• Tidak ada hasil yang ditemukan

ث ِحاَبَم

ٌِهِتَباَتِك َوٌ ِهِعْمَج َوٌ ِهِبْيِت ْرَت َوٌ ِهِل ْو ز نٌ ِةَي ِحاَنٌ ْنِمٌ ِمْي ِرَكْلاٌ ِنآ ْر قْلِابٌ قَّلَعَتَت

ٌَكِلاَذٌِوْحَن َوٌ هْنَعٌِهَبِ شلاٌِعْفَدوٌِه ِخ ْو سْنَم َوٌِه ِخِسٌاَن َوٌِه ِزاَجْعِإ َوٌِه ِرْيِسْفَت َوٌهِتأ َرِق َو

Beberapa pembahasan (kajian-kajian) yang berhubungan dengan Al-Qur’an yang mulia dari segi turunnya, urut- urutannya, pengumpulannya penulisannya, bacaannya, penafsirannya, kemukjizatannya, nasikh mansukh, dan

3 Mannā‘ al-Qaṭṭān, Mabāḥits Fi ‘Ulūm al-Qur’Ān (t.tp.: Manshūrāt al- Aṣr al-Hadīts, 1973), 15.

4 Muhammad Abd al-’Aẓīm al-Zarqāni, Manāhil Al-‘Irfān Fī ‘Ulūm al-Qur’an, Vol. 1 (Beirut: Dār al-Fikr, 1995), 27.

penolakan hal-hal-yang dapat menimbulkan keraguan terhadapnya dan sebagainya”.

2) Mannā’ al-Qaṭṭān5 mendefinisikannya sebagai berikut:

ٌِل ْو زُّنلاٌِباَبْسَأٌِةَف ِرْعَمٌ ثْيَحٌ ْنِمٌ ِنآ ْر قْلاِبٌَةَقِ لَعَت مْلاٌ َثاَحْبَ ْلْاٌ ل َواَنَتَيٌيِذَّلاٌ مْلِعْلَا

ٌ ِمَكْح مْلا َوٌِخ ْو سْنَمْلا َوٌِخِساَّنلا َوٌيِنَدَمْلا َوٌيِ كَمْلاٌ ِةَف ِرْعَم َوٌ ِهِبْيِت ْرَت َوٌ ِنآ ْر قْلاٌِعْمَج َو

ٌىَلِإٌِهِباَشَت مْلا َو

ٌ. ِنآ ْر قْلاِبٌ ةَل ِصٌ هَلٌاَّمِمٌ َكِلاَذٌ ِرْيَغ

“Ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya, pengumpulan dan urut-urutannya, pengetahuan tentang makki dan madani, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasybih dan hal-hal-lain yang ada hubungannya dengan al-Qur’an”.

Berdasar kedua definisi di atas, maka‘Ulūm al-Qur’ān (studi Al-Qur’an) adalah kumpulan sejumlah pembahasan yang ada hubungannya dengan Al-Qur’an baik yang ada di dalam Al- Qur’an (mā fī al-Qur'ān ) maupun yang ada di sekitar Al-Qur’an (mā ḥawla al-Qur'ān), atau baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu Tafsir, maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu I’rab Al-Qur’an.

D. Ruang lingkup Pembahasan ‘Ulūm al-Qur’ān

Berdasar keterangan di atas, dapat dipahami bahwa ‘ulūm al-Qur’ān adalah suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang sangat luas, yakni semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an. Ilmu-ilmu yang tertulis pada kedua definisi di atas, seperti ilmu qiraat, asbab al-nuzul, dan lain-lain hanyalah sebagian dari pembahasan pokok ulum Al-Qur’an.

Karena luasnya ruang lingkup kajian ‘ulūm al-Qur’ān, sehingga sebagaian ulama mengatakan bahwa objek kajian ‘ulūm al-

5 al-Qaṭṭān, Mabāḥits Fi ‘Ulūm al-Qur’Ān, 16–17.

Qur’ān itu luas tak terbatas. Al-Suyūṭī penulis buku al-Itqān fī

‘ulūm al-Qur’ān memasukkan astronomi, ilmu ukur, kedokteran dan sebagainya kedalam pembahasan ‘ulūm al-Qur’ān. Selain itu, dia mengutip pendapat Abu Bakar ibn al-Arabi yang mengatakan bahwa ‘ulūm al-Qur’ān terdiri dari 77450 ilmu. Hal itu didasarkan atas jumlah kata yang terdapat dalam Al-Qur’an yang mengandung makna zahir-batin dan terbatas-tak terbatas.

Perhitungan itu hanya dilihat dari sudut mufradatnya (kata- katanya). Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat- kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tak terhitung.6

Berbeda dengan al-Suyūṭī, Ash-Shiddiqie berpendapat bahwa segala macam pembahasan ‘ulūm al-Qur’ān, walaupun sedemikian banyaknya, namun ia kembali pada enam pokok persoalan, yaitu:

Pertama : Auqāt al-Nuzūl, Mawāṭin al-Nuzūl, Asbāb al-Nuzūl dan Tārikh al-Nuzūl.

Kedua : sanad, hal ini meliputi hal-hal yang menyangkut sanad mutawatir, ahad, syad. Bentuk-bentuk qiraat Nabi, para perawi dan penghafal Al- Qur’an serta cara taḥammul (penerimaan riwayat).

Ketiga : adā’ qirāah (cara membaca Al-Qur’an), hal ini mencakup waqaf, ibtida’, imalah, mad, taḥfīf (meringankan) hamzah dan idgham.

Keempat : lafal Al-Qur’an, yaitu tentang lafal gharib, mu’rab (menerima perubahan akhir kata), majaz (metafora, musytarok, muradif, isti’aroh (metafor) dan tashbih (penyerupaan).

Kelima : makna-makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum, yakni ayat yang bermakna ‘amm yang dimaksudkan khusus, ‘amm yang dikhususkan oleh sunnah,’amm yang

6 al-Zarqāni, Manāhil Al-‘Irfān Fī ‘Ulūm al-Qur’Ān, Vol. 1, 23.

mengkhususkan sunnah, nash yang zahir, mujmal, mufaṣṣal, mantūq, nash yang mafhūm, mutlaq, muqayyad, muḥkam, mutashābih, mushkil, nāsikh mansūkh, muqaddam mu’akhkhar, ma’mūl (diamalkan) pada waktu tertentu dan yang hanya di amalkan oleh seorang saja.

Keenam : makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan lafal, yaitu tentang faṣal, waṣal, i‘jāz, iṭnāb, musāwah dan qaṣar.7

Pandangan Ash-Shiddiqie itu nampaknya sejalan dengan pendapat al-Zarqānī ,8 bahwa yang menjadi pokok bahasan

‘ulūm al-Qur’ān adalah ilmu-ilmu agama dan bahasa arab saja, sedang ilmu-ilmu yang lain, seperti astronomi, kosmologi, ekonomi, kedokteran dan lain-lain tidak termasuk dalam pembahasan ‘ulūm al-Qur’ān. Namun melihat kenyataan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menyangkut berbagai aspek kehidupan dan adanya tuntutan yang besar terhadap realisasi petunjuk Al-Qur’an, maka untuk menafsirkan ayat-ayat yang menyangkut disiplin ilmu tertentu memerlukan pengetahuan disiplin ilmu tersebut. Misalnya penafsiran ayat- ayat kauniyah memerlukan pengetahuan astronomi, dan seterusnya.

Berpijak pada definisi ‘ulūm al-Qur’ān dan ilmu-ilmu yang masuk dalam pembahasan ‘ulūm al-Qur’ān sebagaimana tersebut, maka ‘ulūm al-Qur’ān dapat dibagi menjadi dua pokok bahasan keilmuan, yaitu:

Pertama : Ilmu riwayah, yaitu ilmu-ilmu yang hanya dapat diketahui melalui jalan riwayah atau naql, seperti bentuk-bentuk qiraat, tempat-tempat turunnya, waktu-waktu turunnya dan sebab-

7 T.M. Hasbi Ash-Shiddiqie, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an /Tafsir (Jakarta:

Bulan Bintang, 1987), 100–102.

8 al-Zarqāni, Manāhil Al-‘Irfān Fī ‘Ulūm al-Qur’Ān, Vol. 1, 24.

sebab turunnya Al-Qur’an.

Kedua : Ilmu dirayah, yaitu ilmu-ilmu yang dapat diketahui melalui jalan akal, yakni perenungan, berfikir dan penyelidikan, seperti mengetahui pengertian lafal gharib, ilmu munasabah, muhkam mutasyabih, dan lainnya.

E. Pertumbuhan dan Perkembangan ‘Ulūm al-Qur’ān (Studi Al- Qur’an)

‘Ulūm al-Qur’ān sebagai disiplin ilmu tidak lahir sekaligus, akan tetapi melalui proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk memperindah Al-Qur’an dari segi keberadaannya dan dari segi pemahamannya.

Pada masa Rasul saw. dan para sahabat, pemerintahan Abu Bakar dan Umar,‘ulūm al-Qur’ān belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Hal itu karena para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur Bahasa Arab yang tinggi dan mampu memahami isi Al- Qur’an dan juga mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al- Qur’an. Jika mereka menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat langsung bertanya kepada Rasul saw., sebagaimana ketika turun Q.S. al-An’am (6): 82 tentang arti kata

ملظ

dalam kalimat

ملظبٌمهناميإٌاوسبليٌملو

Artinya:

“dan mereka tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedaliman” Para sahabat ketika itu mengungkapkan sebuah pertanyaan: siapa di antara kami yang tidak menganiaya (mendalimi) dirinya? Kemudian Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud “ẓulm” dalam ayat tersebut adalah perbuatan syirik dengan menyebutkan Q.S. Luqman (31): 13 yang berbunyi:

ٌ نا