• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penafsiran Dalam Tafsîr al-Mîzân karya Thabathaba’i

ميِظَعْ رۡح١١٦

B.2 Penafsiran Dalam Tafsîr al-Mîzân karya Thabathaba’i

“Musa berkata, “Apa yang kamu lakukan itu, itulah yang sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidak benarannya.

Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan memperbaiki pekerjaan orang-orang yang membuat kerusakan. Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapan-Nya, walaupun orang- orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya).”

Thathabai dalam Tafsir al-Mizan berkata, “Sihir termasuk jenis penguasaan dan pengaturan manusia, sedemikian manusia terhipnotis sehingga segala sesuatu yang dilihat atau didengar bukan sebuah realitas. Salah satu bagiannya adalah menguasai khayalan masyarakat yang disebut sebagai magik dan ilmu ini termasuk

sebagai yang paling pasti dan lebih tepat (disebut sebagai) ilmu sihir dari segala ilmu sihir.20

Dari apa yang disebutkan menjadi jelas bahwa mempelajari sihir untuk melenyapkan dan menangkal sihir dapat dilakukan akan tetapi harus diperhatikan bahwa ghalibnya masyarakat memandang itu sihir karena perhatian yang berlebihan terhadap masalah khurafat

19Tafsir Ibnu Katsîr, Tafsir Al-qur`an Al-‘Azhîm, diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Bandung Algensindo, 2000) jilid 1 cet-1, h 287

20 Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, Tafsir Al-Mizan, terjemahan Persia jilid.

8, h. 275.

dan delusi serta penyalahgunaan sebagian masyarakat lainnya.

Sementara mereka tidak memiliki informasi tentang sihir atau minimal tentang sihir. Sihir dilakukan dengan penguasaan dan pengaturan pada khayalan manusia. Sebagaimana yang terjadi pada kisah Nabi Musa dan para penyihir.

Dalam hal seperti ini, dengan meningkatkan tingkat iman dan pengetahuan masyarakat maka secara praktis sihir tidak dapat memberikan pengaruh sama sekali. Bagaimanapun apabila terjadi sihir atau ada seseorang yang terkena sihir maka untuk selamat dari sihir ini kita dapat memanfaatkan doa. Dan dibolehkan mempelajari sihir apabila tidak tersedia cara dan tips untuk menangkal dan melawan sihir kecuali dengan mempelajarinya. Akan tetapi pengajaran sihir bagi orang-orang dibolehkan sepanjang ada kemantapan hati bahwa mereka tidak akan menyalahgunakan sihir tersebut. Dengan kata lain, pengajaran sihir dibolehkan dengan beberapa syarat dan ketentuan.

B.3 Penafsiran Dalam Tafsîr al-Kasysyâf Karya Az-Az-Zamakhsyarî Allah SWT mengutus Nabi Musa as. kepada Fir’aun dan para pemukanya, dimana fir’aun dan para pemukanya telah mengingkari ayat-ayat Allah SWT karena di dalam diri mereka mereka sudah tertancap kekafiran yang diwariskan pendahulunya.

Diceritakan di sini bahwa pada masa itu penguasa Mesir di juluki

Fir`aun. Lain halnya di Persia yang mana penguasa disebut dengan kaisar.

Musa as. pada saat itu ditantang oleh Fir’aun para tukang sihirnya untuk menampilkan keahlian sihirnya. Karena pada saat itu telah tersebar kabar Musa as. bisa melakukan sihir. Setelah semua berkumpul, para tukang sihir Fir’aun menantang Musa as. untuk lebih dulu mengeluarkan kemampuannya. Tapi pada saat yang sama Musa as. menjawab ““lemparkanlah tongkatmu!” lebih dulu. Pada lafadz di sini dijelaskan bahwa para penyihir Fir’aun itu mendatangkan sihir yang besar, diriwaytkan bahwa sihir yang dilakukan oleh para tukang sihir Fir’aun adalah mereka cuma mewarnai tali atau tongkat yang mereka lemparkan itu sehingga karena kombinasi warna menjadikan orang yang menyaksikan seolah-olah dia bergerak. Tetapi ada pendapat lain, mengatakan bahwa tali atau kayu yang di cat oleh para tukang sihir itu sebenarnya dia diberi air raksa, itulah yang menyebabkan tali dan tongkat itu bergerak-gerak seolah-olah ular. Padahal itu hanya tali- tali dan tongkat. Jadi yang dimaksud sihrin adzim itu maksudnya sihir yang dikeluarkan oleh para tukang sihir Fir’aun itu tidak ada.

Para tukang sihir berbohong atas semua kejadian itu.

Setelah para tukangg sihir Fir’aun mengubah tali-tali dan tongkatnya (yang terlihat) menjadi ular. Kemudian Nabi Musa as.

dengan izin Allah swt bisa berubah tongkatnya menjadi seekor ular yang besar dan memakan ular-ular tukang sihir Fir’aun maka para tukang sihir yang berada bersama Fir’aun mengatakan

“sesungguhnya orang ini penyihir yang pandai.”

Setelah melihat kemampuan Musa as. akhirnya para tukang sihir Fir’aun beriman kepada Allah SWT dan meyakini bahwa yang dilakukan oleh Musa as. adalah atas izin Allah SWT.21

Analisis Penulis

Dari penjelasan QS. al-‘Araf di atas perbedaan yang mencolok adalah Ibnu Katsîr memperjelas bahwa tongkat yang dijatuhkan oleh Nabi Musa as. dan menjadi seekor ular adalah ular jantan. Sedangkan Thabathaba’i dan Zamakhsyâri tidak menyebutkan hal yang demikian. Menurut Ibnu Katsîr pada zaman itu, sihir memang sangat dominan, banyak dijumpai dan sangat menguasai. Mereka menduga bahwa apa yang dibawa Musa as.

adalah yang mereka istilahkan dengan sihir. Padahal sebenarnya yang dilakukan Musa as. adalah untuk mengingatkan kepada kaumnya agar tidak terpengaruh oleh para penyihir Fir’aun.

Sesungguhnya yang dilakukan para penyihir Fir’aun itu adalah tipu daya tukang sihir. Dan tidak akan menang tukang sihir itu dari segi mana pun.

Thathaba’i pada ayat ini dalam Tafsir al-Mizan berkata,

“Sihir termasuk jenis penguasaan dan pengaturan manusia, sedemikian manusia terhipnotis sehingga segala sesuatu yang dilihat atau didengar bukan sebuah realitas. Salah satu bagiannya adalah menguasai khayalan masyarakat yang disebut sebagai magik dan ilmu ini termasuk sebagai yang paling pasti dan lebih tepat (disebut sebagai) ilmu sihir dari segala ilmu sihir. Karena melihat dari atraksi para penyihir Fir’aun yang hanya mengelabui masyarakat dengan

21Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasysyâf, (Lebanon:

Dar Al-Marefah, 2009) h 377

trik magicnya. Bisa di lihat bahwasanya Thabathaba’i tidak mempercayai adanya hakikat sihir ada pada ayat ini. Dan Az-Az- Zamakhsyarî menyatakan hal yang sama. Bahwa sebenarnya para penyihir Fir’aun tidak benar-benar mengaluarkan sihir yang besar, melainkan hanya tipuan yang mereka buat sendiri untuk memperdaya mata orang yang melihat.

C. QS. Thâhâ [20]: 65-70

ْ اوُلاَق

ْ

ْ َٰ َقِۡل َ

أْ ۡنَمْ َلَّو َ

أْ َنوُكَّنْن َ

أْٓاَّموَإِْ َ ِقِ ۡلُتْنَأْٓاَّمِإْ ٰٓ َسَوُمََٰي ٦٥

َْلاَق

ْ

ْ ۡلَب

ِْإَفْ َۖ اوُقۡلَأ

ُْْۡمُهُّي ِصِعَوْ ۡمُهُلاَبِحْاَذ

ْ َٰ َعَ ۡسَتْ اَهَّن َ

أْ ۡمِهِرۡحِسْنِمِْهۡ َلَِإْ ُلَّيَخ ٦٦

ِْهِسۡفَنْ ِفِْ َسَجۡو َ أَف ۦْ

ْ َٰ َسَوُّمْٗةَفيِخ ٦٧

اَنۡلُق

ْ

ْ ۡفَ تَْ َ لَ َ

ْ َتن َ