• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Kasus Terkait Golongan Darah Rhesus

Dalam dokumen LABORATORIUM PRATRANSFUSI UP DATE (Halaman 90-100)

BAB IV. PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH RHESUS

4.11 Contoh Kasus Terkait Golongan Darah Rhesus

Wanita, 23 tahun, warga Negara asing. Datang ke Rumah Sakit dengan keluhan luka pasca kecelakaan lalu lintas. Dari hasil pemeriksaan radiologi didapatkan adanya fraktur femur sinistra. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin 5 g/dl. Dokter merencanakan untuk tindakan operasi dengan penyiapan komponen pack red cells (PRC) sebanyak 5 kantong. Riwayat pemeriksaan golongan darah di Negaranya adalah golongan darah A Rhesus positif. Sampel dan permintaan darah dikirim ke bank darah.

Hasil pemeriksaan golongan darah pertama dengan metode slide test didapatkan golongan darah A Rhesus negatif. Dilakukan pemeriksaan golongan darah kedua menggunakan metode tabung didapatkan pasien dengan golongan darah A Rhesus negatif. Pemeriksaan lanjutan untuk mendeteksi weak D (Rhesus Du) dilakukan dan didapatkan hasil 1+. Pasien disimpulkan dengan golongan darah A Rhesus positif dan diberikan transfusi PRC golongan A Rhesus negatif.

Pada kasus ini meskipun disimpulkan penderita dengan golongan darah A Rhesus positif, tetapi transfusi tetap dilakukan dengan PRC golongan A Rhesus negatif dengan pertimbangan pasien seorang wanita yang sedang berada pada usia reproduktif dengan kadar hemoglobin <

7 g/dl . Meskipun dijumpai kesulitan untuk menyediakan komponen PRC Rhesus negatif, tetapi pilihan tersebut dianggap paling aman untuk kondisi pasien saat itu. Meskipun hasil pemeriksaan weak D hanya menunjukkan hasil 1+, tetapi hal tersebut mempunyai arti klinis yang sangat penting karena dapat membentuk anti-D bila mendapat transfusi sel darah merah Rhesus positif. Pada wanita usia reproduktif, terbentuknya anti-D dapat menimbulkan masalah baru pada proses kehamilan (Kulkarni, 2015).

Kasus 2.

Wanita, 27 tahun. Penderita datang ke poli spesialis membawa surat rujukan dari praktik dokter swasta untuk merencanakan proses kelahiran bayi. Penderita saat ini sedang hamil pada trimester III dan menceritakan bahwa golongan darahnya adalah AB Rhesus negatif.

Riwayat penyakit jantung, ginjal, kencing manis, hati disangkal dan tidak ada keluarga yang bergolongan darah Rhesus negatif. Riwayat abortus tidak ada, riwayat transfusi darah tidak ada. Suami penderita memiliki golongan darah O Rhesus positif. Hasil pemeriksaan fisik, abdomen dengan gravida 37 minggu. Pasien didiagnosis dengan G1P0000 36-37 minggu. Rencana penanganan: pemeriksaan darah lengkap, faal hemostasis, persiapan transfusi PRC golongan AB Rhesus negatif dan pro Caesarean Section 2 minggu lagi.

Pada pasien ini, penderita memiliki golongan darah AB Rhesus negatif dan menikah dengan laki-laki golongan darah O Rhesus positif.

Golongan darah AB merupakan golongan darah yang paling jarang dalam sistem ABO dan berdasarkan sistem Rhesus, Rhesus negatif juga merupakan darah langka. Apabila suami dengan Rhesus positif homozigot, maka anak yang dilahirkan dari pasangan tersebut memiliki golongan darah Rhesus positif. Ibu Rhesus negatif dengan bayi Rhesus positif memiliki risiko terjadinya Hemolytic Disease of The Fetus and

Newborn (HDFN) karena ibu mengalami sensitisasi membentuk anti- D setelah terpapar antigen D dari eritrosit janin atau riwayat transfusi Rhesus positif (Provan et al, 2004).

Rh immune globulin (RhIG) mulai dikembangkan pada awal tahun 1960 dan mendapat ijin beredar pada 1968 (Provan et al, 2004). Sejak diperkenalkan RhIG angka kejadian Hemolytic Disease of The Fetus and Newborn (HDFN) yang disebabkan oleh anti-D menurun secara draktis.

Sebelum penggunaan RhIG, 13% wanita Rhesus negatif tersensitisasi setelah kehamilan. Pemberian RhIG secara rutin menurunkan sensitisasi menjadi 11 per 10.000 kelahiran dengan kejadian HDFN yang berat kurang dari 1 per 20.000 kelahiran (Blaney and Howard, 2013).

RhIG dibuat dari pool plasma manusia dan tersedia dalam sediaan intravena atau intramuskuler. RhIG akan menekan respon imun setelah terpapar antigen D dari eritrosit fetus dan mencegah ibu untuk memproduksi anti-D. Mekanisme penekanan respon imun tidak jelas, kemungkinan terjadi eleminasi sel yang mengandung antigen D oleh makrofag dengan mengeluarkan sejumlah sitokin yang menekan respon imun (Blaney and Howard, 2013).

Untuk mencegah HDFN, skrining yang dilakukan pada ibu hamil adalah sebagai berikut:

a. Melakukan pemeriksaan golongan darah sistem ABO dan Rh D group saat antenatal care (ANC) pertama. Pada ibu Rhesus negatif, sebaiknya dilakukan pemeriksaan anti-D untuk mengetahui kemungkinan terjadi HDFN.

b. Apabila antibodi belum terbentuk pada ANC pertama, sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang pada umur kehamilan 28-30 minggu.

c. Apabila antibodi sudah terbentuk pada ANC pertama, titer antibodi harus sering dimonitor (WHO, 2002).

Titer antibodi sangat membantu dalam menentukan tindakan yang harus dilakukan seperti menentukan waktu untuk melakukan prosedur amniosintesis, ultrasound, color doppler ultrasonography dan cordocentesis. Titer antibodi awal harus dicatat dan sampel dibekukan untuk tes selanjutnya. Titer antibodi sebaiknya diperiksa serial dengan

interval 4-6 minggu. Peningkatan titer dua kali atau lebih besar dianggap signifikan memberikan perubahan pada kondisi fetus (Blaney and Howard, 2013).

Ada pun teknik pemeriksaan titer antibodi Rhesus adalah sebagai berikut:

1. Prinsip

Metode semikuantitatif yang digunakan untuk menentukan titer antibodi pada sampel serum dan direaksikan dengan sampel eritrosit yang mampu mengekspresikan antigen yang sesuai dengan antibodi yang diperiksa (Roback et al, 2011).

2. Sampel

Serum atau plasma yang mengandung antibodi yang akan dititrasi (Roback et al, 2011).

3. Reagen

a. Suspensi eritrosit yang mengekspresikan antigen, tersuspensi dalam larutan salin 2-5%.

b. Larutan salin (Roback et al, 2011).

4. Prosedur pemeriksaan titer antibodi Rhesus

a. Label 10 tabung reaksi untuk melakukan pengenceran serum secara serial.

b. Tambahkan 2 volume serum pada tabung pertama.

c. Tambahkan 1 volume salin pada tabung kedua sampai tabung kesepuluh.

d. Pindahkan 1 volume serum pada tabung kedua sehingga volume serum sama dengan volume salin (pengenceran 1:2) dan campur dengan baik.

e. Pindahkan sebagian campuran pada tabung kedua ke tabung ketiga sehingga diperoleh titer 1:4, demikian seterusnya sampai mendapat pengenceran dengan titer 1:512.

f. Ganti pipet dan gunakan pipet yang bersih pada setiap pencampuran atau pemindahan larutan.

g. Buang 1 volume pengeceran serum dari tabung terakhir atau simpan jika diperlukan pengenceran lebih lanjut.

Gambar 4.3 Pengenceran serum secara serial dengan larutan salin (Blaney and Howard, 2013).

h. Label 10 tabung reaksi.

i. Gunakan pipet terpisah pada masing-masing pengenceran untuk memindahkan 2 tetes pengenceran pada masing-masing tabung yang telah dilabel.

j. Tambahkan 2 tetes supensi sel 2% ke dalam masing-masing tabung yang telah berisi serum yang diencerkan.

k. Campur dengan baik dan baca reaksi secara makroskopis (Roback et al, 2011).

3. Interpretasi

Titer dinyatakan sesuai dengan hasil 1+ pada pengenceran tertinggi (Roback et al, 2011).

Tabel 4.1 Contoh pembacaan titer antibodi Rhesus (Roback et al, 2011).

Saat ini beberapa negara merekomendasikan bahwa semua ibu hamil golongan darah Rhesus negatif sebaiknya mendapatkan RhIG propilaksis. Ada 2 pilihan dosis intramuskular yang bisa diberikan dan keduanya memiliki efektivitas yang sama dalam mencegah HDFN yaitu:

a. Dosis 500 mg pada umur kehamilan 28 dan 34 minggu,

b. dosis tunggal 1.200 mg pada awal trimester ketiga (WHO, 2002).

Pemberian RhIG postpartum prophylaxis diberikan dengan dosis sebagai berikut:

a. Dosis 500 mg intramuskular dalam waktu 72 jam pasca melahirkan, pemberian dosis tersebut memberi proteksi sekitar 4 mL terhadap eritrosit fetus yang masuk dalam sirkulasi ibu.

Pengenceran Serum

1 2 4 8 16 32 64 128 256 512 Titer Skor

Sampel 1 Derajat aglutinasi 3+ 3+ 3+ 2+ 2+ 1+ 1+ ± ± 0 64 (256)

Skor 10 10 10 8 8 8 5 3 2 0 64

Sampel 2 Derajat aglutinasi 4+ 4+ 4+ 3+ 3+ 2+ 2+ 1+ ± 0 128(256)

Skor 12 12 12 10 10 8 8 5 3 0 80

Sampel 3 Derajat aglutinasi 1+ 1+ 1+ 1+ ± ± ± ± ± 0 8 (256)

Skor 5 5 5 5 3 3 3 2 2 0 33

Pembacaan secara makroskopis Derajat aglutinasi Skor

Satu aglutinate besar 4+ 12

Beberapa aglutinate besar 3+ 10

Aglutinate dengan ukuran sedang dan latar belakang jernih 2+ 8

Alutinate kecil-kecil dengan latar belakang keruh 1+ 5

Alutinate sangat kecil-kecil dengan latar belakang keruh 1+w 4 Hampir tidak terlihat agglutinate, latar belakang keruh w+ atau +/- 2

Tidak ada aglutinasi 0 0

Sebagain beraglutinasi sebagian tidak beraglutinasi mf

Hemolisis komplit H

Partial hemolysis PH

Tabel 4.2 Derajat dan skor aglutinasi (Roback et al, 2011).

b. Dosis 125 mg/1,0 mL jika darah fetus yang masuk dalam sirkulasi ibu lebih dari 4 mL (WHO, 2002).

Kombinasi pemberian RhIG antepartum dan pospartum efektif menurunkan risiko sensitisasi sebesar 0,1%. Pada sebuah penelitian klinis menemukan bahwa semua wanita golongan darah Rhesus negatif tidak mengalami sensitisasi setelah mengandung janin Rhesus positif dan mendapatkan suntikan RhIG pada umur kehamilan 28 minggu dan setelah melahirkan (Callum and Barrett, 2007).

Pada pasien ini antibodi Rhesus belum terbentuk, penderita mengatakan bahwa titer antibodi sudah pernah diperiksa. Pemberian RhIG propilaksis pada saat antenatal sudah dilakukan satu kali pada umur kehamilan 28 minggu dan diulang postpartum sebelum 72 jam namun pasien tidak bisa menjelaskan dosis yang diberikan.

Berdasarkan National Institute for Health and Clinical Excellence Guideline, wanita hamil hanya dengan Rhesus negatif dan mengandung bayi Rhesus positif tidak masuk dalam indikasi persalinan Caesarean section (CS) berencana. Persalinan CS berencana dapat dilakukan pada kondisi berikut:

1. Placenta previa,

2. morbidly adherent placenta,

3. wanita dengan cephalopelvic disproportion,

4. wanita hamil terinfeksi HIV yang belum mendapat anti retro viral (ARV) dan yang sudah mendapat ARV namun viral load ≥ 400 kopi/ml.

5. wanita hamil dengan infeksi hepatitis C dan HIV secara bersamaan, sebaiknya dilakukan tindakan CS berencana untuk menurunkan risiko penularan hepatitis C dan HIV dari ibu ke anak.

6. wanita hamil dengan primary genital herpes simplex virus (HSV) infection yang terjadi pada trimester ketiga sebaiknya dilakukan tindakan CS berencana untuk menurunkan risiko infeksi HSV pada neonatus.

Waktu yang baik untuk melakukan tindakan Caesarean section adalah pada umur kehamilan 39 minggu ke atas. Pada umur kehamilan tersebut risiko kematian akibat gangguan pernafasan signifikan

mengalami penurunan (National Institute for Health and Clinical Excellence, 2011).

Pada keadaan normal, kehilangan darah selama proses persalinan hanya 200 mL pada persalinan pervagina dan 500 mL pada persalinan CS. Kehilangan darah pada volume tersebut sangat jarang membutuhkan transfusi apabila kadar hemoglobin ibu sebelum melahirkan berada pada rentang 10.0-11.0 g/dl. Pemeriksaan lanjutan dibutuhkan jika kadar hemoglobin tidak kembali normal dalam waktu 8 minggu pasca persalinan (WHO, 2002).

Pada pasien ini indikasi persalinan CS tidak ada, tetapi proses persalinan dilakukan dengan tindakan elective Caesarean Section (atas permintaan pasien dan keluarga) pada umur kehamilan 39 minggu.

Meskipun indikasi transfusi tidak ada (kadar hemoglobin masih di atas 10 mg/dL dan faal hemostasis dalam batas normal), keluarga dan dokter tetap minta agar disiapkan darah AB Rhesus negatif. Persiapan telah dilakukan seminggu sebelumnya dengan cara mencari nama, alamat, nomor telp donor pada daftar donor langka dan memanggil donor tersebut untuk mendonorkan darahnya. Sampai akhir rawat inap, tindakan transfusi tidak dilakukan karena perdarahan selama operasi minimal dan darah yang sudah disiapkan diberikan pasien lain yang bergolongan darah AB Rhesus positif.

DAFTAR PUSTAKA

Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Rhesus Blood Group System. Basic &

Applied Conceppts of Blood Banking and Transfusion Practices Third Edition. United States: Elsevier Mosby p. 107-121.

Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Blood Componet Preparation and Therapy. Basic & Applied Conceppts of Blood Banking and Transfusion Practices Third Edition. United States: Elsevier Mosby p. 304-328.

Denomme, G., Westhoff, C. M. 2014. The Rh system. In: Fung M, Grossman BJ, Hillyer CD, Westhoff CM, eds. Technical manual, 18th edition. Bethesda, MD: AABB. p. 317-36.

Callum, J., Barret, J., 2007. Obstetric and Intrauterin Transfusion. Blood Banking and Transfusion Medicine Basic Principle & Practice Second Edition. USA: Churchill Livingstone Elsevier. p.496- 509.

Johnson, S. T., Wiler, M. 2012. The Rh Blood Group System. Blood Groups and Serologic Testing. Modern Blood Banking &

Transfusion Practices 6th Edition. Philadelphia: F.A Davis company. p. 148-169.

Kulkarni, S. 2015. Molecular Genotyping and its Applications toTransfusion Medicine. Transfusion Update. Indian Society of Blood Transfusion and Immunohaematology (ISBTI). New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. p.290-295.

National Institute for Health and Clinical Excellence, 2011. Caesarean section. NICE clinical guideline 132. Manchester. p.1-57.

Levitt, J. 2014. Standards for blood banks and transfusion services. 29th ed. AABB. Bethesda. p.31-46.

Makroo, R.N. 2009. The Rh Blood Group System. Practice of Safe Blood Transfusion Compendium of Transfusion Medicine. New Delhi: Kongposh. p. 66-79.

Mehdi, S.R. 2013. Rhesus Blood Group System. Essentials of Blood Banking A Handbook for Students of Blood Banking and Clinical

Residents. Second Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. p.18-24.

Provan, D., Singer, C.R.J., Baglin, T., Lilleyman, J. 2004. Haemolytic disease of the newborn. Oxford Handbook of Clinical Haematology Second edition. Oxford New York: Oxford University Press. p.

440-44.

Roback, J.D., Grossman, B.J., Harris, T. 2011. Technical Manual 17th Edition. USA: American Association of Blood Bank. p. 885- 888.

Roback, J.D., Grossman, B.J., Harris, T., Hillyer, C.D., 2011. Antibody Detection, Identification,and Compatibility Testing. Technical Manual 17th Editions. USA: American Association of Blood Bank. p. 907-909.

Saluju, G. P., Singal, G. L. 2014. Rh Blood Grouping. Standard Operating Procedures and Regulatory Guidelines Blood Banking.

New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. p. 77-86.

WHO, 2002. Obstetric. The Clinical Use of Blood Handbook. World Health Organization Blood Transfusion Safety. Genewa:WHO.

p. 120-135.

BAB V

UJI COCOK SERASI (CROSSMATCHING)

5.1 Definisi

Uji cocok serasi atau yang lebih sering disebut crossmacthing memiliki beberapa sinonim antara lain uji silang serasi atau uji kompatibilitas. Crossmacthing dilambangkan dengan XM. Istilah uji kompatibilitas sebenarnya kurang tepat apabila disamakan dengan crossmacthing. Crossmacthing dan uji kompatibilitas memang identik, tetapi memiliki pengertian yang berbeda. Crossmacthing adalah suatu prosedur untuk mereaksisilangkan komponen darah donor dan pasien.

Uji kompatibilitas adalah semua tahapan yang harus dilakukan sehingga diperoleh darah donor yang benar-benar tepat untuk pasien. Uji kompatibilitas meliputi: identifikasi pasien dengan akurat, pengambilan sampel darah pasien diikuti dengan pelabelan dan penanganan sampel yang benar, mereview riwayat pemberian transfusi sebelumnya, melakukan pemeriksaan golongan darah sistem ABO dan Rhesus, melakukan skrining dan identifikasi antibodi, melakukan crossmatching, mengecek ketepatan dan kelayakan distribusi produk darah, melakukan reindentifikasi pasien sebelum transfusi, dan memonitoring pasien sebelum, selama dan setelah pemberian transfusi (Blaney and Howard, 2013). Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa uji kompatibilitas memiliki cakupan yang jauh lebih luas dan crossmatching merupakan bagian dari uji kompatibilitas (Makroo, 2009).

Berdasarkan standar dari American Association of Blood Bank (AABB), crossmatching didefinisikan sebagai suatu pemeriksaan yang menggunakan metode yang mampu menunjukkan inkompatibilitas sistem ABO dan adanya antibodi signifikan terhadap antigen eritrosit dan juga menyertakan pemeriksaan antiglobulin. Kecuali tidak tersedia fasilitas, jika tidak ada antibodi yang signifikan pada sampel pasien yang baru atau riwayat pemeriksaan sebelumnya, immediate spin crossmatch

dapat digunakan untuk mendeteksi inkompatibilitas ABO (Blaney and Howard, 2013).

5.2 Tujuan Uji Cocok Serasi (Crossmatching)

Tujuan utama crossmatching adalah untuk mencegah terjadinya reaksi transfusi baik reaksi transfusi yang bersifat mengancam nyawa maupun reaksi transfusi ringan atau sedang yang dapat mengganggu kenyamanan pasien. Tujuan yang tidak kalah penting lainnya adalah memaksimalkan masa hidup in vivo sel-sel darah yang ditransfusikan (Blaney and Howard, 2013).

Crossmatching dilakukan untuk meyakinkan bahwa tidak ada antibodi di dalam serum pasien yang akan bereaksi dengan sel darah donor jika transfusi dilakukan. Dua fungsi utama crossmatching adalah 1. untuk pengecekkan terakhir bahwa golongan darah ABO antara

donor dan pasien sudah sesuai,

2. untuk mendeteksi ada tidaknya antibodi dalam serum pasien yang akan bereaksi dengan antigen pada sel darah merah donor terutama pada kondisi antibodi tidak terdeteksi dengan skrining antibodi karena tidak adanya antigen yang sesuai pada panel sel skrining (Makroo, 2009).

Berdasarkan jenis komponen darah pasien dan donor yang direaksikan, crossmatching memiliki dua tujuan, yaitu:

1. mendeteksi adanya antibodi dalam serum pasien (termasuk anti-A

& anti-B) yang dapat menghancurkan eritrosit yg ditransfusikan, 2. mendeteksi antibodi dalam serum donor yang akan masuk ke

dalam tubuh pasien.

Kedua tujuan di atas berkaitan dengan jenis crossmatch mayor dan minor yang akan dibahas lebih lanjut pada bahasan berikutnya (Blaney and Howard, 2013).

5.3 Jenis-jenis Uji Cocok Serasi (Crossmatching)

Crossmatching dapat dilakukan secara serologik dan elektronik atau komputerisasi. Di Negara-negara berkembang seperti Indonesia, jenis pemeriksaan crossmatch baru bisa dilakukan secara serologik.

Serologic crossmatch dibedakan menjadi immediate-spin crossmatch dan antiglobulin crossmatch. Antiglobulin crossmatch dapat dilakukan dengan cara tube test maupun column agglutination. Berikut akan dibahas satu persatu jenis pemeriksaan crossmatch.

5.4 Immediate-Spin (IS) Crossmatch

Immediate-spin crossmatch sangat baik untuk mengeksklusi adanya kesalahan golongan darah ABO, tetapi kurang adekuat untuk mendeteksi jenis IgG antibodi yang bermakna secara klinis. Immediate- spin crossmatch juga kurang baik khususnya bila skrining antibodi tidak dilakukan sebelumnya (Makroo, 2009).

1. Prinsip pemeriksaan

Prinsip dari pemeriksaan immediate-spin crossmatch adalah reaksi antara antigen dan antibodi yang sesuai menghasilkan aglutinasi.

2. Metode Pemeriksaan

Immediate-spine crossmatch umumnya dilakukan dengan metode tube test.

3. Alat dan Bahan

Peralatan yang dibutuhkan antara lain: tabung reaksi, sentrifus, dan pipet tetes. Bahan yang dibutuhkan adalah sel darah merah donor, serum atau plasma pasien. Sampel donor diambil langsung dari kantong darah atau salah satu segmen dari selang yang terhubung dengan kantong darah. Nomor kantong darah harus selalu dicatat untuk melakukan identifikasi dengan benar (Mehdi, 2013).

4. Prosedur pemeriksaan

Berikut adalah ilustrasi prosedur pemeriksaan immediate-spin crossmatch.

Gambar 5.1 Prosedur pemeriksaan IS dengan motode tube test (Powell, 2016).

Ada pun tahapan pemeriksaan immediate-spine crossmatch adalah sebagai berikut:

a. Siapkan suspensi sel darah merah donor 2-5% yang disuspensi dalam larutan normal salin atau Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (EDTA) salin. Beberapa ahli serologi menggunakan sampel serum yang direaksikan dengan sel darah merah donor yang disuspensi dalam larutan EDTA salin karena titer anti-A atau anti-B yang tinggi dapat menginisiasi pelapisan komplemen sehingga menghalangi aglutinasi. Penggunaan sampel pasien yang ditampung dalam tabung EDTA dapat digunakan sebagai alternatif untuk mencegah fenomena tersebut,

b. label tabung untuk masing-masing suspensi sel darah merah donor yang akan dites dengan serum pasien,

c. tambahkan 2 tetes serum atau plasma pasien ke dalam masing- masing tabung,

d. tambahkan 1 tetes suspensi sel darah merah donor pada tabung sesuai dengan label,

e. campur isi tabung dan lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 1 menit,

f. baca ada tidakya hemolisis, resuspensi endapan eritrosit pada bagian bawah tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi,

g. lakukan interpretasi dan catat hasil pemeriksaan (Levitt, 2014;

Downes, 2014).

5. Interpretasi Hasil Immediate-Spine Crossmatch

Adanya aglutinasi atau hemolisis mengindikasikan hasil positif (inkompatibel). Hasil negatif ditunjukkan oleh suspensi halus sel-sel eritrosit setelah dilakukan resuspensi eritrosit yang mengendap pada bagian bawah tabung atau tidak adanya aglutinasi atau hemolisis. Hasil yang negatif juga disebut kompatibel (Levitt, 2014; Downes, 2014).

5.5 Crossmacthing dengan Tube Test

Crossmacthing dengan tes tabung dapat dikerjakan untuk crossmatch mayor maupun crossmatch minor. Crossmatch mayor adalah reaksi antara sel darah merah donor dengan serum atau plasma pasien, sedangkan crossmatch minor adalah reaksi antara sel darah merah pasien dengan plasma donor. Di Negara-negara yang sudah maju, crossmatch minor sudah tidak dikerjakan lagi karena sampel darah donor sudah dilakukan skrining antibodi sebelumnya untuk mendeteksi adanya antibodi ireguler (Makroo, 2009). Di Indonesia, crossmatch minor masih dikerjakan secara rutin hampir disemua unit Bank Darah Rumah Sakit (BDRS) atau Unit Transfusi Darah (UTD).

1. Prosedur pemeriksaan crossmatch mayor dan minor

Pada setiap pemeriksaan crossmatch mayor dan minor selalu sertakan autokontrol. Pemeriksaan tersebut terdiri dari 3 fase, yaitu:

Fase I. Medium salin (salin room temperature technique)

a. Siapkan tiga buah tabung gelas yang bersih dan kering, masing- masing tabung berisi komponen berikut:

• tabung I (crossmatch mayor): 2 tetes serum pasien + 1 tetes suspensi sel donor 2-5%,

• tabung II(crossmatch minor): 2 tetes plasma donor + 1 tetes suspensi sel pasien 2-5%,

• tabung III (autokontrol): 2 tetes serum pasien + 1 tetes suspensi sel pasien 2-5%

b. Campur masing-masing tabung dan inkubasi selama 45-60 menit.

c. Lakukan sentrifugasi selama satu menit pada kecepatan 1000 rpm.

d. Amati adanya aglutinasi atau hemolisis pada tabung.

e. Jika terjadi hemolisis atau aglutinasi pada semua atau salah satu tabung pada tahap ini, maka hasil croosmatch dinyatakan tidak cocok atau incompatible dan fase berikutnya tidak perlu dilanjutkan. Bila reaksi negatif atau kompatibel, lanjutkan ke fase II (Mehdi, 2013).

Fase II. Fase albumin

a. Tambahkan 2 tetes bovin albumin 22% ke dalam semua tabung pada fase I yang memberikan hasil negatif.

b. Inkubasi semua tabung pada suhu 37 oC selama 30 menit.

c. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit.

d. Baca ada tidaknya hemolisis atau aglutinasi (Mehdi, 2013).

Hemolisis atau aglutinasi pada semua atau salah satu tabung menandakan hasil positif atau inkompatibel dan pemeriksaan tidak perlu dilanjutkan ke fase III. Apabila hasil negatif pada semua tabung, lanjutkan ke fase III.

Fase III. Fase Anti Human Globulin (AHG) atau fase Indirect Antiglobulin Test (IAT)

a. Cuci sel sebanyak 3 kali dengan menggunakan salin pada semua tabung yang memberikan hasil negatif pada fase II.

b. Buang seluruh supernatan bekas pencucian.

c. Tambahkan 2 tetes reagen AHG.

d. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 1 menit.

e. Resuspensi dengan lembut endapan sel pada bagian bawah tabung.

f. Lihat dan catat ada tidaknya aglutinasi (Mehdi, 2013).

Bila aglutinasi atau hemolisis positif hasil crossmath dinyatakan inkompatibel. Bila aglutinasi atau hemolisis negatif pada semua tabung, hasil dinyatakan negatif atau kompatibel dan lanjutkan dengan penambahan coombs control cells (CCC) sebanyak 1 tetes dan dilanjutkan dengan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000 rpm. Penambahan CCC akan memberikan hasil positif pada semua

Dalam dokumen LABORATORIUM PRATRANSFUSI UP DATE (Halaman 90-100)