• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hermeneutika Objektif

BAB III LANDASAN METODOLOGI KRITIK WACANA AGAMA

C. Problem Pembacaan

3. Hermeneutika Objektif

kontemporemya memungkinkan untuk menghasilkan signifikansi semiotik baru dari teks untuk konteks kesejarahan saat ini (langkah 4). Signifikansi baru ini selanjutnya dapat menjadi titik tolak baru untuk melakukan dialog ulang dengan teks, dan begitu seterusnya.

Apabila model pembacaan ini dikaitkan dengan teks al-Qur'an, terayatalah bahwa teks ini memiliki level-level makna yang beragam ditinjau dari kemampu- annya berdialog dengan realitas lain. Nasr Abu Zayd setidaknya mencatat tiga level makna dari teks ini. Pertama adalah level makna yang terbatas pada realitasnya sendiri dan tidak bisa menghasilkan signifikansi apapun untuk realitas yang berbeda.

Teks pada level ini hanya menjadi bukti historis semata dan tidak bisa diperluas termasuk dengan penafsiran metafor. Contohnya adalah ayat-ayat tentang perbudakan. Level kedua adalah level yang juga mengacu pada setting historisnya sendiri namun yang dapat diperluas untuk konteks historis yang berbeda melalui penafsiran metafor. Contohnya adalah ayat-ayat tentang hamba yang menurut Abu Zayd menyiratkan makna "kehambaan" ('ibddiyyah) dan bukannya penghambaan.

Dan level terakhir adalah kasus teks-teks al-Qur'an pada umumnya yaitu level yang mempunyai kemampuan berdialog dengan realitas lain atas dasar signifikansi yang dapat ditarik dari teks tersebut.41

an teori penafsiran (hermeneutika) dapat dianggap menyarankan suatu model penaf- siran yang bersifat objektif. Sebab, selain menekankan perlunya bertolak dan dua horison pembacaan, ia juga mengharuskan agar pembacaan berpijak pada makna objektif teks. Lagi pula teori tersebut ketimbang melebih-lebihkan peranan pembaca/

penafsir, justru memprioritaskan vitalitas teks sebagai satu-satunya saluran yang me- laluinya dialog dua horison pembacaan menjadi mungkin.

Seperti dinyatakan Abu Zayd, "proses penafsiran dan kegiatan pengetahuan secara umum selalu ditujukan untuk mengungkapkan berbagai kenyataan yang memiliki keberadaan objektif di luar subjek pembacaan."42 Karena itu, meski peran pembaca dalam proses penafsiran tidak bisa disepelekan namun peranan ini tidak boleh dilebih-lebihkan. Sebab, pada sisi lain, teks juga memiliki keberadaan objektifnya dalam lingkungan sosial-budayanya saat itu. Dari sini, tugas penafsiran adalah berusaha merekonstruksikan pemahaman barn atas teks ini berpijak dari dinamika struktural yang diciptakannya dalam situasi enviromental di mana teks merupakan respon terhadapnya.

Berbeda dengan ini, beberapa teori penafsiran kontemporer cenderung melihat teks sebagai arena relasi penandaan yang tidak bisa disingkapkan kecuali melalui peranan pembaca. Pembaca ini sendiri secara epistemologis dideterminasi oleh cakrawala ruang dan waktunya, bahkan dalam beberapa hal oleh situasinya yang bersifat temporer. Dengan demikian pembacaan menjadi beragam dan makna teks

42 Ibid, him. 115.

sangat lentur sesuai dengan pergeseran cakrawala pembaca.43

Dalam pandangan Abu Zayd, pembacaan semacam ini tak ubahnya seperti menerobos dari pintu belakang hingga taraf yang sepadan dengan "impresionisme".

Sebab, di sini teks dianggap otonom, terlepas dari pengarang dan realitasnya, dan ba- gi pembaca terbuka kebebasan yang seluas-luasnya untuk menguakkan struktur teks tersebut. Ini adalah teori yang menjadikan pembaca tak kurang dari pengarang itu sendiri dan pembacaan teks tak ubahnya seperti pembentukan dan penciptaan teks.44

Meskipun Abu Zayd sepakat bahwa tidak ada pembacaan yang bebas, yaitu bahwa pembacaan selalu ditentukan oleh horison pembacanya, namun ini tidak berar- ti bahwa pembacaan bisa dilakukan semau-maunya. Untuk itu perlu dibedakan antara

"pembacaan yang tidak bebas" di satu sisi dengan "pembacaan yang tendensius" di sisi lain. Di dalam hal pertama, pembacaan yang tidak bebas justru harus menyadar- kan pembaca terhadap horisonnya sendiri sehingga bisa didialogkan dengan horison lain yang melingkupi teks pada konteks historisnya. Sebaliknya, pada pembacaan ten- densius tidak ada penafsiran apapun baginya kecuali terjatuh ke dalam ideologisasi.45

Berdasarkan hal ini, maka problem krusial di dalam teori penafsiran terletak pada karakter persoalan yang diajukan oleh pembacaan kontemporer. Seperti dinyatakan Abu Zayd, "apabila problem pembacaan ditentukan pada penyingkapan

A* Ibid., him. 113.

44 Ibid.

45 Ibid,him. 113-114.

makna dan penarikan signifikansi; maka problem penafsiran ditentukan pada karakter persoalan yang diajukan oleh pembacaan yang bertolak dari posisi eksistensial dan epistimologis kekinian."46 Problem inilah yang menjadi titik kritis yang menentukan apakah suatu pembacaan bersifat produktif (sebagai hasil dialog antara dua horison yang berbeda melalui saluran teks) ataukah bersifat ideologis (sebagai pembacaan yang menarik teks begitu saja ke dalam horison pembacaan saat ini). Dan dari sini pula segenap praktek pembacaan yang terungkapkan dalam berbagai produksi wacana agama dapat dianalisis dan dikritisi. O

46 Nasr Abu Zayd, hykdliyydt, op. cit., him. 5.

BAB IV

METODOLOGI KRITIK WACANA AGAMA

A. Pengantar

Kritik wacana, sebagaimana dinyatakan Abu Zayd, pada dasarnya adalah penelitian terhadap setiap produksi wacana untuk mengungkapkan

"mekanisme strukturisasi" yang terdapat di dalamnya sebagai sebuah prosedur penalaran.1 Dengan kata lain, yang terutama sekali diperhatikan di sini adalah strategi pembentukan makna dalam wacana itu sendiri sebagaimana tercermin pada mekanisme strukturisasinya, dan bukannya kandungan makna yang secara eksplisit justru disorongkan oleh wacana tersebut.

Jelasnya, dalam studi ini wacana dilihat sebagai perwujudan sistem tanda secara tertentu—yang tidak disadari dan kerap tak dipersoalkan—yang digunakan untuk menghadirkan suatu sistem makna yang secara sadar justru didesakkan. Yang diperhatikan oleh kritik wacana bukanlah penataan sadar sistem makna ini, melainkan penataan sistem tanda yang tak disadari ini yang terwujud pada tatanan tekstualnya.2 Ini misalnya berupa sistem oposisi, penentuan hirarki konseptual, dan sebagainya.

1 Nasr Abu Zayd, At-TaJkir fi Zamdn at-Takfir: Didd al-Jahl wa az-Zayf wa al-Khurdfah (Kairo: Sinali an-Nasyr, 1995), him. 128.

Karena itu, kritik wacana bukanlah pembacaan evaluatif yang memberi- kan penilaian benar-salah. Bagi Abu Zayd ia justru berkaitan erat dengan pembacaan produktif, yaitu pembacaan yang bukan terutama berurusan dengan hal-hal yang nyata dan dimaklumi, melainkan lebih pada hal-hal yang tersembu- nyi, yang tak nadir, yang jauh, bisu—singkatnya, hal-hal yang didiamkan (al- maskut 'anhu) dalam wacana.3 Dengan ungkapan lain, apa yang diupayakan oleh kritik wacana adalah mengungkapkan "tekstualitas laten" yang menghidupi suatu wacana, yaitu dengan menelanjangi "keteraturan-keteraturan" (regularities) yang terdapat di dalamnya dan berupaya mendeskripsikannya.4

Kritik wacana dengan demikian adalah kajian yang mumi bersifat deskriptif (purely descriptive). la berkepedulian bukan pada salah-benarnya suatu pernyataan, melainkan pada pemaparan tatanan tekstual yang mencirikan setiap perwujudan wacana. Dan mengingat bahwa wacana pada dasarnya adalah

"language in use",5 maka tatanan tekstual ini sangatlah beragam tergantung pada setiap perwujudan wacananya. Karena itu, tidak ada prosedur yang baku dan defmitif dalam kritik wacana ini. Sebagai studi yang berupaya memaparkan

"tekstualitas laten" dari setiap perwujudan wacana, maka kritik wacana ini tidak punya kiat lain kecuali berusaha setia dengan wacana yang dikajinya dan menemukan sendiri prosedur yang sesuai untuk mengungkapkan wacana tersebut.

3 Moch. Nur Ichwan, "Nasr Abu Zayd dan Studi Al-Qur'an", Risalah, 37,2 (1998), him. 61. Juga Nasr Abu Zayd, At-Tqfldr, op. cit., him. 65-6.

4 Gillian Brown dan George Yule, op. cit., him. 23-6.

Dengan demikian, prosedur kritik wacana ini bisa sangat beragam seiring dengan beragamnya karakteristik wacana yang dikajinya.6

Mengenai wacana agama sendiri, maka kritik wacana—seperti sempat disinggung di muka—harus memperhatikan karakteristik agama itu sendiri seba- gai akumulasi teks yang menumpuk di seputar teks primernya. Karena itu, kritik wacana agama diarahkan untuk membongkar timbunan teks ini hingga mencapai teks primernya. Dengan kembali kepada teks primer ini dan berusaha merumus- kan pemahaman ilmiah atasnya, maka dapat ditunjukkan jarak yang memisahkan antara teks primer ini dengan aktualisasinya ke dalam sejumlah teks sekunder.

Dari sini lantas bisa dilacak adanya tendensi ideologis di dalam pembacaan teks primer sebagaimana terejawantah dalam berbagai produksi wacana agama.

Atas dasar ini maka bisa dimaklumi jika Nasr Abu Zayd menjadikan konsepsi teks dan mekanisme pembacaan sebagai landasan metodologis bagi kritik wacana agamanya. Sebab, melalui dua hal inilah Abu Zayd merumuskan pemahaman ilmiah atas teks primer agama. Berdasarkan pemahaman ilmiah atas teks primer agama ini, maka kritik wacana agama memperoleh kriteria yang jelas di dalam membongkar teks-teks sekunder yang menumpuk di seputar teks primer tadi. Dalam hal ini, kritik wacana agama difokuskan tepat pada titik pergeseran7 dari teks primer kepada teks sekundernya ini, dan dari sini berupaya menemukan strategi pembentukan makna dan mekanisme strukturisasinya, di samping me-

6 Nasr Abu Zayd, An-Nass, as-Sultah, al-Haqiqah: al-Fikr ad-Dini Bayna Iradah al-Ma'rifah wa Iradah al-Haymanah (Beirut: Al-Markaz as-Saqafi al-'Arabi, 1996), him. 7-8.

munculkan kandungan ideologis dan sistem epistemis yang membingkainya.

Pelaksanaan kritik wacana ini, sejauh bisa disimpulkan dari uraian Abu Zayd, melibatkan dua tahapan analisis yang haras dilakukan secara simultan. Pada tahapan pertama, analisis dilakukan terhadap sistem intern wacana itu sendiri, ya- itu menyangkut status literernya. Analisis pada tahapan ini dapat disebut sebagai analisis mikro-struktural. Pada tahapan berikutnya, analisis dilakukan terhadap sistem wacana tadi dalam konteks yang lebih luas, yaitu dalam penjelmaan fungsi komunikasinya yang memiliki lokus historis dan ideologis tertentu. Analisis pada tahapan ini dapat disebut sebagai analisis makro-struktural.

Berkaitan dengan dua tahapan analisis ini, Nasr Abu Zayd menekankan agar analisis yang pertama menjadi titik tolak bagi analisis yang kedua. Seperti dinyatakannya sendiri, titik tolak kajian ini "berpijak pada analisis pemikiran dan pengungkapan pengertian tekstualnya, sebelum beralih ke signifikansi sosio-poli- tiknya—kritik ideologi". Ini dilakukan, demikian Abu Zayd, "untuk menghindari kesalahan-kesalahan analisis mekams-reflektif yang gerak metodologisnya dari lu- ar ke dalam".8 Dengan kata lain, sebelum melakukan kritik apapun terhadap suatu pemikiran, yang harus dilakukan terlebih dulu adalah upaya memperjelas pemikir- an itu serta membacanya secara benar. Baru setelah itu dilanjutkan dengan mere- konstruksikan sistem pemikiran tadi dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat menempatkannya dalam posisi epistemologis dan ideologisnya yang tepat.9

Nasr Abu Zayd, Al-lmdm asy-Sydfi'i wa Ta'sis al-Aydiyulujiyyah al- Wasattyyah (Kairo: Sina li an-Nasyr, 1992), him. 6.

B. Analisis Mikro-Struktural

Analisis mikro-struktural ini berkaitan dengan perwujudan fungsi puitik teks sebagai sistem tanda. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pelaksanaan fungsi puitik teks ini menciptakan pergeseran dalam norma-norma literer, berkat penyimpangan yang ia lakukan terhadap sistem normatifnya. Dalam pengertian ini, maka setiap produksi wacana dapat dilihat sebagai perwujudan fungsi puitik yang menghasilkan tatanan tekstual yang berbeda-beda, dan yang mencerminkan pergeseran dari teks primernya. Apa yang dilakukan kritik wacana di sini adalah memperhatikan keteraturan-keteraturan diskursif dalam perwujudan fungsi puitik ini dan dari sini menjelaskan kerangka konseptualnya.

Berkenaan dengan tahapan analisis ini, fokus perhatian Abu Zayd banyak ditujukan pada pergeseran-pergeseran yang diciptakan wacana keislaman dalam penataan teks dan strategi pemaknaannya. Ini terkait dengan karakteristik wacana keislaman itu sendiri di mana persoalan teks dan penafsirannya ini me- rupakan "episentrum" yang "mendiami" semua pengungkapan wacana tersebut Pada kelanjutannya, karakteristik ini tidaklah terlepas dari sistem kebudayaan Arab-Islam itu sendiri—suatu kebudayaan yang seluruh mamfestasinya dibentuk melalui mekanisme teks dan penafsirannya ini.10

Sejauh berhasil diidentifikasi, pergeseran-pergeseran dalam penataan teks dan strategi pemaknaannya ini oleh Abu Zayd dijelaskan dalam tujuh kerangka konseptual sebagai berikut.

10 Nasr Abu Zayd, Maftium an-Nass: Dirdsahft 'Ulum al-Qurdn (Beirut: Al-

1. Berpusat Pada Teks Al-Qur'an

Menurut Abu Zayd, wacana agama di dalam strukturisasi wacananya selalu bertolak dari postulasi teks dan otoritasnya (an-nass wa al-hdkimiyyah)n Apabila dalam kebudayaan Yunani wacana dibangun atas dasar asas rasionalitas, maka wacana agama dibangun dan digerakkan oleh sentralitas teks al-Qur'an di dalamnya. Dapat dikatakan bahwa seluruh perwujudan wacana agama ini selalu diobsesikan oleh damba pada "sang Naskah" ini—untuk mengadaptasi ungkapan Emmanuel Subangun.12

Dengan demikian wacana agama memperoleh keabsahannya dari peng- andaiannya terhadap "kehadiran" teks al-Qur'an ini dalam perwujudan wacananya, terlepas dari soal bagaimana "penghadiran" itu dilakukan. Maka seluruh manifestasi wacana agama, dengan cara yang berbeda-beda, selalu mengibarkan klaim keterikatan pada teks al-Qur'an ini. Ini terwakili misalnya pada imperatif "kembali pada al-Qur'an dan sunnah" yang menjadi jargon dari gerakan pembaharuan agama.

Untuk mengungkapkan dengan cara lain, pengandaian akan "kehadiran"

teks al-Qur'an ini ternyata telah membentuk hirarki konseptual yang menentukan setiap perwujudan wacana agama itu sendiri. Hirarki inilah yang menentukan bahwa suatu wacana agama baru bisa disebut demikian jika ia berhasil, dengan satu dan lain cara, "menghadirkan" teks al-Qur'an dalam tatanan tekstualnya.

11 Lihat uraian Abu Zayd pada Bab I buku berjudul Naqd al-Khitdb ad-Dini (Kairo: Sina li an-Nasyr, 1992).

Muhammad Arkoun menengarai hal ini sebagai ketundukan nalar Islam terhadap Le donne revele (wahyu yang terberi).I3

Ini menunjukkan bahwa teks al-Qur'an merupakan sentral dari setiap perwujudan wacana agama, malahan dialah run yang menghidupi wacana itu sendiri. Signifikansi kultural dari hal ini dapat ditemukan pada sentralitas teks al- Qur'an itu sendiri di dalam peradaban Islam. Dalam peradaban ini al-Qur'an memang memiliki peran yang menentukan di dalam membentuk wajah kebudayaan dan mendesain karakter ilmu-ilmunya.14 Persoalannya timbul ketika dalam realitas temyata ada banyak hal yang tidak perlu, bahkan tidak bisa, dijelaskan dalam kerangka teks agama ini. Untuk menggunakan istilah Emmanuel Subangun, ada banyak naskah lain di luar naskah agama ini. Persoalan-persoalan yang bersifat historis dan sosiologis misalnya, lebih tepat ditanggapi secara historis dan sosiologis pula dengan mengandalkan otonomi akal daripada menanggapinya dalam kerangka acuan teks agama. Namun seperti akan dijelaskan di bawah, bahkan menyangkut persoalan-persoalan semacam ini wacana agama terayata tetap mengadvokasikan sentralitas teks al-Qur'an, sebagai satu-satunya kerangka acuan untuk menanggapi semua persoalan.

2. Bertumpu Pada Kuasa Teks

Sebagai konsekuensi dari hal di atas, dalam wacana agama ada kecen- derungan konstan untuk selalu bersandar pada kuasa teks di dalam menyikapi persoalan-persoalan di bidang politik, sosial dan pemikiran. Inilah yang di dalam

13 Mohammed Arkoun, op. cit., him. 236.

retorika kontemporer wacana agama disebut dengan prinsip al-hakimiyyah, yaitu otoritas teks yang berdaulat penuh di dalam semua sendi kehidupan.15

Menurut Abu Zayd, kecenderungan semacam ini sudah mendapatkan presedennya sedari dini sejarah Islam. Tepatnya adalah ketika Umayyah dalam si- tuasi terdesak mengangkat mushaf dan menyerukan tahkim (arbitrase); hal mana ia lakukan demi mempertahankan kekuasaan politiknya. Hal yang serupa juga terjadi di tengah pentas politik Indonesia akhir-akhir ini, misalnya ketika MUI dan beberapa kalangan agamawan lain dengan dalih agama menolak pencalonan Megawati sebagai presiden.

Kecenderungan untuk memahami semua persolan dalam bingkai teks keagamaan ini bagi Abu Zayd justru mengungkapkan signifikansi ideologisnya, yaitu dalam pretensinya untuk mengalihkan konflik sosial-politik dari tataran spesifiknya kepada tataran teks-teks keagamaan. Abu Zayd memaparkan konsekuensi dari kecenderungan ini sebagai berikut.

"Ketika konflik sosial politik dialihkan dari tataran realitas kepada tataran teks, maka ketika itu akal sesungguhnya telah ditundukkan pada teks dan kepentingannya ditentukan pada upaya peneloran teks untuk menjastifikasikan realitas secara ideologis. Ini berujung pada pemapan- an realitas tersebut baik dari pihak ilmuwan penguasa maupun ilmuwan oposan, sejauh konflik itu tetap dipahami sebagai polemik keagamaan seputar penafsiran teks.i6

Apa yang tidak disadari dari kecenderungan ini adalah bahwa dengan menempatkan otoritas teks di semua bidang realitas dan pemikiran, ia justru mere- duksi teks dan realitas itu sekaligus. Sebab teks dibatasi pengertiannya pada masa

lampau dan realitas disorongkan ke belakang kepada masa lampau itu. Akibatnya, kehidupan manusia terbelah kepada dua orientasi, yaitu antara realitas hidup yang dijalaninya saat ini dengan sistem nilai yang berorientasi pada masa lampau.17

3. Visi Tentang Keserba-mencakupan Teks

Visi ini sebenarnya merupakan sisi lain yang tak terpisahkan dari poin kedua di atas. Sebab, pandangan tentang "otoritas teks yang berdaulat penuh" (al- hakimiyyah) secara langsung akan menimbulkan suatu visi tentang teks yang men- cukupi diri dan serba mencakup.18 Namun karena otoritas teks ini tidak bisa ber- langsung kecuali melalui penafsiran, maka pandangan tersebut bukannya meng- ungkapkan makna universal teks. Sebaliknya, justru menyisipkan proyeksi ideolo- gis ke dalam teks tersebut berselubung pada klaim keserba-mencakupan teks.19

Di dalam pengungkapannya, visi tentang teks yang mencukupi diri dan serba mencakup ini mengembangkan dua mekanisme diskursif yang saling ber- kaitan. Pertama adalah dengan membangun suatu sistem oposisi yang dilanjutkan dengan prosedur eksklusi. Di sini wacana membangun tuturan tentang unsur

"lain" yang harus dilawan dan disingkirkan justru demi meneguhkan unsur seba- liknya. Dengan kata lain, "yang lain" (the other) ini dihadirkan dalam rangka pe- negasan terhadap diri sendiri (the self). Sebagai misal, wacana agama dengan gencar mengembangkan wacana sekularisme. Ini dilakukan justru untuk mene-

7 ibid, him. 98.

8 Nasr AM Zayd, At-Tafkir, op. cit., him. 140.

guhkan otoritas mutlak teks itu sendiri dan menggaransi posisi sosial dan politik para pemegang panji-panjinya. Menurut Abu Zayd, hal ini sebenarnya adalah dis- torsi dan pemalsuan kesadaran. Sebab, apa yang sering dihujat sebagai sekularis- me pada kenyataanya adalah upaya untuk memahami teks agama secara ilmiah.20

Mekanisme kedua merupakan kelanjutan dari sistem oposisi yang sama, namun kali ini dilanjutkan dengan prosedur afirmasi. Misalnya saja wacana agama mengembangkan jargon "solusi Islam" (al-Isldm hnwa al-hall), wacana "Islamisa- si ilmu", "ekonomi Islam", dan sebagainya. Menurut Abu Zayd, ini sebenarnya adalah upaya memperluas keberlakuan teks pada semua aspek kehidupan. "Tujuan yang diinginkan wacana agama dari hal itu... adalah jelas bagi siapapun: mereka hendak menggabungkan dalam produksi wacananya itu antara kekuatan agama dan kekuatan negara, antara otoritas politik dan otoritas keagamaan".21

4. Reproduksi Teks

Obsesi wacana agama untuk selalu bertumpu pada otoritas dan kuasa teks ini dihadapkan pada kenyataan bahwa realitas selalu bergerak dan persoalan yang ditimbulkannya pun berubah-rubah. Jika dalam wacana mistik problem pluralitas teks ini diselesaikan dengan mengajukan suatu visi tentang panteisme,22 maka wacana agama mengembangkan prosedur wacana lain yaitu dengan melakukan reproduksi teks (tawlid an-nass). Ini dilakukan dengan mentransfor-

20 Nasr Abu Zayd, Naqd, op. cit., him. 9.

21 Ibid

masikan wilayah "non-teks" ke dalam teks dan mentahbiskannya sebagai teks yang kekuatan legalitas danpotensi semantiknya tak kalahkuat dariteks dasar yangpertama, yaitu al-Qur'an.23

Asy-Syafi'i-lah yang pertama kali memberi landasan teoritis bagi me- kanisme reproduksi teks ini. Hal ini dilakukan pertama-tama dengan menegakkan legalitas teks sunnah bukan saja dalam rangka mengungkapkan, tetapi juga dalam membentuk, makna teks al-Qur'an. Ini menempatkan teks sunnah menjadi bagian organik dari struktur teks al-Qur'an ditinjau dari pengertian semantiknya. Dari sini asy-Syafi'i dapat membangun ijma' hingga menjadi teks tasyri' yang memperoleh signifikansinya dari pengertian teks yang tersusun dari al-Qur'an dan sunnah tadi.

Tinggallah bagi pembaca untuk menerapkan prinsip analogi (qiyds), yaitu dengan mengaitkan diri secara gigih kepada jalinan teks di atas. Dengan demikian, fungsi ijtihad dikebiri hanya sebatas pada wilayah teks dan analoginya semata.24

Mekanisme wacana ini menurut Abu Zayd tidak terlepas dari signifikansi ideologisnya, baik dalam konteks historis pemikiran asy-Syafi'i sebagai penggagasnya yang utama, maupun dalam pemikiran keagamaan saat ini.

Inilah yang menjelaskan mengapa aktivitas keilmuan dalam kebudayaan Islam selalu berpusat pada teks, di mana peranan akal terbatas pada reproduksi teks dari teks-teks terdahulu. Yakni apa yang dalam peristilahan Fazlur Rahman disebut budaya "komentar dan supra-komentar".25

Nasr Abu Zayd, Al-lmdm, op. cit., Mm. 8.

Ibid, him. 7-8.

23 24

25

5. Peralihan Makna (At-Tahwil ad-DalaK)

Sejalan dengan mekanisme strukturisasi yang selalu berobsesi untuk mengacu kepada otoritas teks di atas, yang notabene adalah teks-teks yang dihasil- kan pada masa lampau, maka pada dataran penafsiran wacana agama juga mengembangkan strategi pemaknaan tersendiri, misalnya saja strategi "peralihan makna". Peralihan di sini dipahami sebagai sistem makna yang bergerak dari

"sini" ke"sana", dan bukannya penarikan signifikansi teks yang ada "di sana"

untuk realitas yang ada "di sini".26

Menurut Abu Zayd, figur yang berperan penting di dalam merintis strategi penafsiran ini adalah al-Gazali. Ada dua pola tentang peralihan makna ini yang diajukan oleh al-Gazali. Pertama adalah pola pergerakan dari masa kini ke masa lampau. Jadi, ketika al-Gazali pada periode akhir hidupnya menyusun proyek "Penghidupan Ilmu-ilmu Agama" (Ihyd' 'Ulum ad-Din), maka revitalisasi yang dimaksudkan di sini adalah kembali ke masa lampau untuk mengatasi problem masa kini. Dalam pandangan ini terkandung anggapan bahwa masa kini mewakili model kerusakan, kelembekan dan penyimpangan dari kriteria-kriteria otentik agama, sementara masa lampau mewakili kesucian, keaslian dan otentisitas dari agama itu sendiri.27 Di sini penafsiran berarti upaya kembali kepada otoritas tradisi dan generasi pertama yang salih (as-salafas-sdlih).

26 Nasr Abu Zayd, Ma/hum, op. cit., him. 245-8; juga An-Nass, op. cit., him.

200-10.

27 Nasr Abu Zayd, Mqfhum, op. cit., him. 246. Rupanya, revitalisasi ilmu ala al-Gazali inilah yang kemudian menemukan metamorfosisnya pada Islamisasi Ilmu yang dikembangkan wacana agama dewasa ini.