BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Problematic Internet Use
2.2.2 Aspek Problematic Internet Use
Caplan (2010) mengemukakan bahwa terdapat 4 aspek dalam problematic internet use yaitu sebagai berikut:
1. POSI (Preference for Online Social Interaction)
POSI (Preference for Online Social Interaction) merupakan gejala kognitif yang sangat penting dari problematic internet use yang secara umum dapat dicirikan dengan keyakinan bahwa individu merasa aman, lebih efektif, lebih percaya diri, dan lebih nyaman berinteraksi interpersonal secara online dan berhubungan orang lain melalui internet atau secara online daripada dengan berinteraksi secara tatap muka atau secara langsung.
Perbedaan karakteristik kognitif individu dalam problematic internet use ini disebabkan oleh keyakinan individu dengan keadaan yang menurut individu tersebut lebih dapat dipercaya, aman, dan keadaan yang dapat membuatnya lebih nyaman berinteraksi dengan orang lain di internet, dibandingkan dengan berinteraksi dengan orang lain secara langsung.
2. Mood Regulation
Mood regulation atau regulasi suasana hati merupakan gejala kognitif umum dari problematic internet use yang mencerminkan motivasi individu untuk menggunakan internet dalam meningkatkan suasana hati. Individu menggunakan internet untuk mengurangi perasaan-perasaan yang tidak nyaman,
terisolasi atau gangguan emosi. Jadi, individu menggunakan internet karena adanya motivasi untuk meregulasi suasana hati negatifnya.
Hal tersebut menjadi problematic karena individu yang memiliki kecemasan dalam sosial cenderung akan memilih untuk berinteraksi secara online untuk berinteraksi dengan orang lain karena dengan begitu individu dapat mengurangi kecemasan mereka akan kehadiran dirinya dalam situasi interpersonal. Oleh karena itu, motivasi penggunaan internet untuk meregulasi suasana hati menjadi problematic karena saling berhubungan dengan preference for online interaction yang akhirnya akan membawa konsekuensi negatif seperti penarikan diri atau isolasi.
3. Deficient Self-Regulation
Deficient self-regulation atau kurangnya regulasi diri pada individu yang dikonseptualisasikan sebagai keadaan dimana individu secara kognitif akan merasa nyaman dengan menggunakan atau mengakses internet. Akibatnya individu selalu terobsesi untuk menggunakan internet dan mengalami perilaku yang agresif dalam menggunakan internet karena gagal dalam mengontrol perilakunya. Secara spesifk deficient self-regulation dibagi menjadi dua bagian yaitu sebagai berikut:
a. Cognitive preoccupation
Mengacu pada pola berpikir yang mendorong individu untuk terus menggunakan internet, seperti terdapat pemikiran jika seseorang tidak dapat berhenti untuk mengakses internet atau individu tidak dapat berhenti memikirkan apa yang terjadi di internet ketika individu tidak menggunakan atau mengakses internet.
b. Compulsive internet use
Merupakan keinginan individu untuk terus menggunakan atau mengakses internet, bahkan ketika individu tidak memiliki keperluan untuk menggunakan internet ia tetap mengakses internet. Individu akan mengalami kesulitan untuk mengontrol waktu yang dihabiskan untuk bermain internet, serta kesulitan untuk mengontrol penggunaan dalam menggunakan internet.
4. Negative Outcome
Negative outcome atau dampak negatif merupakan konsekuensi dari perilaku penyalahgunaan internet (Problematic internet use). Beberapa dampak negatif yang dialami biasanya seperti sulit mengatur hidupnya, gangguan pada kehidupan sosialnya, serta permasalahan lainnya.
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Problematic Internet Use 1. Self Esteem
Self esteem merupakan sejauhmana kualitas dan karakteristik yang terkandung dalam konsep diri individu dianggap positif (American Psychological Association, 2015). Diketahui bahwa self esteem memengaruhi problematic internet use secara negatif.
Hal tersebut berarti semakin rendah self esteem pada mahasiswa maka semakin tinggi problematic internet use pada mahasiswa.
Sebaliknya semakin tinggi self esteem pada mahasiswa maka semakin rendah problematic internet use pada mahasiswa (Ardiansyah, 2018).
Mahasiswa yang berada pada universitas terdiri dari beberapa individu yang berasal dari daerah yang berbeda-beda dengan karakteristik yang berbeda pula. Mahasiswa memulai interaksi sosialnya dengan bertemu teman-teman baru yang belum mereka kenal sebelumnya. Hal inilah yang dapat menimbulkan kecemasan dalam diri mahasiswa. Kecemasan sosial yang dialami mahasiswa, mengakibatkan mahasiswa cenderung akan menarik diri dari lingkungan nyata dengan membangun harga diri melalui dunia nyata, yaitu berinteraksi dengan orang lain tanpa harus tatap muka (Ardiansyah, 2018).
2. Kesepian
Kesepian (Loneliness) merupakan ketidaknyamanan afektif dan kognitif atau ketidaknyamanan karena menganggap diri sendiri atau menyendiri (American Psychological Association, 2015). Diketahui bahwa secara signifikan kesepian memengaruhi problematic internet use. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kesepian yang dirasakan mahasiswa, maka semakin tinggi pula problematic internet use yang dialami mahasiswa. Sebaliknya, semakin rendah kesepian yang dirasakan mahasiswa, maka semakin rendah pula problematic internet use yang dialami mahasiswa (Rini, Abdullah, dan Rinaldi, 2020; Agusti dan Leonardi, 2015; Garvin, 2019).
Mahasiswa yang mengalami kesepian, terutama dengan emotional loneliness memanfaatkan internet untuk mengelola emosi dan perasaan negatif yang dirasakannya agar dapat menghilangkan kesepian yang dirasakannya namun hal tersebut menyebabkan masalah lain. Permasalahan lain yang timbul dapat berupa kesulitan untuk mengatur penggunaan internet, kesulitan untuk mengelola hubungan sosial yang sehat di dunia nyata, terganggunya aktivitas penting seperti akademik ataupun pekerjaan dan berkurangnya kualitas maupun kuantitas hubungan sosial dengan orang terdekat (Rini, Abdullah, dan Rinaldi, 2020;
Agusti dan Leonardi, 2015; Garvin, 2019).
3. Psychological Distress
Ridner (2004) mengemukakan bahwa psychological distress merupakan keadaan emosional yang tidak nyaman yang dialami individu sebagai respon terhadap stresor tertentu yang mengakibatkan bahaya baik secara permanen maupun sementara.
Diketahui bahwa psychological distress memengaruhi problematic internet use secara positif. Hal tersebut berarti semakin tinggi psychological distress pada mahasiswa maka semakin tinggi pula problematic internet use pada mahasiswa.
Mahasiswa menggunakan internet untuk mengurangi perasaan isolasi atau distres emosional, regulasi mood (Jatmika, 2020).
2.2.4 Dampak Problematic Internet Use
Caplan (2010) mengemukakan bahwa problematic internet use akan menimbulkan berbagai dampak negatif yaitu dari bidang akademik maupun sosial seperti berikut:
1. Pada penggunaan internet secara berlebihan juga akan berdampak pada individu, yaitu individu akan cenderung kurang mengontrol perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti ketika individu bermain internet yaitu game online, ketika mereka diajak untuk berinteraksi maka individu akan menunjukkan perilaku agresif karena mereka terlalu fokus dalam bermain internet seperti game online. Selain itu dampak negatif
lainnya seperti kesulitan dalam mengatur waktu, aktivitas yang tertunda, serta dampak-dampak buruk lainnya
2. Pada bidang akademik problematic internet use akan berdampak pada perilaku penundaan yang dilakukan individu. Ketika individu terlalu berlebihan dalam menggunakan internet maka individu akan cenderung melupakan tugasnya dan akan menunda untuk mengerjakannya, serta dampak buruk lainnya yang akan terjadi ketika individu tidak mengerjakan tugasnya. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Purwanto dan Anggunani (2018), yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat problematic internet use, maka semakin tinggi pula tingkat prokrastinasi akademik yang dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas akademiknya.
3. Adapun dampak buruk yang terjadi pada bidang sosial yaitu, ketika individu terus-menerus menggunakan internet secara berlebihan akan berdampak pada interaksi sosial individu, yaitu individu akan merasa lebih nyaman menggunakan internet dan berinteraksi dengan individu lainnya menggunakan internet.
Maka dari itu, individu akan lebih nyaman mengungkapkan perasaannya melalui media sosial dibandingkan bercerita dengan orang disekitarnya. Hal ini yang membuat individu terobsesi untuk terus menggunakan internet.
2.2.5 Pengukuran Problematic Internet Use
Terdapat beberapa alat ukur (skala) yang pernah digunakan untuk mengukur problematic internet use, yaitu sebagai berikut:
1. Generalized Problematic Internet Use Scale (GPIUS)
GPIUS adalah instrumen eksplorasi yang dirancang untuk mengidentifikasi dimensi kognitif dan perilaku PIU, bersama dengan hasil negatifnya. Skala generalized problematic internet use scale (GPIUS) ini dibuat oleh Caplan pada tahun 2002. Skala generalized problematic internet use scale (GPIUS) ini terdiri dari 29 aitem pernyataan. Skala ini dibuat untuk mengukur prevalensi kognisi, perilaku dan hasil negatif yang terkait dengan problematic internet use.
2. Generalized Problematic Internet Use 2 Scale (GPIUS 2)
Skala generalized problematic internet use scale 2 (GPIUS 2) ini dibuat oleh caplan pada tahun 2010 yang terdiri dari 15 aitem pernyataan. Skala ini dibuat untuk menyempurnakan GPIUS yang dikembangkan menjadi GPIUS 2 dengan penambahan aspek yaitu preference for online social (POSI) dan deficient self- regulation. Skala ini digunakan untuk mengukur problematic internet use pada individu.
2.3 Mahasiswa
2.3.1 Definisi Mahasiswa
Mahasiswa merupakan individu yang belajar di tingkat perguruan tinggi, baik di Universitas ataupun institut. Sebagaimana seperti yang tercantum dalam UU RI Nomor 12 Tahun 2012 yang membahas mengenai Pendidikan Tinggi Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi:
“Mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang Pendidikan Tinggi“.
Selain itu mahasiswa juga didefinisikan sebagai kategori pemuda yang tercerahkan karena memiliki kemampuan intelektual yang tinggi (Sutrisman, 2019).
Mahasiswa merupakan gelar untuk setiap individu yang sedang menempuh pendidikan tinggi di sebuah perguruan tinggi yang terdiri dari sekolah tinggi, akademik, serta yang paling umum yaitu universitas. Mahasiswa berasal dari kosa kata yang berbeda, antara lain kata “Maha” yaitu untuk mewakili tingkatan tertinggi dari seorang siswa dan “Siswa” yang berarti peserta didik pada jenjang pendidikan tertentu (Rizki, 2018).
Gafur (2015) mengemukakan pendapatnya bahwa mahasiswa merupakan sekelompok orang dalam masyarakat yang telah memperoleh status karena keterkaitannya dengan perguruan tinggi.
Dalam masyarakat, mahasiswa masih merupakan calon intelektual atau intelektual muda yang merupakan aset bangsa yang paling berharga. Oleh karena itu mahasiswa diharapkan memiliki
pengetahuan luas dan memiliki kemampuan (skill), karakter yang lebih maju dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya.
Mahasiswa merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari masyarakat Indonesia, mahasiswa sebagai orang-orang intelektual dan masih muda tentu diharapkan akan sanggup dalam memilah- milah persoalan dengan kritis dan objektif. Pergaulan mahasiswa yang cenderung tidak membeda-bedakan suku, agama, ras dan golongan, kiranya dapat membantu untuk mengambil jarak dari persoalan-persoalan dan sanggup pula memberikan solusi-solusi yang dapat menolong semua orang (Yewangoe, 2009).
Berdasarkan beberapa definisi yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa manusia merupakan individu yag sedang menempuh pendidikan diperguruan tinggi yang nantinya akan menjadi penerus bangsa. Oleh karena itu, mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan yang luas, cara pandang yang lebih baik serta sikap dan perilaku yang sesuai dengan norma yang ada.
2.3.2 Mahasiswa Dalam Tinjauan Psikologi Perkembangan
Mahasiswa masuk dalam kategori perkembangan masa dewasa awal dalam tinjauan psikologi dengan rentang usia 18-25 tahun. Pada tahap dewasa awal dapat ditandai dengan ciri-ciri yaitu individu mengalami perubahan identitas seperti dari siswa menjadi mahasiswa. Individu cenderung akan berfokus pada dirinya sendiri,
kehidupannya sendiri serta mampu untuk berpikir, logis abstrak, idealistis, bertanggungjawab dan mampu membedakan hal yang baik dan buruk (Santrock, 2012).
Pada masa dewasa awal individu cenderung akan memiliki suasana hati yang tidak mudah berubah-ubah, serta individu akan lebih bertanggung jawab dan lebih jarang untuk terlibat dalam tindakan-tindakan yang sangat berisiko. Masa dewasa awal juga menjadi puncak kreativitas individu, serta seringkali di usia empat puluhan, lalu setelah itu kreativitas individu akan menurun (Santrock, 2012).
Papalia dan Feldman (2011) mengemukakan bahwa pada masa dewasa awal merupakan perubahan dramatis dalam hubungan pribadi. Individu pada masa dewasa awal mulai mengikuti norma sosial yang ada, membuka diri dan menunjukkan kemampuan bersosialisainya. Kebanyakan individu pada masa dewasa awal memiliki banyak teman, tetapi individu memiliki waktu yang terbatas untuk bersama temannya.
2.4 Pengaruh Problematic Internet Use Terhadap Prokrastinasi Akademik Pada Mahasiswa Di Kota Makassar
Mahasiswa merupakan individu yang belajar di tingkat perguruan tinggi, baik itu universitas maupun institut. Dalam masyarakat, mahasiswa masih merupakan calon intelektual yang merupakan aset bangsa yang sangat berharga. Oleh karena itu, mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan
yang luas serta skill, dan karakter yang lebih maju dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya.
Pada tinjauan psikologi perkembangan mahasiswa termasuk dalam tahapan masa dewasa awal dengan usia 18-25 tahun. Mahasiswa dalam tahapan masa dewasa awal telah memiliki cara berpikir secara rasional, bebas, menggunakan logika dan emosi dalam berpikir, berpikir terbuka, mengeluarkan pendapat, menerima pendapat, dan mengekspresikan perasaan. Mahasiswa juga mampu untuk bertanggungjawab serta membedakan hal yang baik dan buruk.
Mahasiswa merupakan individu yang sudah beranjak dewasa dan sedang menempuh di Perguruan Tinggi. Berdasarkan peraturan Menteri RISTEK dan DIKTI No 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi yaitu untuk memenuhi pencapaian pembelajaran pada mahasiswa lulusan program Strata 1, mahasiswa wajib menempuh beban belajar maksimum 7 tahun dalam masa studi. Menurut UU RI No 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi bahwa mahasiswa sebagai anggota Sivitas Akademika memiliki kesadaran diri untuk mengembangkan potensinya dengan melakukan pembelajaran.
Kedudukan mahasiswa sebagai seorang akademisi di Perguruan Tinggi akan selalu berhadapan dengan tugas yang bersifat akademik maupun non akademik. Adapun tugas akademik yang tidak terlepas dari tugas-tugas yang diberikan oleh dosen, sehingga mahasiswa diharuskan untuk dapat mengatur
kesukaran dalam mengatur waktu belajar, sibuk dengan melakukan aktivitas luar seperti organisasi yang akan membuat mahasiswa menunda-nunda tugas. Perilaku menunda-nunda tersebut disebut sebagai prokrastinasi akademik.
Tuckman (1991) mengemukakan bahwa prokrastinasi merupakan tindakan individu yang menghabiskan waktu untuk melakukan aktivitas yang tidak penting, menunda penyelesaian pekerjaan, dan tidak memulai aktivitas yang harus segera diselesaikan. Steel dan Klingsieck (2016) mendefinisikan prokrastinasi akademik sebagai penundaan akademik yang dilakukan individu secara sukarela atau dengan kemauannya sendiri.
Prokrastinasi akademik dapat menimbulkan berbagai dampak negatif jika dilakukan secara terus menerus. Seperti, akan berdampak buruk bagi prestasi akademik mahasiswa yaitu nilai akademik yang rendah dan bahkan tidak dapat lulus dalam mata kuliah, serta kemungkinan lainnya yang dapat terjadi yaitu mahasiswa tidak dapat menyelesaikan kuliahnya. Menunda mengerjakan tugas dapat berdampak pada psikologis individu yang berupa emosi negatif bagi individu.
Emosi negatif akan mengakibatkan perasaan yang tidak nyaman atau tidak menyenangkan seperti cemas, menyebabkan stress. Emosi negatif ini dikhawatirkan dapat menghambat individu dalam menyelesaikan tugas akademik. Perilaku menunda ini juga berdampak pada kondisi fisik individu yaitu kesehatan. Penundaan juga dapat menyebabkan kinerja yang lebih
buruk yang akan menurunkan efikasi diri, dan akan menyebabkan lebih banyak penundaan.
Mahasiswa menyadari jika tugas itu penting tetapi mereka tetap melakukan penundaan dalam mengerjakan tugas. Mahasiswa juga menganggap jika menunda tugas adalah hal yang biasa saja. Berdasarkan hasil wawancara mereka melakukan penundaan tugas karena menunggu temannya untuk mengerjakan tugas, serta melakukan aktivitas lain seperti menonton film, bermain sosial media seperti instagram, facebook, whatsapp, tik-tok dan youtube yang dapat membuat mereka lupa mengerjakan tugas yang akhirnya tugasnya tertunda untuk dikerjakan. Hal tersebut mencerminkan perilaku problematic internet use.
Caplan (2010) mengemukakan bahwa istilah dari problematic internet use sebagai gejala-gejala dari perilaku dan kognisi yang berlebihan dalam penggunaan internet yang memiliki dampak buruk pada beragam bidang termasuk dalam bidang akademik dan sosial. Individu yang mengalami problematic internet use yaitu individu yang menggunakan internet secara berlebihan yang akan membuat individu memiliki keinginan untuk terus menggunakan internet, bahkan ketika tidak memiliki keperluan untuk menggunakan internet. Hal ini akan membuat individu menunda pekerjaan dan membuat individu merasa senang ketika bermain internet
Penelitian yang dilakukan oleh Aditiantoro dan Wulanyani (2019) menunjukkan hasil bahwa problematic internet use dan regulasi diri
lainnya yang dilakukan oleh Purwanto dan Anggunani (2018) menunjukkan hasil bahwa semakin tinggi tingkat problematic internet use, maka semakin tinggi pula tingkat prokrastinasi akademik yang dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas akademiknya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat problematic internet use, maka semakin rendah pula tingkat prokrastinasi akademik yang dilakukan mahasiswa.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat dijadikan acuan untuk melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Problematic Internet Use Terhadap Prokrastinasi Akademik Pada Mahasiswa di Kota Makassar”.
2.5 Bagan Kerangka Pikir
Mahasiswa Masalah Das Sollen
1. Peraturan Menteri RISTEK dan DIKTI No 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi yaitu mahasiswa maksimum 7 tahun pembelajaran untuk program strata 1.
2. Mahasiswa dalam teori perkembangan dianggap sudah dewasa yaitu mahasiswa cenderung akan berfokus pada dirinya sendiri, sehingga akan memiliki banyak peluang untuk mengatur kehidupannya sendiri dan mengerjakan tugas sendiri serta mampu untuk berpikir logis, abstrak, idealistis (Santrock, 2012).
3. Mahasiswa seharusnya mampu memprioritaskan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab (Santrock, 2012).
Das Sein
1. Mahasiswa menunda untuk langsung mengerjakan tugas.
2. Menunggu deadline untuk mengerjakan tugas.
3. Mahasiswa menggunakan sistem
kebut semalam dalam
menyelesaikan tugas.
4. Mencari alasan untuk tidak mengerjakan tugas.
5. Mahasiswa menyadari jika tugas itu penting tetapi malah lebih sering melakukan kegiatan lain yang
dianggap menyenangkan
dibandingkan untuk mengerjakan tugas langsung.
6. Mahasiswa menunda mengerjakan tugas namun melakukan aktivitas lain seperti bermain internet.
7. Rata-rata mahasiswa menggunakan internet selama 8-15 jam setiap harinya.
Keterangan:
: Pengaruh
: Batasan Penelitian
Diduga: Bervariasinya prokrastinasi akademik disebabkan oleh bevariasinya problematic internet use pada mahasiswa
Problematic Internet Use Prokrastinasi Akademik Aspek
1. POSI (Preference for Online Social Interaction)
2. Mood Regulation
3. Deficient self-regulation 4. Negative Outcome
Aspek :
1. Tendensi Umum
2. Penghindaran Ketidaksenangan 3. Menyalahkan Sumber Eksternal
2.6 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh problematic internet use terhadap prokrastinasi akademik pada mahasiswa yang berada di Kota Makassar.
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode penelitian kuantitatif.
Metode penelitian kuantitatif merupakan metode penelitian yang didasarkan pada filosofi positivisme, yang digunakan untuk meneliti suatu populasi atau meneliti sampel tertentu. Pengumpulan data yang dilakukan pada metode kuantitatif ini yaitu dengan menggunakan alat penelitian seperti, analisis data yang bersifat kuantitatif atau bersifat statistik, yang memiliki fungsi untuk menguji sebuah hipotesis yang telah ditentukan sebelumnya oleh peneliti (Sugiyono, 2012).
3.2 Variabel Penelitian
Siyoto dan Sodik (2015) mengemukakan bahwa variabel penelitian merupakan suatu atribut dan sifat atau nilai orang, faktor, perlakuan terhadap obyek atau kegiatan yang memiliki variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Tarjo (2019) mengemukakan bahwa variabel merupakan segala sesuatu yang memiliki perbedaan atau bervariasi yang berkaitan tentang sesuatu maksudnya adalah apa saja yang menjadi fokus yang akan diteliti, yang sifatnya tidak homogen (sama) maka bisa dikatakan sebagai variabel.
1. Independent Variable : Problematic Internet Use 2. Dependent Variable : Prokrastinasi Akademik
3.3 Definisi Variabel 3.3.1 Definisi Teoritis
1. Prokrastinasi Akademik
Tuckman (1991) mengemukakan bahwa prokrastinasi akademik merupakan kecenderungan individu untuk menunda dalam memulai maupun menyelesaikan tugas yang seharusnya segera diselesaikan dengan melakukan aktivitas lain yang tidak berguna, sehingga tugas-tugas menjadi terhambat, individu sering melewati batas waktu dalam menyelesaikan tugas ataupun mengumpulkan tugas.
2. Problematic Internet Use
Caplan (2010) mengemukakan bahwa Istilah problematic internet use merupakan istilah untuk menunjukkan gejala–gejala dari perilaku dan kognisi yang berlebihan dari individu dalam penggunaan internet yang akan memberikan berbagai dampak buruk bagi individu dalam beragam bidang termasuk dalam bidang akademik dan sosial.
3.3.2 Definisi Operasional
Definisi Operasional merupakan variabel penelitian yang dimaksudkan untuk memahami arti setiap variabel penelitian sebelum melakukan analisis, menentukan instrumen, serta mengetahui sumber pengukuran. Pentingnya definisi operasional agar tidak terjadi kesalahpahaman pada saat proses pengumpulan
data (Jaya, 2020). Definisi operasional terkait variabel penelitian yang digunakan yaitu:
1. Prokrastinasi Akademik
Prokrastinasi akademik merupakan suatu perilaku menunda- nunda mengerjakan tugas dengan melakukan aktivitas lain.
Perilaku menunda-nunda tugas tersebut terjadi berdasarkan keinginan diri sendiri, dimana individu lebih memilih untuk melakukan aktivitas lain dibandingkan mengerjakan tugas-tugas akademiknya, yang merupakan tanggung jawab mereka. Untuk mengetahui skor dalam prokrastinasi akademik yaitu digunakan skala prokrastinasi akademik yang di buat oleh Nurul Fany tahun 2019.
2. Problematic Internet Use
Problematic internet use atau penggunaan internet bermasalah merupakan penggunaan internet secara berlebihan yang mengakibatkan berbagai dampak negatif pada kehidupan sehari- hari individu dan berdampak pada akademik individu, serta individu mengalami kesusahan dalam mengontrol dirinya saat menggunakan internet dan individu akan terus memiliki keinginan untuk menggunakan internet meskipun tidak memiliki keperluan untuk mengakses internet. Untuk mengetahui skor dalam problematic internet use yaitu digunakan generalized
problematic internet use scale 2 (GPIUS 2) yang di kembangkan oleh Caplan tahun 2010.
3.4 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel 3.4.1 Populasi
Populasi dalam penelitian merupakan sebagai kelompok subjek yang akan dikenai generalisasi hasil penelitian. Sebagai suatu populasi, kelompok subjek harus memiliki karakteristik (Azwar, 2017). Dalam penelitian, populasi yang akan digunakan untuk menyebutkan seluruh elemen atau anggota dari suatu wilayah tertentu yang akan menjadi sasaran penelitian atau keseluruhan objek yang akan diteliti (Noor, 2017).
Pada penelitian ini, populasi yang dimaksud yaitu seluruh mahasiswa yang berada di Kota Makassar yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Negeri maupun di Universitas Swasta yang berjumlah 256.761 mahasiswa (PDDIKTI, 2019). Jumlah tersebut merupakan data mahasiswa pada tahun 2019, namun peneliti belum menemukan jumlah mahasiswa secara akurat di tahun 2021.
3.4.2 Sampel
Sampel merupakan sebagian karakteristik atau ciri yang memiliki oleh suatu populasi. Dapat juga dikatakan bahwa sampel merupakan bagian kecil yang diambil dari anggota populasi berdasarkan prosedur yang telah ditentukan sehingga dapat digunakan untuk mewakili populasinya. Sampel diambil karena jumlah populasi yang