• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Kasus Terkait Coomb’s Test

Dalam dokumen LABORATORIUM PRATRANSFUSI UP DATE (Halaman 136-145)

BAB VI. ANTIGLOBULIN TEST (COOMB’S TEST)

6.12 Contoh Kasus Terkait Coomb’s Test

Wanita, 42 tahun, menikah, datang ke Unit Gawat Darurat (UGD) dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari yang lalu. Sesak disertai batuk berdahak dan badan lemas. Kadang penderita juga merasakan demam.

Penderita sebelumnya dirawat dengan Ca mamma sejak satu tahun yang lalu dan sudah pernah menjalani kemoterapi sebelumnya. Riwayat penyakit jantung, ginjal, kencing manis, alergi disangkal. Tidak ada keluarga penderita yang mengalami keluhan serupa.

Hasil pemeriksaan fisik: keadaan umum lemah, kompos mentis, tensi 110/70 mmHg, nadi 80 x/menit, respirasi 36 x/ menit dan suhu aksila 37,5 o C. Dijumpai anemia, tampak konjungtiva pucat, suara paru vesikuler dengan ronchi positif, lain-lain dalam batas normal.

Hasil pemeriksaan radiologi menyimpulkan adanya pneumonia.

Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan penurunan kadar hemoglobin dari 8,9 g/dL menjadi 5,1 g/dL dalam waktu 6 hari tanpa disertai tanda-tanda perdarahan. Dokter merencanakan untuk melakukan transfusi Pack Red Cells (PRC) 5 Unit.

Hasil pemeriksaan golongan darah adalah sebagai berikut : Tabel 6.4 Pemeriksaan golongan darah dengan blood

grouping plate

Anti-A Anti-B Suspensi

sel A Suspensi

sel B Suspensi

sel O Anti-D Bovin Albumin

KontrolAuto

3+ 4+ +3 3+ 3+ 4+ +4 4

Tabel 6.5 Pemeriksaan golongan darah ulang dengan metode tabung

Anti-A Anti-B Suspensi

sel A Suspensi

sel B Suspensi

sel O Anti-D Bovin Albumin

KontrolAuto

3+ 4+ 3+ 3+ 3+ 4+ 4+ 4+

Tabel 6.6 Pemeriksaan golongan darah ulang setelah pencucian sel dan dikerjakan dengan metode tabung, inkubasi 37 o C.

Anti-A Anti-B Suspensi

sel A Suspensi

sel B Suspensi

sel O Anti-D Bovin Albumin

KontrolAuto

Negatif Negatif 3+ 3+ Negatif 4+ Negatif 4+

Kesimpulan : Penderita golongan darah O Rh positif

Tabel 6.7 Hasil pemeriksaan crossmatch dengan sejumlah donor.

NO Donor Golongan darah

donor Mayor Minor Auto

Kontrol

1 Donor 1 O Rhesus + 2+ 3+ 4+

2 Donor 2 O Rhesus + 2+ 3+ 4+

3 Donor 3 O Rhesus + 3+ 4+ 4+

4 Donor 4 O Rhesus + 2+ 3+ 4+

5 Donor 5 O Rhesus + 2+ 3+ 4+

6 Donor 6 O Rhesus + 3+ 4+ 4+

7 Donor 7 O Rhesus + 3+ 4+ 4+

8 Donor 8 O Rhesus + 2+ 3+ 4+

Hasil coomb’s test :

Penderita golongan darah O Rh positif.

Ditemukan adanya auto immune antibody (DCT: positif) juga anti IgG dan C3 yang coated pada sel darah merah penderita.

Ditemukan adanya irregular allo antibody yang bebas di dalam serum (ICT: positif) yang reaktif pada suhu 20 o C dan 37 o C.

Diagnosis : Ca mamma, Penumonia, Autoimmune hemolytic anemia (AIHA).

Sebagian besar kasus AIHA bersifat idiopatik, beberapa kasus dapat disebabkan oleh infeksi virus, obat-obat kemoterapi, dapat berasosiasi dengan kondisi autoimun lain atau kelainan hematologi dan keganasan (Morris et al, 2008).

Pada kasus ini pasien menderita carcinoma mammae disertai dengan Autoimmune hemolytic anemia (AIHA). Penyebab AIHA pada pasien ini tidak diketahui secara pasti. Kemungkinan oleh karena

adanya proses keganasan sehingga mengganggu sistem imum penderita.

Beberapa jenis molekul pada permukaan sel tumor dapat membangkitkan respons antibodi autologous (Kresno, 2011). Beberapa kelainan yang sering mencetuskan AIHA adalah Connecting tissue disease (Rheumatoid arthritis, Scleroderma, Systemic lupus erythematosus), idiopatic, Immunodeficiency state (Dysglobulinemia, hypogammaglobulinemia), infeksi (Human Immunodeficiency Virus, Mycoplasma, Mononucleosis), malignancy (lymphoma, leukemia, multiple myeloma, carcinoma) (Desai and Isa-Pratt, 2000). Pada pasien ini kanker payudara diduga sebagai pencetus munculnya AIHA.

Diagnosis Ca mammae dapat ditegakkan dari klinis, radiologi dan biopsi (SIGN, 2005). Pada pasien ini diagnosis Ca mammae sudah tegak secara klinis, radiologi maupun biopsi bahkan penderita sudah pernah mendapatkan kemoterapi sebelumnya.

Pada kasus AIHA, selain dari klinis, diagnosis dapat ditegakkan dari beberapa pemeriksaan laboratorium. Klinis pasien AIHA dapat berupa anemia, jaundice dan splenomegali. Pemeriksaan laboratorium yang mendukung adalah Darah Lengkap (DL) dengan penurunan kadar hemoglobin, peningkatan retikulosit, peningkatan serum bilirubin dan Lactic Dehydrogenase (LDH) serta penurunan haptoglobin. Pada AIHA tipe hangat umumnya dijumpai sferosit atau aglutinasi eritrosit.

Pada urinalisis menunjukkan hemoglobinuria jika proses hemolisis berlangsung intravaskuler. Pemeriksaan laboratorium yang utama pada AIHA adalah Direct Coomb,sTest (DCT) (Shaz and Hillyer, 2009).

Pada kasus ini, selain klinis, pemeriksaan laboratorium yang menunjang diagnosis AIHA adalah kadar hemoglobin rendah pada darah lengkap dan DAT positif. Saat pemeriksaan golongan darah sempat terjadi kesulitan dalam menginterpretasi hasil karena semua menunjukkan aglutinasi. Hasil pemeriksaan golongan darah menunjukan adanya discrepancy antara cells grouping dan serum grouping. Aglutinasi yang positif pada cells grouping, serum grouping, bovin albumin maupun autokontrol kemungkinan disebabkan karena proses aglutinasi sudah berlangsung sebelum sampel dianalisis akibat adanya autoantibodi yang menyelimuti eritrosit pasien ataupun yang beredar dalam serum.

Munculnya aglutinasi pada semua metode pemeriksaan golongan darah kemungkinan disebabkan adanya extra antibody. Jika extra antibody tersebut bersifat cold, untuk melepaskan aglutinasi tersebut bisa dilakukan inkubasi pada 37 oC dan pencucian eritrosit dengan larutan salin. Pada pencucian sampel dengan salin dan prewarming technique (inkubasi 37o C) kemungkinan terjadi migrasi reaktiviti autoantibodi sehingga golongan darah menjadi jelas (Shaz and Hillyer, 2009).

Hasil pemeriksaan golongan darah pada pemeriksaan pertama dan diulang dengan metode tabung pada pemeriksaan kedua menunjukkan adanya ABO discrepancies.

1. Reaksi aglutinasi kuat dijumpai pada cells grouping dan sesuai dengan golongan darah AB.

2. Hasil pemeriksaan serum grouping sesuai dengan golongan darah O.

Dari hasil DCT yang menunjukkan aglutinasi pada IgG dan C3, kemungkinan pasien menderita AIHA tipe campuran (mixed AIHA).

Sebagian besar kasus AIHA dengan IgG dan C3 positif adalah mixed AIHA (Shaz and Hillyer 2009). Di samping itu setelah dilakukan prewarming technique pada pemeriksaan golongan darah, interpretasi hasil menjadi lebih jelas. Berikut adalah tabel hasil pemeriksaan DCT dan persentase kasus pada masing-masing jenis AIHA.

Table 6.8 Persentase kasus dan hasil DCT pada masing-masing tipe AIHA (Shaz and Hillyer, 2009).

Warm AIHA

(WAIHA) Cold Aglutinin

Disease (CAD) Mixed AIHA Persentase

kasus 48-70% 16-32% 7-8%

DCT IgG 20-66%, IgG + C3 24-

63%, C3 7-14% C3 91-98% IgG + C3 71-100%

Tipe Ig IgG (jarang IgA atau IgM) IgM IgG + IgM

First line treatment untuk pasien AIHA adalah kortikosteroid.

Terapi lain adalah splenektomi, Rituximab, Imunoglobulin intravena dan obat imunosupresan alternatif lainnya. Pasien anemia berat disertai

disfungsi jantung atau otak membutuhkan penanganan yang urgen termasuk pemberian transfusi Pack Red Cells (PRC). Selama serangan akut, pasien yang baru terdiagnosis AIHA sangat sulit mendapatkan darah yang kompatibel. Pada kondisi tersebut, transfusi PRC dapat dilakukan dengan memberikan darah ”least incompatible” artinya memilih unit darah dengan hasil pemeriksaan crossmatch yang paling kurang reaktif ( Morris et al, 2008; Shaz and Hillyer, 2009).

Pada pasien ini kadar hemoglobin 5,1 g/dL dan urgen membutuhkan transfusi. Transfusi akhirnya dilakukan dengan memilih komponen darah yang ”least incompatible”. Dokter yang merawat merencanakan transfusi dengan 5 unit PRC dengan harapan Hb pasien bisa menjadi 10 g/dL. Setelah tranfusi PRC yang kedua, pasien sempat mengalami alergi sehingga untuk transfusi selanjutnya dokter meminta Wash Red Cells (WRC). Pemeriksaan darah lengkap setelah transfusi 5 unit menunjukkan kadar Hb 12 g/dL. Peningkatan Hb melebihi target kemungkinan disebabkan karena proses Autoimmune hemolytic sudah teratasi dan sumsum tulang juga telah melakukan kompensasi terhadap keadaan anemia. Selain itu, penderita dianggap memiliki respon yang baik terhadap terapi kortikosteroid. Peningkatan kadar Hb yang ideal setelah transfusi adalah kurang dari 11 g/dL. Peningkatan kadar Hb lebih dari 11 g/dL pasca transfusi dianggap telah terjadi overtransfusion.

Selama transfusi, pasien juga mendapatkan premedikasi furosemide 20 mg iv. Jika premedikasi diberikan secara intravena, transfusi dilakukan 10 menit setelah pemberian obat. Apabila premedikasi diberikan per oral, transfusi dilakukan 30-60 setelah pemberian obat.

Pemberian obat-obatan profilaksis secara rutin sebelum transfusi tidak dianjurkan (WHO, 2002).

Kasus 2.

Laki-laki, 65 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan sesak dan mata kuning. Hasil pemeriksaan fisik, tekanan darah 105/65 mmHg, nadi 92 kali/menit dan lien teraba 2 cm di bawah arkus kosta. Penderita pernah menjalani cholecystectomy 15 tahun yang lalu dan 3 tahun terakhir didiagnosis dengan coronary artery disease. Saat ini penderita

mendapat terapi Atenolol, Ramipril, Simvastatin dan Aspirin. Hasil pemeriksaan laboatorium: hemoglobin 4,8 g/dl, retikulosit 263x109/L (22%), Mean Cells Volume (MCV) 84 fl, White Blood Cells (WBC) 8,5x109/L, trombosit 277x109/L, bilirubin total 128 µmol/l (conjugated bilirubin 12 µmol/l), kalium 4.5 mmol/l, kreatinin 176 mmol/l, Lactate dehydrogenase (LDH) 3407 µ/l (normal: <240 µ/l). Pasien memiliki golongan darah A Rhesus positif. Hasil pemeriksaan Direct Coombs’

test (DCT) positif kuat dengan anti-IgG dan anti-C3d positif dan Indirect Coombs’ test juga positif (Mijovic, 2012).

Berdasarkan kondisi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium, penderita didiagnosis dengan Autoimmune hemolytic anemia (AIHA),

warm antibody type.” Hasil laboratorium yang menunjukkan adanya proses hemolisis adalah peningkatan unconjugated bilirubin, LDH dan retikulosit. Hasil pemeriksaan DCT juga menunjang AIHA. Pada 40% kasus AIHA dapat menunjukkan adanya jaundice dan sekitar 50% terjadi splenomegaly ringan sampai sedang. Dua indikator terbaik untuk menunjukkan adanya proses hemolisis adalah peningkatan kadar LDH dan penurunan haptoglobin. Kedua indikator tersebut memiliki sensitivitas sekitar 85% dan spesifisitas haptoglobin 96%. Haptoglobin memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan LDH yang hanya 61%. Meskipun DCT merupakan indikator kuat untuk menentukan AIHA, tetapi hasil DCT yang negatif tidak menyingkirkan adanya AIHA. Hemolisis yang signifikan dapat terjadi bila jumlah sel darah merah yang berikatan dengan molekul IgG kurang dari batas deteksi metode pemeriksaan serologi yang digunakan (<300-400 per eritrosit).

Sebaliknya, DCT dapat positif pada beberapa kondisi tanpa adanya hemolisis. Sekitar 15% pasien yang dirawat di rumah sakit mempunyai hasil DCT positif lemah tanpa adanya gejala hemolisis dan 1 dari 1.000- 10.000 donor sehat mempunyai hasil DCT positif. Beberapa kondisi- kondisi yang dijumpai dengan hasil DCT positif antara lain:

a. Autoimmune hemolytic anemia (tipe hangat, tipe dingin dan AIHA yang diinduksi oleh obat-obatan).

b. Alloimmune hemolysis (Hemolytic disease of the newborn/

fetus, reaksi transfusi hemolitik, Passive alloantibody transfer, transplantasi organ).

c. Nonspecific protein uptake (peningkatan kadar globulin plasma, Drugs that modify red cell membrane).

d. Individu sehat dengan hasil DCT positif (Mijovic, 2012).

Untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan golongan darah dan Coombs’ test disarankan untuk melakukan pemeriksaan ulang dengan memeriksa plasma pasien menggunakan panel sel darah merah dan sel pasien sendiri. Hasil reaksi semuanya positif atau memberikan pola

panreactive”. Pemeriksaan serologi untuk mendapatkan darah yang kompatibel sulit dilakukan sehingga pasien ditransfusi menggunakan komponen darah yang ”least incompatible (Mijovic, 2012).

Transfusi pada pasien AIHA bukan merupakan suatu tindakan tanpa risiko. Pada kasus ini sulit untuk mendapatkan darah yang kompatibel dan risiko hemolisis oleh autoantibodi sangat besar. Masalah lain adalah risiko terjadinya overload cairan karena pasien mengalami kelainan jantung yang disertai anemia berat. Kadar hemoglobin di bawah 5 g/dl biasanya berasosiasi dengan gejala anemia berat, khususnya jika proses hemolitik bersifat akut. Hemolitik yang akut umumnya akan menampilkan klinis hemoglobinuria, mental confusion, somnolence, fever, nyeri abdomen, nyeri punggung dan dada. Gejala-gejala tersebut dapat terjadi pada kadar hemoglobin yang lebih tinggi, khususnya pada pasien usia tua dan pasien dengan kelainan jantung. Gejala-gejala tersebut mengindikasikan bahwa transfusi sel darah merah harus segera dilakukan terlepas dari hasil compatibility tests yang positif. Untuk mengurangi risiko overload dan gagal jantung, target transfusi adalah pada kadar hemoglobin (Hb) 8 g/dl. Pada sebagian besar pasien, kadar Hb 8 g/dl dianggap mampu menjaga pengangkutan oksigen ke jaringan.

Perhatian lain terkait pemberian transfusi adalah transfusi diberikan dengan kecepatan lambat 1 ml/kg/jam (dalam kondisi biasa kecepatan transfusi umumnya 3-5 ml/kg/jam) (Mijovic, 2012).

DAFTAR PUSTAKA

Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Blood Banking Reagents: Overview and Applications. Basic&Applied Concepts of Blood Banking and Transfusion Practices. Third Edition. United States: Elsevier Mosby. p.28-54.

Chaffin, D. J. 2012. Transfusion Reaction. Blood Bank Guy Podcast.

(serial online), [cited 2016 Jan. 8]. Available from: URL: http:/

www. bbguy.org.

Desai, S.P., Isa-Pratt, S. 2000. Anemia. Clinical’s Guide to Laboratory Medicine. USA: Lexi-Comp Inc. p.9-151.

Green, R. A. B., Klostermann, D. A. 2012. The Antiglobulin Test.

Blood Groups and Serologic Testing. Modern Blood Banking

& Transfusion Practices 6th Edition. Philadelphia: F.A Davis company. p. 101-117.

Kresno, S.B. 2011. Kanker dan Sistem Imun. Ilmu Dasar Onkologi Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 284-312.

Makroo, R.N. 2009. Antiglobulin Test. Practice of Safe Blood Transfusion Compendium of Transfusion Medicine. New Delhi:

Kongposh. p. 100-105.

Mehdi, S.R. 2013. Antihuman globulin (Coombs’) test. Essentials of Blood Banking A Handbook for Students of Blood Banking and Clinical Residents. Second Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. p. 30-37.

Mijovic, A. 2012. Case 2 Send Another Sample, Please. Transfusion Medicine Case Studies and Clinical Management. London:

Springer-Verlag. p. 5-7.

Morris, P.G., Swords, R., Sukor, S., Fortune, A., Donnell, D.M., Conneally, E. 2008. Autoimmune Hemolytic Anemia Associated With Ovarian Cancer. Journal of clinical oncology. 17: 4993- 4995.

Powell, V. I. 2016. Blood Group Antigen and Antibodies. NYU Langone Medical Center.

SIGN. 2005. Management of breast cancer in women A national clinical guideline. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Scotland.

p.1-42.

Shaz, B.H., Hillyer, C.D. 2009. Autoimmune Hemolytic Anemias.

Transdfusion Medicine and Hemostasis Clinical and Laboratory Aspect. USA: Elsevier. p.251-258.

SIGN. 2005. Management of breast cancer in women A national clinical guideline. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Scotland. p.1-42.

Shaz, B.H., Hillyer, C.D. 2009. Autoimmune Hemolytic Anemias.

Transdfusion Medicine and Hemostasis Clinical and Laboratory Aspect. USA: Elsevier. p.251-258.

WHO, 2002. Clinical Transfusion Procedures. The Clinical Use of Blood Handbook. World Health Organization Blood Transfusion Safety. Genewa: WHO. p. 37-58.

WHO, 2009. Techniques for Blood Grouping and Compatibility Testing.

Safe Blood and Blood Product. Genewa: WHO. p. 74- 92.

Dalam dokumen LABORATORIUM PRATRANSFUSI UP DATE (Halaman 136-145)