• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna dan Signifikansi Baru

BAB III LANDASAN METODOLOGI KRITIK WACANA AGAMA

C. Problem Pembacaan

2. Makna dan Signifikansi Baru

menjalankan fungsi komunikasi, yaitu sebagai tanda yang mengacu pada realitasnya sendiri dan yang terpahami oleh audiensnya saat itu.32

Keseluruhan dinamika teks dalam ketiga tingkatan ini membentuk pengertian historis dan asali teks, yaitu pengertian teks dalam realitas historisnya saat itu. Inilah pengertian yang tidak banyak menimbulkan salah paham antara penerima teks pertama (Nabi saw.) dan para audiensnya yang merupakan sasaran komunikasi langsung dan teks ketika itu.

kultural dan ideologisnya. Bertolak dari konteks ini pembacaan atas teks berupaya untuk menghasilkan signifikansi baru dari teks itu berdasarkan pada makna historisnya. Dengan kata lain, pembacaan diarahkan untuk menghasilkan pergerakan dari tataran mimetik teks pada perwujudan historisnya saat itu menuju signifikansi semiotiknya saat ini.34

Pergerakan semacam ini dimungkinkan karena teks memiliki apa yang diistilahkan Abu Zayd dengan textual peculiarity (keistimewaan tekstual) dalam hal keterbukaannya pada proses pengawakodean (decoding) secara terus menerus seiring dengan perubahan realitas sosio-kulturalnya. "Diawakodekan dalam sinaran konteks historis, kultural dan linguistiknya sendiri, teks dapat dikodekan ulang ke dalam sistem kode yang sesuai dengan konteks kultural dan linguistik pembaca."35 Dengan demikian teks mampu, berkat dinamika struktural ini, untuk menjalin dialog dengan realitas lain yang memiliki kode linguistik dan kultural yang berbeda.

Agar pergerakan teks di atas dapat berlangsung, hal terpenting yang harus dilakukan terlebih dulu adalah menentukan prosedur pelaksanannya. Dalam kaitan

34 Dengan demikian, perbedaan antara signifikansi baru ini dengan signifikansi teks dalam konteks kesejarahannya sendiri terletak pada tataran semiotik yang men- transformasikan teks. Pada signifikansi yang tersebut terakhir tataran semiotik berkaitan dengan "kehadiran teks dalam keseluruhan tradisi teks dan konsepsi budaya yang disimpanginya saat itu". Sementara pada signifikansi yang bersifat kekinian tataran semiotik berkaitan dengan "konteks sosial budaya saat ini yang merupakan horison harapan si pembaca". Dengan kata lain, yang terakhir berkaitan dengan signifikansi semiotik dari kehadiran teks pada saat itu, sedangkan yang pertama berkaitan dengan signifikansi semiotik dari makna historis teks ini bagi horison harapan pembaca saat ini.

35 Nasr Abu Zayd, "The Texrualiry...", op. cit., him. 7.

ini, setidak-tidaknya ada dua poin yang dapat disimpulkan dari uraian Abu Zayd menyangkut prosedur pembacaan ini. Pertama adalah mengenai titik tolak pembacaan teks, dan kedua adalah mengenai mekanisme pembacaannya.

Berkaitan dengan poin pertama, Abu Zayd menandaskan bahwa pembaca- an yang produktif harus berangkat dari penentuan yang tepat terhadap dua kutub yang membentuk pembacaan itu sendiri. Kutub pertama adalah teks berikut keseluruhan konteks historisnya. Dan kutub kedua adalah horison pembacaan saat ini dalam kese- luruhan konteks historis, kultural dan ideologisnya. Untuk dapat mengungkapkan ku- tub pertama, pembacaan harus berangkat dari kesejarahan teks dalam pengertian so- siologis sehingga teks bisa ditempatkan pada konteksnya dan dari sini bisa diungkap- kan pengertian aslinya. Sedangkan untuk kutub kedua, pembacaan harus bertolak dari konteks kesejarahan masa kini sehingga dapat ditunjukkan secara jemih horison harapan pembaca yang mendorongnya melakukan proses pembacaan itu sendiri.36

Dalam kaitan ini yang harus diperhatikan pembaca adalah berupaya meng- eksplisitkan asumsi-asumsi yang dipergunakannya untuk mengungkapkan kedua ku- tub di atas. Eksplisitasi inilah yang justru memungkinkan pembaca menyadari asum- si-asumsinya sendiri pada pembacaan awalnya, dan dari sini mampu mengoreksi atau menghasilkan asumsi-asumsi baru yang dapat memandunya untuk melakukan pembacaan pada tingkatan lebih lanjut.37 Ini berarti penentuan terhadap dua kutub

Nasr Abu Zayd, Naqd, op. cit., him. 114.

Nasr Abu Zayd, Isykdliyydt al-Qird 'ah wa Aliyydt at-Ta 'wtl (Beirut: Al-Markaz as-Saqafi al-'Arabi, 1994), him. 6.

36 37

tadi tidak pernah sekali jadi, sebaliknya membentuk garis siklis yang tanpa putus.

Pembacaan yang bersifat siklis ini pula yang nantinya menjadi karakter yang mencirikan mekanisme pembacaan yang diusulkan Abu Zayd.

Dengan penentuan kedua kutub pembacaan di atas, maka diharapkan agar antara wilayah makna yang bersifat historis dengan signifikansinya yang bersifat kontemporer dapat dibedakan (bukan dipisahkan) secara tegas. Bagi Abu Zayd, pembedaan ini secara metodologis sangatlah prinsipil dan tak bisa ditawar-tawar.

Sebab, tanpa itu, batas antara masa lampau dan masa kini menjadi lebur dan teks dengan mudah bisa ditundukkan pada preferensi subjektif pihak pembaca semata tanpa mengindahkan segi objektivitas yang termuat dalam teks itu sendiri.

Dalam pandangan Abu Zayd, perbedaan antara makna dan signifikansi ini setidaknya dapat dilihat dari dua segi. Pertama, makna memiliki watak historis, yaitu bahwa ia tidak mungkin diungkapkan tanpa pemahaman yang memadai terhadap konteks internal linguistik teks dan konteks sosial-budayanya. Sementara signifikansi memiliki watak kekinian, yaitu bahwa ia merupakan hasil pembacaan yang berbeda dengan masa terbentuknya teks. Kedua, makna secara nisbi memiliki watak yang stabil dan mapan, sementara signifikansi bersifat dinamis seiring dengan

•^o

horison pembacaan yang terus berubah. (Terlepas bahwa keduanya ini pada sisi lain membentuk hubungan dialektis yang saling mempengaruhi satu sama lain.)

Berdasarkan pada titik tolak pembacaan ini, maka kini Abu Zayd dapat de-

38 Nasr Abu Zayd, Naqd, op. cit., him. 218.

ngan mudah merumuskan mekanisme pembacaan teks. Pembacaan, sekalipun berangkat dari signifikansi kontemporer, hams berpijak pada makna historis teks terlebih dulu. Sejalan dengan kerangka teoritik di atas, tataran mimetik teks pada konteks historisnya ini harus diungkapkan terlebih dulu karena tanpa itu pergerakan teks menuju tataran semiotiknya tidak mungkin dilakukan. Dalam hal ini, makna historis teks ini dapat memberikan "objektivitas" pemahaman di satu sisi, dan di sisi lain dapat pula menentukan batas-batas yang mengarahkan pergeseran teks. Sementa- ra itu, signifikansi juga memiliki andil di dalam menentukan segi-segi tertentu dari teks yang hendak diungkapkan. Sebab, ia mengajukan "kriteria kontemporer" bagi upaya pengungkapan makna historis teks itu sendiri. Dalam pengertian ini, makna bukanlah sesuatu yang sudah jadi dan final, tetapi turut ditentukan pula oleh horison harapan pembaca saat ini.39 Hal ini menunjukkan bahwa pembacaan merupakan gerak dialektis antara makna dan signifikansi, antara masa lampau dan masa kini, dan anta- ra teks dan pembacanya. Mengabaikan salah satu unsur ini akan menjemmuskan pembacaan kepada "ideologisasi" (qird 'ah talwimyyah).

Mengingat antara makna dan signifikansi ini bersifat dialektis dan saling mempengaruhi satu sama lain, maka keduanya tidak boleh dipahami secara definitif sejak dari awal pembacaan. Sebaliknya, harus dimengerti sebagai hipotesis yang dapat dikoreksi, diganti atau justru dikuatkan berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh selama proses pembacaan itu sendiri. Ini berarti pembacaan merupakan

39 Ibid., him. 116.

gerak bolak-balik tanpa henti dan bukan merupakan gerakan dengan arah tunggal.

Meminjam penjelasan Raul Ricoeur, pembacaan harus berlangsung secara dialektis dari pemahaman yang naif ke penjelasan objektif dan akhirnya kembali ke pema- haman tetapi dalam bentuk dan kualitas yang lebih canggih.40 Pemahaman yang ter- akhir ini selanjutnya dapat melandasi pembacaan pada tingkat yang lebih lanjut, na- mun dengan memperbarui terlebih dahulu titik tolak keberangkatannya. Gerak dialek- tis dalam pembacaan teks ini dapat digambarkan kurang lebih sebagai berikut.

Bagan 6. Gerak Bolak-balik Pembacaan

Berdasarkan bagan di atas dapat direkontruksikan bahwa pembacaaan berangkat dari realitas kontemporer dengan cara menentukan horison harapan saat ini untuk didialogkan dengan teks (langkah 1). Dialog dengan teks ini dilakukan dengan memperhitungkan perwujudan teks pada tataran mimetiknya (langkah 2) dan dari sini beranjak pada tataran semiotik teks dalam keseluruhan latar tradisi yang disimpanginya (langkah 3). Interaksi dari makna historis teks ini dengan pembacaan

40 Faruk, "Wacana dan Analisisnya: Beberapa Teori", makalah tidak diterbitkan,

kontemporemya memungkinkan untuk menghasilkan signifikansi semiotik baru dari teks untuk konteks kesejarahan saat ini (langkah 4). Signifikansi baru ini selanjutnya dapat menjadi titik tolak baru untuk melakukan dialog ulang dengan teks, dan begitu seterusnya.

Apabila model pembacaan ini dikaitkan dengan teks al-Qur'an, terayatalah bahwa teks ini memiliki level-level makna yang beragam ditinjau dari kemampu- annya berdialog dengan realitas lain. Nasr Abu Zayd setidaknya mencatat tiga level makna dari teks ini. Pertama adalah level makna yang terbatas pada realitasnya sendiri dan tidak bisa menghasilkan signifikansi apapun untuk realitas yang berbeda.

Teks pada level ini hanya menjadi bukti historis semata dan tidak bisa diperluas termasuk dengan penafsiran metafor. Contohnya adalah ayat-ayat tentang perbudakan. Level kedua adalah level yang juga mengacu pada setting historisnya sendiri namun yang dapat diperluas untuk konteks historis yang berbeda melalui penafsiran metafor. Contohnya adalah ayat-ayat tentang hamba yang menurut Abu Zayd menyiratkan makna "kehambaan" ('ibddiyyah) dan bukannya penghambaan.

Dan level terakhir adalah kasus teks-teks al-Qur'an pada umumnya yaitu level yang mempunyai kemampuan berdialog dengan realitas lain atas dasar signifikansi yang dapat ditarik dari teks tersebut.41