• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Kasus Terkait Crossmatching

Dalam dokumen LABORATORIUM PRATRANSFUSI UP DATE (Halaman 117-122)

BAB V. UJI COCOK SERASI (CROSSMATCHING)

5.10 Contoh Kasus Terkait Crossmatching

5.10 Contoh Kasus Terkait Crossmatching

dilakukan pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi untuk mencari kemungkinan jenis antibodi ireguler yang ada pada serum pasien.

Mengingat sudah ditemukan darah donor yang kompatibel dan fasilitas skrining antibodi tidak tersedia, maka cara efektif yang ditempuh adalah melakukan crossmatching ulang dengan unit darah donor yang lain sampai didapatkan darah yang kompatibel.

Kasus 2

Pasien laki-laki 50 tahun, dengan keluhan badan lemas. Hasil pemeriksaan darah lengkap didapatkan kadar hemoglobin 5 g/dL. Hasil kimia klinik menunjukkan peningkatan kadar total bilirubin 4,6 mg/

dL (nilai rujukan <1,5 mg/dL). Kadar bilirubin direk 3,5 mg/dL (nilai rujukan 0,1 – 0,5 mg/dL). Tidak ada tanda-tanda perdarahan. Penderita rencana akan dilakukan transfusi PRC sebanyak 4 unit. Hasil pemeriksaan golongan darah O Rhesus positif. Hasil pemeriksaan crossmatch dengan 4 unit darah donor didapatkan hasil pada unit pertama dan kedua, mayor negatif, minor 3+, autokontrol 3+. Crossmatching dengan unit darah ketiga dan keempat, mayor 1+, minor 3+, autokontrol 3+.

Penanganan kasus:

1. Dilakukan pemeriksaan golongan darah ulang pada pasien dan donor menggunakan sampel baru. Hasil sama dengan pemeriksaan pertama.

2. Dilakukan pemeriksaan coombs’ test, hasil pemeriksaan Direct Coombs’ Test (DCT) positif pada C3 dan IgG dengan derajat positif masing-masing 3+, Indirect Coombs’ Test (ICT) negatif.

3. Unit darah pertama dan kedua dengan hasil crossmatching mayor negatif, minor 3+, autokontrol 3+ dikeluarkan.

4. Dilakukan crossmatching ulang dengan darah donor yang lain sampai didapatkan hasil crossmatching sama dengan unit pertama dan kedua atau dengan derajat positif yang lebih rendah.

Pada kasus ini kemungkinan penyebab hasil mayor positif pada unit darah ketiga dan keempat adalah adanya antibodi ireguler pada serum pasien. Bila fasilitas memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan skrining antibodi untuk mengetahui jenis antibodi ireguler tersebut. Bila

fasilitas skrining tidak ada ganti darah donor dan lakukan crossmatching ulang sampai didapatkan mayor negatif. Hasil minor positif dan autokontrol positif kemungkinan disebabkan adanya autoantibodi pada sampel pasien. Pasien kemungkinan mengalami autoimun hemolitik anemia. Hal tersebut ditunjang oleh klinis dan laboratorium seperti penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar bilirubin dan hasil coombs’ test positif.

DAFTAR PUSTAKA

Blaney, K.D., Howard, P.R. 2013. Compatibility Testing. Basic&Applied Concepts of Blood Banking and Transfusion Practices. Third Edition. United States: Elsevier Mosby. p.188-201.

Depkes RI. 2008. Pemeriksaan Uji Silang Serasi. Modul 2 Pelatihan Crash Program Petugas Teknis Transfusi Darah Bagi Petugas UTDRS. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. hal 121-128.

Downes, K.A., Shulman, I.A. 2014. Pretransfusion testing. In: Fung, M., Grossman, B.J., Hillyer, C.D., Westhoff, C.M. eds. Technical manual 18th edition. Bethesda, MD: AABB. p. 367-390.

Klein, H. G., Anstee, D. J. 2014. Blood Grouping Techniques. Mollison’s Blood Transfusion in Clinical Medicine 12th Edition. UK: Wiley- Blackwell. p. 303-347.

Levitt, J. 2014. Standards for blood banks and transfusion services 29th edition. Bethesda, MD: AABB.

Makroo, R.N. 2009. Compatibility Testing (Pre Transfusion Testing).

Practice of Safe Blood Transfusion Compendium of Transfusion Medicine. New Delhi: Kongposh. p. 123-131.

McClelland, D.B.L. 2007. Blood products and transfusion procedures.

Handbook of Transfusion Medicine United Kingdom Blood Services 4th Edition. UK: The Stationery Office p. 5-22.

McCullough, J. 2017. Laboratory Detection of Blood Groups and Provision of Red Cells.Transfusion Medicine 4th Edition. UK:

Wiley Blackwell. p. 210-241

Mehdi, S.R. 2013. Cross-matching (compatibility testing). Essentials of Blood Banking A Handbook for Students of Blood Banking and Clinical Residents Second Edition. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. p. 45-49.

Powell, V. I. 2016. Blood Group Antigen and Antibodies. NYU Langone Medical Center.

Stoe, M. 2011. Pretransfusion Testing. In Quinley, E.D.

Immunohematology Principle & Practice Third Edition.

Philadelphia: Wiliams & Wilkins. p. 105-118.

Walker, P. S., Harmening, D. M. 2012. Other Technologies and Automation. Blood Groups and Serologic Testing. Modern Blood Banking & Transfusion Practices 6th Edition. Philadelphia: F.A Davis company. p. 273-285.

Zundel, W. B. 2012. Pretransfusion Testing. Blood Groups and Serologic Testing. In: Harmening, D.M. Modern Blood Banking

& Transfusion Practices 6th Edition. Philadelphia: F.A Davis company. p. 241-259.

BAB VI

ANTIGLOBULIN TEST (COOMB’S TEST)

6.1 Definisi Coomb’s Test

Antiglobulin test yang popular disebut dengan Coomb’s test, ditemukan pertama kali oleh Coombs, Mourant dan Race pada tahun 1945 untuk mendeteksi antibodi yang tidak beraglutinasi dalam serum (Makroo, 2009; Green and Klostermann, 2012). Coomb’s test menjadi sangat penting karena dapat mendeteksi antibodi IgG dan komplemen yang menghancurkan sel darah merah baik secara in vivo maupun in vitro tanpa menunjukkan adanya aglutinasi. Jadi perdefinisi Coomb’s test adalah suatu pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi antibodi yang mengikat sel darah merah baik secara in vivo maupun in vitro (Blaney and Howard, 2013).

6.2 Tujuan Coomb’s Test

Ada dua jenis Antiglobulin test yaitu Direct Antiglobulin Test (DAT) atau Direct Coomb’s test (DCT) dan Indirect Antiglobulin Test (IAT) atau Indirect Coomb’s test (ICT). Tujuan dari DCT adalah untuk mendeteksi adanya antibodi imun baik IgG maupun komponen komplemen (umumnya C3d) yang menyelimuti atau mensensitisasi sel darah merah secara in vivo. Pemeriksaan ICT bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi inkomplit atau komplemen yang ada di dalam serum setelah diinkubasi dengan sel darah merah secara in vitro (Makroo, 2009).

Pemeriksaan DCT sering digunakan untuk membantu diagnosis kasus-kasus berikut:

a. hemolytic disease of new born (HDN), b. auto immune hemolytic anemia (AIHA),

c. pemeriksaan adanya sensitisasi sel darah merah yang diinduksi oleh obat-obatan,

d. pemeriksaan kasus hemolitik yang disebabkan oleh reaksi transfusi (Makroo, 2009).

Pemeriksaan ICT digunakan untuk kasus-kasus berikut:

a. compatibility testing,

b. skrining dan identifikasi antibodi yang tidak diharapkan dalam serum,

c. mendeteksi antigen sel darah merah menggunakan antibodi spesifik yang hanya bereaksi dengan antiglobulin seperti Fya, Fyb, JKa, Jkb dan lain-lain (Makroo, 2009).

6.3 Prinsip Pemeriksaan Coomb’s Test

Prinsip sederhana dari pemeriksaan antiglobulin adalah sebagai berikut:

a. Molekul antibodi dan komplemen adalah globulin,

b. human globulin yang diinjeksikan pada hewan (kelinci) akan merangsang produksi antibodi, yaitu Anti Human Globulin (AHG). Pemeriksaan serologi yang berkembang menggunakan reagen AHG yang dapat bereaksi dengan berbagai jenis globulin manusia meliputi anti-IgG antibody dan C3d yang merupakan komponen komplemen pada manusia.

c. AHG akan bereaksi dengan molekul human globulin baik yang terikat dengan sel darah merah maupun yang bebas dalam serum (Green and Klostermann, 2012).

1. Prinsip pemeriksaan DCT

Gambar 6.1 Prinsip pemeriksaan Direct Coomb’s Test (Green and Klostermann, 2012).

DCT berfungsi untuk mendeteksi adanya sensitisasi sel darah merah oleh IgG atau komponen komplemen yang terjadi secara in vivo. Setelah dilakukan proses pencucian sel darah merah sebanyak 3 kali kemudian tambahkan reagen AHG, kemudian dilihat ada tidaknya aglutinasi. Aglutinasi akan terjadi apabila ada anti-IgG antibody atau C3d yang menyelimuti sel darah merah (Green and Klostermann, 2012).

2. Prinsip pemerikaan ICT

Gambar 6.2 Prinsip pemeriksaan Indirect Commb’s Test (Green and Klostermann, 2012).

ICT berfungsi untuk mendeteksi adanya sensitisasi sel darah merah oleh IgG atau komponen komplemen yang terjadi secara in vitro.

Reagen sel darah merah ditambahkan serum pasien kemudian dilakukan proses inkubasi. Inkubasi bertujuan untuk memberi kesempatan anti- IgG antibody dan C3d yang bebas dalam serum mensensitisasi sel darah merah secara in vitro. Setelah sensitisasi terjadi lalu tambahkan reagen AHG dan amati ada tidaknya aglutinasi (Green and Klostermann, 2012).

6.4 Metode Pemeriksaan Coomb’s Test

Metode konvensional untuk pemeriksaan coomb’s test adalah menggunakan metode tabung (tube test). Beberapa metode modifikasi lain yang bisa digunakan dalam situasi khusus seperti Low-Ionic

Polybrene technique (LIP), Enzyme-Linked Antiglobulin Test (ELAT), solid phase technology, dan gel test (Green and Klostermann, 2012).

6.5 Pemeriksaan DCT dengan Metode Tabung (Tube Test) 1. Alat dan bahan

Alat-alat yang dibutuhkan, antara lain: tabung gelas dengan ukuran 75 x 12 mm, sentrifus, dan pipet tetes.

Bahan untuk pemeriksaan coomb’s test dengan metode tabung, antara lain: sel darah merah yang akan diperiksa, reagen Anti Human Globulin (AHG), dan kontrol positif.

Ada dua tipe reagen AHG yang tersedia, yaitu:

a. Reagen AHG polispesifik

Reagen AHG polispesifik umumnya mengandung anti-IgG dan anti-C3d namun juga dapat mengandung anti C3b dan anti C4b.

Pembuatan AHG dilakukan dengan cara menyuntikkan human globulin ke dalam tubuh hewan, prosedur tersebut selanjutnya akan menghasilkan antibodi spesifik untuk immunoglobulin manusia dan sistem faktor komplemen manusia.

b. Reagen AHG monospesifik

Reagen monospesifik masing-masing mengandung anti-IgG, IgM, IgA atau komponen komplemen yang sudah terpisah-pisah (Makroo, 2009).

Kontrol sel positif dibuat dari golongan darah O Rhesus positif yang direaksikan dengan anti-D, reagen AHG dan dibantu dengan alat dan bahan lain seperti salin dan tabung reaksi ukuran 75 x 12 mm.

Berikut adalah teknik pembuatan kontrol sel positif:

a. cuci sel darah merah golongan O Rhesus positif sebanyak tiga kali menggunakan larutan salin,

b. letakkan 0,5 mL sel darah merah yang sudah dicuci ke dalam tabung reaksi,

c. tambahkan 2-3 tetes anti-D,

d. campur dan inkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit. Jika aglutinasi positif, ulangi prosedur dengan menambahkan anti-D yang sudah diencerkan,

e. cuci sel sebanyak 4 kali kemudian buat suspensi sel 5% dalam medium salin,

f. ambil satu volume suspensi sel 5% dan tambahkan 2 volume reagen AHG. Campur dengan baik dan sentrifugasi. Reaksi yang didapat harus +2,

g. kontrol sel positif dapat disimpan selama 48 jam pada suhu 4 oC (Makroo, 2009).

2. Prosedur Pemeriksaan

Ada pun prosedur pemeriksaan DCT adalah sebagai berikut:

a. teteskan 1 tetes suspensi sel 2-4% yang akan diperiksa ke dalam tabung yang bersih dan berikan label. Sampel darah harus segar, tidak lebih dari 24 pasca pengambilan atau ditampung dalam tabung EDTA untuk mencegah terjadinya uptake komplemen, b. cuci sel sebanyak 3 kali menggunakan larutan salin dan buang

sebanyak mungkin salin pasca pencucian, c. tambahkan 1-2 tetes reagen AHG,

d. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000 revolution per minute (rpm),

e. goyangkan tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi, f. jika hasil negatif, tambahkan 1 tetes control cells,

g. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000 rpm dan lihat adanya aglutinasi. Jika tidak ada aglutinasi, hasil dinyatakan invalid dan pemeriksaan harus diulang.

Berikut adalah ilustrasi prosedur pemeriksaan DCT

Gambar 6.3 Prosedur pemeriksaan DCT dengan motode tube test (Powell, 2016).

6.6 Pemeriksaan ICT dengan Metode Tabung (Tube Test) 1. Alat dan bahan

Alat yang dibutuhkan adalah tabung gelas dengan ukuran 75 x 12 mm, sentrifus, dan pipet tetes.

Bahan untuk pemeriksaan meliputi serum yang akan diperiksa, sel darah merah golongan O, reagen Anti Human Globulin (AHG), dan kontrol sel positif.

2. Prosedur Pemeriksaan

Adapun prosedur pemeriksaan ICT adalah sebagai berikut:

a. teteskan 2 tetes serum yang akan diperiksa ke dalam tabung yang bersih dan beri label. Sampel serum harus segar, untuk mendeteksi adanya komplemen yang berikatan dengan antibodi,

b. tambahkan 1 tetes suspensi sel darah golongan O 2-5%, c. inkubasi pada suhu 37 oC selama 45-60 menit,

d. amati ada tidaknya hemolisis atau aglutinasi. Hemolisis atau aglutinasi yang terjadi pada tahap ini mencerminkan adanya salin yang bereaksi dengan antibodi,

e. jika tidak terjadi hemolisis atau aglutinasi, cuci sampel sebanyak 3-4 kali menggunakan larutan salin dan buang sebanyak mungkin salin pasca pencucian,

f. tambahkan 1-2 tetes reagen AHG,

g. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000 revolution per minute (rpm),

h. goyangkan tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi, i. jika hasil negatif, tambahkan 1 tetes control cells,

j. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000 rpm dan lihat adanya aglutinasi. Jika tidak ada aglutinasi, hasil dinyatakan invalid dan pemeriksaan harus diulang.

k. Selalu sertakan autokontrol pada pemeriksaan ICT (Makroo, 2009).

Berikut adalah ilustrasi prosedur pemeriksaan ICT.

Gambar 6.4 Prosedur pemeriksaan IAT dengan motode tube test (Powell, 2016).

Ringkasan tujuan dari masing-masing tahapan pemeriksaan ICT tercantum pada tabel berikut.

Tabel 6.1 Tujuan dari masing-masing tahapan pemeriksaan ICT (Green and Klostermann, 2012).

Tahapan pemeriksaan Tujuan

Inkubasi sel darah merah dengan serum

pasien Memberikan kesempatan antibodi yang ada pada

serum pasien menyelimuti antigen sel darah merah Pencucian sel dengan salin sebanyak 3

kali Menghilangkan molekul globulin bebas atau yang

tidak terikat

Penambahan reagen AHG Membentuk aglutinasi sel darah merah melalui ikatan antigen eritrosit + antibodi + anti-IgG Sentrifugasi Mempercepat proses aglutinasi dengan cara

mendekatkan sel satu sama lain

Pembacaan aglutinasi Memberikan interpretasi hasil pemeriksaan apakah positif atau negatif

Menentukan derajat aglutinasi Menentukan kuat lemahnya reaksi yang terjadi Penambahan Coombs’ control cells pada

hasil yang negatif

Untuk memastikan bahwa hasil yang negatif bukan disebabkan oleh netralisasi reagen AHG oleh molekul globulin bebas

6.7 Interpretasi Hasil Coomb’s Test

Pemeriksaan DCT tidak dibutuhkan secara rutin dalam protokol pretransfusion testing. Hasil DCT yang positif secara tersendiri bukan merupakan sebuah diagnosis. Interpretasi hasil yang positif membutuhkan informasi tentang diagnosis klinis pasien, riwayat pemberian obat-obatan, kehamilan, riwayat transfusi sebelumnya dan informasi lain terkait adanya proses hemolitik.

Tabel berikut hanya membantu dalam memperkirakan kemungkinan interpretasi hasil pemeriksaan DCT dengan tetap harus mempertimbangkan kondisi klinis pasien.

Tabel 6.2 Panel DCT: pola hasil pemeriksaan DCT pada Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA)

(Green and Klostermann, 2012).

Anti-IgG Anti-C3d Jenis AIHA

+ + Warm Autoimmune Hemolytic Anemia (WAIHA)

+ - WAIHA

- + Cold Agglutinin Syndroma (CAS), Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH), WAIHA

+ + Mixed-type AIHA (cold dan warm)

6.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Pemeriksaan Coomb’s Test

DCT dapat mendeteksi kadar molekul IgG pada level 100-500 per eritrosit dan 400-1.100 molekul C3d per eritrosit. Sedangkan ICT mampu mendeteksi kadar molekul IgG atau C3d pada level 100-200 pada sel dengan reaksi positif. Jumlah molekul IgG yang mensensitisasi eritrosit dan kecepatan terjadinya sensitisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Rasio serum dan sel

Peningkatan rasio serum dan sel akan meningkatkan sensitivitas pemeriksaan. Umumnya, rasio minimum adalah 40:1 yang bisa

didapat dengan menambahkan 2 tetes serum dan 1 tetes suspensi sel eritrosit 5%. Jika menggunakan sel yang disuspensi dalam salin, maka dapat meningkatkan rasio serum dan sel yang memiliki kemampuan mendeteksi antibodi lemah (misal: 4 tetes serum dengan 1 tetes suspensi sel 3% akan memberikan rasio 133:1) (Green and Klostermann, 2012).

2. Medium reaksi

Beberapa medium reaksi yang bisa digunakan antara lain albumin, LISS dan polyethylene glycol. Pada 1965, Stroup dan Macllroy melaporkan peningkatan sensitivittas ICT jika albumin digunakan sebagai medium reaksi. Campuran reaksi yang terdiri atas 2 tetes serum, 2 tetes bovin albumin 22% dan 1 tetes suspensi sel 3-5% menunjukkan sensitivitas yang sama pada inkubasi 30 menit dibandingkan inkubasi 60 menit pada medium salin. Namun, salah satu kelemahan albumin yang dilaporkan oleh Pezt dan Coworkers adalah tidak mampu mendeteksi beberapa jenis antibodi yang bermakna secara klinis sehingga albumin jarang digunakan sebagai media ICT secara rutin (Green and Klostermann, 2012).

Penggunaan Low ionic strength solutions (LISS) diperkenalkan oleh Low dan Messeter. LISS mampu meningkatkan uptake antibodi dan memperpendek waktu inkubasi dari 30-60 menit menjadi 10-15 menit. Penggunaan LISS juga dilaporkan oleh Moor dan Mollison yang menemukan bahwa reaksi optimal bisa didapatkan dari penggunaan 2 tetes serum dan 2 tetes suspensi sel 3% dalam medium LISS (Green and Klostermann, 2012).

Polyethylene glycol (PEG) bersifat larut dalam air dan digunakan sebagai zat tambahan untuk meningkatkan uptake antibodi.

Mekanisme kerja PEG adalah menghilangkan molekul air yang mengelilingi eritrosit (the water of hydration theory) sehingga efektif untuk meningkatkan konsentrasi antibodi. Beberapa peneliti telah membandingkan penggunaan PEG dan LISS sebagai medium reaksi dalam pemeriksaan antiglobulin. Hasil penelitian melaporkan bahwa PEG dapat meningkatkan deteksi antibodi yang bermakna secara klinis dan menurunkan deteksi antibodi yang tidak bermakna secara klinik (Green and Klostermann, 2012).

3. Temperatur

Kecepatan reaksi antibodi IgG dan aktivasi komplemen optimal pada suhu 37 oC (Green and Klostermann, 2012).

4. Waktu inkubasi

Untuk sel yang disuspensi dalam medium salin, waktu inkubasi mencapai 30-120 menit. Mayoritas antibodi yang bermakna secara klinis akan terdeteksi setelah menit ke-30. Jika menggunakan LISS atau PEG, waktu inkubasi bisa diperpendek menjadi 10-15 menit. Dengan waktu yang lebih singkat, sangat penting untuk dilakukan inkubasi pada suhu 30 oC. Bila waktu inkubasi pada teknik LISS diperpanjang (misal 40 menit) maka antibodi akan terelusi dari eritrosit dan sensitivitas akan menurun (Green and Klostermann, 2012).

5. Pencucian eritrosit

Untuk pemeriksaan DCT maupun ICT, sel eritrosit harus dicuci dengan salin minimal 3 kali sebelum dilakukan penambahan reagen AHG. Pencucian akan menghilangkan globulin serum yang tidak berikatan. Pencucian yang tidak adekuat dapat menyebabkan hasil negatif palsu karena reagen AHG akan dinetralisasi oleh globulin serum yang tidak berikatan. Hal tersebut menyebabkan fase pencucian pada pemeriksaan DCT dan ICT menjadi tahapan yang sangat penting. Proses pencucian sebaiknya segera dilakukan setelah proses inkubasi. Semua sisa salin setelah pencucian terakhir harus dihilangkan karena dapat mengencerkan reagen AHG yang berefek pada penurunan sensitivitas pemeriksaan (Green and Klostermann, 2012).

6. Salin untuk pencucian

Idealnya salin yang digunakan untuk pencucian harus segar dan mempunyai pH 7,2-7,4. Salin yang disimpan terlalu lama dalam wadah plastik menunjukkan penurunan pH sehingga meningkatkan kecepatan elusi antibodi selama proses pencucian dan memberikan efek hasil negatif palsu. Adanya kontaminasi bakteri pada salin juga pernah dilaporkan dan hal tersebut berkontribusi dalam memberikan hasil positif palsu (Green and Klostermann, 2012).

7. Penambahan AHG

Reagen AHG seharusnya ditambahkan segera setelah proses pencucian untuk mengurangi elusi antibodi dan berdampak pada netralisasis reagen AHG. Jumlah AHG yang ditambahkan disesuaikan dengan ketentuan perusahaan reagen (Green and Klostermann, 2012).

8. Sentrifugasi untuk pembacaan

Sentrifugasi pada campuran sel untuk membaca hemaglutinasi merupakan langkah yang krusial dalam pemeriksaan. Sentrifugasi yang direkomendasikan adalah 1000 Relative Centrifugal Forces (RCFs) selama 20 detik. Kecepatan sentrifugasi yang tidak standar dapat memberikan hasil positif palsu karena resuspensi menjadi inadekuat dan dapat memberikan hasil negatif palsu karena resuspensi terlalu kuat (Green and Klostermann, 2012).

6.9 Sumber Kesalahan Pemeriksaan Coomb’s Test

Berikut adalah tabel yang memuat ringkasan tentang penyebab hasil pemeriksaan Coomb’s test positif palsu dan negatif palsu.

Tabel 6.3 Sumber kesalahan hasil pemeriksaan coomb’s test (Makoo, 2009;WHO, 2009; Green and Klostermann,

2012; Mehdi, 2013).

a. Kualitas sampel yang tidak baik b. Sentrifugasi berlebihan

c. Teknik pembacaan yang tidak tepat d. Kontaminasi bakteri pada sel atau salin

yang digunakan untuk pencucian e. Penggunaan tabung yang kotor f. Adanya fibrin dalam tabung sehingga

menyerupai aglutinasi

g. Sel dengan hasil DCT positif dapat memberikan hasil ICT positif palsu h. Sel dengan poliaglutinasi

i. Salin terkontaminasi dengan logam berat atau colloidal silica

j. Sampel ditampung pada tabung dengan gel separator

Penyebab hasil positif palsu Penyebab hasil negatif palsu a. Pencucian sel yang tidak adekuat

b. Kontaminasi reagen AHG dengan protein dari luar

c. Konsentrasi paraprotein yang tinggi dalam serum

d. Reagen AHG tidak bekerja dengan baik, baik oleh karena deteorisasi maupun netralisasi

e. Adanya pemanasan serum atau pembekuan dan pencairan yang berulang

f. Lupa menambahkan serum atau reagen g. Sentrifugasi yang tidak adekuat atau AHG

berlebihan

h. Suspensi sel terlalu encer atau terlalu pekat

6.10 Pemeriksaan ICT Menggunakan Medium LISS

Penggunaan LISS pada ICT dapat meningkatkan kecepatan dan derajat pengikatan antibodi oleh sel darah merah dan menurunkan waktu inkubasi. Berikut dijelaskan tentang pemeriksaan ICT pada medium LISS (Makroo, 2009).

1. Alat dan bahan

Alat-alat yang dibutuhkan meliputi tabung gelas dengan ukuran 75 x 12 mm, sentrifus, dan pipet tetes.

Beberapa bahan yang dibutuhkan, antara lain:

a. Low ionic strength solution (LISS) b. Serum yang akan diperiksa

c. Sel darah merah golongan O d. Reagen anti human globulin (AHG) e. Kontrol sel positif

2. Prosedur Pemeriksaan

Ada pun prosedur pemeriksaan ICT adalah sebagai berikut:

a. Cuci sel darah merah dengan salin sebanyak 2 kali, b. cuci sel sekali dalam medium LISS,

c. buat suspensi sel 2-4% dalam medium LISS,

d. teteskan serum dan sel yang disuspensi dalam LISS dengan volume yang sama ke dalam tabung yang bersih dan berikan label,

e. inkubasi selama 15 menit pada suhu 37 oC (pada kondisi emergency, inkubasi dapat dilakukan selama 5 menit),

f. amati ada tidaknya hemolisis atau aglutinasi, catat hasil yang di dapat,

g. jika tidak terjadi hemolisis atau aglutinasi, cuci sampel sebanyak 3 kali menggunakan larutan salin dan buang sebanyak mungkin salin pasca pencucian,

h. tambahkan 1-2 tetes reagen AHG,

i. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000 revolution per minute (rpm),

j. goyangkan tabung dan baca ada tidaknya aglutinasi, k. jika hasil negatif, tambahkan 1 tetes control cells,

l. campur dan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1000 rpm dan lihat adanya aglutinasi. Jika tidak ada aglutinasi, hasil dinyatakan invalid dan pemeriksaan harus diulang.

LISS, serum dan suspensi sel harus diadaptasikan dengan suhu kamar sebelum digunakan (Makroo, 2009).

6.11 Beberapa Modifikasi dan Automatisasi Pemeriksaan Coomb’s Test

Ada beberapa jenis modifikasi pemeriksaan coomb’s test yang bisa digunakan dalam situasi khusus seperti Low-Ionic Polybrene technique (LIP), Enzyme-Linked Antiglobulin Test (ELAT), solid phase technology, dan gel test (Green and Klostermann, 2012).

1. Low-Ionic Polybrene technique (LIP)

Teknik LIP diperkenalkan pada 1980 oleh Lalezari dan Jiang.

Teknik ini dapat mensensitisasi sel dengan antibodi dalam waktu cepat.

Namun teknik ini memiliki kelemahan yaitu sensitivitasnya rendah untuk mendeteksi anti-Jka dan anti-Jkb (Green and Klostermann, 2012).

2. Enzyme-Linked Antiglobulin Test (ELAT)

Pada teknik ELAT, suspensi eritrosit ditambahkan pada microtiter well dan dicuci dengan salin kemudian ditambahkan reagen AHG yang sudah dilabel dengan enzim. Reagen AHG yang sudah dilabel dengan enzim akan berikatan dengan eritrosit yang disensitisasi dengan IgG.

Kelebihan antibodi akan dihilangkan dengan proses pencucian. Setelah penambahan substrate akan terjadi perubahan warna yang selanjutnya dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang tertentu (umumnya pada panjang gelombang 405 nm). Perubahan warna yang terjadi sebanding dengan jumlah antibodi yang ada pada sampel (Green and Klostermann, 2012).

Dalam dokumen LABORATORIUM PRATRANSFUSI UP DATE (Halaman 117-122)