• Tidak ada hasil yang ditemukan

ا َكِلََٰذا َنوُدااَما ُرِفۡغَيَو

اِبا ۡكِ ۡشُۡيانَمَوا ُء ٓاَشَيانَمِل اِذللّٱ

ا ااًديِعَبا ۢ َلَََٰل َضا ذل َضا ۡدَقَف

١١٦

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.”

(QS. An-Niza’ [4]: 116)

4) Peranan Akal dalam Menentukan Kebaikan dan Keburukan Az-Zamakhsyarî melihat bahwa akal yang menentukan kebaikan keburukan dan sumber hukum, bukan seorang rasul yang diberi wahyu. Mungkinkah manusia mempunyai bukti (Hujjah) di hadapan Allah SWT sebelum diutusnya beberapa rasul, sementara manusia tersebut tidak menjumpai seorang rasul yang mengantarkan mereka untuk melakukan perenungan dan pengetahuan. Rasul sendiri pun tidak akan diketahui bahwa mereka adalah sebagai utusan kecuali dengan perenungan dan pemahaman. Az-Zamakhsyarî berkata bahwa para rasul berfungsi untuk mengingatkan manusia agar tidak lupa (kelalaian). Mereka diutus agar manusia melakukan perenungan dan berpikir. Para rasul juga berguna untuk menyampaikan masalah-masalah rincian agama, taklifdan ajaran-ajaran syariat.

Para rasul diutus juga berfungsi sebagai penyempurna bukti

(Hujjah), agar manusia tidak mempunyai alibi jika mereka mengelak, menagap engkau (Allah) tidak mengutus kepada kami seorang utusan agar kami terjaga dari kelalaian.73

Penjelasan demikian dicantumkan oleh Az-Zamakhsyarî dalam surah an-Nisa` ayat 265. Sementara beberapa ulama Sunni mengatakan bahwa hukum itu ditetapkan dengan syara’

yang diturunkan Allah SWT kepada rasul-Nya yaitu berupa wahyu. Wahyu sendiri pun sesuai dengan fitrah manusia dalam tazkiyatunnafs (penyucian jiwa). Manusia yang tidak menjumpai dan mengetahui adanya adanya seorang rasul baik karena hidup sebelum diutusnya rasul (fatrah) atau tempat tinggal mereka sangat jauh akan menjadi penghuni surge.

Seperti anaknya orang musyrik, orangtua mereka dan orang gila.74

Hal ini dapat diperkuat oleh Qatadah bahwa Allah SWT tidak akan menyiksa seorang sebelum mereka memberikan berita tentang risalah (adanya seorang utusan) atau mukjizatnya.

Allah SWT hanya akan menyiksa hamba-Nya yang berbuat dosa. 75

5) Melihat allah SWT

Az-Zamakhsyarî menafsirkan surah al-Qiyamah ayat 23 hanya kepada Tuhannya orang-orang mukmin berharap, bukan dengan penafsiran melihat. Karena pada waktu hari akhir besok semua orang berkumpul dan jumlah mereka tentunya tidak bisa dihitung sehingga satu sama lainnya bisa melihat. Sedangkan jika melihat Allah SWT membutuhkan tempat, maka Az-

73Abu Qasim Jarullah Muhammad bin Umar Az-Zamakhsyarî, Al-Kasysyâf an Haqiqi al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil , Juz 1 h. 512

74Wahbah az-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, Juz VII (Damaskus: Dar al-Fikr, 2007), Cet. IX, h. 42

Zamakhsyarî membawa lafadz Nadhirah kepada Rafa’ atau tawaqqu’artinya berharap.76Karena lafadz Nadharah dalam syair pun bermakna Rafa’.77

Bahkan kaum Mu’tazilah pun membuat suatu kaidah kebahasaan jika lafadz Nadhirah disandingkan dengan huruf jer (ila)bukan bermakna melihat, akan tetapi dengan arti kedipan mata serta dengan takwilan menunggu (yantadhiru).78

76Abu Qasim Jarullah Muhammad bin Umar Az-Zamakhsyarî, Al-Kasysyâf an Haqiqi al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil , Juz 1 h. 509

77Abu Qasim Jarullah Muhammad bin Umar Az-Zamakhsyarî, Al-Kasysyâf an Haqiqi al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil , Juz 1 h. 510

78Wahbah az-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, Juz VII (Damaskus: Dar al-Fikr, 2007), Cet. IX, h.

285

103

PENAFSIRAN AYAT SIHIR DALAM TAFSIR Al-QUR`AN AL-

’AZHÎM, TAFSIR AL-MÎZÂN DAN TAFSIR AL-KASYSYÂF

Setelah di lihat dari ayat-ayat yang sudah dijelaskan sebelumnya tentang sihir di bab 2, bisa diketahui bahwa tidak semua ayat yang menyebutkan kata sihir berbicara tentang sihir. Ada beberapa ayat yang memang dalam ayatnya memasukan kata sihir, akan tetapi dalam pembahasannya tidak mengandung makna sihir seperti pada QS. al- Imran: [3]: 17, QS. Yunus [10]: 79, QS. al-Anbiya [21]: 79, QS. al- Qamar [54]: 34.

Penulis juga melihat bahwa banyak ayat yang di dalamnya memakai kata sihir sebenarnya berbicara tentang kemukjizatan para Nabi yang kehebatannya disangka sihir oleh orang Yahudi. Diantara ayat yang berbicara tentang kemukjizatan yang disangka sihir oleh orang Yahudi yaitu: QS. al-Baqarah [2]: 102, QS. al-Maidah [5]: 110, QS. al-A’raf [7]:

116, 120, QS. Yunus [10]: 2, 76, 77, 81, QS. Hud [11]: 7, QS. al-Isra’

[17]: 47, 101, QS. Taha [20]: 2, 71, 73, 58, QS. al-Furqan [25]: 8, QS.

asy-Syu’ara [26]: 34, 46, 49, 185, QS. al-Qashash [28]: 36, QS. Sad [38]:

4, QS. az-Zukhruf [43]: 49, QS. adz-Dzariyat [51]: 39, 52, QS. at-Thur [52]: 29, QS. Shaf [61]: 6, QS. al-Haqqah [69]: 42.

Dalam Al-Qur`an juga ada ayat yang memang di dalamnya berbicara tentang sihir kaum Yahudi atau para penyihir Fir’aun yang ingin menandingi kemukjizatan Nabi Musa as. Diantaranya: QS. an-Nisa [4]: 40, QS. al-‘Araf [7]: 113, QS. Yunus [10]: 80, asy-Syu’ara [26]: 38, 40.

Dari semua pembagian yang sudah diketahui, bahwa sihir yang disebutkan memang sihir jahat. Di mana para tukang sihir dengan segala

kemampuannya ingin mengalahkan kemukjizatan para Nabi yang diberi kelebihan atas izin oleh Allah SWT Karena Allah SWT tidak pernah menurunkan sihir kepada para Rasul-Nya, itu semua adalah bukti kemukjizatan yang Allah SWT berikan kepada mereka agar kaumnya bertaqwa.

Penulis hanya mengambil beberapa ayat dari semua ayat yang membahas atau terdapat kata sihir di dalamnya. Terutama pada penjelasan sihir jahat yang dilakukan oleh orang Yahudi dan kelompok Fir’aun. Alasannya karena menurut penulis ayat yang akan dipaparkan ini menjadi tumpuan terhadap ayat-ayat lain yang berkaitan dengan sihir.1

Dan memang biasanya para mufassir ketika menafsirkan ayat, jika ayat atau tema tersebut sudah pernah di bahas pada ayat sebelumnya maka pada ayat selanjutnya tidak akan dibahas secara lebih detail, sama seperti halnya tema sihir ini. Penjelasan detail tentang sihir itu terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 102.

A. QS. Al-Baqarah [2]: 102

ْ اوُعَبَّتٱَو

ْ

ْ اوُلۡتَتْاَم

ُْيِطَٰ َي َّشلٱ

ْ َّنِكََٰلَوْ ُنَٰ َمۡيَلُسَْرَفَكْاَمَوَْۖ َنَٰ َمۡيَلُسْ ِكۡلُمََْٰ َعَل ْ

َْيِطَٰ َي َّشلٱ

ْ َنوُمِ لَعُيْ اوُرَفَك ْ