BAB I PENDAHULUAN
B. Agama Sebagai Praktek Wacana
Pada paparan di atas telah dicoba untuk mendiskusikan hakekat konsep tekstualitas, mulai dari dua komponen pengertiannya, kemampuannya untuk menentukan arah produksi makna, hingga implikasi ideologis yang terkandung dalam dirinya. Sampai sejauh ini paparan tersebut kurang lebih menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: "Apabila teks adalah satu-satunya akses menuju realitas, dan bahwa sebagai teks ia memiliki produktivitasnya sendiri di dalam menghasilkan makna, maka teks harus menjadi konsep sentral di dalam setiap upaya memahami realitas"
Kesimpulan ini agaknya perlu dipertanyakan dan dikaji lebih jauh terutama jika kita hendak mengaitkannya dengan studi keagamaan atau ikhtiar apapun untuk mendapatkan realitas keagamaan. Sebab, realitas keagamaan konon memiliki wilayah keberadaan tersendiri yang "immun" dari jangkauan analisis ilmiah. Beberapa poin yang patut mendapatkan perhatian ulang antara lain adalah:
1. Konsep tekstualitas sebagai proses signifikasi. Apakah penekanan pada proses signifikasi tidak akan berujung pada pereduksian realitas ke dalam bahasa? Lalu, anggapan tentang konstruksi realitas secara diskursif tidakkah akan mengarah
11 Umberto Eco, "Sebuah Pengantar Menuju Logika Kebudayaan" dalam Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest, op. cit., him. 31-2.
pada posisi idealisme subjektif, yaitu pandangan bahwa di luar pikiran/ide tidak terdapat realitas?
2. Berkaitan dengan keniscayaan mediasi realitas. Apakah benar bahwa penangkap- an atas realitas selalu dimediasikan? Begaimanakah dengan pengalaman mistik yang pada kodratnya sendiri merupakan pengalaman pra-refleksi? Bagaimana pula dengan status wahyu sebagai kebenaran yang berasal dari realitas adi- manusiawi?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyan di atas, terlebih dulu harus ditandaskan bahwa konsep signifikasi tidaklah berimplikasi pada penolakan atas realitas. Itu hanya berarti penegasan tentang kemustahilan menampilkan realitas secara non-diskursif. Lagi pula, perwujudan konstruksi diskursif atas realitas tidak terbatas pada sistem linguistik semata melainkan mencakup keseluruhan "praksis sosial dari produksi signifikasi" (social practice of production of significations)?2 Dalam pengertian ini maka discourse atau "wacana" harus dipandang sebagai totalitas signifikasi dan mencakup segenap susunan relasi sosial (jadi, realitas material) di mana bahasa hanya merupakan salah satu bagiannya saja.
Penegasan terakhir ini, bahwa wacana sesungguhnya berkenaan dengan realitas material berupa susunan relasi sosial, sekaligus menandaskan watak empiris analisis ini (dan bukannya idealis seperti disangkakan). Artinya, analisis ini dengan
12 Meminjam istilah Anna Maria Ezcurra sebagaimana dikutip dalara artikel Berma Klein Goldewijk, "Discursive and Ideological Practices Against the Church of the Poor: Some Theoritical Remarks", Exchange, 43 (1986), him. 90-1.
menaruh perhatian pada relasi sosial berarti menantang kemampuan konsep.
Tantangan yang paling jitu terhadap idealisme konseptual memang terletak pada pandangan tentang perubahan susunan sosial yang membentuk realitas. Hanya saja, sisi empiris analisis ini tidak terdapat pada "bahan" stabil tindakan jasmaniah (stable 'stuff' of the bodily act), yang mengisyaratkan sudut pandang materialisme kasar, melainkan pada karakter perubahan gagasan-gagasan itu sendiri seiring dengan kontingensi susunan relasi sosial.13
Adapun mengenai keniscayaan mediasi realitas, poin ini justru membuk- tikan bahwa manusia adalah makhluk budaya dan bukan makhluk alamiah. Manusia menghadapi realitas tidak secara langsung tetapi berjarak. Dan kebudayaan adalah reaksi dari kompetensi manusia untuk mengatasi jarak ini. Reaksi budaya inilah yang menghubungkan (baca: memediasikan) manusia dengan realitas dan ini sudah terjadi pada tahap yang paling awal, yaitu pada proses penalaran seperti yang telah dikemukakan di depan.
Pengalaman mistik biasanya diacu untuk menunjukkan pengalaman yang tak dimediasikan (unmediated experience). Salah satu ciri pengalaman mistik adalah berada di dunia tanpa bahasa. Pengalaman ini diperoleh melalui kehadiran langsung secara performatif, tanpa melalui perantara representasi mental atau simbolisme kebahasaan apapun.14 Apakah ini berarti pengalaman yang tak dimediasikan?
13 Mary McClintock Fulkerson, loc.cit.
14 Mehdi Ha'iri Yazdi, llmu Hudhuri: Prinsip-Primip Epistemologi dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Mizan, 1994), Mm. 18.
Sudah barang tentu pengalaman mistik yang bersifat non-linguistik dan non-konseptual ini tidak hendak dipersoalkan di sini, seperti juga hal yang sama tidak dilakukan terhadap realitas pada umumnya. Artinya, pengalaman dan realitas itu sebagaimana adanya, yaitu sebelum dikonsepsikan, adalah seperti apa adanya dan kita cukup mengatakan: "it is what it is". Tetapi manusia tidak nernah merasa cukup hingga di sini: manusia selalu merefleksikan pengalamannya.
Di sinilah mediasi konseptual mulai berperan di dalam mengatur pergerakan pemikiran manusia. Jadi, refleksi inilah—yaitu peralihan dari pengalaman non- linguistik menuju pengalaman-non-linguistik-sebagaimana dipahami—yang dipe- rantarai oleh aneka tanda, konsep, distingsi, kategori, struktur, tipe, pola, paradigma, model, kisah, simbol, relasi—tegasnya, segala jenis konvensi—yang membentuk wacana manusia.15 Hal yang sama juga berlaku untuk konsepsi wahyu. Di sini bukan status Ilahiah wahyu yang dipersoalkan—kalau demikian ia akan menjadi teologi atau filsafat agama—akan tetapi kemunculan wahyu itu sendiri dalam konteks historisnya dan respon wahyu tadi terhadap konteks historis tersebut.
Lalu, tanggapan manusia terhadap wahyu tersebut dan aktualisasinya dalam proses kesejarahan mereka sendiri. Kurang lebih atas dasar inilah Muhammad Arkoun membedakan antara apa yang disebutnya Fakta Qur'an di satu sisi dengan yang ia sebut Fakta Islam.16 Sementara status al-Qur'an sendiri sebagai wahyu tidak diper-
15 Larry Short, op. cit., him. 66.
16 Mohammed Arkoun, op.cit., him. 45.
soalkan, tetapi cukup dipostulatkan.17
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama bukanlah wilayah perkecualian dalam hal kenyataan tekstualitasnya. Malahan dapat dikatakan bahwa agama adalah wilayah teks yang paling subur. Hal ini karena agama mendorong praktek wacana (discourse practice) yang sangat massif dari para penganutnya, dan ini tentunya tidak terlepas dari karakter agama sendiri sebagai sumber motivasi yang paling besar sepanjang sejarah manusia. Barangkali karena alasan inilah Nasr Hamid Abu Zayd, tokoh yang menjadi topik penelitian ini, pernah menyatakan bahwa agama pada dasarnya adalah akumulasi teks (majmu 'ah min an- nusus) yang pengertiannya dibatasi oleh konteks, yaitu dalam keberadaannya sebagai praktek wacana.18 Secara demikian, maka agama dapat didekati dengan analisis- analisis yang berlaku pada studi teks pada umumnya, terlepas dari kandungan metafisis dan aspek Ilahiah yang dikaitkan dengannya (yang menjadi porsi filsafat agama atau teologi untuk membahasnya).