BAB II KAJIAN PUSTAKA
D. Berbasis Mubādalah
3. Basis Mubādalah
semua bentuk kata dan kalimat ini, redaksi bahasa Arab perempuanharus dibedakan dari redaksi untuk laki-laki. Sekalipun suatu kata benda itu tidak berjenis kelamin, seperti meja dankursi, maka tetap harus diimajinasikan dan diredaksikan sebagai laki-laki (mudzakar) atau perempuan (muannats).
bersikap ramah dan memanusiakan, tidak mendeskriminasi, tidak menganggap rendah, tidak mengheoni, serta tidak melakukan kekerasan dan segala bentuk kezhaliman. 54
Dengan demikian, gagasan mubādalah meniscayakan kesetaraan dan keadilan dalam berelasi antara laki-laki dan perempuan, dan mendorong hadirnya kerja sama yang partisipatif, adil, memberi manfaat kepada keduanya tanpa diskriminai. Ruang publik tidak seharusnya hanya dibangun oleh dan (hanya nyaman) untuk laki-laki. Ruang domestik pun tidak hanya dikuasai oleh perempuan. Partisipasi di publik dan domestik harus dibuka secara luas kepada laki-laki dan perempuan secara adil, sekalipun bisa jadi dengan cara, model, dan pilihan yang berbeda-beda. Dalam situasi yang masih timpang dan diskriminatif terhadap perempuan, dan laki-laki didorong untuk berpartisipasi lebih aktif lagi dalam ranah domestik. Ini untuk memastikan penghormatan kemanusiaan benar nyata hadir dalam dua ranah tersebut, ini juga sekaligus untuk memastikan hadirnya prinsip-prnsip ta‟āwun (saling menolong), tahādup (saling memberi pendapat), tarādhim (saling rela), dan ta‟āshur bil ma‟ruf (saling memperlakukan secara baik) dalam relasi laki-laki dan perempuan, baik di ranah domestik maupu publik. 55
Dalam semangat pernikahan inilah, persepektif mubādalah ditawarkan untuk menegaskan kemanusiaan perempuan dan pentingnya relasi kerjasama. Bukan hememoni, antara laki-laki dan perempuan.
Tidak laki-laki kepada perempuan. Tidak juga sebaliknya, perempuan kepada laki-laki. Tetapi kemitraan, kebersamaan, dan kesalinganan antara laki-laki sebagai suami, ayah, anak maupun individu biasa, dan perempuan baik sebagai istri, ibu, anak maupun individu biasa. Atau tepatnya; mubādalah.
“Even the most radical publication on women‟s rights that appeared before 1911 subscribed to the general critical
54 Kodir. Qira‟ah Mubādalah, 100.
55 Kodir, 101-102.
discourse on Chinese women that entirely blamed them for China‟s decline. Entitled Nüjie zhong (Warning Bell for Women), it was written in 1903 by Jin Songcen (1874–1947), a member of Sun Yatsen‟s early anti-Manchu revolutionary organization, the Revive China Society (xingzhong hui).167 In his tract Jin on the one hand argued that women had the right to receive an education, to choose their own partner in marriage, to manage a business and own property, to move freely in society, and to be involved in politics and government.168 Moreover, in the campaign to mobilize popular support for the revolutionary cause against the Manchu Qing dynasty (which was always Jin‟s priority), he ascribed to women a „magical power to move and inspire people‟ (ganren moli) because of their serene and compassionate natures. This, according to Jin, would make women not only especially suited as primary school teachers, but also as potential agitators amongst the people. Since Chinese women occupied the lowest rungs in society, Jin declared, they would have a natural empathy for the labouring classes and, like the female Narodniks in Russia, would be able to move people to tears and sow hatred of autocracy amongst young and old alike”56
Persepektif mubādalah mengenai relasi perempuan dan laki- laki, pada giliran berikutnya, akan menjadi sumber inspirasi dalam memaknai teks dan realitas, dengan premis bahwa laki-laki dan perempuan adalah kerjasama, kesalingan, dan tolong-menolong.
Inspirasi untuk memaknai ayat-ayat al-Qur‟an, teks-teks hadits, kaidah- kaidah fikih dan usul fikih, pandangan ulama klasik maupun kontemporer, teks-teks hukum positif, norma-norma adat dan sosial, data-data penelitian dan fakta-fakta kehiduan sosial, fakta-fakta kehidupan sosial, politik ekonomi. Khususnya hal-hal yang menyangkut isu relasi antara laki-laki dan perempuan.
56 Paul J. Beily. Gender and Education in China. (Canada, Taylor & Francis e-Librar, 2007), 61.
Cerita-cerita yang memojokkan perempuan tidak sejalan dengan semangat pembebasan kaum perempuan yang dipraktekkan Rasulullah.
Posisi perempuan sering diperhadap-hadapkan dengan posisi laki-laki.
Posisi perempuan selalu dikaitkan dengan lingkungan domestik yang berhubungan dengan keluargadan kerumahtanggaan. Sementara laki- laki sering dikaitan dengan lingkungan publik yang berhubungan dengan urusan-urusan diluar rumah.57
Inspirasi ini yang mengantar pada perlunya rumusan metode pemaknaan mubādalah terhadap teks-teks sumber, untuk menemukan pesan utama yang bisa diaplikasikan perempuan dan laki-laki sebagai subyek hukum yang sama dan setara. Metode ini penting ditawarkan kerena teks agama seringkali dibaca dengan menempatkan laki-laki sebagai subyek dan perempuan sebagai obyek.58
Padahal Islam itu sendiri memandang jati diri yang utama diatara laki-laki maupun perempuan sebagai manusia sebagai makhluk intelktual dan spiritual, sekaligus memberikan kewajiban yang sama kepada keduanya seperti rukun Iman, sama-sama diwajibkan beriman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab Allah, Rosulullah, hari akhir dan Qada Qadar.
Namun dalam pengalaman perempuan, ia mempunyai pengalaman yang tidak sama dengan laki-laki. Ada pegalaman biologis dan pengalaman sosial yang perlu dipetimbangkan dalam
57 Nasaruddin Umar. Argumen Kesetaraan Jender. (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), 76.
58 Kodir, Manual Mubadalah. (Yogyakarta: Umah Sinau Mubadalah, 2019), 47.
memanusiakan perempuan. Oleh karenanya Islam memberikan aturan khusus bagi perempuan saat mengalami 5 pengalaman biologisnya, bagian yang tidak bisa terpisahkan dalam dirinya yakni menstruasi, hamil, melahirkan, nifas dan menyusui. Islam tidak memandang pengalaman itu hanya urusan perempuan saja melainkan petunjuk kepada selain perempuan untuk tidak membebani tapi mendukung dan meringankan pengalaman tersebut.