

Universitas Indonesia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Jurusan Fisika

(3)

Halaman Persetujuan

Skripsi : Perhitungan Lattice QCD pada Energi Ikat B-Meson

Nama : Nowo Riveli

NPM : 0300020499

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui

Depok, 20 Oktober 2004

Mengesahkan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. LT Handoko Dr. Terry Mart

Penguji I Penguji II

(4)

Kata Pengantar

Lattice QCD adalah suatu teknik yang menjanjikan sebagai alternatif bagi teori

QCD kontinu ketika tidak dapat digunakan untuk mempelajari massa quark.

Meskipun sampai saat ini wilayah penelitiannya cukup sempit, yaitu seputar

B-meson, lattice QCD tetap menarik dan mungkin bisa diaplikasikan secara lebih

lu-as. Bidang ini menarik bagi penulis karena menyangkut dua bidang yang diminati

yaitu fisika partikel dan komputasi. Penulis pun memutuskan untuk mengambil

bidang ini sebagai topik tugas akhir.

Penulis mengucapkan terima kasih pada Pak L. T. Handoko selaku

pembimb-ing, yang telah memperkenalkan topik ini pada penulis, dan membimbing penulis

terutama pada pemahaman-pemahaman teori dasar fisika partikel dan lattice.

Ter-ima kasih juga pada Pak Terry Mart dan Pak Anto Sulaksono, yang banyak

men-dukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Penulis

ju-ga mengucapkan terima kasih pada Pak Chairul Bachri dan Mas Suharyo, yang

bersedia menjadi teman diskusi via e-mail, dan sumber paper gratis bagi penulis.

Masih banyak pihak yang ingin kami ucapkan terima kasih, namun tidak dapat

disebutkan satu persatu.

Depok,

(5)

Abstract

We have used the simulation in Lattice QCD to calculate the binding energy of

hadron ¯Λ. Hadronic binding energy ¯Λ are defined non-perturbatively trough the

Lattice HQET lagrangian. The simulation works in small lattice volume, due to

limited performance of the author’s computer. The result are included in this final

assignment, and on the next step will be used to gain the heavy quark mass by

matching with MS renormalisation.

Abstrak

Kami telah menghitung energi ikat hadronik menggunakan simulasi Lattice QCD ¯

Λ. Energi ikat hadronik ¯Λ didefinisikan secara non-perturbatif dengan lagrangian

Lattice HQET. Simulasi dijalankan dengan volume lattice yang kecil, karena

keter-batasan performa komputer yang digunakan. Hasil perhitungan dicantumkan di

tugas akhir ini, dan akan digunakan untuk mendapatkan massa quark berat melalui

(6)

Daftar Isi

Halaman Persetujuan i

Kata Pengantar ii

Abstrak iii

Daftar Isi iv

Daftar Gambar v

Daftar Tabel vi

1 Pendahuluan 1

2 Lattice QCD 5

2.1 Path Integral Mekanika Kuantum . . . 5

2.2 Teori Medan Kuantum dengan Integral Fungsional . . . 8

2.3 Diskritisasi Lattice . . . 9

2.4 Medan Gauge dalam Lattice . . . 11

2.5 Landau gauge fixing . . . 13

2.6 Fermion pada Lattice . . . 14

2.6.1 Variabel Grassmann . . . 14

2.6.2 Aksi Fermionik pada Lattice . . . 15

(7)

3 Energi Ikat Hadronik dalam Lattice 18

3.1 Definisi ¯Λ . . . 19

3.2 Penentuan nilai residual mass δm . . . 21

4 Implementasi Perhitungan Numerik dan Hasil Peritungan Λ¯ 23 4.1 Metode Numerik : Integrasi Monte Carlo . . . 23

4.2 Parameter Simulasi . . . 24

4.3 Perhitungan δm . . . 25

4.4 Perhitungan ¯Λ . . . 27

4.5 Perbandingan hasil ¯Λ . . . 28

5 Penutup 30 A Pemrograman 31 A.1 Membaca data archive konfigurasi gauge, dan menghitung propagator 31 A.2 Menghitung massa residu . . . 43

(8)

Daftar Gambar

2.1 Interval waktu diskrit . . . 6

2.2 Lintasan suatu partikel . . . 7

2.3 Lattice 3 dimensi . . . 10

2.4 Link antara x dan y . . . 12

2.5 Sebuah plaquette . . . 12

(9)

Daftar Tabel

4.1 Parameter simulasi yang dilakukan . . . 25

(10)

Bab 1

Pendahuluan

QCD adalah teori yang menerangkan interaksi kuat, yaitu yang mempelajari

di-namika quark. Teori ini adalah teori gaugedengan representasi grup SU(3), yang memperkenalkan tiga macam coulor sebagai derajat kebabasan dari quark, dan delapan vektor boson (yaitu gluon) yang diekspansikan dalam suatu basis dari

delapan matriks Gell-Mann.

quark : qfi(x), i= 1,2,3, f = 1, . . . , Nf (1.1)

gluon : Aaµ(x), a= 1, . . . ,8. (1.2) idan aadalah indeks untukcoulor, f adalah indeksflavourdari quark, yaitu u, d, s,. . .,Nf, dan µadalah indeks Lorentz menggambarkan arah vektor ruang-waktu.

QCD mempunyai sifat yang disebut asymtotic freedom. Yaitu konstanta ko-pling dari interaksi bergantung pada skala energi yang digunakan dalam

eksperi-men. Hubungan konstanta koplingrunningdengan skala energi ditentukan dengan menggunakan persamaan grup renormalisasi, yang menghasilkan

gQCD2 (Q2) = 1 β0log(Q2/Λ2)

+. . . (1.3)

(11)

Penyelesaian analitis yang mungkin untuk menghitung suatu besaran berdasarkan

QCD adalah dengan metode perturbasi, dengan ekspansi terhadap koplingg. Dari

persamaan konstanta running di atas, tampak bahwa nilai konstanta running g akan berkurang menurut kenaikan energi. Pada skala energi tinggi, nilai g yang

kecil memungkinkan teori QCD dikerjakan dengan metode perturbasi. Akan tetapi

meskipun dapat diekspansi tidak semua bessaran dapat diselesaikan dengan

per-turbasi, contohnya adalah massa quark berat (dijelaskan di bab.3). Pada saat

teori perturbasi tidak dapat digunakan, maka dibutuhkan suatu teori yang dapat

menghitung suatu besaran melaluifirst principal, yaitu tanpa melakukan ekspansi teori, salah satu alternatif adalah dengan lattice QCD.

Ide dasar lattice QCD adalah menyusun teori QCD dalam suatu ruang waktu

yang diskrit, sehingga dimungkinkan perhitungan secara numerik. Penyusunan

formulasi lattice diawali dengan representasi path integral [1] dari suatu besaran fisis. Representasi path integral akan menghasilkan besaran tersebut dalam

ben-tuk integrasi fungsional. Lattice adalah suatu benben-tuk regularisasi dari integral

fungsional ini, dengan jarak kisi a sebagai regulator. Dalam teori QCD kontinu

faktor regulator adalah massa kopling µ. Salah satu tahap perhitungan lattice

adalah menyesuaikan hasil kalkulasi dengan data eksperimen, untuk hal ini perlu

dilakukan perbandingan antara a dan µ.

Integrasi multidimensi pada integrasi fungsional disimulasikan dalam komputer

dengan algoritma Monte Carlo. Ukuran kisi lattice biasanya terdiri dari 48 kisi temporal dan 24 kisi spasial. Karena itu dimensi integrasi adalah 48 × 323 =

663552, yang merupakan integral yang sangat besar. Pusat-pusat penelitian

sim-ulasi lattice di dunia menggunakan sarana komputasi pararel untuk mendapatkan

performa komputer yang sesuai dengan kebutuhan simulasi yang besar tersebut.

(12)

yang sederhana untuk melakukan simulasi lattice ini. Hal ini pernah digagas oleh

G. P. Lepage[2]. Simulasi dicoba dilakukan dalam PC (RAM 256 Mb, processor

1,7 GHz), juga dalam komputer alpha dengan Xeon dual prosessor (RAM 1 Gb)

yang terdapat dalam departemen tempat penulis mengambil studinya.

QCD adalah bagian dariStandard Modelyang mencakup semua interaksi dasar di dunia ini (kecuali gravitasi), penelitian untuk mencari massa quark sangatlah

penting dalam rangka melengkapi teori tersebut, terutama dalam melengkapi

el-emen matriks CKM. Berdasarkan massanya quark dibagi menjadi quark-ringan,

dengan massa yang lebih kecil dari ΛQCD (quarku, d, dans), dan quark-berat (b,

t).

Tujuan tugas akhir ini adalah untuk menghitung energi ikat hadronik, sebagai

langkah awal untuk mendapatkan massa quark. Dalam hadron yang mengandung

quark berat, didefinisikan suatu besaran energi ikat, yang merupakan selisih massa

hadron dengan massa quark berat. Massa hadron dapat diperoleh dalam

eksperi-men, akan tetapi tidak demikian dengan massa quark, karena quark tidak pernah

ditemukan dalam keadaan bebas. Tugas akhir ini menghitung nilai energi ikat ¯

Λ dengan lattice QCD. Untuk mendapatkan massa quark, energi ikat, harus

di-lakukan matchingdengan suatu skema renormalisai. Hal tersebut tidak dilakukan disini, jadi tugas akhir ini hanya terfokus pada perhitungan ¯Λ, karena kami hanya

menitikberatkan penggunaan teori lattice QCD dalam menghitung suatu besaran.

Penelitian untuk menghitung besaran yang sama pernah dilakukan sebelumnya

juga dengan lattice QCD[3,4]. Nantinya akan dibandingkan hasil yang didapat di

tugas akhir ini dengan hasil yang lain. Motivasi pengerjaan tugas akhir ini adalah

mencoba melakukan perhitungan lattice QCD, dengan tingkat akurasi yang

(13)

sebelumnya akan dijadikan acuan dalam menentukan apakah teori lattice QCD

benar-benar dapat digunakan untuk menghitung suatu besaran dalam QCD, dan

apakah simulasi yang dilakukan penulis dilakukan dengan benar dan dapat

diter-ima.

Berikut adalah sistematika penulisan dalam tugas akhir ini,

• penjelasan teori lattice QCD di bab 2,

• penjelasan tentang permasalahan massa quark berat, dan definisi energi ikat hadronik, di bab 3,

• prinsip perhitungan numerik dan hasil yang didapat di bab 4,

(14)

Bab 2

Lattice QCD

Sebelum masuk ke masalah utama yaitu defini energi ikat hadronik ¯Λ, di bab ini

akan dijabarkan terlebih dahulu teori lattice QCD. Isi sub-bab ini menggunakan

buku dari H. J. Rothe[5] dan beberapa lecture note[6,7] sebagai referensi.

Lattice QCD adalah suatu teknik non-perturbativ yang menempatkan

elemen-elemen QCD dalam ruang-waktu yang diskrit. Untuk itu dibuat representasi quark

dan gluon dalam dunia yang diskrit tersebut. Formulasi yang diskrit sangat mudah

didapatkan dari formulasi path integral untuk mekanika kuantum yang diusulkan

Feynman. Selanjutnya dalam bab ini akan dibahas formulasi path integral, dan

formulasi QCD dalam kisi ruang-waktu diskrit, yang pertama kali disusun oleh K.

Wilson di tahun 1974 [8].

2.1

Path Integral Mekanika Kuantum

Seperti pada kebanyakan referensi mengenai lattice QCD, path integral akan

(15)

Gambar 2.1: Interval waktu diskrit

Dengan hamiltonian yang berbentuk

H = p

2

2m +V(x)≡H0+V, (2.1)

amplitudo transisi adalah

hx′, t

Membagi T menjadinbagian yang sama, T =n∆t, seperti pada gb.2.1, kita akan

dapatkan

hx′, t′|x, ti=

Z

dx1. . . dxn−1hx′|e−iH∆t|xn−1ihxn−1|e−iH∆t|xn−2i. . .hx1|e−iH∆t|xi. (2.5)

Untuk n yang besar, ∆t menjadi kecil. Selanjutnya dengan menggunakan

trans-formasi Fourier, untuk semua matrix elemen, amplitudo akan menjadi

(16)

Gambar 2.2: Lintasan suatu partikel

Pada limitn → ∞kita akan mendapatkan eksponensial persamaan di atas menjadi

bentuk aksi klasik

n−1

untuk lintasan x(t) dari x ke x′ dengan x

k=x(k∆t), digambarkan di gb.2.2

Integrasi terhadapxk dinterprestasikan sebagai integrasi terhadap seluruh

ke-mungkinan lintasan x(t) yang dapat dibentuk. Untuk itu kita gunakan notasi

sehingga kita dapatkan formulasi path integral untuk amplitudo mekanika

kuan-tum satu dimensi

hx′

|e−iHT

|xi=

Z

(17)

2.2

Teori Medan Kuantum dengan Integral

Fung-sional

Formulasi path integral untuk mekanika kuantum di atas selanjutnya akan

digu-nakan untuk menentukan formulasi path integral untuk teori medan kuantum.

Pada teori medan besaran yang sangat penting adalah vacuum expectation value, yaitu fungsi Green

h0|φ(x1)φ(x2). . . φ(xn)|0i, t1 > t2 >· · ·> tn (2.10)

dari medan skalar φ(~x, t) dalam ruang-waktu4-vector.

Sebelum membahas fungsi Green lebih jauh, kita akan mentranslasikan

konsep-konsep di mekanika kuantum ke teori medan berdasarkan analogi. Dalam teori

medan, medan skalar menggambarkan partikel itu sendiri, sehinggaxi(t) di

mekani-ka kuantum menjadi φ(~x, t), translasi selanjutnya adalah

xi ←→ φ(~x, t)

L adalah densitas lagrangian yang digunakan dalam teori medan.

Dengan menganalogikan pada kasus mekanika kuantum, kita dapatkan formulasi

fungsi Green, dengan ekspresi yang sering dikenal sebagai integral fungsional:

(18)

Eksponensial imajiner pada intgrasi di atas menimbulkan masalah konvergensi

karena fungsi integral akan berosilasi. Hal ini diatasi dengan mentransformasikan

waktu real (ruang Wincowsky) ke waktu imajiner (ruang Euclid), dengan rotasi Wick, yaitu

t =iτ. (2.13)

Fungsi Green setelah rotasi Wick akan memiliki eksponensial yang positif

GE(x1, . . . , xn) =

Besaran dalam ruang Euclid ini yang akan digunakan dalam setiap perhitungan

integal fungsional fungsi medan, yang dihasilkan dari formulasi path integral.

2.3

Diskritisasi Lattice

Setelah mendapatkan formulasi path integral untuk teori medan, yang berbentuk

integral fungsional, langkah selanjtnya dalam lattice QCD adalah

mendiskritkan-nya. Ruang-waktu 4 dimensi didiskritkan dengan membentuk lattice hiperkubik,

sehingga posisi ruang-waktu terlokalisasi hanya di titik-titik pada lattice,

xµ =anµ, (2.16)

lihat gb.2.3.

Derivatif diganti dengan selisih hingga, integral diganti dengan sumasi,

(19)

Gambar 2.3: Lattice 3 dimensi

Diskritisasi ruang-waktu menghasilkan konsekuensi adanya regularisasi dari

in-tegral fungsional, dengan jarak lattice a sebagai regulator. Hal ini dapat dilihat

dengan melakukan transformasi Fourier medan skalar ke ruang momentum

˜

φ(p) = X

x

a4e−ipxφ(x). (2.19)

Fungsi yang telah di transformasi Fourier-kan adalah fungsi yang periodik dalam

ruang momentum, sehingga kita bisa dapatkan

pµ ∼=pµ+

a (2.20)

Transformsi Fourier invers akan menghasilkan

φ(x) =

Z π/a

−π/a

d4

(2π)4e

ipxφ(p)˜ (2.21)

dan kita dapatkan suatu nilai cutoff ultraviolet

|pµ| ≤

π

a. (2.22)

Jadi dapat terlihat bahwa teori medan dalam ruang-waktu yang diskrit, yaitu

(20)

Formulasi dalam dunia yang diskrit harus dapat kembali ke dunia kontinu

den-gan bentuk yang sama. Hal ini menjadi syarat yang harus selalu dipenuhi dalam

membuat formulasi diskrit, yang bisa non-trivial.

2.4

Medan Gauge dalam Lattice

Dalam teori medan, berlaku invariansi lagrangian terhadap transformasi gauge,

yaitu

φ(x)Λ(x)φ(x), Λ(x)SU(N) (2.23)

dalam QCD transformasi dilakukan dengan grup SU(3). Derivatif dalam lagrangian

harus diubah menjadi derivatif kovarian, yaitu

Dµφ(x) = (δµ−ig0Aaµ(x)Ta)φ(x), (2.24)

dimana Taadalah generator grup, yang untuk grup SU(3) adalah delapan matriks

Gell-Mann, Aa

µ(x) adalah medan gauge. Derivatif kovarian ini invarian terhadap

transformasi gauge

Dµφ(x)→Λ(x)Dµφ(x). (2.25)

Besaran yang merupakan produk dari medan-medan di titik yang berbeda dalam

latice, tidak invarian. Untuk itu kita membutuhkan suatu matriks U(x, y)

SU(N) yang bertransformasi menurut U(x, y) Λ(x)U(x, y)Λ−1(y), sehingga

φ(x)U(x, y)φ(y) akan invarian. Matriks U tersebut dapat dibuat dari suatu

lin-tasan dari titikxhinggay, sehingga dia adalah integral lintasan dari medan gauge

Aa µ

U(x, y;C)P expig0

Z y x

Aaµ(z)Tadzµ, (2.26)

U pada definisi di atas bertransformasi sesuai yang dibutuhkan, sehingga produk

(21)

Gambar 2.4: Link antara xdan y

Gambar 2.5: Sebuah plaquette

dalam besaran ini.

Di dalam lattice parallel transporteradalah lintasan penghubung dua titik ter-dekat, disebut denganlink variablesLink ini menggantikan medan gaugeAa

µuntuk

setiap formulasi dalam lattice. Link bertransformasi sama seperti transformasi

parallel transporter di atas. Produk dari beberapa link, dalam lintasan tertutup, akan invarian, besaran yang paling mendasar adalah plaquetteyaitu loop terkecil yang dibentuk empat buah link, seperti di gambar

Pµν ≡Uµ(x)Uν(x+aµ)U−b µ(x+aµb+abν)U−ν(x+aν)b (2.27)

(22)

lattice,

Aksi yang diusulkan Wilson ini invarian dan real, dan pada limit kontinu akan

membentuk aksi Yang-Mills kontinu.

2.5

Landau gauge fixing

Medan gauge dalam lattice memiliki simetri dalam transformasi yang telah

dije-laskan di sub-bab sebelumnya. Sebuah medan yang merupakan hasil transformasi

tersebut dari medan lain, akan memiliki arti fisis yang sama. Sekumpulan medan

yang terhubung oleh transformasi tersebut, sehingga memiliki sifat fisis yang sama,

disebut orbit gauge. Identifikasi dari sebuah medan untuk setiap orbit gauge

dise-but dengan gauge fixing.

Salah satu metode gauge fixing yang sering digunakan adalah gauge Landau.

Dalam dunia kontinu, gauge Landau didefinisikan sebagai

µAµ= 0. (2.29)

Kondisi ini menunjukkan suatu konfigurasi hyperplane

Γ≡ {A: ∂·A = 0}. (2.30)

Hyperplane di atas memiliki lebih dari satu gauge orbit. Selanjutnya ditentukan

suatu wilayah dalam hyperplane tersebut, yaitu ΛΓ, yang merupakan

sekumpu-lan nilai minimum dari fungsional

FA[g] =

Z

d4xX

µ

(23)

Di dalam lattice gauge Landau didapatkan dengan memaksimalkan fungsional

FI[g] = CF

X

x,µ

Re{Tr[g(x)Uµ(x)g†(x+ ˆµ)]} (2.32)

dimana

CF =

1 NdimNcV

(2.33)

adalah konstanta renormalisasi, Ndim adalah dimensi ruang-waktu, Nc adalah

di-mensi grup gauge, dan V volume lattice. Seperti hanya pada dunia kontinu,

kon-figurasi yang memaksimalkan fungsional di pers() membentuk suatu wilayah Λ

yang memenuhi

Γ≡ {U : ∂·A(U) = 0}. (2.34)

Untuk mendapatkan nilai yang memiliki akurasi statistik yang baik, gauge

fix-ing harus digunakan dalam simulasi lattice.

2.6

Fermion pada Lattice

Setelah melihat bahwa medan gauge digambarkan sebagai link dalam lattice,

se-lanjutnya akan dibahas representasi fermion pada ruang-waktu diskrit.

2.6.1

Variabel Grassmann

Karena memenuhi statistik Dirac, fermion adalah variabel yang bersifat

(24)

Beberapa aturan dalam aljabar Grassmann yang berlaku pada adalah

{ηi, ηj} = 0 (2.35)

{ηi,η¯j} = 0 (2.36)

{η¯i,η¯j} = 0. (2.37)

Formulasi path integral dengan integrasi terhadap fermion dituliskan sebagai berikut,

h0|A|0i= 1 Z

Z

DψAe¯ −SF, (2.38)

denganSF adalah aksi fermionik. Untuk medan Dirac bebas aksi fermionik adalah

SF =

Z

d4xψ(x)(γ¯ µδµ+m)ψ(x). (2.39)

Dengan memanfaatkan integrasi Grassmann integral fungsional daiatas dapat

dis-elesaikan dengan sederhana, dan menghasilkan

Z

Dψe¯ Rd4xΨ(¯ x)QΨ(x) = detQ (2.40) ini yang dikenal dengan determinan fermionik.

2.6.2

Aksi Fermionik pada Lattice

Aksi fermionik pada pers.(2.33) bila didiskritkan secara naif akan menjadi

SF =

Dengan aksi diskrit tersebut akan didapatkan propagator dengan bentuk

¯

∆(k) = −iσµγµsinkµ+m σµsinkµ2 +m2

(2.42)

yang memiliki 16 buah pole akibat sifat periodik pada penyebut. Hal ini tidak

sesuai dengan propagator pada limit kontinu yang mempunyai 1 buah pole,

(25)

modifikasi pada aksi fermionik, yang dapat menghilangkan efek fermion doubling

ini.

Modifikasi pertama dilakukan oleh Wilson yang menambahkan suku Wilson

pada aksi di atas,

−a5r 2

X

x,µ

¯ q(x)1

a2 [Uµ(x)q(x+abµ)−2q(x) +U−µ(x)q(x−abµ)] (2.43)

dengan 0 < r 1. Dengan penambahan suku ini, massa fermion akan

diver-gen bila a mendekati nol, dan fermion doubling tidak lagi ditemui. Akan tetapi,

aksi ini melanggar simetri chiral, sehingga tidak digunakan pada

permasalahan-permasalahan yang melibatkan simetri chiral. Alternatif lain meodifikasi aksi

un-tuk menghilangkan fermion doubling adalah aksi staggered. Dengan aksi ini,

setiap komponen fermion didistribusikan pada titik lattice yang berbeda, hal ini

akan menghasilkan 4 pole propagator dibanding dengan 16 yang ditemukan di

ak-si biasa. Pole tersebut dapat mewakili sebuah fermion, karena adalah komponen

yan tersebar dari sebuah fermion. Formulasi aksi staggered cukup rumit, sehinga

tidak dibahas lebih lanjut, selanjutnya dalam perhitungan tugas akhir ini, yang

digunakan adalah aksi Wilson.

2.7

QCD pada Lattice

QCD dirumuskan dalam lattice dengan menuliskan aksi total yang melibatkan aksi

fermionik SF dan aksi gaugeSG

S =SF +SG. (2.44)

Sifat antikomutatif dari fermion tidak dapat diperhitungkan dalam perhitungan

(26)

dan kita bekerja pada aksi efektif yang hanya melibatkan aksi bosonik e−Sef f(U) e−SG(U)

detQ(U). (2.45)

Perhitungan detQ biasanya sangat besar, sehingga dalam lattice biasa dilakukan

pendekatan quenched, yang menjadikan Qsebagai konstanta.

Secara garis besar pada bab ini telah dijabarkan formulasi QCD pada lattice,

dengan titik awal formulasi path integral. Di bab ini dapat disimpulkan

perhitun-gan suatu observable pada lattice dilakukan denperhitun-gan integrasi fungsional, yaitu

hAi= 1 Z

Z Y

dUAe−SW (2.46)

dengan aksi yang telah didefinisikan. Permasalahan selanjutnya adalah metode

numerik yang digunakan dalam perhitungan integral fungsional tersebut. Hal ini

akan dijabarkan di bab 4, sebelumnya di bab 3 akan dijabarkan besaran yang

(27)

Bab 3

Energi Ikat Hadronik dalam

Lattice

Massa quark berat pada prinsipnya dapat diperoleh dari lagrangian QCD,

kare-na menurut sifat asymtotic freedom, massa quark berat memiliki konstanta

ko-pling yang kecil, sehingga dapat dilakukan teknik perturbasi. Akan tetapi, untuk

mengekstrak massa quark dari lagrangian QCD, terdapat suku-suku yang

meli-batkan propagator gluon, yang mengakimeli-batkan divergensi. Karena itu disusun

su-atu teori khusus untuk quark berat yaitu Heavy Quark Effective Theory (HQET).

Dalam teori ini, operator-operator dalam QCD diekspansikan dalam suku-suku

operator-operator HQET

OQCD =X

n,α

Cn,α(mQ/µ)

mn Q

OHQETn,α (µ), (3.1) mQ adalah massa quark berat dan µ adalah skala renormalisasi. Tampak bahwa

besaran fisis dalam HQET dipelajari sebagai ekspansi terhadap invers dari massa

quark mQ.

Untuk menghilangkan suku-suku divergen dalam ekspansi di pers.(3.1), atau

disebut sebagai singularitas renormalon, maka harus dibuat suatu definisi baru

(28)

suku-suku awal, dan koefisien fungsi Cn,α dapat dihitung dengan teori perturbasi.

Singularitas renormalon dalam ekspansi di atas dapat dihilangkan dengan

reno-malisasi berupa hard ultra-violet cut-offΛ. Namun dengan adanya hard cut-off Λ, besaran dalam HQET akan divergen menurut pangkat dari Λ, sehingga walaupun

singularitas renormalon pada walnya telah dihilangkan, muncul lagi divergensi

baru dari hard cut-off Λ.

Karena dua permasalahan quark berat di atas, yaitu singularitas renormalon

dan divergensi pangkat, diusulkan suatu definisi non-perturbativ dari

operator-operator OHQET

n,α , sehingga bebas dari dua permasalahan di atas[9]. Dengan

defin-isi yang bebas dari singularitas renormalon dan divergensi pangkat, akan

dap-at diekstrak sudap-atu besaran yang memiliki makna fisis, dalam arti sudap-atu besaran

yang independen terhadap skala renormalisasi, juga metode yang digunakan dalam

meregularisasi divergensi ultra-violet.

Dalam definisi non-pertrurbativ ini, parameter massa yang digunakan dalam

ekspansi dipilih berupa suatu ”massa pole yang disubtraksi”, ms

Q, dimana

ambi-guitas renormalon telah di subtraksi secara non-perturbativ. Untuk setiap hadron

yang mengandung quark berat didefinisikan parameter ¯ΛmH−msQ, dimanamH

adalah massa hadron.

3.1

Definisi

Λ

¯

Di sub-bab ini akan dibahas usulan definisi ¯Λ menurut paper dari G. Martinelli

dan C. T. Sachradja[9]. Untuk mendapatkan definisi yang non-perturbatif dari ¯Λ,

kita gunakan lagrangian HQET dalam formulasi lattice,

L= 1

1 +aδm ¯h(x)D4h(x) +δm¯h(x)h(x)

(29)

Pandang suatu fungsi korelasi

Untuk waktu t yang cukup besar,

C(t)Z2exp(−Et) (3.4)

dimana Z adalah konstan.

Eksponen E sebanding dengan ¯Λ menurut definisi yang diusulkan di ref.[10],

yaitu

¯

Λ = −∂h0|HΓq¯ |Mi

h0|HΓq¯ |Mi (3.5)

E bukanlah suatu besaran fisis karena menghasilkan divergensi pada perhitungan perturbasi, karena itu ¯Λ juga tidak mempunyai makna fisis. Divergensi tersebut

kemudian disubtraksi dengan menambahkan suatu residual mass (massa residu) δm¯hh pada lagrangian pers.(3.2).

Massa residu pada lagrangian di atas dapat dipilih dalam beberapa cara. Salah

satu kemungkinan adalah dengan mempelajari sifat propagator quark pada waktu

yang besar, pada suatu fixed gauge,

−δm ln(1 +aδm)

dengan asumsi rasio di atas memiliki nilai pada limit t yang besar. Persamaan di

atas bisa digambarkan sebagai kondisi dimana propagator quark pada waktu yang

besar tidak mempunyai perubahan yang eksponensial.

Maka untuk menghitung ¯Λ bisa disimpulkan langkah-langkah sebagai berikut,

i.) Hitung massa residuδm, menurut definisi pers.(3.6). Besaran ini yang

(30)

ii.) Dapatkan nilai E. Kami akan menggunakan hasil perhitungan yang telah

dilakukan oleh kolaborasi APE[11] di tahun 1995.

iii.) Definisi fisis ¯Λ adalah

¯

Λ≡ E −δm, (3.7)

dan massa pole quark yang tersubstraksi yang berkorespodensi dengan

per-samaan di atas adalah

mb ≡mb − E +δm. (3.8)

3.2

Penentuan nilai residual mass

δm

Seperti telah didefinisikan sebelumnya, untuk mendapatkan nilai δm harus

di-lakukan perhitungan terhadap propagator quark. Pada intinya, tugas akhir ini

berpusat pada perhitungan propagator quark. Bentuk propagator yang mungkin

adalah

S(x|0) =δ(x)θ(x4)P(x4|0), (3.9) dimana P(x4|y4) adalah path ordered lattice yang sring disebut ”P-line”,

P(x4|y4) =

tor yang diimproved yaitu dengan

PxI(x4|y4=

Untuk mengurangi kesalahan statistik, propagator dihitung dalam suatu fixed gauge, yaitu gauge Landau, dengan persamaan

(31)

dimana V adalah volume spasial dari lattice.

Untuk menentukan nilaiδmkita harus menghitung massa efektif yang

didefin-isikan dengan

aδm(t) =ln

SH(t+a)

SH(t)

. (3.13)

Setelah mendapatkan massa efektif untuk beberapa nilai t, selanjutnya

digu-nakan hasil perhitungan perturbasi 1-loop[9] untuk difitkan terhadapδm, yaitu

aδm(t) =¯ aδm+γlnt+a

(32)

Bab 4

Implementasi Perhitungan

Numerik dan Hasil Peritungan

Λ

¯

4.1

Metode Numerik : Integrasi Monte Carlo

Untuk menghitung path integral dari besaranhΓ[x]i, kita akan menggunakan

prin-sip integrasi Monte Carlo. Representasi path integral dari hΓ[x]i adalah

hΓ[x]i=

R

DxΓ[x]e−S[x]

R

Dxe−S[x] , (4.1)

persamaan di atas adalah suatu rata-rata berbobot(weighted average)dari seluruh knfigurasi lintasanxyang mungkin, dengan berat exp(S[x]). Dengan

membangk-itkan konfigurasi lintasan yang acak

01 . . . xαN−1 α= 1,2, . . . , Ncf (4.2)

dengan suatu cara sedemikian hingga tiap konfigurasi mempunyai probabilitas

P[xα] e−S[xα]

(4.3)

maka nilai rata-rata Γ[x] tidak berbobot mendekati nilai rata-rata berbobot dari

lintasan ynag terdistribusi secara uniform

hΓ[x]i ≈Γ¯ 1 Ncf

Ncf

X

α=1

(33)

¯

Γ adalah estimasi Monte Carlo untuk besaran path integral hΓ[x]i yang dihitung

dalam lattice.

Nilai kesalahan dari estimasi Monte Carlo didapatkan dari nilai varian yaitu

σ2¯Γ =

Seperti yang telah dijelaskan, besaran pokok yang dihitung dalam lattice

pa-da tugas akhir ini apa-dalah nilai propagator sebagai fungsi waktu, yaitu papa-da

per-samaan,

S(x|0) =δ(x)θ(x4)P(x4|0), (4.6) Propagator pada fungsi di atas adalah fungsi dari konfigurasi link U dalam

lat-tice. Berdasarkan prinsip integrasi Monte Carlo, kita akan membentuk

konfigurasi-konfigurasi U, lalu menghitung besar propagator untuk setiap konfigurasi, lalu

mencari rata-ratanya.

4.2

Parameter Simulasi

Penyusunan tiap konfigurasi acak U harus memenuhi pers.(4.2), untuk itu tiap

konfigurasi dibangkitkan dengan algoritma tertentu yang dapat memenuhi kondisi

tersebut. Metode yang biasa digunakan adalah algoritma Metropolis dan

algo-ritma heat-bath. Pembentukan sebuah konfigurasi membutuhkan waktu

perhi-tungan komputer yang cukup lama, sedangkan untuk mendapatkan nilai estimasi

Monte Carlo dibutuhkan jumlah konfigurasi yang tidak sedikit. Penulis pernah

mencoba membentuk konfigurai dengan algoritma Metropolis, tetapi tidak dapat

diselesaikan karena masalah waktu, karena itu dalam tugas akhir ini digunakan

(34)

Tabel 4.1: Parameter simulasi yang dilakukan

simulasi volume β jumlah konfigurasi

set A 163×32 6.0 50

set B 163×32 5.8 50

Connection[12]. Konfigurasi yang diperoleh dari situs tersebut dibangun dengan menggunakan suatu algoritma tertentu yaitu algoritma heat-bath.

Dalam perhitungan yang dilakukan, penulis menggunakan dua macam susunan

konfigurasi, yaitu setA dan setB, masing-masing dengan parameter-parameter

sebagai berikut,

Nilai kesalahan statistik adalahσ dalam pers.(4.5).

4.3

Perhitungan

δm

Sebagai langkah awal dilakukan perhitungan propagator yang quark diimprove

seperti yang didefinisikan di pers.(3.9) hingga (3.11). Perhitungan dilakukan

den-gan dua macam parameter simulai pada tabel.4.1, setelah itu nilai residual mass

di-dapat dari hubungan di pers.(3.13). Berdasarkan perhitungan perturbasi 1-loop[9],

δm¯ di fit dengan fungsi

aδm(t) =¯ aδm¯ +γln

t+a t

, (4.7)

dimana γ dan δm¯ adalah parameter-parameter fitting yang bebas. gb.1

menun-jukkan hasil plot dan fitting fungsi pers.(4.7) untuk dua macam simulasi.

Nilaiδm¯ yang didapat adalah sebagai berikut

aδm= 0.36±0.02±0.01 pada β = 6.0 (4.8)

(35)

0 5 10 15

t/a

0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8

β = 6.0: δm = 0.36(2)

β = 5.8: δm = 0.39(2)

a

δ

m(t)

Gambar 4.1: Plot massa efektif yang berasal dari perhitungan propagator

(36)

Nilai kesalahan statistik yang digunakan adalah kesalahan dari estimasi Monte

Carlo yaitu akar dari pers.(4.5). Sedangkan untuk kesalahan sistematis di ambil

kesalahan dari pendekatan fitting fungsi yang digunakan.

Seperti yang dikatakan, kami akan menggunakan E dari hasil kolaborasi APE.

Akan tetapi masing-masing δmdi atas harus berkorespodensi dengan nilaiE yang

dihitung dengan konfigurasi yang sama. Kolaborasi APE tidak melakukan

perhi-tungan E pada konfigurasiβ = 5.8, karena itu kami hanya menggunakan nilaiδm

pada β = 6.0 (pers.(4.8)).

Dengan melihat kecenderungan plot δm¯ yang mirip, dan nilai δm yang cukup

dekat, kami berkesimpulan bahwa nilai δmindependen terhadap parameter

simu-lasi yang digunakan. Sehingga penggunaan nilaiδmhanya dari sebuah konfigurasi

dapat dilakukan.

4.4

Perhitungan

Λ

¯

Untuk mendapatkan nilai ¯Λ kita gunakan

• δm¯ dari pers.(4.8);

• nilai E dari kolaborasi APE[11], yaitu

aE = 0.52±0.01 (4.10)

• nilai a yang berkorespodensi dengan beta yaitu

a−1 = 1.8

±0.2 GeV untuk β = 6.0 (4.11)

Maka kami mendapatkan

¯

(37)

4.5

Perbandingan hasil

Λ

¯

Berikut adalah nilai ¯Λ yang telah didapatkan sebelumnya dengan metode yang

sama,

Tabel 4.2: ¯Λ yang didapat di perhitungan sebelumnya

sumber volume konfigurasi δm Λ¯

ref.[3] 183×64 210 0.521±0.003±0.010 180±35 MeV

ref.[2] 243×40 500 0.526±0.003±0.006 170+30

−20 MeV

TA ini 163×32 50 0.360±0.020±0.010 280±40 MeV

Hal-hal yang dapat disimpulkan dari tabel perbandingan di atas antara lain,

• δmyang didapat di tugas akhir ini memilili akurasi hanya sampai dua angka di belakang koma, sedangkan hasil-hasil yang lain mencapai akurasi tiga

angka di belakang koma. Kesalahan pada tugas akhir ini dihasilkan paling

banyak oleh kesalahan statistik. Hal ini berarti bahwa jumlah konfigurasi

dan ukuran volume yang digunakan penulis belum cukup untuk digunakan

dalam melakukan perhitungan. Jumlah konfigurasi jelas berpengaruh

kare-na kesalahan statistik berbanding mendekati 1/√N. Penulis tidak

meng-gunakan jumlah konfigurasi yang cukup banyak karena dibutuhkan waktu

yang cukup lama untuk men-downloadtiap konfigurasi dari situs The Gauge Connection, dengan ukuran tiap konfigurasi yang cukup besar yaitu 24 Mb

untuk sebuah konfigurasi. 50 buah konfigurasi berarti membutuhkan space

sebesar 1,2 Gb. Pemilihan jumlah konfigurasi sebanyak 50 selain karena

be-sarnya ukuran konfigurasi, penulis juga merujuk pada perhitungan di ref.[3]

yang awalnya hanya menggunakan konfigurasi hanya sebanyak 30. Besarnya

(38)

nilai yang didapat pada tugas akhir ini membutuhkan banyak koreksi untuk

dapat diterima.

• Λ yang didapat di tugas akhir menghasilkan nilai yang cukup berbeda den-¯ gan dua hasil sebelumnya, dan juga memiliki nilai kesalahan yang cukup

besar. Kesalahan pada besaran ini juga adalah pengaruh kesalahan

statis-tik yang besar. ¯Λ pada dua sumber sebelumnya didapat dari hasil

bebera-pa konfigurasi yang berbeda, sedangkan tugas akhir ini hanya menghitung

besaran pada satu macam konfigurasi yaitu pada β = 6.0. Sebelumnya

telah dijelaskan bahwa nilaiδmindependen dari konfigurasi yang digunakan,

meskipun memiliki perbedaan nilai. karena itu hasil yang menggabungkan

beberapa konfigurasi akan meningkatkan keakurasian.

• Dua hasil pertama dihitung dengan menggunakan konfigurasi yang sama, karena keduanya berasal dari satu grup penelitian. Penggunaan konfigurasi

berbeda oleh penulis mungkin mempengaruhi perbedaan nilai hasil

perhi-tungan. Perbedaan metode dan algoritma dalam membangkitkan konfigurasi

mungkin menghasilkan konfigurasi gauge dengan karakteristik yang berbeda,

walaupun dibuat pada parameter β yang berarti a (jarak spasi) yang sama.

Demikianlah hasil yang didapat di tugas akhir ini. Meskipun menghasilkan

nilai yang cukup jauh dari hasil sebelumnya, kami berkesimpulan bahwa

perhitun-gan yang telah kami lakukan masih cukup bisa diterima. Hal ini antara lain dilihat

dari grafik plot yang memiliki tren yang sama dengan plot di ref.[4](tidak

dita-mpilkan disini), juga adanya kesalahan yng mungkin ditimbulkan dari penggunaan

(39)

Bab 5

Penutup

Mengingat kembali tujuan pengerjaan tugas akhir ini, yaitu mencoba

menggu-nakan lattice QCD untuk menghitung sauatu besaran dalam QCD. Untuk itu kami

memilih suatu besaran yang telah dihitung sebelumnya, dan membandingkan

den-gan hasil perhitunden-gan yang kami lakukan. Hasil yang diperoleh memang cukup

jauh dari yang diharapkan, akan tetapi hal itu bisa dijelaskan dengan besarnya

sumber kesalahan seperti yang dijabarkan di bab sebelumnya. Sebagai sebuah

langkah awal, perhitungan yang dilakukan di tugas akhir bisa dilajutkan dengan

lebih menganalisa sumber-sumber kesalahan dan meminimalisasinya.

Karena kami terfokus pada penggunaan perhitungan lattice, maka kami hanya

memilih suatu besaran yang didefinisikan sebelumnya untuk dikerjakan di lattice.

Selain besaran yang dihitung di tugas akhir ini, lattice QCD bisa juga digunakan

untuk menghitung besaran-besaran lain seperti energi kinetik, walaupun sebagian

besar hanya berkisar di wilayah B-meson. Setelah diyakinkan perhitungan lattice

QCD telah dapat dilakukan, selanjutnya dapat dilakukan perhitungan untuk

(40)

Lampiran A

Pemrograman

A.1

Membaca data archive konfigurasi gauge, dan

menghitung propagator

/*===================================================================*/

/* Utility program to read and verify configs in QCD archive format */

/* dimodifikasi untuk menghitung propagator */

/* oleh Nowo Riveli (2004) */

/*===================================================================*/

/* Version: 1.0 */

#define TOL 0.0000001 /* tolerance for floating point checks */

#define BADPRINT 10 /* number of bad links to print out in full */

#undef FORTRANORDER /* define to use Fortran ordering for U[18] */

/* Return values for our parsers */

#define SUCCESS 0

#define FAILURE -1

#include <stdio.h> #include <math.h> #include <strings.h> #include <stdlib.h> #include <limits.h>

/*================================================================*/

/* We may do arithmetic on this machine in a precision different */

/* from the precision read in. Here is where we define the type. */

/*================================================================*/

typedef double REAL; /* type for doing internal arithmetic */

/*=============================================================*/

/* For checksums we want a 32 bit unsigned int, for which */

(41)

/* become a C semi-standard. Here we just check if INT_MAX */ /* is 2^31-1; if not, we assume we are on a T3E or equivalent, */

/* where unsigned short is 4 bytes. */

/*=============================================================*/ #if (INT_MAX==2147483647)

#define INTS_ARE_32BIT

typedef unsigned int uint32_t; #else

#undef INTS_ARE_32BIT

typedef unsigned short uint32_t; #endif

struct QCDheader { /* Structure to hold header tokens */

int ntoken; char **token; char **value; };

struct site { REAL U[4][18]; int neighbor[4]; };

/* Global variables */

int big_end_p; /* true if our machine is big-endian */

int n_badlink=0; /* number of non-unitary links we have found */

main(argc,argv)

struct site *lat, *p; REAL xx,yy,prop_tot; float xx_float;

int i,j,n,s,splus,t,tplus,mu,T; int dims[4];

int vol3, vol4;

uint32_t chksum,partial_chksum,uj; char *str;

struct QCDheader * get_header(), * hdr;

/* Check which end is up */ big_end_p = big_endian();

/* Check syntax */ if (argc!=2) {

printf("Usage: %s <U config>\n",argv[0]); exit(1);

}

/* Open file */

infile = fopen(argv[1],"r"); if (infile==NULL) {

printf("error opening: %s\n",argv[1]); exit(1);

}

(42)

hdr = get_header(infile);

/* Look for basic info, reporting if avalailable */

/* get_string("ENSEMBLE_LABEL",hdr,&str); if (str==NULL) str = "(not specified)"; printf("Ensemble label: %s\n",str);

get_string("ENSEMBLE_ID",hdr,&str); if (str==NULL) str = "(not specified)"; printf("Ensemble ID: %s\n",str);

printf("Sequence number: ");

i = get_int("SEQUENCE_NUMBER",hdr,&j); if (i==FAILURE) printf("(unknown)\n"); else printf("%9d\n",j);

*/

/* Get dimensions */

if (get_int("DIMENSION_1",hdr,dims+0)==FAILURE) error_exit("DIMENSION_1 not present"); if (get_int("DIMENSION_2",hdr,dims+1)==FAILURE) error_exit("DIMENSION_2 not present"); if (get_int("DIMENSION_3",hdr,dims+2)==FAILURE) error_exit("DIMENSION_3 not present"); if (get_int("DIMENSION_4",hdr,dims+3)==FAILURE) error_exit("DIMENSION_4 not present");

/* Make space for array in to which to read a timeslice ... */ vol3 = dims[0]*dims[1]*dims[2];

vol4 = dims[3]*vol3;

lat = (struct site *) malloc(2*vol4*sizeof(struct site));

/* fill in the navigation stuff */ init_navig(lat,dims);

/* Read in first lattice before main loop */ read_slice(infile,vol4,lat,&partial_chksum); chksum = partial_chksum;

check_unitarity(vol4,lat+vol4,0);

splus = 0; prop_tot = 0.0;

// membaca lattice for(s=0;s<vol4;s++){

splus = s + vol4; for(mu=0;mu<4;mu++){

for(i=0;i<18;i++){

(lat[s]).U[mu][i] = (lat[splus]).U[mu][i]; }

} }

for(T=2;T<18;T++){

compute_prop(dims,lat,&xx,T); prop_tot = xx/(3);

printf("% .9f ",prop_tot); }

printf("\n");

(43)

if (n_badlink>0) printf("Found %d bad links\n",n_badlink);

/*printf("Checksum = %x ... ",chksum); if (get_uint32_t("CHECKSUM",hdr,&uj) == FAILURE)

printf("(no CHECKSUM in header)\n");

else if (uj==chksum)

printf("(OK)\n"); else

printf("(mismatch with %12u)\n",uj);

xx = trace_tot;

printf("Avg trace = % .9f ... ",xx);

if (get_float("LINK_TRACE",hdr,&xx_float) == FAILURE) printf("(no LINK_TRACE in header)\n");

else if (fabs(xx-xx_float)<TOL) printf("(OK)\n");

else

printf("(mismatch with % .9f)\n",xx_float);*/

/*

if (get_float("PLAQUETTE",hdr,&xx_float) == FAILURE) printf("(no PLAQUETTE in header)\n");

else if (fabs(xx-xx_float)<TOL) printf("(OK)\n");

else

printf("(mismatch with % .9f)\n",xx_float);

printf("splus = %d\n ",splus);*/ exit(0);

}

error_exit(s) char *s; {printf("%s\n",s);exit(1);}

/*=========================================*/

/* read_slice: read one timeslice */

/*=========================================*/ read_slice(_in,_vol3,_lat,_chk)

FILE *_in; int _vol3;

struct site *_lat; uint32_t *_chk; {

struct site *p; float *uin,*q; int s,mu,i; uint32_t j=0;

uin = (float *) malloc(48*_vol3*sizeof(float)); fread(uin,48*_vol3*sizeof(float),1,_in);

if (!big_end_p) byte_swap(48*_vol3,uin); p = _lat+_vol3;

q = uin;

for (s=0;s<_vol3;s++) { for (mu=0;mu<4;mu++) {

(44)

}

*_chk = j; free(uin);

#ifdef FORTRANORDER

/* Tranpose if using fortran ordering for U[18] */ transpose(_vol3,_lat+_vol3);

#endif

}

/*============================================*/

/* check_unitarity(_n,_lat): Check out links */

/*============================================*/ check_unitarity(_n,_lat,_t)

int _n,_t;

struct site *_lat; {

int s,i,j,k,mu;

REAL xx,*p,tmpU[18],tmpZ[18];

for (s=0;s<_n;s++) { for (mu=0;mu<4;mu++) {

/* Point to U_mu(s) */ p = (_lat[s]).U[mu];

/* Compute (U.Udag - I) */

for (i=0;i<18;i++) xx += tmpZ[i]*tmpZ[i]; if (xx>TOL) {

n_badlink++;

/* print the first few errors */ if (n_badlink<BADPRINT)

printf("Bad link @ t=%d s=%d, mu=%d : %15.10f\n",_t,s,mu,xx); }

} } }

/*============================================*/

/* big_endian(): Check if we are big-endian */

/*============================================*/ big_endian() {

union {

long l;

char c[sizeof (long)]; } u;

u.l = 1;

return (u.c[sizeof (long) - 1] == 1); }

/*=============================================*/

/* byte_swap(_n,_u): Big/Little-Endian Filter */

(45)

byte_swap(_n,_u)

register char chr; int s;

for (s=0;s<_n;s++) { wrd.uint_wrd = _u[s]; chr = wrd.c[0]; wrd.c[0] = wrd.c[3]; wrd.c[3] = chr; chr = wrd.c[2]; wrd.c[2] = wrd.c[1]; wrd.c[1] = chr; _u[s] = wrd.uint_wrd; }

}

/*=======================================================*/

/* REAL compute_prop(_dims,_lat,_plaq,_T): */

/* menghitung propagator pada waktu T */

/*=======================================================*/

compute_prop(_dims,_lat,_plaq,_T) struct site *_lat;

int _dims[4], _T; REAL *_plaq;

s = site_addr(0,0,0,t,_dims); l = (_lat[s]).U[3];

transpose1(p,l); multAB(utmp,p,utmp); }

prop += utmp[0]+utmp[8]+utmp[16];

(46)

} struct site *_lat; int _dims[4]; {

int x,y,z,t; int s;

for (t=0; t<2; t++) {

for (z=0; z<_dims[2]; z++) { for (y=0; y<_dims[1]; y++) { for (x=0; x<_dims[0]; x++) {

s = site_addr(x,y,z,t,_dims);

(_lat[s]).neighbor[0] = site_addr((x+1)%_dims[0],y,z,t,_dims); (_lat[s]).neighbor[1] = site_addr(x,(y+1)%_dims[1],z,t,_dims); (_lat[s]).neighbor[2] = site_addr(x,y,(z+1)%_dims[2],t,_dims); (_lat[s]).neighbor[3] = site_addr(x,y,z,(t+1)%_dims[3],_dims); }}}}

}

/*====================================================*/

/* REAL one_plaquette(): ReTr(l1*l2*l3dag,l4dag) */

(47)

c[ 4] = a[ 4]*b[ 0]-a[ 5]*b[ 1]+a[10]*b[ 2]-a[11]*b[ 3]+a[16]*b[ 4]-a[17]*b[ 5];

c[ 6] = a[ 0]*b[ 6]-a[ 1]*b[ 7]+a[ 6]*b[ 8]-a[ 7]*b[ 9]+a[12]*b[10]-a[13]*b[11];

c[ 8] = a[ 2]*b[ 6]-a[ 3]*b[ 7]+a[ 8]*b[ 8]-a[ 9]*b[ 9]+a[14]*b[10]-a[15]*b[11];

c[10] = a[ 4]*b[ 6]-a[ 5]*b[ 7]+a[10]*b[ 8]-a[11]*b[ 9]+a[16]*b[10]-a[17]*b[11];

c[12] = a[ 0]*b[12]-a[ 1]*b[13]+a[ 6]*b[14]-a[ 7]*b[15]+a[12]*b[16]-a[13]*b[17];

c[14] = a[ 2]*b[12]-a[ 3]*b[13]+a[ 8]*b[14]-a[ 9]*b[15]+a[14]*b[16]-a[15]*b[17];

c[16] = a[ 4]*b[12]-a[ 5]*b[13]+a[10]*b[14]-a[11]*b[15]+a[16]*b[16]-a[17]*b[17];

c[ 1] = a[ 0]*b[ 1]+a[ 1]*b[ 0]+a[ 6]*b[ 3]+a[ 7]*b[ 2]+a[12]*b[ 5]+a[13]*b[ 4];

c[ 3] = a[ 2]*b[ 1]+a[ 3]*b[ 0]+a[ 8]*b[ 3]+a[ 9]*b[ 2]+a[14]*b[ 5]+a[15]*b[ 4];

c[ 5] = a[ 4]*b[ 1]+a[ 5]*b[ 0]+a[10]*b[ 3]+a[11]*b[ 2]+a[16]*b[ 5]+a[17]*b[ 4];

c[ 7] = a[ 0]*b[ 7]+a[ 1]*b[ 6]+a[ 6]*b[ 9]+a[ 7]*b[ 8]+a[12]*b[11]+a[13]*b[10];

c[ 9] = a[ 2]*b[ 7]+a[ 3]*b[ 6]+a[ 8]*b[ 9]+a[ 9]*b[ 8]+a[14]*b[11]+a[15]*b[10];

c[11] = a[ 4]*b[ 7]+a[ 5]*b[ 6]+a[10]*b[ 9]+a[11]*b[ 8]+a[16]*b[11]+a[17]*b[10];

c[13] = a[ 0]*b[13]+a[ 1]*b[12]+a[ 6]*b[15]+a[ 7]*b[14]+a[12]*b[17]+a[13]*b[16];

c[15] = a[ 2]*b[13]+a[ 3]*b[12]+a[ 8]*b[15]+a[ 9]*b[14]+a[14]*b[17]+a[15]*b[16];

c[17] = a[ 4]*b[13]+a[ 5]*b[12]+a[10]*b[15]+a[11]*b[14]+a[16]*b[17]+a[17]*b[16];

}

/*=========================================================================*/ /* multABdag(c,a,b): 3x3 matrix c=a*b-dagger, with arrays in Fortran order */ /*=========================================================================*/

c[ 4] = a[ 4]*b[ 0]+a[ 5]*b[ 1]+a[10]*b[ 6]+a[11]*b[ 7]+a[16]*b[12]+a[17]*b[13];

c[ 6] = a[ 0]*b[ 2]+a[ 1]*b[ 3]+a[ 6]*b[ 8]+a[ 7]*b[ 9]+a[12]*b[14]+a[13]*b[15];

c[ 8] = a[ 2]*b[ 2]+a[ 3]*b[ 3]+a[ 8]*b[ 8]+a[ 9]*b[ 9]+a[14]*b[14]+a[15]*b[15];

c[10] = a[ 4]*b[ 2]+a[ 5]*b[ 3]+a[10]*b[ 8]+a[11]*b[ 9]+a[16]*b[14]+a[17]*b[15];

c[12] = a[ 0]*b[ 4]+a[ 1]*b[ 5]+a[ 6]*b[10]+a[ 7]*b[11]+a[12]*b[16]+a[13]*b[17];

c[14] = a[ 2]*b[ 4]+a[ 3]*b[ 5]+a[ 8]*b[10]+a[ 9]*b[11]+a[14]*b[16]+a[15]*b[17];

c[16] = a[ 4]*b[ 4]+a[ 5]*b[ 5]+a[10]*b[10]+a[11]*b[11]+a[16]*b[16]+a[17]*b[17];

c[ 1] = -a[ 0]*b[ 1]+a[ 1]*b[ 0]-a[ 6]*b[ 7]+a[ 7]*b[ 6]-a[12]*b[13]+a[13]*b[12]; c[ 3] = -a[ 2]*b[ 1]+a[ 3]*b[ 0]-a[ 8]*b[ 7]+a[ 9]*b[ 6]-a[14]*b[13]+a[15]*b[12]; c[ 5] = -a[ 4]*b[ 1]+a[ 5]*b[ 0]-a[10]*b[ 7]+a[11]*b[ 6]-a[16]*b[13]+a[17]*b[12]; c[ 7] = -a[ 0]*b[ 3]+a[ 1]*b[ 2]-a[ 6]*b[ 9]+a[ 7]*b[ 8]-a[12]*b[15]+a[13]*b[14]; c[ 9] = -a[ 2]*b[ 3]+a[ 3]*b[ 2]-a[ 8]*b[ 9]+a[ 9]*b[ 8]-a[14]*b[15]+a[15]*b[14]; c[11] = -a[ 4]*b[ 3]+a[ 5]*b[ 2]-a[10]*b[ 9]+a[11]*b[ 8]-a[16]*b[15]+a[17]*b[14]; c[13] = -a[ 0]*b[ 5]+a[ 1]*b[ 4]-a[ 6]*b[11]+a[ 7]*b[10]-a[12]*b[17]+a[13]*b[16]; c[15] = -a[ 2]*b[ 5]+a[ 3]*b[ 4]-a[ 8]*b[11]+a[ 9]*b[10]-a[14]*b[17]+a[15]*b[16]; c[17] = -a[ 4]*b[ 5]+a[ 5]*b[ 4]-a[10]*b[11]+a[11]*b[10]-a[16]*b[17]+a[17]*b[16];

}

/*======================================================================*/ /* transpose(_n,_lat): filter to account for U/U-dag/U-star conventions */ /*======================================================================*/ transpose(_n,_lat)

int _n;

struct site *_lat; {

int s,mu,i,nsite; REAL *p,tmp[18]; for (s=0;s<_n;s++) {

for (mu=0;mu<4;mu++) { p = (_lat[s]).U[mu];

(48)
(49)

_p[15] = _p[ 0]*_p[11] - _p[ 4]*_p[ 7] + _p[ 1]*_p[10] - _p[ 5]*_p[ 6]; _p[16] = _p[ 0]*_p[ 8] - _p[ 2]*_p[ 6] - _p[ 1]*_p[ 9] + _p[ 3]*_p[ 7]; _p[17] = _p[ 2]*_p[ 7] - _p[ 0]*_p[ 9] + _p[ 3]*_p[ 6] - _p[ 1]*_p[ 8]; }

/*==============================================*/ /* get_header: read from stream, parsing tokens */ /*==============================================*/ struct QCDheader *

get_header(in) FILE *in;

{ #define MAX_LINE_LENGTH 1024 #define MAX_TOKENS 512 char line[MAX_LINE_LENGTH];

int i,n,len;

struct QCDheader *hdr; char **tokens, **values; char *p, *q;

/* Begin reading, and check for "BEGIN_HEADER" token */ fgets(line,MAX_LINE_LENGTH,in);

if (strcmp(line,"BEGIN_HEADER\n")!=0)

error_exit("Missing \"BEGIN_HEADER\"; punting \n");

/* Allocate space for QCDheader and its pointers */ tokens = (char **) malloc(MAX_TOKENS*sizeof(char *)); values = (char **) malloc(MAX_TOKENS*sizeof(char *));

hdr = (struct QCDheader *) malloc(sizeof(struct QCDheader)); (*hdr).token = tokens;

(*hdr).value = values;

/* Begin loop on tokens */ n = 0;

while (1) {

fgets(line,MAX_LINE_LENGTH,in);

if (strcmp(line,"END_HEADER\n")==0) break;

/* Tokens are terminated by a space */ q = index(line,’ ’);

/* Overwrite space with a terminating null */ *q = ’\0’;

len = (int) q - (int) line;

/* allocate space and copy the token in to it */ p = malloc(len+1);

(*hdr).token[n] = p; strcpy(p,line);

q = index(++q,’=’); q++; len = strlen(q);

q[len-1] = 0; p = malloc(len); (*hdr).value[n] = p; strcpy(p,q);

n++; }

(*hdr).ntoken = n; return (hdr); }

(50)

/* get_string: find a token and return its value as a string */ /*===========================================================*/ get_string(s,hdr,q)

char *s;

struct QCDheader *hdr; char **q;

{

/* find a token and return the value */ int i;

for (i=0; i<(*hdr).ntoken; i++) { if (strcmp(s,(*hdr).token[i])==0) {

*q = (*hdr).value[i]; return(SUCCESS);

/* get_uint32_t: return value as a uint32_t */

/*========================================*/ get_uint32_t(s,hdr,q)

char *s;

struct QCDheader *hdr; uint32_t *q;

{

char *p; int j;

get_string(s,hdr,&p);

if (p==NULL) return (FAILURE); #ifdef INTS_ARE_32BIT

/* get_int: return value as an int */

/*==================================*/ get_int(s,hdr,q)

char *s;

struct QCDheader *hdr; int *q;

{

char *p;

get_string(s,hdr,&p);

if (p==NULL) return (FAILURE); sscanf(p,"%d",q);

return (SUCCESS); }

/*=====================================*/

/* get_float: return value as a float */

/*=====================================*/ get_float(s,hdr,q)

char *s;

(51)

float *q; {

char *p;

get_string(s,hdr,&p);

if (p==NULL) return (FAILURE); sscanf(p,"%f",q);

return (SUCCESS); }

print_link(u) REAL *u; { int i;

printf("======\n"); for (i=0;i<18;i+=2)

(52)

A.2

Menghitung massa residu

/*===================================================================*/

/* Program menghitung residual mass rata-rata dan deviasinya */

/*===================================================================*/

#include <stdio.h> #include <math.h>

main(){ int i,j;

double tmp[100][100], array[100][100], dmarray[100][100]; double sum[100], avg[100], dev[100];

int bar, kol; int f;

double fi,div;

bar = 50; /* jumlah konfigurasi kol = 16; /* titik waktu yang diplot

/*================================================*/

/* membaca nilai propagator dan meng_improve_nya */

/*================================================*/ for(i=0;i<bar;i++){

for(j=0;j<kol;j++){

f = j + 1 + 1;

fi = (1 - pow((0.3333333),(double)f)); scanf("%lf", &tmp[i][j]);

array[i][j] = fi * tmp[i][j]; }

}

/*=====================*/ /* menghitung nilai dm */ /*=====================*/ for(i=0;i<bar;i++){

for(j=0;j<(kol-1);j++){

div = array[i][j+1]/array[i][j]; dmarray[i][j] = (-1.0) * log(div); }

}

/*=====================================*/ /* menghitung dm rata2 dan varians_nya */ /*=====================================*/

for(j=0;j<(kol-1);j++){ for(i=0;i<bar;i++){

(53)

avg[j] = sum[j]/bar;

sum[j] = 0;

for(i=0;i<bar;i++){

sum[j] += ((dmarray[i][j] - avg[j])*(dmarray[i][j] - avg[j])); }

dev[j] = sqrt(sum[j]/(double)(bar-1));

printf(" %d %lf %lf\n", j+1, avg[j], dev[j]/2); }

(54)

Daftar Acuan

[1] R. P. Feynman dan A. R. Hibbs (1965), Quantum Mechanics and Path

Integrals, McGraw-Hill.

[2] M. Alford et. al., Lattice QCD on Small Computers, Phys. Lett. B361

(1995) 87 (hep-lat/9507010).

[3] M. Crisafulli, V. Gimenez, G. Martinelli dan C. T. Sachradja, First Lattice

Calculation of The B-meson Binding and Kinetic Energy,

CERN-TH.7521/94 (hep-ph/9506210).

[4] V. Gimenez, G. Martinelli dan C. T. Sachradja, A High Statistics Lattice

Calculation of The B-meson Binding Energy, CERN-TH/96-163

(hep-ph/9607018).

[5] H. J. Rothe (1997), Lattice Gauge Theory, an Introduction, World

Sci-entific Publishing.

[6] G. M¨unster and M. Walzl, Lattice Gauge Theory A Short Primer,

(hep-lat/0012005).

[7] G. P. Lepage, Lattice QCD For Novices,

http://www.tech.plym.ac.uk/maths/bus.

(55)

[9] G. Martinelli dan C. T. Sachradja, Renormalons and the Heavy Quark

Effective Theory, CERN-TH.7517/94 (hep-ph/9502352).

[10] A. F. Falk, M. Neubert dan M. Luke, Nucl. Phys.B388 (1992) 363.

[11] The APE Collaboration, C. R. Alltonet al.,Result for the B-meson Decay Constan from the APE Collaboration, Nucl. Phys. B413 (1994);Phys. Lett. B326 (1994) 295.

Gambar

Gambar 2.1: Interval waktu diskrit
Gambar 2.2: Lintasan suatu partikel
Gambar 2.3: Lattice 3 dimensi
Gambar 2.4: Link antara x dan y
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uji t yang diperoleh dari masing masing variabel bebas dapat diketahui bahwa variabel Kemudahan Penggunaan berpengaruh negatif signifikan terhadap

1) Tidak diperbolehkan penambahan plafond pinjaman KUR. 2) Dapat dilakukan penambahan jangka waktu dalam rangka restrukturisasi dengan jangka waktu maksimal yang dapat

Apakah anda menggunakan bocoran kunci jawaban ujian nasional (UN) fisika untuk menjawab soal fisika. L

Pengertian : sistem yang menggunakan teknologi komputer untuk mengumpulkan, memproses, menyimpan, menganalisis dan menyebarkan informasi.... •

Usulan Teknis dinyatakan memenuhi syarat (lulus) apabila mendapat nilai minimal 70 (tujuh puluh), peserta yang dinyatakan lulus akan dilanjutkan pada proses

Now that you have other people watching your back as a unit you can be a more effective killer in the game, an example of this is that in some of the delta force games you can take

Kepada seluruh peserta Pengadaan Jasa Konsultansi yang merasa keberatan atas ditetapkannya pemenang tersebut di atas, dapat mengajukan sanggahan secara online kepada Pokja

Kontrak Pekerjaan Yang Sedang Dilaksanakan (jika ada) Demikian disampaikan atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Masohi, Berdasarkan Hasil Evaluasi Penawaran dan