• Tidak ada hasil yang ditemukan

هْ اوُلاَقاَذ

A. Tafsir Al-Qur`an Al-’Azhîm 1 Biografi Ibnu Katsîr

A.2 Tinjauan Tafsir

a.) Latar Belakang Penulisan Ibnu Katsîr

Tafsir Al-Qur`an Al-’Azhîm atau yang lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsîr termasuk tafsir bial-ma’tsur15yangpaling terkenal dan kitab kedua setelah tafsir Ibnu Jarir. pada tafsir ini Ibnu Katsîr memberikan perhatian kepada riwayat dan ahli tafsir kalangan salaf.

maka dikutip hadis dan atsar serta sanadnya sampai kepada sumbernya dengan penjelasan tentang jarh16 wa ta’dil17.18

Tafsir Ibnu Katsîr memakai penafsiran Al-Qur`an dengan Al- Qur`an yang tercangkup pada sekuruh ibadah, muamalah dan akidah serta hubungan interaksi dengan masyarakat umum. dalam hal ini, Nabi sebagai mufassir awal dapat dihubungkan penafsirannya setelah Al-Qur`an dengan merujuk kepada hadis-hadis shahih yang mutawatir, baru merujuk kpada riwayat sahabatdan tabi’in.19

Proses penulisan tafsir Ibnu Katsîr dicetak empat jilid. bila diurutkan masing-masing jilid tersebut, maka jilid pertama memuat surat al-Fatihah sampai surat al-Nisa’. jilid kedua dimulai dengan surat al-Maidah sampai surat al-Nahl. jilidketiga dimulai dari surat al-Isra’

14Manna Khalil al-Qaththan, studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj. Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996), cet ke-4, h. 527

15tafsir bi al-ma’tsur ialah penafsiran Al-Qur’an berdasarkan penjelasan Al-Qur`an sendiri, penjelasan Rasul, penjelasan sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tai’in. Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). cet. kedua, h. 31

16Sifat pribadi periwayat yang tidak adil atau buruk di bidang hafalan dan kecermatannya, yang mana keadaan tersebut menyebabkan gugur atas lemahnya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut.

17Sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikan dapat diterima.

18Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Ensiklopedia Tafsir, terj. Nabhan Idris, h. 231

19Anggi Wahyu Ari, Jihad Menurut IbnuKatsir diDalam Tafsir al-Qur`an al-Adzim. h. 32

sampai surat Yasin. dan jilid keempat dimulai dari al-Shaffat sampai surat al-Nasdan kemudian ditutup dengan kitab Fadâil Al-Qur`an.

berdasarkan urutan di atas dapat diketahui bahwa sistematika penulisan kitab tafsir Ibnu Katsîr masih mengacu pada sistem klasik yang dimulai dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas.

Ibnu Katsîr memulai muqaddimah secara panjang dan penting yang menyebutkan banyak hal berkenaan dengan Al-Qur`an dan tafsirnya. namun kebanyak muqaddimah yang beliau tulis merupakan petikan dari ucapan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Muqaddimah Usûl al-Tafsîr.20

Tafsîr Ibnu Katsîr bersumber kepada riwayah dan diroyah.

sumber riwayah antara lain meliputi Al-Qur`andan as-Sunnah, pendapat para sahabat dan tabi’in. sedagkan sumber diroyah adalah pendapat yang dikutip oleh Ibnu Katsîr dalam penafsirannya. sumber kedua ini selain dari kitab-kitab kodifikasi pada sumber riwayah, juga kitab tafsir dan bidang selainnya. dari pada ‘ulama mutakhirûnsebelumatau seangkatan dengannya. terdapatpula pada sumer ini karya ‘ulama mutaqaddimin. hal ini merupakan bukti keterbukaan Ibnu Katsîrterhadap karya-karya dari ‘ulama mutakhirûnyang berorientasi ra’yi.21

Dalam kesempatan tertentu Ibnu Katsîr juga menggunakan Israiliyyat sebagai sumber tafsir, untuk bukti dan untuk menguatkan.

Israiliyyat merupakan sesuatu yang menyerap ke dalam tafsir dan hadis dimana periwayatannya berkaitandegansumber Yahudi dan Nasrani, baik menyangkut agama mereka maupun tidak. dan kenyataanya kisah-kisah tersebut merupakan pembaruan dari berbagai agama dan kepercayaan yang masuk ke Jazirah Arab yang dibawa oleh

20Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Ensiklopedia Tafsir, terj. Nabhan Idris, h. 231

21Nurfaizin Maswan, Kajian Deskriptif Tafsîr Ibnu Katsîr, h. 87

orang-orang Yahudi yangkembali dari luar negeri pada masa-masa Jahiliyah.22

b.) Metode Penafsiran

Dalam menafsirkan Al-Qur`an, Ibnu Katsîr menggunakan metode tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercangkup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. dalam metodeini seringkali mufassir menguraikan makna yang dikandung oleh Al-Qur`an, ayat demi ayat, dan surah demi surah sesuai urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut meyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, dengan ayat-ayat lainbaik sebelum maupun sesudahnya (munasabat), dan pendapat-pendapat yangtelah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikanoleh Nabi, sahabat, para tabi’in maupun ahli tafsir lainnya.23

Menurut al-Dzahabi, di masukannya suatu kitab di dalam kategori bi al-Ma’tsur tidak menutup kemungkinan bagi penulisnya untuk memasukkan juga unsur-unsur non riwayat,seperti kupasan Ijtihad. Pengkategorian di atas hanyalah untuk menunjukkan dominasi unsur riwayat saja. bentuk bi al-Ma’tsur yang digunakan kitab Tafsir Ibnu Katsîr terbukti ketika Ibnu Katsîr tidak hanya bertindak sebagai pengumpul riwayat saja, tetapi juga sebagai kritikus yang mampu mentarjih sebagian riwayat, da bahkan pada saat-saat tertentu menolaknya. Baik dengan alasan riwayat-riwayat itu tidak

22Zinul Hasan Rifa’I, Belajar Mudah ‘UlumAl-Qur`an; Study Khazanah Ilmu Al-Qur`an, (Jakarta:

Lentera, 2002) h. 275

23Nasrudi Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), cet.

ke-2, h. 31

dapatdicerna oleh akal sehat, maupun karena atas alasan lain. sikap Ibnu Katsîr ini terlihat jelas dalam muqaddimah kitabtafsirnya yang memaparkan prinsip-prinsip penafsiran yang dipegangnya dan sekaligus dipakainya ketika menafsirkan Al-Qur`an.

Meskipun menggunakan metode tahlili, Ibnu Katsîr tidak berlarut-larut dalam menjelaskan arti perkata (mufradat) atau masalah balaghohdan I’rob. dalam hal ini ia mengembalikan itu kepada spesialis ilmu-ilmu lain. Ibnu Katsîr dalam meriwayatkan ayat lebih menekankan pada konteks pembicaraan ayat yang bersangkutan.

Selanjutnya ia menyebutkan beragam hadis marfu’ yang berkaitandengan ayat dan menjelaskan pengertian-pengertian yang dibutuhkan dalam hadis-hadis ini, lalu beliau memaparkannya dengan merujuk kepada perkatan-perkataan dari para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama salaf. Dalam hal ini Ibnu Katsîr melemahkan sebagian riwayat dan menguatkan sebagiannya, hal ini dikarenakan kemampuan beliau di dalam ilmu Hadis dan ahwali al-Rijal. Di dalam tafsirnya, Ibnu Katsîr juga banyak merujuk kepada penafsiran- penafsiran yang ditulis oleh Ibnu Jarir (w. 310 H), Ibnu Abi Hatim (w.

327 H), dan Ibnu ‘Atiyah.24

Dari segi pemikiran, penafsiran yang dilakukan oleh Ibnu Katsîr dalam Tafsir Al-Qur`an Al-’Azhîm banyak terinspirasi dari metode penafsiran Al-Qur`an yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah.25 Metode Ibnu Taimiyah dalam menafsirkan Al-Qur`an adalah menafsirkan Al- Qur`an dengan Al-Qur`an, Al-Qur`an dengan hadis, Al-Qur`an dengan perkataan sahabat, dan tabi’in. Walaupun sebenarnya Ibnu Taimiyah tidak pernah menyusun buku tafsir secara lengkap hingga 30 juz, ia hanyamenafsirkan 64 surat dari 114 surat dalam Al-Qur`an,

24Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Ensiklopedia Tafsir, terj. Nabhan Idris, h. 231

25Isma’il Salim Abd al-‘Ak, Ibnu Katsîr wa Manhajuhu fi al-Tafsir (tt: Maktabah al-Malik Faisal al-Islamiyah, 1984), h.268

itupun tidak seluruh ayat dari 64 tersebut yang ditafsirkannya) akan tetapi secara metode penafsiran Al-Qur`an, Ibu Taimiyah telah berhasil meletakan dasar-dasar baku penafsiran Al-Qur`an.26 akan tetapi, walaupun pemikiran Ibnu Taimiyah di dalam penafsiran Al- Qur`an banyak didopsi oleh Ibnu Katsîr berarti di dalam penerapannya, secara produk Al-Qur`an , Tafsir Ibnu Katsîr dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Taimiyyah secara keseluruhan.

Adapun tentang metode atau jalan yang beliau tempuh dalam menafsirkan Al-Qur`an, telah beliau ungkap pada awaltafsirnya yaitu:

“Jika ada orang bertanya, cara manakah yang paling baik untuk menafsirkan Al-Qur`an? Maka jawabannya adalah cara yang terbaik dalam hal ini adalah menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an. Sebab sesuatu yang dikemukakan secara global pada satu ayat adakala diperinci atau dijelaskanpada ayat lain, tetapi jika ternyata jika pada ayat lain tidak dijumpai pula, maka jawabannya akan dijumpai pada sunnah Rasulullah saw sebagai penjelas Al-Qur`an. Kemudian jika tidak menemuka tafsiran yang baik dalam AL-Qur`an maupun al- Sunnah, maka harus dikembalikan kepada para sahabat karena mereka lebih tau akan hal itu dengan melihat beberapa alasan. Mereka mengetahui masa turunnya ayat, sebab serta keadaanya. Selain itu mereka merupakan orang-orang yang ikhlas, dan ahli taqwa sehingga mereka mempunyai pemahaman yang sempurna.27

Selain itu juga beliau mengambil pendapat para tabi’in seperti ungkapan beliau “Jika anda tidak mendapatkan tafsiran dalam Al- Qur`an ataual-Sunnah atau juga tidak mendapatkannya dari pendapat para sahabat, maka banyaklah orang-orang yang mengembalikannya kepada pendapat para tabi’in. seperti Mujahid Ibnu Jabbar yang diberi

26Muhammad Chirzin, Pemikiran Tauhid Ibnu Taimiyah Dalam Tafsir Surat Al-Ikhlas, (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1999), h. 42

27Al-Hafîz Ibnu Katsîr r, Tafsir Al-Qur`an Al-’Azhîm m, h. 5

julukan “ayat” dalam tafsirannya (ayat Al-Qur`an), Sa’id Ibnu Jubair, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Ata’ Ibn Abi Rabah, Sa’id Ibn Musayyab, Abi Aliyah, Rubai Ibn Annas, Dahaq, dan lain-lain.28

c.) Sistematika Penafsiran Tafsir Al-Qur`an Al-’Azhîm

Tafsir Ibnu Katsîr menggunakan sistematika penafsiran sebagai berikut:

1) Penjelas sekitar seluruh surah dan ayat Al-Qur`an

Dalam mengemukakan penjelasan tentang sekitar surah Al- Qur`an, Ibnu Katsîr mengawalinya dengan menyebutkan nama- nama sutah itu sendiri disertai hadis-hadis yang menerangkan kepada hal tersebut. Selanjutnya untuk memulai penafsiran, sebelumnya beliau menyebutkan satu ayat kemudian menafsirkan ayat tersebut dengan redaksi yang mudah disertai dengan hadis- hadis yang menerangkan kepada hal tersebut. Selanjutnya dengan memulai penafsiran, sebelumnya beliau menyebutkan satu ayat kemudian menafsirkan ayat tersebut dengan redaksi yang mudah serta ringan dan menyertainya dengan dalil dari ayat lain, kemudian membandingkan ayat-ayat tersebut hingga maksud dan artinya menjadi jelas.29

2) Menyebutkan Hadis Sampai Pada Periwayatnya

Dalam menafsirkan Al-qur`an dengan hadis Ibnu Katsîr menuliskan matan hadis secara lengkap serta merangkaikan uratan-uratan sanadnya sampai pada rawi terakhir. Kemudian beliau meneliti dan mengomentari hadis tersebut apakah shahih atau tidak.

3) Menjelaskan Munasabah Ayat

28Al-Hafîz Ibnu Katsîr r, Tafsir Al-Qur`an Al-’Azhîm m, h. 5-6

29Muhammad Husein Adz-Dzahabi, at-Tafsir al-Mufassirun, (Beirut: Dar al-Fikr, 1976), h. 254

Menurut Ibnu Katsîr cara ini dapat memperjelas penafsiran suatu ayat, di samping mempermudah pembaca dalam mengumpulkan ayat-ayat yang sejenis, sehingga masinng-masing ayat bisa menafsirkan ayat-ayat sejenis lainnya. Juga agar pengertian satu ayat dengan ayat lainnya yang mengandung tema serupa tidak terputus-putus. Untuk hal ini Ibnu Katsîr meletakkannya ditempat penafsiran perkalimat atau perkata sebagai penguat penafsiran tersebut.

4) Menerangkan Sebab-Sebab Turunnya Ayat

Dalam hal ini yang dijadikan Ibnu Katsîr untuk menerangkan sebab-sebab turunnya ayat dalah hadis-hadis Nabi saw. pembahasanasbab an-Nuzul untuk masing-masing ayat biasanya dicantumkan di depan sebelum ayat dimulai. Begitu juga dengan asbab an-Nuzul sutah-surah dicantumkan di depan sebelum pembahasan tafsir tersebut dilakukan.

5) Memperluas Masalah Hukum

Membaca riwayat hidup Ibnu Katsîr , para ulama sepakat menegaskan bahwa belaiu adalah seorang ahli hadis yang handal dan juga seorang ulama fiqih yang masyhur dan mahir dalam mengutarakan permasalahan yang berkaitan dengan hukum. Hal ini terbukti ketika belaiu membahas satu masalah ayat hukum yang belaiu buatkan satu pembahasan khusus dengan menafsirkan secara panjang lebar, dengan disandarkan kepada hadis Nabi saw dan pendapat para ulama, untuk mengisi kandungan ayat tersebut.30

d.) Karakteristik Tafsir Al-Qur`an Al-’Azhîm

Tafsir Al-Qur`an Al-’Azhîm memiliki karakteristik sebagai berikut:

1) Mengkompromikan pendapat-pendapat yang berbeda

30Muhammad Husein Adz-Dzahabi, at-Tafsir al-Mufassirun, (Beirut: Dar al-Fikr, 1976), h. 256

Ibnu Katsîr selalu berusaha mengkompromikan perbedaan pendapat yang disampaikan para ulama sebelumnya. jika tidak mungkin maka ia akan melakukan tarjih.

sikap netral dn kritisnya dalam menghadapi kutipan berbagai pendapat yang mengandung ikhtilaf, menjadi keistimewaan Ibnu Katsîr.

2) Merangkum tafsir terdahulu

Ibnu Katsîr mengutip beberapa penafsiran dari para ulama.

Beliau mengambil pendapat-pendapat dari para ulama ebagai salah satu sumber tafsir. Ulama tersebut ada kalanya dari ulama mutaqaddimin namun terkadang dari ulama muta`akhirin. Mereka semua memiliki kontribusi besar dalam mengangkat nilai tafsirya.

3) Tafsir yang terpuji

Karya Ibnu Katsîr menekankan penukilan riwayat penafsiran dari masa Nabi saw. hingga masa tabi’in. pendapat- pendapat ulama pasca riwayat hanya sekedar pelengkap.

pembahasan nahwiyah kurang mendapat porsi yang cukup.

Penukilan penafsiran misalnya, dari Zamaksyari tentang I’rob, kendati dinukil tapi kadarnya kecil sekali. Hal ini karena memang ciri penafsiran mutaqaddimin, masa generalisasi atsar, tafsir ditekankan pada pembahasan murod Allah SWTdalam naskh Al- qur`an. sehinnga walaupun Ibnu Katsîr ditlis pada masa muta`akhirin namun memakai corak mutaqaddimin (ma’tsur), ia tidak begitu tepengaruh oleh corak-corak tafsir yang tumbuh setelah berkembangnya ilmu pengetahuan,termasuk di dalamnya ilmu tata bahasa. titikfokusnya bukan pada ilmu pengetahuan yang sedang marak berkembang pada masa itu, namun lebih memfokuskan diri pada penelitian sanad.sebab dengan kritik sanad itulah tafsir Ibn Katsîr menjadi tafsir ma’tsur yang bersifat

mahmud (dipuji) dan jaiz (dibolehkan), serta menempati kedudukan yang tinggi di antara tafsir-tafsir ma’tsur. Jika dalam penafsiran, ketika itu Ibnu Katsîr tidak memperdulikan kritik sanad, maka tafsirnya akan disifati madmum (dicela) atau mamnu’(dilarang), karena riwayat-riwayat tafsir yang dikutip tidak teruji otentitas dan validitasnya, sehingga bisa memasukkan riwayat-riwayat palsu (maudhu’) atau minimal yang lemah (dha’if) dan ata israiliyyat dan nasraniyyah yang tidak sesuai standar kualitasnya sebagaimana yang disampaikan dalam muqaddimah, yaitu sesuai tidaknya dengan ajaran Islam.31

Tafsir Ibnu Katsîr mengandung nuansa beberapa pemaparan. Hal ini karena Ibnu Katsîr memiliki keahlian yaitu sebagai mufassir, muarrikh, muhaddis dan hafidz. Latar belakang keilmuannya itu terbawa dalam analisis mengenai ayat yang sedang ditafsirkan, karena karakteristiknya pada masalah tertentu yang kemudian mengkristal dan dapat dikatakan sebagai kandungan tafsir tersebut. adapun nuansa-nuansa tersebut antara lain:

a. Nuansa Fiqih, seperti pada Q.S Al-Baqarah [2]: 230

b. Nuansa Ra’yi, ra’y di sini hanya digunakan untuk meneliti sanad sehingga menjadikan tafsir ini sebagai tafsir yang terpuji/ tidak dicela karena melakukan kritik terhadap sanad dan matan dari riwayat tafsir sebelumnya (tidak membiarkannya begitu saja)

c. Nuansa kisah

Di antara kisah yang digarap Ibnu Katsîr mencangkup: kisah para Nabi (dan umat), kisah orang-orang masa lalu yang tidak

31Nurfaizin Maswan, Kajian Deskriptif Tafsîr Ibnu Katsîr, h. 56-57

jelas kenabiannya, dan kisah-kisah yang terjadi pada masa Rasulullah saw.32

d. Nuansa Qira’at

Keberadaan Ibnu Katsîr sebagai ahli qira’at (al-muqri), ikut memperkaya nuansa yang ada dalam tafsir Ibnu Katsîr. Yakni menerangkan riwayat-riwayat Al-Qur`an dan qira`at-qira`at yang diterima dari ahli-ahli qira`at yang terpercaya. Ia selalu bertolak pada qira’ah sab’ah dan jumhur ulama, baru kemudian qira`at-qira`at yang berkembang dan dipegangi sebagian ulama dan qira`ah syadzah. Terhadap qira`ah syadzah beliau selalu mengungkapkan artinya, sehingga kalangan yang membaca mengetahui letak kesalahanqira`at tersebut dan mengetahui pula mengapa dianggap syadzah dan tertolak.33

e.) Pendapat Para Pakar Ulama tentang Tafsir Al-Qur`an Al-’Azhîm Muni Abdul al-Halim Mahmud: “Tafsir Ibnu Katsîr merupakan tafsir terbaik. Oleh karena itu tafsir ini menjadi rujukan ulama-ulama sesudahnya.”

Al-Suyuthi: “Tafsir Ibnu Katsîr merupakan tafsir yang tidak ada duanya. Belum pernah ditemukan kitab tafsir yang sistematika dan penulisannya menyamai kitab ini.”

Taqi al-Din al-Halili: “Tafsir Ibnu Katsîr merupakan kitab tafsir yang paling baik diantara kitab-kitab tafsir yang ada.”

Al-Darqani: ”Tafsir Ibnu Katsîr merupakan salah satu Tafsir bi al- Ma’tsur yang shahih jika kita tidak dapat mengatakan yang paling shahih.34

32Nurfaizin Maswan, Kajian Deskriptif Tafsîr Ibnu Katsîr, h. 71

33Nurfaizin Maswan, Kajian Deskriptif Tafsîr Ibnu Katsîr, h. 71

34M. Hasbi ash-Shiddiqy, Ilmu-ilmu Al-Qur`an: Media-media Pokok dalam Menafsiri Al- Qur`an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), h. 223