BAB IV METODOLOGI KRITIK WACANA AGAMA
B. Analisis Mikro-Struktural
4. Reproduksi Teks
Obsesi wacana agama untuk selalu bertumpu pada otoritas dan kuasa teks ini dihadapkan pada kenyataan bahwa realitas selalu bergerak dan persoalan yang ditimbulkannya pun berubah-rubah. Jika dalam wacana mistik problem pluralitas teks ini diselesaikan dengan mengajukan suatu visi tentang panteisme,22 maka wacana agama mengembangkan prosedur wacana lain yaitu dengan melakukan reproduksi teks (tawlid an-nass). Ini dilakukan dengan mentransfor-
20 Nasr Abu Zayd, Naqd, op. cit., him. 9.
21 Ibid
masikan wilayah "non-teks" ke dalam teks dan mentahbiskannya sebagai teks yang kekuatan legalitas danpotensi semantiknya tak kalahkuat dariteks dasar yangpertama, yaitu al-Qur'an.23
Asy-Syafi'i-lah yang pertama kali memberi landasan teoritis bagi me- kanisme reproduksi teks ini. Hal ini dilakukan pertama-tama dengan menegakkan legalitas teks sunnah bukan saja dalam rangka mengungkapkan, tetapi juga dalam membentuk, makna teks al-Qur'an. Ini menempatkan teks sunnah menjadi bagian organik dari struktur teks al-Qur'an ditinjau dari pengertian semantiknya. Dari sini asy-Syafi'i dapat membangun ijma' hingga menjadi teks tasyri' yang memperoleh signifikansinya dari pengertian teks yang tersusun dari al-Qur'an dan sunnah tadi.
Tinggallah bagi pembaca untuk menerapkan prinsip analogi (qiyds), yaitu dengan mengaitkan diri secara gigih kepada jalinan teks di atas. Dengan demikian, fungsi ijtihad dikebiri hanya sebatas pada wilayah teks dan analoginya semata.24
Mekanisme wacana ini menurut Abu Zayd tidak terlepas dari signifikansi ideologisnya, baik dalam konteks historis pemikiran asy-Syafi'i sebagai penggagasnya yang utama, maupun dalam pemikiran keagamaan saat ini.
Inilah yang menjelaskan mengapa aktivitas keilmuan dalam kebudayaan Islam selalu berpusat pada teks, di mana peranan akal terbatas pada reproduksi teks dari teks-teks terdahulu. Yakni apa yang dalam peristilahan Fazlur Rahman disebut budaya "komentar dan supra-komentar".25
Nasr Abu Zayd, Al-lmdm, op. cit., Mm. 8.
Ibid, him. 7-8.
23 24
25
5. Peralihan Makna (At-Tahwil ad-DalaK)
Sejalan dengan mekanisme strukturisasi yang selalu berobsesi untuk mengacu kepada otoritas teks di atas, yang notabene adalah teks-teks yang dihasil- kan pada masa lampau, maka pada dataran penafsiran wacana agama juga mengembangkan strategi pemaknaan tersendiri, misalnya saja strategi "peralihan makna". Peralihan di sini dipahami sebagai sistem makna yang bergerak dari
"sini" ke"sana", dan bukannya penarikan signifikansi teks yang ada "di sana"
untuk realitas yang ada "di sini".26
Menurut Abu Zayd, figur yang berperan penting di dalam merintis strategi penafsiran ini adalah al-Gazali. Ada dua pola tentang peralihan makna ini yang diajukan oleh al-Gazali. Pertama adalah pola pergerakan dari masa kini ke masa lampau. Jadi, ketika al-Gazali pada periode akhir hidupnya menyusun proyek "Penghidupan Ilmu-ilmu Agama" (Ihyd' 'Ulum ad-Din), maka revitalisasi yang dimaksudkan di sini adalah kembali ke masa lampau untuk mengatasi problem masa kini. Dalam pandangan ini terkandung anggapan bahwa masa kini mewakili model kerusakan, kelembekan dan penyimpangan dari kriteria-kriteria otentik agama, sementara masa lampau mewakili kesucian, keaslian dan otentisitas dari agama itu sendiri.27 Di sini penafsiran berarti upaya kembali kepada otoritas tradisi dan generasi pertama yang salih (as-salafas-sdlih).
26 Nasr Abu Zayd, Ma/hum, op. cit., him. 245-8; juga An-Nass, op. cit., him.
200-10.
27 Nasr Abu Zayd, Mqfhum, op. cit., him. 246. Rupanya, revitalisasi ilmu ala al-Gazali inilah yang kemudian menemukan metamorfosisnya pada Islamisasi Ilmu yang dikembangkan wacana agama dewasa ini.
Pola Kedua dari peralihan makna di atas adalah pergerakan dari kehi- dupan dunia ini kepada kehidupan akhirat di seberang sana. Apabila makna ada di seberang sana, maka teks berarti tidak mengacu pada kehidupan di dunia ini ke- cuali secara metaforik dan tidak langsung. Jadi dunia ini adalah semu dan mem- peroleh keberadaannya secara metaforik belaka. Tugas pembacaan adalah mengu- pas kulit luar teks ini untuk mendapatkan kandungannya yang azali dan kadim, dan dari sini berupaya untuk menempuh jalan sufi menuju ke dunia yang hakiki, yaitu dunia akhirat.28
Dalam pandangan Abu Zayd, peralihan makna ini menandai adanya pergerakan sistem tanda dari tingkat penandaan linguistik kepada penandaan semiologis, yaitu apa yang dalam istilah semiotika disebut proses semiosis. Ini dilakukan dengan menundukkan bahasa primer atau asli yang semestinya justru melandasi dan menjadi acuan sistem tanda ini. Penundukan atas bahasa primer ini otomatis juga berarti penundukan atas "dunia" yang konstruksinya dibentuk oleh bahasa melalui sistem penandaan itu sendiri. Pada gilirannya, hal ini akan berakibat pada penguasaan dan penjajahan manusia, yaitu dengan cara penjajahan kesadaran melalui mekanisme peralihan makna tadi.29
6. Pembakuan Makna (Tasbit al-Ma 'na)
Apabila penafsiran berarti peralihan makna kepada masa lampau atau dunia sana, maka ini berarti bahwa makna memiliki tingkat stabilitas tertentu yang tidak terpengaruh oleh perubahan realitas yang terjadi di sini dan saat ini. Dengan
28 Ibid, him. 247; lihatiugaAn-Nass, op. cit., him. 200-10.
kata lain, makna memiliki nilai keabadiannya tersendiri sepadan dengan wadah tekstualnya yang juga diyakini memiliki bobot sakralitas tertentu.
Berdasarkan hal ini, maka wacana agama mengembangkan suatu strategi pemaknaan lain, yaitu bahwa makna telah final dan itu terwujud pada teks-teks otoritatif masa lampau. Kepedulian dari setiap produksi wacana tinggal pada soal bagaimana menerapkan makna yang telah final ini pada persoalan yang timbul saat ini.
Prosedur wacana semacam ini dapat dilihat misalnya pada penggunaan istilah "riba" oleh wacana agama untuk menyebut suatu aktivitas ekonomi yang sebenarnya struktur dan tingkat kompleksitasnya jauh berbeda dengan acuan kata
"riba" semula. Tetapi wacana agama mengabaikan fakta prinsipil ini dan tetap menggunakan kosa kata lama dengan konotasinya saat itu untuk diterapkan pada realitas saat ini, sungguhpun realitas yang terakhir ini memiliki karakteristik tersendiri yang tidak bisa diwakili oleh kosa kata itu. Menurut Abu Zayd, hal ini justru akan menyingkirkan bahasa aktual yang menyatakan realitas hidup yang sebenarnya, dan dengan demikian menjadikan realitas itu absen di bawah bayang- bayang masa lampau.30
7. Perluasan dan Penyempitan Makna
Mengingat realitas terus menerus berubah, maka untuk tetap mengekal- kan makna di atas wacana agama mengembangkan strategi pemaknaan berikut- nya, yaitu dengan perluasan dengan penyempitan makna. Mekanisme pertama ter-
wujud misalnya pada perluasan makna tahkim (QS. Al-Ma'idah: 44, 45 dan 47) dari yang semula terbatas pada arbitrase mengenai persengketaan yang bersifat spesifik menjadi konsepsi politik tentang hukum dalam pengertian modern. Dari sinilah dirumuskan prinsip al-hdkimiyyah, yaitu otoritas mutlak teks sebagai sum- ber legislasi satu-satunya mengenai semua segi kehidupan manusia.
Adapun strategi kedua secara umum terwujud pada setiap bentuk pem- bacaan yang membatasi makna teks pada makna sebagaimana dipahami oleh ge- nerasi masa lampau.32 Maka, persoalan kepemimpinan wanita misalnya, bukannya dipahami berdasarkan signifikansi teks bagi masa kini, melainkan dengan meng- acu pada makna harfiah teks sebagaimana telah dibakukan pada masa lampau.
Dengan melakukan analisis mikro-struktural di atas, maka kritik waca- na dapat menentukan kerangka konseptual yang tanpa sadar menggerakkan waca- na dari dalam, dan dengan demikian berhasil menunjukkan batas-batas realisasi wacana itu sendiri. Tetapi kritik wacana dalam analisis Abu Zayd tidak terbatas pada pemaparan "keteraturan-keteraturan" wacana ini semata, namun juga haras berlanjut pada upaya selanjutnya untuk menemukan lingkungan historis yang membingkai "keteraturan-keteraturan" tersebut.
C. Analisis Makro-Struktural
Dalam analisis mikro-struktural di atas, kritik wacana pada dasamya adalah upaya untuk menunjukkan sistem intern wacana, yaitu pada tataran teks-
Nasr Abu Zayd, an-Nass, op. cit., him. 129.
tualnya. Sementara dalam analisis makro-struktural ini, fokus perhatian kritik wacana ditujukan untuk mengungkapan signiflkansi eksternal dari wacana itu yang merupakan kancah bagi kelahiran wacana itu sendiri. Hal pertama dimung- kinkan oleh perwujudan teks sebagai sistem tanda—dalam hal ini tanda linguistik.
Sedangkan hal kedua dimungkinkan oleh perwujudan fungsi komunikasi dari realisasi sistem tanda itu sendiri.
Berkat fungsi komunikasi ini maka setiap realisasi wacana dapat dirujukkan pada lokus historis dan lingkungan sosial budaya yang melahirkannya dan yang menyediakan batas-batas yang menentukan perwujudannya. Di sinilah kritik wacana harus memperoleh "insight" sehingga ia bisa menempatkan wacana yang dikajinya itu pada konteks historisnya yang tepat.
Dalam kaitan ini, menurut Abu Zayd ada dua misi yang harus dijalan- kan oleh kritik wacana. Pertama adalah berupaya untuk membuktikan bahwa seti- ap wacana merupakan bagian dari kesatuan pemikiran yang lebih luas; menjadi bagian dari sistem episteme yang dominan dalam penggal sejarah tertentu. Kritik wacana ditujukan untuk mengungkap sistem episteme dimaksud yang terjelma ke dalam berbagai ungkapan pengetahuan dan disiplin ilmu yang berbeda-beda.33
Selain itu, dan yang tidak kalah pentingnya, kritik wacana juga harus dapat merekonstruksikan wacana yang dikaji sedemikian rupa sehingga dapat menempatkannya pada konteks ideologis yang membentuknya. Dengan kata lain, kritik wacana harus dapat menampilkan signiflkansi sosio-politik dari setiap pro-
duksi wacana dan praksis kekuasaan yang tengah dijalankannya.34
Menurut Abu Zayd, ada sejumlah pra-anggapan yang harus diperhati- kan untuk melakukan kritik wacana agama ini, baik pada tingkat tatanan tekstual wacana maupun terlebih lagi untuk mengungkapkan signifikansi eksternalnya. Hal ini sebagaimana dapat diringkaskan dari uraian Abu Zayd berikut ini.
Pertama, bahwa bidang pengetahuan apapun bukanlah bidang yang ter- pisah dari bidang-bidang lain dalam konteks kebudayaan tertentu. Bi- dang ilmu nahwu dan ilmu-ilmu bahasa, umpamanya, memiliki kaitan dengan bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya dalam peradaban Arab-Islam.
Kedua, bahwa aktivitas intelektual apapun...bukanlah aktivitas yang terpisah dari watak problematika sosial (ekonomi-politik-intelektual) yang menyibukkan manusia sebagai makhluk sosial. Pemikir adalah makhluk sosial yang menjalankan aktivitas intelektualnya tanpa terpi- sah atau jauh dari watak dasarnya tersebut. Oleh karena itu tidaklah mungkin memandang (suatu) pemikiran...sebagai pemikiran yang menggelayut di kekosongan, dan tidak mungkin pula memperlakukan
"fakta-fakta" yang dirumuskan oleh pemikiran tersebut sebagai fakta- fakta alamiah yang tidak dapat diperdebatkan atau ditolak.... Hal terpenting dalam membicarakan benar-salahnya "fakta-fakta" tersebut adalah memberikan penafsiran dengan mempertimbangkan akar sosialnya.
Ketiga, sesungguhnya suatu metode pemikiran mendapatkan atribut
"benar" atau "salah" berdasar kepada sudut "pandangan dunia" yang berbeda-beda secara rinci antara satu kelompok dengan kelompok lain- nya dalam satu kebudayaan, meskipun secara keseluruhan mempunyai kemiripan.... Ketika "pandangan dunia" ini dimasukkan dalam analisis pemikiran, maka persoalan "benar" atau "tidak benar" menjadi masalah yang relatif, atau historis, dalam pengertian sosiologis. Inilah yang memungkinkan untuk berbicara mengenai "ideologi-ideologi" yang be- ragam dalam sistem pemikiran Islam.... Ideologi yang dimaksudkan di sini adalah "pandangan" yang memberikan kepada manusia norma-nor- ma benar dan salah, ganjaran dan siksaan, yang dilarang dan diperbo- lehkan. Norma-norma di sini dalam pengertian sosiologis, bukan keaga- maan... dengan segala ambisi, kepentingan dan keinginan-kemginan yang ditentukan oleh hukum eksistensi sosial.
Keempat, bahwa setiap perbedaan sosiologis (ekonomi, politik, intelek- tual) di antara berbagai kelompok dalam sejarah imperium Islam telah terungkapkan lewat bahasa ideologis keagamaan. Tidak mungkin mem-
perbincangkan pertarungan apapun selain pada aras pertarungan kom- petitif di sekitar persoalan-persoalan interpretasi, seperti klaim pemilik- an teks dan upaya menampilkannya sejalan dengan sasaran-sasaran dan kepentingan-kepentingan kelompok pemikiran... .Oleh karena itu, hege- moni suatu trend pemikiran terhadap trend-trend pemikiran yang lain, tidak berarti bahwa trend tersebut menjadi pemilik dan penguasa
"kebenaran".
Kelima, bahwa hegemoni sebuah trend pemikiran, dalam rentang waktu yang panjang, tidak berarti bahwa trend-trend lainnya adalah trend yang
"sesat" dan "kafir". Pelabelan atribut yang terakhir ini adalah bagian dari mekanisme trend yang berkuasa untuk meniadakan trend-trend lain yang berbeda. Hegemoni ini pada umumnya terjadi karena mekanisme politik kekuasaan.
Keenam, bahwa yang "kokoh" dan "mapan" dalam pemikiran keagama- an saat ini seringkali mengaitkan diri kepada akar-akar tradisi dan wa-
1 risan intelektual. Kadang-kadang hubungannya memang jelas...namun seringkali kaitan itu sangat samar, sehingga memerlukan mekanisme analisis khusus untuk "membongkar" dan mengembalikan pemikiran- pemikiran kepada dasarnya dan menjelaskan sumber ideologisnya.35
Dari kutipan di atas terlihat bahwa semua produksi wacana agama tidak pernah netral karena selalu merefleksikan symptom-symptom kultural dan sosial yang melahirkannya. Dengan sedikit mengulang uraian pada Bab II, wacana sebagai medium representasi tidak pernah menampilkan dunia dalam keberadaan objektifhya, melainkan menyajikannya dengan cara tertentu yang telah direduksi dan dipotong dari kontinum keberadaannya. Dan ini terutama ditentukan oleh pandangan dunia, sistem pengetahuan, kedudukan sosial, dan posisi ideologis dari kelompok-kelompok sosial yang memproduksinya.
Poin ini mengantarkan Abu Zayd pada pemahaman tentang keberadaan
"subjek sosial" dalam produksi wacana, yaitu bahwa pengungkapan wacana sangat ditentukan oleh kelompok-kelompok sosial yang kongkret dalam masya- rakat tertentu. Di pihak lain, ini berarti pula bahwa wacana pada dasarnya meru-
pakan ajang kompetisi yang merefleksikan pertentangan antagonistik antara kelompok-kelompok sosial pada dataran diskursif, khususnya dalam kaitan ini berupa bahasa keagamaan. Ini menunjukkan bahwa dalam sejarah agama telah ter- jadi eksploitasi ideologis terhadap agama oleh berbagai kelompok sosial dengan agenda ideologis mereka masing-masing. Ini dilakukan melalui kompetisi penafsiran teks primer agama dan upaya menampilkannya agar sejalan dengan kepentingan ideologis masing-masing kelompok sosial tadi.
Dengan demikian, di dalam wacana agama itu sendiri selalu tercermin subjek sosialnya, konteks wacananya, tema dan nilainya, dan sebagainya. Tugas kritik wacana adalah berusaha melalui apa yang tercermin dalam wacana ini untuk merekonstruksikan keseluruhan kompleks situasi yang memunculkan wacana tadi ke dalam paparan yang deskriptif dan sistematis.
D. Wacana Tanding
Selain berusaha menganalisis tataran mikro dan makro-struktural setiap perwujudan wacana, sebenamya masih ada agenda kritik wacana lain yang dapat disimpulkan dari uraian Abu Zayd, meskipun ia sendiri tidak pernah menyatakan- nya secara eksplisit. Agenda yang dimaksud adalah berupaya mengungkapkan wacana tandingan dari wacana yang dikaji. Sebagai misal, dengan mengungkap- kan bahwa wacana agama kontemporer lebih banyak digerakkan oleh orientasi politis,36 maka bisa disimpulkan dari wacana itu sendiri kutub oposisi lain yang tidak dinyatakannya: orientasi non-politis atau ilmiah. Juga, ketika asy-Syafi'i
sedemikian gigih menjadikan sunnah sebagai sumber hukum, maka pada kutub oposisinya hal itu menunjukkan adanya arus lain yang tidak menempatkan sunnah sebagai dasar kedua dalam penetapan hukum.37
Dalam teori wacana, hal di atas ini terkait dengan satu prinsip yang disebut "diskontinuitas", yakni penyadaran akan kehadiran wacana lain yang ber- dampingan dan bertumpang tindih dengan wacana dominan. Semakin kuat suatu wacana membungkam pasangan oposisinya, maka yang terakhir ini akan semakin kuat pula membayangi wacana yang dominan. Sebab, intensitas pembungkaman itu sendiri menunjukkan pretensi ideologis yang dijalankan wacana dominan yang justru kian menambah bobot pengimplikasian wacana tandingannya. Dengan demikian, tidak ada wacana yang otonom dan sama sekali terlepas dari wacana lain. Setiap wacana selalu hadir dalam oposisi dengan wacana lawannya, baik yang terakhir ini dinyatakan secara eksplisit ataupun dibuat absen. Maka, dominasi satu wacana atas wacana lain tidak akan menghilangkannya sama sekali, karena penegasian terhadap suatu wacana justru merupakan penghadirannya da- lam bentuk yang negatif.38 Ini menunjukkan bahwa wacana dominan tidak pernah bisa keluar dari batas-batas yang ditetapkan wacana lawannya, dan upaya untuk membungkam wacana ini justru berakibat pada pengeksplisitannya. Di sinilah kritik wacana mendapatkan peran emansipatorisnya, karena ia membebaskan kesadaran manusia dari wacana dominan dengan menunjukkan alternatif yang diandaikan oleh wacana itu sendiri.
Jadi, kemungkinan suatu wacana menghasilkan wacana tandingannya sendiri dimungkinkan oleh sistem oposisi yang terdapat dalam struktur wacana tersebut. Sistem oposisi ini tidak harus selalu ternyatakan secara jelas dalam struk- tur wacana, karena dalam wacana yang bercorak otoriter kehadiran unsur "lain"
ini justru ditiadakan sama sekali. Tetapi dalam kasus semacam ini pengandaian adanya unsur "lain" malah kian menguat—hal mana tercermin pada identifikasi- diri yang berlebihan dari pihak wacana dominan. Justru melalui cara kerja identifikasi ini sistem oposisi wacana dapat dilacak. Di situ dapat dijumpai sejumlah istilah yang menonjol, kategori tertentu yang diistimewakan, frekuensi yang tinggi dari konsep-konsep tertentu, dan ciri-ciri menonjol lain dalam penataan teks. Berdasarkan cara kerja identifikasi ini, maka wacana tanding dapat melakukan konter-identifikasi, yaitu dengan mengambil semua posisi yang berkebalikan dari posisi kelompok yang dominan.
Berkaitan dengan wacana agama, di atas telah diutarakan bahwa wacana ini banyak diwarnai oleh tendensi ideologis dalam pembacaan teks-teks agama. Berkaitan dengan ini, maka wacana tandingan terhadapnya terwujud dalam "pembacaan teks-teks agama berdasarkan prosedur rasio yang bersifat insaniah dan historis, dan bukannya rasio mitologis yang tenggelam dalam takhayul dan mitos".39 la juga terwujud sebagai "kesadaran ilmiah terhadap tradisi" sebagai lawan dari "ancangan-ancangan ideologis atas tradisi".40 Selain itu ia juga menekankan kajian kritis terhadap warisan intelektual serta menolak
39 Nasr Abu Zayd, Naqd, op. cit., him. 7.
budaya repetitif dalam wacana agama.41 Dan berbeda dengan "pemikiran regresif dan status quo" dalam wacana agama, ia mewujudkan dirinya sebagai kekuatan yang progresif dan menengadah ke masa depan42
Berdasarkan hal ini, maka pelaksanaan kritik wacana agama itu sendiri dalam pandangan Abu Zayd mewujudkan kutub tandingan dalam kesemua sistem oposisi yang dikemukakan di atas. Pada saat yang sama ia sekaligus merupakan kontinuitas kritis dari tradisi itu sendiri pada aspeknya yang progresif. Disebut kontinuitas kritis karena tradisi ini tidak diterima secara pasif dan permisif, melainkan ditempatkan sebagai produk historis dalam batas-batas capaian yang dimungkinkan oleh situasi dan kondisi saat itu. Karena itu wacana landing ini, dari segi objeknya, berkisar antara masa lampau dan masa sekarang, antara tradisi dan wacana-wacana modern-kontemporer. Sedangkan dari sisi metodologi merupakan gerak konstan antara pembacaan dan pemanfaatan kajian-kajian kontemporer dengan pembacaan dan pemanfaatan kritis terhadap capaian-capaian tradisi di bidang ilmu-ilmu kebahasaan, retorika dan kritik sastra secara umum.43 Hasil dari gerak konstan ini menggambarkan suatu dialog kreatif antara kutub tradisi dengan kutub kemodernan tanpa terjebak jargon "warisan agung para leluhur" di satu sisi ataupun "keunggulan dan superioritas Barat" di sisi lain.
E. lilasan Singkat
Berangkat dari metodologi kritik wacana agama menurut Nasr Abu
41 Nasr Abu Zayd, At-Tafkir, op. cit., him. 133.
Zayd di atas, maka pada bagian ini akan diupayakan untuk mengajukan ulasan singkat tentang metodologi tersebut. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa aroma pendekatan linguistik sangat mewarnai metodologi yang dirumuskan Abu Zayd ini. Dalam hal ini Abu Zayd banyak memanfaatkan sumbangan kritik sastra terutama kerangka teoritiknya mengenai aspek referensial teks. Dengan menekan- kan pada aspek referensial ini—khususnya dalam pelaksanaannya terhadap fungsi mimetik dan fungsi semiotik di satu sisi, serta fungsi puitik dan fungsi komunikasi di sisi lain—maka kajian atas teks dapat terhindar dari dua posisi ekstrim sekali- gus. Ekstrim pertama adalah kecenderungan dalam strukturalisme awal yang ter- lampau memperhitungkan otonomi teks hingga mengasingkannya dari tradisi teks dan rangka sosial budayanya. Sedangkan ekstrim kedua adalah kecenderungan dalam pendekatan pragmatik yang menekankan pembaca secara mutlak, seolah- olah teks tidak memiliki otonomi dan keberdayaan sama sekali.
Acuan teoritis ini memberi Abu Zayd dua hal strategis dalam konteks kritik wacana agama ini. Pertama, acuan tersebut memberi pemahaman tentang dinamika teks primer agama di tengah realitas sosial budayanya. Ini mencakup baik dinamika mimetik teks di dalam membayangkan realitas, maupun dimanika semiotiknya di dalam merekonstruksikan realitas itu dalam tatanan struktural baru. Kedua, acuan tersebut juga memberi pemahaman yang sama menyangkut teks sekunder agama. Teks sekunder inipun bisa ditunjukkan pertaliannya dengan realitas dalam dua dinamika strukturalnya ini, dan dari sini maka konteks historis yang menjadi kancah kelahiran teks juga bisa ditelusuri.
Di pihak lain, perwujudan fungsi puitik teks dalam kedua dinamika teks