Bab I
Pendahuluan
1.1. Latar BelakangSektor informal, di sebagian besar kota menjadi hal yang dilematis bagi pemerintah daerah. Di satu sisi, sektor formal selama ini diakui sebagai pemberi kontribusi pendapatan terbesar bagi perekonomian warga kota. Namun di sisi lain, sektor informal dianggap berkontribusi atas berbagai masalah yang timbul dalam pembangunan wilayah perkotaan. Seperti, pedagang kaki lima (PKL) sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya kemacetan, merusak tata kota (berjualan di lokasi yang tidak di peruntukkan, membuat lingkungan menjadi kumuh), meninggalkan sampah, pekerja illegal (Haris, 2011).
Sampai saat ini memang belum ada kebijakan ataupun aturan yang mengatur langsung secara khusus mengenai sektor informal, akan tetapi Pemerintah sesungguhnya telah mengeluarkan kebijakan berupa Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang, bahwa sektor informal, termasuk pedagang kaki lima (PKL), harus masuk dalam rencana tata ruang wilayah.
Kondisi dilematis tersebut melatarbelakangi kegiatan Penyusunan Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan Walikota tentang Penataan Sektor Informal Kota Malang.
1.2. Maksud, Tujuan, dan Sasaran 1.2.1. Maksud
Maksud dari kegiatan Penyusunan Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan Walikota tentang Rencana Induk Penataan Sektor Informal Kota Malang, diantaranya adalah memetakan lokasi sektor informal di Kota Malang, mengindentifikasi kondisi, karakter, dan permasalahan sektor informal, mempelajari pergerakan sektor informal di Kota Malang, mempelajari dan mengevaluasi penataan sektor informal selama ini, mengidentifikasi kriteria lokasi potensial bagi penataan sektor informal, memetakan spot-spot lokasi dan atau kawasan lokasi penataan sektor informal, menganalisis pemberdayaan sektor informal, menganalisis aspek sosial budaya penataan sektor informal, menganalisis pentahapan penataan sektor informal, menganalisis pembiayaan penataan sektor informal, menyusun indikasi program dan program prioritas tahunan selama 10 tahun, dan menyusun Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan Walikota tentang Rencana Induk Penataan Sektor Informal Kota Malang.
1.2.2 Tujuan
Tujuan dari kegiatan Penyusunan Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan Walikota tentang Rencana Induk Penataan Sektor Informal Kota Malang ini adalah memberikan kesempatan berusaha bagi sektor informal melalui penetapan lokasi sesuai dengan peruntukannya, menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha sector informal menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri, untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan
lingkungan, dan menjamin kepastian hukum penataan dan relokasi sektor informal berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
1.2.3. Sasaran
Adapun Sasaran dari kegiatan Penyusunan Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan Walikota tentang Rencana Induk Penataan Sektor Informal Kota Malang dapat dikelompokkan untuk masing-masing tahapan sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan, berupa perencanaan alat survei dan mapping titik-titik lokasi sektor informal eksisting, dan alternative titik-titik relokasinya. 2. Tahap Survei dan Studi Literatur, berupa studi literatur tentang penataan
sektor informal dan kajian potensi pemberdayaan sektor informal untuk mendukung upaya kemandirian dan ketahanan ekonomi daerah, Survei instansional kebijakan penatan sektor informal yang berlaku saat ini, dan Survei lapangan titik-titik lokasi sektor informal, karakteristik sektor informalal per lokasi, peluang relokasi sektor informal, masukan dari pelaku sektor informal.
3. Tahap Analisis Data, berupa pemetaan lokasi sektor informal di Kota Malang, identifikasi kondisi, karakter, dan permasalahan sektor informal, identifikasi pergerakan sektor informal di Kota Malang, identifikasi dan evaluasi kebijakan penataan sektor informal selama ini, identifikasi kriteria lokasi potensial bagi penataan sektor informal, pemetaan spot-spot lokasi dan atau kawasan lokasi penataan sektor informal, penetapan lokasi penataan sektor informal, analisis pemberdayaan sektor informal, analisis aspek sosial dan budaya penataan sektor informal, analisis tahapan penataan sektor informal, analisis pembiayaan penataan sektor informal, penetapan indikasi program dan program prioritas tahunan terkait penataan sektor informal, selama 10 tahun, dan tahap Penyusunan Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan Walikota tentang Rencana Induk Penataan Sektor Informal Kota Malang.
1.3. Ruang Lingkup
1.3.1. Lingkup Wilayah Perencanaan
Kota Malang yang secara geografis terletak pada posisi 1120 38’ 01,7’’ Bujur
Timur dan 7° 58’ 42,2’’ Lintang Selatan mencakup luasan wilayah sebesar 11.006 Km2 dengan pembagian wilayah secara administratif terbagi menjadi 5 (lima)
kecamatan dengan jumlah kelurahan sebanyak 57 (lima puluh tujuh) kelurahan. 1.4. Dasar Hukum
Landasan hukum yang dipergunakan dalam Penyusunan Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan Walikota tentang Rencana Induk Penataan Sektor Informal Kota Malang adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota Besar dalam lingkungan Provinsi Jawa-Timur, Jawa-Tengah, Jawa-Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1954 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 551);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3034);
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah dan Benda-Benda yang Ada Diatasnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 288, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2324);
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881);
5. Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah terkakhir kalinya dengan Undang-Undang Nomor Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);
7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);
8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir kalinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
10. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2004);
11. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);
12. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
13. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746);
14. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
15. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
16. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);
17. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
18. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5080);
19. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168);
20. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188);
21. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214);
22. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 23. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1987 tentang Peraturan Pemerintah
Tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Malang dan Kabupaten Daerah Tingkat II Malang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3354);
24. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3559) sebagaimana diubah terakhir kalinya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5053);
25. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3745); 26. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang Wilayah; (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934);
27. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161);
28. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4385);
29. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4490); 30. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4532);
31. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4609) sebagaimana diubah terakhir kalinya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4855);
32. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655);
33. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
34. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4815);
35. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4817);
36. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
37. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri; (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987);
38. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5004);
39. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 176,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5086);
40. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5098); 41. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
42. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5104); 43. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara
Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160);
44. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah terakhir kalinya dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006; 45. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan
dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan;
46. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Trasidisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern;
47. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 - 2014;
48. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional;
49. Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi;
50. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1992 tentang Rencana Tapak Tanah dan Tata Tertib Pengusahaan Kawasan Industri serta Prosedur Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Undang-Undang Gangguan (UUG) / HO bagi Perusahaan Yang Berlokasi di dalam Kawasan Industri;
51. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan;
52. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06 / PRT / M / 2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan;
53. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah;
54. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 / PRT / M / 2007 tentang Pedoman Teknis Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang;
55. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 41 / PRT / M / 2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya;
56. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 69 Tahun 2007 tentang Kerjasama Pembangunan Perkotaan;
57. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan;
58. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05 / PRT / M / 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan;
59. Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 11 / PERMEN / M / 2008 tentang Pedoman Keserasian Kawasan Perumahan dan Permukiman; 60. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah; 61. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53 / M-DAG / PER / 12 / 2008
tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern;
62. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Perumahan dan Permukiman di Daerah;
63. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11 / PRT / M / 2009 tentang Pedoman Persetujuan Substansi dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten / Kota beserta Rencana Rincinya;
64. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 12 / PRT / M / 2009 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) di Wilayah Perkotaan / Kawasan Perkotaan;
65. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 13 / PRT / M / 2009 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Penataan Ruang;
66. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17 / PRT / M / 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota;
67. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah;
68. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009, Nomor 07 / PRT / M / 2009, Nomor 19 / PER / M.KOMINFO / 03 / 2009, Nomor 3 / P / 2009 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi;
69. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah;
70. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Kajian Lingkungan Strategis;
71. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 46 / UM.001 / MKP / 2009 tentang Pedoman Penulisan Sejarah Lokal;
72. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 47 / UM.001 / MKP / 2009 tentang Pedoman Pemetaan Sejarah;
73. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 49 / UM.001 / MKP / 2009 tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs;
74. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah;
75. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
76. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 01 / PER / M.KOMINFO / 01 / 2010 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi; 77. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11 / PRT / M / 2010 tentang Tata
Cara dan Persyaratan Laik Fungsi Jalan;
78. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 14 / PRT / M /2010 tentang Standar Pelayanan Umum Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang; 79. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 18 / PRT / M / 2010 tentang
Pedoman Revitalisasi Kawasan;
80. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 / PRT / M / 2010 tentang Pedoman Pemanfaatan dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan;
81. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;
82. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 36 Tahun 2011 tentang Perpotongan dan/atau Persinggungan antara Jalur Kereta Api dengan Bangunan Lain; 83. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 43 Tahun 2011 tentang Rencana Induk
Perkeretaapian Nasional;
84. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 81 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten / Kota;
85. Keputusan Menteri Negara Perumahan dan Permukiman Nomor 09 / KPTS / M / IX / 1999 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D);
86. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Timur (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2006 Nomor 2 Seri E);
87. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2007 tentang Perizinan Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan di Jawa Timur (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2007 Nomor 6 Seri E);
88. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air di Provinsi Jawa Timur (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 Nomor 1 Seri E); 89. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional, dan Penataan Pasar Modern di Provinsi Jawa Timur (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 Nomor 2 Seri E);
90. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2005 - 2025 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 Nomor 1 Seri E);
91. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2009 tentang Irigasi (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 Nomor 2 Seri E);
92. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah Regional Jawa Timur (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 Nomor 4 Seri E);
93. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 61 Tahun 2006 tentang Pemanfaatan Ruang pada Kawasan Pengendalian Ketat Skala Regional di Provinsi Jawa Timur;
94. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Pertamanan Kota dan Dekorasi Kota (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2003 Nomor 1 Seri E);
95. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 12 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Pasar dan Tempat Berjualan Pedagang (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2004 Nomor 3 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 10); 96. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan
Pemakaman (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2006 Nomor 1 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 32);
97. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Reklame (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2006 Nomor 2 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 33);
98. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Ijin Lokasi (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2007 Nomor 3 Seri C, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 43);
99. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2008 Nomor 1 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 57);
100. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2008 Nomor 6 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 66);
101. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2009 Nomor 4 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 73);
102. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Tahun 2005 - 2025 (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2010 Nomor 2 Seri E);
103. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2009 - 2013 (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2010 Nomor 3 Seri E);
104. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 7 Tahun 2010 tentang Analisis Dampak Lalu Lintas (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2010 Nomor 4 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 4);
105. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Usaha Perindustrian dan Perdagangan (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2010 Nomor 5 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 5); 106. Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
Sampah (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2010 Nomor 6 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 7);
Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2010 - 2030 (Lembaran Daerah Kota Malang Tahun 2011 Nomor 1 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Kota Malang Nomor 4);
1.5.Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan buku Laporan Pendahuluan dalam Penyusunan Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan Walikota tentang Rencana Induk Penataan Sektor Informal Kota Malang adalah sebagai berikut:
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang dari Penyusunan Rencana Induk Penataan Sektor Informal Kota Malang, maksud, tujuan dan sasaran, ruang lingkup, dan dasar hukum Penyusunan Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan Walikota tentang Rencana Induk Penataan Sektor Informal Kota Malang dan sistematika pembahasan.
BAB 2 TINJAUAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
Bab ini menguraikan tentang kebijakan dari Rencana Tata Ruang Wilayah kaitannya dengan wilayah perencanaan.
BAB 3 GAMBARAN WILAYAH PERENCANAAN DAN PROSPEK PENATAAN WILAYAH PERENCANAAN
Bab ini akan membahas mengenai Kebijakan Kota Malang terkait Penyusunan Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan Walikota tentang Rencana Induk Penataan Sektor Informal Kota Malang, sekilas gambaran mengenai wilayah perencanaan, beserta karakteristik kawasan yang dimiliki dan prospek penataan wilayah perencanaan.
BAB 4 ANALISA PENATAAN SEKTOR INFORMAL
Bab ini menguraikan tentang analisa penataan sektor informal di Kota Malang mulai dari analisa karakteristik sektor informal sampai pola sampai analisa pola keterkaitan sektor informal dengan sektor lainnya. BAB 5 KONSEP PENATAAN SEKTOR INFORMAL
Bab ini menguraikan tentang konsep penataan Penyusunan Rencana Induk Penataan Sektor Informal Kota Malang, mulai dari konsep pola penataan sektor informal sampai konsep pemberdayaan sektor informal di Kota Malang.
Bab II
Tinjauan Kebijakan
2.1 Tinjauan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Timur Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Timur mencakup beberapa bagian yang dikaji, yakni:
2.1.1 Struktur Pemanfaatan Ruang Wilayah A. Sistem Pusat Permukiman Perdesaan
Sistem pusat permukiman pedesaan membentuk pusat pelayanan desa secara berhirarki sebagai berikut:
1. Pusat pelayanan antar desa 2. Pusat pelayanan setiap desa
3. Pusat pelayanan pada setiap dusun atau kelompok permukiman B. Sistem Pusat Permukiman Perkotaan
Sistem Pusat Permukiman perkotaan di Jawa Timur diatur menjadi orde kota - perkotaan, hirarki kota - perkotaan dan sistem perwilayahan.
1. Orde Kota - Perkotaan
Sistem kota - perkotaan di Jawa Timur direncanakan secara berhirarki sesuai ukuran perkotaan yang disebutkan dalam orde kota – perkotaan. 2. Kebijakan Perwilayahan Pembangunan
Perwilayahan Jawa Timur direncanakan dalam Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) dengan kedalaman penataan struktur pusat permukiman perkotaan, merupakan upaya untuk mengendalikan perkembangan kawasan perkotaan yang berkembang cenderung terus membesar dan berpotensi mendorong perkembangan mega urban di SWP Gerbangkertosusila, menyeimbangkan perkembangan perkotaan lain di wilayah Jawa Timur dan mengendalikan perkembangan kawasan terbangun di perkotaan sesuai daya dukung dan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan.
C. Struktur pusat permukiman perkotaan
Struktur pusat permukiman perkotaan dalam SWP Malang Raya diarahkan dalam 3 cluster, yaitu cluster Kota Malang, Kota Batu, Sendang Biru, dan Perkotaan Kepanjen. Setiap cluster diarahkan dalam satu pusat permukiman perkotaan, dengan beberapa hinterland.
Struktur pusat permukiman perkotaan cluster Malang, meliputi pusat permukiman Perkotaan Lawang, Singosari, Dau, Poncokusumo, Wajak, Pakis, Bululawang, Tajinan, dan Wagir.
2.2 RTRW Kota Malang 2.2.1 Kebijakan Dan Strategi
A. Kebijakan dan Strategi Penetapan Sistem Fungsi dan Perwilayahan Kebijaksanaan sistem pusat pelayanan diarahkan sebagai berikut : 1. Pusat Kegiatan Nasional
2. Pusat Pelayanan Kawasan Andalan Malang Raya 3. Pusat Pelayanan Berskala Regional
5. Pusat Pelayanan Berskala Lokal
Adapun strategi struktur ruang Kota Malang adalah sebagai berikut:
1. Pusat Kota Malang diarahkan di Kawasan alun-alun dan sekitarnya. Hal ini disebabkan karena aktifitas berpusat di kawasan alun-alun dan sekitarnya, seperti; pemerintahan, perdagangan seta fasilitas sosial yang berskala regional.
2. Pembagian Kota Malang hingga tahun 2029 diarahkan menjadi 6 (enam) pusat pelayanan kota yang dikelompokkan berdasarkan pada kedekatan dan persamaan fungsi kegiatan.
3. Masing-masing pusat pelayanan kota memiliki Pusat dan Sub Pusat yang saling berhubungan dimana antara pusat yang satu dengan pusat yang lain dihubungkan dengan jaringan jalan dengan pola pergerakan yang bersifat
Concentric Linier, yaitu semua kegiatan berpusat pada satu titik yaitu
Kawasan Alun-alun dan sekitarnya.
4. Menetapkan rencana jalan lingkar barat dan lingkar timur untuk menunjang aksesibilitas menuju pusat dan sub pusat dari masing-masing pusat pelayanan kota serta menuju pusat Kota.
B. Kebijakan dan Strategi Penataan Kawasan Perkotaan
Penataan kawasan perkotaan dilakukan sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing yakni sebagai pusat kegiatan ekonomi wilayah, pusat pengolahan dan distribusi hasil pertanian, perdagangan, jasa, pemerintahan, pendidikan, kesehatan, serta transportasi, pergudangan, dan sebagainya.
Penetapan pusat sub satuan wilayah pengembangan dan wilayah pelayanannya didasarkan atas pertimbangan faktor ketersediaan fasilitas pelayanan umum (kapasitas pelayanan), utilitas (kapasitas pelayanan) dan aksesibilitas (kemudahan jangkauan).
2.2.2. Rencana Struktur Ruang A. Sistem Pusat
Penentuan struktur tata ruang atau hirarki di Kota Malang didasarkan pada jalur upaya pemantapan-pemantapan fungsi kota dalam kerangka strategi dan kebijaksanaan pengembangan peta struktur tata ruang wilayah Kota Malang. Dalam suatu ruang wilayah, pembentukan struktur ruang dilakukan dengan menata hierarki kota yang ada secara efesien.
Berdasarkan kecenderungan perkembangan fasilitas dan infrastruktur di Kota Malang, kedudukan Pusat kota yang berada di sekitar alun-alun dan sekitarnya akan mengalami pergeseran ke arah Klojen, untuk itu terjadi perubahan pusat kota dari IIIA menjadi II sebagai pusat pelayanan Kota Malang.
B. Rencana Sistem dan Fungsi Perwilayahan
Sistem pusat pelayanan atau tata jenjang pusat yang ada di Kota Malang yaitu pusat kota, dan Pusat Pelayanan. Jadi rencananya sistem pusat pelayanan Kota Malang dibagi menjadi Pusat Kota, Pusat Pelayanan Kota (sebagai sub Pusat) dan Sub Pusat Pelayanan Kota.
C. Jaringan Transportasi
1. Rencana Jaringan Prasarana Jalan
Sehubungan untuk keperluan proyeksi pengembangan wilayah dan keterkaitannya dengan pelayanan Kota Malang memerlukan beberapa sarana penunjang transportasi baik berupa jenis mobil penumpang umum maupun angkutan kota. Dari keadaan tersebut di atas dihubungkan dengan proyeksi pengembangan wilayah dan keterkaitannya dengan pelayanan Kota Malang memerlukan beberapa sarana penunjang transpotasi baik berupa jenis mobil penumpang umum maupun angkutan kota.
Prioritas utama proyeksi kebutuhan sarana perangkutan ini adalah pada jurusan-jurusan yang saat ini masih belum dikembangkan akan tetapi wilayah-wilayah tersebut mempunyai faktor-faktor potensi alam yang amat besar sehingga akan dapat meningkatkan perekonomian wilayah.
Selain itu kebutuhan akan sarana angkutan tersebut juga perlu ditingkatkan pengadaan rambu-rambu jalan terutama pada persimpangan jalan yang mempunyai intensitas pada dan perlintasan kereta api, juga pada jaringan jalan yang mempunyai fisik lahan yang berlainan atau bergelombang dan berbukit. Pada kawasan perkotaan pengadaan zebra cross perlu diperhatikan terutama pada kawasan kegiatan umum (pendidikan, pasar, perkantoran, kesehatan ataupun peribadatan).
2. Rencana Pembangunan Jalan Lingkar Timur Kota Malang
Pembangunan Jalan Lingkar Timur Kota Malang secara langsung memberikan manfaat bagi perbaikan tingkat pelayanan jalan pada beberapa ruas jalan di pusat Kota Malang dari Koridor Utara dan Selatan.
Berdasarkan studi Kelayakan Pembangunan Jalan Lingkar Timur Kota Malang ada sebesar 25% kendaraan pribadi dan 10% kendaraan non pribadi yang beralih rute dari pergerakan di pusat kota menuju Jalan Lingkar Timur Kota Malang.
3. Rencana Pembangunan Jalan Lingkar Barat Kota Malang
Pembangunan Jalan Lingkar Barat Kota Malang secara langsung memberikan manfaat bagi perbaikan tingkat pelayanan jalan pada beberapa ruas jalan di pusat Kota Malang dari Koridor Barat.
Berdasarkan studi Kelayakan Pembangunan Jalan Lingkar Barat Kota Malang ada sebesar 75% volume lalu lintas akan terdiversi ke Jalan Lingkar Barat Trase Alternatif II (Jangka Pendek) dan sebesar 3% volume lalu lintas akan terdiversii ke Jalan Lingkar Barat Trase Alternatif IV (Jangka Panjang). 4. Rencana Sistem Fungsi dan Kapasitas Jaringan Jalan
Secara umum jaringan jalan pada wilayah Kota Malang dapat dibagi dalam 4 (e mpat) pelayanan yaitu:
1) Pelayanan ke arah Utara dalam rangka mendukung aksesibilitas masyarakat menuju Kabupaten Pasuruan, Surabaya sebagai pusat kegiatan ekonomi regional Jawa Timur, perdagangan dan jasa.
2) Pelayanan ke arah Selatan sebagai akses untuk menunjang pemasaran produk-produk agraris di wilayah Selatan Malang Raya serta sebagai
persiapan prasarana jalan dalam mendukung pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) Kabupaten Malang.
3) Pelayanan ke arah Barat dalam rangka mendukung aksesibilitas menuju Kota Batu sebagai pusat kegiatan pariwisata serta mendukung pengembangan agraris di wilayah tersebut.
4) Pelayanan ke arah Timur dalam rangka mendukung aksesibilitas menuju Kabupaten Malang bagian Timur sebagai pusat kegiatan pariwisata serta mendukung pengembangan agraris di wilayah tersebut diantaranya Poncokusumo serta pengembangan jaringan jalan menuju Lanud Abdurrahman Saleh.
Bab III
Gambaran Umum
3.1 Gambaran Umum Wilayah3.1.1. Kondisi Geografis Kota Malang
Kota Malang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya, secara geografis terletak pada posisi 1120 38’ 01,7’’ Bujur Timur dan 7°
58’ 42,2’’ Lintang Selatan mencakup luasan wilayah sebesar 11.006 Km2. Dalam
ketetapannya tentang pembagian wilayah Kota Malang, secara administratif terbagi menjadi 5 (lima) kecamatan dengan jumlah kelurahan sebanyak 57 (lima puluh tujuh) kelurahan.
Potensi alam yang dimiliki Kota Malang adalah letaknya yang cukup tinggi yaitu 440 – 667 meter di atas permukaan air laut. Kondisi iklim Kota Malang relative nyaman yang tercatat rata-rata suhu udara berkisar antara 22,7oC sampai 25,1oC.
Sedangkan suhu maksimum mencapai 32,7oC dan suhu minimum 18,4oC. Rata-rata
kelembaban udara berkisar 79% - 86%, dengan kelembaban maksimum 99% dan minimum mencapai 40%.
3.1.2. Pola Pemanfaatan Ruang
Diketahui luas keseluruhan Kota Malang sebesar 10.289,028 Ha. Luas wilayah Kecamatan Kedungkandang 3798,106 Ha, Kecamatan Lowokwaru 2081,213 Ha, Kecamatan Sukun 2001,159 Ha, Kecamatan Blimbing 1654,3 Ha, dan Kecamatan Klojen 754,250 Ha.
3.1.3 Transportasi A. Jaringan Jalan
Dari segi pola jalan yang ada, maka pola transportasi jalan kota Malang adalah pola konsentris radial dengan sistem lingkar dalam/inner ring road jaringan jalan lokal yang membentuk pola grid. Adapun jenis jaringan jalan di Kota Malang dapat dibedakan baik berdasarkan fungsi maupun statusnya.
1. Jaringan Jalan Menurut Fungsi a) Jalan Arteri Primer
Jaringan jalan ini merupakan penghubung kota Malang dan Kota Surabaya. Jalan ini memiliki ciri-ciri penggunaan intensitas tinggi, untuk lalu lintas angkutan berat, jumlah simpangannya minimal. Jaringan jalan arteri primer ini membujur dari utara ke selatan, terdiri dari Jl. A. Yani Utara, Jl. R. Intan, Jl. R. Panji Suroso, Jl. Let.Jen. Sunandar Prijosudarmo, Jl. T. Suryo, Jl. Panglima Sudirman, Jl. Jend. Gatot Subroto, Jl. Laks. Martadinata, Jl. Kolonel Sugiono.
b) Jalan Arteri Sekunder
Jaringan jalan arteri sekunder merupakan jalan penghubung antara pusat kota Malang dengan Bagian Wilayah Kota. Jalan ini memiliki ciri-ciri penggunaan intensitas tinggi digunakan untuk tumpuan utama lalu lintas dalam kota dengan jumlah simpangan yang minimum.
Jaringan jalan arteri sekunder ini membujur dari utara ke selatan dan dari timur ke barat, terdiri dari Jl. Achmad Yani, Jl. Letjen Suparman, Jl. Letjen Sutoyo, Jl. Jagung Suprapto, Jl. Basuki Rachmad, Jl. Merdeka Timur-Barat, Jl. Arief Margono, Jl. S. Supriyadi, Jl. Mayjend. Panjaitan, Jl. Brigjen Slamet Riadi, Jl. Kawi, Jl. Besar Ijen.
c) Jalan Kolektor Primer
Jaringan jalan kolektor primer merupakan jaringan jalan menghubungkan secara berdaya guna antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan wilayah, atau antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal. Jaringan jalan kolektor primer terdiri dari Jl. May. Jen. Haryono, Jl. Sukarno Hatta, Jl. Borobudur, dari Terminal Hamid Rusdi melalui Bululawang menuju ke Lumajang dan dari Terminal Hamid Rusdi melalui Jl. Satsuit Tubun menuju kota Blitar.
d) Jalan Kolektor Sekunder
Jaringan jalan kolektor sekunder merupakan menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.
Jaringan jalan kolektor sekunder membujur ke selatan melalui Jl. Sutami, Jl. Galunggung, Jl. Raya Langsep. Dari barat ke Timur adalah Jl. Bandulan, Jl. Ikhwan Ridwan Rais, Jl. Brigjen. Katamso, Jl. Ade Irma Suryani Nasution, Pasar Besar, Jl. Zainal Zakse dan Jl. Muharto, Jl. Laks. Adi Sucipto. Pada bagian Tengah membujur Jl. Yogyakarta – Jl. Bandung Tengah – Timur, Jl. Urip Sumoharjo, Jl. May. Jen. Wiyono, Jl. Ranu Grati - Raya Dieng, Timur Selatan Jl. Mayjen. Sungkono, Tengah –Barat Jl. Kawi – Jl. Raya Dieng. e) Jalan Lokal Primer
Jaringan jalan lokal primer merupakan jaringan jalan yang menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan.
Jaringan lokal primer ini antara lain adalah jalan yang menghubungkan kota Malang dengan Tumpang, Wagir dan Tajinan.
f) Jalan Lokal Sekunder
Jaringan jalan lokal sekunder yaitu jaringan jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. Yang termasuk jalan lokal sekunder adalah jaringan jalan diluar point 1 s/d 5 diatas.
2. Jaringan Jalan Menurut Status
Status jalan kewenangan pembinaan jalan pada jaringan jalan-jalan yang ada di kota Malang terdiri atas Jalan Negara, Jalan Propinsi dan Jalan Kota.
B. Terminal
1. Terminal Arjosari
Terminal Arjosari terletak di bagian utara Kota Malang tepatnya di Kecamatan Blimbing. Keberadaannya adalah untuk menangkap angkutan luar kota terutama perjalanan ke dan atau dari arah Surabaya atau Pasuruan atau angkutan antar propinsi.
2. Terminal Hamid Rusdi
Terminal ini merupakan terminal regional yang terletak di sebelah selatan kota yang merupakan terminal bagi bus antar kota dalam propinsi (antara lain jurusan Blitar), angkutan kota (mikrolet) dan angkutan pedesaan.
3. Terminal Landungsari
Terminal Landungsari berada di sebelah barat Kota Malang tepatnya di Kecamatan Lowokwaru Kelurahan Landungsari. Keberadaannya adalah guna menangkap angkutan luar kota dari arah Batu, Kediri, Jombang dan dilanjutkan angkuta kota dan atau angkutan desa.
C. Sub Terminal
Ada 6 (enam) sub terminal di Kota Malang yaitu Mulyorejo, Madyopuro, Tlogowaru, Tidar, Cemorokandang dan Pasar Bunul. Ke enam sub terminal ini masih belum dimanfaatkan secara optimal, karena masih banyak penumpang yang belum memanfaatkan sub terminal ini sebagai tempat untuk naik atau turun dari angkutan kota.
Di luar terminal dan sub terminal tersebut, terdapat 11 (sebelas) Area Pangkalan Parkir angkutan kota yaitu: Karangbesuki, Pasar Sukun, Mergan, Puncak Dieng, Polowijen, Telogowaru, Tirtosari, Karanglo, Joyogrand, Tasikmadu, Gasek.
D. Kondisi Angkutan Umum
Angkutan umum antar kota dilayani oleh bus antar kota dan antar propinsi. Angkutan umum didalam kota dilayani oleh angkutan kota (mikrolet) dan taksi. Pada saat ini ada 28 rute angkutan kota dengan jumlah armada 2.259 unit mikrolet yang beroperasi di Kota Malang.
Jumlah angkutan kota yang terbanyak adalah rute AG (Arjosari - Gadang) sebanyak 300 unit, dan rute AMG (Arjosari - Margosono-Gadang) sebanyak 217 unit. Taksi yang beroperasi di kota Malang terdapat 300 unit yang melayani angkutan umum didalam kota Malang dan luar Kota Malang. 3.1.4. Kependudukan
Mengingat perkembangan kota yang sedemikian pesat, maka terjadi pula pertambahan penduduk, yang pada gilirannya akan meningkatkan kebutuhan pelayanan umum.
Pertumbuhan penduduk yang paling tinggi terjadi di Kecamatan Kedungkandang dan terendah terjadi di Kecamatan Klojen, bahkan di Kecamatan Klojen mengalami penurunan jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Dengan jumlah penduduk yang semakin besar, hal ini akan berdampak pada makin tingginya kebutuhan masyarakat terhadap penyediaan sarana dan prasarana perkotaan, seperti perumahan, listrik, air bersih serta sarana dan prasarana lainnya.
3.1.5. Perekonomian
Salah satu cara untuk mengetahui kinerja dari suatu wilayah antara lain dengan melihat seberapa besar nilai tambah yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi yang ada di suatu wilayah. Besaran nilai tambah yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi tersebut umumnya disebut dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Disamping PDRB, indikator lain yang dapat menggambarkan kemajuan suatu wilayah adalah pertumbuhan ekonomi. Perkembangan kondisi makro ekonomi Kota Malang selama periode 2007 – 2011 cenderung fluktuatif.
3.1.6. Sarana Pelayanan Umum 3.1.6.1 Fasilitas Kesehatan
Perkembangan prasarana dan sarana kesehatan selama tahun 2006-2010 dapat dilihat pada uraian statistik berikut ini.
Tabel 3.1 Jumlah Sarana Kesehatan
NO URAIAN TAHUN
2007 2008 2009 2010 2011
1 Rumah Sakit Umum 7 7 8 9 9 2 Rumah Sakit Khusus Bedah 1 1 1 1 1 3 Rumah Sakit Anak dan Bersalin 2 3 5 6 6 4 Rumah Sakit Bersalin 2 5 4 3 3 5 Rumah Bersalin 17 15 15 10 10 6 Puskesmas 15 15 15 15 15 7 Puskesmas Pembantu 33 33 33 33 33 8 Puskesmas Keliling 15 15 15 15 15 9 BP di luar Rumah Sakit 47 53 57 63 63 10 BP Gigi di Luar Rumah Sakit 19 19 20 20 20 11 Klinik KB 53 51 49 49 49 12 Apotik 110 125 141 145 145 13 Rumah Obat 11 4 10 10 10 14 Laboratorium Medis 15 16 17 21 23 Sumber Data : Kota Malang dalam Angka Tahun 2007-2011
3.1.6.2 Fasilitas Pendidikan
Kota Malang terkenal sebagai kota pendidikan, bukan hanya karena Kota Malang mempunyai sejumlah perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta yang cukup banyak, namun juga karena berkembangnya learning society. Ditambah dengan adanya lembaga kursus, menjadi daya tarik bagi bagi calon mahasiswa dari luar Kota Malang untuk menempuh studi di Kota Malang.
3.1.6.3 Fasilitas Peribadatan
Perkembangan kondisi di bidang keagamaan dapat dilihat dari statistik berikut ini :
Tabel 3.22 Jumlah Penduduk menurut Agama Tahun 2007-2011
NO Agama Kota Malang
2007 2008 2009 2010 2011
NO Agama Kota Malang 2007 2008 2009 2010 2011 2 Kristen 50.153 51.662 52.595 89.342 175.848 3 Katolik 50.212 39.659 39.645 42.636 47.126 4 Hindu 7.844 7.441 11.557 13.631 17.243 5 Budha 6.443 8.015 7.968 8.269 8.801 6 Lain-lain 802.335 829.438 846.162 906.135 1.027.451 Sumber : Kota Malang Dalam Angka Tahun 2007-2011
3.1.6.4 Pariwisata
Perkembangan kondisi di bidang pariwisata dan budaya dapat dilihat dari statistik berikut ini :
Tabel 3.2 Jumlah Wisatawan
NO. URAIAN TAHUN
2006 2007 2008 2009 2010
1 Mancanegara 117 787 4.387 3.622 1121 2 Nusantara 58710 63.821 53.552 38.749 19127 Sumber Data : Data Base Kota Malang Tahun 2007-2011
Tabel 3.3 Tingkat Hunian Hotel Kota Malang
NO. URAIAN 2006 2007 TAHUN 2008 2009 2010
1 Kamar tersedia 343.147 365.730 374.615 418.926 447.597 2 Kamar terjual 115.266 117.171 113.924 113.172 122.419 Sumber Data : Kota Malang dalam Angka Tahun 2006-2010
3.1.6.5 Perdagangan dan Jasa
Perkembangan prasarana dan sarana ekonomi selama tahun 2006-2010 dapat dilihat pada uraian statistik berikut ini.
Tabel 3.25 Daftar jumlah Pasar Tahun 2006-2010
NO KECAMATAN JUMLAH PASAR
2006 2007 2008 2009 2010 1 BLIMBING 3 3 3 3 3 2 SUKUN 10 10 10 10 10 3 KLOJEN 7 7 7 7 7 4 5 KEDUNGKANDANG LOWOKWARU 5 2 5 2 6 2 6 2 6 2 Sumber Data : Kota Malang dalam Angka Tahun 2007-2011
Bab IV
Analisis Penataan Sektor Informal
4.1 Analisis Karakteristik Sektor Informal Perkotaan4.1.1. Karakteristik Fisik Sektor Informal
Karakteristik fisik sektor informal mengacu pada ketetapan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012, tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima, yang terdiri dari lokasi berdagang.
A. Lokasi Berdagang
Sebagian besar lokasi berdagang untuk sektor informal di Kota Malang merupakan lokasi berdagang tidak permanen, karena sebagian besar menggunakan bahu jalan, trotoar, lahan parkir, dan lokasi-lokasi yang penggunaannya bersifat terjadwal atau sementara.
Lokasi berdagang permanen umumnya menggunakan lahan-lahan yang tidak digunakan untuk kegiatan sektor lainnya, seperti lahan kosong dan lahan yang memang dikhususkan untuk kegiatan sektor informal.
B. Jenis Tempat Usaha
Jenis tempat usaha sektor informal di Kota Malang dapat dibedakan berdasarkan jenis tempat usaha tidak bergerak dan jenis tempat usaha bergerak. Sebagian besar jenis tempat usaha dari sektor informal di Kota Malang adalah jenis tempat usaha bergerak. Hal ini dikarenakan lokasi dan sifat pelayanan dari sektor informal di Kota Malang sebagian besar tidak permanen, artinya penggunaannya bersifat terjadwal atau sementara.
Lebih jelasnya penjelasan terkait jenis tempat usaha sektor informal di Kota Malang yaitu:
1) Jenis Tempat Usaha Tidak Bergerak
Jenis tempat usaha tidak bergerak untuk sektor informal di Kota Malang meliputi warung atau tenda, gelaran atau alas, lesehan, ataupun selter. Jenis tempat ini tergolong dalam jenis lokasi tempat usaha yang permanen (static). Umumnya jenis tempat usaha ini merupakan bidang usaha jenis makanan. 2) Jenis Tempat Usaha Bergerak
Untuk sektor informal di Kota Malang meliputi jenis tempat usaha bermotor dan tidak bermotor, seperti gerobak/kereta dorong, dan kendaraan baik berupa motor dan mobil yang berisi barang dagangan. Jenis tempat usaha ini tergolong dalam jenis lokasi tempat usaha yang tidak permanen atau semi permanen (semi static).
C. Jenis Bidang Usaha
Berdasarkan jenis bidang usahanya, sektor informal di Kota Malang dibedakan berdasarkan 3 jenis, yaitu jenis bidang usaha makanan, jenis bidang usaha bukan makanan, dan jenis bidang usaha jasa.
Fungsi pelayanan aktivitas sektor informal di Kota Malang terdiri dari fungsi pelayanan perdagangan dan jasa, fungsi pelayanan rekreasi, dan fungsi pelayanan sosial ekonomi.
E. Sifat dan Skala Pelayanan
Sifat pelayanan sektor informal di Kota Malang dapat dikategorikan sebagai pedagang menetap dan pedagang semi menetap.
Skala pelayanan sektor informal di Kota Malang diketahui berdasarkan asal pengguna sektor informal tersebut. yaitu skala pelayanan besar dan skala pelayanan kecil. Besar kecilnya skala pelayanan tergantung dari jauh dekatnya asal pengguna. Semakin dekat asal pengguna maka skala pelayanan semakin kecil, sebaliknya semakin jauh asal penggunanya maka skala pelayanannya semakin besar.
F. Waktu Pelayanan
Untuk bidang usaha makanan cenderung berlangsung antara pagi sampai malam hari, sedangkan bidang usaha non makanan dan jasa lebih cenderung berlangsung di pagi hari sampai sore hari.
Beberapa sektor informal di Kota Malang juga menyesuaikan dengan waktu kegiatan sektor formal di sekitarnya.
G. Bentuk dan Massa Bangunan
Bentuk dan massa bangunan dari sektor informal di Kota Malang berbeda-beda sesuai dengan jenis tempat usahanya, khususnya sektor informal dengan jenis tempat usaha tidak bergerak seperti warung atau tenda, gelaran atau alas, lesehan, selter, ataupun gerobak dan bangunan lainnya yang tergolong permanen. H. Estetika
Unsur estetika pada sektor informal di Kota Malang merupakan unsur estetika terhadap kawasan maupun bangunan dari sektor informal. Perkembangan kawasan sektor informal di Kota Malang, khususnya yang bersifat aglomerasi dan permanen, sangat cepat dan dapat berdampak bagi kualitas estetika ruang Kota Malang. Hal ini berkaitan dengan unsur-unsur yang dapat menurunkan kualitas lingkungan seperti ketinggian bangunan, kedekatan antar masa bangunan, keserasian unsur fasade bangunan yang satu dengan yang lainnya.
I. Fasilitas Pendukung
Fasilitas pendukung yang tersedia berupa wc/toilet umum, lahan parkir, sedangkan prasarana pendukung seperti air bersih, listrik, disediakan dengan sistem individu maupun dari pemerintah.
4.1.2. Persebaran Sektor Informal A. Pola Penyebaran
Berdasarkan pola penyeberannya, aktivitas sektor informal di Kota Malang dikelompokan berdasarkan:
1) Pola Penyebaran Mengelompok
Sektor informal di Kota Malang yang memiliki pola penyebaran mengelompok umumnya terdapat di ruang-ruang terbuka, ruang parkir, taman, lahan kosong, atau di sekitar sektor formal seperti kawasan perdagangan yaitu pasar.
2) Pola Penyebaran Memanjang
Sektor informal di Kota Malang yang memiliki pola penyebaran memanjang umumnya terdapat di sepanjang jalan raya atau jalan utama, atau jalan yang menghubungkan ke jalan utama, yang memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi. B. Pola Pengelolaan
Pola pengelolaan sektor informal di Kota Malang dapat dilakukan dengan penetapan lokasi binaan dan penumbuhan iklim usaha dan pengembangan usaha di bidang sektor informal serta melakukan koordinasi pemberdayaan sektor informal dilaksanakan melalui penyuluhan, pelatihan dan atau bimbingan sosial, peningkatan kemampuan berusaha, pembinaan dan bimbingan teknis, fasilitasi akses permodalan, pemberian bantuan sarana dan prasarana, penguatan kelembagaan melalui koperasi dan kelompok usaha bersama, fasilitasi peningkatan produksi, pengolahan, pengembangan jaringan dan promosi, fasilitasi kerja sama antar daerah, dan mengembangkan kemitraan dengan dunia usaha.
4.2 Analisa Keterkaitan Sektor Informal dengan Pihak Lainnya 4.2.1. Sektor Informal dengan Sektor Formal
Sektor informal dan sektor formal merupakan dua hal yang berbeda. Sektor formal mencakup perusahaan-perusahaan yang mempunyai status hukum, pengakuan serta memiliki ijin resmi dan berskala besar. Sektor informal umumnya tidak mempunyai ijin usaha, serta skala usahanya relatif kecil.
Keterkaitan sektor informal dengan sektor formal adalah pada pemanfaatan ruangnya. Sektor formal di Kota Malang, seperti kegiatan permukiman, perkantoran, sampai kegiatan perdagangan dan jasa memiliki prasarana pendukung yang menarik berbagai kegiatan lainnya muncul, salah satunya adalah kegiatan sektor informal.
4.2.2. Sektor Informal dengan Pemerintah Kota Malang
Sektor informal di Kota Malang memiliki keterkaitan dengan pemerintah Kota Malang dalam hal mewujudkan pertumbuhan ekonomi daerah, baik terhadap supply input murah dan peningkatan pendapatan masyarakat dan peningkatan konsumsi. Sektor informal memiliki fungsi penting dalam perekonomian dan merupakan bagian dari sistem perekonomian kota.
4.3 Analisis Pemberdayaan Usaha Sektor Informal
Permasalahan sektor informal yang terjadi seakan-akan menjadi suatu permasalahan rutin di masyarakat, seperti perputaran siklus, tidak pernah berhenti meskipun secara teoritis sektor ini bukanlah suatu fenomena yang baru.
Akan tetapi, sektor informal selalu mendapatkan predikat sebagai “penghambat” pembangunan. Predikat tersebut selalu saja menuai permasalahan yang kian hari kian sempit ruang geraknya. Akibatnya, sektor informal semakin sulit untuk mengembangkan usahanya demi memenuhi kebutuhan hidup.
Adanya pertumbuhan penduduk tersebut tidak diimbangi dengan tersedianya lapangan kerja yang membangun sumber daya yang berkualitas, sehingga sumber daya manusia yang ada tidak mampu untuk mengikuti kompetisi di era globalisasi yang semakin ketat. Ketidakmampuan dalam bersaing ini menyebabkan sumber daya manusia yang minim modal dan keterampilan (soft skill).
Hal inilah yang menyebabkan kegiatan sektor informal untuk dijadikan sebagai alternatif lahan mata pencaharian bagi masyarakat.
Di sisi lain, pemerintah masih menganggap bahwa sektor informal merupakan salah satu sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) melalui penarikan retribusi. Retribusi sendiri pada dasarnya adalah pajak yang merupakan kewajiban bagi semua warga negara. Akan tetapi, penarikan pajak sudah seharusnya disertai dengan pelayanan pemerintah mengenai keberlangsungan kegiatan pada sektor informal, seperti penyediaan tempat untuk melakukan usahanya serta jaminan keamanan dan sebagainya.
Ada beragam permasalahan yang dialami pelaku usaha sektor informal di masing-masing kelurahan di Kota Malang ditinjau dari perspektif (cara pandang) pelaku usaha sektor informal. Tinjauan akan dianalisis berdasarkan kapasitas kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dengan demikian berdasarkan analisis ranah kognitif, afektif dan psikomotorik pelaku usaha sektor informal, maka dapat disimpulkan masih ditemui kelemahan-kelemahan yang berasal dari pelaku usaha itu sendiri yaitu :
1) Ketidaktahuan pelaku usaha sektor informal terhadap keberadaan program- program pengembangan masyarakat.
2) Kekurangpercayaan pelaku usaha sektor informal terhadap pemerintah setempat karena pemberian bantuan usaha yang tidak tepat sasaran dirasakan sebagai ketidakadilan oleh pelaku usaha sektor informal.
3) Sikap pelaku usaha sektor informal yang memandang keberadaan usaha sejenis dirasakan sebagai persaingan dan dianggap mengganggu usaha sehingga mengakibatkan ketidaknyamanan berusaha.
4) Hambatan peluang pemasaran karena persaingan usaha, ketidakstrategisan lokasi usaha dan keterbatasan cakupan sasaran konsumen sebagai obyek pemasaran.
5) Keterbatasan pelaku usaha dalam mengembangkan alternatif keterampilan usaha sebagai sumber nafkah tambahan.
6) Pelaku usaha belum dapat mengakses program-program yang dapat membantu kemajuan usaha.
7) Pelaku usaha sektor informal kurang terampil mencari modal.
Permasalahan usaha sektor informal berdasarkan perspektif pelaku usaha sektor informal dianalisa pula berdasarkan permasalahan faktor internal dan eksternal.
1. Faktor internal
Berdasarkan analisis terhadap permasalahan faktor internal pelaku usaha sektor informal, maka dapat disimpulkan masih ditemui kelemahan-kelemahan yang berasal dari pelaku usaha itu sendiri yaitu:
a. Keterbatasan modal;
b. Ketidakmampuan pelaku usaha sektor informal untuk mengembangkan jejaring usaha;
c. Ketidakmampuan pelaku usaha sektor informal untuk mengorganisir mereka dalam wadah kelembagaan yang dapat menyatukan aspirasi, harapan dan tujuan bersama.
d. Keterbatasan pengetahuan dan wawasan mengenai berbagai informasi kewirausahaan dan berbagai program yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan usaha mereka.
e. Keterampilan pelaku usaha sektor informal yang sangat terbatas. 2. Faktor eksternal
Bedasarkan analisis terhadap permasalahan faktor eksternal pelaku usaha sektor informal, maka dapat disimpulkan masih ditemui kelemahan-kelemahan yang berasal dari luar pelaku usaha sektor informal yaitu :
a. Lemahnya sosialisasi yang sangat terbatas mengenai kebijakan pemerintah dan program-program pengembangan masyarakat kepada pelaku usaha sektor informal.
b. Ketidakstabilan kondisi perekonomian secara makro ternyata mempunyai dampak negatif terhadap keberhasilan dan keberlangsungan usaha sektor informal yang berada di tataran perekonomian mikro.
c. Persaingan usaha sejenis dapat mengganggu pengembangan usaha sektor informal.
d. Lemahnya pendampingan dari pihak luar (LSM, swasta, dan pemerintah).
Faktor Pendukung dan Penghambat Dalam Pemberdayaan Usaha Sektor Informal
Faktor pendukung pemberdayaan usaha sektor informal antara lain:
1) adanya program-program penanggulangan kemiskinan yang berorientasi pada pemberdayaan usaha sektor informal;
2) adanya peluang mengakses pinjaman dari lembaga keuangan mikro;
3) adanya peluang pelatihan kewirausahaan, dan keinginan kuat dari pelaku usaha sektor informal untuk mendapatkan taraf pendapatan dan kesejahteraan yang lebih baik.
Faktor penghambat pemberdayaan usaha sektor informal antara lain:
1) ketidakjelasan mekanisme penyampaian informasi secara tepat sasaran mengenai program-program pengembangan masyarakat kepada pelaku usaha sektor informal;
2) ketidakmampuan pelaku usaha sektor informal dalam mengorganisir dirinya;
3) kekurangberfungsian kelembagaan dan modal sosial yang ada, dan kekurangmampuan pelaku usaha sektor informal dalam mengakses pasar dan keterbatasan modal.
4.4 Analisa Penentuan Strategi Program Dengan Analisis Swot
Penggunaan Analisis SWOT didasarkan atas pertimbangan bahwa analisis terhadap faktor-faktor strategis kelembagaan (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) atau disebut dengan analisis situasi diperlukan dalam proses pengambilan keputusan strategis.
Analisis SWOT dalam kajian ini menggunakan data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara langsung dan diskusi kelompok serta
data kuantitatif yang diperolah melalui kuesioner yang diisi oleh responden yang telah ditetapkan sebagai stakeholder utama. Tahapan penggunaan analisis SWOT dalam pemberdayaan usaha sektor informal antara lain penetapan stakeholder utama, identifikasi SWOT, dan pemilihan strategi hasil analisis SWOT.
Pemilihan strategi hasil analisis SWOT dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.4 Matriks Analisis SWOT terhadap Pemberdayaan Usaha Sektor Informal Faktor Internal Faktor Eksternal Strength Weakness
1. Motivasi untuk mengatasi permasalahan usaha
2. Keuletan dan semangat mengembangkan usaha
3. Pemanfaatan pengalaman usaha dalam mengembangkan usaha
Adanya kepercayaan, solidaritas, gotong royong
1. Kesulitan menambah modal/modal terbatas 2. Belum terbentuknya
organisasi antar pelaku usaha sektor informal dan jaringan usaha
3. Belum adanya pihak-pihak yang benar-benar membela secara langsung kepentingan usaha sektor informal untuk memperkuat posisi usaha sektor informal
4. Keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan usaha 5. Belum adanya perbaikan
sarana dan prasarana penunjang kegiatan usaha 6. Kesulitan mendapatkan
Informasi usaha dan peluang pemasaran
Opportunity (O) Strategi (S → O) Strategi (W → O)
1. Kebijakan pemerintah memberikan program-program bantuan usaha 2. Dukungan program, regulasi dan anggaran dari pemerintah kota 3. Bantuan teknis pengembangan usaha dari pemerintah/pihak lain 4. Pengembangan sarana dan prasarana oleh pihak pemerintah/pihak lainnya
5. Pemberian informasi dan strategi, dan keterampilan usaha
1. Pengembangan kesiapan mental pelaku usaha dalam menghadapi pemberian bantuan usaha dari berbagai pihak pemberi bantuan 2. Penguatan kapasitas
kepercayaan, solidaritas, dan kegotongroyongan antar pelaku usaha
3. Pengembangan
pengetahuan dan keterampilan usaha bagi pelaku usaha
4. Memberikan keleluasaan dan ketenangan berusaha di sektor informal
1. Mengembangkan tata hubungan kelembagaan yang sinergis antara masyarakat/ pelaku usaha sektor informal, pihak swasta, dan pemerintah.
2. Meningkatkan akses terhadap sumber daya dan pemasaran. 3. Meningkatkan akses
terhadap pengetahuan dan keterampilan.
4. Meningkatkan kualitas kondisi sarana dan prasarana usaha.
5. Mengembangkan
pengorganisasian diri pelaku usaha sektor informal dan pengembangan jejaring usaha.
6. Pengembangan jejaring komunikasi dan informasi
dari pemerintah/pihak lainnya 6. Perhatian dari pemerintah/swasta/ lembaga swadaya masyarakat terhadap keberlangsungan usaha
dengan berbagai pihak (pemerintah/swasta/ lembaga swadaya masyarakat).
Treath (T) Strategi (S → T) Strategi (W → T)
1. Ketidakmengertian aparat setempat terhadap mekanisme pelaksanaan program pengembangan masyarakat 2. Ketidakberfungsian Lembaga Pengabdian Masyarakat Kelurahan dan koperasi setempat 3. Pengaruh rentenir 4. Persaingan usaha sejenis 5. Ketidaksampaian informasi pengembangan usaha 6. Kenaikan harga-harga bahan baku produk usaha
1. Pemantapan kesiapan mental pelaku usaha dan aparat setempat dalam melaksanakan program pengembangan masyarakat. 2. Pemberfungsian lembaga
pengabdian masyarakat Kelurahan dan koperasi setempat didasari solidaritas, saling percaya, dan gotong royong.
3. Penciptaan iklim persaingan usaha yang wajar (tidak mengganggu dan menjatuhkan usaha yang sudah ada)
4. Pengembangan mekanisme penyampaian informasi secara tepat sasaran
5. Penyempitan/penghapusan ruang gerak rentenir.
6. Pengefektifan penggunaan bahan baku.
1. Meningkatkan pemahaman aparat setempat mengenai pentingnya pemberian bantuan usaha kepada pelaku usaha sektor informal.
2. Meningkatkan kinerja dan perhatian lembaga Pengabdian Masyarakat Kelurahan dan Koperasi terhadap pengembangan usaha sektor informal.
3. Pengembangan mekanisme penyampaian informasi secara tepat sasaran.
4. Mengupayakan iklim persaingan usaha yang wajar disertai pengawasan dari pemerintah setempat.
Sumber: Hasil Analisa
4.4.1. Pemilihan Strategi Hasil Identifikasi SWOT
Salah satu strategi akan muncul sebagai salah satu strategi yang akan dikembangkan berdasarkan perhitungan nilai bobot dan urgensi penanganan dari setiap faktor melalui kuesioner yang telah diisi oleh responden, sehingga melalui perhitungan kuesioner, akan didapatkan rata-rata jawaban responden dalam faktor internal untuk strategi jangka pendek dan jangka panjang maupun rata-rata jawaban responden dalam faktor eksternal untuk strategi jangka pendek dan jangka panjang.
Hasil dari analisis SWOT dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha sektor informal, antara lain:
a. Analisa terhadap kekuatan yang ada, perlu diadakan pembinaan terus menerus terhadap usahanya.
b. Analisa terhadap kelemahan yang ada, perlu melakukan segala daya upaya untuk dapat mengatasi/menyelesaikan masalah yang terjadi dalam usahanya.
c. Analisa terhadap peluang yang ada, perlu memanfaatkan sebaik-baiknya dan seluas-luasnya guna mendukung keberhasilan usahanya.
d. Analisa terhadap ancaman yang ada, perlu mewaspadai dan berjaga-jaga, serta melakukan pengawasan terhadap hal-hal yang dapat menghambat keberhasilan usahanya.
4.5. Analisis Sosial Budaya
Rencana penataan sektor informal Kota Malang diperkirakan akan menghadirkan beragam perubahan kepada kehidupan masyarakat setempat. Perubahan-perubahan yang terjadi tidak hanya bersifat fungsional, namun ada pula yang bersifat disfungsional.
Beberapa perubahan fungsional dari Rencana penataan sektor informal Kota Malang diantaranya adalah semakin tertatanya aktifitas sektor informal serta lancarnya jalur transportasi pada kawasan-kawasan yang awalnya menjadi sentra kegiatan sektor informal seperti pada ruas jalan Jalan Juanda dan Jalan Irian Jaya sertadi sekitar Pasar Besar yang secara eksisting sering menimbulkan kemacetan di pusat kota malang.
Dengan adanya penataan sektor informal di Kota Malang ini tentunya akan mengurangi bahkan menghilangkan penghasilan sehari-hari PKL, maka hal ini pun akan menjadi masalah baru bagi pemerintah jika tidak segera dicari antisipasinya, karena kemungkinan bertambahnya pengangguran akan semakin besar.
4.5.1. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk
Tren pertumbuhan penduduk Kota Malang tahun 2007 hingga tahun 2011 ditunjukkkan dalam grafik berikut:
Gambar 4.1 Tren Pertumbuhan Penduduk Kota Malang tahun 2007-2011
Penduduk Kota Malang memiliki tren pertumbuhan penduduk yang meningkat setiap tahunnya, sehingga untuk menghitung proyeksi penduduk akan digunakan Eksponential Growth Model atau model pertumbuhan eksponensial.
Dimana rumus ini menggunakan model matematis sebagai berikut:
740.000 760.000 780.000 800.000 820.000 840.000 860.000 880.000 900.000 920.000 2007 2008 2009 2010 2011 Tren Pertumbuhan Penduduk Kota Malang
dimana:
Pn = Jumlah penduduk pada tahun n
Po = Jumlah penduduk pada tahun awal perhitungan n = Periode perhitungan
r = Rasio pertumbuhan penduduk tiap tahun
Proyeksi penduduk Kota Malang tahun 2012 hingga tahun 2032 dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.
Tabel 4.3 Proyeksi Jumlah Penduduk Kota Malang Dirinci Per Kecamatan Tahun 2007-2011 No. Tahun Proyeksi Jumlah Penduduk (Jiwa) Luas Wilayah (Km2) Proyeksi Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) 1. 2012 939.059 110 8.537 2. 2013 986.012 8.964 3. 2014 1.035.313 9.412 4. 2015 1.087.078 9.883 5. 2016 1.141.432 10.377 6. 2017 1.198.504 10.896 7. 2018 1.258429 11.440 8. 2019 1.321.350 12.012 9. 2020 1.387.418 12.613 10. 2021 1.456.789 13.244 11. 2022 1.529.628 13.906 12. 2023 1.606.110 14.601 13. 2024 1.686.415 15.331 14. 2025 1.770.736 16.098 15. 2026 1.859.273 16.902 16. 2027 1.952.236 17.748 17. 2028 2.049.848 18.635 18. 2029 2.152.341 19.567 19. 2030 2.259.958 20.545 20. 2031 2.372.955 21.572 21 2032 2.491.603 22.651
Sumber: Hasil Analisis, tahun 2013
Dari hasil proyeksi bisa dilihat bahwa jumlah penduduk pada tahun 2032 meningkat dua kali lipat lebih, hal ini tentunya akan berimplikasi pada tingkat kebutuhan akan kegiatan perdagangan dan jasa dari usaha sektor informal di Kota Malang.
4.5.2. Analisis Dampak Sosial Budaya Terkait Rencana Penataan Sektor Informal di Kota Malang
Rencana Penataan Sektor Informal akan menimbulkan implikasi diantaranya terhadap perubahan pola ruang dan sistem transportasi. Penataan Sektor Informal dapat menimbulkan kecenderungan perubahan pola ruang (komposisi pola ruang), yakni dengan kemungkinan perkembangan penggunaan lahan yang mengurangi cakupan lahan kawasan lindung yang secara eksisting banyak dimanfaatkan untuk