BAB I PENDAHULUAN
D. Eksperimentasi Metodologis Nasr Hamid Abu Zayd
dikuantifikasi, atau malah menentangnya.32
Lagi pula, kedua analisis ini pada perkembangannya sering dipakai secara bersamaan. Biasanya, pada level mikro-struktural digunakan analisis model pertama, selanjutnya pada level makro-struktural asumsi-asumsi yang terdapat pada model analisis kedua turut dilibatkan.33
Jadi, kajian literer inilah—yaitu memperlakukan al-Qur'an sebagai salah satu genre agung dalam sastra—yang merupakan tujuan primer dalam pembacaan al- Qur'an. Tujuan ini harus menjadi prioritas dan mendahului tujuan-tujuan lain yang cenderung menghampiri al-Qur'an "dari luar", baik itu bersifat keilmuan, moralitas praktis, keduniaan maupun keagamaan. Menurut al-Khuli, dengan bertitik tolak dari status literer ini maka bias-bias ideologis di dalam penafsiran bisa dihindari dan ilmu tafsir bisa memperoleh watak yang objektif dan bisa dipertangungjawabkan secara ilmiah.35
Nasr Abu Zayd menerima semua asumsi dasar al-Khuli tentang al-Qur'an ini dan selanjutnya memadukannya dengan studi teks mutakhir. Asumsi ini juga diterapkan Abu Zayd dalam konteks pengembangan metodologi kritik wacana agama, yaitu dengan menempatkan persoalan "konsepsi teks dan mekanisme pembacaan"36 sebagai landasan metodologisnya. Ini dilakukan karena dalam wacana agama teks menempati posisi yang amat sentral di dalam memproduksi makna. Karena itu, dengan menekankan "determinasi tekstual"37 ini di dalam metodologinya, maka Abu Zayd berharap dapat memperoleh pijakan ilmiah di dalam menganalisis wacana aga- ma. Sementara menekankan proses pembacaan teks lebih dari kenyataan teks itu sen-
35 M. Jadul Maula, "Amin al-Khuli dan Tafsir Literer al-Qur'an". makalah tidak diterbitkan, 3 halaman.
36 Rumusan ini terdapat dalam An-Nass, as-Sultah, al-Haqiqah, op. cit., him. 9.
37 Istilah "determinasi tekstual" (textual determinacy) dipinjam dari tema Semeia no . 6 2 (19 9 3 ) unt u k men u nju k ka n k ompete nsi t e k s it u sen di ri d ala m me mp ro d u k si ma k na terlepas dari proses pembacaannya. Lihat pengantar Semeia edisi ini oleh Robert C. Culley, him. vii-xiii.
diri bagi Abu Zayd justru akan menggelincirkan pada posisi ekstrim tentang penaf- siran sebagai "semata-mata penarikan teks ke dalam horizon pembaca/penafsir".38 Di sini otonomi teks tergadaikan dan peluang ideologisasi teks terbuka lebar.
Abu Zayd membuktikan bahwa pengabaian terhadap hakekat teks dan determinasinya itu dalam konteks pemikiran Islam telah menimbulkan dampak yang serius, misalnya dominannya ancangan-ancangan ideologis di dalam pembacaan al- Qur'an, tidak adanya kesadaran ilmiah di dalam menerima warisan tradisi, kurangnya sikap kritis terhadap relasi-relasi kuasa yang bermain dalam setiap produksi pemikiran, dan sebagainya. Hal ini dibuktikan Abu Zayd di dalam tesisnya yang mengkaji tentang penafsiran rasional Mu'tazilah terhadap al-Qur'an.39 Abu Zayd menemukan bahwa al-Qur'an ternyata merupakan medan pertarungan yang sengit bukan saja di bidang intelektual melainkan juga sosial-politik. Dalam disertasinya yang membahas tafsir mistik Ibn 'Arab!,40 Abu Zayd juga sampai pada kesimpulan yang sama. Interpretasi Ibn 'Arab! tentang "agama cinta universal" ternyata merupakan refleksi dari kondisi sosio-kultural masyarakat Andalusia kontemporer yang diwarnai oleh kemajemukan bahasa, budaya, etnik dan agama.
Menyadari bahaya membiarkan teks keagamaan dari penafsiran yang bera-
38 Abu Zayd, Maftium op. cit, him. 6.
39 Diterbitkan dengan judul Al-Ittijdh al- 'Aqliji at-Tafsir: Dirdsahft Qadiyyah al- Majdzfial-Qur'dn 'Inda al-Mu'tazilah (Beirut:Al-Markaz as-Saqafi al-'Arabi, 1982).
40 Diterbitkan dengan judul Falsafah at-Ta 'wil: Dirdsahfi Ta 'wil al-Qur 'a Muhyiddinlbn 'Arabi (Beirut: Al-Markaz as-Saqafi al-'Arabi, 1994).
gam dan semau-maunya ini, Abu Zayd kemudian berupaya untuk merumuskan hake- kat teks keagamaan ini dan peranannya dalam menentukan arah produksi makna. Un- tuk itu ada dua pertanyaan yang diajukan. Pertama, hingga sebatas mana dan dengan cara apa teks menentukan dan mengontrol interpretasinya? Kedua, hingga sebatas mana dan dengan cara apa makna ditentukan oleh faktor-faktor di luar teks dan terda- pat pada proses pembacaannya?41 Pertanyaan pertama berkaitan dengan konsepsi teks itu sendiri, sedangkan pertanyaan kedua berkaitan dengan mekanisme pembacaan.
Pertanyaan pertama dikaji Abu Zayd terutama dalam bukunya Mafhum an- Nass: Dirdsah ft 'Ulum al-Qur'dn dan an-Nass as-Sultah, al-Haqiqah: al-Fikr ad- Dim Bayna Irddah al-Ma 'rifah wa Irddah al-Haymanah. Salah satu poin penting yang dikemukakan Abu Zayd mengenai konsep teks ini adalah kaitan teks dengan realitas kulturalnya, baik dalam pengertian keterbentukan teks (tasyakkul an-nass) di dalam realitas maupun pembentukan teks (tasykil an-nass) terhadap realitas tadi pada tingkatan lebih lanjut. Menurut Abu Zayd, pemahaman tentang kaitan teks dengan
\ realitas dalam kedua pengertiannya ini sangat penting untuk dapat menangkap lapis- I
| lapis makna dalam struktur teks, mulai dari level intra-tekstual, ko-tekstual, ekstra- tekstual, hingga level kontekstual.
Sedangkan persoalan kedua yang berkaitan dengan mekanisme pembacaan dikaji Abu Zayd terutama dalam bukunya Isykdliyydt al-Qird'ah wa Aliyydt at-
41 Dua pertanyaan ini merupakan parafrase dari uraian-uraian Abu Zayd pada Iberbagai bagian buku-bukunya dengan menggunakan rumusan yang dibuat Robert C. Culley.
I Lihat Culley, "Introduction", op. cit., him. vii.
Ta'wil42 Poin penting yang dikemukakan Abu Zayd mengenai mekanisme pem- bacaan ini adalah proses pengawa-kodean (decoding) teks dalam konteks yang berbeda. Satu hal yang digarisbawahi Abu Zayd dalam proses ini adalah keharusan berangkat dari makna teks dalam konteks sosial-budayanya, sebelum melangkah pada penarikan signifikansi teks itu dalam konteks sosial-budaya saat ini. Inilah yang membedakan apakah suatu pembacaan teks bersifat produktif (sebagai hasil dialog dari dua konteks yang berbeda melalui saluran teks) ataukah bersifat ideologis (sebagai pembacaan yang membetot teks begitu saja ke dalam konteks saat ini).
Berangkat dari dua landasan metodologi ini, Abu Zayd kemudian menganalisis secara kritis-dekonstruktif berbagai wacana Islam yang diwarnai oleh dominannya pembacaan tendensius terhadap terhadap teks-teks keagamaan. Kritik wacana ini ia lakukan baik terhadap wacana Islam klasik maupun kontemporer.43 Dengan kritik ini Abu Zayd bermaksud untuk menunjukkan mekanisme dan prosedur pelaksanaan wacana tadi sebagai sebuah praksis yang memiliki signifikansi ideologis dan sistem epistemisnya sendiri. Dari sini dapat ditunjukkan batas-batas yang menen-
42 Diterbitkan Al-Markaz as-Saqafi al-'Arabi, Beirut, 1994.
43 Selain pemikiran Mu'tazilah dan Ibn 'Arab!, wacana klasik lain yang dikaji Abu Zayd di antaranya adalah: al-Gazali, al-Jurjani, Srbawayh, dan asy-Syafi'i. Khusus tentang asy-Syafi'i ini, Abu Zayd menulis buku tersendiri yaitu Al-Imdm asy-Sydfl'i wa Ta'sis al- Aydiyulujiyyah al-Wasatiyyah (Kairo: Sina li an-Nasyr, 1992). Sedangkan wacana Islam kontemporer yang dikaji Abu Zayd antara lain adalah wacana lembaga resmi agama di Mesir (khususnya diwakili Al-Azhar), wacana Kebangkitan Islam, pemikiran Hassan Hanafi, Adunis dan 'Ilyas Khuri. Buku Abu Zayd yang khusus membahas wacana kontemporer ini adalah Naqd al-Khitdb ad-Dini (Kairo: Sina an-Nasyir, 1992) dan buku pledoinya At-Tafkir ft Zamdn at-Takfir: Diddal-Jahl wa az-Zayfwa al-Khurdfah (Kairo: Sina li an-Nasyr, 1995), di samping beberapa artikel dalam Isykdliyydt al-Qird 'ah wa Aliyydt al-Ta 'wil.
tukan pewujudan wacana tadi dan kekuatan apa yang beroperasi di dalamnya.
Barulah setelah itu dimungkinkan untuk menghasilkan suatu wacana landing (counter discourse) terhadap wacana dominan yang sedang dikaji. £J